Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. KEHAMILAN GAMELLI

A. Definisi

Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional, kehamilan

didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum

kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Kehamilan normal akan

berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 9 bulan menurut kalender Internasional.

Kehamilan merupakan hal fisiologis yang terjadi pada seorang wanita. Kehamilan

kembar terdiri atas dua janin atau lebih. Kebanyakan adalah kehamilan kembar

dua (hampir 98%). Ibu dan janin pada kasus kehamilan kembar lebih berisiko

dibandingkan pada kasus kehamilan tunggal. Kehamilan dan persalinan membawa

risiko pada janin. Bahaya bagi ibu tidak begitu besar, tetapi wanita dengan

kehamilan kembar memerlukan pengawasan dan perhatian khusus bila diinginkan

hasil yang memuaskan bagi ibu dan janin. Menurut Mochtar Rustam kehamilan

ganda atau kembar adalah kehamilan dengan dua jenis janin atau lebih.1,3

B. Epidemiologi

Angka kejadian kehamilan ganda mencapai 35 dari total kelahiran hidup

saat ini. Tahun 2009, 16 wanita per 1000 persalinan di England dan wales

3
memiliki kehamilan ganda dibandingkan dengan 10 wanita dari 1000 pada tahun

1980.1

C. Klasifikasi

Kehamilan kembar dibagi menjadi 3 macam adalah sebagai berikut:7

1) Gemelli dizigotik = kembar dua telur , heterolog, biovuler dan praternal :

Kedua telur berasal dari :

a. 1 ovarium dan dari folikel de graff

b. ovurium dan dari 1 folikel de graff

c. dari ovarium kanan dan satu lagi dari ovarium kiri.

Gambar 2.1 Jenis Plasenta pada gamelli dizigotik

2) Gemelli monozigotik dapat terjadi karena :

a. Satu telur dengan 2 inti, Hambatan pada tin hambatan pada tingkat

blastula :

4
b. Hambatan pada tingkat segmentasi

c. Hambatan setelah amnion dibentuk, tetapi sebelum primitif steak.

Gambar 2.1 Jenis Plasenta pada gamelli monozigotik

3) Conjoined twins, superfekkundasi 2 superfetasi

Conjoined twins atau kembar siam adalah kembar dimana janin melengket

satu dengan yang lainnya. Misalnya torakopagus (dada dengan dada),

abdominopagus (perlengketan antara kedua abdomen), kraniopagus (kedua

kepala) dan sebagainya. Banyak kembar siam telah dapat dipisahkan secara

operatif dengan berhasil. Superfekundasi adalah pembuahan dua telur yang

dikeluarkan dalam ovulasi yang sama pada dua kali koitus yang dilakukan pada

jarak waktu yang pendek.

D. Faktor yang mempengaruhi

Kehamilan gemelli dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:4

a. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah : bangsa, umur dan paritas

sering mempengaruhi kehamilan 2 telur


5
b. Faktor obat-obat induksi ovulasi profertil, domid dan hormon

gonadotropin dapat menyebabkan kehamilan dizigotik dan kembar

lebih dari dua

c. Faktor keturunan

d. Faktor yang lain belum diketahui

E. Patofisiologi

Kembar dizigot berarti dua telur matang dalam waktu bersamaan, lalu

dibuahi oleh sperma. Akibatnya, kedua sel telur itu mengalami pembuahan dalam

waktu bersamaan. Sedangkan kembar monozigot berarti satu telur yang dibuahi

sperma, lalu membelah dua. Masa pembelahan inilah yang akan berpengaruh pada

kondisi bayi kelak. Masa pembelahan sel telur terbagi dalam empat waktu, yaitu 0

– 72 jam, 4 – 8 hari, 9-12 dan 13 hari atau lebih. Pada pembelahan pertama, akan

terjadi diamniotik yaitu rahim punya dua selaput ketuban, dan dikorionik atau

rahim punya dua plasenta. Sedangkan pada pembelahan kedua, selaput ketuban

tetap dua, tapi rahim hanya punya satu plasenta. Pada kondisi ini, bisa saja terjadi

salah satu bayi mendapat banyak makanan, sementara bayi satunya tidak.

