Anda di halaman 1dari 18

BAB II

PEMBAHASAN

A. GEMELLI
1. Definisi Dan Epidemiologi
Kehamilan kembar atau kehamilan multipel adalah kehamilan dimana
terdapat lebih dari satu janin intrauterin. Insidensi kehamilan multipel di
dunia sekitar 2-20 dari 1000 kelahiran. Seiring dengan kemajuan teknologi
dalam terapi infertilitas, frekuensi dan jumlah kelahiran kembar semakin
meningkat. Insidensi kehamilan multipel di negara Eropa sekitar 10 dari
1000 kelahiran, sedangkan pada negara-negara Asia insidensi kehamilan
multipel sekitar 5-6 per 1000 kelahiran (Singh dan Trivedi, 2017).
Kehamilan multipel dinilai memiliki risiko yang lebih tinggi
menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun janin.
Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi pada kehamilan multipel antara
lain anemia, kelahiran kurang bulan, perdarahan antepartum, hipertensi pada
kehamilan, berat bayi lahir rendah maupun IUGR. Deteksi dini dan
penanganan yang baik pada kehamilan multipel menjadi prioritas utama
dalam mencegah komplikasi yang mungkin terjadi (Singh dan Trivedi,
2017).
2. Klasifikasi
a. Kembar Dizigot
Sekitar 2/3 dari kehamilan kembar pada populasi kaukasia
merupakan kembar dizigotik. Kembar dizigot berasal dari pembuahan
dua atau lebih oosit oleh dua sperma yang berbeda pada siklus yang
sama. Kedua zigot hasil pembuahan memiliki konstitusi genetik yang
berbeda dan melekat pada tempatnya masing-masing. Hasil pembuahan
akan membentuk amnion serta korion yang terpisah. Beberapa kondisi
yang dapat mempengaruhi kehamilan kembar dizigot adalah ras ibu, usia
serta riwayat obstetri sebelumnya (Dera et al., 2007).
b. Kembar Monozigot

1
Kembar monozigot atau yang sering disebut sebagai kembar identik
berasal dari pembuahan satu sel telur. Kejadian kembar monozigot terjadi
pada 1 dari 250 kehamilan. Hasil akhir proses pembentukan kembar
monozigot bergantung pada waktu pemisahan terjadi. Jika pemisahan
zigot terjadi dalam waktu 72 jam pertama pembuahan, maka akan
terbentuk dua mudigah, dua amnion dan dua amnion yang akan
berkembang menjadi kehamilan kembar diamnion dikorion. Pada
kehamilan diamnion dan dikorion dapat terbentuk dua plasenta yang
berbeda atau satu plasenta yang menyatu. Kemudian apabila pemisahan
terjadi antara hari ke empat dan hari ke delapan, terbentuk kehamilan
kembar diamnion monokorion. Sekitar pada hari ke delapan setelah
pembuahan, korion dan amnion telah berdiferensiasi dan pemisahan akan
menghasilkan dua mudigah di dalam satu kantong amnion atau disebut
kehamilan kembar monoamnion monokorion. Kembar dempet atau
kembar siam akan terjadi apabila pemisahan berlangsung lebih dari tiga
belas hari setelah pembelahan terjadi (Dera et al., 2007; Cunningham et
al., 2010).

