Anda di halaman 1dari 41

Referat

Acute Limb Ischaemia

Oleh:

Alesandro Parluhutan Tonggiro

1730912310013

Pembimbing:

dr. Agung Hadi Susanto, Sp.JP, FIHA

BAGIAN SMF JANTUNG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN


BANJARMASIN

Januari, 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Referat

Acute Limb Ischaemia

Oleh
Alesandro Parluhutan Tonggiro

Pembimbing

dr. Agung Hadi Susanto, Sp.JP, FIHA

Banjarmasin, Januari 2019


Telah setuju diajukan

.……………………….
dr. Agung Hadi Susanto, Sp.JP, FIHA

Telah selesai dipresentasikan

.………………………
dr. Agung Hadi Susanto, Sp.JP, FIHA

2
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL 1
LEMBAR PENGESAHAN 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 6
A. Definisi .................................................................................. 6

B. Epidemiologi ......................................................................... 6

C. Etiologi .................................................................................. 7

D. Patofisiologi .......................................................................... 7

E. Klasifikasi ............................................................................. 8

F. Faktor Risiko ......................................................................... 9

G. Gejala dan Tanda................................................................... 10

H. Diagnosis ............................................................................... 11

I. Tata Laksana ......................................................................... 12

J. Edukasi .................................................................................. 15

K. Prognosis ............................................................................... 15

BAB III PENUTUP.................................................................................. 41


DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 42

3
BAB I

PENDAHULUAN

Iskemia lengan dan tungkai akut terjadi jika sumbatan arteri secara tiba-tiba

menyebabkan berkurangnya aliran darah ke daerah lengan maupun tungkai.

Kebutuhan metabolik pada perfusi jaringan menjadi lebih besar, sehingga dapat

membahayakan fungsi anggota gerak.

Pada proses penyakitnya dapatmenyebabkan gangguan perfusi jaringan.

Salah satu penyakit yang menyerang arteri adalah iskemia tungkai akut. Di negara

Inggris dan Wales terdapat 5000 pasien terserang iskemia tungkai akut per tahun

dengan angka kematian 20% dan kehilangan salah satu ektremitas sebanyak 40%.

Angka resiko kematian dan amputasi cukup tinggi karena mempunyai penyakit

komorbid yang berasal dari CAD dan CVD.

Gambaran klinis pada pasien dengan iskemi lengan dan tungkai akut

berhubungan dengan lokasi tempat sumbatan arteri dan penurunan aliran darah. Jika

dilihat dari beratnya iskemik, pasien mungkin akan mengalami kelumpuhan dan

dapat menjadi pincang atau mengalami nyeri saat beristirahat. Nyeri dapat timbul

dalam jangka waktu yang singkat dan tampak jelas pada ekstremitas distal sampai

kepada daerah obstruksi. Nyeri yang timbul tersebut tidak terbatas pada kaki atau

jempol atau tangan ataupun daerah jari, sebagaimana yang biasa dijumpai pada

kasus iskemik lengan dan tungkai kronik. Iskemik yang terjadi bersamaan pada

saraf perifer menyebabkan hilangnya rangsang sensoris dan disfungsi motorik.

4
Pada pemeriksaan fisis terkadang tidak didapatkan adanya denyut nadi di

daerah distal sampai ke daerah sumbatan, kulit yang dingin, pucat, pengisian aliran

balik kapiler yang terlambat dan pengisian vena yang lambat, ketiadaan persepsi

sensoris, dan kelemahan otot hingga lumpuh. Dengan mengenal tanda dan gejala

ALI, maka resiko kehilangan anggota gerak dapat menurun. Suatu penelitian

menunjukkan, angka amputasi ditemukan meningkat terhadap interval antara onset

dari ALI dan eksplorasi (6% dalam 12 jam, 12% dalam 13 hingga 24 jam, 20%

setelah 24 jam)

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Terdapat beberapa definisi dari Acute Limb Ischaemia atau Iskmia Anggota

Gerak Akut, antara lain:

- Akut Limb Iskemik merupakan suatu kondisi dimana terjadi penurunan perfusi

ke ekstremitas secara tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada kemampuan

pergerakan, rasa nyeri atau tanda-tanda iskemik berat dalam jangka waktu dua

minggu (Vaskuler Disease A Handbook)

- Menurut IA- Khaffaf (2005) Acute Limb Ischemia merupakan suatu kondisi

dimana terjadi penurunan aliran darah ke ekstremitas secara tiba-tiba yang

menyebabkan gangguan pada kemampuan pergerakkan, rasa nyeri atau tanda-

tanda iskemik berat dalam jangka waktu dua minggu dan umumnya iskemia akut

tungkai disebabkan oleh proses oklusi akut atau adanya aterosklerosis.

- Sedangkan menurut (TASC II) Akut limb iskemik (ALI) adalah adanya

penurunan tiba-tiba perfusi ekstremitas menyebabkan potensi ancaman terhadap

kelangsungan hidup ekstremitas. Presentasi ini biasanya sampai 2 minggu

setelah akut.

Oklusi akut dari suatu arteri pada ekstremitas dimana merupakan penurunan

secara tiba-tiba atau perburukan perfusi anggota gerak yang menyebabkan ancaman

potensial terhadap viabilitas ekstremitas. Sebagai hasil dari iskemia akut adalah

6
terjadinya hipoksia jaringan yang menyebabkan perubahan ireversibel pada otot

skelet dan saraf perifer. Perubahan ireversibel pada otot dan saraf terjadi biasanya

setelah empat hingga enam jam setelah iskemia akut. Adanya gangguan iskemia

biasanya diawali oleh gejala klaudikasio intermiten, yang merupakan tanda adanya

oklusi.

Apabila proses aterosklerosis berjalan terus maka iskemia akan makin hebat

dan akan timbul tanda/gejala dari iskemia kritikal. Acute Limb Ischemia (ALI)

merupakan salah satu klasifikasi dari Peripheral Artery Disease (PAD).

2. Etiologi

kondisi iskemia yang disebabkan oleh emboli terkait dengan adanya onset

yang cepat, riwayat penyakit jantung sebelumnya, dan tidak adanya riwayat PAD

sebalumnya. Ekstremitas yang kontralateral cenderung memberikan hasil normal

pada pemeriksaan, tanpa ada stigmata kejadian atherosclerosis sistemik.

Thrombosis

Thrombosis in situ lebih berperan sebagai penyebab kasus iskemia anggota

gerak akut dibandingkan emboli sebagaimana ditunjukkan pada trial Thrombolysis

or Peripheral Arterial Surgery (TOPAS), sekitar 85% dari seluruh kasus. Angka

kejadian kasus emboli telah menurun sejak beberapa dekade terakhir. Pada

penelitian yang dilakukan di Yunani, yang mengevaluasi penyebab iskemia anggota

gerak akut pada pusat-pusat rujukan antara tahun 2000 dan 2004, 40% kasus

disebabkan oleh kejadian emboli, sedangkan in situ thrombosis menjadi penyebab

pada 50% kasus, dan sisanya sebsar 10% disebabkan oleh trauma, injuri iatrogenic,

vaskulitis, atau diseksi. Sebanyak 78% kasus emboli berasal dari jantung, dan

7
sebanyak 9% dari kasus emboli tidak ditemukan asalnya. Di antara seluruh kasus

thrombosis in situ, 30% terjadi pada arteri normal, sedangkan 70% terjadi pada

pembuluh darah yang mendapat intervensi (65% graft thrombosis dan 5% berupa

thrombosis akibat pemasangan stent di iliac atau infra inguinal). 30% penyebab

iskemia anggota gerak akut dikarenakan surgical graft thrombosis. Pasien dengan

graft dapat mengalami graft thrombosis dan berkembang menjadi gejala iskemia

anggota gerak akut dikarenakan degenerasi graft atau adanya permasalahan

mekanis seperti stenosis anastomosis atau retained valves. Kompresi atau kinking

pada graft juga dapat menyebabkan thrombosis. Dengan adanya metode stent

grafting untuk penyakit aneurisma aortoiliac, maka thrombosis stent graft akut

ditambahkan menjadi salah satu penyebab iskemia anggota gerak.

