Pendahuluan
Tumor lisis syndrom (TLS) pertamakali dideskripsikan oleh 2 orang dokter
berkebangsaan cekoslavia Berdna dan Polcak pada tahun 1929, kemudian pada
1977 oleh Crittenden dan Ackerman untuk pertamakalinya membuat klinikal
patologik pada saat memeriksa pasien Disseminated gastrointestinal karsinoma
yang memberikan gambaran hiperurikemia, gagal ginjal dan pembentukan Kristal
asam urat pada duktus kolektipus pasien yang diautopsi(1). TLS termasuk
kegawatdaruratan dalam bidang onkologi medik berupa perubahan metabolik
yang bersifat fatal yang paling sering terjadi setelah pemberian kemoterapi pada
keganasan hemotologik seperti akut limphoblastik leukemia atau high grade
lymphoma (2), tetapi tumor lisis syndrom dapat juga terjadi pada kegananasan
hemotologik yang lain seperti kronik lymphositik leukemia, akut myeloid
leukemia, multipel myeloma, Hogkin lymphoma dan low-intermediate NHL (2),
juga pada beberapa solid tumor seperti kanker paru, kanker mamae dan testis(3).
Walaupun TLS umumnya terjadi setelah pemberian sitoreduksi kemoterapi pada
keganasan, TLS juga dapat terjadi secara spontan pada setiap jenis terapi pada
keganasan seperti radiasi, kortikosteroid, interferon , rituximab dan tamoxifen
(1). Kejadian TLS tidak terjadi pada setiap keganasan, resiko TLS dapat
meningkat pada Bulkys tumor yang memiliki high celluler burden dan rapid
proliferasi misalnya Burkit lymphoma dan akut lymphositik leukemia,
keterlibatan sumsum tulang yang luas, LDH >1500 IU/ml, dan tumor yang
bersifat sensitif terhadap kemoterapi dan radiasi(3).
Tumor lisis syndrome meliputi adanya akut onset hiperurikemia,
hiperkalemia, hiperphospatemia, dan hipokalsemia kadang disertai dengan
1
2
perburukan fungsi ginjal berupa akut renal failure (ARF). Kelainan metabolik ini
terjadi karena keluarnya isi sel (asam urat, kalium, phosphat) yang akhirnya dapat
menimbulkan berbagai gangguan yang terkadang bersifat fatal(4). Kunci dari
manajemen TLS termasuk meningkatkan kewaspadaan, prediksi kejadian dengan
melihat pasien resiko tinggi, melakukan profilaksis, monitoring laboratorium pada
pasien yang menjalani kemoterapi serta kesiapan penanganan komplikasi yang
mungkin terjadi(5). Berikut ini akan kami sampaikan sebuah kasus TLS pada
pasien NHL post kemoterapi,kasus ini kami angkat untuk lebih mengingatkan lagi
pentingnya kewaspadaan pada setiap kasus malignansi yang akan menjalani
kemoterapi,sehingga kejadian TLS dapat dicegah serta monitoring dan
manajemen komplikasi yang terjadi sehingga dapat menghindarkan pasien dari
kejadian yang fatal.
Kasus
Seorang laki-laki, islam, sumbawa, 70 tahun dirujuk dari rumah sakit
Sumbawa dengan kecurigaan lymphoma paraaorta kebagian bedah onkologi
RSUP sanglah pada 22 juni 2012, pasien mengeluhkan timbul benjolan pada
perutnya sejak 4 bulan, benjolan tersebut dirasakan makin lama makin membesar
tanpa diikuti rasa nyeri. Benjolan pada tempat lain disangkal oleh pasien, pasien
juga mengatakan berat badannya menurun sejak beberapa bulan yang lalu, kadang
juga pasien terasa panas tiba-tiba tanpa penyebab yang jelas, keringat pada malam
hari juga dikeluhkan oleh pasien. Keluhan batuk- batuk lama disangkal oleh
pasien, BAB dab BAK masih dalam batas normal.
Dari riwayat penyakit sebelumnya, pasien dirawat dirumah sakit Sumbawa
saat itu dikatakan bahwa pasien mempunyai tumor pada perutnya dan telah
dilakukan pemeriksaan rontgen dan USG sehingga pasien kemudian dirujuk ke
rumah sakit Sanglah denpasar untuk penanganan lebih lanjut. Dari riwayat
penyakit keluarga tidak didapatkan adanya anggota keluarga yang menderita
penyakit tumor yang sama atau keganasan yang lain, dari riwayat sosial, pasien
sudah menikah dan merupakan pensiunan PNS, riwayat terpapar radiasi disangkal
oleh penderita.
