Anda di halaman 1dari 67

ANEMIA PADA HIV

A. DEFINISI
Anemia pada HIV didefinisikan dengan kadar Ht < 33% dan kadar Hb < 10 mg/dL.
B. EPIDEMIOLOGI
Anemia adalah kelainan hematologi terbanyak yang terjadi pada
pasien dengan HIV dan biasanya berhubungan dengan progresifitas
penyakit tersebut dan hasil klinis yang buruk serta kematian. Sebuah
studi epidemiologi sebanyak 32.867 pasien infeksi HIV pada orang
dewasa dan remaja

menemukan bahwa resiko kematian meningkat

hingga 170% pada pasien dengan anemia persisten (Hb <10 mg/dL)
dibandingkan dengan pasien dengan anemia yang tertangani. Anemia
merupakan klinis yang penting pada infeksi HIV dan diperkirakan
prevalensi pada HIV asimtomatik sekitar 10% sedangkan pada AIDS
sekitar 92%.

C. ETIOLOGI
Anemia terjadi karena kerusakan dari hematopoiesis (menurunnya produksi sel darah
merah) termasuk :
1. Supresi Sumsum Tulang
Dua mekanisme utama dimana HIV mempengaruhi sumsum tulang adalah :
a. Infeksi langsung dari sel-sel progenitor, atau
b. Tindakan tidak langsung sel aksesori terinfeksi.
Mekanisme utama bervariasi antara pasien yang satu dengan yang lain dan
dapat bervariasi pada pasien jika diberikan pada waktu yang berbeda. Megakaryosit,
misalnya, mengungkapkan CD4 dan CCR5 reseptor di mana HIV memasuki sel-sel
ini dan menciptakan efek penekan langsung. Atau, sel-sel T yang terinfeksi
dan sekresi makrofag mengubah factor pertumbuhan- (TGF-),
interferon , dan / atau tumor necrosis factor- (TNF), yang

semuanya dikenal untuk menghambat megakaryocytopoiesis. HIV


juga dapat menginfeksi sel-sel sumsum stroma.
2. Terapi Obat
Terapi obat tunggal atau kombinasi berpotensial jadi agen myelosupresi,
seperti zidovudine, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ganciclovir, yang dapat
menyebabakan kerusakan hematopoiesis.
3. Infeksi Oportunistik
Mycobacterium avium complex
Parvovirus B19
CMV
Dan agen lain yang dapat menyebabkan kerusakan dari hematopoiesis
4. Infiltrasi Sumsum Tulang oleh Keganasan
Hal ini jarang terjadi pada anak-anak, terjadi kurang lebih pada 1,5% anak
yang terinfeksi HIV. Keganasan yang paling banyak pada anak dengan HIV adala
Limfoma Non-Hodgkin.
Sebuah etiologi yang mungkin untuk kerusakan perifer autoimun yang dimediasi
adalah pengembangan autoantibodi untuk trombosit dan unsur-unsur darah lainnya yang
kurang umum, yang dapat dipicu oleh HIV. Kerusakan autoimun juga dapat terjadi di
sumsum serta darah perifer.

D. FAKTOR RESIKO
1. Riwayat penyakit TB dalam kurun waktu 6 bulan yang lalu
2. Terinfeksi cacing tambang
E. MANIFESTASI KLINIS
Anamnesis
o
o
o
o
o
o
o
o

Pusing
Mudah berkunang-kunang
Lesu
Aktivitas kurang
Rasa mengantuk
Sukar konsentrasi
Cepat lelah
Prestasi kerja fisik / pikiran menurun

o Kemungkinan ada komplikasi timbul tanda-tanda kelainan pada jantung

Pemeriksaan Fisik
o
o
o
o
o
o
o

Pucat (konjungtiva dan telapak tangan serta kaki)


Takikardi
Pulcus celer
Suara pembuluh darah spontan
Bising karotis
Bising sistolik anorganik
Pembesaran jantung

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hapusan darah tepi
Pemeriksaan darah lengkap

Hal yang dinilai :


-

Hb

MCV

MCH

MCHC

Kadar besi serum

Total Binding Iron Capacity

Nilai retikulosit

Serum

Transferrin

Receptor

(STfR)

ANEMIA YANG BIASANYA BERHUBUNGAN DENGAN HIV


Anemia
Besi
Total
Mean
Retyculocyte
Iron

corpuscular

Binding

Volume

Count

Hal yang
membedakan

Anemia karena Penyakit


Kronik
Defisiensi besi

rendah

Capacity
Normal /

Normal /

Rendah

Yang paling umum

Rendah

rendah
Tinggi

Rendah
Rendah

Normal /

Diet mungkin sulit

(jika tidak

menurun

untuk membedakan

ditutupi oleh

anemia karena

sebab yang

penyakit kronik

lain)

dengan anemia

Normal

Normal /

defisiensi besi
Timbul dalam jangka

obat (zidovudine,

hingga

rendah

waktu seminggu

trimethoprim-

meninggi

Hipoproduksi oleh karena

sulfamethoxazole, dapsone)
Hemolisis oleh karena obat

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

(trimethoprim-

pertama dari mulai


Tinggi /

terapi
Bilirubin

normal

meningkat,

sulfamethoxazole, dapsone)

dehidrogenase susu,
low haptogoblin
smear; mungkin bisa
berhubungan dengan

Hipoproduksi berhubungan

Normal

Normal

Normal

Menurun

defisiensi G6PD
Tanda dan gejala

dengan infeksi (parvo B19,

hingga

dari 5 penyakit

MAC)
Hipersplenism

meninggi
Normal

Meningkat /

mungkin tidak ada


Splenomegali,

hingga

normal

pancytopenia

Normal

Normal

meninggi

G. TATA LAKSANA
Jika kadar eritropoietin endogen < 500 mUnits/mL, terapi eritropietin (50-200
iu/kg/dose 3x/minggu) harus diberikan untuk mengurangi kebutuhan tranfusi. Suplemen
besi oral (3-6mg/kg/hari) dan asam folat (1mg/hari) harus diberikan ketika eritropoietin
mulai diberikan.

Jika gejala klinis anemia signifikan (Hb < 7 mg/dL atau ada tanda-tanda
kegawatdaruratan

Jantung-Paru),

penggunaan

eritropoietin

atau

transfusi

direkomendasikan untuk penggunaan zidovudine hingga diagnosis ditegakkan. Dosis


zidovudine tidak boleh diubah. Jika anemia berat berkembang setelah minggu keempat
profilaksis AZT, AZT dapat dihentikan pada waktu itu dan hasilnya lebih baik dari pada
neonatus mendapat transfusi darah atau eritropoietin.
Kebutuhan untuk transfusi darah harus dievaluasi dengan hati-hati. Transfusi harus
disediakan untuk, anemia berat klinis yang signifikan. Iradiasi dan pengurangan leukosit dari
darah menurut protokol standar harus digunakan untuk semua transfusi.
Nevirapine diganti dengan efavirenz jika seorang anak sedang terapi TBC dengan
penggunaan rifampicin. Zidovudine diganti dengan stavudine jika anak memiliki kadar
Hb < 8 mg/dL.
Pengobatan anemia harus diarahkan untuk memperbaiki penyebab yang mendasari
melalui dukungan gizi, suplementasi besi untuk defisiensi zat besi, kontrol infeksi
oportunistik, dan kontrol perdarahan berkelanjutan disesuaikan dengan lokasi perdarahan
yang sesuai. Contohnya termasuk humidifikasi udara, mungkin aminokaproat untuk
epistaksis, dan pil kontrasepsi untuk perdarahan vagina. Secara umum, setelah masa neonatal
dan

awal masa bayi, anemia disebabkan terapi ARV adalah sering ringan dan jarang

memerlukan penghentian terapi.


Saat lahir, perhatian khusus harus diberikan kepada hemoglobin bayi yang lahir dari
ibu yang terinfeksi HIV terkena AZT. Kadar hemoglobin cenderung sedikit lebih rendah pada
neonates lainnya, dengan anemia karena AZT

terkait jelas pada usia 3 minggu.

Erythropoietin telah terbukti efektif pada anemia terkait HIV, terutama ketika hal itu
disebabkan oleh AZT atau tingkat erythropoietin endogen yang rendah.
Indikasi, risiko, dan manfaat untuk transfusi sel darah merah mirip dengan pasien
yang tidak terinfeksi HIV. Namun, ketika transfusi pasien yang terinfeksi HIV, ada beberapa
khusus kekhawatiran yang mendahului ketersediaan rutin leuko-reduksi. Penelitian telah
menunjukkan peningkatan viral load 5 hari setelah transfusi, peningkatan kejadian infeksi
sitomegalovirus dan kematian pada pasien dengan penyakit lanjut juga terjadi, meskipun
sebagian besar penelitian ini dilakukan pada orang dewasa. Tingkat kelangsungan hidup
yang mungkin menurun pada pasien yang diberi transfusi dibandingkan dengan pasien yang
memiliki derajat anemia dan imunodefisiensi yang sama yang tidak diberikan transfusi.

Iradiasi dan pengurangan leukosit telah sangat mengurangi risiko penyakit infeksi dan graftversus-host yang berkaitan dengan transfusi.

HIV
A. Definisi
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel
sistem kekebalan tubuh, termasuk limfosit T helper (CD4 limfosit T), monosit, dan makrofag.
Dampak dari infeksi HIV adalah berkurangnya fungsi dan jumlah limfosit CD4 T dan sel-sel

lain yang terkena, sehingga menekan sistem pertahanan selular dan humoral tubuh. Tanpa
pengobatan, HIV akan menyebabkan hilangnya kekebalan tubuh, yang menyebabkan dengan
kondisi yang memenuhi definisi acquired immunodeficiency sindrom (AIDS) dan, akhirnya,
kematian. diagnosis klinis AIDS dibuat ketika anak terinfeksi HIV mengembangkan salah
satu infeksi oportunistik, keganasan, atau kondisi yang tercantum dalam stadium klinis 3 pada
klasifikasi menurut CDC atau WHO. Pada orang dewasa dan remaja, kriteria untuk diagnosis
AIDS juga mencakup jumlah CD4 T-limfosit absolut 200 sel / uL atau kurang.1
B. Epidemiologi
WHO memperkirakan pada tahun 2013, 3.2 juta anak anak dibawah 15 tahun hidup
dengan infeksi HIV-1, 90% diantaranya berada di sub-saharan Africa. Walaupun jumlah anak
anak yang lahir dengan HIV telah turun 43% antara tahun 2009 sampai 2013, masih 199.000
anak yang terinfeksi baru hanya ditahun 2013. Kebanyakan dari kasus anak adalah hasil dari
transmisi secara vertical dari ibu yang terinfeksi HIV.2

Di Indonesia sendiri kasus HIV dari hasil statistik oleh Ditjen PP & PL Kemenkes RI yang
dilaporkan sampai dengan September 2014 adalah sebagai berikut :

Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia


Jenis Kelamin/Sex
Dilapor s/d September 2014
Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI

C. Etiologi
HIV adalah anggota dari genus Lentivirus,

bagian dari keluarga Retroviridae.

Lentivirus memiliki banyak morfologi dan sifat biologis yang sama. Banyak spesies yang
terinfeksi oleh lentivirus, yang khas bertanggung jawab untuk penyakit lama-lama dengan
masa inkubasi yang panjang.2

Lentivirus ditransmisikan sebagai untai tunggal, positif-rasa, menyelimuti virus RNA.


Setelah masuk ke dalam sel target, RNA genom virus dikonversi (reverse ditranskripsi)
menjadi DNA untai ganda oleh reverse transcriptase viral dikodekan yang diangkut bersama
dengan genom virus dalam partikel virus. DNA virus yang dihasilkan kemudian diimpor ke
dalam inti sel dan diintegrasikan ke dalam DNA sel oleh viral dikodekan integrase dan tuan
rumah co-faktor. Setelah terintegrasi, virus dapat menjadi laten, yang memungkinkan virus
dan sel inang untuk menghindari deteksi oleh sistem kekebalan tubuh. Atau, virus dapat
ditranskripsi, memproduksi genom RNA baru dan protein virus yang dikemas dan dibebaskan
dari

sel

sebagai

partikel

virus

baru

yang

memulai

siklus

replikasi

baru.