Trombosis in situ pada aneurisma arteri poplitea biasanya muncul bersama

dengan iskemia anggota gerak akut. Pada suatu review yang dilakukan pada hampir

900 pasien yang mengalami iskemia anggota gerak akut sekunder akibat thrombosis

aneurisma popliteal, dilaporkan angka kejadian amputasi sebesar 14%. Pada

penelitian ini, terapi trombolisis dengan dipandu kateter yang dilakukan sebelum

tindakan pembedahan tidak dapat menurunkan angka kemungkinan dilakukan

amputasi, akan tetapi hal ini secara signifikan akan meningkatkan patensi graft

dalam jangka panjang, diduga karena dengan melakukan tindakan ini akan

memaksimalkan patensi pembuluh darah tibial. Keputusan untuk melakukan

trombolisis dengan panduan kateter harus disesuaikan dengan kondisi klinis dan

kegawatan untuk dilakukan revaskularisasi.

8
Emboli

Iskemia anggota gerak akut sering disebabkan oleh emboli, seringkali

berasal dari jantung. Embolus sering menyumbat pada bifurkasio aortoiliac,

bifurkasio femoral, atau trifurkasio popliteal. Selama beberapa decade terakhir,

etiologi kejadian cardioemboli telah makin berkembang. Emboli yang disebabkan

oleh rheumatic mitral stenosis dengan pembesaran atrium merupakan suatu

kejadian yang jarang terjadi karena prevalensi penyakit katup jantung rematik saat

ini telah menurun secara substansial. Fibrilasi atrium yang terkait usia dan disfungsi

ventrikel kiri dengan pembentukan thrombus di apeks merupakan penyebab

terbanyak kejadian cardioemboli. Penyebab yang lebih jarang meliputi

endocarditis, intracardiac myxoma, atau paradoxical embolism yang disebabkan

oleh patent foramen ovale yang memungkinkan transit thrombus yang ada di vena

ke dalam sirkulasi arteri. Oklusi emboli akut terkait aneurisma aorta dan thrombus

intramural jarang terjadi.

Penyebab Iatrogenik

Iskemia anggota gerak akut dapat disebabkan oleh metode akses arterial

melalui arteri femoralis dan injuri pembuluh darah di lokasi akses, baik dengan

terbebasnya alat penutup vaskular ataupun dengan adanya injuri langsung pada

arteri femoralis major maupun arteri iliaca major. Demikian juga, thrombosis yang

terjadi terkait kateter dan emboli pada arteri popliteal dapat terjadi

Sebab Lain

Vasospasme yang intens, seperti akibat ergotism atau konsumsi kokain, telah

dilaporkan dapat menyebabkan oklusi pada distal aorta dan pembuluh darah iliaka

9
dimana tunika intima mengalami kompresi oleh tunika media. DVT (deep vein

thrombosis) Iliofemoral dengan pembengkakan massif pada paha dapat

menyebabkan gangguan pada aliran arterial ke kaki. Sindroma phlegmasia cerulean

dolens membutuhkan terapi trombolisis dengan dipandu kateter yang harus

dilakukan segera untuk mengembalikan aliran darah balik vena dan juga aliran

arterial ke ekstremitas bawah.

3. Patofisiologi

Kebanyakan emboli menyebabkan sumbatan di area percabangan arteri,

bifurkasio aorta, iliaca, femoral, atau popliteal di area kaki, dan bifurkasio brachial

pada lengan. Thrombosis in situ seringkali menyebabkan gangguan pada arteri

femoral dan popliteal, terutama pada kondisi pasien yang pernah mengalami bypass

arteri, rupture plak atherosclerosis, atau pada keadaan low output. Penghentian

aliran arteri ke ekstremitas secara mendadak memicu kompleks proses

patofisiologis. Jaringan yang mengalami malperfusi akan mengalami perubahan

metabolism, dari metabolism aerob menjadi metabolism anaerob. Perubahan rasio

laktat – piruvat akan meningkatkan produksi laktat, meningkatkan konsentrasi ion

hydrogen, dan akhirnya menyebabkan terjadi acidosis. Iskemia yang progresif

menyebabkan disfungsi dan kematian sel. Hipoksia otot akan menurunkan

simpanan adenosine triphosphate (ATP) intraseluler, dan menyebabkan disfungsi

sodium/potassium-ATPase dan kanal calcium/sodium sehigga menyebabkan

kebocoran kalsium intrasel ke dalam miosit. Level kalsium bebas intraseluler akan

meningkat dan berinteraksi dengan actin, myosin, dan protease, menyebabkan

nekrosis pada serabut otot. Bersamaan dengan kerusakan pada integritas

10
mikrovaskular dan membrane sel, potassium, fosfat, kreatinin kinase dan

myoglobin intrasel akan keluar dari sel ke sirkulasi sistemik. Lebih lanjut, reperfusi

meningkatkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sel ini. Jaringan otot dan

saraf cukup rentan mengalami injuri iskemia, sehingga ada atau tidaknya deficit

neuromotor merupakan suatu poin yang sangat penting untuk menilai keparahan

iskemia anggota gerak akut. Kerusakan otot yang ireversibel akan dimulai sejak 3

jam setelah terjadi iskemia dan kerusakan ini akan total setelah mencapai 6 jam.

Selain injurin miosit, injuri pada otot skeletal akan diikuti dengan kerusakan

ikrovaskular yang progresif. Semakin parah kerusakan seluler yang terjadi, makin

besar perubahan yang dialami mikrovaskular. Pada kondisi nekrosis otot, aliran

mikrovaskular berhenti dalm waktu beberapa jam. Secara teori, butuh waktu sekitar

6 jam untuk menyebabkan injuri fungsional yang ireversibel. Rentang waktu ini

dapat lebih lama pada kondisi ekstremitas yang memiliki aliran darah kontralateral.

Kondisi iskemik akan memicu suatu kondisi injuri reperfusim suatu proses yang

dipicu oleh pengembalian perfusi dan dimediasi oleh kompleks kaskade sitokin,

reactive oxygen species (ROS), dan neutrofil. Reactive oxygen species (cth :

superoxide anion, hydrogen peroksida, hidroksil radikal, peroksinitrit) diproduksi

oleh neutrofil teraktivasi dan xanthine oxidase, suatu enzim yang berlokasi di sel

endotel mikrovaskular pada otot skeletal dan teraktivasi pada kondisi iskemik. Di

bawah kondisi normal, xanthine dehydrogenase menggunakan nicotinamide

adenine dinucleotide untuk mengoksidase hypoxanthine menjadi xanthine.

Xanthine dehydrogenase diubah menjadi xanthine oksidase setelah 2 jam iskemia.

Selama iskemia berlangsung, ATP didegradasi menjadi hypoxanthine, akan tetapi

11
xanthin oxidase membutuhkan oksigen untuk mengubah hypoxanthine menjadi

xanthine. Sehingga, hypoxanthine akan terakumulasi selama iskemia. Ketika

oksigen diperoleh selama fase reperfusi, isoform xanthine dehydrogenase akan

teraktivasi. Perubahan hypoxanthine dalam jumlah besar-besaran akan

menciptakan reactive oxygen species. Substrat yang esensial dalam produksi

radikal-radikal ini, oksigen molecular, dihasilkan selama proses reperfusi. Oksidan

yang berasal dari xanthine oxidase memediasi peningkatan permeabilitas vaskular

dalam otot postischemic. Peran penting oksigen elemental dan peran oksigen

radikal dalam injuri reperfusi sering diabaikan pada penelitian-penelitian yang

menunjukkan bahwa reperfusi yang dimulai dengan darah autolog yang

terdeoksigenasi mencegah peningkatan permeabilitas setelah iskemik. Merubah

darah yang memperfusi menjadi darah yang teroksigenasi selama treperfusi mirip

dengan respon injuri mikrovaskular yang tampak setelah reperfusi normoxic.

Demikian juga, pengenalan oksigen kembali secara bertahap di awal reperfusi akan

menurunkan injuri postischemic. Suplementasi tambahan dengan pembasmi radikal

bebas dan menurunkan konsumsi oksigen akan menurunkan injuri pada nekrosis

postisc hemic. Neutrofil yang teraktivasi merupakan agen utama yang berperan

menyebabkan kerusakan local maupun sistemik yang disebabkan proses reperfusi.

