Anda di halaman 1dari 13

Laporan Kasus

TUMOR LISIS SINDROM (TLS) PADA SEORANG PENDERITA NON


HODKIN LYMPHOMA (NHL) POST KEMOTERAPI
Petrus Irianto,Ketut Suwitra,Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP
Sanglah Denpasar

Pendahuluan
Tumor lisis syndrom (TLS) pertamakali dideskripsikan oleh 2 orang dokter
berkebangsaan cekoslavia Berdna dan Polcak pada tahun 1929, kemudian pada
1977 oleh Crittenden dan Ackerman untuk pertamakalinya membuat klinikal
patologik pada saat memeriksa pasien Disseminated gastrointestinal karsinoma
yang memberikan gambaran hiperurikemia, gagal ginjal dan pembentukan Kristal
asam urat pada duktus kolektipus pasien yang diautopsi(1). TLS termasuk
kegawatdaruratan dalam bidang onkologi medik berupa perubahan metabolik
yang bersifat fatal yang paling sering terjadi setelah pemberian kemoterapi pada
keganasan hemotologik seperti akut limphoblastik leukemia atau high grade
lymphoma (2), tetapi tumor lisis syndrom dapat juga terjadi pada kegananasan
hemotologik yang lain seperti kronik lymphositik leukemia, akut myeloid
leukemia, multipel myeloma, Hogkin lymphoma dan low-intermediate NHL (2),
juga pada beberapa solid tumor seperti kanker paru, kanker mamae dan testis(3).
Walaupun TLS umumnya terjadi setelah pemberian sitoreduksi kemoterapi pada
keganasan, TLS juga dapat terjadi secara spontan pada setiap jenis terapi pada
keganasan seperti radiasi, kortikosteroid, interferon , rituximab dan tamoxifen
(1). Kejadian TLS tidak terjadi pada setiap keganasan, resiko TLS dapat
meningkat pada Bulkys tumor yang memiliki high celluler burden dan rapid
proliferasi misalnya Burkit lymphoma dan akut lymphositik leukemia,
keterlibatan sumsum tulang yang luas, LDH >1500 IU/ml, dan tumor yang
bersifat sensitif terhadap kemoterapi dan radiasi(3).
Tumor lisis syndrome meliputi adanya akut onset hiperurikemia,
hiperkalemia, hiperphospatemia, dan hipokalsemia kadang disertai dengan

1
2

perburukan fungsi ginjal berupa akut renal failure (ARF). Kelainan metabolik ini
terjadi karena keluarnya isi sel (asam urat, kalium, phosphat) yang akhirnya dapat
menimbulkan berbagai gangguan yang terkadang bersifat fatal(4). Kunci dari
manajemen TLS termasuk meningkatkan kewaspadaan, prediksi kejadian dengan
melihat pasien resiko tinggi, melakukan profilaksis, monitoring laboratorium pada
pasien yang menjalani kemoterapi serta kesiapan penanganan komplikasi yang
mungkin terjadi(5). Berikut ini akan kami sampaikan sebuah kasus TLS pada
pasien NHL post kemoterapi,kasus ini kami angkat untuk lebih mengingatkan lagi
pentingnya kewaspadaan pada setiap kasus malignansi yang akan menjalani
kemoterapi,sehingga kejadian TLS dapat dicegah serta monitoring dan
manajemen komplikasi yang terjadi sehingga dapat menghindarkan pasien dari
kejadian yang fatal.

Kasus
Seorang laki-laki, islam, sumbawa, 70 tahun dirujuk dari rumah sakit
Sumbawa dengan kecurigaan lymphoma paraaorta kebagian bedah onkologi
RSUP sanglah pada 22 juni 2012, pasien mengeluhkan timbul benjolan pada
perutnya sejak 4 bulan, benjolan tersebut dirasakan makin lama makin membesar
tanpa diikuti rasa nyeri. Benjolan pada tempat lain disangkal oleh pasien, pasien
juga mengatakan berat badannya menurun sejak beberapa bulan yang lalu, kadang
juga pasien terasa panas tiba-tiba tanpa penyebab yang jelas, keringat pada malam
hari juga dikeluhkan oleh pasien. Keluhan batuk- batuk lama disangkal oleh
pasien, BAB dab BAK masih dalam batas normal.
Dari riwayat penyakit sebelumnya, pasien dirawat dirumah sakit Sumbawa
saat itu dikatakan bahwa pasien mempunyai tumor pada perutnya dan telah
dilakukan pemeriksaan rontgen dan USG sehingga pasien kemudian dirujuk ke
rumah sakit Sanglah denpasar untuk penanganan lebih lanjut. Dari riwayat
penyakit keluarga tidak didapatkan adanya anggota keluarga yang menderita
penyakit tumor yang sama atau keganasan yang lain, dari riwayat sosial, pasien
sudah menikah dan merupakan pensiunan PNS, riwayat terpapar radiasi disangkal
oleh penderita.
3

Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital kesan umum sakit sedang,
kesadaran komposmentis, tekanan darah 160/80 mmhg, nadi 80x/menit, laju
respirasi 20x/menit, temperature aksila 36,5C. Pada pemeriksaan kepala tidak
ditemukan anemia pada konjungtiva, tidak ditemukan ikterus pada sklera. Pada
telinga hidung dan tenggorokkan tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan leher
ditemukan JVP PR 0 cmH2O dan tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah
bening. Pada pemeriksaan fisik paru, inspeksi ditemukan simetris statis maupun
dinamis, palpasi tidak ditemukan peningkatan fremittus vokalis, perkusi sonor
pada kedua lapangan paru, auskultasi suara nafas vesikuler, tidak ditemukan
rhonki maupun mengi. Pada pemeriksaan fisik jantung, inspeksi iktus kordis tidak
tampak, teraba pada garis midklavikula kiri setinggi sela iga V, perkusi ditemukan
batas kanan jantung sejajar parasternal kanan dan batas kiri jantung pada garis
midklavikua kiri, auskultasi ditemukan suara jantung I tunggal, suara jantung II
tunggal, denyut regular, dan tidak ditemukan adanya suara bising jantung.
Pada inspeksi abdomen tidak ditemukan distensi, pada auskultasi
didapatkan bising usus normal, palpasi didapatkan massa ukuran 7 cm x7 cm pada
daerah epigastrium, padat, tidak nyeri, terfiksasi, tidak jelas batasnya. Pada
perkusi ditemukan timpani kecuali pada daerah epigastrium ditemukan dulness
sesuai daerah tempat ditemukan tumor. Pada pemeriksaan ekstremitas teraba
hangat dan tidak terdapat udema. Pembesaran kelenjar pada daerah lain tidak
ditemukan.
Dari pemeriksaan darah lengkap awal sebelum kemoterapi WBC 11,2 x
10/g, Hemoglobin 13,9 g/dl, MCV 13,9 fl, MCH 28 pg, Hematokrit 41 %,
Platelet 252 x 10/L. pada pemeriksaan kimia darah SGOT 42 U/L, SGPT 34
U/L, BUN 15 mg/dl, Kreatinin 1,19 mg/dl, Albumin 2,5 mg/dl, Asam urat tidak
diperiksa, Natrium 138 mg/dl, kalium 4,07 meg/L, LDH tidak diperiksa, jumlah
urine didapatkan 850 cc/24 jam.
Dari pemeriksaan radiologis rontgen thoraks didapatkan gambaran paru
dan besaran jantung normal. Pada USG abdomen didapatkan adanya tumor pada
derah paraaorta yang dicurigai suatu pembesaran kelenjar getah bening. Pasien
dilakukan laparatomi dan biopsy pada tanggal 22 juni 2012 post operasi pasien
mendapatkan terapi NaCl 0,9% 20 tts/mnt, ceftriazone 3 x 1 gram IV,
4

Methamizole 3 x 1 ampul, tanggal 26 juni 2012 hasil PA didapatkan suatu NHL


cenderung suatu mantel sel, sehingga pasien tegak didiagnosis sebagai NHL.
Direncanakan untuk kemoterapi dengan regimen CHOP ( cyclophospamid,
Doxorubicin, Vincristine, Prednison) pada tanggal 27 juni 2012, akan tetapi batal
karena tekanan darah pasien naik .