HIV dapat dibagi menjadi dua jenis utama, jenis HIV 1 (HIV-1) dan HIV tipe 2 (HIV-2).
HIV-1 terkait dengan virus yang ditemukan pada simpanse dan gorila yang hidup di Afrika
barat, sementara HIV-2 virus terkait dengan virus yang ditemukan di Afrika terancam punah
barat jelaga primata mangabey.
HIV-1 virus dapat dibagi lagi menjadi kelompok. HIV-1 grup virus M mendominasi
dan bertanggung jawab untuk pandemi AIDS. Grup M dapat dibagi lagi menjadi subtipe
berdasarkan data urutan genetik. Beberapa subtipe diketahui lebih ganas atau tahan terhadap
obat yang berbeda. Demikian juga, HIV-2 virus dianggap kurang virulen dan menular dari
virus kelompok HIV-1 M, meskipun HIV-2 diketahui juga dapat menyebabkan AIDS.
HIV-1 adalah strain yang paling umum dan patogen virus. Para ilmuwan membagiHIV 1 menjadi kelompok besar (Group M) dan dua atau lebih kecil kelompok. Setiap
kelompok diyakini mewakili transmisi independen SIV menjadi manusia (tapi subtipe dalam
suatu kelompok tidak). Sebanyak 39 ORFs ditemukan di semua enam frame membaca
mungkin (RFS) dari HIV-1 urutan genom lengkap, tetapi hanya sedikit dari mereka yang
fungsional.

D. Transmisi
Transmisi HIV-1 terjadi secara kontak seksual, melalui darah, atau transmisi secara
vertikal dari Ibu ke anak. Transmisi secara vertikal merupakan rute utama penularan infeksi
pada pasien anak.
Transmisi secara vertical dapat terjadi pada saat sebelum persalinan (intrauterine),
dalam persalinan (intrapartum), atau setelah persalinan (melalui pemberian ASI). Walaupun
transmisi pada masa intrauterine dapat diidentifikasi dengan kultur atau PCR dari jaringan
fetus pada minggu ke 10, data statistik menunjukan bahwa kebanyakan transmisi pada masa
intrauterine terjadi pada akhir usia gestasi, dimana integritas dari placenta melemah dan
terjadi microtransfusi dari ibu ke anak.
Persentase penularan terbesar yaitu pada saat persalinan (intrapartum), dibuktikan
dengan tidak ditemukannya virus sampai umur 1 minggu kehidupan. Mekanisme dari
transmisi ini nampaknya melalui mukosa bayi yang terekspos darah ibu dan sekresi
cervicovaginal pada jalan lahir, dan kontraksi aktif uterus pada saat persalinan.
Beberapa factor resiko yang dapat meningkatkan resiko penularan secara vertical
yaitu viral load dan jumlah CD4 ibu. Resiko penularan adalah sebesar 2 kali lipat setiap
penigkatan Log10 viral load ibu pada saat persalinan. Persalinan secara sectio cecarean
menurunkan resiko penularan sebesar 87% jika di berikan bersamaan dengan terapi
zidovudine pada ibu dan bayi. Akan tetapi data menunjukan pada pemberian antiretroviral
combinasi (cART) manfaat persalinan secara sectio secarean nampak kurang begitu berarti
dengan catatan viral load ibu <1000 copies/mL. angka kejadian penularan hanya sebesar
<0.1% pada ibu dengan viral load <50 copies/mL.
Transmisi melalui pemberian ASI merupakan rute yang paling jarang ditemukan
terutama pada Negara maju, namun transmisi melalui ASI berkontribusi sebanyak 40%
sebagai rute penularan pada Negara berkembang.
Di Negara maju, wanita yang diketahui terinfeksi HIV atau memiliki resiko terinfeksi
HIV,maka dianjurkan untuk tidak memberikan ASI dan disubstitusi dengan susu formula,
akan tetapi pada Negara berkembang dimana sering terdapat penyakit diare, pneumoni dan
malnutrisi pemberian ASI dianjurkan oleh WHO dengan pertimbangan manfaat pemberian
ASI melebihi resiko transmisi HIV setidaknya selama 6 bulan.2

E. Patogenesis
Pada kebanyakan kasus, awal infeksi dimulai dari jumlah virus yang rendah, oleh
karena itu infeksi awal dapat dicegah dengan pengobatan profilaksis. Ketika virus masuk
melalui mukosa, sel yang pertama terpengaruh adalah sel dendritic. Sel ini mengambil dan
memproses antigen dari perifer dan membawanya ke jaringan limfe. HIV tidak menginfeksi
dendritic sel tapi melekat pada molekul permukaan DC-SIGN. Dengan begitu virus dapat
bertahan sampai mencapai jaringan limfe. Di dalam jaringan limfe virus secara selektif
mengikat pada sel yang mengekspresikan CD4 pada permukaannya, terutama sel T helper
dan turunan monocyte dan macrophage. Sel-sel lain yang memiliki CD4 seperti microglia,
astrocyte dan oligodendroglia dan jaringan placenta yang mengandung sel vilous Hofbauer
dapat juga terinfeksi HIV. Untuk masuk kedalam sel, HIV membutuhkan coreseptor yaitu
CCR5 dan CXCR4. Pada beberapa strain HIV tertentu dibutuhkan coreceptor lainnya seperti
CCR1, dan CCR3. Perbedaan Genetik pada host juga mempengaruhi kemampuan HIV dalam
menginfeksi. Progresivitas dari penyakit, dan respon pengobatan. Mutasi genetic pada orangorang tertentu yang sering ditemukan pada ras putih seperti mutase pada CCR532 yang
menyebabkan tidak adanya CCR5 memiliki efek protektif terhadap infeksi HIV. 2
Skema. siklus hidup virus

Biasanya CD4 limfosit bermigrasi ke jaringan limfe dalam merespon adanya antigen virus,
kemudian menjadi aktif dan berproliferasi, hal ini menjadikan CD4 rentan terhadap infeksi
virus HIV. Migrasi yang disebabkan antigen ini menyebabkan akumulasi sel CD4 pada
jaringan limfe dan berkontribusi pada limfadenopati generalisata yang menjadi karakteristik
syndrome retroviral akut pada orang dewasa dan remaja.
Ketika replikasi virus HIV mencapai batas tinggi (biasanya setelah minggu ke 3 6),
terjadi lonjakan viremia dalam plasma. Viremia ini menyebabkan gejala flu atau gejala
mononucleosis (demam, rash, limfadenopati, atrhalgia) pada 50 70% dewasa yang
terinfeksi.
Dengan terbentuknya respon sellular dan humoral dalam 2-4 bulan, jumlah viral load
dalam darah akan menurun, dan pasien masuk pada fase tak bergejala.
Replikasi awal virus HIV-1 pada anak tidak menunjukan gejala klinis. Walaupun di
tes dengan PCR, kurang dari 40% yang terdeteksi pada saat lahir. Virus load meningkat pada
1 4 bulan, dan hampir semua anak terdeteksi virus HIV dari darah perifer pada bulan ke 4.
Mekanisme menurunnya jumlah CD4 pada dewasa dan anak termasuk, HIV-mediated
single cell killing, formation of multinucleated giant cells dari CD4 yang terinfeksi dan yang
tidak terinfeksi, virus-specific immune responses (sel natural killer, antibody-dependent
cellular cytotoxicity), superantigen-mediated activation of T cells, autoimmunity, dan
programmed cell death(apoptosis). Beban viral lebih banyak di jaringan limfoid dari pada di
darah perifer pada periode asimtomatik.
Monosit dan makrofag dapat terinfeksi oleh HIV dan tidak terkena efek cytopathic
dari virus, dengan masa hidup yang panjang, menjelaskan peran mereka sebagai reservoir
bagi virus HIV.
Anak yang terinfeksi HIV memiliki perubahan pada system imun yang mirip dengan
yang terjadi pada orang dewasa. Berkurangnya jumlah CD4 akan tampak lebih sedikit
dibandingkan dewasa karena pada bayi umumnya memiliki relative lymphocytosis. Jumlah
CD4 1.500 sel/uL pada anak kurang dari 1 tahun menandakan penurunan yang banyak
dibandingkan CD4 <200 pada dewasa. Lymphopenia jarang ditemukan pada anak yang
terinfeksi saat lahir dan biasanya hanya terlihat pada anak yang lebih tua dengan end-stage
disease.

Keterlibatan Sistem saraf pusat lebih umum dijumpai pada pasien anak dibandingkan
pada orang dewasa. Makrofag dan mikroglia memainkan peran penting dalam
neuropathogenesis HIV, dan data menunjukkan bahwa astrosit mungkin juga terlibat.
Meskipun mekanisme khusus untuk ensefalopati pada anak-anak yang belum jelas, otak
berkembang di bayi muda dipengaruhi oleh minimal 2 mekanisme. Virus itu sendiri mungkin
langsung menginfeksi berbagai sel-sel otak atau menyebabkan kerusakan langsung pada
sistem saraf dengan pelepasan sitokin (IL-1, IL-1, TNF-, IL-2) atau oksigen reaktif dari
limfosit yang terinfeksi HIV atau makrofag.
Terapi yang tepat dengan ARV dapat mengakibatkan immune reconstitution
inflammatory syndrome (IRIS), yang ditandai oleh respon inflamasi yang meningkat akibat
pulihnya sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi oportunistik subklinis (misalnya,
Mycobacterium, virus herpes simpleks [HSV] infeksi, toksoplasmosis, sitomegalovirus
[CMV] infeksi, pneumonia, infeksi kriptokokus). Kondisi ini lebih umum diamati pada
pasien dengan progresif Penyakit dan CD4 + T-limfosit deplesi berat. Pasien dengan IRIS
mengembangkan demam dan memburuknya manifestasi klinis dari infeksi oportunistik atau
manifestasi baru (misalnya, pembesaran kelenjar getah bening, infiltrat paru), biasanya dalam
beberapa minggu 1 setelah mulai ART.
Menentukan apakah Gejala yang timbul merupakan IRIS, perburukan infeksi saat ini,
infeksi oportunistik baru, atau akibat toksisitas obat sering sangat sulit. Jika sindromadalah
benar IRIS, menambahkan agent antiinflamasi nonsteroid atau kortikosteroid dapat
mengurangi reaksi inflamasi, meskipun penggunaan kortikosteroid masih kontroversial.
Peradangan dapat mencapai beberapa minggu atau bulan untuk mereda. Dalam kebanyakan
kasus, kelanjutan pengobatan anti-HIV sementara mengobati infeksi oportunistik (dengan
atau tanpa agen antiinflamasi) sudah cukup. Jika infeksi oportunistik diduga sebelum dimulai
ART, pengobatan antimikroba yang sesuai harus diberikan terlebih dahulu.2

F. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir dengan infeksi HIV jarang menimbulkan gejala saat lahir. Pada
pemeriksaan fisiknya juga tidak ditemukan perbedaan dengan bayi yang tidak terinfeksi.
Akan tetapi 30 80% bayi yang terinfeksi akan menunjukan gejala dalam tahun pertama
kehidupan. Hepatomegali, splenomegaly, limfadenopati, parotitis dan infeksi saluran nafas
berulang adalah tanda yang berkaitan dengan perkembangan yang lambat. Severe bacterial
infection, Progresive nerologic disease, anemia dan demam terkait dengan perkembangan
penyakit yang cepat. Pemberian ARV dapat memperlambat atau mencegah perkembangan
penyakit, oleh karena itu menegakkan diagnosis diawal sangat lah penting.1
Bayi dengan infeksi HIV sangat rentan terkena Pneumocystis Jiroveci pneumonia
(PCP), dengan insiden tertinggi saat berumur 2 6 bulan. Oleh karena itu pemberian
profilaksis untuk PCP mulai dari saat berumur 4 6 minggu. Bila terbukti tidak terinfeksi
saat berumur 6 minggu, profilaksis dapat dihentikan. Pada bayi yang mendapatkan ASI
profilaksis dapat terus diberikan sampai infeksi HIV dapat disingkirkan setelah penghentian
pemberian ASI.
Selama periode pemberian ARV profilaksis, beberapa bayi dapat timbul anemia atau
neutropenia yang biasanya tidak menimbulkan terlalu tampak dari klinisnya. Akan tetapi bayi
yang telah terbukti terinfeksi HIV umumnya akan sehat. Beberapa studi menemukan adanya
kemungkinan gangguan pertumbuhan dan perkembangan, daya tahan, dan beberapa
penurunan fungsi organ, akan tetapi belum sepenuhnya berarti secara klinis.
Pada Remaja dan dewasa dengan infeksi akut HIV, akan muncul gejala yang tidak
spesifik seperti flu atau mononulcosis-like illness dimulai 2-4 minggu setelah paparan,
umumnya tidak cukup parah sehingga membawa orang berobat. Sindrom retroviral akut ini
sulit dibedakan dengan infeksi virus lainnya. Gejala yang lebih jarang terjadi namun lebih
spesifik yaitu adanya generalized limfadenopati, rash, oral dan genital ulcer, aseptic
meningitis, dan thrush. Umumnya antibody HIV akan terdeteksi setelah minggu ke-6, akan
tetapi pada sebagian orang dapat baru muncul pada bulan ke 3-6 setelah paparan.