Leukosit juga memegang peran yang sama pentingnya dalam menyebabkan injuri

reperfusi. Neutrofil teraktivasi akan terakumulasi di dalam otot yang mengalami

reperfusi dan memproduksi metabolit oksigen reaktif, melepaskan enzim sitotoksik,

dan mengoklusi jalur mikrosirkulasi. Menurunkan jumlah leukosit telah diketahui

mampu mereduksi injuri iskemia-reperfusi. Reperfusi dengan darah yang

12
teroksigenasi dengan jumlah kandunga leukosit yang telah terdeplesi menggunakan

filter dapat mencegah peningkatan permeabilitas vaskular pada otot skelet canine.

Menariknya, menginduksi terjadinya neutropenia sebelum iskemia pada tikus akan

mengembalikan membran potensial transmembran dan fungsi kontraksi pada otot

postischemic tikus. Iskemia dan reperfusi otot skelet akan menstimulus sejumlah

kaskade inflamasi tambahan yang melibatkan aktivasi komplemen, meningkatkan

ekspresi molekul adhesi, pelepasan sitokin, sintesa eicosanoid, pembentukan

radikal bebas, perubahan sitoskeletal, deplesi adenine nucleotide, perubahan

metabolism kalsium dan fosfolipid, aktivasi leukosit, dan disfungsi endotel.

Interleukin (IL)-1β dan tumor necrosis factor (TNF) – α dapat segera dideteksi

setelah reperfusi dan memicu molekul adhesi pada permukaan sel endotel,

emningkatkan kebocoran kapiler, dan menstimulasi produksi IL-6 dan IL-8, yang

mana lebih lanjut meningkatkan permeabilitas endotel, menghancuran integritas

endotel, dan mengaktivkan leukosit. Efek klinis dari respon seluler terhadap

reperfusi berupa pembengkakan jaringan, suatu kondisi kerusakan yang hebat pada

ruang tertutup di lengan bawah, paha, betis, dan pantat. Peningkatan tekanan

kompartemen di dalam batas fascia menyebabkan compartment syndrome: tekanan

kompartemen yang meningkat menyebabkan penurunan gradient perfusi dan aliran

darah kapiler sehingga tidak mencukupi kebutuhan metabolic, menyebabkan

kondisi iskemia dan nekrosis yang semakin parah. Pelepasan mioglobin dapat

menyebabkan kerusakan ginjal. Peningkatan permeabilitas endotel dapat

menyebabkan acute lung injuri, suatu proses yang telah diujikan pada hewan coba

dengan menginduksi terjadinya neutropenia secara kimiawi, menunjukkan bahwa

13
aktivasi dan transmigrasi neutrofil serta hilangnya integritas endotel merupakan

hal-hal penting dalam acute lung injury pada injuri reperfusi. Sehingga, edema paru

noncardiac dapat terjadi setelah proses reperfusi pada ekstremitas bawah, suatu

proses yang dapat dicegah dengan deplesi granulosit. Sindroma reperfusi terdiri atas

dua komponen. Respon local terhadap reperfusi memicu terjadinya pembengkakan

jaringan, sedangkan respon sistemik terhadap reperfusi dapat berupa kegagalan

multiorgan dan kematian. Respon sistemik inilah yang menyebabkan kegagalan

intervensi pada iskemia anggota gerak tingkat lanjut dan ireversibel. Derajat respon

inflamasi yang terjadi setelah proses reperfusi bervariasi. Ketika nekrosis otot

seragam maka dikatakan respon inflamasinya kecil. Derajat kerusakan iskemik,

meskipun begitu, akan bervariasi tergntung proksimitas jaringan terhadap lokasi

oklusi dan efisiensi suplai darah melalui pembuluh kolateral.Besar kecilnya respon

inflamasi akan ditentukan oleh seberapa luas zona iskemik (tapi tidak sepenuhnya

nekrotik). Sehingga reperfusi pada sekelompok besar otot yang terjadi dengan injuri

iskemik tingkat lanjut dan nekrosis jaringan akan menyebabkan pelepasan sejumlah

besar mediator inflamasi toksik ke dalam sirkulasi sistemik. Efek perusak dari

proses reperfusi dapat menyebabkan pasien dengan injuri iskemik ireversibel harus

diamputasi.

4. Klasifikasi

Ad hoc commite of the Society for Vascular Surgery and the North American

Chapter of the International Society for Cardiovasculer Surgery menciptakan suatu

klasifikasi untuk oklusi arterial akut. Dikenal tiga kelas yaitu:

14
 Kelas I: Non-threatened extremity; revaskularisasi elektif dapat diperlukan atau

tidak diperlukan.

 Kelas II: Threatened extremity; revaskularisasi diindikasikan untuk melindungi

jaringan dari kerusakan.

 Kelas III: Iskemia telah berkembang menjadi infark dan penyelamatan

ekstremitas tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan.

Berdasarkan Rutherfort klasifikasi akut limb iskemik dapat dikategorikan sebagai

berikut:

a) Kelas I: perfusi jaringan masih cukup, walaupun terdapat penyempitan arteri,

tidak ada kehilangan sensasi motorik dan sensorik, masih bisa dengan obat-

obatan pada pemeriksaan Doppler signal audible

b) Kelas IIa: perfusi jaringan tidak memadai pada aktivitas tertentu. Timbul

klaudikasio intermiten yaitu nyeri pada otot ektremitas bawah ketika berjalan

dan memaksakan berhenti berjalan, nyeri hilang jika pasien istirahat dan sudah

mulai ada kehilangan sensorik. Harus dilakukan pemeriksaan angiography

segera untuk mengetahui lokasi oklusi dan penyebab oklusi

c) Kelas IIb: perfusi jaringan tidak memadai, ada kelemahan otot ekstremitas dan

kehilangan sensasi pada ekstremitas. Harus dilakukan intervensi selanjutnya

seperti revaskularisasi ataupun embolectomy

d) Kelas III: telah terjadi iskemia berat yang mengakibatkan nekrosis, kerusakan

saraf yang permanen, irreversible, kelemahan ekstremitas, kehilangan sensasi

sensorik, kelainan kulit atau gangguan penyembuhan lesi kulit. Intervensi

tindakan yang dilakukan yaitu amputasi.

15
Akut limb iskemik juga dapat diklasifikasikan berdasarkan terminologi:

 Onset

a) Acute: kurang dari 14 hari

b) Acute on chronic: perburukan tanda dan gejala kurang dari 14 hari

c) Chronic iskemik stabil: lebih dari 14 hari

 Severity

a) Incomplete: Tidak dapat ditangani

b) Complete: Dapat ditangani

 Irreversible: Tidak dapat kembali ke kondisi normal

5. Gejala dan Tanda

Gejala klasik dan temuan yang didapat pada pemeriksaan fisik pada penderita

iskemia anggota gerak akut sering dikenal dengan sebutan 6 P :

Pulselessness, pallor, pain, poikilothermia, paralysis, dan paresthesia. Nyeri

merupakan gejala yang paling umum ditemukan dan makin meningkat seiring

keparahan iskemia. Pallor (pucat) merupakan temuan awal pada ekstremitas yang

mengalami iskemik dan hal ini disebabkan oleh pengosongan pada vasospasme

arteri komplit. Stagnasi sirkulasi mikrovaskular yang terjadi berikutnya akan

menyebabkan kerusakan kulit, yang mana kulit akan berwarna pucat ketika ditekan.

Ketika kondisi iskemik terus berlanjut, akan muncul paresthesia, dan kemudian rasa

kebas/numbness menggantikan rasa nyeri, yang mana hal ini menyebabkan pasien

dan dokter mendapatkan kepastian yang salah. Pada stadium akhir injuri iskemik,

akan terjadi paralisis, pengelupasan kulit akan terjadi, tanpa kulit menjadi pucat.

16
Kehilangan fungsi motorik dan kulit mengkilat seperti marmer memperkuat dugaan

telah terjadi injuri iskemik ireversibel.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan seksama dapat menentukan level

oklusi dengan mendeteksi gradient temperature di sepanjang ekstremitas dan deficit

nadi baik secara palpasi maupun dengan pemeriksaan arteri dengan Doppler.

