Pembimbing:
Oleh:
FAKULTAS KEDOKTERAN
2019
i
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
i
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………….i
ii
BAB 1
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. T
Usia : 35 tahun
Alamat : Siwalankerto No. 69, Surabaya
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
Suku : Jawa
MKB : 20 September 2019, pukul 05.34
B. SUBYEKTIF
KU: Keluar darah dari kemaluan
RPS:
Pasien datang ke PONEK RSU Haji pada tanggal 20 September 2019
pukul 05.00 WIB dan masuk kamar bersalin pada pukul 05.34 dengan keluhan
keluar darah bergumpal dengan warna merah kehitaman dari kemaluan sejak
kurang lebih 34 hari yang lalu dengan perdarahan banyak sampai pasien
mengganti pembalut 5 – 6 x/hari. Pasien juga mengatakan siklus menstruasinya
memanjang sejak bulan mei hingga 10 – 14 hari dan menurut pasien hal ini
terjadi karena sempat stres dengan pekerjaan yang menumpuk . Pada saat
bulan mei pasien sempat periksa ke klinik kandungan dan dilakukan
pemeriksaan USG dikatakan oleh dokter adanya penebalan pada dinding
rahim. Kepala pusing (-), badan lemas (-), nafsu makan baik, bab/bak dalam
batas normal, riwayat trauma (-)
RPD:
HT : (-)
DM : (-)
Asma : (-)
Alergi : (-)
Kista : (+) 2014 operasi
Mioma : (+) 2017 operasi 2x
3
RPK:
HT : (-)
DM : (-)
Asma : (-)
Alergi : (-)
R.Haid:
Menarche : 12 tahun
Siklus : 28 hari, teratur
Lama : 7 hari
Dismenore : (+)
R. Keputihan :
Warna : (-)
Gatal : (-)
Bau : (-)
R.Perkawinan:
Menikah : 2x
Lama : 4 bulan
R.Kehamilan dan Persalinan :
1. Aterm / SptB / 3000 gram / ♂ / 15 tahun / KB suntik
2. Postdate / SC e.t bukaan 1cm selama 13 hari / 3500 gram / ♂ / 12
tahun
R.KB : - KB suntik 3 bulan
- Implan
- KB Pil
- KB spiral
R.PO : -
4
C. OBYEKTIF
1. PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 456
TB : 156 cm
BB : 58 kg
BMI : 23,8 kg/m² (Normal)
Vital Signs :
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit, reguler
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,2°C (aksiler)
Kepala :
A/I/C/D : +/-/-/-
Edem Palp. : -/-
Konj.Anemis : +/+
Sclera Ikt. : -/-
Leher :
Pembesaran KGB : (-)
Pembesaran tiroid : (-)
Deviasi trakea : (-)
Thorax :
Bentuk : Normochest, gerak simetris
Pulmo : Ves/ves, Wh -/-, Rh -/-
Cor : S1 S2 tunggal, M(-), G(-)
Abdomen :
I : soepel
A : BU (+) N
P : Nyeri tekan (-)
P : Timpani
5
Ekstremitas :
AH : (+)
Edem : - -
- -
Status Ginekologi :
VT Bimanual dan inspekulo
Inspekulo : gumpalan darah dari vagina +150 cc, portio tampak
erosi di arah jam 9, OUE terbuka +1 cm, fluksus (+) darah aktif dari OUE,
flour (-), massa (-)
Vulva/vagina : tampak gumpalan darah kehitaman di vulva
Cavum Uteri : uterus anteflexi, sebesar telur bebek
Portio : nyeri goyang (-)
Adnexa D/S : soepel, nyeri (-), massa (-)
Cavum douglas : nyeri (-), tidak menonjol
6
RESUME
Pasien datang ke PONEK RSU Haji pada tanggal 20 September 2019
pukul 05.00 WIB dan masuk kamar bersalin pada pukul 05.34 dengan keluhan
keluar darah bergumpal dengan warna merah kehitaman dari kemaluan sejak
kurang lebih 34 hari yang lalu dengan perdarahan banyak sampai pasien
mengganti pembalut 5 – 6 x/hari. Pasien juga mengatakan siklus menstruasinya
memanjang sejak bulan mei hingga 10 – 14 hari dan menurut pasien hal ini