3
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital kesan umum sakit sedang,
kesadaran komposmentis, tekanan darah 160/80 mmhg, nadi 80x/menit, laju
respirasi 20x/menit, temperature aksila 36,5C. Pada pemeriksaan kepala tidak
ditemukan anemia pada konjungtiva, tidak ditemukan ikterus pada sklera. Pada
telinga hidung dan tenggorokkan tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan leher
ditemukan JVP PR 0 cmH2O dan tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah
bening. Pada pemeriksaan fisik paru, inspeksi ditemukan simetris statis maupun
dinamis, palpasi tidak ditemukan peningkatan fremittus vokalis, perkusi sonor
pada kedua lapangan paru, auskultasi suara nafas vesikuler, tidak ditemukan
rhonki maupun mengi. Pada pemeriksaan fisik jantung, inspeksi iktus kordis tidak
tampak, teraba pada garis midklavikula kiri setinggi sela iga V, perkusi ditemukan
batas kanan jantung sejajar parasternal kanan dan batas kiri jantung pada garis
midklavikua kiri, auskultasi ditemukan suara jantung I tunggal, suara jantung II
tunggal, denyut regular, dan tidak ditemukan adanya suara bising jantung.
Pada inspeksi abdomen tidak ditemukan distensi, pada auskultasi
didapatkan bising usus normal, palpasi didapatkan massa ukuran 7 cm x7 cm pada
daerah epigastrium, padat, tidak nyeri, terfiksasi, tidak jelas batasnya. Pada
perkusi ditemukan timpani kecuali pada daerah epigastrium ditemukan dulness
sesuai daerah tempat ditemukan tumor. Pada pemeriksaan ekstremitas teraba
hangat dan tidak terdapat udema. Pembesaran kelenjar pada daerah lain tidak
ditemukan.
Dari pemeriksaan darah lengkap awal sebelum kemoterapi WBC 11,2 x
10/g, Hemoglobin 13,9 g/dl, MCV 13,9 fl, MCH 28 pg, Hematokrit 41 %,
Platelet 252 x 10/L. pada pemeriksaan kimia darah SGOT 42 U/L, SGPT 34
U/L, BUN 15 mg/dl, Kreatinin 1,19 mg/dl, Albumin 2,5 mg/dl, Asam urat tidak
diperiksa, Natrium 138 mg/dl, kalium 4,07 meg/L, LDH tidak diperiksa, jumlah
urine didapatkan 850 cc/24 jam.
Dari pemeriksaan radiologis rontgen thoraks didapatkan gambaran paru
dan besaran jantung normal. Pada USG abdomen didapatkan adanya tumor pada
derah paraaorta yang dicurigai suatu pembesaran kelenjar getah bening. Pasien
dilakukan laparatomi dan biopsy pada tanggal 22 juni 2012 post operasi pasien
mendapatkan terapi NaCl 0,9% 20 tts/mnt, ceftriazone 3 x 1 gram IV,
4
Pembahasan
Insiden dan severitas TLS tergantung pada besar tumor, potensial untuk sel
menjadi lisis, karakteristik pasien, dan terapi suportif yang diberikan (5).
Kejadian TLS tidak terjadi pada setiap keganasan,resiko TLS dapat meningkat
pada Bulkys tumor yang memiliki high celluler burden dan rapid proliferasi
misalnya Burkit lymphoma dan akut lymphositik leukemia, keterlibatan sumsum
tulang yang luas, LDH >1500 IU/ml, dan tumor yang bersifat sensitive terhadap
kemoterapi dan radiasi ( tabel 1)(4,5,6). Pada pasien ini menderita NHL dengan
ukuran 7 x 7 cm, mendapatkan terapi CHOP sehingga dapat dimasukkan kedalam
resiko tinggi terjadi TLS, pada pasien LDH tidak diperiksa karena awal masuk
tidak diprediksi akan terjadi TLS.
Pada klasifikasi TLS menurut Cairo and Bishop, TLS dapat dibedakan
berdasarkan gambaran laboratorium dan klinis (tabel 2). Secara klasifikasi
laboratorium TLS harus memenuhi kriteria 2 atau lebih kelainan laboratorium
yang terjadi 3 hari sebelum atau sampai 7 hari setelah inisiasi kemoterapi, yakni
berupa hiperurikemia, hiperkalemia, hiperphospatemia dan hipokalsemia. Klinis
TLS baru akan terjadi bila didapatkan gangguan perubahan laboratorium tersebut
disertai dengan peningkatan level kreatinin, kejang, disritmia jantung, bahkan
kematian (4,5,6). Pada pasien ini memenuhi kriteria cairo bishop dimana
didapatkan adanya hiperurikemia, hiperkalemia, hiperphospatemia, serta
hipokalsemia yang terjadi setelah 4 hari pemberian kemoterapi, dan disertai
6
(3) Seizure*
Saat sel kanker mengalami lisis, akan dikerluarkan kalium, phospat, dan
asam nukleat yang akan dirubah menjadi hipoxantine dan akhirnya terbentuk
asam urat ( gambar 2) (3). Hiperkalemia yang terjadi dapat bersifat fatal karena
menimbulkan disaritmia jantung. Hiperphospatemia dapat menimbulkan
sekundar hipokalsemia yang menyebabkan tetani, disaritmia dan kejang- kejang,
juga akan terbentuk presipitat Kristal pada berbagai organ misalnya ginjal yang
menyebabkan akut kidney injuri (AKI) (7,8). Asam urat menimbulkan gangguan
pada ginjal bukan hanya dikarenakan proses kristalisasi intrarenal tetapi dapat
juga melalui proses tanpa pembentukkan Kristal seperti renal vasokonstriksi,
impaired autoregulasi, penurunan Renal blood flow (RBF) oksidasi dan imflamasi
7
( 9). Tumor lisis sindrom juga memacu pelepasan sitokin sistemik sehingga terjadi
SIRS dan terkadang sampai MOF (7,8,9,10).
