Anda di halaman 1dari 20

Inkontinensia Urin pada Usia Lanjut

Minati Puspawardani
102014149
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 1151

ABSTRAK
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali dan banyak terjadi
pada usia lanjut. Ini dapat merupakan masalah yang memalukan bagi penderitanya dan dapat
mengganggu psikologi seperti depresi karena merasa terisolasi dan tidak mau bergaul.
Inkontinensia urin dapat bersifat akut maupun kronik. Inkontinensia akut yang tidak ditangani
secara baik dapat menjadi inkontinensia kronik. Inkontinensia kronik terbagi atas inkontinensia
urgensi merupakan ketidakmampuan menahan urin karena rusaknya saraf; inkontinensia stres
merupakan tidak mampunya menahan urin saat batuk, tertawa dan bersin; inkontinensia overflow
merupakan ketidakmampuan dalam pengosongan kandung kemih; dan inkontinensia fungsional
merupakan ketidakmampuan menahan urin karena penurunan fisik dan mental.
Kata kunci: inkontinensia urin, depresi
ABSTRACT
Urinary incontinence is defined as an uncontrolled discharge of urine and more common in the
elderly. It can be an embarrassing problem for sufferers and can interfere with psychological
such as depression because they feel isolated and do not want to hang out. Urinary incontinence
can be acute or chronic. Acute incontinence is not treated properly can become chronic
incontinence. Chronic incontinence consisting of urge incontinence is the inability to hold urine
because of damage to the nerves; Stress incontinence is the inability of the hold urine when
coughing, laughing and sneezing; Overflow incontinence is the inability of the emptying of the

bladder; and functional incontinence is the inability to hold urine due to physical and mental
decline.
Keywords: urinary incontinence, depression

PENDAHULUAN
Jumlah lansia di berbagai negara semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya
usia harapan hidup. Masa lanjut usia tidak dapat dihindari dan pada masa ini mulai bermunculan
macam-macam penyakit karena penuaan organ-organ tubuh dan penurunan daya tahan tubuh,
sehingga tubuh rentan terhadap serangan penyakit. Masalah kesehatan yang sering dialami lansia
salah satunya adalah inkontinensia urin. Inkontinensia urin adalah hilangnya kontrol terhadap
kandung kemih yang seringkali terjadi pada banyak orang terutama lansia dan merupakan
masalah yang memalukan bagi penderitanya.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai inkontinensia urin, tipe dan
pengobatan inkontinensia urin, serta akan dibahas mengenai osteoartritis dan depresi yang terjadi
pada lansia.

PEMBAHASAN
Anamnesis
Didalam ilmu kedokteran anamnesis merupakan wawancara terhadap pasien atas keluhan
yang dialaminya. Anamnesis yang baik disertai dengan empati dari dokter terhadap pasien.
Perpaduan keahlian mewawancarai dan pengetahuan yang mendalam tentang gejala (sintom) dan
tanda (sign) dari suatu penyakit akan memberikan hasil yang memuaskan dalam menentukan
diagnosis kemungkinan sehingga dapat membantu menentukan langkah pemeriksaan
selanjutnya, termasuk pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dapat dilakukan
langsung terhadap pasien (auto-anamnesis) maupun terhadap keluarganya atau walinya (aloanamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan wawancara, misalnya
dalam keadaan gawat-darurat.1
2

Untuk skenario 12 yang kita dapat anamnesis sebagai berikut:


1. Identitas
Nama : Tidak diketahui namanya
Umur : 70 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
2. Keluhan Utama

: Tidak dapat menahan kencing sejak 3 minggu yang lalu, ngompol


saat tertawa dan batuk

3. Keluhan tambahan

: Jalan harus pelan, terasa nyeri lutut saat jalan

Pemeriksaan
1. Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda-tanda vital selalu dijalankan pertama kali
untuk mendapatkan suhu badan pasien, tekanan darah dan frekuensi pernafasan serta
bilangan denyut nadi.2 Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin
dan membantu menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu
harus dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rektum, fungsi neurologis, dan
pelvis (pada wanita) sangat diperlukan.3
Untuk kasus ini perlu dilakukan permeriksaan fisik sebagai berikut:
Inspeksi: 1. Melihat keadaan umum pasien
2. Melihat tingkat kesadaran pasien
3. Melihat apakah telah terjadi perubahan pada warna kulit (ikterus)
Pemeriksaan tanda-tanda vital:

1. Suhu
2. Tekanan Darah
3. Nadi

Palpasi dan perkusi: Pemeriksaan pada abdomen harus mengenali adanya kandung kemih
yang penuh, rasa nyeri, massa, atau riwayat pembedahan.
3

Berdasarkan hasil pemeriksaan didapatkan:


o
o
o
o
o
o
o
o

Keadaan umum
TB
BB
Kesadaran
Tekanan darah
Suhu
Frekuensi nadi
Pernapasan

: Tampak sakit ringan


: 150 cm
: 60 kg
: Compos mentis
: 120/80 mmHg
: 37 C
: 85 kali/menit
: 20 kali/menit

Dari hasil pemeriksaan fisik pasien dinyatakan normal.