2
Gambar 2.1 Kembar Monozigot
3. Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya
kehamilan multipel. Faktor-faktor risiko tersebut adalah sebagai berikut
(American Society for Reproductive Medicine, 2012; Cunningham et al.,
2010) :
a. Ras
Frekuensi kelahiran multijanin sangat bervariasi di antara berbagai
ras dan kelompok etnik. Negara seperti Nigeria memiliki insidensi
kelahiran multijanin yang tinggi yaitu sekitar 1 dari 20 kelahiran di
negara tersebut. Orang orang dengan kulit hitam memiliki angka
kelahiran janin kembar dizigotik sekitar 11,1 kelahiran kembar dari 1000
persalinan. Sedangkan di negara seperti Jepang, angka kelahiran bayi
kembar cukup jarang yaitu sekitar 1,3 kelahiran dari 1000 persalinan.
b. Hereditas
Sebagai penentu terjadinya kehamilan kembar, riwayat keluarga dari
pihak ibu lebih penting daripada riwayat keluarga ayah. Pada wanita
dengan riwayat kembar non identik akan melahirkan bayi kembar dengan
insiden 1 kelahiran per 60 kelahiran. Sedangkan pada laki-laki dengan
riwayat kembar non identik akan memiliki keturunan kembar dengan
insidensi 1 kelahiran per 125 kelahiran.
c. Usia dan Paritas Ibu
Angka pembentukan bayi kembar mengalami puncaknya pada usia
37 tahun dimana stimulasi FSH maksimal terjadi dan meningkatkan
angka pembentukan folikel multipel. Meningkatnya paritas juga terbukti
meningkatkan insidensi pembentukan janin kembar secara independen di
semua populasi yang diteliti. Wanita dengan usia antara 35-40 tahun yang
memiliki empat atau lebih anak memiliki kemungkinan tiga kali lebih
besar untuk memiliki bayi kembar dibandingkan dengan wanita usia
dibawah 20 yang belum memiliki anak sebelumnya.
d. Faktor Gizi

3
Peningkatan derajat yang jelas dalam pembentukan janin kembar
setara dengan status gizi yang lebih tinggi yang tercermin pada ukuran
ibu. Wanita yang lebih tinggi dan lebih berat memperlihatkan angka
kembar 25 sampai 30 persen lebih tinggi daripada wanita pendek yang
kekurangan gizi. Kembar dizigot lebih banyak dijumpai pada wanita
besar dan tinggi daripada wanita kecil. Asupan asam folat yang lebih
tinggi berkaitan dengan kehamilan kembar pada wanita yang menjalani
IVF (in vitro fertilization).
e. Gonadotropin Hipofisis
Angka kembar dizigot lebih tinggi pernah dilaporkan pada wanita
yang mengandung dalam 1 bulan setelah menghentikan kontrasepsi oral,
tetapi tidak selama bulan-bulan selanjutnya. Hal tersebut mungkin
disebabkan oleh pelepasan mendadak gonadotropin hipofisis dalam
jumlah yang lebih besar daripada biasa, selama siklus spontan pertama
setelah penghentian kontrasepsi hormonal.
f. Terapi Infertilitas
Kehamilan kembar secara umum terjadi pada wanita yang
melakukan terapi fertilitas dengan induksi ovulasi atau super ovulasi.
Terapi superovulasi yang meningkatkan kemungkinankehamilan dengan
merekrut banyak folikel, menyebabkan angka kehamilan multijanin 25
sampai 30 persen. Faktor risiko untuk janin multipel setelah stimulasi
ovarium dengan hMg antara lain peningkatan kadar estradiol pada hari
penyuntikan gonadotropin korion dan karakteristik sperma misalnya
peningkatan konsentrasi dan motilitas.
g. Assisted Reproductive Technology (ART)
Teknik ini dapat meningkatkan kemungkinan gestasi multijanin.
Secara umum dengan IVF, semakin banyak jumlah mudigah yang
dipindahkan, semakin besar risiko janin kembar dua atau multipel.
4. Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Klinis
Pada pasien yang diduga mengalami kehamilan kembar, anamnesis
yang mencakup faktor risiko seperti riwayat kembar pada ibu atau

4
keluarga, usia ibu, paritas tinggi, serta penggunaan klomifen sitrat atau
gonadotropin sebagai terapi fertilitas perlu ditanyakan kepada ibu. Pada
pemeriksaan klinis perlu dilakukan pengukuran tinggi fundus uteri.
Ukuran uterus pada kehamilan multipel biasanya lebih besar selama
trimester kedua dari ukuran yang diperkirakan. Pada wanita dengan
ukuran uterus yang tampak lebih besar daripada usia gestasi, perlu
dipertimbangkan kemungkinannya sebagai berikut (Cunningham et al.,
2010) :
1) Janin multipel