Menurut perjalanan penyakitnya, CDC mengklasifikasian tiap anak baik dari stadium klinis
dan jumlah CD4 nya, sebagai berikut :1

Who juga membuat klasifikasi stadium klinis yang banyak digunakan diluar :

Klinis

Stadium Klinis WHO

Asimtomatik

Ringan

Sedang

Berat

Anak anak dengan HIV juga memiliki peningkatan resiko terkena keganasan, salah satu yang
paling sering adalah limfoma hodkin yang timbul pada tempat yang tidak biasa (CNS, tulang,
saluran cerna, liver, dan paru). Infeksi HPV pada cervix lebih cenderung berkembang
menjadi keganasan, dan resiko ini tidak berkurang dengna pemberian HAART.

G. Pemeriksaan Penunjang

Penegakan infeksi HIV pada anak diatas 18 bulan dapat dilakukan dengan mendeteksi
HIV antibody dengan pemeriksaan immunoassay atau dengan rapid antibody tests. Untuk
memastikan biasanya digunakan Western blot, immune fluorescent antibody atau rapid test
ke-2 dengan antigen dari produsen yang berbeda atau metode yg berbeda, harus dilakukan
karena terdapat kemungkinan false positif pada kasus-kasus tertentu dimana terjadi crossreacting antibodies.
Perjalanan penyakit HIV ditandai dengan penurunan dari jumlah total dan persetase
CD4 T limfosit dan peningkatan persentase dari CD8 T limfosit. Jumlah CD4 T limfosit
penting sebagai prediksi tingkat resiko kemingkinan terkena infeksi oportuniistik.
Bayi dan anak yang sehat memiliki jumlah CD4 T limfosit yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dewasa; ini kemudian menurun ke level dewasa saat berumur 5-6 tahun. Oleh
karena itu untuk menilai jumlah CD4 T limfosit pada anak digunakan table yang telah
disesuaikan dengan umur. Akan tetapi persentase CD4 T limfosit tidak terlalu berbeda dengan
dewasa, juga dapat digunakan sebagai parameter.
Hipergammaglobuline dari IgG, IgA, dan IgM juga dapat terjadi, walaupun pada
perjalanan lanjut, pada beberapa individu terjadi hypogammaglobulinemia. Kelainan
pemeriksaan darah (anemia, neutropenia, trombositopenia) juga dapat terjadi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat normal atau terdapat peningkatan protein dan
mononuclear pleocytosis. HIV nucleid acid testing dapat positif pada CSF.1

H. Diagnosis

Bagan. Alur diagnosis HIV pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan3

Bagan. Alur diagnosis HIV pada anak > 18 bulan, remaja dan dewasa

Tabel. Interpretasi hasil pemeriksaan anti HIV 3

Hasil tes
Positif

Kriteria

Tindak Lanjut

Bila hasil A1 reaktif,


A2

reaktif

dan

A3

A1

non

Rujuk ke pengobatan HIV

Bila

reaktif
Negatif

Bila

hasil

reaktif

tidak

beresiko,

dianjurkan

perilaku hidup sehat

Bila hasil A1 reaktif

Bila beresiko dianjurkan pemeriksaan

tapi pada pengulangan

ulang minimum 3 bulan, 6 bulan, dan

A1 dan A2 non-reaktif

12 bulan dari pemeriksaan pertama


sampai satu tahun

Bila salah satu reaktif


tapi tidak beresiko

Indeterminate

Bila

dua

hasil

tes

reaktif

baru minimal setelah dua minggu dari


pemeriksaan yang pertama

Bila hanya 1 tes reaktif


tapi mempunyai resiko

Tes perlu diulang dengan specimen

atau pasangan beresiko

Bila

hasil

tetap

indeterminate,

dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR.

Bola sarana pemeriksaan PCR tidak


memungkinkan, rapid tes diulang 3
bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari
pemeriksaan
sampai

satu

indeterminate

yang
tahun
dan

pertama.
hasil
factor

Bila
tetap
resiko

rendah, hasil dapat dinyatakan sebagai


negatif.

I. Diagnosis Banding

Infeksi HIV harus selalu terpikirkan bila pada evaluasi terdapat tanda-tanda
immunodefisiensi, tergantung pada keadaan infeksi HIV dapat menyerupai B-Cell
(hypogammaglobinemia), T-Cell, atau kombinasi imunodefisiensi.
Infeksi HIV juga harus dipertimbangkan pada keadaan-keadaan seperti gagal tumbuh,
keterlambatan perkembangan, infeksi paru kronik, dan infeksi M.tuberculosis,
Infeksi kronik HIV dengan tanda pembengkakan limfadenopaty generalisata atau
hepatosplenomegaly juga dapat muncul pada infeksi virus seperti EBV atau CMV pada anak
atau remaja. Pemeriksaan darah adalah wajib dalam menegakkan diagnosis HIV.1

J. Pengobatan
Indikasi pemberian ARV :3
Tabel. Indikasi Pemberian ARV
Populasi

Rekomendasi

Dewasa dan anak > 5 tahun

Inisiasi ART pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan


4, atau jika jumlah CD4 < 350 sel/mm
Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan
berapapun jumlah CD4

Koinfeksi TB

Koinfeksi Hepatitis

Ibu hamil dan menyusui HIV +

Orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negative


(pasangan serodiskordan)

LSL,PS,Transgender,Waria, atau penasun

Populasi umum di daerah dengan epidemic HIV


meluas

Anak < 5 tahun

Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan

berapapun jumlah CD4


* Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam 2-8
minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada ODHA dengan CD4
kurang dari 50 sel/mm, ARV harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan TB.
Untuk ODHA dengan meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobatan
kriptokokus.

Pemberian ARV
1. Pemberian ARV pencegahan pada bayi
Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV (+), baik yang diberi ASI eksklusif maupun
susu formula, diberi Zidovudin dalam 12 jam pertama selama 6 minggu.
Tabel. Dosis Zidovudin untuk pencegahan penularan HIV pada bayi
Keadaan Bayi

Dosis Zidovudin

Bayi cukup bulan

Zidovudin 4mg/KgBB/12 jam selama 6 minggu, atau dengan


dosis disederhanakan :
Berat lahir 2000-2499g = 10mg 2x sehari
Berat lahir > 2500 g = 15mg 2x sehari
Bayi dengan berat < 2000g harus mendapat dosis mg/kg,
disarankan dengan dosis awal 2mg/Kg sekali sehari

Bayi premature < Zidovudin 2mg/KgBB/12 jam selama 4 minggu pertama,


30 miggu
Bayi

kemudian 2mg/KgBB/8 jam selama 2 minggu

premature Zidovudin 2mg/KgBB/12 jam selama 2 minggu pertama,

30 35 minggu

kemudian

mg/KgBB/8

jam

4mg/KgBB/12 jam selama 2 minggu

2. Pemberian ARV pengobatan pada bayi

selama

minggu,

lalu

Panduan ARV terdiri dari 3 jenis obat ARV yang terdiri dari 2 golongan NRTI dan 1
NNRTI untuk anak dan dewasa sebagaimana tercantum pada table dibawah.
Tabel pantuan ARV lini pertama pada anak usia <5 tahun
Pilihan NRTI ke-1

Pilihan NRTI ke-2

Pilihan NNRTI

Zidovudin (AZT)

Lamivudin

Nevirapin (NVP)

Stavudin (d4T)

Efavirenz (EFV)

Tenofovir (TDF)
* Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama. Namun bila Hb anak < 7,5g/dl maka
dipertimbangkan pemberian Stavudin (d4T).
* Dengan adanya resiko efek samping pada penggunaan d4T jangka panjang, maka
dipertimbangkan mengubah d4T ke AZT (bila Hb anak > 8 gl/dl) setelah pemakaian
6-12 bulan. Bola terdapat efek anemia berulang maka dapat kembali ke d4T.
* Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak di atas 2 tahun. Selain itu perlu
dipertimbangkan efek samping osteoporosis pada tulang anak yang sedang bertumbuh
karena penggunaan ARV diharapkan tidak mengganggu pertumbuhan tinggi badan.
* EFV dapat digunakan pada anak > 3tahun atau BB > 10kg, jangan diberikan pada
anak dengan gangguan psikiatrik berat. EFV adalah pilihan pada anak dengan TB.
Jika berat badan anak memungkinkan, sebaiknya gunakan KDT

Tabel. Panduan ARV Lini pertama pada anak usia 5 tahun ke atas dan Dewasa
ARV

Formula

Panduan pilihan

TDF

(atau

FTC)

EFV

3TC Tablet

TDF Dewasa : 1 tablet, 1xsehari

+ 300mg

dalam 3TC300mg

bentuk KDT

EFV 600mg

Anak BB>35 kg : 1 tablet,


1x sehari

Panduan

AZT + 3TC + Tablet

AZT Dewasa : 1 tablet, 2x

alternative

EFV (atau NVP) 300mg

3TC sehari, EFV 1x sehari

150mg

EFV

600mg
Panduan

TDF

3TC Tablet

alternative

(atau

FTC)

+ 300mg

NVP

Anak : sesuai berat badan

TDF Dewasa 1 tablet, 1x sehari


+

3TC untuk

NVP

1x

sehari

300 mg + NVP (selama 14 hari pertama)


200mg

dan setelahnya 2x sehari


Anak : Sesuai berat badan

Pengobatan pencegahan kotrimoksazol diberikan sesuai dengan kriteria pada table


berikut. Kotrimoksazol diberikan satu kali 960mg/hari pada dewasa, sementara pada anak
diberikan dengan dosis timetoprim 4-6 mg/KgBB/hari. Pemantauan dilakukan melalui
penilaian klinis setiap 3 bulan.3
Tabel. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol
Usia

