Anda di halaman 1dari 13

TUMOR LYSIS SYNDROME

I. PENDAHULUAN

Kanker adalah penyakit yang timbul akibat pertumbuhan sel jaringan tubuh
yang tidak normal dan menjadi salah satu penyebab kematian utama di seluruh
dunia (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, 2015). Kemajuan ilmu pengetahuan
dalam terapi kanker dan perawatan yang optimal dapat memperbaiki kondisi
pasien, namun efek samping dari terapi anti-kanker pun masih dijumpai. Salah
satu komplikasi yang ditimbulkan dari efek samping terapi yaitu Tumor Lysis
Syndrome (Alakel et al, 2017).

Tumor Lysis Syndrome (TLS) merupakan kegawatdaruratan di bidang


onkologi yang sering dijumpai dan dapat mengancam jiwa. Sindrom tumor lisis
dapat terjadi jika sel kanker melepas metabolitnya ke dalam aliran darah, baik
sebagai respons terhadap terapi anti-kanker (kemoterapi), maupun secara spontan
yaitu tanpa kemoterapi sebelumnya seperti keganasan dengan risiko tinggi.
Kelainan yang dapat timbul dari sindrom ini adalah hiperurisemia, hiperkalemia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan gangguan ginjal akut (Acute Kidney
Injury/AKI). Kelainan elektrolit dan metabolit ini dapat berkembang menjadi
klinis toksik seperti aritmia jantung, kejang, infusifiensi ginjal, bahkan kematian
akibat kegagalan multiorgan (Meylida, 2018).

2
II. TINJAUN PUSTAKA

A. DEFINISI DAN KLASIFIKASI


Dalam klasifikasi Cairo dan Bishop, sindrom tumor lisis diklasifikasikan
berdasarkan hasil laboratorium (Laboratorium Tumor Lysis Syndrome/LTLS)
dan gejala klinis (Clinical Tumor Lysis Syndrome/CTLS). LTLS berhubungan
dengan kelainan elektrolit, sedangkan CTLS berhungunan dengan manifestasi
klinis oleh perkembangan kegalalan organ atau gejala lain yang disebabkan
oleh ketidakseimbangan elektrolit. Disebut sebagai LTLS bila dua atau lebih
kelainan terdapat dalam 3 hari sebelum atau 7 hari setelah dimulainya
kemoterapi. Kelainan yang timbul dapat berupa penurunan 25% dari nilai
normal kalsium serum dan/atau peningkatan 25% dari nilai dasar asam urat,
kalium, atau fosfat. Dikatakan sebagai CTLS bila muncul kelainan sama
seperti LTLS disertai satu atau lebih manifestasi klinis berupa aritmia
jantung, kejang, gagal ginjal akut, atau kematian dengan peningkatan
kreatinin serum 1,5 kali dari batas atas nilai normal (Howard et al, 2011).

Tabel 1. Definisi sindrom tumor lisis laboratorium dan klinis (Meylida, 2018)

Cairo dan Bishop juga mengusulkan sebuah sistem penilaian sesuai


tingkatan yang menggabungkan definisi TLS, LTLS dan CTLS, yaitu dengan
melihat manifestasi klinis maksimal setiap organ yang terkena dampak
untuk menentukan nilai TLS. Meskipun sistem penilaian ini mencoba

3
memberikan definisi tingkat keparahan, namun penilaian ini tidak dapat
diterapkan pada TLS spontan. Umumnya digunakan pada keganasan dengan
risiko tinggi dikarenakan kemoterapi menjadi kriteria yang diperlukan untuk
mendiagnosis tingkat keparahan TLS.

Tabel 2. Grading Cairo-Bishop untuk clinical TLS (Meylida, 2018)

B. EPIDEMIOLOGI
Insiden dan keparahan sindrom tumor lisis berhubungan dengan besar
massa tumor, potensi lisisnya sel tumor, kondisi pasien, dan perawatan
suportif yang dilakukan. Semakin besar massa kanker maka semakin besar
pula jumlah metabolit yang dilepaskan sel tumor. Potensi lisisnya sel tumor
pun dipengaruhi oleh tipe tumor, potensi tinggi terjadi pada limfoma,
leukemia akut, dan tumor dengan proliferasi yang cepat (Jones, 2015).
Pada suatu penelitian, LTLS ditemukan pada 42% pasien, sedangkan
CTLS ditemukan hanya pada 6% pasien. Studi lain pada leukemia akut anak,
TLS asimptomatik ditemukan pada 70% pasien, sedangkan CTLS hanya pada
3% kasus. Studi lainnya melaporkan insiden CTLS sebesar 3-27% di antara
pasien kelainan hematologi. Selain itu, terdapat studi yang mempelajari 194
pasien yang menerima terapi induksi untuk acute myeloid leukemia (AML),
dimana insiden TLS sebesar 9,8%. Dalam studi campuran antara dewasa dan
anak-anak, yaitu sebanyak 788 pasien di Eropa yang menderita leukemia
akut atau limfoma non-hodgkin (Non-Hodgkin Lymphoma/NHL), terjadi
keseluruhan LTLS dan CTLS masing-masing yaitu sebesar 18,9% dan 5%.
Bila diklasifikasikan berdasarkan tipe tumor, 14,7% LTLS dan 3,4% CTLS