2. Pemeriksaan Penunjang4
Uji Urodinamik Sederhana
Dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu
diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan
ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat
juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada
desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam
posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat
diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi
kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang
berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila
evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :
Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium
glukosa sitologi.
Tes urodinamik --> untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah
Tes tekanan urethra --> mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat
dinamis.
Imaging --> tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.

Diagnosis
A. Working Diagnosis
4

Berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik serta dilakukannya anamnesa, WD pada kasus ini
adalah penyakit pasien mengalami inkontinensia tipe stres.
Inkontinensia uri tipe stress terjadi akibat lemahnya mekanisme penutup seperti batuk, bersin
atau mengejan, terutama hipermobilitas uretra dan lemahnya otot dasar panggul akibat seringnya
melahirkan, operasi dan penurunan estrogen.5 Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan
intraabdominal sehingga otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini dan keluarlah urin. Wanita
yang sering hamil dan melahirkan akan membutuhkan kerja otot panggul yang lebih sering untuk
menahan janin selama usia kehamilan dan untuk membantu kontraksi pada proses
partus/melahirkan.6

B. Differential Diagnosis5
Inkontinensia urgensi
Inkontinensia urin tipe urgensi ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih setelah
sensasi berkemih muncul disebabkan karena saraf yang rusak mengirimkan sinyal ke kandung
kemih untuk berkontraksi, meskipun kandung kemih tidak dalam keadaan penuh. Karena
rusaknya saraf pengirim sinyal tersebut pasien tidak bisa mengontrol sensasi berkemih karena
otot-otot detrusor kandung kemih sangat aktif kontraksi. Gejalanya berupa urgensi, frekuensi dan
nokturia. Hal inilah yang menyebabkan desakan untuk buang air kemih yang sering, biasanya
lebih dari 8 kali selama 24 jam. Seringnya berkemih di malam hari juga merupakan gejala dari
inkontinensia urgensi, yaitu bangun untuk buang air kecil minimal 2 kali atau lebih pada malam
hari.5

Inkontinensia Overflow
Meningkatnya tegangan kandung kemih akibat obstruksi prostat hipertrofi pada laki-laki atau
lemahnya otot detrusor akibat diabetes mellitus, trauma medulla spinalis, obat-obatan dapat
menimbulkan inkontinensia urin tipe overflow. Gejala klinisnya berupa berkemih sedikit namun
sering, pengosongan kandung kemih tidak sempurna dan nokturia.5
5

Inkontinensia overflow sering dilaporkan terjadi pada orang-orang yang uretranya terblokir
atau karena kerusakan pada kandung kemih sehingga penderita mengalami ketidakmampuan
dalam mengosongkan kandung kemih, selain itu tipe ini dapat terjadi pada orang yang memiliki
kerusakan pada ginjal, uretra yang tersumbat, atau kerusakan syaraf akibat diabetes.5
Inkontinensia Fungsional
Inkontinensia urin tipe fungsional merupaka kebocoran urin terjadi akibat penurunan berat
fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini
biasa terjadi pada demensia berat, gangguan mobilitas (artritis genu, kontraktur), gangguan
neurologik dan psikologik. Misalnya banyak orang berusia lanjut tidak dapat membuka
kancing/resleting secepat yang diperlukan untuk buang air kecil.5
Osteoarthritis
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan
kartilago (tulang rawan) sendi. Osteoartritis lutut sering terjadi pada lutut yang pernah
mengalami trauma, infeksi atau cedera lain. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling
sering terkena.5

Etiologi5,7,8
Pengetahuannya yang tepat akan penyebab inkontinensia sangat diperlukan agar dapat
memberikan penatalaksanaan yang tepat pula. Secara umum ada 4 penyebab pokok, yaitu:

Gangguan urologik: misalnya radang, batu, tumor dan divertikel.


Gangguan neurologik: misalnya stroke, trauma pada medula spinalis dan dementia.
Gangguan fungsional: misalnya hambatan pada mobilitas penderita.
Gangguan lingkungan: misalnya tidak tersedianya situasi berkemih yang memadai/sarana
yang terlalu jauh.

Inkontinensia yang terjadi akibat gangguan diatas dapat dibagi atas:

a. Inkontinensia akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut
atau problem iatrogenik yang menghilang bila kondisi akut teratasi. Inkontinensia urin
akut dapat disebabkan oleh:

Sembelit

Infeksi saluran kemih

Konsumsi alkohol berlebih

Minum terlalu banyak atau minum cairan yang dapat mengiritasi kandung kemih,
seperti minuman berkarbonasi, minuman yang mengandung kafein, buah dan jus
jeruk, pemanis buatan, dan termasuk kopi dan teh tanpa kafein.

Mengonsumsi obat, seperti obat untuk flu, alergi, depresi, nyeri, tekanan darah
tinggi, diuretik, dekongestan dan relaksan otot.
b. Inkontinensia urin kronik/persisten. Ada dua hal yang melatarbelakangi inkontinensia
kronik, yaitu kegagalan penyimpanan urin pada kandung kemih akibat hiperaktif atau
menurunnya kapasitas kandung kemih dan kegagalan pengosongan kandung kemih
akibat lemahnya otot detrusor. Inkontinensia urin kronis disebabkan:
Otot kandung kemih yang terlalu aktif
Terdapat obstruksi pada saluran kemih
Otot dasar panggul lemah
Stroke
Multiple sklerosis (penyakit kronis pada sistem saraf pusat)
Cedera tulang belakang
Penyakit atau cedera yang mempengaruhi sistem saraf dan otot (diabetes)
Mobilitas yang minim.