Kriteria Inisiasi

Bayi terpajan HIV

Semua

bayi,

Kriteria pemberhentian
dimulai

minggu setelah lahir

usia 6 Sampai resiko transmisi HIV


berakhir atau infeksi HIV sudah
disingkirkan

Bayi HIV <1 tahun

Semua bayi

Sampai 1 tahun tanpa melihat %


CD4 atau gejala klinis

Anak HIV 1-5 tahun

Stadium klinis WHO 2,3, dan 4 Bila CD4 mencapai > 25%
tanpa melihat % CD4 atau

Stadium klinis WHO berapapun


dan CD4 <25%
>5 tahun dewasa

Stadium klinis WHO berapapun CD4> 200 sel/mm setelah 6


dengan CD4 < 200 sel/mm, atau

bulan ARV

stadium klinis WHO 3 atau 4

Jika tidak tersedia pemeriksaan


CD4, PPK diberhentikan setelah
2 tahun ART

Tuberkulosis
nilai CD4

aktif,

berapapun Sampai pengobatan TB selesai


apabila CD4 > 200 sel/mm

Lampiran

Formulasi

dan

dosis

anti

retroviral

K. Prognosis
Meningkatnya pemahaman akan pathogenesis dari infeksi virus HIV pada anak anak
dan ketersediaan obat antiretroviral telah lumayan merubah prognosis. Semakin awal cART
dimulai semakin baik prognosisnya. Sebuah percobaan klinis yang ditujukan pemberian
pengobatan secepat mungkin setelah persalinan dimana tersedia akses untuk diagnosis lebih
awal, tingkat progresivitas menjadi AIDS telah sangat berkurang. Sejak ditemukannya cART
pada pertengahan 1990, angka kematian pada anak yang terinfeksi HIV telah menurun lebih
dari 90% dan banyak yang bertahan sampai remaja dan dewasa. Indicator yang dapat
menentukan prognosis adalah dengan ditekannya viral load pada plasma dan pengembalian
jumlah hitung CD4 limfosit. Pada viral load <100.000 copies/mL. jarang dijumpai
perkembangan penyakit yang cepat, tetapi sebaliknya pada viral load >100.000 copies/mL
berkaitan dengan resiko perburukan dan kematian.
Jumlah CD4 limfosit <15% juga diasosiasikan dengan meningkatnya angka mortalitas
Anak-anak dengan infeksi oportunistik, ensefalopati dan kemunduran perkembangan,
atau wasting syndrome memiliki prognosis yang paling buruk, dengan 75% meninggal
sebelum berusia 3 tahun.
Resiko yang lebih tinggi juga didokumentasikan pada anak yang tidak mendapat
terapi preventif TMP-SMZ. Demam persisten dan/atau oral thrush, infeksi bakteri yang serius
(meningitis,

pneumoni,

sepsis),

hepatitis,

anemia

persisten

(<8g/dL)

dan/atau

trombositopenia (<100.000/uL) juga mengarah pada prognosis yang buruk, dengan >30%
meninggal sebelum usia 3 tahun. 2

L. Pencegahan
Penggunaan anti retroviral sebagai upaya untuk mencegah transmisi ibu ke anak pada
saat persalinan merupakan suatu pencapaian pada penelitian HIV. Pemberian cART pada itu
terbukti menurunkan penularan HIV-1 pada persalinan menjadi <2%, dan <1% pada ibu
dengan level RNA <1000 copies/mL pada saat melahirkan. Oleh sebab itu, direkomendasikan
pada setiap wanita hamil untuk dilakukan tes penyaringan HIV, dan bila positif diterapi
dengan cART regimen, tanpa melihat kondisi viral load atau hitung CD4. Setelah bayi lahir
juga diberikan profilaksis ZDV selama 4-6 minggu.

Sebagai langkah pencegahan persalinan dengan Sectio cesarean pada wanita dengan
viral load >1000 copies/mL menjelang persalinan lebih jauh lagi menurunkan resiko
penularan secara vertical.
Penelitian multinational randomized, controlled trial pada neonaturs yang ibunya
tidak mendapatkan terapi ARV selama hamil menunjukan profilaksis dengan 2 atau 3 ARV
regimen

lebih

baik

dibandingkan

hanya

dengan

ZDV.

U.S

Guideline

Panel

merekomendasikan bayi yang lahir dari wanita terinfeksi HIV yang tidak mendapatkan ARV
pada saat hamil atau hanya mendapatkan ARV menjelang keleahiran, atau yang memiliki
HIV RNA >1000 copies/mL menjelang kelahiran, harus mendapat profilaksis ZDV selama 6
minggu dikombinasikan dengan 3 dosis NVP pada 1 minggu awal kehidupan ( pada saat
lahir, 48 jam setelahnya, dan 96 jam setelah dosis ke-2), dimulai sesegera mungkin setelah
lahir.
WHO merekomendasikan semua ibu hamil yang menerima cART regiman,
meneruskan pengobatannya setidaknya selama menyusui (pada Negara berkembang) dan
seumur hidupnya. Pendekatan ini berpotensi menurunkan resiko penularan pada saat
menyusui dan kehamilan berikutnya, menurukan resiko penularan ke pasangan sexual, dan
meningkatkan maternal survival.
Walaupun cara yang paling efektif untuk mencegah penularan postpartum adalah
dengan tidak memberikan ASI dan menggantinya dengan pengganti ASI, data membuktikan
pada Negara berkembang ini tidak aman karena tingginya tingkat malnutrisi dan diare pada
bayi yang diberi susu formula oleh karena kurang tersedianya air bersih. Lebih lagi
pemberian ASI eksklusif mempunyai resiko penularan yang lebih rendah dibandingkan
dengan mixed feeding. Guideline telah berubah dan merekomendasikan pemberian ASI pada
bayi setidaknya sampai usia 12 bulan, dengan ASI eksklusif sampai 6 bulan dan ARV harus
terus diberikan pada ibu dan bayi paling tidak sampai 1 minggu setelah ASI di hentikan.
Pada Negara maju dengan terjaminnya pengganti ASI yang bersih, pemberian
pengganti ASI direkomendasikan.
Pencegahan penularan HIV secara seksual termasuk menghindari pertukaran cairan
tubuh dengan menggunakan Pengaman saat berhubungan. 2

TUBERKULOSIS PADA HIV


A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB anak adalah penyakit TB yang terjadi
pada anak usia 0 14 tahun.
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan
pada anak terinfeksi HIV dan menyebabkan angka kesakitan dan angka kematian pada
kelompok tersebut. Meningkatnya jumlah kasus TB pada anak terinfeksi HIV
disebabkan tingginya transmisi Mycobacterium tuberculosis dan kerentanan anak
(CD4 kurang dari 15%, umur di bawah 5 tahun)

B. Epidemiologi
Sampai saat ini, benua Afrika masih menjadi region terbanyak dengan
penduduk yang terinfeksi HIV/AIDS. Berdasarkan fakta epidemiologi HIV/AIDS di
Afrika Selatan menurut UNAIDS (United Programmes on HIV AIDS) pada tahun
2008 ini, bahwa sekitar 5,7 juta (64%) orang yang telah menjadi ODHA (Orang
Dengan HIV AIDS), dengan rata-rata prevalensi usia 15-49 tahun sekitar 5,4 juta
orang, 3,2 juta diantaranya termasuk wanita 15 tahun keatas, 280.000 anak-anak usia
0-14 tahun dan telah tercatat 350.000 pengidap HIV AIDS anak yang meninggal.
Kemudian disusul Asia Tenggara yaitu sekitar 15 % dari total keseluruhan, sehingga
menyebabkan kematian lebih dari 500.000 anak.
Kasus koinfeksi TB-HIV terjadi sebanyak 24% - 45% kasus TB pada infeksi
HIV asimptomatik dan sebanyak 70% pada pasien anak dengan AIDS, dengan bentuk
terbanyak adalah TB ekstrapulmoner termasuk limfadenitis, bakteremia, penyakit
sistem saraf pusat (tuberkuloma, meningitis TB).
Infeksi HIV/AIDS pada anak umumnya ditularkan oleh ibu secara vertikal
pada saat hamil, melahirkan, dan menyusui. Oleh karena itu, penderita terbanyak
ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun (lebih dari 66%), sedangkan anak

yang berusia antara 5-10 tahun sebanyak 26%, dan yang berusia lebih dari 10 tahun
hanya 7,9%. Sebagian besar penderita (92,7%) berasal dari daerah perkotaan,
kemudian sisanya berasal dari pedesaan. Sekitar 26% penderita sudah kehilangan
orang tua (ibu atau ayah) karena meninggal akibat menderita penyakit HIV/AIDS.
Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi oportunistik utama yang
berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas penderita infeksi HIV/AIDS di negaranegara berkembang termasuk di Indonesia, dan merupakan penyebab 30% kematian
pada populasi AIDS. Hasil survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan di
beberapa propinsi menunjukkan angka ko-infeksi TB-HIV yang bervariasi, yaitu 24%
di Bali, 32% di Jawa Timur, dan 10% di Jakarta.

C. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang
lurus kadang dengan ujung melengkung, gram positif, lemah, pleiomorfik, tidak
bergerak, tidak membentuk spora, dengan ukuran panjang 2-4/um dan tebal 0,30,6/um, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan . Kuman
merupakan aerob wajib (obligat) yang tumbuh pada media sintesis yang mengandung
gliserol sebagai sumber karbon dan garam amonium sebagai sumber nitrogen. MTB
memiliki

dinding

yang

sebagian

besar

terdiri

atas

lipid,

kemudian

peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan
asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat
hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahuntahun dalam lemari es) dimana kuman dalam keadaan dormant. Dari sifat ini
kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif
lagi.
Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag di
dalam jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya
karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini
menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apical paru lebih tinggi dari

bagian lain,

sehingga bagian apical ini merupakan tempat predileksi penyakit

tuberculosis.
D. Patogenesis
Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 m), akan
terhirup dan dapat mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar
dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan
akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis
makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang
dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,
dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB bervariasi selama 212 minggu, biasanya berlangsung selama 48 minggu.
Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah
103104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang

dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji


tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian
besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB
dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB
baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular
spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian
tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga
di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus
dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve
mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas
selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau
berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh

tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai


penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering
di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang
di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses
patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian
hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 26 bulan
setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi
kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam
mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di
bawah dua tahun. Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di
dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar
kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic
spread.

Gambar 4. Patogenesis infeksi TB

E. Manifestasi Klinis
TB pada anak terinfeksi HIV sama dengan yang tidak terinfeksi HIV tetapi
pada anak yang terinfeksi HIV lebih sering mengalami TB diseminata. Tuberkulosis
pada anak terinfeksi HIV sering sulit dibedakan dengan kondisi lain akibat infeksi
HIV seperti Lymphocytic interstitial pneumonitis (LIP), pneumonia bakteri, PCP,
bronkiektasis dan Sarkoma Kaposi. Gejala klinis umum TB pada anak terinfeksi HIV
antara lain batuk persisten lebih dari 3 minggu yang tidak membaik setelah pemberian
antibiotik spektrum luas, malnutrisi berat atau gagal tumbuh, demam lebih dari 2
minggu, keringat malam yang menyebabkan anak sampai harus ganti pakaian, gejala
umum non-spesifik lainnya dapat berupa fatigue (kurang aktif, tidak bergairah).
Indikator yang baik terdapatnya penyakit kronik dan TB anak adalah gagal tumbuh
meskipun keadaan ini dapat pula disebabkan kurang nutrisi, diare kronik dan infeksi
HIV.
Bila anak mengalami gejala respiratori tetapi tidak tampak tanda-tanda
penyakit akut dan pasien telah mendapat antibiotik spektrum luas maka dapat
dicurigai TB. Beberapa kelainan jantung bawaan dan kardiomiopati mempunyai
gejala klinis menyerupai TB paru.

i.