Perubahan kulit menjadi pucat dan perubahan suhu kulit terdeteksi pada satu level

di bawah level terjadinya oklusi. Pemeriksaan fisik harus melibatkan pencarian

sumber iskemik yang potensial. Temuan berupa atrial fibrillation, murmur jantung

pada penyakit katub jantung, atau adanya gejala CHF dapat berimplikasi pada sebab

cardioemboli. Gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan menggigil dapat

mengacu pada endocarditis sebagai etiologi emboli jantung. Stigmata adanya PAD

di ekstremitas kontralateral atau tanda-tanda pernah mendapatkan terapi

revaskularisasi berupa pembedahan mengacu pada kondisi thrombosis arterial in

situ, sedangkan nyeri dada, hipertensi, dan denyut arteri yang asimetris pada

ekstremitas atas mungkin memerlukan pemeriksaan radiologi tambahan untuk

mengeksklusi kemungkinan diseksi aorta.

Lebih penting lagi, pemeriksaan fisik merupakan cara untuk menentukan

klasifikasi keparahan iskemia, urgensi untuk dilakukan revaskularisasi, dan

prognosis setelah dilakukan revaskularisasi (Tabel 2.1), Klasifikasi klinis ini juga

berguna untuk menentukan strategi intervensi yang terbaik. Secara umum,

Rutherford class I merepresentasikan ekstr emitas yang viable dan tidak terancam,

seperti pada pasi en dengan iskemia kronik dan nonkritis. Rutherford class II

menampilakn gejala-gejala sebagaimana ekstremitas yang terganggu. Ekstremitas

17
klas IIA ditunjukkan dengan kondisi sensoris dan motoris yang intak meskipun

tidak didapatkan sinyal arterial pada Doppler. Klass IIB meliputi pasien dengan

ekstremitas yang terancam, kehilangan fungsi sensori, gangguan fungsi motoris

ringan, dan tidak ada sinyal arteri Doppler. Ekstremitas pada tingkat klasifikasi ini

masih dapat diselamatkan jika mendapatkan penatalaksanaan segera. Iskemia

ekstremitas yang ireversibel ditunjukkan pada kalsifikasi Rutherford class III,

dengan kerusakan saraf permanen, hilangnya fungsi sensoris dan paralisis motoris,

dan hilangnya sinyal arteri dan vena pada Doppler. Revaskularisasi pada

ekstremitas yang mengalami hal tersebut sangat berbahaya, sehingga dibutuhkan

amputasi. Adanya penyakit sumbatan arteri yang mendasari dapat mnimbulkan

“precondition” pada ekstremitas dengan mengembangkan aliran darah kolateral

untuk mengurangi keparahan malperfusi jaringan ketika terjadi oklusi akut.

Sehingga, pasien dengan thrombosis in situ pada pembuluh adarh atherosclerosis

dan pasien dengan kegagalan graft/cangkok dapat mentoleransi iskemia akut lebih

baik dibanding pasien-pasien tanpa penyakit arterial yang mengalami iskemia

anggota gerak akut akibat cardioemboli atau sebab iatrogenic. Beberapa

karakteristik klinis dapat digunakan untuk membedakan kejadian emboli dan

thrombosis in situ. Pasien dengan onset nyeri yang mendadak dan batas demarkasi

perubahan suhu kulit dan pengelupasan kulit yang jelas. Pasien-pasien ini biasanya

memiliki tanda dan gejala sesuai Rutherford class IIb dan III. Pasien dengan

thrombosis arterial in situ biasanya

Memiliki tanda PAD dan onset gejalanya lebih samar. Temuan dari

pemeriksaan fisik tidak terlalu mencolok, dengan batas demarkasi perubahan

18
iskemik yang kurang tampak dan lebih cenderung mengalami cyanosis dibanding

pucat. Pasien ini jatuh pada kategori Rutherford class I dan IIa.

6. Diagnosis

Diagnosis Iskemia Anggota Gerak Akut dapat sulit ditegakkan, terutama pada

pasien yang juga mengalami defisit sensoris dan motoris yang menyebabkan

perhatian kita langsung terarah pada pemeriksaan secara neurologis. Tanda dan

gejala klinis pada iskemia anggota gerak akut bermanifestasi dengan variasi temuan

gejala terkait keparahan iskemia dan durasi malperfusi arterial. Diagnosis iskemia

anggota gerak akut dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan radiologi

untuk mengkonfirmasi diagnosis dengan computed tomographic angiography

(CTA) atau magnetic resonance angiography (MRA) meyebabkan adanya potensi

keterlambatan dalam memberikan intervensi terapeutik. Bedside USG duplex dapat

dilakukan secara cepat dan dapat memberikan informasi mengenai lokasi oklusi dan

19
pemilihan strategi akses arteri untuk prosedur endovascular. Pemeriksaan fisik yang

dilakukan secara cermat, melibatkan evaluasi dengan Doppler untuk mendeteksi

sinyal arteri dan vena, biasanya cukup untuk mendapatkan informasi ini.

Pemeriksaan fisik yang baik dapat menentukan lokasi oklusi di arteri dan

mengurangi kebutuhan untuk dilakukan pemeriksaan tambahan lainnya.

Anamnesis

Anamnesis mempunyai 2 tujuan utama:

1. Menanyakan gejala yang muncul pada kaki yang berhubungan dengan

keparahan dari iskemia anggota gerak (sakit sekarang)

2. Mengkaji informasi terdahulu (seperti, riwayat klaudikasio, intervensi baru

pada arteri proksimal ataupun kateterisasi diagnostic kardiak), menyinggung

etiologi, diagnosis banding, dan kehadiran dari penyakit yang signifikan

secara berbarengan.

Kemunculan penyakit

Gejala pada kaki pada ALI berhubungan secara primer terhadap nyeri atau

fungsi. Onset serangan dan waktu nyeri yang tiba-tiba, lokasi dan intensitasnya,

bagaimana perubahan keparahan sepanjang waktu kesemuanya harus digali. Durasi

dan intensitas nyeri adalah penting dalam membuat keputusan medis. Onset tiba-

tiba dapat memiliki implikasi etiologi (seperti, emboli arteri cenderung muncul

lebih mendadak daripada arterial thrombosis), sedangkan kondisi dan lokasi nyeri

dapat membantu menegakkan diagnosis banding.

20
Riwayat penyakit dahulu

Hal ini penting untuk ditanyakan:

 Apakah pasien mempunyai nyeri pada kaki sebelumnya (seperti riwayat

klaudikasio)

 Apakah pasien pernah mendapatkan intervensi untuk penyakit atau kelainan

pada sirkulasi / pembuluh darah pada masa lampau (misalnya pemasangan stent

atau graft )

 Apakah pasien pernah didiagnosis memiliki penyakit jantung (seperti, atrial

fibrilasi) maupun aneurisma (kemungkinan sumber emboli)

 Sebaiknya ditanyakan tentang penyakit yang dimiliki yang dapat menjadi faktor

risiko aterosklerotik (hipertensi, diabetes, perokok, hiperlipidemia, riwayat

keluarga terhadap serangan jantung, stroke)

Pemeriksaan Penunjang

 Angiografi

Merupakan kriteria standar dalam mendiagnosis penyakit oklusi arteri perifer.

 Magnetic resonance angiografi

- Untuk melihat pembuluh darah besar dan kecil.

- Digunakan untuk menegakkan diagnosis dan merencanakan jenis intervensi

21
 Computerized tomographic angiography

Masih jarang dipakai karena memerlukan media kontras yang banyak untuk

menghasilkan hasil yang baik

 Duplex ultrasonography

- Suatu prosedur pemeriksaan diagnostik atau terapi yang bersifat noninvasive

untuk menilai struktur dan fungsi pembuluh darah.

- Terdapat tiga modalitas dalam pemeriksaan dupleks sonografi yang menjadi

parameter dalam menegakkan diagnosa yaitu B-mode, color doppler dan

spektrum doppler .

Tiga modalitas dupleks sonografi pada pasien ALI

 B-mode
- Untuk melihat dan menilai seluruh arteri dan vena pada ekstremitas bawah

digunakan B-mode untuk mengetahui apakah terdapat oklusi yang disebabkan

oleh adanya plaque atau trombus pada arteri.

- Pada kasus ALI, jika diambil gambaran short axis, maka pembuluh darah ateri

tidak terlihat, karena adanya oklusi.

 Color Doppler ( Warna )

- Doppler warna digunakan untuk mengidentifikasi aliran darah pada pembuluh

darah, apakah lumen pembuluh darah terisi penuh oleh warna pada arteri.