Epidemiologi5,9
Prevalensi inkontinensia urin sulit ditentukan dengan pasti. Hal ini disebabkan karena hasil
penelitian epidemiologi yang beragam dalam subjek penelitian, metode kuesioner, dan definisi
inkontinensia urin yang digunakan. Sekitar 50% usia lanjut di instalasi perawatan kronis dan 1130% di masyarakat mengalami inkontinesia urin. Prevalensinya meningkat seiring dengan
peningkatan umur. Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin pada laki-laki dengan
perbandingan 1,5 : 1.

Survei inkontinensia urin yang dilakukan oleh divisi geriatri bagian ilmu penyakit dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada 208 orang usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan
Keluarga (PUSAKA) di Jakarta. Kejadian urin tipe stres sebesar 32,3%. Sedangkan survey yang
dilakukan di Poliklinik Geriatri RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo (2003) terhadap 179
pasiengeriatri didapatkan angka inkontinensia urin stres pada laki-laki sebesar 20,5% dan pada
perempuan sebesar 32,5%. Penelitian di poli geriatri RS Dr. Sardjito mendapatkan angka
prevalensi inkontinensia urin 14,74%.
Menurut hasil penelitian Iglesias di Spanyol pada komunitas usia lanjut umur 65 tahun,
prevalensi Inkontinensia urin pada wanita usia lanjut dalam komunitas berkisar antara 5%
-20%4. Sedangkan menurut Brown kemungkinan usia lanjut bertambah berat Inkontinensia
urinnya 25% - 30% saat berumur 65-74 tahun. Prevalensi inkontinensia urin dilaporkan pada
wanita selama transisi menopause bervariasi 8% - 56% tergantung pada definisi operasional
inkontinensia urin dan sampel populasi. prevalensi Inkontinensia urin lebih tinggi terjadi pada
wanita dan meningkat dengan bertambahnya usia, BMI, riwayat histerektomi,menopause status
depresi dan paritas.

Patofisiologi5,10
Secara normal proses berkemih merupakan proses dinamik yang memerlukan rangkaian
koordiansi proses fisiologik yang berurutan. Secara umum terdapat 2 fase yaitu fase
penyimpanan dan fase pengosongan. Diperlukan keutuhan struktur dan fungsi komponen saluran
kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan.
Ada mekanisme yang berada di luar kendali dalam melaksanakan proses berkemih. Proses ini
dikendalikan oleh sistem saraf. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah
kendali saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal
berada di bawah kontrol sistem saraf otonom.
Vesika urinaria terdiri atas 4 lapisan, yaitu lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan
submukosa dan lapisan mukosa. Saat otot detrusor berelaksasi terjadi pengisian kandung kemih,
8

dan bila otot ini mengalami kontraksi maka urine yang telaha tertampung didalamnya akan
dikeluarkan. Proses kontraksi ini berlangsung akibat kerja saraf parasimpatis, sedangkan
penutupan sfingter vesika urinaria agar dapat menampung urin dikerjakan oleh saraf simpatis
yang dipicu oleh noradrenalin.
Mekanisme kerja pada otot detrusor melibatkan kerja otot itu sendiri, saraf pelvis, medula
spinalis dan kontrol sistem saraf pusat yang mengontrol jalannya proses berkemih. Pada sistem
saraf pusat ada bagian yang bernama pusat sobkortikal dan pusat kortikal. Ketika urine mulai
mengisi kandung kemih, pusat subkortikal akan bekerja agar otot-otot pada kandung kemih dapat
berelaksasi sehingga dapat berdistensi untuk menampung urin hasil proses di ginjal. Ketika
pengisian ini berlanjut akan tercapai suatu volume tertentu (biasanya 200 ml) yang memicu pusat
kortikal yang ada pada lobus frontal untuk bekerja mengurangi pasokan urine yang masuk ke
dalam kandung kemih.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas relaksasi yang menyebabkan pengisian urin
ditimbulkan oleh pusat yang lebih tinggi yaitu korteks serebri atau dengan kata lain bersifat
menghambat proses miksi. Sedangkan pusat yang lebih rendah yaitu batang otak dan saraf supra
spinal memfasilitasi proses miksi dengan mendukung proses kontraksi otot yang terjadi.
Gangguan yang mungkin terjadi pada kedua bagian otak ini yang dapat menyebabkan
pengurangan kemampuan penundaan pengeluaran urin.
Ketika terjadi desakan untuk berkemih, maka rangsang saraf dari daerah korteks akan
disalurkan melalui medula spinalis ke saraf pelvis. Aksi saraf parasimpatis ini akan memicu
terjadinya kontraksi. Namun kontraksi ini tidak hanya semata-mata tergantung kepada aktivitas
saraf yang bersifat kolinergik. Otot detrusor memiliki reseptor prostaglandin. Obat-obat yang
menyebabkan inhibisi pada prostaglandin tentu saja akan mempengaruhi kontraksi m. Detrusor.
Selain itu kontaksi otot detrusor juga bergantung pada calcium-channel. Oleh karena itu bila
pemberian calcium channel blocker seperti pada pasien hipertensi dapat menyebabkan terjadinya
gangguan kontraksi kandung kemih.
Selain faktor dari kandung kemih, juga harus diperhatikan sfingter uretra baik yang interna
dan eksterna. Proses kontraksi pada sfingter uretra dipengaruhi oleh aktivitas dari adrenergik
alfa. Pengobatan yang sifatnya agonis terhadap adrenergik alfa (pseudoefedrin) dapat
9