2) Elevasi uterus oleh kandung kemih yang penuh

3) Riwayat haid yang tidak akurat

4) Hidramnion

5) Mola hidatiformis

6) Leiomioma uterus

7) Massa adneksa yang melekat

8) Makrosomia janin
Secara umum, kembar sulit di diagnosis dengan palpasi-palpasi
bagian janin sebelum trimester ketiga. Menjelang akhir kehamilan,
kehamilan kembar juga sulit di identifikasi melalui palpasi abdomen,
terutama jika salah satu kembar terletak di atas kembar lainnya,
kemudian jika wanita itu obesitas atau jika terdapat hidramnion.
Diagnosis kembar dapat ditegakan dengan palpasi uterus dimana sering
terdeteksi dua kepala janin dan umumnya berada di kuadran uterus yang
berbeda. Pada akhir trimester pertama, kerja jantung janin dapat
terdeteksi dengan Doppler. Pada pemeriksaan jantung janin akan
didapatkan dua denyut jantung yag berbeda satu sama lain. Pada usia
kehamilan 18-20 mingg, bunyi jantung janin dapat dideteksi dengan
stetoskop janin (Cunningham et al., 2010).
b. Sonografi

5
Pada pemeriksaan sonografi, kantong-kantong gestasi yang terpisah
dapat teridentifikasi pada kehamilan kembar. Masing- masing kepala
janin terlihat dalam dua bidang vertikal. Pemeriksaan dengan sonografi
setelah kehamilan 6-8 minggu dapat menentukan diagnosis jumlah janin
dalam uterus dari jumlah kantong gestational yang terlihat. Gestasi
multijanin dengan jumlah janin dengan jumlah janin yang lebih dari dua
lebih sulit di evaluasi, bahkan dalam trimester pertama mungkin sulit
dipastikan jumlah janin yang sebenarnya serta posisi janin tersebut
(Cunningham et al., 2010).

Gambar 2.2 USG Kehamilan Kembar

c. Pemeriksaan Biokimia
Belum ada pemeriksaan biokimia yang dapat diandalkan untuk
mengidentifikasi janin multipel. Kadar gonadotropin korion dalam
plasma dan urin, secara rata-rata lebih tinggi daripada yang ditemukan
pada kehamilan janin tunggal. Kembar dua sering terdiagnosis sewaktu
evaluasi terhadap penigkatan kadar alfa fetoprotein serum ibu
(Cunningham et al., 2010).

6
5. Komplikasi
a. Kelahiran Kurang Bulan

Kehamilan dan kelahiran prematur terjadi pada 7% sampai 12 %


pada persalinan dan menyebabkan sekitar 85% terjadinya morbiditas
serta mortalitas perinatal. Persalinan spontan pada kehamilan preterm
dapat di diagnosis secara klinis melalui karakteristik yang khas, seperti
meningkatnya intensitas dan frekuensi kontraksi uterus, dilatasi pada
serviks, serta ekspulsi produk dari konsepsi sebelum usia kehamilan 37
minggu (Dera et al., 2007).

b. Intra Uterine Growth Restriction (IUGR)

IUGR lebih sering terjadi pada kehamilan kembar dan kejadiannya


lebih sering pada kehamilan multipel. IUGR dapat meningkatkan angka
mortalitas dan morbiditas pada janin. Pada janin dengan IUGR, maka
akan menimbulkan permasalahan pada janin seperti sindrom aspirasi
mekonium, hipoglikemi, polisitemia bahkan terjadinnya perdarahan
pulmoner. IUGR dapat terjadi karena abnormalitas plasenta maupun tali
pusat (Dera et al., 2007).

c. Twin-twin Transfussion Syndrome (TTTS)