22
- Jika pada kasus ALI, color pada pembuluh darah arteri tidak terisi, yang

diisebabkan oleh adanya oklusi.

 Spektrum Doppler ( Kurva aliran )

Kecepatan aliran merupakan parameter utama untuk menilai morfologi

kurva spektrum doppler pada pembuluh darah arteri , pada pasien ALI

gambaran kurva dopplernya No Flow, sedangkan jika sample volume

diletakkan didistal dari oklusi gambarannya adalah rounded.

7. Tata Laksana

Penegakan diagnosis iskemia anggota gerak akut dan pengembalian perfusi

arteri merupakan poin penting dalam terapi. Keputusan apakah akan dilakukan

revaskularisasi atau amputasi primer harus dilakukan dengan memperhatikan

viabilitas dari ekstremitas yang terkena. Pada pasien dengan ekstremitas yang masih

bisa diselamatkan, pemilihan tipe terapi revaskularisasi juga sama pentingnya. Dua

faktor utama yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pasien dengan iskemia

anggota gerak akut terdiri atas beban komorbiditas medis dan keterlambatan dalam

mengenali dan menangani ekstremitas yang mengalami iskemik. Faktor lain terkait

dengan angka keselamatan bebas amputasi yang lebih rendah meliputi usia yang

semakin tua, ras, diabetes, dan tidak adanya tatalaksana awal berupa antikoagulasi

Terapi pembedahan telah lama dikaitkan dengan angka mortalitas

perioperatif yang tinggi. Dari sejumlah 3000 pasien yang dikumpulkan untuk

mendapatkan terapi pembedahan untuk iskemia anggota gerak akut pada 30 pusat

pelayanan kesehatan yang diamati antara rentang waktu 1963 dan 1978, angka

23
kematian dalam 30 hari sebesar 25%. Meskipun telah banyak perkembangan dalam

teknik pembedahan dan anastesi, Jivegard melaporkan sebanyak 20% angka

kematian masih terjadi selama 1 dekade berikutnya. Bahkan pada tahun1990an,

angka kematian dalam 30 hari setelah terapi pembedahan pada pasienpasien yang

dipilih untuk berpartisipasi dalam TOPAS, Surgery versus Thrombolysis for

Ischemia of the Lower Extremity (STILE), dan trial acak Rochester, masih sebesar

5% - 18%

Tingginya beban penyakit kardiopulmonar dan tingginya angka kematian

operasi yang dilakukan pada populasi pasien yang menderita iskemia anggota gerak

akut mendorong untuk dilakukannya strategi terapi endovascular yang lebih tidak

invasive. Hasil-hasil trial acak menunjukkan keseimbangan antara terapi

endovascular dan terapi pembedahan pada pasien tertentu, terutama pasien yang

masuk dalam klasifikasi I dan IIa. Penyebab dari iskemia ekstremitas, lokasi

sumbatan, klasifikasi Rutherford, demikian juga karakteristik tiap pasien

memegang peran penting dalam memilih strategi terapi revaskularisasi. Trial

Rochester, STILE, dan TOPAS membentuk kerangka kerja untuk menyeleksi

pasien yang akan mendapatkan terapi endovascular.Trial-trial ini

mendemonstrasikan bahwa pasien dengan penyakit PAD yang mendasari atau

thrombosis graft dan Rutherford class I dan IIa mendapatkan hasil akhir yang lebih

baik dengan terapi endovascular berbasis trombolitik. Pasien dengan kondisi

cardioemboli biasanya memiliki gejala klas IIb Rutherford dan paling baik diterapi

dengan pembedahan embolektomi. Pada praktek modern, pembagian antara

pembedahan dan terapi endovascular cenderung dibuat-buat. Meskipun banyak

24
pasien dapat diterapi dengan pendekatan endovascular sepenuhnya, dan pasien lain

membutuhkan pembedahan tradisional embolektomi, sejumlah besar pasien

diterapi dengan pendekatan gabungan. Tentu saja, penggunaan angiografi

perioperatif secara rutin meningkatkan kemungkinan terjadi residual thrombus,

sehingga perlu dilakukan pembedahan gabungan dan intervensi endovascular pada

90% kasus kompleks.

Sebagai tambahan terhadap terapi revaskularisasi, sekuele dari iskemia

anggota gerak akut juga meliputi injuri iskemia-reperfusi, yang dapat bervariasi dari

injuri ringan tanpa gangguan fungsional maupun sistemik sampai respon inflamasi

sistemik dan kegagalan multiorgan. Terapi untuk konsekuensi metabolic pada

iskemia anggota gerak akut ini penting untuk meningkatkan angka survival pasien.

Terapi Medis Awal

Tanpa mempedulikan teknik revaskularisasi yang dipilih, prinsip dasar

terapi awal adalah sama: resusitasi cairan, analgesic, dan pemberian obat-obatan

antitrombin dan antiplatelet. Setelah berpuluh-puluh tahun penelitian klinis

dilakukan, terapi heparin telah diketahui mampu menurunkan injuri iskemik,

mengurangi perkembangan pembentukan thrombus, dan meningkatkan survival.

Beberapa penelitian membantah adanya manfaat pemberian antikoagulasi

perioperatif, bahkan pada pasien dengan emboli yang berasal dari jantung, akan

tetapi sejumlah besar data mendukung pemberian antikoagulan perioperative

dengan heparin. Unfractioned heparin (UFH) harus diberikan pada dosis tinggi

(100-150 unit/kgBB), dengan tujuan untuk mendapatkan level terapeutik

antikoagulasi dan peningkatan partial thromboplastin time (PTT) dengan factor 2-

25
2.5 di atas baseline secara cepat. Pasien dengan heparin induced thrombocytopenia

(HIT) harus diterapi dengan direct thrombin inhibitors (DTI) yang diberikan secara

intravena seperti lepirudin atau argatroban. Bivalirudin, jenis lain DTI, yang sering

digunakan untuk inter vensi koroner dan endovascular, memiliki waktu paruh yang

relative pendek dan lebih familiar digunakan oleh kebanyakan spesialis. Keputusan

dalam menggunakan antikoagulan kerja panjang harus dibuat berdasarkan

penyebab iskemik, hasil akhir revaskularisasi, dan keseimbangan antara resiko

perdarahan dan trombotik.

Koreksi abnormalitas laboratorium dan stabilisasi kondisi medis akut yang

mendasari sangat penting untuk mendapatkan hasil akhir kondisi klinis yang

terbaik. Karakteristik laboratorium tertentu dapat memprediksi kesuksesan terapi.

Pasien yang megalami peningkatan creatinin kinase dan jumlah neutrofil memiliki

50% resiko diamputasi sebagaimana dibandingkan pada 5% resiko yang dimiliki

pasien dengan level enzim dan neutrofil yang normal. Temuan ini menegaskan

bahwa pasien dengan injuri iskemik tingkat lanjut pada otot skelet memiliki

prognosa yang buruk. Pada pasien yang mengalami irreversible tissue loss,

mungkin diperlukan alkalinisasi urin untuk mencegah injuri renal akibat

myoglobinuria. Pada beberapa kasus, penyebab iskemia anggota gerak akut sendiri

sudah merupakan suatu hal yang mengancam jiwa, seperti infark miokard (MI)

yang memiliki komplikasi thrombus ventrikel kiri dan shock kardiogenik, atau

diseksi aorta atau endocarditis infektif dengan gangguan hemodinamik akibat

inkompetensi katup. Pada beberapa kasus, prinsip “life over limb” dapat digunakan

sebagai landasan dalam memilih strategi terapi.

26
Terapi Endovaskular pada Iskemia Anggota Gerak Akut Prinsip dasar di

balik terapi endovascular adalah untuk mengembalikan aliran arteri, baik dengan

melisiskan thrombus atau dengan mencari dan menterapi lesi yang mendasari,

sehingga dapat mengeliminasi keharusan untuk dilakukan operasi atau mengurangi

lama waktu operasi.

Terapi endovascular untuk iskemia anggota gerak akut menjadi mungkin

untuk dilakukan sejak Tillet dan Garner menemukan komponen fibrinolitik pada

streptococcus hemolyticus pada tahun 1933. Tidak lama setelah penggunaan

pertama streptokinase secara intravena pada volunteer sehat yang dilakukan oleh

Tillet dkk pada tahun 1955, pada tahun 1957 Clifton melaporkan adanya fungsi

terapeutik streptokinase untuk melarutkan thrombus patologis di arteri dan vena.

