Anda di halaman 1dari 6

PERFORASI UTERUS PADA TINDAKAN KURETASE

Perforasi uterus merupakan salah satu komplikasi mayor dari tindakan dilatasi dan kuretase.
Defek pada dinding uterus dapat menyebabkan perdarahan intra-abdomen atau jejas pada organ intra-
abdomen yang lain, seperti usus halus, omentum, dan ovarium. Gejala klinis dari perforasi uterus dapat
muncul segera setelah prosedur tindakan, di antaranya rasa tidak nyaman pada perut, nyeri kepala,
palpitasi saat posisi dukuk, serta nyeri tekan dan nyeri lepas dinding abdomen. Gejala-gejala tersebut
muncul karena terjadinya iritasi peritoneum akibat perdarahan intra-peritoneum.

I. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 1989, kejadian perforasi uterus dilaporkan sebanyak 1,98% pada aborsi elektif saat
trimester pertama. Perdarahan akibat perforasi uterus yang disebabkan karena tindakan dilatasi dan
kuretase merupakan kasus jarang karena dinding uterus anterior atau posterior memiliki vaskularisasi
yang sedikit. Namun jika perforasi terjadi pada regio servikoismik lateral yang merupakan proksimal dari
pembuluh darah uterus dapat membahayakan. Perforasi pada daerah tersebut biasanya terjadi saat
dilatasi servikal dan berkomplikasi dengan perdarahan vagina dan intra-abdomen yang berisiko
mengakibatkan syok hemoragik.
Di Amerika Serikat, sebanyak 9% wanita yang mengalami perforasi akibat terminasi persalinan,
akan mengalami histerektomi. Hal tersebut setara dengan 7 : 100.000 persalinan. Di negara
berkembang, perforasi uterus jarang terjadi dengan angka kejadian 4%. Pasien dengan perforasi uterus
berisiko untuk mengalami rupture uterus pada kehamilan berikutnya, baik selama masa kehamilan
ataupun saat persalinan.

II. FAKTOR RISIKO


Faktor yang meningkatkan risiko terjadinya perforasi uterus dapat dikelompokkan menjadi
faktor uterus, serviks, surgical, dan operator pembedahan
1. Faktor risiko uterus dan serviks
Perforasi umumnya terjadi pada prosedur terminasi persalinan. Risiko perforasi meningkat
seiring gestasi, angka kejadian meningkat dua kali lipat pada trimester kedua dibandingkan trimester
pertama. Karenanya, perkiraan usia kehamilan yang akurat menjadi hal yang penting. Perforasi juga
sering terjadi pada variasi anatomi uterus, yakni retroversi, anteversi yang berlebihan, atau retrofleksi.
Faktor lain yaitu uterus post-menopause yag berukuran kecil atau serviks yang sempit.

2. Faktor risiko operasi


Jenis tindakan mempengaruhi angka kejadian perforasi, seperti pada tabel berikut:

3. Faktor risiko operator pembedahan


Di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa kejadian perforasi 4 kali lipat terjadi pada operator junior.
Hasil yang mirip juga ditemuka di Singapura, dilaporkan bahwa 82,5% perforasi dilakukan oleh staf
junior. Selain itu, ditemukan bahwa pengalaman mempengaruhi pengenalan awal terhadap cedera
uterus.

III. TEKNIK DILATASI DAN KURETASE


 Bila masih memungkinkan dan dianggap perlu, tindakan untuk memperlebar kanalis servikalis
dilakukan dengan pemasangan batang laminaria dalam kanalis servikalis dalam waktu maksimum 12
jam sebelum tindakan kuretase.
 Dilatasi juga dapat dilakukan dengan dilatator Hegar yang terbuat dari logam dari berbagai ukuran
(antara 0.5 cm sampai 1.0 cm)
 Setelah persiapan operator dan pasien selesai, pasien diminta untuk berbaring pada posisi lithotomi
setelah sebelumnya mengosongkan vesica urinaria.
 Perineum dibersihkan dengan cairan antiseptik
 Dilakukan pemeriksaan dalam ulangan untuk menentukan posisi servik, arah dan ukuran uterus
serta keadaan adneksa
 Spekulum dipasang dan bibir depan porsio dijepit dengan 1 atau 2 buah cunam servik.
 Gagang sonde dipegang antara ibu jari dan telunjuk tangan kanan dan kemudian dilakukan sondage
untuk menentukan arah dan kedalaman uterus
 Bila perlu dilakukan dilatasi dengan dilatator Hegar
 Jaringan sisa kehamilan yang besar diambil terlebih dulu dengan cunam abortus
 Sendok kuret dipegang diantara ujung jari dan jari telunjuk tangan kanan (hindari cara memegang
sendok kuret dengan cara menggenggam), sendok dimasukkan ke kedalam uterus dalam posisi
mendatar dengan lengkungan yang menghadap atas
 Pengerokan uterus dikerjakan secara sistematik ( searah dengan jarum jam dan kemudian
berlawanan arah dengan jarum jam ). Cavum uteri dianggap bersih bila tidak terdapat jaringan sisa
kehamilan lagi yang keluar dan cairan darah cavum uteri berbuih.
 Rongga vagina dibersihkan dari sisa jaringan dan darah.
 Diberikan doxycycline 200 mg per oral pasca tindakan dan 100 mg sebelum tindakan