Akibatnya, perkembangan bayi bisa terhambat. Lalu, pada pembelahan ketiga,

selaput ketuban dan plasenta masing-masing hanya sebuah, tapi bayi masih

membelah dengan baik. Pada pembelahan keempat, rahim hanya punya satu

plasenta dan satu selaput ketuban, sehingga kemungkinan terjadinya kembar siam

cukup besar. Pasalnya waktu pembelahannya terlalu lama, sehingga sel telur

menjadi berdempet. Jadi kembar siam biasanya terjadi pada monozigot yang

pembelahannya lebih dari 13 hari. Dari keempat pembelahan tersebut, tentu saja

6
yang terbaik adalah pembelahan pertama, karena bayi bisa membelah dengan

sempurna. Namun, keempat pembelahan ini tidak bisa diatur waktunya. Faktor

yang mempengaruhi waktu pembelahan, dan kenapa bisa membelah tidak

sempurna sehingga mengakibatkan dempet, biasanya dikaitkan dengan infeksi,

kurang gizi, dan masalah lingkungan.1

7
Gambar 2. Skema pembentukan kembar menurut jenisnya.8

F. Letak dan Presentasi Janin

Pada hamil kembar sering terjadi kesalahan presentasi dan posisi kedua

janin. Begitu pula letak janin kedua dapat berubah setelah janin pertama lahir,

misalnya dari letak lintang berubah jadi letak sungsang atau letak kepala.

Berbagai kombinasi letak, presentasi dan posisi bisa terjadi yang paling sering

dijumpai adalah:3

8
1) Kedua janin dalam letak membujur, presentasi kepala (44-47 %).

2) Letak membujur, presentasi kepala bokong (37-38 %).

3) Keduanya presentasi bokong (8-10 %).

4) Letak lintang dan presentasi kepala (5-5,3 %).

5) Letak lintang dan presentasi bokong (1,5-2 %).

6) Keduanya letak lintang (0,2-0,6 %).

Letak dan presentasi 69 adalah letak yang berbahaya karena dapat terjadi kunci-

mengunci (interlocking).

Gambar 2.5 Jenis dan frekuensi letak serta presentasi kehamilan kembar

G. Diagnosis Kehamilan Ganda

Diagnosis kehamilan kembar didapatkan melalui hasil pemeriksaan yang

memberikan petunjuk: riwayat keluarga yang positif, uterus dan abdomen

kelihatan lebih besar dari yang diharapkan sesuai dengan lamanya amenorrhea,

pertumbuhan uterus lebih cepat dari normal, penambahan berat badan ibu yang

mencolok yang tidak disebabkan oleh edema atau obesitas, banyak bagian kecil

9
teraba. Diagnosis pasti kehamilan dapat ditentukan dengan: teraba dua kepala atau

dua bokong, dua denyut jantung janin yang didengarkan pada waktu bersamaan

oleh pemeriksa mempunyai selisih frekuensi paling sedikit 10 denyut per menit,

Ultrasonografi menunjukkan adanya dua atau lebih tengokrak janin, pada

persalinan lahirnya lebih dari satu bayi merupakan bukti yang positif.9

H. Komplikasi Kehamilan Gemelli

Dibandingkan dengan kehamilan tunggal, kehamilan multipel lebih

mungkin terkait dengan banyak komplikasi kehamilan. Komplikasi obstetrik

yang sering didapatkan pada kehamilan kembar meliputi polihidramnion,

hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan ketuban pecah dini, presentasi janin

abnormal, dan prolaps tali pusat. Secara umum, komplikasi tersebut dapat

dicegah dengan perawatan antenatal yang baik (Eisenberg, 2004:168). Menurut

Hartono, dkk (2006:852-897) beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada janin

yang dilahirkan pada kehamilan kembar diantaranya adalah:10,11

1) Prematuritas

Janin dari kehamilan multipel cenderung dilahirkan preterm dan kebanyakan

memerlukan perawatan pada neonatal intensive care unit (NICU). Sekitar 50

persen kelahiran kembar terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu. Lamanya

kehamilan akan semakin pendek dengan bertambahnya jumlah janin di dalam

uterus. Sekitar 20% bayi dari kehamilan multipel merupakan bayi dengan berat

lahir rendah.