Pada TTTS, darah dialirkan dari satu kembar donor ke saudaranya
yang menjadi resipien sehingga donor mengalami anemia dan
pertumbuhan yang mungkin terhambat. Sebaliknya, resipien akan
mengalami polisitemia dan mungkin mengalami kelebihan beban
sirkulasi yang bermanifestasi sebagai hidrops. Kembar yang menjadi
pendonor akan pucat dan yang menjadi resipien menjadi pletorik.
Kembar resipien pada periode neonatus mungkin mengalami penyulit
kelebihan beban sirkulasi disertai gagal jantung jika hipervolemia dan
hiperviskositas berat tidak segera teridentifikasi dan diatasi. Selama
masa neonatus, polisitemia pada kembar resipien dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia berat dan kern ikterus (Dera et al., 2007).
d. Kembar Akardiak

7
Komplikasi kembar akardiak jarang terjadi. Sekitar 1 dalam 35.000
kelahiran mengalami kembar akardia. Akan tetapi, hal tersebut
merupakan komplikasi serius pada gestasi multi janin monokorion. Pad
akasus kembar akardiak, terdapat satu janin kembar normal yang
berfungsi sebagai donor yang memperlihatkan gambaran gagal jantung
serta kembar penerima yang tidak memiliki jantung dan struktur lain.
Kasus kembar akardiak kemungkinan disebabkan oleh kelainan plasenta.
Dalam satu plasenta yang dipakai bersama, tekanan perfusi arteri kembar
donor melebihi yang terdapat pada kembar resipien, sehingga resipien
menerima aliran balik darah arteri terdeoksigenasi dari kembarannya.
Darah arteri yang “telah digunakan” ini mencapai kembar resipien
melalui arteri umbilikalis dan cenderung mengalir ke pembuluh iliaka.
Karena itu, hanya tubuh bagian bawah yang mendapat perfusi sementara
tubuh bagian atas mengalami gangguan pertumbuhan. Kegagalan kepala
yang berkembang disebut akardius asefalus. Karena hubungan vaskular
ini maka kembar donor yang normal tidak saja harus menunjang
sirkulasinya sendiri tetapi juga memompa darahnya melalui resipien
akardiak yang kurang berkembang. Hal ini dapat menyebabkan
kardiomegali dan gagal jantung pada kembar donor (Cunningham et al.,
2010).

B. PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)

1. Pengertian

Menurut Oxorn (2010), partus prematurus atau persalinan prematur


dapat diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang teratur yang
disertai pendataran dan atau dilatasi servix serta turunnya bayi pada wanita
hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu (kurang dari 259
hari) sejak hari pertama haid terakhir. Menurut Nugroho (2010), persalinan
preterm atau partus prematur adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan
kurang dari 37 minggu (antara 20-37 minggu) atau dengan berat janin

8
kurang dari 2500 gram. Partus preterm adalah kelahiran setelah 20 minggu
dan sebelum kehamilan 37 minggu dari hari pertama menstruasi terakhir
(Benson, 2012). Menurut Rukiyah (2010), partus preterm adalah persalinan
pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu atau berat badan lahir antara
500-2499 gram. Berdasarkan beberapa teori diatas dapat diketahui bahwa
Partus Prematurus Imminens (PPI) adalah adanya suatu ancaman pada
kehamilan dimana timbulnya tanda-tanda persalinan pada usia kehamilan
yang belum aterm (20 minggu-37 minggu) dan berat badan lahir bayi
kurang dari 2500 gram.

Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain persalinan atas
indikasi ibu ataupun janin baik dengan pemberian induksi ataupun seksio
sesarea, PPI spontan dengan selaput amnion utuh, dan PPI dengan ketuban
pecah dini terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam atau melalui
seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan indikasi, 40-45% PPI
terjadi secara spontan dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang
didahului ketuban pecah dini (Oxorn et al., 2010).

2. Etiologi Dan Faktor Risiko

Faktor risiko PPI menurut Wiknjosastro (2010) yaitu :

a. Janin dan Plasenta

Perdarahan trimester awal, perdarahan antepartum, KPD, pertumbuhan


janin terhambat, cacat bawaan janin, gemeli, dan polihidramnion.

b. Ibu

Diabetes mellitus, pre eklampsia, hipertensi, ISK, infeksi dengan


demam, kelainan bentuk uterus, riwayat partus preterm atau abortus
berulang, inkompetensi serviks, pemakaian obat narkotik, trauma,
perokok berat, kelainan imun/resus.

