PEMBAHASAN
A. GEMELLI
1. Definisi Dan Epidemiologi
Kehamilan kembar atau kehamilan multipel adalah kehamilan dimana
terdapat lebih dari satu janin intrauterin. Insidensi kehamilan multipel di
dunia sekitar 2-20 dari 1000 kelahiran. Seiring dengan kemajuan teknologi
dalam terapi infertilitas, frekuensi dan jumlah kelahiran kembar semakin
meningkat. Insidensi kehamilan multipel di negara Eropa sekitar 10 dari
1000 kelahiran, sedangkan pada negara-negara Asia insidensi kehamilan
multipel sekitar 5-6 per 1000 kelahiran (Singh dan Trivedi, 2017).
Kehamilan multipel dinilai memiliki risiko yang lebih tinggi
menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun janin.
Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi pada kehamilan multipel antara
lain anemia, kelahiran kurang bulan, perdarahan antepartum, hipertensi pada
kehamilan, berat bayi lahir rendah maupun IUGR. Deteksi dini dan
penanganan yang baik pada kehamilan multipel menjadi prioritas utama
dalam mencegah komplikasi yang mungkin terjadi (Singh dan Trivedi,
2017).
2. Klasifikasi
a. Kembar Dizigot
Sekitar 2/3 dari kehamilan kembar pada populasi kaukasia
merupakan kembar dizigotik. Kembar dizigot berasal dari pembuahan
dua atau lebih oosit oleh dua sperma yang berbeda pada siklus yang
sama. Kedua zigot hasil pembuahan memiliki konstitusi genetik yang
berbeda dan melekat pada tempatnya masing-masing. Hasil pembuahan
akan membentuk amnion serta korion yang terpisah. Beberapa kondisi
yang dapat mempengaruhi kehamilan kembar dizigot adalah ras ibu, usia
serta riwayat obstetri sebelumnya (Dera et al., 2007).
b. Kembar Monozigot
1
Kembar monozigot atau yang sering disebut sebagai kembar identik
berasal dari pembuahan satu sel telur. Kejadian kembar monozigot terjadi
pada 1 dari 250 kehamilan. Hasil akhir proses pembentukan kembar
monozigot bergantung pada waktu pemisahan terjadi. Jika pemisahan
zigot terjadi dalam waktu 72 jam pertama pembuahan, maka akan
terbentuk dua mudigah, dua amnion dan dua amnion yang akan
berkembang menjadi kehamilan kembar diamnion dikorion. Pada
kehamilan diamnion dan dikorion dapat terbentuk dua plasenta yang
berbeda atau satu plasenta yang menyatu. Kemudian apabila pemisahan
terjadi antara hari ke empat dan hari ke delapan, terbentuk kehamilan
kembar diamnion monokorion. Sekitar pada hari ke delapan setelah
pembuahan, korion dan amnion telah berdiferensiasi dan pemisahan akan
menghasilkan dua mudigah di dalam satu kantong amnion atau disebut
kehamilan kembar monoamnion monokorion. Kembar dempet atau
kembar siam akan terjadi apabila pemisahan berlangsung lebih dari tiga
belas hari setelah pembelahan terjadi (Dera et al., 2007; Cunningham et
al., 2010).
2
Gambar 2.1 Kembar Monozigot
3. Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya
kehamilan multipel. Faktor-faktor risiko tersebut adalah sebagai berikut
(American Society for Reproductive Medicine, 2012; Cunningham et al.,
2010) :
a. Ras
Frekuensi kelahiran multijanin sangat bervariasi di antara berbagai
ras dan kelompok etnik. Negara seperti Nigeria memiliki insidensi
kelahiran multijanin yang tinggi yaitu sekitar 1 dari 20 kelahiran di
negara tersebut. Orang orang dengan kulit hitam memiliki angka
kelahiran janin kembar dizigotik sekitar 11,1 kelahiran kembar dari 1000
persalinan. Sedangkan di negara seperti Jepang, angka kelahiran bayi
kembar cukup jarang yaitu sekitar 1,3 kelahiran dari 1000 persalinan.