10
2) Hyalin Membrane Disease (HMD)

Bayi kembar yang dilahirkan sebelum usia kehamilan 35 minggu dua kali

lebih sering menderita HMD dibandingkan dengan bayi tunggal yang dilahirkan

pada usia kehamilan yang sama. HMD atau yang dikenal sebagai Respiratory

Distres Syndrom (RDS) adalah penyebab tersering dari gagal nafas pada bayi

prematur. Terjadi segera setelah atau beberapa saat setelah bayi lahir. Ditandai

dengan sukar bernafas, cuping hidung, retraksi dinding dada dan sianosis yang

menetap dalam 48-96 jam pertama kehidupan. Prevalensi HMD didapatkan lebih

tinggi pada kembar monozigotik dibandingkan dengan kembar dizigotik. Bila

hanya satu bayi dari sepasang bayi kembar yang menderita HMD, maka bayi

kedua lebih cenderung menderita HMD dibandingkan dengan bayi pertama.

3) Asfiksia saat Kelahiran/Depresi Napas Perinatal

Bayi dari kehamilan multipel memiliki peningkatan frekuensi untuk

mengalami asfiksia saat kelahiran atau depresi perinatal dengan berbagai sebab.

Prolaps tali pusat, plasenta previa, dan ruptur uteri dapat terjadi dan

menyebabkan asfiksia janin. Kejadian cerebral palsy 6 kali lebih tinggi pada

bayi kembar dua dan 30 kali lebih sering pada bayi kembar tiga dibandingkan

dengan janin tunggal. Bayi kedua pada kehamilan kembar memiliki resiko

asfiksia saat lahir/dpresi napas perinatal lebih tinggi.

4) Vanishing Twin Syndrome

Kemajuan teknologi ultrasonografi memungkinkan dilakukannya studi

sonografik pada awal gestasi yang memperlihatkan bahwa insiden kembar

trimester pertama jauh lebih tinggi daripada insiden kembar saat lahir. Kehamilan
11
kembar sekarang diperkirakan terjadi pada 12 persen di antara semua konsepsi

spontan, tetapi hanya 14 persen di antaranya yang bertahan sampai aterm. Pada

sebagian kasus, seluruh kehamilan lenyap, tetapi pada banyak kasus, satu janin

yang meninggal atau sirna (vanish) dan kehamilan berlanjut sebagai kehamilan

tunggal. Pada 21-63% konsepsi kembar meninggal atau sirna (vanish) pada

trimester kedua. Keadaan ini dapat menyebabkan kelainan genetik atau kelainan

neurologik/defek neural tube pada janin yang tetap bertahan hidup.

5) Twin-to-twin Transfusion Syndrome

Darah ditransfusikan dari satu kembaran (donor) ke dalam vena kembaran

lainnya (resipien) sedemikian rupa sehingga donor menjadi anemik dan

pertumbuhannya terganggu, sementara resipien menjadi polisitemik dan

mungkin mengalami kelebihan beban sirkulasi yang bermanifestasi sebagai

hidrops fetalis. Menurut ketentuan, terdapat perbedaan hemoglobin 5 g/dl dan

20% berat badan pada sindrom ini. Kematian kembar donor dalam uterus dapat

mengakibatkan trombus fibrin di seluruh arteriol yang lebih kecil milik kembar

resipien. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh transfusi darah yang kaya

tromboplastin dari janin donor yang mengalami maserasi. Kembar yang

bertahan hidup mengalami koagulasi intravaskular diseminata.