terjadi karena sempat stres dengan pekerjaan yang menumpuk . Pada saat
bulan mei pasien sempat periksa ke klinik kandungan dan dilakukan
pemeriksaan USG dikatakan oleh dokter adanya penebalan pada dinding
rahim. Kepala pusing (-), badan lemas (-), nafsu makan baik, bab/bak dalam
batas normal, riwayat trauma (-)
RPD:
Kista : (+) 2014 operasi
Mioma : (+) 2017 operasi 2x
R.Haid:
Menarche : 12 tahun
Siklus : 28 hari, teratur
Lama : 7 hari
Dismenore : (+)
R.Perkawinan:
Menikah : 2x
Lama : 4 bulan
R.Kehamilan dan Persalinan :
1. Aterm / SptB / 3000 gram / ♂ / 15 tahun / KB suntik
2. Postdate / SC e.t bukaan 1cm selama 13 hari / 3500 gram / ♂ / 12
tahun
R.KB : - KB suntik 3 bulan
- Implan
- KB Pil
- KB spiral
7
Pemeriksaan fisik:
BMI 23,8 kg/m² (normal); TD 110/70 mmHg; Nadi 88x/menit; RR 20x/menit;
suhu 36,2°C (aksiler)
Pemeriksaan Ginekologi:
VT Bimanual dan inspekulo
Inspekulo : gumpalan darah dari vagina +150 cc, portio tampak
erosi di arah jam 9, OUE terbuka +1 cm, fluksus (+) darah aktif dari OUE,
flour (-), massa (-)
Vulva/vagina : tampak gumpalan darah kehitaman di vulva
Cavum Uteri : uterus anteflexi, sebesar telur bebek
Portio : nyeri goyang (-)
Adnexa D/S : soepel, nyeri (-), massa (-)
Cavum douglas : nyeri (-), tidak menonjol
D. DIAGNOSIS
Abnormal Uterine Bleeding e/c hiperplasia endometrium
E. PLANNING
Diagnosa : darah lengkap, biopsy
Terapi : - Kuretase
Monitoring: Keluhan, TTV, perdarahan
F. FOLLOW-UP
Tanggal 20 september 2019 (17.00)
S : Tidak ada keluhan
O : KU : baik
o CM : 456
o TD : 100/70 mmHg
o Suhu : 36,3
o N : 80 x/min
o RR : 20x/min
o SPO2 : 98%
8
A : Post kuret a.i AUB e.c hyperplasia endometrium
P: Asam mefenamat peroral 3x500 mg
Co amoxiclaf peroral 3x500 mg
Metil ergometrin peroral 3x20 mcg
Obs : keluhan, TTV, perdarahan
9
Tanggal 21 september 2019 (05.00)
S : Tidak ada keluhan
O : KU : baik
o CM : 456
o TD : 110/80 mmHg
o Suhu : 36,4
o N : 85 x/min
o RR : 20x/min
o SPO2 : 98%
A : Post kuret a.i AUB e.c hyperplasia endometrium
P: Asam mefenamat peroral 3x500 mg
Co amoxiclaf peroral 3x500 mg
Metil ergometrin peroral 3x20 mcg
Obs : keluhan, TTV, perdarahan
Tanggal 21 september 2019 (12.00)
Pasien KRS
10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Siklus menstruasi yang normal berkisar antara 21-35 hari dengan durasi
menstruasi antara 2-7 hari. Perdarahan uterus abnormal adalah semua jenis
perdarahan yang berasal dari uterus yang abnormal dari segi volume perdarahan,
regularitas, waktu atau apakah berada dalam siklus menstrual atau tidak (Tan Kim
Teng et al, 2006). Perdarahan uterus abnormal merupakan sebuah istilah yang
lebih banyak digunakan untuk mendeskripsikan spektrum gejala seperti
perdarahan menstruasi yang berat (heavy menstrual bleeding), perdarahan
diantara siklus menstruasi dan kombinasi keduanya (Bradley, 2016). Perdarahan
ini dapat bersifat akut dan kronik. Perdarahan uterus ini dikatakan akut jika bersifat
eksesif yang memerlukan intervensi/tindakan segera untuk mencegah kehilangan
darah yang lebih lanjut. Jika perdarahan ini telah berlangsung selama terus
menerus kurang lebih 6 bulan, maka dikatakan perdarahan ini bersifat kronis. (Tan
Kim Teng et al, 2006).