Tuberkulosis Paru dan TB intratorakal lain


Tuberkulosis intratorakal dapat bermanifestasi sebagai TB paru, efusi pleura,
efusi perikardial dan TB milier. Tuberkulosis paru pada anak terinfeksi HIV
menunjukkan gejala yang sama dengan anak yang tidak terinfeksi HIV. Gejala
klinisnya sering menyerupai gejala klinis penyakit komorbid pada saluran napas
misalnya LIP, PCP, pneumonia dan bronkiektasis. Gambaran radiologi TB milier
menyerupai gambaran radiologi LIP. Tuberkulosis paru anak sering memberikan
gambaran radiologi berupa atelektasis karena terdapat penekanan bronkus yang
disebabkan oleh pembesaran KGB hilus sehingga terjadi kolaps alveoli. Pada
pemeriksaan fisis dapat ditemukan wheezing/mengi sehingga sering didiagnosis asma
tetapi tidak membaik dengan pemberian bronkodilator. Tuberkulosis milier
merupakan hasil penyebaran hematogen dengan jumlah kuman yang besar, yang
tersangkut di ujung kapiler paru dan membentuk tuberkel dengan ukuran sama yang

menyerupai butir-butir padi (millet sheed). Efusi pleura dapat berbentuk serosa
(paling sering) atau empiema TB (jarang) terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe
lambat antigen kuman TB pada rongga pleura. Sebagian besar efusi pleura TB bersifat
unilateral. Efusi perikardial TB jarang ditemukan pada anak, terjadi akibat invasi
kuman secara langsung atau melalui drainase limfatik.

ii.

Limfadenitis TB
Biasanya merupakan komplikasi dini TB primer, terjadi setelah 6 bulan
terinfeksi akibat penyebaran hematogen atau limfogen. Manifestasi klinis tersering
terjadi di KGB leher (limfadenitis colli), KGB di aksila dan inguinal. Limfadenitis
colli umumnya terjadi di daerah anterior. Pembesaran KGB bersifat kenyal, tidak
nyeri tekan, multipel atau membentuk massa akibat pembesaran beberapa kelenjar
yang berlekatan menjadi satu (confluent). Pembesaran KGB generalisata dapat
disebabkan oleh infeksi HIV. Pembesaran KGB aksila dapat disebabkan oleh immune
reconstitution inflammatory syndrome (IRIS) pada anak terinfeksi HIV yang sedang
mendapat ART dalam 3 - 6 bulan pertama. Biakan MTB dari biopsi aspirasi jarum
halus/fine-needle aspiration biopsy (FNAB) dapat membantu diagnosis. Gambaran
histopatologi dapat ditegakkan bila ditemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid,
limfosit dan sel datia Langhans.

iii.

Tuberkulosis susunan saraf pusat


Merupakan komplikasi TB paling serius dan berakibat fatal bila tidak
diberikan pengobatan yang tepat. Tuberkulosis SSP dapat bermanifestasi menjadi 3
bentuk yaitu meningitis (paling banyak), tuberkuloma dan arakhnoiditis spinalis.
Gejala klinis meningitis TB pada anak dibagi menjadi fase prodromal (selama
2-3 minggu, berupa malaise, sefalgia, demam tidak tinggi dan muntah) dan fase
meningitik (gejala prodromal makin hebat, defisit neurologis dan disfungsi nervus III,
VI, VII) dan fase paralitik (penurunan kesadaran sampai sopor atau koma, hipertensi,
hidrosefalus dan deserebrasi). Pada pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)
memberikan gambaran khas berupa penurunan kadar glukosa kurang dari 50%

glukosa darah, peningkatan kadar protein >100 mg/dL, hitung sel 10-1000 atau
ditemukan MTB. Salah satu faktor yang memperburuk meningitis TB dan
meningkatkan angka kematiannya adalah infeksi HIV. Meningitis TB jarang
ditemukan pada bayi umur < 3 bulan kecuali pada bayi yang terinfeksi HIV.
Tuberkuloma adalah massa seperti tumor yang terbentuk dari agregasi tuberkel
perkijuan. Di wilayah endemis TB, tuberkuloma ditemukan pada 40% anak yang
didiagnosis tumor otak. Pada anak umumnya infratentorial pada basis kranii di dekat
serebelum sedangkan pada dewasa di supratentorial. Lesi dapat tunggal atau multipel.
Gejala klinisnya berupa sakit kepala, muntah, kejang, kelumpuhan ekstremitas dan
gejala umum TB. Uji tuberkulin umumnya positif dan foto toraks sering tidak
ditemukan kelainan. Tindakan operasi tidak diperlukan karena tuberkuloma membaik
dengan pemberian OAT. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan Computed
Tomography (CT)-scan kepala atau Magnetic Resonance Imaging (MRI).

iv.

Tuberkulosis Abdomen
Tuberkulosis abdomen dapat bermanifestasi sebagai peritonitis, TB intestinal
(enteritis TB) atau bentuk yang sangat jarang yaitu TB orofaring. Gejala utama
peritonitis TB berupa asites disertai pembesaran kelenjar para-aorta dan mesenterik.
Kadang terjadi perlekatan antara peritoneum, omentum dan KGB sehingga teraba
sebagai massa ireguler, kasar dan tidak nyeri tekan. Selain gejala peritonitis TB,
ditemukan pula gejala sistemik TB. Uji tuberkulin umumnya positif.
Gejala TB abdomen umumnya bersifat kronik. Tuberkulosis enteritis dapat
menimbulkan keadaan akut abdomen. Tuberkulosis enteritis merupakan hasil
penyebaran hematogen atau tertelannya tuberkel kuman TB yang dibatukkan dari
paru. Tempat yang paling sering terkena adalah jejunum dan ileum. Gejala yang dapat
ditemukan berupa distensi abdomen, nyeri perut, mual, muntah, diare, konstipasi dan
perdarahan

gastrointestinal

(hematosezia

lebih

sering dibandingkan

dengan

hematemesis). Bila ditemukan gejala kronik saluran cerna disertai hasil uji tuberkulin
positif maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan untuk konfirmasi TB (pemeriksaan
kolonoskopi dan Ultrasonografi/USG Abdomen).
v.

Tuberkulosis Kulit

Secara klinis, TB kulit yang paling sering ditemukan adalah skrofuloderma,


terjadi akibat penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar getah bening di bawahnya
yang terinfeksi MTB. Sekret yang keluar dapat berupa cairan purulen atau kaseosa.
Selanjutnya akan membentuk jaringan parut dan dapat juga berupa massa yang
fluktuatif. Gejala klinis sistemik dan pemeriksaan penunjang sama seperti TB paru.

vi.

Tuberkulosis Tulang
Dapat bermanifestasi sebagai TB tulang belakang atau spondilitis TB (paling
sering), TB sendi panggul atau koksitis TB dan TB sendi lutut atau ghonitis TB.
Selain gejala sistemik TB, dapat juga ditemukan gejala spesifik berupa bengkak,
kaku, kemerahan, nyeri pada pergerakan. Perjalanan penyakit bersifat kronik, sering
ditemukan setelah terjadi trauma. Tuberkulosis tulang belakang disebut gibbus yaitu
berupa tonjolan pada tulang belakang yang merupakan abses dingin. Koksitis TB
umumnya menunjukkan gejala berjalan pincang atau kesulitan berdiri. Ghonitis TB
ditandai dengan sulit berjalan dan berdiri serta atrofi otot paha dan betis. Anak
terinfeksi HIV lebih mudah terkena TB tulang dibandingkan yang tidak terinfeksi
HIV.
Pemeriksaan foto tulang belakang merupakan penunjang diagnosis yang
utama. Gambaran foto tulang belakang berupa destruksi di antara korpus vertebra
yang berdekatan dengan jarak antara dua korpus vertebra melebar, tepi korpus bagian
anterior bergerigi, terbentuk gibbus dan kalsifikasi jaringan lunak di sekitar korpus.

vii.

Diagnosis
Diagnosis TB anak sampai saat ini masih banyak menghadapi tantangan akibat
sulitnya mendapatkan spesimen pemeriksaan bakteriologi serta rendahnya konfirmasi
bakteriologi yang didapat. Pemeriksaan BTA aspirat lambung pada TB anak
menunjukkan hasil positif pada 10-15% pasien saja. Namun demikian pemeriksaan
bakteriologi (BTA dan biakan M. tuberculosis) tetap harus dilakukan pada setiap
pasien. Konfirmasi bakteriologi dapat dilakukan dengan pengambilan spesimen dari
beberapa tempat yang memungkinkan sesuai dengan manifestasi klinis penyakit TB

nya, antara lain sputum, aspirasi cairan lambung, cairan pleura, induksi sputum,
biopsy jarum halus pada kelenjar getah bening (KGB) yang membesar dan biopsi
jaringan lainnya.
Tanpa konfirmasi bakteriologi, diagnosis TB anak terutama berdasarkan 4 hal
yaitu :

Kontak dengan pasien TB dewasa terutama yang BTA positif

Uji tuberkulin positif

Gambaran sugestif TB secara klinis (misalnya gibus)

Gambaran sugestif TB pada foto toraks


Diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV lebih sulit dibandingkan yang tidak

terinfeksi HIV karena :

Beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan HIV, termasuk TB, banyak
mempunyai kemiripan gejala.

Interpretasi uji tuberkulin kurang dapat dipercaya. Anak dengan kondisi


imunikompromais mungkin menunjukkan hasil negatif meskipun sebenarnya
telah terinfeksi TB.

Anak yang kontak dengan orang tua pengidap HIV dengan BTA sputum positif
mempunyai kemungkinan terinfeksi TB maupun HIV. Jika hal ini terjadi, dapat
terjadi kesulitan dalam tatalaksana dan mempertahankan keteraturan pengobatan.
Kementrian Kesehatan Indonesia telah mengeluarkan Permenkes 21 tahun

2013, semua pasien TB wajib ditawarkan untuk tes HIV melalui pendekatan TIPK
(Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan). WHO merekomendasikan dilakukan
pemeriksaan HIV pada suspek TB maupun sakit TB. Kecurigaan adanya HIV pada
penderita terutama :

Gejala-gejala yang menunjukkan HIV masih mungkin, yaitu infeksi berulang (> 3
episode dalam infeksi bakteri yang sangat berat (seperti pneumonia, meningitis,
sepsis, dan sellulitis) pada 12 bulan terakhir), bercak putih di mulut (thrush),
parotitis kronik, limfadenopati generalisata, hepatomegaly tanpa penyebab yang
jelas, demam yang menetap dan atau berulang, disfungsi neurologis, herpes
zoster, dermatitis HIV, penyakit paru supuratif yang kronik (chronic suppurative
lung disease)

Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim
ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV, yaitu : otitis media kronik,
diare persisten, gizi kurang atau gizi buruk.

Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV, yaitu :
PCP (Pneumocystis carinii pneumonia), kandidiasis esophagus, LIP (lymphoid
interstitial pneumonitis) atau Sarkoma Kaposi.

viii.

Diagnosis sistem Skoring1


Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,
dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.
Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh
para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah
satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di fasilitas
pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak
terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana
sehingga

diharapkan

dapat

mengurangi

terjadinya

underdiagnosis

maupun

overdiagnosis TB.

Parameter

Kontak TB

Tidak jelas

Laporan

BTA (+)

keluarga, BTA
(-)/BTA tidak
jelas/tidak tahu
Uji
tuberkulin

Negative

Positif ( 10
mm, atau
5 mm pada
keadaan
imunosupres
if)

Skor

Berat

BB/TB

< Klinis

Badan/Keada

90%

atau buruk

an Gizi

BB/U < 80%

gizi atau

BB/TB < 70%


atau BB/U <
60%

Demam yang -

2 minggu

cm, -

tidak
diketahui
penyebabnya
Batuk kronik

3 minggu

Pembesaran

kelenjar limfe

jumlah > 1,

kolli, aksila,

tidak nyeri

inguinal
Pembengkak

Ada

an

pembengkaka

tulang/sendi

panggul,
lutut, falang
Foto toraks

Normal/kela Gambaran
inan

tidak sugestif TB*

jelas
Skor total

Penilaian pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut :

Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai
nilai tertinggi yaitu 3.

Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis
TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.