6) Kembar Siam

Apabila pembentukan kembar dimulai setelah cakram mudigah dan kantung

amniom rudimenter sudah terbentuk dan apabila pemisahan cakram mudigah

tidak sempurna, akan terbentuk kembar siam/kembar dempet. Terdapat beberapa

12
jenis kembar siam, yaitu:

a) Thoracopagus, bila kedua tubuh bersatu di bagian dada (30-40%). Jantung

selalu terlibat dalam kasus ini. Bila jantung hanya satu, harapan hidup baik

dengan atau tanpa operasi adalah rendah.

b) Omphalopagus, bila kedua tubuh bersatu di bagian perut (34%). Umumnya

masing-masing tubuh memiliki jantung masing- masing, tetapi kembar siam

ini biasanya hanya memiliki satu hati, sistem pencernaan, dan organ-organ

lain.

c) Xyphopagus, bila kedua tubuh bersatu di bagian xiphoid cartilage.

d) Pyopagus (iliopagus), bila bersatu di bagian belakang (19%).

e) Cephalopagus/craniopagus, bila bersatu di bagian kepala dengan tubuh

terpisah.

7) Intra Uterine Growth Retardation (IUGR)

Pada kehamilan kembar, pertumbuhan dan perkembangan salah satu atau

kedua janin dapat terhambat. Semakin banyak jumlah janin yang terbentuk, maka

kemungkinan terjadinya IUGR semakin besar.

I. Penanganan dalam Kehamilan

Untuk kepentingan ibu dan janin perlu diadakan pencegahan terhadap pre-

eklamsia dan eklamsia, partus prematurus dan anemia. Pemeriksaan antenatal

perlu diadakan lebih sering. Sehingga tanda-tanda pre-eklamsia dapat diketahui

dini dan penanganan dapat dikerjakan dengan segera. Pemeriksaan antenatal dapat

dilakukan antara lain:3

13
 Pemeriksaan kehamilan setiap 2 minggu pada usia kehamilan 34 – 36

minggu

 Pemeriksaan kehamilan setiap minggu pada usia kehamilan >36 minggu

 Pertumbuhan janin dipantau dengan USG setiap 3 – 4 minggu yang dimulai

pada usia kehamilan 20 minggu.

 Istirahat baring dianjurkan lebih banyak karena hal itu menyebabkan aliran

darah ke plasenta meningkat, sehingga pertumbuhan janin lebih baik.

Penanganan dalam Kehamilan antara lain:3

 Perawatan prenatal yang baik untuk mengenal kehamilan kembar dan

mencegah komplikasi yang timbul, dan bila diagnosis telah ditegakkan

pemeriksaan ulangan harus lebih sering (1× seminggu pada kehamilan lebih

dari 32 minggu)

 Setelah kehamilan 30 minggu, koitus dan perjalanan jauh sebaiknya

dihindari, karena akan merangsang partus prematurus.

 Pemakaian korset gurita pada perut yang tidak terlalu ketat diperbolehkan,

supaya terasa lebih ringan.

Periksa darah lengkap, Hb, dan golongan darah

14
II. PARTUS PREMATURUS IMINENS (PPI)

A. Definisi

Persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung antara umur

kehamilan 20-37 minggu dengan berat lahir jann 500-2500 gram. Pemicu obstetri

yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan atas indikasi ibu ataupun

janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea; (2) PPI spontan

dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI dengan ketuban pecah dini, terlepas

apakah akhirnya dilahirkan pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-

35% dari PPI berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi secara spontan dengan

selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului ketuban pecah dini.2,12

B. Faktor Resiko Partus Prematurus Imminens (PPI)

Faktor resiko PPI yaitu :3

a) Janin dan plasenta : perdarahan trimester awal, perdarahan antepartum,

KPD, pertumbuhan janin terhambat, cacat bawaan janin, gemeli,

polihidramnion

b) Ibu : DM, pre eklampsia, HT, ISK, infeksi dengan demam, kelainan bentuk

uterus, riwayat partus preterm atau abortus berulang, inkompetensi serviks,

pemakaian obat narkotik, trauma, perokok berat, kelainan imun/resus

Namun menurut Rompas (2004) ada beberapa resiko yang dapat

menyebabkan partus prematurus yaitu :

15
a) Faktor resiko mayor : Kehamilan multiple, hidramnion, anomali uterus,

serviks terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, serviks

mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, riwayat

abortus pada trimester II lebih dari 1 kali, riwayat persalinan pretem

sebelumnya, operasi abdominal pada kehamilan preterm, riwayat operasi

konisasi, dan iritabilitas uterus.

b) Faktor resiko minor : Penyakit yang disertai demam, perdarahan

pervaginam setelah kehamilan 12 minggu, riwayat pielonefritis, merokok

lebih dari 10 batang perhari, riwayat abortus pada trimester II, riwayat

abortus pada trimester I lebih dari 2 kali.