Namun menurut Rompas (2004) faktor risiko yang dapat menyebabkan


partus prematurus yaitu :

9
a. Faktor Risiko Mayor

Kehamilan multiple, hidramnion, anomali uterus, serviks terbuka lebih


dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, serviks mendatar/memendek
kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, riwayat abortus pada
trimester II lebih dari 1 kali, riwayat persalinan pretem sebelumnya,
operasi abdominal pada kehamilan preterm, riwayat operasi konisasi,
dan iritabilitas uterus.

b. Faktor Risiko Minor

Penyakit yang disertai demam, perdarahan pervaginam setelah


kehamilan 12 minggu, riwayat pielonefritis, merokok lebih dari 10
batang perhari, riwayat abortus pada trimester II, riwayat abortus pada
trimester I lebih dari 2 kali.

3. Diagnosis

Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI


(Wiknjosastro, 2010) :

a. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari

b. Kontraksi uterus (His) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya


setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit

c. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku


menstruasi, rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah

d. Mengeluarkan lendir pervaginam, dapat disertai bercampur darah

e. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-


80%, atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm

f. Selaput amnion seringkali telah pecah

g. Presentasi janin rendah sampai mencapai spina isiadika

10
h. Presentasi janin abnormal lebih sering ditemukan pada persalinan
preterm

4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung ketepatan


diagnosis PPI yaitu pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan kultur
urin, pemeriksaan gas dan pH darah janin, pemeriksaan darah tepi ibu,
jumlah lekosit, dan C-reactive protein yang ada pada serum penderita
dengan infeksi akut dan dideteksi berdasarkan kemampuannya untuk
mempresipitasi fraksi polisakarida somatik nonspesifik kuman
Pneumococcus.

Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi dimana


penipisan serviks bila didapati ketebalan seviks <3 cm (USG), dapat terjadi
persalinan preterm. Pemeriksaan sonografi serviks transperineal lebih
disukai karena dapat menghindari manipulasi intravagina terutama pada
kasus-kasus KPD dan plasenta previa.

5. Tatalaksana

Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk


mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm yaitu :

a. Menghambat Proses Persalinan Preterm Dengan Pemberian Tokolitik

1) Kalsium Antagonis

Nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan tiap 8 jam


sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan lagi jika timbul
kontaksi berulang, dosis maintenance 3x10 mg.

2) Obat ß-mimetik

Seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol dapat


digunakan tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil.
Salbutamol dengan dosis per infus yaitu 20-50 μg/menit, sedangkan

11
per oral yaitu 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutaline
dengan dosis per infus yaitu 10-15 μg/menit, subkutan yaitu 250 μg
setiap 6 jam sedangkan dosis per oral yaitu 5-7.5 mg setiap 8 jam
(maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah
hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial,
edema paru.

3) Sulfas Magnesikus

Dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara bolus


selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat
ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya
pada ibu ataupun janin. Beberapa efek sampingnya ialah edema paru,
letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).

4) Penghambat Produksi Prostaglandin

Indometasin, sulindac, nimesulide dapat menghambat produksi


prostaglandin dengan menghambat cyclooxygenases (COXs) yang
dibutuhkan untuk produksi prostaglandin. Indometasin merupakan
penghambat COX yang cukup kuat, namun menimbulkan risiko
kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek samping yang lebih
kecil daripada indometasin. Sedangkan nimesulide saat ini hanya
tersedia dalam konteks percobaan klinis.

Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu


membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual.
Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan
intrauterine terbukti tidak baik, seperti:

a) Oligohidramnion

b) Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini

c) Preeklamsia berat

d) Hasil nonstrees test tidak reaktif

12
e) Hasil contraction stress test positif

f) Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan


pasien stabil dan kesejahteraan janin baik

g) Kematian janin atau anomali janin yang mematikan

h) Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-


mimetik

b. Akselerasi Pematangan Fungsi Paru Janin Dengan Kortikosteroid


Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan
surfaktan paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome
(RDS), mencegah perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis,
dan duktus arteriosus, yang akhirnya menurunkan kematian neonatus.
Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia kehamilan kurang dari 35
minggu.
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason.
Pemberian steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin
terhambat. Pemberian siklus tunggal kortikosteroid yaitu betametason 2 x
12 mg IM dengan jarak pemberian 24 jam ataupun deksametason 4 x 6
mg IM dengan jarak pemberian 12 jam. Selain yang disebutkan dapat
juga diberikan Thyrotropin releasing hormone 400 ug IV, yang akan
meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang kemudian dapat
meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen inositol,
karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan
dalam pembentukan surfaktan.
c. Pencegahan Terhadap Infeksi Dengan Menggunakan Antibiotik
Pemberian antibiotika yang tepat dapat menurunkan angka kejadian
korioamnionitis dan sepsis neonatorum. Antibiotika hanya diberikan
bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi, seperti pada
kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah eritromisin
3x500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah ampisilin 3x500 mg
selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain seperti

13
klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko
necrotising enterocolitis.
6. Komplikasi

a. Sindroma Gawat Pernafasan (Penyakit Membran Hialin)

Paru-paru yang matang sangat penting bagi bayi baru lahir. Agar bisa
bernafas dengan bebas, ketika lahir kantung udara (alveoli) harus dapat
terisi oleh udara dan tetap terbuka. Alveoli bisa membuka lebar karena
adanya suatu bahan yang disebut surfaktan, yang dihasilkan oleh paru-
paru dan berfungsi menurunkan tegangan permukaan. Bayi prematur
seringkali tidak menghasilkan surfaktan dalam jumlah yang memadai,
sehingga alveolinya tidak tetap terbuka.

Diantara saat-saat bernafas, paru-paru benar-benar mengempis,


akibatnya terjadi Sindroma Distres Pernafasan. Sindroma ini bisa
menyebabkan kelainan lainnya dan pada beberapa kasus bisa berakibat
fatal. Kepada bayi diberikan oksigen; jika penyakitnya berat, mungkin
mereka perlu ditempatkan dalam sebuah ventilator dan diberikan obat
surfaktan (bisa diteteskan secara langsung melalui sebuah selang yang
dihubungkan dengan trakea bayi).

b. Jaundice

Setelah lahir, bayi memerlukan fungsi hati dan fungsi usus yang
normal untuk membuang bilirubin (suatu pigmen kuning hasil
pemecahan sel darah merah) dalam tinjanya. Kebanyakan bayi baru lahir,
terutama yang lahir prematur, memiliki kadar bilirubin darah yang
meningkat (yang bersifat sementara), yang dapat menyebabkan sakit
kuning (jaundice). Peningkatan ini terjadi karena fungsi hatinya masih
belum matang dan karena kemampuan makan dan kemampuan
mencernanya masih belum sempurna. Jaundice kebanyakan bersifat
ringan dan akan menghilang sejalan dengan perbaikan fungsi pencernaan
bayi.

14
c. Pada ibu setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering
terjadi sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Bayi-bayi
preterm memiliki risiko infeksi neonatal lebih tinggi; Morales (1987)
menyatakan bahwa bayi yang lahir dari ibu yang menderita anmionitis
memiliki risiko mortalitas 4 kali lebih besar, dan risiko distres
pernafasan, sepsis neonatal, necrotizing enterocolitis dan perdarahan
intraventrikuler 3 kali lebih besar.

d. Ketidakmatangan pada sistem saraf pusat bisa menyebabkan gangguan


refleks menghisap atau menelan, rentan terhadap terjadinya perdarahan
otak atau serangan apneu. Selain paru-paru yang belum berkembang,
seorang bayi prematur juga memiliki otak yang belum berkembang. Hal
ini bisa menyebabkan apneu (henti nafas), karena pusat pernafasan di
otak mungkin belum matang. Untuk mengurangi mengurangi frekuensi
serangan apneu bisa digunakan obat-obatan. Jika oksigen maupun aliran
darahnya terganggu. otak yang sangat tidak matang sangat rentan
terhadap perdarahan (perdarahan intraventrikuler) atau cedera.