11
yaitu perdarahan anovulasi dan ovulasi. Perdarahan anovulasi mempunyai
karakteristik perdarahan yang iregular dengan jumlah perdarahan yang bervariasi
dari sedikit hingga banyak. Yang termasuk dalam perdarahan anovulasi
diantaranya amenorea (tidak terjadinya menstruasi selama lebih dari tiga bulan),
oligomenore, metroragia, dan perdarahan uterus disfungsi (perdarahan uterus
abnormal yang terjadi tanpa adanya keadaan patologi pada panggul). Perdarahan
ovulasi mempunyai karakteristik perdarahan yang regular tetapi dengan durasi
yang lebih lama dan jumlah perdarahan yang lebih banyak. Yang termasuk
perdarahan ovulasi yaitu menoragia (Sweet et al, 2012).
Jarang > 38
Ireguler > 20
Normal 4,5 – 8
Normal 5 – 80
Sedikit <5
12
2.2 Klasifikasi
Dahulu, perdarahan uterus abnormal ini terbagi menjadi 4 jenis perdarahan,
pertama adalah perdarahan berat pada menstruasi (heavy menstrual bleeding),
kemudian perdarahan diantara siklus menstruasi (intermenstrual bleeding),
perdarahan pada periode paska menopause, dan perdarahan paska koitus
(postcoital bleeding). Tabel dibawah ini menjelaskan definisi dari masing-masing
perdarahan tersebut (Tan Kim Teng et al, 2006).
Tabel 2. 2 Definisi dari Jenis Perdarahan (Tan Kim Teng et al, 2006)
13
dan Ginekologi (FIGO) ), dengan menggunakan akronim yang disebut PALM-
COEIN. Klasifikasi ini akan dibahas pada bagian etiologi (Bradley. 2016).
2.3 Epidemiologi
Perdarahan uterus abnormal merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
wanita pada usia reproduksi (Singh S, 2013). Menurut penelitian Lee et al., keluhan
ini banyak terjadi pada masa awal terjadinya menstruasi. Sebanyak 75% wanita
pada tahap remaja akhir memiliki gangguan yang terkait dengan menstruasi.
Penelitian yang dilakukan Bieniasz J et al. pada remaja wanita menunjukan
prevalensi amenorea primer sebanyak 5,3%, amenorea sekunder 18,4%,
oligomenorea 50%, polimenorea 10,5%, dan gangguan campuran sebanyak 15,8%
(Sianipar et al, 2009). Berdasarkan data yang didapatkan di beberapa negara
industri, sebanyak seperempat penduduk perempuan pernah mengalami
menoragia, 21% mengeluh siklus menstruasi yang memendek, 17% mengalami
perdarahan intermenstrual, dan 6% mengalami perdarahan pascakoitus (Sarwono
et al, 2011).
2.4 Etiologi
Federasi internasional obstetrik dan ginekologi (FIGO) pada tahun 2011
menyebutkan akronim dari etiologi perdarahan uterus abnormal yakni PALM-
COIEN. Akronim tersebut merupakan komponen etiologi antara lain Polyp,
Adenomyosis, Leiomyoma, Malignancy or Hyperplasia, Coagulopathy, Ovulatary
Disfunction, Endometrial, Iatrogenic, Not Yet Classified (Whitaker, Lucy 2016).
14
2.4.2 Adenomyosis
Hubungan antara adenomiosis dan perdarahan uterus abnormal masih
kurang jelas. Adenomiosis berhubungan dengan peningkatan usia dan
berkaitan dengan adanya fibroid.
2.4.3 Leiomyoma
Hubungan antara kejadian perdarahan uterus abnormal dengan
leiomioma masih belum dapat dimengerti secara jelas. Teori yang dahulu telah
diungkapkan mengatakan bahwa adanya peningkatan area endometrium dan
adanya vaskularisasi yang mudah pecah/rentan pada sekitar perimyoma.
Peningkatan aliran vaskular pada pembuluh darah yang membesar oleh karena
leiomyoma dapat mengatasi aksi platelet. Pada wanita dengan
fibroid/leiomyoma, dilaporkan bahwa terdapat peningkatan level interleukin (IL)-
13, 17, 10 didalam plasma darah yang beredar dalam tubuh. Namun, apakah
hal ini dapat mempengaruhi fungsi imun dan proses inflamasi terkait dengan
luruhnya endometrium, masih belum dipahami hingga sekarang.
2.4.4 Malignancy
Kanker endometrium merupakan keganasan yang umum dibidang
ginekologis pada masyarakat barat. Dulu, kanker ini jarang terjadi pada wanita
usia pre-menopause, namun seiring meningkatnya kejadian obesitas dan
meningkatnya kejadian metabolik sindrom, hal ini juga meningkatkan kejadian
kanker endometrium.