Ringkasan
Telah dilaporkan sebuah kasus Tumor lisis syndrome (TLS) yang
merupakan salah satu kegawatdaruratan dalam bidang onkologi. Pasien awalnya
11
dirujuk kebagian bedah onkologi karena kecurigaan suatu NHL, setelah dilakukan
laparatomi dan pemeriksaan histopatologi didapatkan sel mantel yang sesuai
dengan gambaran NHL. Pasien kemudian menjalani kemoterapi CHOP, 4 hari
setelah menjalani kemoterapi didapatkan kelainan laboratorium berupa
hiperurikemia, hiperkalemia, hiperphospatemia, hipokalsemia dan peningkatan
BUN/kreatinin serta penurunan produksi urine. Pasien kemudian dikonsulkan
kedivisi ginjal hipertensi dan didiagnosis dengan AKI (F) ec TLS, pasien
kemudian menjalani HD rutin. Pada kasus ini seharusnya dapat diprediksi resiko
besar kejadian TLS, dikarenakan pasien menderita NHL jenis sel mantel dengan
ukuran cukup besar (7 x 7 cm), juga mendapatkan kemoterapi CHOP (bersifat
sitoreduksi) sehingga pasien seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih berupa
profilaksis, pemantauan, dan penanganan komplikasi yang akan terjadi.
Profilaksis berupa hidrasi yang baik, pemberian obat hipourikemia, menghindari
penggunaan obat nefrotoksik. Pemantauan meliputi perubahan elektrolit,
BUN/kreatinin, asam urat, produksi urine, EKG dll. Penanganan komplikasi
berupa medikamentosa (Ca glukonas, Nebuliser salbutamol, obat hipourikemia,
posphat binders) maupun dialisis serta perawatan diruang intensif.
Daftar Pustaka
1. Ramon V. Tiu, Stavros E. Mountatokis, Andrew J. Dunbar, Martin J. Schreiber.
Tumor lysis syndrome,Cleveland, Semin thromb homost 2007; 33: 397-407.
2. Brian Stephany, Martin Schreiber. Tumor lysis syndrome. In: Edgar Lerma,
Jefrry Berns, Allen Nissenson., Nephrology and Hypertension, Current
diagnosis. Chicago: McGraw-Hill; 2009. Pp 117-123.
3. Scott Howard, Deborah Jones, Ching Hon. Tumor lysis syndrome: Current
concepts. New England journal medicine 2011; 364: 1844-1854.
4. Abu-Alfa AK, Younes A. Tumor lysis syndrome and acute kidney injury :
evaluation, prevention, and management. Am J Kideney Dis 2010; 55: suppl 3 :
S1-S13.
5. Mitchell Cairo, Michel Bishop. Tumor lysis syndrome: New therapeutic
strategies and classification, British journal of hematology 2004; 127; 3-11
12
6. Gustavo Del toro, Erin Morris, Mitchell Cairo. Tumor lysis syndrome :
Pathophysiology, definition, and alternative treatment approaches, Clinical
advances in hematology and oncology Jan 2005; Vol 3.
7. Gerzt MA. Managing tumor lysis syndrome in 2010. Leukemia lymphoma
2010; 51: 179- 180.
8. Cairo M.S. Recombinant urate oxidase (rasburicase): a new targeted therapy
for prophylaxis and treatment of patients with hematologic malignancies at risk
of tumor lysis syndrome, Clinical lymphoma 2003, vol 3: 233-234.
9. Hande K.R, Garrow G.C. Acute tumor lysis syndrome in patients with high
grade non Hodkins lymphoma, the American journal of medicine 2009; vol 94;
133-139.
10. Davidson M.B et al. Pathophysiology, clinical consequences, and treatment of
tumor lysis syndrome, Am J Med 2004; 116(8); pp 546
11. Jessica H, M. Cairo. Tumor lysis syndrome: current perspective,
Haematologica 2008; 93(1).
12. Yarpuzlu A.A. a review of clinical and laboratory findings and treatment of
tumor lysis syndrome, Clin chim acta 2003; 333(1);13-19.
13