b. Hereditas
Sebagai penentu terjadinya kehamilan kembar, riwayat keluarga dari
pihak ibu lebih penting daripada riwayat keluarga ayah. Pada wanita
dengan riwayat kembar non identik akan melahirkan bayi kembar dengan
insiden 1 kelahiran per 60 kelahiran. Sedangkan pada laki-laki dengan
riwayat kembar non identik akan memiliki keturunan kembar dengan
insidensi 1 kelahiran per 125 kelahiran.
c. Usia dan Paritas Ibu
Angka pembentukan bayi kembar mengalami puncaknya pada usia
37 tahun dimana stimulasi FSH maksimal terjadi dan meningkatkan
angka pembentukan folikel multipel. Meningkatnya paritas juga terbukti
meningkatkan insidensi pembentukan janin kembar secara independen di
semua populasi yang diteliti. Wanita dengan usia antara 35-40 tahun yang
memiliki empat atau lebih anak memiliki kemungkinan tiga kali lebih
besar untuk memiliki bayi kembar dibandingkan dengan wanita usia
dibawah 20 yang belum memiliki anak sebelumnya.
d. Faktor Gizi
3
Peningkatan derajat yang jelas dalam pembentukan janin kembar
setara dengan status gizi yang lebih tinggi yang tercermin pada ukuran
ibu. Wanita yang lebih tinggi dan lebih berat memperlihatkan angka
kembar 25 sampai 30 persen lebih tinggi daripada wanita pendek yang
kekurangan gizi. Kembar dizigot lebih banyak dijumpai pada wanita
besar dan tinggi daripada wanita kecil. Asupan asam folat yang lebih
tinggi berkaitan dengan kehamilan kembar pada wanita yang menjalani
IVF (in vitro fertilization).
e. Gonadotropin Hipofisis
Angka kembar dizigot lebih tinggi pernah dilaporkan pada wanita
yang mengandung dalam 1 bulan setelah menghentikan kontrasepsi oral,
tetapi tidak selama bulan-bulan selanjutnya. Hal tersebut mungkin
disebabkan oleh pelepasan mendadak gonadotropin hipofisis dalam
jumlah yang lebih besar daripada biasa, selama siklus spontan pertama
setelah penghentian kontrasepsi hormonal.
f. Terapi Infertilitas
Kehamilan kembar secara umum terjadi pada wanita yang
melakukan terapi fertilitas dengan induksi ovulasi atau super ovulasi.
Terapi superovulasi yang meningkatkan kemungkinankehamilan dengan
merekrut banyak folikel, menyebabkan angka kehamilan multijanin 25
sampai 30 persen. Faktor risiko untuk janin multipel setelah stimulasi
ovarium dengan hMg antara lain peningkatan kadar estradiol pada hari
penyuntikan gonadotropin korion dan karakteristik sperma misalnya
peningkatan konsentrasi dan motilitas.
g. Assisted Reproductive Technology (ART)
Teknik ini dapat meningkatkan kemungkinan gestasi multijanin.
Secara umum dengan IVF, semakin banyak jumlah mudigah yang
dipindahkan, semakin besar risiko janin kembar dua atau multipel.
4. Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Klinis
Pada pasien yang diduga mengalami kehamilan kembar, anamnesis
yang mencakup faktor risiko seperti riwayat kembar pada ibu atau
4
keluarga, usia ibu, paritas tinggi, serta penggunaan klomifen sitrat atau
gonadotropin sebagai terapi fertilitas perlu ditanyakan kepada ibu. Pada
pemeriksaan klinis perlu dilakukan pengukuran tinggi fundus uteri.
Ukuran uterus pada kehamilan multipel biasanya lebih besar selama
trimester kedua dari ukuran yang diperkirakan. Pada wanita dengan
ukuran uterus yang tampak lebih besar daripada usia gestasi, perlu
dipertimbangkan kemungkinannya sebagai berikut (Cunningham et al.,
2010) :
1) Janin multipel
4) Hidramnion
5) Mola hidatiformis
6) Leiomioma uterus
8) Makrosomia janin
Secara umum, kembar sulit di diagnosis dengan palpasi-palpasi
bagian janin sebelum trimester ketiga. Menjelang akhir kehamilan,
kehamilan kembar juga sulit di identifikasi melalui palpasi abdomen,
terutama jika salah satu kembar terletak di atas kembar lainnya,
kemudian jika wanita itu obesitas atau jika terdapat hidramnion.