e. Ketidakmatangan sistem pencernaan menyebabkan intoleransi pemberian


makanan. Pada awalnya, lambung yang berukuran kecil mungkin akan
membatasi jumlah makanan/cairan yang diberikan, sehingga pemberian
susu yang terlalu banyak dapat menyebabkan bayi muntah. Pada
awalnya, lambung yang berukuran kecil mungkin akan membatasi
jumlah makanan/cairan yang diberikan, sehingga pemberian susu yang
terlalu banyak dapat menyebabkan bayi muntah.

f. Sistem kekebalan pada bayi prematur belum berkembang sempurna.


Mereka belum menerima komplemen lengkap antibodi dari ibunya
melewati plasenta. Resiko terjadinya infeksi yang serius (sepsis) pada
bayi prematur lebih tinggi. Bayi prematur juga lebih rentan terhadap
enterokolitis nekrotisasi (peradangan pada usus).

g. Bayi prematur cenderung memiliki kadar gula darah yang berubah-ubah,


bisa tinggi (hiperglikemia maupun rendah (hipoglikemia)

15
h. Retinopati dan gangguan penglihatan atau kebutaan (fibroplasia
retrolental)

i. Anemia

j. Infeksi atau septikemia

k. Perkembangan dan pertumbuhan yang lambat

l. Keterbelakangan mental dan motoric

m. Displasia bronkopulmoner

n. Penyakit jantung

7. Tindakan Prefentif

a. Melakukan pengawasan hamil dengan seksama dan teratur

b. Melakukan konsultasi terhadap penyakit yang dapat menyebabkan


kehamilan dan persalinan preterm.

c. Memberikan nasehat tentang gizi saat kehamilan, meningkatkan


pengertian KB-interval, memperhatikan tentang berbagai kelainan yang
timbul dan sgera melakukan konsultasi, menganjurkan untuk
pemeriksaan tambahan sehingga secara dini penyakit ibu dapat diketahui
dan diawasi / diobati.

d. Jangan menikah terlalu muda dan terlalu tua (20-30 tahun), perbaiki
keadaan sosial ekonomi, cegah infeksi saluran kencing, berikan makanan
ibu yang baik, prenatal care yang baik dan teratur, pakailah kontrasepsi
untuk mengatur jarak kehamilan (Manuaba, 1998).

16
DAFTAR PUSTAKA

American Society for Reproductive Medicine. 2012. Multiple Pregnancy and


Birth: Twins, Triplets and High Order Multiples.

Benson, Ralph C., Pernoll, Martin L. 2012. Buku Saku Obsetri dan Ginekologi.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hariadi, R. 2004. Ilmu
Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan Kedokteran Fetomaternal
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.

Cunningham, Leveno, Bloom, Hauth, Rouse, Spong. 2010. Obstetri Williams.


Jakarta: EGC.

Dera, A., Breborowicz, G. H., Keith, L. 2007. Twin Pregnancy, Physiology,


Complication and the mode of delivery. Archives of Perinatal Medicine. 13
(3) : 7-16.

Manuaba, I.B.G. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta :
EGC.

Nugroho, Taufan. 2010. Kesehatan Wanita, Gender dan Permasalahannya.


Yogyakarta : Nuha Medika.

Oxorn, Harry. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan (Human
Labor and Birth). Yogyakarta : YEM.

17
Rompas, Jefferson. 2004. Pengelolaan Persalinan PretermRukiyah, Ai Yeyeh, dkk.
2010. Asuahan Kebidanan Patologi . Jakarta : Trans Info Media.

Singh, L. dan Trivedi K. 2017. Study of Maternal and Fetal Outcome in Twin
Pregnancy. International Journal of Reproductive, Contraception,
Obstetrics and Gynecology, No.6 (6) : 2272-2278.
Wiknjosastro, H. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, Sarwono
Prawirohardjo.

18

Anda mungkin juga menyukai