Pasien dengan jumlah skor 6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan


mendapat OAT.
Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT

(Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat
terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka
OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka
sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

3. Pemeriksaan Penunjang
i.
Uji Tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TBC yang mempunyai sifat
antigenik yang kuat. Jika disuntikan secara intrakutan pada seseorang yang telah
terinfeksi TBC (kompleks primer pada tubuhnya) akan memberikan indurasi dilokasi
suntikan yang terjadi karena vasodilatasi lokal,edema, endapan fibrin dan
meningkatnya sel radang lain di daerah suntikan. Uji tuberkulin mempunyai nilai
diagnostik yang tinggi terutama pada anak dengan sensitivtas dan spesitifitas lebih
dari 90%. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia adalah PPD RT-23 2TU buatan
Statens Serum Institu Denmark, dan PPD (Purified Protein Derivate) dari Biofarma.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara
mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada
bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, dengan menyuntikkan PPD (Purified
Protein Derivate) 5 IU sebanyak 0,1 cc secara intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian
uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari
pembengkakan (indurasi) yang terjadi bukan eritemnya.
Pada anak terinfeksi HIV, uji tuberkulin dikatakan positif bila diameter > 5
mm. Bila hasilnya < 5 mm, TB belum dapat lamgsung disingkirkan karena ada
beberapa keadaan yang menyebabkan negatif palsu. Kondisi yang menyebabkan

negatif palsu adalah infeksi HIV, malnutrisi berat, infeksi bakteri berat, infeksi
virus, obat imunosupresif dan prosedur penyuntikan yang salah.
Interpretasi hasil uji Tuberkulin berdasarkan indurasi yang terbentuk :

0 4 mm
Uji tuberkulin negatif, yang berarti tidak ada infeksi M. tuberculosis.

5 9 mm
Uji tuberkulin meragukan. Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang
dengan M. atipik atau setelah vaksinasi BCG.

10 mm, uji tuberculin positif, yang berarti sedang atau pernah terinfeksi M.
tuberculosis.

Definisi positif uji tuberculin pada bayi, anak dan dewasa


Indurasi 5 mm

Kontak dengan penderita atau suspek penyakit TB.

Anak-anak dengan tanda klinis dan gambaran radiologi penyakit TB.

Anak-anak dengan keadaan imunosupresi seperti HIV dan tranplantasi organ.

Pasien dalam pengobatan immunosupresif seperti kortikosteroid ( 15 mg/24


jam prednison atau sejenisnya selama 1 bulan )

Indurasi 10 mm

Bayi dan anak-anak usia 4 tahun.

Anak-anak dengan kondisi medis lemah yang meningkatkan resiko (penyakit


ginjal, gangguan hematologi, diabetes melitus, malnutrisi, pengguna obat suntik)

Anak-anak yang kontak erat dengan orang dewasa yang beresiko tinggi TB.

Lahir atau baru pindah ( 5 tahun ) dari negara dengan angka prevalensi TB
tinggi.

Indurasi 15 mm

ii.

Anak-anak usia > 4 tahun atau lebih tanpa ada faktor resiko.

Radiologis
Gambaran foto rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lainnya. Interpretasi foto
biasanya sulit, harus hti-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis.
Secara umum, gambaran radiologis sugestif TB pada anak terinfeksi HIV sama
dengan yang tidak terinfeksi, antara lain berupa :

Pembesaran kelenjar hilus.

Efusi pleura

Milier

Kalsifikasi dengan infiltrat

Gambaran pneumonia

Atelektasis

Kavitas

Bronkiektasis
Pada anak terinfeksi HIV, gambaran radiologis LIP menyerupai TB milier. Di

antara berbagai gambaran radiologis tersebut, pembesaran KGB hilus merupakan


gambaran yang paling sering ditemukan.

iii.

Serologi
Pada anak sulit mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan TB, maka di cari
pemeriksaan yang mudah pelaksanaanya yaitu pemeriksaan serologi (imunitas
humoral). Berbagai penelitian pemeriksaan imunologik Ag-Ab spesifik untuk
M.Tuberculosis ELISA dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum cairan
bronkus, cairan pleura, dan LCS.Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di
antaranya adalah PAP TB, mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lainlain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat
membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.

iv.

Mikrobiologi
Pemeriksaan

mikrobiologi

yang

dilakukan

terdiri

dari

pemeriksaan

mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman


M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR.
Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit
mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas
lambung didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur
hasil dinyatakan positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini
PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk
pemeriksaan klinis rutin.

v.

Patologi Anatomi
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya
kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma
tresebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah
granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia langhans.

4. Penatalaksanaan
i. Panduan pengobatan OAT
Tujuan pemberian OAT adalah mengobati pasien dengan efek samping
minimal, mencegah transmisi kuman dan mencegah resistensi obat. Saat ini, paduan
obat TB pada anak yang terinfeksi HIV yang telah disepakati WHO (2011) adalah
INH (H), Rifampisin (R), PZA (Z) dan Etambutol (E) selama fase intensif 2 bulan
pertama dilanjutkan dengan INH dan Rifampisin selama fase lanjutan. Pada TB milier
dan meningitis TB diberikan INH, Rifampisin, PZA, Etambutol dan Streptomisin
selama fase intensif selanjutnya INH dan Rifampisin selama fase lanjutan 10 bulan.

Kategori diagnostik TB pada penderita HIV


TB

ringan,

TB

paru

BTA

Fase awal

negatif, 2RHZE

Fase lanjutan
RH (4 7 bulan)

Limfadenitis TB
TB tulang

2RHZE

RH (4 7 bulan)

TB miliar, TB meningitis

2RHZES

RH (10 bulan)

Pasien TB anak yang terinfeksi HIV mempunyai kecenderungan relaps yang


lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi. Untuk mengatasi hal ini maka
pengobatan TB anak terinfeksi HIV diberikan lebih lama yaitu selama 9 bulan
sedangkan pada TB milier, meningitis TB dan TB tulang selama 12 bulan. Mortalitas
TB pada anak terinfeksi HIV lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi karena
tingginya ko-infeksi oleh patogen lain, absorpsi dan penetrasi OAT terhadap organ
yang terkena pada anak terinfeksi HIV jelek, misdiagnosis, kepatuhan kurang,
malnutrisi berat dan imunosupresi berat.
Pada meningitis TB, TB milier dengan distress pernafasan, efusi pleura dan
efusi

perikardial

diberikan

tambahan

kortikosteroid

berupa

prednisone

mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 6 minggu, selanjutnya di-tapering-off selama 6


minggu.
Tuberkulosis sering didiagnosis sebelum status HIV seorang anak diketahui.
Pemberian OAT pada anak terinfeksi HIV yang akan atau sedang mendapat ARV
harus memperhatikan interaksi antar obat karena pemberian bersama-sama kedua obat
ini dapat menyebabkan pengobatan menjadi tidak optimal serta meningkatkan risiko
toksisitas. Apabila Rifampisin berinteraksi dengan beberapa Non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI) maka kadar plasma NNRTI turun sebesar 20 60%;
sedangkan Protease inhibitor (PI) mmengakibatkan kadar plasma PI akan turun
sebesar 80% atau lebih. Rifampisin dapat diberikan bersama-sama dengan semua jenis
nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI). Rekomendasi pemberian OAT
bersama ARV adalah 2 jenis NRTI dikombinasi dengan efavirenz (EFV). Dosis OAT
tidak memerlukan penyesuaian karena tidak dipengaruhi oleh ARV. Pemberian ARV
dapat dimulai bila anak telah mendapat OAT selama minimal 2 8 minggu selama
syarat untuk pemberian ARV telah terpenuhi.
Masalah yang sering dihadapi pada pengobatan TB anak terinfeksi HIV adalah
respons pengobatan yang kurang baik dan angka relaps yang tinggi. Bila respons

klinis dan radiologi kurang maka pemberian OAT dapat dilanjutkan sampai 9-12
bulan selanjutnya penyebab kegagalan pengobatan harus dievaluasi. Evaluasi respons
klinis dan radiologi yang kurang setelah pemberian OAT 6 bulan meliputi kepatuhan
minum obat, absorpsi obat yang kurang, resistensi obat dan kemungkinan diagnosis
TB salah.
Anti retroviral dan OAT sering menunjukkan gejala toksisitas yang sama
sehingga sulit diidentifikasi obat mana yang menjadi penyebab toksisitas tersebut.
Efek samping OAT lebih sering ditemukan pada pasien yang terinfeksi HIV. Efek
samping OAT paling sering ditemukan pada 2 bulan pertama pengobatan.
Meskipun pemberian INH pada anak jarang menimbulkan neuropati namun
pemberian INH pada anak terinfeksi HIV dan mendapat ARV disarankan untuk
ditambahkan piridoksin (vitamin B6). Rash merupakan efek samping pemberian OAT
yang cukup sering ditemukan, umumnya ringan sehingga tidak perlu menghentikan
pengobatan. Beberapa obat yang dapat menimbulkan rash antara lain kotrimoksazol,
nevirapin, EFV dan abacavir. Bila rash hebat maka OAT harus dihentikan dulu,
selanjutnya bila rash sudah hilang OAT dapat dimulai dengan cara desensitisasi. Efek
lain OAT misalnya pada gastrointestinal (mual, muntah dan diare) umumnya tidak
memerlukan penghentian obat. Apabila terdapat efek hepatotoksik (gangguan fungsi
hati) yaitu SGOT/SGPT meningkat lebih dari 5X nilai normal tertinggi tanpa disertai
ikterus; bilirubin total > 1,5 mg/dL tanpa disertai ikterus; gejala ikterus dengan Uji
fungsi hati normal maka INH, Rifampisin dan PZA dihentikan kemudian diberikan
Etambutol dan Streptomisin. Streptomisin dan Etambutol diberikan tidak lebih dari 2
bulan, sambil dipantau fungsi hati; apabila fungsi hati sudah normal, maka regimen
pengobatan kembali ke INH, Rifampisin dan PZA. Apabila gejala gangguan fungsi
hati tersebut berulang, perlu ditinjau ulang apakah OAT dan ARV dapat diberikan
bersama-sama atau tidak. Sedangkan apabila dalam 2 bulan pemberian Etambutol dan
Streptomisin ternyata fungsi hati masih tetap tinggi (> 5x batas normal tertinggi),
maka sebaiknya pasien dirujuk.
Untuk menghindari terjadinya tumpang tindih efek samping OAT dan ARV
maka bila memungkinkan pemberian ARV ditunda sampai anak mendapat OAT 2
bulan tetapi apabila HIV sangat parah yaitu bila TB disertai penyulit seperti batuk

berdarah atau TB meningitis, maka ARV dapat dimulai setelah 2 8 minggu


pemberian OAT walaupun kemungkinan terjadinya IRIS lebih besar.

ii.