15
2.4.5 Coagulopathy
Pengaruh koagulopati dilaporkan terjadi pada 13% wanita dengan
perdarahan menstruasi yang berat. Mayoritas dari wanita ini mengidap
penyakit Von-Willebrand. Kelainan hemostasis dapat diidentifikasi pada 90%
wanita yang mengalami perdarahan uterus abnormal.
2.4.7 Endometrial
Perdarahan uterus abnormal pada kondisi struktur uterus yang normal
dan siklus menstruasi yang normal tanpa adanya bukti bahwa terdapat
koagulasi, dapat disebabkan oleh karena endometrium.
2.4.8 Iatrogenic
Penyebab iatrogenik dari kasus perdarahan uterus abnormal adalah
karena penggunaan terapi eksogen, seperti penggunaan terapi
estrogen/progestin yang berkelanjutan baik diberikan melalui sistemik maupun
intrauterine dan intervensi dari pelepasan steroid ovarian seperti GnRH agonis
dan penghambat aromatase yang dapat menyebabkan perdarahan endometrial.
Penggunaan IUD/AKDR juga dapat menyebabkan endometritis grade rendah
yang dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal.
16
2.5 Patofisiologi
Endometrium terdiri dari dua lapisan yang berbeda yaitu lapisan fungsionalis
dan lapisan basalis Lapisan basalis terletak di bawah lapisan fungsionalis,
berkontak langsung dengan miometrium, dan kurang responsif terhadap hormon.
Lapisan basalis berfungsi sebagai reservoir untuk regenerasi pada saat menstruasi
sedangkan lapisan fungsionalis mengalami perubahan sepanjang siklus
menstruasi dan akhirnya terlepas saat menstruasi. Secara histologis, lapisan
fungsionalis memiliki epitel permukaan yang mendasari pleksus kapiler subepitel
(Hoffman et al, 2016).
Uterus divaskularisasi oleh dua arteri uterina. Di lateral bawah uterus, arteri
uterina pecah menjadi dua cabang yaitu arteri vaginalis yang mengarah ke bawah
dan cabang asenden yang mengarah ke atas. Cabang asenden dari kedua sisi
uterus membentuk dua arteri arkuata yang berjalan sejajar dengan kavum uteri.
Kedua arteri arkuata tersebut membentuk anastomose satu sama lain, membentuk
cincin yang melingkari kavum uteri. Arteri radialis merupakan cabang kecil arteri
arkuata yang berjalan meninggalkan arteri arkuata secara tegak lurus menuju
kavum uteri. Arteri radialis memiliki fungsi untuk memperdarahi miometrium lalu
pada saat memasuki lapisan endometrium, arteri radialis memberi cabang arteri
yang lebih kecil ke arah lateral yaitu arteri basalis. Arteri basalis memiliki fungsi
untuk memperdarahi lapisan basalis endometrium dan tidak sensitif terhadap
stimulus hormon. Arteri radialis kemudian memasuki lapisan fungsionalis
17
endometrium dan menjadi arteri spiralis. Arteri spiralis sangat peka terhadap
stimulus hormon dan bertugas untuk memperdarahi lapisan fungsionalis
endometrium (Hoffman, Sarwono, 2016).
Perdarahan pascakoitus
Perdarahan pascakoitus merupakan perdarahan yang paling umum
dijumpai pada wanita berusia 20 - 40 tahun serta pada mereka yang multipara.
Lesi yang dijumpai pada perdarahan pascakoitus biasanya jinak. Berdasarkan
18
observasi yang dilakukan pada 248 wanita dengan perdarahan pascakoitus
didapatkan bahwa seperempat dari kasus tersebut disebabkan oleh eversi
serviks. Penyebab lain yang dapat mendasari diantaranya polip endoserviks,
servisitis, dan polip endometrium. Pada servisitis, penyebab yang paling sering
adalah infeksi Chlamydia trachomatis. Menurut penelitian Bax et al., risiko relatif
infeksi klamidia pada wanita dengan pendarahan pascakoitus adalah 2,6 kali
lebih tinggi daripada kelompok kontrol tanpa perdarahan.
Nyeri pelvis
Adanya kram yang menyertai perdarahan diakibatkan dari peran
prostaglandin. Dismenore yang terjadi bersamaan dengan perdarahan uterus
abnormal dapat disebabkan oleh polip, leiomioma, adenomiosis, infeksi, dan
komplikasi kehamilan. Nyeri yang dirasakan saat berhubungan seksual dan
nyeri nonsiklik jarang dirasakan pada wanita dengan perdarahan uterus
abnormal. Jika nyeri ini dirasakan, maka penyebabnya adalah kelainan dari
struktural atau infeksi. Lippman et al., melaporkan peningkatan tingkat
dispareunia dan nyeri panggul nonsiklik pada wanita dengan leiomioma uterus.