Pemberian streptokinase intraarterial (IA) dengan kateter dicetuskan oleh

Charles Dotter dkk. Pada tahun 1974. Berridge dkk juga mengkonfirmasi bahwa

pengiriman agen fibrinolitik melalui kateter secara langsung ke arteri yang

terganggu memberikan hasil yang lebih baik dibanding pemberian trombolitik

secara intravena, dan meningkatkan angka keselamatan ekstremitas (dari 45%

menjadi 80%) dan menurunkan komplikasi perdarahan.

Agen trombolitik modern bekerja dengan meningkatkan proses fibrinolitik

intrinsic melalui aktivasi plasminogen dan perubahannya menjadi plasmin, yang

akan mendegradasi fibrin (Tabel 46-2). Pengubahan plasminogen menjadi plasmin

membutuhkan hidrolisis ikatan lysine-arginin, suatu tahapan yang dikatalisasi oleh

tissue type plasminogen activator (tPA), model activator plasminogen rekombinan

27
terkini. Teknik trombolisis yang diarahkan dengan kateter dianggap sukses ketika

aliran antegrade dapat dikembalikan dan thrombus mengalami resolusi komplit atau

hampir komplit. Keberhasilan terapi ditunjukkan dengan berkurangnya gejala

iskemik akut atau penurunan level keharusan dilanjutkan dengan intervensi

pembedahan atau amputasi. Pelarutan thrombus secara enzimatik dapat

memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pembedahan embolektomi,

terutama pada kumpulan pembuluh darah arterial distal dan pada kasus embolisasi

distal. Terapi endovascular makin berkembang dan menjadi makin efektif untuk

dilakukan seiring berkembangnya pengalaman kumulatif antara tahun 1980 sampai

1990. Pengembangan penggunaan multihole infusion cathether dan peningkatan

pengetahuan tentang pentingnya menembus oklusi thrombus dengan kateter dan

memasukkan obat langsung ke dalam cloth dibandingkan diberikan di atas lokasi

clot telah dengan jelas meningkatkan efikasi prosedur ini.

Tiga percobaan acak yang dilakukan pada tahun 1990 membandingkan

terapi endovascular dengan intervensi pembedahan pada pasien dengan iskemia

anggota gerak akut. Percobaan Rochester mengambil 114 pasien acak dengan

iskemia yang mengancam ekstremitas yang disebabkan oleh emboli dan sumbatan

thrombosis pada pembuluh darah normal maupun cangkokan yang akan menerima

terapi IA pengiriman urokinase atau pembedahan. Pemberian trombolisis melalui

kateter memberikan hasil berupa resolusi thrombus pada 70% pasien. Setelah 1

tahun, angka kejadian amputasi identik pada kedua jenis terapi yang

diperbandingkan ini yaitu sebesar 18%, akan tetapi angka mortalitas secara

signifikan lebih tinggi pada tindakan pembedahan : 16% vs 42%, dengan mayoritas

28
kematian pada pembedahan terkait komplikasi kardiopulmonal. Terapi trombolitik

juga memiliki keuntungan berupa biaya terapi yang lebih rendah.

Trial STILE yang lebih besar yang melibatkan 393 pasien dengan pembuluh

darah asli atau pembuluh darah hasil cangkokan kurang dari 6 bulan secara acak

dipilih untuk mendapatkan terapi pembedahan atau terapi trombolisis. Trial ini

memiliki kecacatan dengan melibatkan pasien yang mengidap gejala iskemia

kronik yang cenderung tidak respon terhadap terapi trombolisis. Meskipun

demikian, 70% pasien yang mendapat terapi trombolitik pada dasarnya sudah

memiliki gejala kronik. Kegagalan teknik menyebabkan terjadinya kegagalan

proses klinis dalam fraksi besar pada sisi terapi dengan fibrinolitik.

Kegagalan dalam menembus lesi oklusi dilaporkan pada 28% pasien. Pada

pasien yang mendapatkan terapi kateterisasi yang sukses, angka patensi pada

pembuluh darah hasil cangkokan sebesar 81% sedangkan pada arteri asli sebesar

69% (P=NS). Kemampuan dalam melintasi lesi dengan menggunakan kawat

menjadi titik prediksi kesuksesan terapi, suatu kunci penting yang telah digunakan

sebagai panduan dalam terapi endovascular untuk iskemia anggota gerak akut sejak

saat itu.

Pada sisi percobaan dengan fibrinolitik, pasien menerima recombinant tPA

(rtPA) dengan dosis 0.05 mg/kg/jam sampai 12 jam atau urokinase sampai 36 jam.

Dosis tPA yang digunakan dalam trial ini lebih besar dibandingkan dosis yang

umum dipakai di praktek klinik yaitu sebesar 1 mg/jam. Trial ini dihentikan segera

setelah terjadi kombinasi endpoint of death, amputasi mayor, dan iskemia berulang

29
terjadi pada 61,7% pasien dengan terapi lisis dan 36,1% pasien pada pasien yang

mendapat terapi pembedahan (P<0.001). Angka kematian dalam waktu 30 hari

sebesar 4,0% pada sisi terapi dengan trombolisis dan 4,9% pada sisi yang

mendapatkan terapi pembedahan (P=NS), dengan angka amputasi sebesar 5,2%

pada sisi trombolisis dan 6,3% pada sisi pembedahan (P=NS). Perbedaan angka

morbiditas sebesar 21% pada kelompok yang mendapat terapi trombolisis dan 16%

pada kelompok yang mendapat terapi pembedahan berakar pada perdarahan dan

komplikasi akses vaskular dan iskemia berulang yang diketahui pada kelompok

sebelumnya. Pasien-pasien yang berada pada kelompok yang mendapat terapi

trombolisis tidak sampai harus melakukan terapi pembedahan revaskularisasi.

Analisa post hoc menyusun tingkatan pasien berdasarkan durasi gejala: di antara

pasien dengan durasi gejala kurang dari 14 hari, angka kejadian amputasi cenderung

lebih rendah pada pasien dengan terapi trombolitik dibandingkan pasien yang

mendapatkan terapi pembedahan (5,7% vs 17,9%; P = 0,06). Di antara pasien

dengan durasi gejala yang lebih lama, sejumlah 5,3% pasien yang mendapat terapi

t rombolisis mengalami amputasi, dan s ejumlah 2,1% pada kelompok pasien yang

mengalami pembedahan (P=NS). Pada pasien-pasien dengan durasi gejala 14 hari,

angka kematian dan amputasi dalam 6 bulan sebesar 15,3% pada kelompok yang

mendapat terapi fibrinolitik dan sebesar 37,5% pada kelompok yang mendapat

terapi pembedahan (P=0,01). Studi ini secara tegas menyatakan bahwa terapi

trombolitik tidak efektif di sebagian besar kasus iskemia ekstremitas kronis.

Trial TOPAS, trial ketiga yang membandingkan antara intervensi

pembedahan dengan trombolisis dengan panduan kateter, melibatkan pasien yang

30
memiliki durasi gejala kurang dari 14 hari. Kondisi thrombosis merupakan etiologi

utama iskemia anggota gerak akut, berperan dalam 85% kasus, dan terjadi lebih

sering pada arteri cangkokan dibanding arteri asli. Sebagai tambahan, hanya sebesar

19% dari arteri cangkokan terbuat dari pembuluh vena autolog, pengembangan

praktek modern. Fase pencarian dosis awal pada trial ini mengambil secara acak

213 pasien untuk mendapatkan infus urokinase dengan dosis yang bervariasi diikuti

infuse dosis rendah dalam jangka panjang. Trombolisis lengkap berhasil diperoleh

di 71% pasien, tanpa ada perbedaan angka keselamatan ekstremitas atau angka

kematian dalam kurun waktu 12 bulan, baik pada kelompok yang mendapat terapi

urokinase maupun kelompok yang mendapat terapi pembedahan, yang signifikan

secara statistik. Pasien yang diterapi dengan urokinase memiliki angka kejadian

perdarahan intracranial yang lebih tinggi (2,1%), terutama terkait penggunaan dosis

urokinase yang lebih tinggi. Pada fase kedua trial, 542 pasien dipilih secara acak

untuk mendapatkan terapi pembedahan atau mendapat terapi infuse urokinase

dengan dosis yang paling aman. Rekanalisasi terjadi pada 79,7% pasien dan

trombolisis komplit terjadi pada 67,9% pasien. Setelah 1 tahun, angka keselamatan-

bebas amputasi baik pada kelompok yang mendapat terapi trombolisis maupun

kelompok yang mendapat terapi pembedahan hampir sama satu sama lain (65% vs

69,9%; P=NS) akan tetapi pada kelompok dengan terapi trombolitik memiliki

angka kejadian perdarahan intracranial yang lebih tinggi yaitu 1,6%. Perdarahan

intracranial terkait dengan pemberian infuse UFH dalam dosis terapeutik dan terjadi

pada 4,8% pasien yang mendapatkan dosis yang ditujukan untuk antikoagulasi

31
sistemik penuh, dibandingkan dengan 0,5% pasien yang menerima dosis

subterapeutik heparin.