Efek samping pengobatan OAT


Infeksi HIV menyebabkan peningkatan terjadinya efek samping pada anak
yang sedang mendapat OAT terutama efek samping pada kulit dan hepatotoksisitas
karena OAT dan kotrimoksasol.
1. Kulit
Efek samping pada kulit dapat berupa nekrolisis epidermal toksik yang
mengancam kehidupan maupun rash yang tersebar pada wajah, dada dan seluruh
tubuh. Bila pasien mengalami gejala rash, gatal dan demam segera setelah makan
OAT, menunjukkan terdapatnya reaksi hipersensitivitas. Apabila timbul rash ringan
dan tidak ada rasa gatal maka OAT dilanjutkan; apabila disertai sedikit rasa gatal
maka diberikan antihistamin. Penyebab gatal yang lain perlu dipertimbangkan
misalnya skabies. Bila timbul rash disertai rasa gatal dengan atau tanpa efek samping
berat yaitu nekrolisis epidermal toksik atau Steven Johnson syndrome maka semua
jenis OAT harus dihentikan sampai klinis membaik. Bila rash sudah hilang maka OAT
dapat diberikan lagi mulai dosis paling rendah (INH 50 mg, Rifampisin 75 mg)
dinaikkan secara bertahap sampai mencapai dosis yang sesuai dalam waktu 3 hari.
2. Hepatotoksik
Pada anak sakit TB yang terinfeksi HIV maka sebaiknya dilakukan
pemeriksaan uji fungsi hati sebelum pengobatan dimulai. Selanjutnya pemeriksaan uji
fungsi hati sebaiknya diperiksa rutin setiap bulan. Efek hepatotoksik OAT pada anak
terinfeksi HIV lebih sering ditemukan dibanding anak yang tidak terinfeksiHIV. Obat
Anti

TB

lini

pertama

yang

menimbulkan

efek

hepatotoksisitas

adalah

INH,Rifampisin dan PZA. Karena ke-3 obat tersebut diberikan sebagai kombinasi
maka agak sulit untuk menentukan obat mana yang menjadi penyebab gangguan
fungsi hati. Pemberian kembali OAT tersebut setelah hepatotoksisitas hilang,
umumnya tidak menimbulkan efek samping seperti sebelumnya. Streptomisin dan
Etambutol jarang sekali menimbulkan hepatotoksisitas. Gejala klinis hepatotoksisitas
bervariasi mulai dari gangguan fungsi hati ringan sampai kerusakan hati berat yang

menyebabkan gagal hati. Gejala konstitusional berupa lemah, mual, muntah, demam,
mialgia, artralgia dan sakit perut. Drug- induced hepatitis (DIH) karena OAT ini harus
didiagnosis banding dengan hepatitis virus. Bila ditemukan gejala klinis
hepatotoksisitas maka OAT harus dihentikan kecuali bila tetap diperlukan pemberian
OAT maka dapat diberikan Streptomisin dan Etambutol. Obat Anti TB dapat
diberikan kembali 2 minggu setelah gejala klinis hepatotoksisitas hilang atau Uji
fungsi hati normal kembali.
3. Gastrointestinal
Efek gastrointestinal akibat OAT yang paling banyak ditemukan adalah mual,
muntah, dehidrasi dan imbalans elektrolit. Efek samping gastrointestinal umumnya
tidak memerlukan penghentian obat. Efek gastrointestinal sering merupakan gejala
awal efek hepatotoksisitas sehingga diperlukan pemantauan klinis yang baik. Bila
gejalanya ringan sampai sedang maka dapat diatasi dengan cara minum OAT
bersamaan dengan makanan atau diminum segera sebelum tidur atau memberikan anti
emetik. Bila gejala gartritis menonjol maka dapat diberikan antasid atau proton pump
inhibitor (PPI) walaupun antasid akan mengurangi absorpsi rifampisin sebesar 2040%. Antasid atau PPI sebaiknya diberikan 2 jam sebelum atau sesudah makan OAT.
4. Immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS)
Pemberian ART fase awal menyebabkan penekanan replikasi virus HIV secara
cepat (90% virus dalam 1-2 minggu) sehingga terjadi pemulihan sistem imun,
peningkatan CD4 yang besar pada fase inisial yang dilanjutkan dengan penurunan
jumlah virus. Immune reconstitution inflammatory syndrome merupakan kumpulan
gejala atau manifestasi klinis akibat respons imun yang meningkat secara cepat
terhadap berbagai infeksi maupun antigen non infeksius setelah pemberian ARV fase
inisial. Organisme yang paling sering menyebabkan IRIS adalah Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium avium, Cryptococcus neoformans dan Cytomegalovirus.
Manifestasi klinis IRIS yang utama adalah:

Munculnya lagi gejala penyakit infeksi yang pernah ada sebelumnya dan telah
teratasi infeksinya. Penyebab terbanyak IRIS adalah TB.

Munculnya infeksi yang sebelumnya asimtomatik, umumnya disebabkan oleh


Mycobacterium avium, jarang oleh Mycobacterium tuberculosis.

Penyakit autoimun dan inflamasi seperti Sarkoidosis.


Gejala klinis IRIS bersifat sementara, misalnya demam, limfadenopati yang

bertambah, tuberkuloma intraserebral menjadi muncul kembali, efusi pleura, sindrom


distress pernapasan, infeksi subklinis menjadi manifest atau gejala klinis memburuk
pada pengobatan TB yang adekuat. Perburukan klinis TB pada pemberian ARV selain
disebabkan oleh IRIS, dapat pula disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap
antigen Mycobacterium tuberculosis yang mati. Hal ini bukan suatu kegagalan
pengobatan dan bersifat sementara. Immune reconstitution inflammatory syndrome
dapat juga disebabkan oleh mikobakteria atipik, Pneumocystis jiroveci, Varicella
zoster dan virus Herpes simpleks. Immune reconstitution inflammatory syndrome
umumnya terjadi pada pemberian OAT bersama-sama ARV dalam 2 bulan pertama.
Beberapa kriteria yang mendukung diagnosis IRIS pada TB-HIV (3 dari kriteria
sebagai berikut) :
a. Manifestasi klinis atipikal setelah ARV mulai diberikan.
b. Viral load menurun 1 log10 per mL.
c. CD4 meningkat.
d. Bukan TB relaps atau resisten OAT.
e. Bukan karena ketidakpatuhan minum obat.
f. Bukan akibat efek samping obat.
g. Bukan karena infeksi lain atau keadaan lain karena HIV.

iii.

Regimen pengobatan OAT


1. Isoniazid (INH)
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5
15 mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian.
Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam
bentuk sirup 100 mg/5ml. Sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga
tidak dianjurkan penggunaannya. Konsetrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS
dapat dicapai dalam 1 2 jam, dan menetap selama paling sedikit 6 8 jam. Anakanak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga
memerlukan dosis mg/kgBB lebih tinggi daripada dewasa. Isoniazid terdapat pada air

susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta,
tetapi kadar obat yang mencapai janin/bayi tidak membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua pengaruh toksik utama, keduanya jarang pada anak,
yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer. Neuritis perifer akibat dari hambatan
kompetitif penggunaan piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang
minum isoniazid, tapi manifestasi klinis jarang ada dan pemberian piridoksin biasanya
tidak dianjurkan, namun remaja dengan diet yang tidak cukup, kelompok anak-anak
dengan kadar susu dan masukan daging rendah, serta bayi yang sedang menyusu
sering memerlukan penambahan piridoksin. Piridoksin diberikan 25 50 mg satu kali
sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid. Manifestasi klinis neuritis
perifer yang paling sering adalah mati rasa dan rasa gatal pada tangan dan kaki.
Toksisitas isoniazid CSS jarang, terjadi biasanya bila overdosis yang bermakna.
Pengaruh toksis utama isoniazid adalah hepatotoksisitas, yang jarang pada anak, tapi
meningkat sesuai usia. Sebagian anak yang minum isoniazid mengalami kenaikan
kadar serum transaminase dalam 2 bulan pertama., tapi karena jarang makan
pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kcuali bila ada gejala dan tanda
klinis.
2. Rifampisin
Rifampisin adalah obat kunci pada manajemen tuberkulosis modern.
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh
isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat
prut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 20 20 mg/kgBB/hari, dosis
maksimal 600 mg/hari dengan dosis 1 kali pemberian per hari. Dosis rifampisin tidak
melebihi 15 mg/kgBB/hari jika diberikan bersamaan dengan isoniazid.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada isoniazid. Efek samping
tersebut berupa perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata, menjadi
warna orange kemerahan. Efek samping lain berupa gangguan gastrointestinal dan
hepatotoksik (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar
transaminase serum yang asimptomatik. Untuk mengurangi peningkatan resiko
hepatotoksisitas maka diturunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10

mg/kgBB/hari. Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150 mg, 300 mg
sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran
berat badan. Rifampisin sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian
makan karena dapat timbul malabsorbsi.
3. Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan tubuh, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, dan diresorbsi
baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral dengan dosis 15 30
mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gr/hari. Pirazinamid diberikan pada fase
intensif karena sangat baik dalam suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman
masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10% orang
dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping. Pirazinamid tersedia
dalam bentuk tablet 500 mg, dapat digerus dan diberikan bersamaan dengan makanan.
4. Etambutol
Dahulu etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitas pada
mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik dan bakterisid jika diberikan dengan
dosis tinggi dengan terapi intermiten. Obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi
terhadap obat-obat lain. Dosis yang dianjurkan adalah 15 20 mg/kgBB/hari,
maksimal 1,25 gr/hari dosis tunggal. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg
dan 500 mg. efek samping yang mungkin terjadi dari penggunaan etambutol adalah
neuritis optik dan buta warna merah hijau, sehingga sering kali pengunaannya
dihindari pada anak yang belum daapt diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di
FK UI menunjukkan bahwa etamutol dengan dosis 15 25 mg/kgBB/hari tidak
ditemukan kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca
pengobatan.
5. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ekstraselular pada keadaan
basa atau netral, jadi efektif membunuh kuman intraseluler. Obat ini penting pada
pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin dapat diberikan
secara intramuskular dengan dosis 15 40 mg/kgBB/hari, maksimal dosis 1 gram/hari
dan kadar puncak 40-50g/ml dalam waktu 1-2 jam. Obat ini dapat melewati selaput
otak yang meradang, tetapi tidak dapat melawati selaput otak yang tidak meradang.

Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, diekskresi
melalui ginjal. Efek toksisitas kelainan pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran berupa tinismus dan pusing. Dapat menembus
plasenta sehingga hati-hati menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat
merusak saraf pendengaran janin.
Nama Obat

Isoniazid

Dosis

harian

Dosis

(mg/kgBB/har

maksimal

i)

(mg/hari)

5-15*

300

Efek Samping

Hepatitis,

neuritis

perifer,

hipersensitivitas
Rifampisin*

10-20

600

Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,


trombositopenia, peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid

15-30

2000

Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal

Etambutol

15-20

1250

Neuritis optik, ketajaman penglihatan


berkurang,
penyempitan

buta

warna

merah-hijau,

lapang

pandang,

hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisi

15-40

1000

Ototoksis, nefrotoksik

Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10


mg/kgBB/hari.

**

Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui
sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.

i.

5. Diagnosis Banding
Pneumocystis Jiroveci Pneumonia6,9

Kuman Pneumocystis diklasifikasikan dalam golongan jamur berdasarkan


analisis DNA, tetapi juga memiliki karakteristik biologis suatu protozoa. Kuman
penyebab infeksi pada manusia disebut P. jirovecii. Kuman ini biasa terdapat pada
anak dengan antibodi serum > 80% pada anak usia 2 4 tahun. Bayi dengan status
imun yang masih kompeten infeksi P. Jirovecii akan memiliki gejala yang ringan pada
saluran nafas atau tanpa gejala.
Berdasarkan stadium klinis HIV/AIDS pada bayi dan anak menurut WHO,
PCP merupakan infeksi yang muncul pada infeksi HIV/AIDS stadium klinis IV.
Stadium ini diklasifikasikan sebagai stadium klinis berat.25 PCP merupakan penyebab
kematian terbanyak pada anak yang terinfeksi HIV, sekitar 30% dari seluruh kasus
AIDS. Insidensi tertinggi PCP pada anak HIV ditemukan pada tahun pertama
kehidupan, dengan puncak kasus pada usia 3 6 bulan. Hitung CD4+ bukan
merupakan indikator yang baik untuk PCP pada bayi usia <1 tahun, kebanyakan bayi
dengan PCP memiliki hitung sel >1.500/l dan hitung sel dapat turun cepat dalam
waktu yang singkat.
Gambaran klinis PCP pada anak HIV sama dengan yang terdapat pada orang
dewasa (contohnya demam, takipneu, dispneu, dan batuk) serta derajat keparahan dari
tanda dan gejala bervariasi dari satu anak ke anak lainnya. Awitan dapat tiba-tiba atau
tersembunyi dengan gejala tidak khas (batuk ringan, dispneu, susah makan dan
kehilangan berat badan). Beberapa penderita mungkin tidak ada demam, tetapi hampir
semua penderita mengalami takipneu pada saat diobservasi berdasarkan foto toraks.
Pemeriksaan fisik mungkin ditemukan ronkhi dengan distress pernafasan dan
hipoksia.
Pneumositosis ekstrapulmonal jarang terdapat pada anak. Predileksi meliputi
telinga, mata, tiroid, limpa, saluran cerna, kolon transversum, hati, dan pancreas.
Predileksi lainnya yang lebih jarang meliputi kelenjar adrenal, sumsum tulang,
jantung, ginjal serta ureter, kelenjar limfe, meningen, korteks serebral, dan otot.
Pada infeksi PCP, paru-paru meradang, alveoli dipenuhi pus dan cairan,
sehingga kemampuan menyerap oksigen menjadi berkurang. Kekurangan oksigen
mengakibatkan sel-sel tubuh tidak dapat bekerja dengan baik. Oleh karena itu, selain
penyebaran infeksi ke seluruh tubuh, penderita bisa meninggal karena tidak mendapat
oksigen yang cukup.