IV. PENCEGAHAN PERFORASI UTERUS PADA KURETASE


Perforasi uterus dapat terjadi pada blind intrauterine manipulation, salah satunya kuretase.
Kejadian tersebut dapat dicurigai ketika instrumen bedah masuk ke dalam pelvis tanpa resistensi atau
masuk melebihi batas uterus. Instrumen dapat melewati perforasi dan menimbulkan cedera pada organ
abdomen lain seperti usus halus, ureter, vesika urinaria, ataupun pembuluh darah besar dalam
abdomen.
Pencegahan perforasi uterus juga meliputi pengenalan faktor risiko dan persiapan tindakan yang
adekuat. Risiko perforasi akan menurun jika terminasi persalinan dilakukan pada trimester kedua, hal ini
melibatkan akurasi dari perkiraan usia gestasi. Peralatan dan pengkajian bimanual yang benar dalam
megidentifikasi ukuran, posisi, dan kondisi lain dari uterus yang dipadukan dengan operator yang
berpengalaman akan menurunkan risiko perforasi uterus.
Penggunaan prostaglandin sebelum terminasi persalinan dilaporkan memiliki keuntungan, yakni
penurunan yang signifikan pada upaya untuk tindakan dilatasi, perdarahan, dan trauma uterus atau
serviks. Namun, tidak ada randomised controlled trial dalam pedoman penanganan abortus pada
trimester pertama, khususnya dengan adanya kantung yang intak. Oleh karena itu, RCOG menganjurkan
untuk mempertimbangkan penggunaan preparasi oral ataupun vaginal sesuai kondisi pasien masing-
masing.
Dilatasi serviks yang adekuat dan gradual, menghindari gaya yang berlebihan, dan penggunaan
half-size dilator dapat menurunkan risiko perforasi. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan
tapered Hawkins-Ambler dilator membutuhkan upaya yang lebih sedikit untuk mencapai dilatasi serviks
dibandingkan parallel-sided Hegar dilator.
Selain itu, panduan USG dengan operator terampil juga menurunka risiko perforasi.

V. EVALUASI DAN MANAGEMEN PERFORASI UTERUS PADA KURETASE


Pengenalan awal terhadap tanda-tanda perforasi dan penanganan dini akan menurunkan angka
morbiditas, sekuel jangka panjang, dan mortalitas secara signifikan.
Manajemen perforasi uterus bergatung pada prosedur yag dilakukan dan intrumen yang
digunakan. Apabila perforasi terjadi karena dilator, kurang dari 5 mm histeroskop, kuret, selama coil
insertion, atau forceps poli, maka antibiotic, observasi, dan penjelasan kepada pasien diperlukan.
Apabila diameter intrumen lebih besar, maka jaringan harus difiksasi dan diupayakan untuk dilakukan
avulsi, atau jika perdarahan signifikan dari cedera uterus, maka laparoskopi harus dilakukan. Pada
kondisi ini, diperlukan kolaborasi dengan dokter bedah untuk kemungkinan cedera organ pencernaan
atau saluran kemih.
Jika laparoskopi dilakukan, perlu dilakukan pemasangan kateter untuk mengidentifikasi
perdarahan sebagai penyebab syok, memantau balans cairan, dan mengetahui cedera vesika urinaria
jika tampak hematuria.
Perforasi berukuran kecil dengan perdarahan ringan hanya memerlukan kauterisasi sebagai
upaya hemostasis. Selama tindakan berlangsung, asisten operasi dapat memantau perforasi melalui
laparoskop sementara operator utama melanjutkan tindakan dengan visualisasi langsung.
Laparotomi dipertimbangkan apabila selama tindakan laparoskopi, perdarahan terus berlanjut
atau perluasan hematoma pada broad ligament. Apabila perforasi uterus terlalu luas untuk dilakukan
penjahitan, maka tindakan dilakukan dengan bantuan laparoskopi. Laparotomi dapat dilakukan apabila
operator tidak dapat melakukan penjahitan dengan laparoskopi.
Gynaecologists akan memperbaiki defek uterus yang diakibatkan perforasi, namun pada
beberapa kasus diperlukan histerektomi. Kejadian histerektomi cenderung lebih sering pada
keterlambatan tindakan atau operator yang kurang terlatih. Hal ini diakibatkan jaringan yang mengalami
cedera edema dan pembedahan menjadi terhambat dengan hematoma yang menyebar ekstensif.
Kondisi pasien juga turun akibat penggantian darah yang inadekuat.
Jika perforasi terjadi di unit kesehatan yang kurang mencukupi, pasien diresusitasi dan dirujuk
ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.
Setelah kejadian perforasi, pasien diberikan antibiotik intravena dan observasi ketat minimal
selama 24 jam, meliputi temperature tubuh, tekanan darah, dan bising usus.

Referensi

1. Shakir F, Diab Y. The perforated uterus. Obstet Gynaecol. 2013;15:256–61.

2. Tokuda H, Nakago S, Kato H, Oishi T, Kotsuji F. Bleeding in the retroperitoneal space under the broad
ligament as a result of uterine perforation after dilatation and curettage: Report of a case. J Obs
Gynaecol. 2017;1–4.

3. Hoysal DR, Kumaraswamy H. Isolated Mesenteric Injury causing Ileal Devascularisation with Uterine
Perforation following Termination of Pregnancy; A Case Report and Literature Review. Bull Emerg
Trauma. 6(4):176–8.
4. Su S, Tao G, Dong B, Shi L, Dong J. Delayed presentation of uterine perforation with ovary migration
after dilatation and curettage. Int J Clin Exp Med. 2015;8(4):6311–4.

Anda mungkin juga menyukai