memperkuat kontraksi dari sfingter sehingga menahan urin secara berkelanjutan. Sedangkan obat
alpha-blocking dapat mengganggu penutupan sfingter. Persarafan adrenergik beta dapat
menyebabkan relaksasi pada sfingter uretra. Obat yang bersifat beta-adrenergic blocking dapat
mengganggu karena menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktivitas kontraktil
adrenergik alfa.
Perlu diperhatikan bahwa meskipun inkontinensia urin kebanyakan dialami pada lansia,
sindrom ini bukanlah kondisi yang normal pada usia lanjut. Namun dapat dikatakan bahwa usia
lanjut yang dapat menjadi faktor predesposisi (faktor pendukung) terjadinya inkontinensia urin.
Proses menua akan menyebabkan perubahan anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital
bagian bawah. Perubahan ini memiliki kaitan erat dengan menurunnya kadar estrogen pada
wanita dan kadar androgen pada laki-laki. Perubahan yang terjadi meliputi penumpukan fibrosis
dan kolagen pada dinding kandung kemih sehingga menyebabkan penurunan efektivitas fungsi
kontraksi dan memudahkan terbentuknya trabekula maupun divertikula.
Atrofi pada mukosa, perubahan vaskularisasi pada daerah submukosa dan menipisnya lapisan
otot uretra menyebabkan penurunan pada tekanan penutupan uretra dan tekanan outflow. Selain
itu pada laki-laki terjadi pembesaran prostat dan pengecilan testis sedangkan pada wanita terjadi
penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema atau ptekie, pemendekan dan penyempitan
ruang vagina serta peningkatan pH lingkungan vagina akibatnya kurangnya lubrikasi.
Melemahnya fungsi otot dasar panggul yang disebabkan oleh berbagai macam operasi,
denervasi dan gangguan neurologik dapat menyebabkan prolaps pada kandung kemih sehingga
melemahkan tekanan akhir kemih keluar. Hal ini dapat memicu terjadinya inkontinensia.
Proses Menua
Menua didefinisikan sebagai proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang
yang frail lemah, renta dengan berkurangnya sebagian besar sistem fisiologis dan
meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya
mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fisiologis yang terkait usia.5
Beberapa istilah yang terkait dengan proses menua adalah gerontology, geriatric.
Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari proses menua, yaitu semua aspek biologi (kesehatan),
10

sosial, ekonomi, perilaku, lingkungan, dan lain-lain (Depkes RI, 2000). Geriatri merupakan
cabang ilmu dari gerontologi dan kedokteran yang mempelajari kesehatan pada lansia dalam
berbagai aspek, yaitu promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif (Depkes RI, 2000). Pada
prinsipnya geriatri mengusahakan masa tua yang bahagia dan berguna.7
Istilah yang digunakan oleh gerontologis ketika membicarakan proses menua:5
1. Aging (bertambahnya umur): merupakan proses yang terus berlangsung (continuum) yang
dimulai dengan perkembangan (development).
2. Senescence (menjadi tua): istilah ini digunakan untuk menggambarkan turunnya fungsi
efisien suatu organisme sejalan dengan penuaan dan meningkatnya kemungkinan kematian.
3. Homeostenosis: keadaan penyempitan (berkurangnya) cadangan homeostasis yang terjadi
seiring meningkatnya usia pada setiap sistem organ
Efek penuaan tersebut umumnya menjadi lebih terlihat setelah usia 40 tahun. Proses menua
seyogianya diangap sebagai proses normal dan tidak selalu menyebabkan gangguan fungsi organ
atau penyakit. Berbagai faktor seperti genetik, gaya hidup dan lingkungan mungkin lebih besar
mengakibatkan gangguan fungsi, dari pada penambahan usia itu sendiri.5