Sammour et al., menyatakan adanya korelasi nyeri panggul yang meningkat
seiring dengan adanya invasi miometrium dengan adenomiosis.
19
2.7 Diagnosis
Perdarahan abnormal uterus dapat di diagnose melalui beberapa langkah,
dimulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik, penunjang baik laboratorium maupun
pencitraan elektronik seperti USG (Bradley, 2012).
2.7.1 Anamnesa
Untuk dapat mendiagnosa suatu perdarahan uterus abnormal dapat
ditanyakan mengenai pola perdarahan yang dikeluhkan oleh pasien. Pola
perdarahan ini dapat ditanyakan mengenai kuantitas, frekuensi pergantian
tampon/pembalut dalam satu hari saat menstruasi. Kemudian juga dapat
ditanyakan apakah perdarahan yang muncul darah segar atau bergumpal-
gumpal, waktu terjadinya perdarahan dan apakah keluhan ini telah
mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Selain itu, juga dapat ditanyakan mengenai gejala anemia pada pasien,
meliputi pusing, dada berdebar-debar, sesak nafas, lemas, mual dan muntah.
Berlanjut kepada, riwayat seksual dan reproduksi. Pasien dapat ditanyakan hal-
hal mengenai penggunaan alat kontrasepsi, kemudian adanya riwayat infeksi
menular seksual, pap smear, kemungkinan adanya kehamilan. Kemudian, pada
pasien juga dapat ditanyakan mengenai gejala yang berhubungan dengan
penyakit yang sekarang, seperti demam, nyeri abdominal, nyeri pada area
pelvis, difungsi dari pencernaan dan perkemihan, serta apakah terdapat duh
vagina.
20
dengan keluhan yang sekarang atau pengobatan pada penyakit-penyakit kronis
lain yang sudah diderita oleh pasien sebelumnya.
21
2.8 Diagnosis Banding
Setiap perdarahan dari saluran genitourinary atau gastrointestinal (saluran
GI) dapat meniru perdarahan uterus yang abnormal. Karena itu perdarahan dari
sumber lain cocok dengan diagnosis banding dan harus disingkirkan. Diagnosis
banding untuk perdarahan saluran genital berdasarkan lokasi atau sistem anatomi
(Davis Emily, 2019):
2.9 Tatalaksana
Pada kasus perdarahan uterus abnormal, tatalaksana yang dapat dilakukan
meliputi tatalaksana farmakologi dan non-farmakologis (Smith, Roger MD, 2008).
Non farmakologi :
a. Umum : evaluasi
b. Spesific : fokus kepada pencarian penyebab perdarahan, jika
belum di ketahui dapat digunakan terapi progestin secara
berkala untuk menstabilkan siklus menstruasi dan menekan
perdarahan selama menstruasi. Selain itu dapat digunakan
GNRH agonis, long acting progestin, endometrial ablation,
hysterectomy untuk menekan siklus menstruasi.
c. Diet : tidak spesifik ( bebas )
22
Farmakologi :
a. Drug of choice adalah medroxyprogesterone acetate 5 – 10 mg
selama 14 hari setiap bulan.
b. Alternative drug adalah norethindrone acetate 5 – 10 mg
selama 10 – 14 hari setiap bulan
Menurut (Sarwono dkk, 2011) penanganan pertama adalah menentukan
kondisi hemodinamik, apabila tidak stabil segera mendapat perawatan intensif
untuk perbaikan kondisi umum. Apabila kondisi stabil maka dapat diberikan
penanganan untuk memberhentikan perdarahan. Perdarahan akut dan banyak :
keadaan ini sering terjadi pada 3 kondisi yaitu pada remaja dengan gangguan
koagulopati, dewasa dengan mioma uteri, dan penggunaan obat koagulan di
tangani dengan 2 cara yaitu dilatasi kuret dan medikamentosa sbb :
1. Dilatasi dan kuretase : tidak mutlak dilakukan, hanya apabila ada kecurigaan
keganasan dan kegagalan dengan terapi medikamentosa. Perdarahan uterus
abnormal dengan resiko keganasan yaitu bila usia lebih dari 35 tahun,
obesitas dan siklus anovulasi kronis.