4
terlihat pada pasien AML. Pasien NHL sebesar 19,6% dan 6,1% serta sebesar
21,4% dan 5,2% pada semua pasien (Edeani dan Anushree, 2016).
TLS paling sering terjadi pada NHL terutama limfoma Burkitt, serta
keganasan hematologi lainnya seperti leukemia limfositik akut (Acute
Lymphocytic Leukemia/ALL) dan leukemia mieloid akut (Acute Myeloid
Leukemia/AML), selain itu yang kurang umum dapat terjadi pada leukemia
kronik dan multipel mieloma. TLS biasanya dikaitkan dengan kemoterapi,
namun juga dilaporkan pada penggunaan imatinib, bortezomib,
kortikosteroid, rituximab, metotreksat, dan thalidomide. TLS juga terjadi
setelah radiasi tubuh total dan kemoembolisasi (Meylida, 2018).

C. FAKTOR RISIKO
Ada sejumlah faktor risiko yang berhubungan dengan volume dan
kecepatan kerusakan seluler serta faktor spesifik kanker dan kondisi pasien.
Hal ini dapat terjadi secara spontan tetapi lebih sering mucul oleh karena
terapi anti-kanker. Faktor risiko meliputi (Jones, 2015) :
1. Besar massa tumor
2. Tumor risiko tinggi dengan pergantian sel yang cepat
3. Gangguan ginjal yang sudah ada sebelumnya
4. Bertambahnya usia
5. Perawatan dengan agen khusus siklus sel yang sangat aktif
6. Penggunaan obat bersamaan yang meningkatkan kadar asam urat, seperti
alkohol, asam askorbat, aspirin, kafein, cisplatin, diazoxide, diuretik tiazid,
adrenalin (epinefrin), etambutol, levodopa, methyldopa, asam nikotinat,
pirazinamid, fenotiazin dan teofilin.

Selain itu menurut Meylida (2018), peningkatan ukuran dan jumlah sel
tumor merupakan faktor risiko paling spesifik. Ditandai dengan peningkatan
kadar LDH (Laktat Dehidrogenase), jumlah leukosit lebih dari 50.000/mm,
metastasis hepar dan sumsum tulang, stadium kanker, kecepatan proliferasi
sel kanker, dan sensitivitas sel terhadap terapi sitotoksik. Faktor terkait pasien
meliputi usia, deplesi volume, penyakit ginjal kronik, hiperurisemia, dan
hiponatremia. Para ahli telah membagi stratifikasi risiko TLS menjadi risiko

5
rendah (kemungkinan TLS <1%), risiko sedang (1%-5%), dan risiko tinggi
(>5%). Stratifikasi faktor risiko ini juga didasarkan pada histologi tumor,
luasnya penyakit, disfungsi ginjal, dan tipe terapi induksi. Faktor lain
meliputi jenis kelamin laki-laki dan tanda splenomegali. Kelainan sitogenik
seperti mutasi gen MYCN pada neuroblastoma dan kelainan kromosom pada
leukemia limfoblastik akut pun juga berhubungan dengan tingginya risiko
TLS.