C. Diagnosis

Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI yaitu:3

1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,

2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya

setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,

3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi,

rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),

4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,

5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%,

atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,

6. Selaput amnion seringkali telah pecah,

7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.

16
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung ketepatan

diagnosis PPI :

1. Pemeriksaan Laboratorium: darah rutin, kimia darah, golongan ABO, faktor

rhesus, urinalisis, bakteriologi vagina, amniosentesis : surfaktan, gas dan PH

darah janin.

2. USG untuk mengetahui usia gestasi, jumlah janin, besar janin, kativitas

biofisik, cacat kongenital, letak dan maturasi plasenta, volume cairan tuba

dan kelainan uterus.

D. Penatalaksanaan

Dalam penatalaksanaan persalinan preterm perlu atau tidaknya

dipertahankan dinilai dari beberapa faktor yang dijadikan pertimbangan,

yaitu:13,14,15

- Selaput ketuban jika sudah pecah persalinan menjadi pilihan

- Pembukaan serviks jika sudah 4 cm lebih sulit dipertahankan

- Usia kehamilan: makin muda, pencegahan persalinan perlu dilakukan.

Persalinan dapat dipertimbangkan ketika TBJ>2000gr atau usia kehamilan

>34 minggu

- Penyebab persalinan

- Kemampuan fasilitas NICU dan tenaga dokter

Tatalaksana awal untuk mencegah kelahiran premature ataupun melakukan

penundaan persalinan hingga bayi viable, yaitu :

17
1. Pemberian tokolisis (penghambat persalinan)

a. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam,

dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan lagi

jika timbul kontaksi berulang. dosis maintenance 3x10 mg.

b. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol

dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih

kecil. Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 μg/menit, sedangkan per

oral: 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per

infus: 10-15 μg/menit, subkutan: 250 μg setiap 6 jam sedangkan dosis

per oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari

golongan obat ini ialah: hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi,

takikardia, iskemi miokardial, edema paru.

c. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv,

secara bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance).

Namun obat ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat

ditimbulkannya pada ibu ataupun janin. Beberapa efek sampingnya ialah

edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan

bayi).

d. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide

dapat menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat

cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin.

Indometasin merupakan penghambat COX yang cukup kuat, namun

menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek

18
samping yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan nimesulide

saat ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.

2. Kortikostreoid (pematangan surfaktan paru untuk menurunkan kejadian RDS)

Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian steroid

ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian

siklus tunggal kortikosteroid ialah: Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak

pemberian 24 jam atau deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian

12 jam.

3. Antibiotik, bila perlu untuk mecegah infeksi

4. Non farmakologi : bed rest, tidak berhubungan seks sementara

III. TWIN TO TWIN TRANSFUSION SYNDROME (TTTS)

A. Definisi

Twin to twin transfusion syndrome (TTTS) adalah suatu keadaan dimana

terjadi transfusi darah intrauterin dari janin ke janin yang lain pada kehamilan

kembar. TTTS merupakan komplikasi dari kehamilan kembar monochorionik

dimana dari gambaran sonografi terlihat ditemukan polihidramnion pada satu

kantong dan oligohidramnion pada kantong yang lainnya pada suatu kehamilan

ganda monochorionik-diamniotik.16

B. Epidemiologi

Angka kejadian TTTS berkisar antara 4% sampai 35% dari seluruh

kehamilan kembar monochorion dan menyebabkan kematian pada lebih dari 17%

19
dari seluruh kehamilan kembar. Bila tidak diberikan penanganan yang adekuat, >

80% janin dari kehamilan tersebut akan mati intrauterin atau mati selama masa

neonatus.1

C. Klasifikasi

Twin-to-twin transfusion syndrome (TTTS) berdasarkan berat ringannya

penyakit dibagi atas:16

1. TTTS tipe berat, biasanya terjadi pada awal trimester ke II, umur

kehamilan 16– 18 minggu. Perbedaan ukuran besar janin lebih dari 1,5

minggu kehamilan. Ukuran tali pusat juga berbeda. Konsentrasi Hb

biasanya sama pada kedua janin. Polihidramnion terjadi pada kembar

resipien karena adanya volume overload dan peningkatan jumlah urin

janin. Oligohidramnion terjadi pada kembar donor oleh karena

hipovolemia dan penurunan jumlah urin janin. Oligohidramnion yang

berat bisa menyebabkan terjadinya fenomena stuck-twin dimana janin

terfiksir pada dinding uterus.