2. Medikamentosa ; menggunakan terapi hormon sbb :
Kombinasi estrogen progestin : perdarahan biasanya akan membaik
dengan menggunakan jenis terapi hormon kombinasi ini. Dosis dimulai dari
2x1 tablet selama 5-7 hari kemudian setelah terjadi perdarahan berupa
bercak dapat dilanjutkan dengan dosis 1x1 tablet selama 3-6 siklus. Dapat
pula diberikan dengan metode tapering diawali dengan dosis 4x1 tablet
selama 4 hari, 3x1 tablet selama 3 hari, 2x1 tablet selama 2 hari dan 1x1
tablet selama 3 minggu kemudian tidak konsumsi obat selama 1 minggu, di
lanjutkan kembali dengan dosis 1x1 tablet selama 3 siklus.
Estrogen : didapatkan 2 bentuk yaitu oral dan intravena (susah di dapat di
indonesia). Pemberian estrogen oral dosis tinggi cukup efektif untuk
menghentikan perdarahan yaitu dengan estrogen konjugasi dosis 1,25 mg
4x1 tablet. Setelah perdarahan berhenti dilanjutkan dengan pil kombinasi
estrogen progestin. Efek samping tersing adalah mual.
Progestin : diberikan selama 14 hari kemudian berhenti tanpa obat selama
14 hari, diulang selama 3 bulan. Sediaan progestin berupa merdoksi
23
progesteron asetat (MPA) dengan dosis 2x10 mg, noretisteron 2x5 mg,
digrogerteron 2x10 mg dan normegestrol 2x5 mg. Progestin akan
mencegah terjadinya endometrium hiperplasia.
3. Medikamentosa non hormonal
Obat anti inflamasi non steroid (NSID) : terdapat 5 kelompok yaitu salisilat
(aspirin), analog asam indoleasitik (indometasin), derivat asam aril proponik
(ibu profen), fenamat (asam mefenamat), coxibs (celecoxib). Empat
kelompok pertama menghambat (COX-1) dan kelompok terakhir
menghambat (COX-2). NSID dapat memperbaiki hemostasis endometrium
dan mampu menurunkan jumlah darah haid 20-50%. Efek samping keluhan
gastrointestinal dan kontraindikasi gangguan lambung (ulkus peptikum).
4. Anti fibrinolisis : pada perempuan dengan keluhan perdarahan yang abnormal
dari uterus ditemukan kadar aktivator plasminogen pada endometrium lebih
tinggi daripada normal. Penghambat aktivator plasminogen atau obat
antifibrinolisis dapat digunakan untuk memberhentikan perdarahan. Asam
traneksamat dapat menghambat plasminogen secara reversibel mampu
mengurangi perdarahan pada uterus yang mengalami perdarahan abnormal.
Penanganan terapi bedah : histrektomi merupakan prosedur bedah
utama yang dilakukan pada kegagalan terapi medikamentosa. Angka
keberhasilan terhadap perdarahan mencapai 100%. Walaupun demikian,
komplikasi tetap bisa terjadi berupa perdarhan, infeksi, dan masalah
penyembuhan luka operasi. Selain hitrektomi prosedur bedah invasif minimal
dengan cara ablasi untuk mengurangi ketebalan endometrium. Cara ini lebih
mudah di lakukan dan sedikit komplikasi. Prosedur bedah lain yaitu reseksi
transerviks, histeroskopi operatif, miomektomi, dan oklusi atau emboli arteri
uterine
24
2.10 Komplikasi & Prognosa
Anemia, syok, hipotensi, hiperplasi endometrium hingga karsinoma
merupakan salah satu komplikasi dari perdarahan uterus abnormal (Smith Roger,
MD, 2008). Sedangkan untuk prognosa, seharunya pola menstruasi dapat kembali
normal apabila kelainan atau patologinya di koreksi atau di terapi dengan adekuat
(Smith Roger, MD, 2008). Prognosis untuk perdarahan uterus abnormal adalah baik
tetapi tergantung pada etiologi. Tujuan utama evaluasi dan pengobatan AUB kronis
adalah untuk menyingkirkan kondisi serius seperti keganasan dan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien, serta tujuan kesuburan saat ini dan di masa
depan dan kondisi medis komorbid lainnya yang dapat memengaruhi pengobatan
atau gejala. Pengobatan non-hormonal dengan obat antiinflamasi anti-fibrinolytic dan
non-steroid telah terbukti mengurangi perdarahan selama menstruasi hingga 50%.
Pil kontrasepsi oral efektif, tetapi ada kekurangan data dari uji coba secara acak.