D. PATOGENESIS
Saat sel kanker lisis terjadi pelepasan kalium, fosfat, dan asam nukleat
yang akan dimetabolisme menjadi hipoxanthine, kemudian xanthine, dan
akhirnya menjadi asam urat. Hiperkalemia dapat menyebabkan disritmia.
Hiperfosfatemia dapat menyebabkan hipokalsemia sekunder yang
menyebabkan iritabilitas neuromuskuler (tetani), disritmia, dan kejang. Dapat
pula mengendap sebagai kristal kalsium fosfat di berbagai organ seperti
ginjal, yang nantinya akan menyebabkan gangguan ginjal akut (AKI). Asam
urat juga dapat menginduksi terjadinya AKI tidak hanya dengan cara
kristalisasi intrarenal, tetapi juga dengan vasokonstriksi renal, gangguan
autoregulasi, penurunan aliran darah ginjal, oksidasi, dan inflamasi. Lisisnya
tumor juga melepaskan sitokin-sitokin yang memicu sindrom respon
inflamasi sistemik dan kegagalan multiorgan (Howard et al, 2011).
Perjalanan terjadinya TLS yaitu ketika sel kanker lisis lalu melepaskan
DNA, kalium, fosfat, dan sitokin. DNA yang dilepaskan dari sel yang lisis
dimetabolisme menjadi adenosine dan guanosine, keduanya dikonversi
menjadi xanthine. Xanthine dioksidasi oleh xanthine oxidase, menjadi asam
urat, yang kemudian diekskresi ginjal. Ketika terjadi akumulasi fosfat,
kalium, xanthine, dan asam urat yang lebih cepat daripada ekskresi, sindrom
tumor lisis dapat terjadi. Sitokin mengakibatkan hipotensi, inflamasi, dan
AKI yang meningkatkan risiko terjadinya TLS. Garis panah dua sisi antara
AKI dan TLS (Gambar 1.) mengindikasikan bahwa keduanya dapat saling
mempengaruhi. AKI meningkatkan risiko TLS dengan cara mengurangi
kemampuan ginjal untuk ekskresi asam urat, xanthine, fosfat, dan kalium.

6
TLS juga dapat mengakibatkan AKI dengan cara penumpukan asam urat,
xanthine, dan kristal kalsium fosfat dalam ginjal. Selanjutnya, allopurinol
menghambat xanthine oxidasedan mencegah konversi hipoxanthine dan
xanthine menjadi asam urat tapi tidak menghilangkan asam urat yang telah
ada. Sebaliknya, rasburicase menghilangkan asam urat secara enzimatik
dengan mengubahnya menjadi allantoin, sebuah produk yang lebih larut
(Meylida, 2018).

Gambar 1. Patofisiologi TLS (A) Tabung silinder berisi sel leukemik (B)
Gambaran histopatologi limfoma Burkitt (C) Lisis sel kanker melepaskan DNA,
fosfat, kalium, dan sitokin (D) Kerja Allopurinol (Howard et al, 2011).

7
E. PENEGAKKAN DIAGNOSIS

Gambar 2. Penilaian Sindrom Tumor Lisis (Meylida, 2018)

8
F. TATA LAKSANAN
Langkah awal pencegahan TLS adalah mengenali faktor risiko dan
pemantauan ketat hasil pemeriksaan laboratorium serta klinis. Pasien risiko
tinggi cenderung mengalami asidosis laktat akibat nekrosis masif sel tumor.
Dikarenakan asidosis menghambat ekskresi asam urat, pengenalan gejala dan
koreksi asidosis yang cepat dan tepat dapat mencegah atau memperbaiki
nefropati asam urat. Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), radiokontras
iodine, dan agen terapeutik nefrotoksin lain harus dihindari untuk mencegah
risiko AKI (Meylida, 2018).
Pemberian cairan kristaloid intravena direkomendasikan pada semua
pasien dengan penyakit risiko tinggi TLS. Pemberian cairan dapat membantu
tercapainya volume intravaskular dan aliran darah ginjal yang adekuat. Hal
ini mempertahankan filtrasi normal glomerulus untuk ekskresi asam urat,
kalium, dan fosfat. Cairan intravena diberikan sampai 3 l/m2 per 24 jam
dengan target produksi urin >4 ml/kg/jam untuk anak-anak dan 100
ml/m2/jam untuk dewasa. Diuretik mungkin dibutuhkan bila terjadi kelebihan
cairan, tapi tidak rutin digunakan (Jones, 2015).
Allopurinol dikonversi in vivo menjadi oxypurinol, bekerja sebagai
inhibitor kompetitif xanthine oxidase, dimana menghambat konversi purin
menjadi asam urat. Hal ini menghambat hiperurisemia namun tidak dapat
mengobati hiperurisemia yang sudah ada. Namun xanthine serum dapat
meningkat, mengakibatkan deposit kristal xanthine di tubulus ginjal, sehingga
dapat terjadi neuropati obstruktif. Allopurinol direkomendasikan untuk
profilaksis pada pasien dengan risiko rendah dan sedang. Dikarena
oxypurinol diekskresi melalui ginjal, penyesuaian dosis diperlukan pada
penyakit ginjal kronik dan gangguan ginjal akut. Selain itu, febuxostat
merupakan inhibitor xanthine oxidase, dimana penyesuaian dosis tidak
diperlukan pada penurunan laju filtrasi glomelurus (LFG) karena febuxostat
dimetabolisme menjadi metabolit inaktif di hepar. Febuxostat merupakan
pilihan terapi profilaksis alternatif untuk pasien yang hipersensitif terhadap
allopurinol (Weeks dan Michelle, 2015).