2. TTTS tipe sedang, terjadi pada akhir trimester II, umur kehamilan 24–30

minggu. Walaupun terdapat perbedaan ukuran besar janin lebih dari 1,5

minggu kehamilan, polihidramnion dan oligohidramnion tidak terjadi.

Kembar donor menjadi anemia, hipovolemia, dan pertumbuhan

terhambat. Sedangkan kembar resipien mengalami plethoric,

hipervolemia, dan makrosomia. Kedua janin bisa berkembang menjadi

hidrops.
20
3. TTTS tipe ringan, terjadi secara perlahan pada trimester III.

Polihidramnion dan oligohidramnion biasanya tidak terjadi. Konsentrasi

Hb berbeda lebih dari 5 gr%. Ukuran besar janin berbeda lebih dari 20%.

Twin-to-twin transfusion syndrome juga dapat diklasifikasi menjadi akut

dan kronik. Patofisiologi yang mendasar penyakit ini, gambaran klinis,

morbiditas dan mortalitas janin pada kedua tipe ini sangat berbeda. Angka

kematian perinatal yang tinggi pada twin-to-twin transfusion syndrome

terutama disebabkan tipe yang kronik.16

1. Tipe akut. Jika terjadi transfusi darah secara akut/tiba-tiba dari satu janin ke

janin yang lain, biasanya pada trimester III atau selama persalinan dari

kehamilan monokorionik yang tidak berkomplikasi, menyebabkan keadaan

hipovolemia pada kembar donor dan hipervolemia pada kembar resipien,

dengan berat badan lahir yang sama. Transfusi dari kembar pertama ke

kembar kedua saat kelahiran kembar pertama. Namun demikian, bila tali

pusat kembar pertama terlambat dijepit, darah dari kembar yang belum

dilahirkan dapat tertransfusi ke kembar pertama. Diagnosis biasanya dibuat

pada saat post natal.

2. Tipe kronik. Biasanya terjadi pada kehamilan dini (umur kehamilan 12–26

minggu). Kasus tipe ini merupakan yang paling bermasalah karena bayinya

masih immatur dan tidak dapat dilahirkan, sehingga dalam pertumbuhannya

di uterus, bisa mengalami kelainan akibat dari twin- to-twin transfusion

syndrome seperti hydrops. Tanpa terapi, sebagian besar bayi tidak dapat

bertahan hidup atau bila survival, akan timbul kecacatan. Walaupun arah
21
transfusi darah menuju kembar resipien, tetapi trombus dapat secara bebas

berpindah arah melalui anastomosis pembuluh darah sehingga dapat

menyebabkan infark atau kematian pada kedua janin.

D. Patofisologi

Patofisiologi TTTS tidak sepenuhnya dipahami, akan tetapi terdapat adanya

anastomosis vaskuler plasenta terlibat dalam perkembangannya. Terdapat tiga

jenis anastomosis plasenta pada monokronik plasenta yaitu venovenous (VV),

arterioarterial (AA), dan arteriovenous (AV).4

Gambar 2.6. Anastomosis pada plasenta monokorionik

TTTS terjadi akibat aliran satu arah melalui anastomosis arteriovena. Darah

terdeoksigenasi dari arteri plasenta donor dipompa kedalam ketiledon yang

dipakai bersama oleh resepien (gambar 1). Jika pertukaran oksigen di vilus korion

telah selesai maka darah teroksigenasi meninggalkan kotiledon melalui suatu vena

22
plasenta pada kembar resipien. Jika tidak terkompensasi, aliran satu arah ini

menyebabkan ketidak seimbangan volume darah.17

Sindrom transfusi antar kembar yang secara klinis sering bersifat kronis dan

merupakan akibat perbedaan volume vaskuler signifikan di antara kembar.