Progestogen injeksi dan agonis GnRH dapat menghasilkan amenore hingga 50%
dan 90% wanita. Namun, progestogen yang dapat disuntikkan dapat menghasilkan
efek samping dari bercak perdarahan, dan agonis GnRH biasanya hanya digunakan
selama 6 bulan karena efek sampingnya dalam menghasilkan keadaan estrogen
yang rendah (Davis emily, 2019).
25
2.11 Definisi Hiperplasia Endometrium
Hiperplasia endometrium adalah pertumbuhan yang berlebih dari kelenjar,
dan stroma disertai pembentukan vaskularisasi dan infiltrasi limfosit pada
endometrium. Bersifat noninvasif, yang memberikan gambaran morfologi berupa
bentuk kelenjar yang irreguler dengan ukuran yang bervariasi. Pertumbuhan ini
dapat mengenai sebagian maupun seluruh bagian endometrium.
2.12 Klasifikasi
Risiko keganasan berkorelasi dengan keparahan hyperplasia, sehingga
diklasifikasikan sebagai berikut (Munro, M. G,2011) :
26
2) Hiperplasia kompleks tanpa atipia (hiperplasia sedang/hiperplasia
adenomatosa). Menunjukkan peningkatan jumlah kelenjar dengan posisi
berdesakan. Epitel pelapis berlapis dan memperlihatkan banyak gambaran
mitotic. Sel-sel pelapis mempertahankan polaritas normal dan tidak
menunjukkan pleomorfisme atau atipia sitologik. Stroma selular padat masih
terdapat di antara kelenjar.
2.13 Pathogenesis
Hiperplasia endometrium ini diakibatkan oleh hiperestrinisme atau adanya
stimulasi unoppesd estrogen (estrogen tanpa pendamping progesteron / estrogen
tanpa hambatan). Kadar estrogen yang tinggi ini menghambat produksi Gonadotrpin
(feedback mechanism). Akibatnya rangsangan terhadap pertumbuhan
folikel berkurang, kemudian terjadi regresi dan diikuti perdarahan.
Selain itu, akan sering mengalami flek bahkan muncul gangguan sakit kepala,
mudah lelah dan sebagainya. Dampak berkelanjutan dari penyakit ini, adalah
penderita bisa mengalami kesulitan hamil dan terserang anemia berat. Hubungan
suami-istri pun terganggu karena biasanya terjadi perdarahan yang cukup parah
(Elly, J. W., Kennedy, 2006).
2.16 Diagnosis
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa
hyperplasia endometrium dengan cara USG, Dilatasi dan Kuretase, lakukan
pemeriksaan Hysteroscopy dan dilakukan juga pengambilan sampel
untuk pemeriksaan PA. Secara mikroskopis sering disebut Swiss cheese patterns
(Ara, S., & Roohi, M. 2011).
28
1. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
ultrasonografi transvaginal kira kira < 4 mm. Untuk dapat melihat keadaan
dinding cavum uteri secara lebih baik maka dapat dilakukan pemeriksaan
hysterosonografi dengan memasukkan cairan kedalam uterus.
2. Biopsy
29
4. Histeroskopi
1) karsinoma endometrium,
2) abortus inkomplit
3) leiomioma
4) polip
2.18 Terapi
Terapi atau pengobatan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai berikut
(Wildemeersch, D., & Dhont, M, 2003):
1) Tindakan kuratase selain untuk menegakkan diagnosa sekaligus sebagai terapi
untuk menghentikan perdarahan.
30
2) Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk menyeimbangkan kadar hormon di
dalam tubuh. Namun perlu diketahui kemungkinan efek samping yang bisa terjadi, di
antaranya mual, muntah, pusing, dan sebagainya. Rata-rata dengan pengobatan
hormonal sekitar 3-4 bulan, gangguan penebalan dinding rahim sudah bisa diatasi.
Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati hiperplasia endometrial tanpa
atipik, akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan atipi. Terapi cyclical
progestin (medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari untuk 14 hari setiap bulan)
atau terapi continuous progestin (megestrol asetat 20-40 mg/hari) merupakan terapi
yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa atipik. Terapi
continuous progestin dengan megestrol asetat (40 mg/hari) kemungkinan
merupakan terapi yang paling dapat diandalkan untuk pasien dengan hiperplasia
atipikal atau kompleks. Terapi dilanjutkan selama 2-3 bulan dan dilakukan biopsi
endometrial 3-4 minggu setelah terapi selesai untuk mengevaluasi respon
pengobatan.
31
2.19 Prognosis
Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan
terapi progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi ketika
terapi dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi.