Implikasi Klinis
Proses menua merupakan serangkaian penurunan fungsi bukan hanya fisik, namun juga
perubahan pada adaptasi sosial, ekonomi, psikologi, dan lingkungan. Mengelola orang usia lanjut
berbeda dengan mengelola orang muda dengan alasan karena adanya perubahan-perubahan yang
terjadi di dalam proses menua. Perubahan yang jelas antara proses menua normal dan perubahan
yang bersifat patologis penting dipahami. Perubahan-perubahan yang terjadi pada proses menua
tidak selalu dianggap sebagai suatu penyakit, namun bisa saja itu merupakan proses menua
normal.5
Kinerja fungsional sebuah organ pada orang berusia lanjut tergantung pada 2 faktor, yakni
laju penurunan hingga terjadi gangguan dan tingkat kinerja yang dibutuhkan. Sebagian besar
orang lanjut usia memiliki hasil pemeriksaan laboratorium normal. Kondisi ini berbeda dengan
kelompok usia muda karena keadaan normal bukanlah terletak pada tingkat kinerja dalam
11

keadaan istirahat (tanpa stres), tetapi bagaimana organ bertahan terhadap stress dari luar. Sebagai
contoh, seorang lanjut usia yang mempunyai denyut nadi dan curah jantung istirahat normal
namun tidak mampu untuk meningkatkan curah jantung pada waktu melakukan aktivitas. Dalam
menetapkan kinerja seorang lanjut usia dapat ditentukan dari kinerja pasien tersebut sebelumnya,
misal seorang pelari berusia 75 tahun mungkin memiliki fungsi kardiovaskular yang lebih baik
dibandingkan dengan seorang yang lebih muda yang tidak pernah olahraga.5
Setiap individu tidak menua secara seragam, baik cara maupun laju kecepatannya. Proses
menua bukan hanya serangkaian perubahan biologis, melainkan sebuah waktu untuk berbagai
kehilangan, kehilangan peran sosial akibat pensiun, kehilangan mata pencaharian, kehilangan
teman dan keluarga. Selain itu proses menua merupakan rasa takut atau cemasan, cemas akan
kemanan pribadi, cemas akan tidak adanya jaminan finansial dan cemas akan ketergantungan.
Penyakit pada usia lanjut umumnya sangat kompleks, gangguan yang diakibatkan tidak hanya
pada pada fisik saja, tetapi juga mempengaruhi faktor psikis, sosio-ekonomi dan secara
keseluruhan

mempengaruhi

kemampuan

fungsional.

Tanggung

jawab

dokter

adalah

mengidentifikasi dan mengobati atau memperbaiki masalah yang dapat diobati secara fisiologis
dan psikologi. Tugas dokter dan petugas kesehatan adalah melatih dan meyakinkan keluarga atau
pengasuh untuk mengelola lingkungan yang memfasilitasi fungsi pasien dengan benar dengan
tidak membatasi pasien beraktivitas, akan tetapi tetap menjaga agar pasien tidak mengalami
kondisi yang membahayakan.5

Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri (P3G)


Pasien geriatri adalah orang tua berusia 60 tahun ke atas yang memiliki penyakit mejemuk
(multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani, dan atau kondisi sosial yang
bermasalah. Pasien geriatri memiliki karakteristik khusus, yaitu umumnya telah terjadi berbagai
penyakit kronik, fungsi organ yang menurun dan penurunan status fungsional (disabilities).
Akibatnya pasien geriatri sering mendapatkan banyak obat dari banyak dokter. hal ini justru
membahayakan tubuh mereka karena fungsi-fungsi organ sudah menurun.

12

Menatalaksana pasien geriatri memerlukan pendekatan khusus yang disebut pendekatan


paripurna pasien geriatri. Pendekatan ini dimaksudkan sebagai prosedur evaluasi multidimensi
dimana berbagai masalah pada pasien diungkap, diuraikan, semua aset pasien ditemu-kenali,
jenis pelayanan yang dibutuhkan diidentifikasi, rencana asuhan dikembangkan secara
terkoordinir, yang itu berorientasi kepada kepentingan pasien.5
Implikasi Klinis
Dalam pelaksanaannya, pendekatan yang bersifat multidimensi ini tidak selalu membutuhkan
begitu banyak tenaga ahli yang bekerja di dalam tim. Satu-tiga orang dokter ahli (misalnya
seorang dokter ahli rehabilitasi medik, seorang psikiater geriatri dan seorang internis geriatri)
ditambah seorang dokter gigi dapat bertindak sebagai anggota tim dokter yang tetap bisa
bermitra kerja dengan berbagai disiplin lain seperti ahli gizi, perawat gerontologi dan ahli
farmasi. Semua petugas kesehatan yang mempunyai predikat profesi sebagai geriatris harus
melihat pasien dari semua sudut (multidimensi) dan saling bekerjasama agar penatalaksanaannya
bisa lebih efisien dan paripurna.5
Seperti pada pasien inkontinensia urin diperlukan multidimensi dari beberapa ahli meliputi
seorang internis geriatri, psikiater geriatri, seorang farmasi dan seorang perawat. Seorang internis
geriatri dengan farmasis harus memandang pasien tidak hanya dari segi medik (fisik-biologik)
namun juga perlu memperhatikan aspek psiko-sosial. Seorang psikiater geriatri juga dituntut
untuk memahami perjalanan klinik pasien secara lengkap agar pengobatan yang diberikan
relevan. Demikian pula perawat, tidak hanya harus melaksanakan tindakan keperawatan namun
juga harus memahami mengapa pasien yang ia asuh tidak kunjung mampu melaksanakan
aktivitas hidupnya secara mandiri.
Gangguan yang Terjadi Pada Geriatri
Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu
yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan
masalah psikososial seperti depresi, mudah marah dan rasa terisolasi serta masalah higienis
penderitanya. Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang sering dijumpai pada orang
13