Sindrom ini biasanya bermanifestasi pada pertengahan kehamilan ketika janin

donor menjadi oliguria akibat berukrangnya perfusi ginjal. Janin donor mengalami

oligohidramnion, dan janin resepien mengalami hidramnion berat, diduga akibat

meningkatnya produksi urin. Cairan amnion yang hamper tidak ada dikantong

donor menghambat gerakan janin, menghasilkan istilah desktiptif stuck twin attau

sindrom hidramnion-oligohidramnion-“poli-oli’. Ketidak seimbangan cairan

amnion ini berkaitan dengan hambatan pertumbuhan, kontraktur, serta hipoplasia

paru pada satu kembar, dan ketuban pecah dini dan gagal jantung pada yang

satunya.17

E. Diagnosis

TTTS merupakan kondisi dengan perjalanan yang lambat, dengan dimulai

(dilaporkan) pada umur kehamilan 13 minggu atau trimester kedua. Diagnosis

TTTS ditegakkan dengan evaluasi ultrosonografi yang menunjukkan adanya

kehamilan kembar dengan satu plasenta (monochorionic), jenis kelamin sama

dengan dipisahkan oleh membran ketuban, pengukuran nuchal translucency

>3mm pada umur kehamilan 10-14 minggu, hasil crown-rump length (CRL) yang

buruk pada salah satu janin, polihidramnion pada janin resipien dan

oligohidramnion pada janin donor. Jumlah air ketuban diukur dengan maximum

23
vertical pocket (MVP). Berdasarkan ultrasonografi, Quintero at al membagi

TTTS menjadi 5 klasifikasi:4,6

 Stage I : awal dari TTTS akan tampak pada pemeriksaan ultrasonografi

terdapat oligohidramnion pada janin donor dengan MVP 2 cm atau kurang,

vesika urinaria masih tampak dan polihidramnion pada janin resipien MVP

8 cm atau lebih.

 Stage II : stage I dengan vesika urinaria janin donor yang tidak tampak.

 Stage III : pemeriksaan aliran darah (Doppler velocimetry) pada tali pusat

dan ductus venosus janin akan tampak gambaran abnormal (pada salah satu

atau kedua janin). Pada arteri umbilikalis akan didapatkan tidak adanya

gambaran aliran diastolik atau terbalik, gambaran ini biasa didapatkan pada

janin donor. Pada ductus venosus, didapatkan diastolik yang hilang atau

terbalik. Gambaran ini biasa didapatkan pada janin resipien dengan awal

kegagalan fungsi jantung. Janin resipen juga menunjukkan gambaran

kebocoran katup jantung sebelah kanan (regurgitasi trikuspid).

 Stage IV : satu atau kedua janin menunjukkan gejala hidrops, yang berarti

telah terjadi kelebihan/penumpukan cairan pada beberapa bagian tubuh janin

seperti pembengkakan pada kulit kepala (scalp edema), abdomen (ascites),

sekitar paru-paru (pleural effusion) atau sekitar jantung (pericardial

effusion). Hasil ini sebagai bukti adanya kegagalan fungsi jantung dan

biasanya didapatkan pada janin resipien.

 Stage V : kedua janin meninggal.

24
F. Tatalaksana

Ada beberapa pilihan manajemen, amnioreduksi dan microseptostomy

(penusukan membran intertwin) dengan tujuan untuk menormalkan volume air

ketuban sehingga dapat mencegah partus preterm oleh karena polihidramnion.