Gambar 1. Rontgen thoraks dan USG abdomen pasien

Pasien dikonsulkan kebagian penyakit dalam divisi ginjal hipertensi pada


tanggal 28 juni 2012, kemudian pasien diberikan anti hipertensi berupa kaptopril 2
x 25 mg dan amlodipin 1 x 5 mg, dan pasien dimasukkan kemoterapi dengan
regimen cyclophospamid 800 mg, Doxorubicin 80 mg, Vincristin 2 mg dan
prednisone 2 x 32 mg. Setelah 4 hari post kemoterapi yaitu tanggal 2 juli 2012
didapatkan hasil laboratorium BUN 168 mg/dl, kreatinin 6,8 mg/dl, kadar asam
urat 17 mg/dl, Phospat 10 mg/dl, dan kalsium 6 mg/dl, AGD ph 7,21, HCO3- 12
(asidosis metabolik) serta penurunan produksi urine sebanyak 350 cc per 24 jam.
Pada keesokkan harinya yakni tanggal 3 juli 2012 pasien kemudian didiagnosis
dengan AKI (F) prerenal ec TLS, pasien kemudian diterapi dengan Ceftazidine 3 x
1 gram, allupurinol 3 x 300mg, Ca glukonas 1000 mg, Nebuliser salbutamol 2
ampul, dan D50%+ insulin 20 unit serta dilakukan emergensi hemodialisis (HD),
pasien kemudian dijadwalkan untuk menjalani HD harian. Pada tanggal 9 juli
2012 pasien dipindahkan keruang intensif dikarenakan syok dan tanggal 10 juli
2012 pasien meninggal.
5

Pembahasan
Insiden dan severitas TLS tergantung pada besar tumor, potensial untuk sel
menjadi lisis, karakteristik pasien, dan terapi suportif yang diberikan (5).
Kejadian TLS tidak terjadi pada setiap keganasan,resiko TLS dapat meningkat
pada Bulkys tumor yang memiliki high celluler burden dan rapid proliferasi
misalnya Burkit lymphoma dan akut lymphositik leukemia, keterlibatan sumsum
tulang yang luas, LDH >1500 IU/ml, dan tumor yang bersifat sensitive terhadap
kemoterapi dan radiasi ( tabel 1)(4,5,6). Pada pasien ini menderita NHL dengan
ukuran 7 x 7 cm, mendapatkan terapi CHOP sehingga dapat dimasukkan kedalam
resiko tinggi terjadi TLS, pada pasien LDH tidak diperiksa karena awal masuk
tidak diprediksi akan terjadi TLS.

Tabel 1. Derajat resiko TLS pada berbagi keganasan (3)


DEGREE OF RISK TYPE

HIGHEST BURKITTS LYMPHOMA


LYMPHOBLASTIC LYMPHOMA
T cell ALL
Other acute leukemias
MODERETE Low grade lymphoma w/chemo
Multiple myeloma
Breast CA w/ chemo/hormonal rx
Small cell lung CA
Germ cell CA (seminoma, ovarian)
LOWEST Medulloblastoma
GI adenocarcinoma

Pada klasifikasi TLS menurut Cairo and Bishop, TLS dapat dibedakan
berdasarkan gambaran laboratorium dan klinis (tabel 2). Secara klasifikasi
laboratorium TLS harus memenuhi kriteria 2 atau lebih kelainan laboratorium
yang terjadi 3 hari sebelum atau sampai 7 hari setelah inisiasi kemoterapi, yakni
berupa hiperurikemia, hiperkalemia, hiperphospatemia dan hipokalsemia. Klinis
TLS baru akan terjadi bila didapatkan gangguan perubahan laboratorium tersebut
disertai dengan peningkatan level kreatinin, kejang, disritmia jantung, bahkan
kematian (4,5,6). Pada pasien ini memenuhi kriteria cairo bishop dimana
didapatkan adanya hiperurikemia, hiperkalemia, hiperphospatemia, serta
hipokalsemia yang terjadi setelah 4 hari pemberian kemoterapi, dan disertai
6

gejala- gejala klinis berupa peningkatan BUN/kreatinin dan penurunan produksi


urine, dan pasien dari EKG memberikan gambaran T tall sebagai manifestasi
hiperkalemia kemudian pasien dilakukan emergensi HD.