lanjut usia, khususnya perempuan yang pernah melahirkan karena disebabkan oleh perubahan
otot dan fasia di dasar panggul.5 Faktor resiko, meliputi:
1. Umur. Gejala mulai dirasakan mulai dewasa muda dan meningkat setelah umur 65 tahun.
Inkontinensia stres banyak terjadi sebelum usia 60 tahun, sedangkan inkontinensia
urgensi benyak terjadi pada usia lebih dari 60 tahun.
2. Kehamilan. Inkontinensia lebih banyak terjadi pada multipara. Bisa disebabkan
kerusakan otot pelvis dan jaringan disekitarnya. Kerusakan saraf karena trauma atau
peregangan bisa menyebabkan disfungsi otot pelvis.
3. Obesitas. Peningkatan Body Mass Index (BMI) juga meningkatkan tekanan intra
abdomen, sehingga beresiko terjadinya inkontinensia urin.
4. Menopause. Keadaan ini terjadi penurunan produksi estrogen yang menyebabkan
perubahan kolagen dan penurunan vaskularisasi uretra.
5. Merokok dan penyakit paru kronik. Rokok memiliki efek antiestrogenik. Selain itu, pada
perokok dan penderita penyakit paru kronik sering timbul gejala batuk yang dapat
meningkatkan tekanan intraabdomen, selain itu efek nikotin pada dinding kandung kemih
dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif.

Osteoarthritis11
Ostearthritis adalah penyakit yang merusak sendi-sendi tulang, ruang persendian yang berisi
tulang rawan, dan jaringan penghubung lainya. Sendi yang paling sering mengalami kerusakan
pada kondisi ini meliputi tangan, lutut, pinggul, dan tulang punggung. Pembengkakan juga dapat
terjadi pada sendi-sendi tersebut. Rasa sakit dan kaku pada sendi merupakan gejala utama
osteoarthritis. Gejala ini bahkan bisa membuat penderita kesulitan untuk menjalani aktivitas
sehari-hari. Osteoarthritis biasanya terjadi diatas usia 50 tahun, dan perempuan lebih banyak
menderita osteoarthritis dibanding laki-laki. Penyakit ini pernah dianggap sebagai suatu proses
penuaan normal, sebab insidens bertambah dengan meningkatnya usia.
Rasa sakit atau nyeri pada sendi biasanya akan muncul ketika sendi digerakkan dan sensasi
kaku akan terasa setelah sendi tidak digerakkan untuk beberapa waktu, misalnya saat bangun
pagi. Beberapa gejala lain yang mungkin menyertai adalah kelenturan sendi yang menurun, sendi
yang mudah nyeri, lemas otot dan massa otot yang berkurang. 12 Faktor yang mempengaruhi
14

terjadinya osteoarhtitis antara lain: proses penuaan, stres sendi (karena terlalu banyak dipakai
atau beban terlalu berat) dan aktivitas olah raga yang berlebihan. Dampak osteoarthritis terhadap
kehidupan sehari-hari dapat menimbulkan depresi, kecemasan, aktivitas sehari-hari yang
berkurang, terbatas pekerjaan yang bisa dilakukan. Faktor risiko umumnya disebabkan karena:
1. Umur. Prevalensi dan beratnya OA semakin meningkat dengan bertambahnya umur,
seringnya pada umur di atas 60 tahun.
2. Jenis kelamin. Wanita lebih sering terkena OA lutut dan banyak sendi, sedangkan lakilaki sering terkena OA paha, pergelangan tangan dan leher.
3. Kegemukan. Kepadatan tulang dapat meningkatkan risiko timbulnya OA. Karena tulang
yang lebih padat (keras) tak mambantu mengurangi benturan beban yang diterima oleh
tulang rawan sendi sehingga tulang rawan sendi mudah robek. Orang gemuk dan pelari
umumnya mempunyai tulang yang lebih padat.

Depresi Usia Lanjut


Depresi merupakan penyakit mental yang paling sering pada pasien berusia di atas 60 tahun
dengan gejala yang tidak khas. Faktor penyebab terjadinya depresi berhubungan dengan
polifarmasi (obat-obatan), multipatologi dan rasa kehilangan (pasangan hidup, perpisahan teman
dekat dan anggota keluarga, taraf kesehatan yang menurun, rasa aman, kekuasaan/jabatan dan
kebebasan). Pada pasien usia lanjut sering ditemukan dua atau lebih penyakit fisis (adanya
multipatologi) dan tidak jarang dijumpai kelainan fisis bersamaan (komorbiditas) dengan
gangguan psikis seperti depresi. Faktor yang memperberat depresi seperti penyakit fisi dan
neurologis (seperti stroke). Seperti pada kasus ini pasien penderita inkontinensia urin merasa
malu karena penyakitnya tersebut sehinga tidak mau keluar rumah. Depresi ditandai dengan
adanya perasaan sedih, murung, rasa malas dan cenderung menarik diri dari hubungan sosial.
Kriteria depresi berat mencakup 5 atau lebih gejala berikut:5