Manajemen ini, utamanya tidak ditujukan untuk dekompensasi terhadap sirkulasi

seperti yang terjadi pada kondisi berat, dan janin yang hidup berisiko untuk

terjadinya komplikasi neurologi terutama jika salah satu janin meninggal in utero,

dan juga akan mempercepat terjadinya hipotensi pada janin lainnya oleh karena

agonal transfusi antara janin. Pada kasus dimana terjadi kematian salah satu janin,

dilakukan oklusi tali pusat dengan bipolar diatermi untuk memberikan

kesempatan bagi janin yang hidup untuk menurunkan risiko komplikasi

neurogenik. Tujuan utama ablasi dengan laser endoskopik adalah menghentikan

sindroma dengan cara memutuskan transfusi intertwin, tetapi dengan risiko

kematian janin oleh karena kerusakan non selektif pembuluh darah pada

kotiledon plasenta. Dari semua penelitian sampai saat ini, menajemen yang paling

tepat belum didapatkan walaupun manajemen amnioreduksi dan laser

endoskopik menghasilkan survival rates 60% sampai dengan 65%.4

1. Reduction amniocentesis

Amniocentesis secara serial untuk mengurangi jumlah air ketuban yang

berlebihan dari kantung amnion janin resipien dengan menggunakan jarum

melewati dinding perut ibu (Gambar 6).Jumlah air ketuban yang dikeluarkan

bervariasi berdasarkan volume awal air ketuban pada janin resipien, umur

25
kehamilan dan adanya kontraksi uterus selama prosedur tindakan. Pada umumnya

tidak lebih dari 3 liter pada setiap kali prosedur dan diselesaikan dalam waktu

kurang dari 30 menit. Tindakan ini sementara waktu dapat mengembalikan

keseimbangan dalam jumlah air ketuban pada kedua kantung amnion janin dan

dilakukan pada TTTS stadium I-II yang timbul pada akhir kehamilan. Akan tetapi

tindakan ini memerlukan pengulangan yang dilakukan setiap beberapa hari

sampai dengan minggu dimana jumlah air ketuban kembali mencapai berlebihan.

Prosedur ini dirasakan tidak efektif pada TTTS stadium III dan IV. Komplikasi

dari prosedur berulang ini yaitu termasuk persalinan prematur 3%, ketuban pecah

dini 6%, infeksi sejumlah 1% dan pelepasan dini plasenta (abruptio plasenta)

pada 1% kasus. Kehamilan TTTS dengan manajemen amniosentesis berulang

dengan angka rata-rata persalinan pada umur kehamilan 29-30 minggu dengan

survival rate dilaporkan sejumlah 18%- 83%, dimana 56% nya dengan TTTS

lanjut dengan luaran satu janin hidup tanpa kerusakan otak. Mendekati 20%- 25%

dari janin TTTS yang hidup didapatkan memiliki gangguan pertumbuhan jangka

panjang.4

Gambar 2.7 Reduction amnoicentesis

26
2. Septostomi

Septostomi (diperkenalkan oleh Dr. George Saade dkk dari Amerika)

dilakukan dengan cara membuat lubang kecil pada membran pemisah, yang akan

berfungsi sebagai tempat lewatnya cairan amnion dari satu kantung amnion ke

kantung amnion yang lain sehingga terjadi keseimbangan cairan amnion.

Komplikasi terapi ini meliputi pecahnya selaput pemisah, terjadi pertautan tali

pusat kedua janin dan kematian janin.4

Gambar 2.8 Septostomy atau microseptostom

3. Terapi laser

Terapi laser (dipelopori Dr. Julian De Lia dkk dari Amerika Serikat)

dilakukan dengan memasang endoskopi melalui perut ibu ke kantung amnion

kembar resipien. Fetoskop dan laser dilewatkan melalui endoskop. Dengan bantuan

USG dan petunjuk pada video realtime , laser digunakan untuk mengkoagulasi atau

merusak anastomosis pembuluh darah secara selektif.4

27
Gambar 2.9 Selective laser ablation of the placenta anastomosis vessel

4. Selektif feticide

Selektif feticide dilakukan pada kronik twin-to-twin transfusion syndrome

sebelum umur kehamilan 25 minggu. Cara yang dipergunakan berupa ligasi tali

pusat dengan bantuan USG dan injeksi larutan NaCl kedalam kavum perikardial

sehingga terjadi tamponade jantung.4

5. Pemakaian digoksin

Pemakaian digoksin bertujuan mengatasi gagal jantung kembar resipien,

namun sering tidak berhasil oleh karena digoksin tidak dapat melewati plasenta

dalam jumlah yang cukup untuk terapi tersebut.4

28

Anda mungkin juga menyukai