Tabel. 2a Kriteria Cairo Bishop berdasarkan laboratorium (5)


Uric acid 8.0 mg/dL or 25%
increase from baseline

Potassium 6.0 mEq/L or 25%


increase from baseline

Phosphorous 6.5 mg/dL (children)


4.5 mg/dL (adults) or 25%
increase from baseline

Calcium 7.0 mg/dL or 25%


decrease from baseline
Modifikasi dariHande and Garrow

Tabel. 2b kriteria Cairo Bishop berdasarkan gejala klinis (5)


(1) Creatinine*: 1.5 ULN (age >12 y or age adjusted)

(2) Cardiac arrhythmia/sudden death*

(3) Seizure*

Modifikasi dari Hande and Garrow

Saat sel kanker mengalami lisis, akan dikerluarkan kalium, phospat, dan
asam nukleat yang akan dirubah menjadi hipoxantine dan akhirnya terbentuk
asam urat ( gambar 2) (3). Hiperkalemia yang terjadi dapat bersifat fatal karena
menimbulkan disaritmia jantung. Hiperphospatemia dapat menimbulkan
sekundar hipokalsemia yang menyebabkan tetani, disaritmia dan kejang- kejang,
juga akan terbentuk presipitat Kristal pada berbagai organ misalnya ginjal yang
menyebabkan akut kidney injuri (AKI) (7,8). Asam urat menimbulkan gangguan
pada ginjal bukan hanya dikarenakan proses kristalisasi intrarenal tetapi dapat
juga melalui proses tanpa pembentukkan Kristal seperti renal vasokonstriksi,
impaired autoregulasi, penurunan Renal blood flow (RBF) oksidasi dan imflamasi
7

( 9). Tumor lisis sindrom juga memacu pelepasan sitokin sistemik sehingga terjadi
SIRS dan terkadang sampai MOF (7,8,9,10).

Tabel.2c Grading berdasarkan kriteria Cairo Bishop (5)


Grade 0 Grade I Grade II Grade III Grade IV Grade V
LTLS - + + + + +
Creatinine 1.5 1.5 ULN >1.53.0 >3.06.0 >6.0 ULN Death
ULN ULN ULN
Cardiac None Intervention Non-urgent Symptomatic Life- Death
arrhythmia not medical and threatening
indicated intervention incompletely (eg,
indicated controlled arrhythmia
medically or associated
controlled with CHF,
with hypotension,
device (eg, syncope,
defi brillator) shock)
Seizure None - One brief Seizure in Seizure of Death
generalized which any
seizure; conciousness kind which
seizure(s) is altered; is prolonged,
well poorly repetitive,
controlled controlled or diffi cult
by anti- seizure to control
convulsants disorder; with (eg, status
or breakthrough epilepticus,
infrequent generalized intractable
focal seizures epilepsy
motor despite
seizures medical
not intervention
interfering
with ADL

Tumor lisis sindrom muncul karena mekanisme homeostasis tubuh tidak


dapat bereaksi terhadap peningkatan elektrolit dan asam urat karena lisis sel tumor
tersebut (5,6,7). Ekskresi melalui renal adalah rute utama untuk mengeluarkan
urat, xanthin, dan phosphate, sehingga semua komponen tersebut dapat
menimbulkan kristalisasi pada tubulus renalis (10). Kemampuan ginjal untuk
8

mengekskresikan komponen- komponen tersebut juga dipengaharui oleh fungsi


ginjal sebelumnya (4,5,6,7).

Gambar 2. Lisis sel yang mengeluarkan DNA, Phospat, Kalium,


dan Sitokin (3)

Kerusakan pada ginjal terjadi karena timbulnya Kristal kalsium phospat,


asam urat, dan xanthin pada TLS dapat menimbulkan reaksi imfalamasi dan
obstruksi. Kadar larutan yang tinggi disertai dengan kurangnya pelarut, lambatnya
aliran urine, tingginya faktor prokristal dalam tubulus akan mempercepat
timbulnya presipitasi Kristal pada TLS(2,4). Tingginya kadar asam urat dan
phosphate pada TLS akan menyebabkan mudah terjadinya AKI yang berkaitan
dengan terbentuknya kristal pada tululus ginjal, bahkan asam urat dan phosphate
saling meningkatkan percepatan terbentukanya Kristal tersebuat, asam urat yang
9