Diagnosis kembar dapat ditegakan dengan palpasi uterus dimana sering
terdeteksi dua kepala janin dan umumnya berada di kuadran uterus yang
berbeda. Pada akhir trimester pertama, kerja jantung janin dapat
terdeteksi dengan Doppler. Pada pemeriksaan jantung janin akan
didapatkan dua denyut jantung yag berbeda satu sama lain. Pada usia
kehamilan 18-20 mingg, bunyi jantung janin dapat dideteksi dengan
stetoskop janin (Cunningham et al., 2010).
b. Sonografi
5
Pada pemeriksaan sonografi, kantong-kantong gestasi yang terpisah
dapat teridentifikasi pada kehamilan kembar. Masing- masing kepala
janin terlihat dalam dua bidang vertikal. Pemeriksaan dengan sonografi
setelah kehamilan 6-8 minggu dapat menentukan diagnosis jumlah janin
dalam uterus dari jumlah kantong gestational yang terlihat. Gestasi
multijanin dengan jumlah janin dengan jumlah janin yang lebih dari dua
lebih sulit di evaluasi, bahkan dalam trimester pertama mungkin sulit
dipastikan jumlah janin yang sebenarnya serta posisi janin tersebut
(Cunningham et al., 2010).
c. Pemeriksaan Biokimia
Belum ada pemeriksaan biokimia yang dapat diandalkan untuk
mengidentifikasi janin multipel. Kadar gonadotropin korion dalam
plasma dan urin, secara rata-rata lebih tinggi daripada yang ditemukan
pada kehamilan janin tunggal. Kembar dua sering terdiagnosis sewaktu
evaluasi terhadap penigkatan kadar alfa fetoprotein serum ibu
(Cunningham et al., 2010).
6
5. Komplikasi
a. Kelahiran Kurang Bulan
7
Komplikasi kembar akardiak jarang terjadi. Sekitar 1 dalam 35.000
kelahiran mengalami kembar akardia. Akan tetapi, hal tersebut
merupakan komplikasi serius pada gestasi multi janin monokorion. Pad
akasus kembar akardiak, terdapat satu janin kembar normal yang
berfungsi sebagai donor yang memperlihatkan gambaran gagal jantung
serta kembar penerima yang tidak memiliki jantung dan struktur lain.
Kasus kembar akardiak kemungkinan disebabkan oleh kelainan plasenta.
Dalam satu plasenta yang dipakai bersama, tekanan perfusi arteri kembar
donor melebihi yang terdapat pada kembar resipien, sehingga resipien
menerima aliran balik darah arteri terdeoksigenasi dari kembarannya.
Darah arteri yang “telah digunakan” ini mencapai kembar resipien
melalui arteri umbilikalis dan cenderung mengalir ke pembuluh iliaka.
Karena itu, hanya tubuh bagian bawah yang mendapat perfusi sementara
tubuh bagian atas mengalami gangguan pertumbuhan. Kegagalan kepala
yang berkembang disebut akardius asefalus. Karena hubungan vaskular
ini maka kembar donor yang normal tidak saja harus menunjang
sirkulasinya sendiri tetapi juga memompa darahnya melalui resipien
akardiak yang kurang berkembang. Hal ini dapat menyebabkan
kardiomegali dan gagal jantung pada kembar donor (Cunningham et al.,
2010).
1. Pengertian
8
kurang dari 2500 gram. Partus preterm adalah kelahiran setelah 20 minggu
dan sebelum kehamilan 37 minggu dari hari pertama menstruasi terakhir
(Benson, 2012). Menurut Rukiyah (2010), partus preterm adalah persalinan
pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu atau berat badan lahir antara
500-2499 gram. Berdasarkan beberapa teori diatas dapat diketahui bahwa
Partus Prematurus Imminens (PPI) adalah adanya suatu ancaman pada
kehamilan dimana timbulnya tanda-tanda persalinan pada usia kehamilan
yang belum aterm (20 minggu-37 minggu) dan berat badan lahir bayi
kurang dari 2500 gram.
Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain persalinan atas
indikasi ibu ataupun janin baik dengan pemberian induksi ataupun seksio
sesarea, PPI spontan dengan selaput amnion utuh, dan PPI dengan ketuban
pecah dini terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam atau melalui
seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan indikasi, 40-45% PPI
terjadi secara spontan dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang
didahului ketuban pecah dini (Oxorn et al., 2010).
b. Ibu
9
a. Faktor Risiko Mayor
3. Diagnosis
a. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari
10
h. Presentasi janin abnormal lebih sering ditemukan pada persalinan
preterm
4. Pemeriksaan Penunjang
5. Tatalaksana
1) Kalsium Antagonis
2) Obat ß-mimetik
11
per oral yaitu 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutaline
dengan dosis per infus yaitu 10-15 μg/menit, subkutan yaitu 250 μg
setiap 6 jam sedangkan dosis per oral yaitu 5-7.5 mg setiap 8 jam
(maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah
hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial,
edema paru.
3) Sulfas Magnesikus
a) Oligohidramnion
c) Preeklamsia berat
12
e) Hasil contraction stress test positif
13
klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko
necrotising enterocolitis.
6. Komplikasi
Paru-paru yang matang sangat penting bagi bayi baru lahir. Agar bisa
bernafas dengan bebas, ketika lahir kantung udara (alveoli) harus dapat
terisi oleh udara dan tetap terbuka. Alveoli bisa membuka lebar karena
adanya suatu bahan yang disebut surfaktan, yang dihasilkan oleh paru-
paru dan berfungsi menurunkan tegangan permukaan. Bayi prematur
seringkali tidak menghasilkan surfaktan dalam jumlah yang memadai,
sehingga alveolinya tidak tetap terbuka.
b. Jaundice
Setelah lahir, bayi memerlukan fungsi hati dan fungsi usus yang
normal untuk membuang bilirubin (suatu pigmen kuning hasil
pemecahan sel darah merah) dalam tinjanya. Kebanyakan bayi baru lahir,
terutama yang lahir prematur, memiliki kadar bilirubin darah yang
meningkat (yang bersifat sementara), yang dapat menyebabkan sakit
kuning (jaundice). Peningkatan ini terjadi karena fungsi hatinya masih
belum matang dan karena kemampuan makan dan kemampuan
mencernanya masih belum sempurna. Jaundice kebanyakan bersifat
ringan dan akan menghilang sejalan dengan perbaikan fungsi pencernaan
bayi.
14
c. Pada ibu setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering
terjadi sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Bayi-bayi
preterm memiliki risiko infeksi neonatal lebih tinggi; Morales (1987)
menyatakan bahwa bayi yang lahir dari ibu yang menderita anmionitis
memiliki risiko mortalitas 4 kali lebih besar, dan risiko distres
pernafasan, sepsis neonatal, necrotizing enterocolitis dan perdarahan
intraventrikuler 3 kali lebih besar.
15
h. Retinopati dan gangguan penglihatan atau kebutaan (fibroplasia
retrolental)
i. Anemia
m. Displasia bronkopulmoner
n. Penyakit jantung
7. Tindakan Prefentif
d. Jangan menikah terlalu muda dan terlalu tua (20-30 tahun), perbaiki
keadaan sosial ekonomi, cegah infeksi saluran kencing, berikan makanan
ibu yang baik, prenatal care yang baik dan teratur, pakailah kontrasepsi
untuk mengatur jarak kehamilan (Manuaba, 1998).
16
DAFTAR PUSTAKA
Benson, Ralph C., Pernoll, Martin L. 2012. Buku Saku Obsetri dan Ginekologi.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hariadi, R. 2004. Ilmu
Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan Kedokteran Fetomaternal
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
Manuaba, I.B.G. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta :
EGC.
Oxorn, Harry. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan (Human
Labor and Birth). Yogyakarta : YEM.
17
Rompas, Jefferson. 2004. Pengelolaan Persalinan PretermRukiyah, Ai Yeyeh, dkk.
2010. Asuahan Kebidanan Patologi . Jakarta : Trans Info Media.
Singh, L. dan Trivedi K. 2017. Study of Maternal and Fetal Outcome in Twin
Pregnancy. International Journal of Reproductive, Contraception,
Obstetrics and Gynecology, No.6 (6) : 2272-2278.
Wiknjosastro, H. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, Sarwono
Prawirohardjo.
18