Komplikasi utama perdarahan lebih tinggi pada kelompok trombolitik

dibanding kelompok yang menerima terapi pembedahan (12,5% vs 5,5%;

P=0.005). Pada waktu KRS, kematian terjadi pada 5,9% pasien yang mendapat

terapi pembedahan dan 8,8% pada pasien yang diterapi dengan urokinase (P=NS).

Terapi trombolitik dengan urokinase terkait dengan tingginya angka

kejadian komplikasi perdarahan, akan tetapi terapi ini secara efektif menurunkan

kebutuhan untuk dilakukan terapi pembedahan tanpa mempengaruhi angka

survival-bebas amputasi pada pasien dengan sumber iskemik murni karena

trombotik dibanding pasien dengan sebab emboli. Review Cochrane yang meliputi

lima trial penggunaan trombolisis dengan panduan kateter melibatkan 1283 pasien

dan melaporkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara kedua jenis strategi

ketika membandingkan angka keselamatan ekstremitas atau angka kematian dalam

kurun waktu 30 hari atau satu tahun. Pasien yang menjalani terapi trombolisis

dengan panduan kateter lebih mudah mengalami komplikasi perdarahan (8,8% vs

3,3 %; 95% confidence interval [CI] : 1,7-4,6) dan stroke (1,3% vs 0 %; 95%

confidence interval [CI] : 1,57-26,22). Pengalaman di kenyataan yang sebenarnya

tentang penggunaan catheter-directed thrombolysis ditunjukkan pada laporan yang

diberikan oleh National Audit of Thrombolysis for Acute Leg Ischemia (NATALI)

yang mencatat 1133 pasien yang diterapi dengan obat-obatan trombolisis antara

tahun 1990 dan 1999. Studi ini menunjukkan angka keselamatan-bebas amputasi

sebesar 75%, dengan angka kejadian amputasi dan kematian masing-masing

32
sebesar 12% pada 30 hari pertama, dan angka kejadian perdarahan mayor sebesar

7,8%. Belum jelas apakah pencatatan tipe seperti yang disebutkan di atas

melibatkan pasien yang mana memilih dilakukan terapi trombolitik dikarenakan

tingginya angka mortalitas perioperatif .

Analisis multivariable mengidentifikasi sejumlah faktor yang digunakan

untuk memprediksi kesuksesan terapi trombolitik. Kemampuan dalam menembus

thrombus dan posisi kateter yang bertugas menginfuskan trombolitik langsung ke

thrombus mendukung kesuksesan fibrinolisis. Demikian juga, arteri native atau

arteri prosthetic cangkokan lebih responsive terhadap trombolisis, sedangkan

pasien dengan diabetes cenderung kurang sukses dalam mendapat terapi ini.

Kesuksesan terapi trombolitik telah mendorong untuk dilakukan penelitian

yang intens tentang regimen dosis dan agen yang optimal dalam upaya yang

berkelanjutan untuk menghasilkan efek trombolisis yang maksimal dengan

komplikasi perdarahan yang minimal. Regimen yang paling banyak digunakan

dalam trombolisis arteri adalah streptokinase, urokinase, dan rtPA. Urokinase telah

diketahui mampu menghasilkan efek trombolisis lebih cepat dan lebih sedikit

komplikasi perdarahan dibandingkan streptokinase. Sehingga penggunaan

streptokinase telah ditinggalkan dikarenakan efek imunogeniknya, efek aktivasi

platelet, dan angka kejadian perdarahan yang lebih besra dibandingkan agen -agen

generasi terbaru. Urokinase telah ditarik dari produksi pada tahun 1999 setelah

munculnya kekhawatiraan adanya kontaminasi dalam proses produksi. Sejak saat

itu, agen rtPA telah menjadi fibrinolitik yang dominan digunakan dalam praktek

33
klinik. Tiga agen yang tersedia dalam kelas ini : alteplase, reteplase, dan

tenecteplase.

Alteplase dan tenecplase memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk

mengaktivasi fibrin-bound plasminogen dibandingkan urokinase dan reteplase,

yang mana kurang spesifik fibrin. Penurunan kemampuan mengikat fibrin pada

reteplase menyebabkan lebih banyak obat bebas untuk mempenetrasi thrombus

sehingga menhasilkan efek lisis yang lebih besar dibandingkan tPA. Alteplase

sering digunakan untuk catheter-directed thrombolysis. Catheter-directed

thrombolysis menggunakan rtPA telah menunjukkan hasil yang lebih superior

dibandingkan dengan streptokinase, dimana didapatkan hasil angiografi yang lebih

baik dan peningkatan angka keselamatan ekstremitas dalam waktu 30 hari.

Ketika dibandingkan dengan urokinase, alteplase memiliki efikasi yang

lebih baik dalam resolusi thrombus tapi memiliki resiko lebih tinggi terjadinya

hematoma di lokasi akses. Pada trial STILE, meskipun begitu, tidak ada perbedaan

antara urokinase dan alteplase. Suatu review dari berbagai studi yang mengevaluasi

alteplase menyimpulkan bahwa resiko perdarahan secara langsung terkait durasi

infuse dan dosis keseluruhan, tapi tidak berbeda dari komplikasi yang diperoleh

dengan pemakaian urokinase. Reteplase, derivate tPA generasi ketiga memiliki

waktu paruh yang lebih panjang sekitar 13-16 menit dan telah dengan sukses

diujikan pada sejumlah kecil pasien dengan iskemia anggota gerak akut.

Proliferasi terapi endovascular tambahan telah membuat perbandingan

langsung antar macam macam agen litik menjadi makin sulit, akan tetapi, tidak ada

34
bukti bahwa satu jenis thrombolitik rtPA lebih superior dibanding jenis agen yang

lain dalam hal efikasi dan keamanan.

Terapi ajuvan dengan inhibitor glikoprotein (GP) IIb/IIIa abciximab telah

diujikan dalam suatu trial kecil pemberian trombolisis dengan reteplase. Hasil studi

tersebut menunjukkan bahwa terapi kombinasi akan memperpendek waktu infuse

agen trombolitik tanpa meningkatkan komplikasi perdarahan. Efikasi dari

menggabungkan infuse fibrinolitik dan inhibitor GP IIb/IIIa lebih jauh dievaluasi