9
Rasburicase merupakan urat oksidase, rekombinan derivat Aspergillus
yang disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA) pada tahun
2002 sebagai tatalaksana awal hiperurisemia pada pediatrik dengan leukemia,
limfoma, dan keganasan tumor solid yang mendapatkan terapi anti-kanker.
Rasburicase mengkatalisasi konversi asam urat menjadi allantoin,
karbondioksida, dan hidrogen peroksida. Allantoin 5-10x lebih solubel
daripada asam urat dan mudah untuk diekskresikan. Cortes et al
membandingkan respons penggunaan antara rasburicase tunggal, kombinasi
rasburicase dengan allopurinol, dan dengan allopurinol tunggal. Mereka
melaporkan tingkat respons asam urat plasma 87% pada grupmrasburicase,
diikuti 78% pada grup kombinasi rasburicase dengan allopurinol, dan 66%
pada grup allopurinol tunggal. FDA menetapkan rekomendasi dosis
rasburicase 0,2 mg/kg dalam 50 mL normal salin diberikan secara infus
intravena dalam 30 menit sekali sehari kurang lebih selama 5 hari.
Rasburicase tidak membutuhkan pengaturan dosis untuk penurunan LFG dan
belum diketahui interaksi dengan obat lain (Edeani dan Anushree, 2016).

Tabel 3. Rekomendasi Pengobatan TLS (Alakel et al, 2017)

10
G. PROGNOSIS
Banyak faktor perancu yang dapat mempengaruhi hasil klinis pasien
dengan keganasan, terutama pada TLS, namun pada AKI tampaknya
merupakan prediktor signifikan mortalitas jangka pendek dan jangka panjang.
Sebuah studi yang membandingkan pasien keganasan hematologi tanpa AKI
terhadap pasien dengan AKI menunjukkan angka kematian di rumah sakit
yaitu 7% dan 21% dan mortalitas selama 6 bulan sebesar 51% dan 66%,
dimana lebih rendah pada pasien tanpa AKI (Weeks dan Michelle, 2015).

11
III. KESIMPULAN

Tumor Lysis Syndrome (TLS) merupakan suatu kegawatdaruratan di bidang


onkologi yang membutuhkan diagnosis cepat dan penanganan tepat untuk
menghindari morbiditas dan mortalitas. TLS diklasifikasikan berdasarkan hasil
laboratorium (Laboratorium Tumor Lysis Syndrome/LTLS) dan gejala klinis
(Clinical Tumor Lysis Syndrome/CTLS). LTLS berhubungan dengan kelainan
elektrolit, sedangkan CTLS berhungunan dengan manifestasi klinis. Faktor risiko
TLS yaitu berhubungan dengan volume dan kecepatan kerusakan seluler serta
faktor spesifik kanker dan kondisi pasien. Pengobatan dapat dilakukan dengan
memberikan cairan kristaloid, allopurinol, febuxostat, dan rasburicase. Namun
tindakan pencegahan tetap merupakan tindakan terbaik.

12
DAFTAR PUSTAKA

Alakel, N., Jan M.M., Johannes S., Martin B. 2017. Prevention and treatment of
tumor lysis syndrome, and the efficacy and role of rasburicase. Onco
Targets and Therapy. Vol.10 : 597-605.

Edeani, A. dan Anushree S. 2016. Chapter 4 : Tumor Lysis Syndrome. American


Society of Nephrology : Onco-Nephrology Curriculum. Hal : 1-8.

Howard, S.C., Jones D.P., Pui C.H. 2011. The tumor lysis syndrome. The New
England Jounal of Medicine. Vol.364 : 184454.

Jones, G.L., Andrew W., Graham H.J., Nicholas J.A.W., Simon R. 2015.
Guidelines for the management of tumour lysis syndrome in adults and
children with haematological malignancies on behalf of the British
Committee for Standards in Haematology. British Journal Of
Haematology. Hal : 1-11.

Meylida. 2018. Tumor Lysis Syndrome. CDK-261, Vol.45 (2) : 105-110.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015. InfoDatin : Stop
Kanker. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 8 hal.

Weeks, A.C. dan Michelle E.K. 2015. Spontaneous Tumor Lysis Syndrome : A
Case Report and Critical Evaluation of Current Diagnostic Criteria and
Optimal Treatment Regimens. Journal of Investigative Medicine High
Impact Case Reports. Hal : 1-6.

13

Anda mungkin juga menyukai