tinggi mempercepat timpulnya Kristal kalsium phosphate sebaliknya juga


demikian (9). PH urine yang tinggi (>7) dapat mempercepat pembentukkan kristal
asam urat dan memperlambat kristal kalsium phosphate. Hal ini dapat dibuktikan
dengan pemeriksaan kristal asam urat pada urine, dan mencari perbandingan asam
urat urine dan kreatinin urine, bila didapatkan > 1, dapat disimpulkan AKI
berkaitan dengan TLS, bila < 0,6 kemungkinan AKI karena penyebab lain (2,3).
Timbulnya AKI pada pasien ini dikarenakan terbentuknya kristal asam urat dan
kalsium phosphate yang diperparah dengan keadaan dehidrasi dan asidosis yang
timbul karena kurangnya kewaspadaan akan timbulnya TLS pada kasus tersebut,
hanya saja tidak dilakukan pengukuran asam urat kreatinin rasio.
Prinsip utama manajemen TLS adalah hidrasi dan diuresi yang cukup,
kontrol hiperurikemia dengan allupurinol dan rasburicase, monitoring ketat
terhadap perubahan elektrolit ( kalium, phosphate, dan kalsium) (7,10,11).
Diuresis paksa dan urine alkalinisasi masih kontroversi, tetapi dapat diterapkan
terutama bila didapatkan kejadian AKI disertai oliguri (2). Pemberian cairan
intravena 3 l/m2/hari selama 48 jam sebelum kemoterapi wajib diberikan bila
terdapat resiko tinggi TLS, diharapkan dengan pemberian cairan tersebut akan
terjadi peningkatan RBF(>100-150 ml/m2/jam) sehingga produk degradasi sel
dapat dikeluarkan dari sistemik dan mencegah deposisi kristal pada tubulus. Kadar
PH urine juga harus diperiksa untuk menjaga PH >7-7,5, bila didapatkan asidik
urine pemberian sodium bikarbonat dapat dipertimbangkan ( 50-100 meg dalam 1
liter D5 NS) (4,5,7). Hiperurikemia harus dicegah dengan pemberian
allupurinol maupun rasburicase, kedua obat memiliki keunggulan dan kelemahan
(tabel 3) (3). Hiperkalemia merupakan kegawatdaruratan yang harus segera
diterapi, dan bila gambaran EKG telah menunjukkan kelainan (mis. T tall, QRS
melebar, PR interval memanjang) pemberian Ca glukonas 1000 mg harus segera
diberikan, disamping itu insulin 20 unit dalam D 50% serta nebulizer salbutamol 2
ampul untuk memasukkan kalium kedalam sel. Kejadian hiperphospatemia dan
hipokalsemia dapat terjadi pada TLS dan hanya akan diterapi bila memberikan
gejala seperti kejang, disritmia jantung (11,12). Kelainan-kelainan ini semua dapat
dikoreksi dengan dialysis, terutama bila terjadi gejala- gejala AKI disertai
komplikasi yang berpotensi fatal (2,3,4,5). Pada pasien ini hidrasi yang diberikan
10

nampaknya kurang mencukupi, terbukti dengan penurunan produksi urine dan


memperburuk fungsi ginjalnya. Pasien telah diberikan allupurinol, dan ca
glukonas, insulin serta nebulizer salbutamol, akhirnya pasien menjalani HD daily
untuk renal suportif.

Tabel. 3a Pedoman pemberian allupurinol dan rasburicase(3)


Allopurinol
100 mg/m2/dose q8 h (10 mg/kg/d divided q8 h) p.o. (maximum 800 mg/d) or 200400
mg/m2/d in 13 divided doses i.v. (maximum 600 mg/d)
Reduce dose by 50% or more in renal failure
Reduce 6-mercaptopurine and/or azathioprine doses by 6575% with concomitant
allopurinol
Adjust doses of drugs metabolized by P450 hepatic microsomal enzymes with
concomitant allopurinol
Rasburicase
Avoid in glucose-6-phosphate dehydrogenase deficient patients 0,05-0,20 mg/kg i.v.
over 30 min
To measure uric acid levels place blood sample immediately
on ice to avoid continual pharmacologicalex vivo enzymatice degradation
10% incidence of antibody formation

Tabel 3b. Dasar pemilihan hipourikemik(3)


Allopurinol Rasburicase

Uric acid level Normal Elevated


Tumour type Non-haematological Burkitts lymphoma
Hodgkins lymphoma, Lymphoblastic
CML lymphoma, ALL, AML
Tumour burden
WBC count 50x109/l >50 x109/l
LDH 2xnormal >2xnormal
Cytoreductive Mild Aggressive
Intensity
Kidney tumour Absent Present
infiltration