Bayi dengan infeksi kombinasi CMV dan P. Jirovecii mengalami pneumonia


berat yang membutuhkan ventilator, kortikosteroid, atau bahkan sampai menyebabkan
kematian. Prognosis lebih buruk jika didapatkan infeksi kombinasi dengan CMV bila
dibandingkan dengan infeksi PCP saja.

ii.

Limfoid Interstitial Pneumonitis6,9


Pneumonia Interstitial Limfositik atau LIP adalah suatu sindrom yang meliputi
demam, batuk dan dyspneu dengan infiltrat paru bibasilar, yang terdiri dari akumulasi
limfosit interstitial dan sel plasma yang padat. 40 LIP merupakan infeksi oportunistik
yang timbul pada stadium klinis III pada anak HIV yang diklasifikasikan sebagai
stadium klinis sedang.
LIP dapat dihubungkan dengan gangguan autoimun dan limfoproliferatif,
termasuk rheumatoid arthritis, tiroiditis Hashimoto, myasthenia gravis, anemia
pernisiosa, sindrom sentisasi autoeritrosit, hepatitis kronik aktif, Sjgren sindrom,
transplantasi sumsum tulang belakang alogenik, Systemic Lupus Erythematosus
(SLE), dan limfoma. LIP berhubungan dengan disproteinemia, infeksi HIV tipe 1,
virus Epstein-Barr, dan Human T-cell Leukimia Virus (HTLV) tipe 1.
Uji laboratorium tidak spesifik untuk mendiagnosis penyakit ini, oleh sebab
itu, untuk mendiagnosis dilakukan foto rontgen rongga dada, pengukuran difusi gas,
dan pemeriksaan histologi.40 Kematian pada anak HIV/AIDS yang menderita LIP
sebesar 33 50% dalam waktu lima tahun setelah diagnosis ditegakkan.
LIP dapat menyebabkan kematian pada anak penderita HIV/AIDS. Dalam
proses perjalanan penyakitnya, LIP menyebabkan kesulitan bernafas secara progresif,
sehingga penderita tidak mendapatkan pasokan oksigen yang optimal yang dapat
mengakibatkan kematian.

6. Pencegahan
1. Pelacakan Kontak
Upaya paling efektif untuk mencegah infeksi TB berulang pada anak adalah
menutup lubang kran (tap) dengan cara pengendalian secara epidemiologis, yaitu

diagnosis dan pengobatan segera terhadap kasus TB yang infeksius. Pada anak
penggunaan sistem skoring dapat mengurangi keterlambatan diagnosis. Meskipun
gejala TB pada anak sangat tidak spesifik namun gejala-gejala sugestif TB tersebut
merupakan alat identifikasi yang cukup akurat pada kelompok berisiko misalnya
anak yang terinfeksi HIV. Pelacakan kontak TB pada anak terinfeksi HIV sangat
bermanfaat untuk mencegah terjadinya transmisi serta membuka kesempatan untuk
pemberian INH profilaksis. Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB maka
harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tertular TB. Sumber
penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak
tersebut.
Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan BTA sputum
dan foto toraks (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya maka perlu
pula dilakukan pelacakan sentrifugal yaitu mencari anak lain di sekitar sumber
penularan tersebut yang kemungkinan juga tertular, yaitu dengan pemeriksaan uji
tuberkulin. Demikian pula jika ditemukan pasien TB dewasa aktif maka anak
disekitarnya atau yang kontak erat harus dilakukan pemeriksaan ada tidaknya infeksi
maupun penyakit TB.
2. Pengendalian Infeksi
Pengendalian infeksi TB terutama adalah diagnosis kasus TB dan pengobatan
yang adekuat, serta mengikuti perkembangan pasien dengan baik (tidak terjadi dropout) di tingkat pelayanan kesehatan manapun. Selain upaya di atas, diperlukan pula
perbaikan lingkungan rumah seperti ventilasi (pintu dan jendela) yang baik dan
masuknya sinar matahari ke dalam rumah secara efektif. Pengendalian transmisi TB
di klinik HIV juga perlu diperhatikan karena anak terinfeksi HIV merupakan
kelompok yang sangat rentan terhadap infeksi apapun terutama TB dan apabila
mereka sakit TB maka dapat menjadi sumber penularan selanjutnya.
3. Pemberian INH Profilaksis
Pemberian INH profilaksis dapat mencegah terjadinya sakit TB pada anak
terinfeksi HIV. Diagnosis infeksi TB laten pada anak terinfeksi HIV sangat penting
karena kelompok ini berisiko besar mengalami reaktivasi. Meskipun faktor kepatuhan
tetap menjadi perhatian besar namun pemberian INH profilaksis pada anak terinfeksi
HIV tetap memberikan keuntungan. Isoniazid tidak menimbulkan drug-drug

interactions bila diberikan bersama ART dan tidak pula memerlukan penyesuaian
dosis pada pemberian kedua obat tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pemberian INH profilaksis pada anak terinfeksi HIV dapat menurunkan angka
kematian sampai setengahnya.

Profilaksis primer
Profilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB, pada

profilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5 10 mg/kgBB/hari dengan


dosis tunggal. Profilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular,
terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif).
Obat diberikan selama 6 bulan. Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis
dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negative, profilaksis dilanjutkan hingga 6
bulan. Jika terjadi konversi tuberculin menjadi positif, evaluasi status TB pasien. Pada
akhir bulan ke enam pemberian profilaksis, dilakukan lagi uji tuberkulin, jika tetap
negatif profilaksis dihentikan, jika terjadi konversi tuberculin menjadi positif, evaluasi
status TB pasien.

Profilaksis sekunder
Profilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum

sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal.
Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk
dalam kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak
pada keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais
adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat
imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB
baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama
pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan.

Kebijakan pemberian INH profilaksis adalah sebagai berikut :


a. Anak dengan infeksi laten TB
Umur

HIV

Kontak

erat

dengan Tatalaksana

pasien TB paru dewasa


Balita

(+)/(-)

Ya

INH profilaksis

Balita

(+)/(-)

Tidak

Observasi

> 5 tahun

(-)

Ya

Observasi

> 5 tahun

(+)

Ya

INH profilaksis

> 5 tahun

(-)

Tidak

Observasi

> 5 tahun

(+)

Tidak

Observasi

b. Anak bukan TB
Umur

HIV

Kontak

erat

dengan Tatalaksana

pasien TB paru dewasa


Balita

(+)/(-)

Ya

INH profilaksis

Balita

(+)/(-)

Tidak

Pikirkan

diagnosis

lain, bila perlu dirujuk


> 5 tahun

(-)

Ya

Observasi

> 5 tahun

(+)

Ya

INH profilaksis

> 5 tahun

(-)

Tidak

Pikirkan

diagnosis

lain, bila perlu dirujuk


> 5 tahun

(+)

Tidak

Pikirkan

diagnosis

lain, bila perlu dirujuk

4. Vaksinasi Bacillus Calmette et Guerin (BCG)


Satu-satunya vaksin terhadap tuberculosis yang tersedia adalah Bacillus
Calmette et Guerin, diberi nama dengan nama dua pengamat Perancis yang
bertanggung jawab untuk perkembangannya. Organisme vaksin aslinya adalah strain
M.bovis hidup yang dilemahkan dengan subkultur setiap tiga minggu selama 13
tahun. Strain ini didistribusikan pada beberapa lusin laboratorium yang menlanjutkan
subkultur organisme ini pada berbagai media dengan berbagai keadaan. Hasilnya
adalah produksi banyak vaksin BCG yang sangat berbeda dalam morfologi, sifat

pertumbuhan, potensi sensitisasi dan virulensi binatang. Imunisasi BCG diberikan


pada usia 0 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml,
diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih
mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak menganggu struktur otot dan
sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia > 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji
tuberculin terlebih dahulu. Insiden TB anak yang mendapat BCG berhubungan
dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin,
dan intensitas pemaparan infeksi.
Efek proteksi sangat bervariasi mulai dari 0 80% bahkan di wilayah endemis
TB diragukan efek proteksinya. Namun demikian, vaksin BCG memberikan proteksi
yang cukup baik terhadap terjadinya TB berat (TB milier dan meningitis TB).
Sebaliknya pada anak terinfeksi HIV maka vaksin BCG tidak banyak memberikan
efek menguntungkan dan dikhawatirkan dapat menimbulkan BCG-itis diseminata,
yaitu penyakit TB aktif akibat pemberian BCG pada pasien imunokompromais. World
Health Organization menetapkan bahwa vaksinasi BCG merupakan kontraindikasi
pada anak terinfeksi HIV yang bergejala. Hal ini sering menjadi dilema bila bayi
mendapat BCG segera setelah lahir pada saat status HIV-nya belum diketahui. Bila
status HIV ibu telah diketahui dan Preventing Mother to Child Transmission of HIV
(PMTCT) telah dilakukan maka vaksinasi BCG tidak segera diberikan pada bayinya.
Bayi baru lahir dengan ibu HIV positif dengan perlakuan pencegahan (PMTCT),
maka BCG tidak diberikan pada saat jadwalnya. Pemberian BCG menunggu status
bayi ditetapkan melalui pemeriksaan PCR (6 bulan) atau serologis pada umur
sesudahnya. Sebaiknya didahului uji tuberkulin.

7. Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini
memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif
dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal.
Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus
diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai
rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut.
Pasien dengan resistensi multiple terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke

waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan rejimen terapi yang tidak
adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan.
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampisin,
angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT
(terutama isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier.
Tanpa terapi OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.

DAFTAR PUSTAKA

1. William W. Hay Jr, Myron J.Levin, Robin R.Deterding, Mark J. Abzug. Current
Diagnosis & Treatment Pediatrics 22nd Edition. Colorado: McGrawHill, 2014;
2. Kliegman, Stanton, St Geme, Schor. Nelson, Textbook of Pediatrics, 20e.
Philadelphia: Elsevier, 2015; 1345-1348.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penerapan Terapi HIV pada
Anak, Jakarta: WHO 2014
4. Soedarmo SSP, GarnaH, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri
Tropis Ed kedua. Jakarta: IDAI, 2010;312-321.
5. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta, 2009;106
6. Pudjiaji AH, Hegar B, Handrastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: IDAI, 2010;
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Tuberkulosis. Buku Ajar Respirologi. Jakarta: IDAI;
2012.
8. Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta: 2012.
9. http://www.hivguidelines.org/GuideLine.aspx?pageID
=258&guideLineID=35&vType=text, diakses 5 September 2015
10. Tanzania Journal of Health Research Volume 14, Number 1, January 2012
(http://dx.doi.org/10.4314/thrb.v14i1.11, diakses 5 September 2015)
11. Amanda J. Redig and Nancy Berliner. Pathogenesis and clinical implications of
HIV-related anemia in 2013. Department of Medicine, and 2Division of
Hematology, Department of Medicine, Brigham and Womens Hospital, Harvard
Medical School, Boston, MA
12. Indian J Med Res 132, October 2010, pp 359-361

Anda mungkin juga menyukai