dalam trial RELAX (judul resmi : Phosphodiesterase-5 Inhibition to Improve

Clinical Status and Exercise Capacity in Diastolic Heart Failure [RELAX]). Pada

studi ini, 74 pasien dengan oklusi akut menerima berbagai dosis reteplase yang

diberikan tunggal atau reteplase yang digabung dengan infus abciximab. Pada 90

hari, hasil akhir yang didapatkan pada pasien dengan terapi rtPA dosis 1 mg/jam

tidak berbeda, baik yang menerima placebo ataupun kelompok yang menerima

abciximab. Menariknya, tidak ada kejadian perdarahan intracranial ditemukan pada

dua kelompok ini. Agen ajuvan tidak disetujui untuk digunakan sebagai terapi

standard. Di sisi lain, unfractioned heparin seringkali digunakan sebagai terapi

infuse pada kelompok yang mendapat terapi kateter untuk memperoleh angka PTT

sekitar 40-50. Analisa s ubgroup pada trial STILE menunjukkan bahwa pemberian

heparin selama pemberian infus alteplase berperan menurunkan angka kematian,

amputasi, morbiditas mayor, dan iskemia berulang. Lebih penting lagi, infuse

heparin yang ditambahkan pada baik kelompok urokinase atau alteplase tidak

menyebabkan peningkatan kejadian perarahan. Pemberian infuse heparin melalui

sidearm juga menurunkan resiko thrombosis kateter. Dengan demikian, disarankan

35
untuk diberikan heparin dengan dosis 400-600 unit/jam, beberapa penulis

merekomendasikan dosis yang lebih rendah yaitu sebesar 100 unit/jam. Resiko

komplikasi perdarahan meningkat seiring durasi terapi. Telah diperkirakan bahwa

resiko munculnya komplikasi mayor terkait terapi trombolitik meningkat dengan

peningkatan durasi infuse, dari 4% pada pemberian infus selama 8 jam menjadi

34% pada pemberian infuse selama 40 jam. Durasi optimal pemberian infuse

trombolitik masih belum bisa ditentukan dengan tegas. Telah terjadi penurunan

bertahap durasi terapi yang diberikan, dari 48 jam infuse pada percobaan-percobaan

awal menjadi 6-18 jam durasi infuse yang diberikan pada era teknik adjunctive.

Monitorisasi level fibrinogen selama pemberian infuse trombolitik telah lama

ditekankan. Level fibrinogen dicek secara berkala selama pemberian infuse, dan

jika level fibrinogen menunjukkan angka di bawah 100-150 mg/dL maka hal

tersebut mengindikasikan disfibrinogenemia dan membutuhkan penurunan dosis

obat atau bahkan penghentian seluruh terapi infuse. Level fibrinogen yang lebih

rendah terkait dengan kejadian perdarahan pada trial STILE, akan tetapi masih

belum jelas apakah level fibrinogen merupakan predictor yang dapat dipercaya

untuk memprediksi munculnya komplikasi perdarahan. Satu dari kelemahan

catheter-directed thrombolysis adalah pemanjangan waktu infuse, harga agen

fibrinolitik yang mahal, perlunya pemeriksaan angiografi berulang, dan monitoring

pasien di intensive care units (ICU).

Keterlambatan dalam mengembalikan patensi pembuluh darah membuat

terapi ini tidak cocok untuk pasien yang membutuhkan revaskularisasi segera,

sehingga terapi pembedahan menjadi pilihan strategi terapi untuk pasien dengan

36
gejala yang masuk dalam klasifikasi IIb Rutherford. Dorongan untuk mengatasi

permasalahan ini, penurunan dosis trombolitik dibutuhkan untuk memperoleh

keberhasilan klinis, dan menurunkan komplikasi perdarahan telah mendorong

pengembangan sejumlah teknik tambahan dan peralatan yang didesain

untukmemperoleh hasil reperfusi pada ekstremitas yang terganggu yang lebih

cepat. Mechanical thrombectomy, pulse-spray thrombectomy, dan ultrasound

accelerated thrombolysis merupakan contoh-contoh dari teknik ini. Pada praktek

modern, prosedur endovascular untuk tatalaksana iskemia anggota gerak akut

mengkombinasikan catheter-directed thrombolysis dengan mechanical

thrombectomy, pulse-spray thrombectomy, distal embolic protection devices, dan

angioplasty dan stenting. Meskipun ada macam-macam terapi ajuvan,

prinsipprinsip dasar tertentu tetap diaplikasikan untuk trombolisis endovascular

yakni : seluruh segmen oklusi harus terlewati, dan infuse dengan multiple side holes

diposisikan melintasi thrombus untuk kemudian secara langsung menginfuskan

obat trombolitik ke dalam thrombus. Kedua hal ini harus terpenuhi. Rekombinan

activator plasminogen jaringan merupakan agen trombolitik yang paling sering

digunakan, diinfuskan dengan kecepatan 0,5-1 mg/jam untuk minimal 12 jam.

 Alat Trombektomi Mekanis

 Suction Embolectomy

 Ultrasound Assisted Thrombolisys

 Pembedahan

37
Prognosis

Pasien dengan iskemik lengan dan tungkai akut biasanya memiliki faktor

pencetus berupa gangguan kardiovaskuler, yang dapat memungkinkan timbulnya

suatu iskemik. Populasi ini memiliki prognosis jangka Panjang yang buruk. Angka

kelangsungan hidup rata-rata dalam lima tahun pada iskemik lengan dan tungkai

akut yang disebabkan oleh thrombosis adalah sekitar 45%, dan jika disertai dengan

emboli, akan berkurang menjadi sekitar 20%. Angka kelangsungan hidup rata-rata

pada 1 bulan penderita yang berusia diatas 75 tahun dengan iskemik tungkai dan

lengan akut adalah sekitar 40%. Resiko untuk kehilangan anggota gerak tergantung

kepada beratnya iskemik dan lamanya waktu yang telah lewat sebelum tindakan

revaskularisasi dilakukan.

Skema mengenai klasifikasi yang membagi derajat berat ringannya iskemik

dan kemampuan dari anggota gerak untuk tetap bertahan, sejalan dan berhubungan

dengan temuan neurologis dan kriteria Doppler, telah dikembangkan oleh

Perkumpulan Bedah Vaskuler dan Perkumpulan Internasional Bedah

kardiovaskuler. Anggota gerak yang masih berfungsi dan dapat bertahan, pada

kategori 1, yaitu yang tidak bersifat mengancam dengan seketika, begitu pula

dengan kelainan fungsi sensori maupun motorik, dan adanya aliran darah yang

dapat dideteksi dengan menggunakan pemeriksaan Doppler. Ancaman

kelangsungan hidup, pada kategori II, mengindikasikan bahwa derajat beratnya

suatu iskemik yang akan menyebabkan kehilangan anggota gerak kecuali suplai

darah terpenuhi dengan segera.

38
Kategori tersebut terbagi lagi secara garis besar yaitu yang bersifat perlahan

mengancam anggota gerak dan yang bersifat seketika, yang ditandai dengan adanya

rasa nyeri, berkurangnya rasa sensoris, dan kelemahan otot. Pemeriksan Doppler

tidak dapat mendeteksi aliran darah arteri. Iskemik lengan dan tungkai yang tidak

dapat diperbaiki akan memicu terjadinya kehilangan jaringan dan tindakan

amputasi, kategori III, ditandai dengan hilangnya sensasi, kelumpuhan, dan tidak

terdeteksinya aliran darah pada pemeriksaan Doppler pada arteri dan vena distal

sampai ke tempat sumbatan.

39
BAB III

PENUTUP

Iskemia tungkai akut didefinisikan sebagai penurunan perfusi tungkai yang

terjadi <14 hari yang mengancam jiwa dan/atau tungkai. Penegakan diagnosis

Iskemia tungkai akut dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Panatalaksanaan pasien dengan iskemia tungkai

akutbertujuan untuk menurunkan risiko kardiovaskular, meningkatkan fungsi

ekstremitas, mencegah progresifitas menjadi iskemia dan menjaga viabilitas

ekstremitas. Beberapa usaha dapat dilakukan antara lain dengan memodifikasi faktor

risiko berupa menghentikan merokok, mengontrol tekanan darah dengan angiotensin

converting enzyme inhibitors dan β adrenergic blocker, serta mengatasi

hiperkolesterolemia dengan target penurunan LDL <100 mg/dL.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et
al. Harrison’s principles of internal medicine 17th Edition. United States of
America:McGraw-Hill; 2008.
2. Stephen JM, Maxine AP.Current medical diagnosis and treatment.49th
ed.The McGraw Hill Companies;2010.
3. Antono D. Hamonangan R., Penyakit Arteri Perifer. Dalam Buku ajar ilmu
penyakit dalam edisi VII. Editor : Siti Setiati, Idrus Alwi, Aru W. Sudoyo,
Marcellus S.K, Bambang S, Ari Fahrial S. Interna Publishing. 2014: 1516-26.
4. Francis GS, Gassler JP. Pathophysiology and diagnosis of heart failure. The
heart 10th Edition. 2005;1:655-68.
5. Callum Ken, Bradburry Andrew Acute Limb Ischemia. US National Library
of National Institutes of Medicine. 2000;320:746-767

41

Anda mungkin juga menyukai