Ringkasan
Telah dilaporkan sebuah kasus Tumor lisis syndrome (TLS) yang
merupakan salah satu kegawatdaruratan dalam bidang onkologi. Pasien awalnya
11

dirujuk kebagian bedah onkologi karena kecurigaan suatu NHL, setelah dilakukan
laparatomi dan pemeriksaan histopatologi didapatkan sel mantel yang sesuai
dengan gambaran NHL. Pasien kemudian menjalani kemoterapi CHOP, 4 hari
setelah menjalani kemoterapi didapatkan kelainan laboratorium berupa
hiperurikemia, hiperkalemia, hiperphospatemia, hipokalsemia dan peningkatan
BUN/kreatinin serta penurunan produksi urine. Pasien kemudian dikonsulkan
kedivisi ginjal hipertensi dan didiagnosis dengan AKI (F) ec TLS, pasien
kemudian menjalani HD rutin. Pada kasus ini seharusnya dapat diprediksi resiko
besar kejadian TLS, dikarenakan pasien menderita NHL jenis sel mantel dengan
ukuran cukup besar (7 x 7 cm), juga mendapatkan kemoterapi CHOP (bersifat
sitoreduksi) sehingga pasien seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih berupa
profilaksis, pemantauan, dan penanganan komplikasi yang akan terjadi.
Profilaksis berupa hidrasi yang baik, pemberian obat hipourikemia, menghindari
penggunaan obat nefrotoksik. Pemantauan meliputi perubahan elektrolit,
BUN/kreatinin, asam urat, produksi urine, EKG dll. Penanganan komplikasi
berupa medikamentosa (Ca glukonas, Nebuliser salbutamol, obat hipourikemia,
posphat binders) maupun dialisis serta perawatan diruang intensif.

Daftar Pustaka
1. Ramon V. Tiu, Stavros E. Mountatokis, Andrew J. Dunbar, Martin J. Schreiber.
Tumor lysis syndrome,Cleveland, Semin thromb homost 2007; 33: 397-407.
2. Brian Stephany, Martin Schreiber. Tumor lysis syndrome. In: Edgar Lerma,
Jefrry Berns, Allen Nissenson., Nephrology and Hypertension, Current
diagnosis. Chicago: McGraw-Hill; 2009. Pp 117-123.
3. Scott Howard, Deborah Jones, Ching Hon. Tumor lysis syndrome: Current
concepts. New England journal medicine 2011; 364: 1844-1854.
4. Abu-Alfa AK, Younes A. Tumor lysis syndrome and acute kidney injury :
evaluation, prevention, and management. Am J Kideney Dis 2010; 55: suppl 3 :
S1-S13.
5. Mitchell Cairo, Michel Bishop. Tumor lysis syndrome: New therapeutic
strategies and classification, British journal of hematology 2004; 127; 3-11
12

6. Gustavo Del toro, Erin Morris, Mitchell Cairo. Tumor lysis syndrome :
Pathophysiology, definition, and alternative treatment approaches, Clinical
advances in hematology and oncology Jan 2005; Vol 3.
7. Gerzt MA. Managing tumor lysis syndrome in 2010. Leukemia lymphoma
2010; 51: 179- 180.
8. Cairo M.S. Recombinant urate oxidase (rasburicase): a new targeted therapy
for prophylaxis and treatment of patients with hematologic malignancies at risk
of tumor lysis syndrome, Clinical lymphoma 2003, vol 3: 233-234.
9. Hande K.R, Garrow G.C. Acute tumor lysis syndrome in patients with high
grade non Hodkins lymphoma, the American journal of medicine 2009; vol 94;
133-139.
10. Davidson M.B et al. Pathophysiology, clinical consequences, and treatment of
tumor lysis syndrome, Am J Med 2004; 116(8); pp 546
11. Jessica H, M. Cairo. Tumor lysis syndrome: current perspective,
Haematologica 2008; 93(1).
12. Yarpuzlu A.A. a review of clinical and laboratory findings and treatment of
tumor lysis syndrome, Clin chim acta 2003; 333(1);13-19.
13

Anda mungkin juga menyukai