Perasaan depresi
Hilangnya minat atau rasa senang, hampir setiap hari
Berat badan menurun atau bertambah yang bermakna
Insomnia atau hipersomnia, hampir setiap hari
Agitasi atau retardasi psikomotor, hampir setiap hari
Kelelahan, hampir setiap hari
15

Rasa bersalah atau tidak berharga, hampir setiap hari


Sulit konsentrasi
Pikiran berulang tentang kematian atau gagasan bunuh diri

Tatalaksana
Umumnya terapi inkontinensia urin berupa non farmakologis, farmakologis maupun
pembedahan.5
1. Non farmakologis (non medikamentosa) memiliki resiko yang rendah dengan sedikit efek
samping, namun memerlukan motivasi dan kerjasama dari pasien atau pengasuh pasien,
meliputi:
a. Latihan otot dasar panggul
Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik uretra dan dasar pelvis. Latihan ini
diharapkan dapat meningkatkan kekuatan uretra untuk menutup secara sempurna pada
keadaan yang membutuhkan ketahanan uretra seperti pada waktu batuk.
b. Latihan kandung kemih (Bladder training)
Latihan ini bertujuan untuk memperpanjang interval berkemih sehingga frekuensi
berkemih hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan dapat menahan
sensasi untuk berkemih dan hanya berkemih pada interval waktu tertentu.
2. Farmakologis (medikamentosa)
a. Antikolinergik dapat digunakan untuk inkontinensia urgensi. Beberapa efek sampingnya
adalah Xerostomia, xerotalmia, konstipasi, gangguan penglihatan, sedatif, retensi urin,
insomnia, takikardi, kebingungan dan delirium.
b. Agonis adenergik . Otot leher vesika dan uretra proksimal mengandung alfa
adrenoseptor yang menghasilkan kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan penutupan
uretra. Obat ini menghasilkan tipe stimulasi dengan efek samping relatif ringan.
c. Fenilpropanolamin (PPA) saat ini dihentikan penggunaannya untuk inkontinensia tipe
stres karena uji klinik menunjukan adanya peningkatan resiko stroke.
d. Pseudoefedrin dapat digunakan untuk inkontinensia tipe stres karena meningkatkan
tekanan sfingter uretra, sehingga menghambat pengeluaran urin. Obat ini memiliki efek
samping seperti insomnia, sakit kepala dan gugup/gelisah. Penggunaan obat ini harus
hati-hati pada pasien dengan hipertensi, aritmia jantung dan angina, untuk itu jarang
digunakan untuk lanjut usia.

16

Pedoman Memberi Obat Pasien Geriatri


Masalah yang terjadi dalam pemberian obat pada lansia dapat berasal dari lansia tersebut,
dari obatnya dan mungkin dari dokternya. Lansia sering tidak taat dalam meminum obat yang
harus diminum dengan cara yang berlainan. Ada yang sekali sehari, dua kali, tiga kali atau empat
kali sehari, ada yang harus sebelum makan atau sesudah makan, dan aturan-aturan lainnya. Daya
ingat lansia juga cenderung menurun sehingga lupa meminum obat. Penglihatan kurang baik
sehingga keliru mengambil obat karena label di wadah obat yang kurang jelas. Kadang sulit
menelan tablet yang terlalu besar, tetapi sebaliknya tablet yang kecil sulit dipegang karena tangan
dan jari-jari mulai kaku. Lansia yang sudah tidak dapat melakukan sendiri dalam pengaturan
pemakaian obat-obatan ini harus diawasi dan bibantu oleh perawat atau pekerja sosial, keluarga,
teman atau tetangga dekat.12
Prinsip pemberian obat yang benar untuk pasien lanjut usia:5
1. Riwayat pengobatan lengkap. Pasien harus membawa semua obat, termasuk obat tanpa resep,
vitamin dan bahan dari took bahan kesehatan. Tanya tentang alergi, efek yang merugikan
(ADE), merokok, alcohol, kopi, obat waktu santai dan siapa pemberi obat.
2. Jangan memberikan obat sebelum waktunya. Hindari memberi resep sebelum diagnosis
ditegakkan, bila keluhan ringan atau khas, atau jika manfaat pengobatan merugikan.
3. Kenali obat yang digunakan. Ketahui sifat farmakologi obat yang diberikan, efek merugikan
dan keracunan yang mungkin terjadi. Nilai dengan teliti tanda-tanda kemunduran segi fungsi
dan mental yang mungkin disebabkan obat.
4. Mulai dengan dosis rendah naikkan perlahan-lahan. Pakai selalu dosis rendah untuk
mendapat hasil. Gunakam kadar obat dalam darah bila ada dan tepat untuk masalah ini.
5. Obati sesuai patokan. Gunakan dosis cukup untuk mencapai tujuan terapi, yang sesuai
tolerasi. Jangan mengurungkan terapi untuk penyakit yang dapat diobati.
6. Beri dorongan supaya patuh berobat. Jelaskan kepada psien tujuan pengobatan dan cara
mencapainya. Buat instruksi tertulis. Pertimbangkan sulit tidaknya jadwal pengobatan, biaya
dan kemungkinan efek merugikan bila memilih obat.
7. Hati-hati menggunakan obat baru. Obat baru belum dinilai tuntas untuk kelompok usia lanjut
dan rasio risiko/kegunaan sering tidak diketahui.
Polifarmasi
17