2.20 Pencegahan
Langkah-langkah yang bisa disarankan untuk pencegahan, seperti
(Wildemeersch, D., & Dhont, M, 2003) :
1. Melakukan pemeriksaan USG dan / atau pemeriksaan rahim secara rutin, untuk
deteksi dini ada kista yang bisa menyebabkan terjadinya penebalan dinding
rahim.
2. Melakukan konsultasi ke dokter jika mengalami gangguan seputar menstruasi
apakah itu haid yang tak teratur, jumlah mestruasi yang banyak ataupun tak
kunjung haid dalam jangka waktu lama.
3. Penggunaan etsrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan
pemberian progestin untuk mencegah karsinoma endometrium.
4. Bila menstruasi tidak terjadi setiap bulan maka harus diberikan terapi
progesteron untuk mencegah pertumbuhan endometrium berlebihan. Terapi
terbaik adalah memberikan kontrasepsi oral kombinasi.
5. Rubah gaya hidup untuk menurunkan berat badan.
32
BAB 3
KESIMPULAN
33
DAFTAR PUSTAKA
Ara, S., & Roohi, M. (2011). Abnormal Uterine Bleeding; Histopathological Diagnosis
by Conventional Dilatation and Curretage. The Professional Medical Journal ,
587-591.
Bradley, MD et al. 2015. The medical management of abnormal uterine bleeding in
reproductive-aged women. American Journal of Obstetric and Gynecology. Januari
2016. 31-44.
Chandrasoma, Parakrama dan Taylor, Clive. R. Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta :
EGC. 2006.
Cotran dan Robbins. Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. Jakarta : EGC. 2008
Davis emily. 2019. Abnormal Uterine Bleeding (Dysfunctional Uterine
Bleeding). NCBI Bookshelf
Elly, J. W., Kennedy, C. M., Clark, E. C., & Bowdler, N. C. (2006).
Abnormal Uterine Bleeding: A Management Algortihm. JABFM , 590-
602.
Fraser IS, Critchley HOD, Broder M, Munro MG. The FIGO
Recommendations on Terminologies and Definitions for Normal and
Abnormal Uterine Bleeding. Seminars in Reproductive Medicine.
2011;383–90.
Hoffman, et all. 2016. Williams Gynecology Third Edition. USA. McGraw
Hill. 180-201.
Hoffman, et all. 2012. Williams Gynecology Second Edition. USA. McGraw
Hill. 219-245.
Montgomery, B. E., Daum, G. S., & Dunton, C. J. (2004). Endometrial Hyperplasia: A
Review. Obstetrical and Gynecological Survey , 368-378.
Munro, M. G., Critchley, H. O., Broder, M. S., & Fraser, I. S. (2011). FIGO
Classification System (PALM-COEIN) for Causes of Abnormal Uterine Bleeding in
Non Gravid Women of Reproductive Age. International Journal of Gynecology and
Obstetrics , 3-12.
Rimsza ME. Dysfunctional Uterine Bleeding. Pediatrics in Review. 2002 Jul;23
(7):227–33.
Singh S et al. Abnormal Uterine Bleeding in Pre-Menopausal Women.
Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada. 2013 May;5:1–28.
Sarwono, et al. 2011. Ilmu kandungan edisi tiga. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. page 168-171.
Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta: Penerbit buku kedokteran
EGC. 2001; 764-77
Sianipar O et al. Prevalensi Gangguan Menstruasi dan Faktor-faktor yang
Berhubungan pada Siswi SMU di Kecamatan Pulo Gadung Jakarta
Timur. Maj Kedokt Indon. 2009 Jul;59 (6):308–13.
Smith Roger, MD. 2008. Netter Obstetrics & Gynecology second edition.
USA. Saunder Elsevier. page 276-278.
Sweet MG, Schmidt TA, Weiss PM, Madsen KP. Evaluation and
Management of Abnormal Uterine Bleeding in Premenopausal Women.
2012 Jan 1;85 (1):35–43.
34
Tan Kim Teng, et al. 2014. Practical Obstetric and Gynaecology
Handbook for O&G Clinicians and General Practitioner Second Edition.
Singapore. World Scientific Publishing. 365-379.
Whiteker Lucy. 2016. Best Practice and Research Clinical Obstetrics and
Gynaecology Abnormal Uterine Bleeding. France. Elsevier. page 3 – 6
Wildemeersch, D., & Dhont, M. (2003). Treatment of Non Atypical and
Atypical Endometrial Hyperplasia With a Levonorgestrel-Releasing Intra
Uterine System . American Journal of Obstretics and Gynecologics , 1-
4.
35
36
1