Polifarmasi adalah istilah yang dipakai untuk peresepan obat yang banyak dan berlainan
jenisnya, yang sekaligus diberikan pada seorang pasien. Istilah ini mengandung pengertian
mubazir, berlebihan yang mungkin tidak diperlukan dan sebagian dapat dihentikan tanpa
mempengaruhi hasil pengobatan. Hal ini sering menimbulkan masalah pada lansia karena akan
meningkatkan kemungkinan kejadian efek samping (reaksi tubuh terhadap bahan kimia) dan
interaksi obat (pengaruh obat terhadap obat lain yang diberikan bersamaan).12
Polifarmasi sulit dihindari:5

Penyakit yang diderita banyak


Obat diresepkan oleh beberapa dokter
Kurang koordinasi dalam pengelolaan
Gejala yang dirasakan pasien tidak jelas
Pasien meminta resep
Untuk menghilangkan efek samping obat justru ditambah obat baru

Pada lansia biasanya terdeteksi beberapa kelainan atau penyakit. Akibatnya, sulit untuk
menentukan keadaan mana yang harus diobati lebih dulu karena tidak semua kondisi yang
ditemukan harus diberi obat, artinya harus ditentukan prioritasnya. Maka dalam pengobatannya
memerlukan obat yang beraneka ragam dibandingkan dengan orang dewasa. Selain itu, perlu
diketahui bahwa fungsi organ-organ vital tubuh seperti hati dan ginjal yang berperan dalam
mengolah obat-obat yang masuk ke dalam tubuh telah berkurang. Hal ini menyebabkan
kemungkinan besar obat tersebut akan menumpuk dalam tubuh dan terjadi keracunan obat
dengan segala komplikasinya jika diberikan dengan dosis obat yang sama dengan dewasa. Efek
samping obat pada lansia biasanya terjadi karena diagnosis yang tidak tepat, ketidakpatuhan
meminum obat, serta penggunaan obat yang berlebihan dan berulang-ulang dalam waktu lama.
Namun bila semua obat yang diberikan memang dibutuhkan dan bermanfaat, hal ini tidak
digolongkan sebagai polifarmasi, tetapi disebut multiple medications.13
Jika lansia berobat ke beberapa dokter dengan keahlian yang berbeda, tentu akan mendapat
obat yang bermacam-macam sesuai keluhan pada saat itu. Jadi, penting untuk selalu
memberitahukan kepada dokter tersebut bahwa pasien sedang atau sudah meminum obat-obatan
yang diberikan oleh dokter sebelumnya, untuk mencegah pemberian obat yang berlebihan dan
mubazir.11
18

KESIMPULAN
Inkontinensia urin merupakan penyakit yang kebanyakan dijumpai pada usia lanjut terutama
pada wanita. Pada skenario ini perempuan tersebut mengalami inkontinesia stres yang ditandai
tidak dapat menahan urin saat tertawa dan bersin. Serta mengalami osteoarthritis yang ditandai
dengan rasa sakit atau nyeri pada sendi biasanya akan muncul ketika sendi digerakkan dan
sensasi kaku akan terasa setelah sendi tidak digerakkan untuk beberapa waktu dan depresi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam: Anamnesis dan
Pemeriksaan Fisik. Edisi ke-6. Jilid 1. Jakarta: Interna Publishing; 2015.h.125.
2. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran. Edisi
ke-3. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2003.
3. McGlynn. Diagnosis fisik. Edisi ke-17. Jakarta: EGC; 2005: h. 292-302.
4. Darmojo B. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2009: h.258-64.
5. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jilid 3.
Jakarta: Interna Publishing; 2015.h.3199-3815.
6. Supriyadi T, Gunawan J. Kedaruratan obsterti dan ginekologi. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;
2005: h. 434-435.
7. Maryam S, Ekasari MF, Rosidawati, dkk. Mengenal usia lanjut dan perawatannya.
Jakarta: Salemba Medika; 2008.h.1-64
8. Syah E. Penyebab, jenis dan pengobatan inkontensia urin. Edisi Juli 2014. Diunduh
darihttp://www.medkes.com/2014/07/penyebab-jenis-pengobatan-inkontinensiaurin.html. 30 Januari 2015.
9. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Mikrobiologi kedokteran. edisi 20. Jakarta : EGC;
2004.h.116-139.
10. Borley N, Grace P. Ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: Erlangga; 2007: h.181.
11. Yatim F. Penyakit tulang dan persendian arthritis atau arthralgia. Jakarta: Obor; 2006:
h.26-9.

19

12. Sangadji

M.

Institutional

Respiratory.

Edisi

2014.

Diunduh

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41542/5/Chapter%20I.pdf.

dari
Januari

2016.
13. Santoso H, Ismail A. memahami krsis lanjut usia: Uraian medis dan pedaginis-pastoral.
Jakarta: PT. BPTK Gunung Mulia; 2009.h.56-60.
http://baguselek.blogspot.co.id/2011/05/inkontinensia-urin-dan-alvi.html

20

Anda mungkin juga menyukai