BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inkontinensia urine atau yang dikenal dalam bahasa awam sebagai beser adalah
ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita
yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga
disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul.
Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati. Di
Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami gangguan
ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan berat gangguan
meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih
didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi
meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara
didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan
meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.
Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya
keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang
ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi
mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar
kecil penderita telah membasahkan celananya. Jenis inkontinensia ini dikenal karena
gangguan neuropatik pada kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan
anatomik yang dianggap sebagai penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan
inkontinensia desakan. Sering didapati inkontinensia stres dan desakan secara
bersamaan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi beser/ inkontinensia urin?
2. Jelaskan etiologi inkontinensia urin!
3. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin?
4. Apa saja manifestasi klinis inkontinensia urin?
5. Bagaimana pemeriksaan fisik inkontinensia urin?
6. Apa saja pemeriksaan diagnostik inkontinensia urin?
7. Sebutkan penatalaksanaan inkontinensia urin!
1.3 Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan tugas makalah ini adalah, mahasiswa/i dapat :
1.4 Manfaat
Setelah membaca makalah ini mahasiswa/i dapat :
1. Menambah pengetahuan baru mengenai inkontinensia urin
2. Menjelaskan/memahami definisi, etiologi, patofisiologi, pemeriksaan , penatalaksaan
pada inkontinensia urin
3. Membuat asuhan keperawatan terhadap pasien inkontinensia urin
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan
atau social higine dan ekonomi
2.2 Etiologi inkontinensia
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi
sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran
kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya
gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah
bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah
terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan
tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani
prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya
dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu
penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin
berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes
melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan
yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti
kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke
toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan
substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien
lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya.
Obat-obatan ini bisa sebagai biang keladi mengompol pada orang-orang tua. Jika
kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan,
penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat yang
berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis
adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik.
Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga
memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya
mengompol.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat
kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan
(obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan
berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar
panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat
membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang
serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia
urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause
(50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran
kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine.
Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi
kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua
seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi
perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
2.3 Patofisiologi inkontinensia urin
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi
saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan
abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal
cord trauma atau bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul
yang lemah dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia
urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari
merupakan masalah bagi lanjut usia.
2.4 Manifestasi klinis
1. Urgensi
2. Retensi
3. Kebocoran urine
4. Frekuensi
c. Phenylpropanololamine
PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding dengan efedrin, akan
tetapi dengan efek CNS yang terkecil. PPA adalah komponen utama obat influensa
dalam kombinasi dengan antihistamin dan anthikholinergik. Dosis 50 mg dua kali
sehari. Efek samping minimal. Didapatkan 59 % penderita inkontinensia stres
mengalami perbaikan.
d. Estrogen
Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan efek
meningkatkan transmisi tekanan intra abdominal pada uretra dengan estrogen dosis
tinggi oral dan intravaginal. Estrogen biasanya diberikan setelah tindakan bedah pada
inkontinensia dengan tujuan untuk memperbaiki vaskularisasi dan penyembuhan
jaringan urogential, walaupun belum ada data yang akurat.
1. Stimulasi Elektrik
Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin digunakan
selama 2 dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah menghasilkan kontraksi otot lurik
uretra dan parauretra dengan memakai implant/non-implant (anal atau vaginal)
elektrode untuk meningkatkan tekanan uretra. Aplikasi stimulasi dengan kekuatan
rendah selama beberapa jam per hari selama beberapa bulan. Terdapat 64 %
perbaikan penderita dengan cara implant, tapi metode ini tidak populer karena sering
terjadi efek mekanis dan morbiditas karena infeksi. Sedang stimulasi non-implant
terdiri dari generator mini yang digerakkan dengan baterai dan dapat dibawa dalam
pakaian penderita dan dihubungkan dengan elektrode anal/vaginal.
2. Penanganan Operatif
Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat dilakukan dengan
beberapa cara meliputi :
1. Kolporafi anterior
2. Uretropeksi retropubik
3. Prosedur jarum
4. Prosedur sling pubovaginal
5. Periuretral bulking agent 6. Tension vaginal tape (TVT)
BAB III
KASUS
Tn. Z.A, 68 tahun, masuk Rumah Sakit dengan keluhan Kencing tak
tertahankan/beser. Keluhan ini pasien rasa sejak 2 bulan yang lalu setelah menjalani
operasi prostat. Dirumah pasien selalu tidak bisa melakukan kencing dikamar mandi
sehingga pasien menggunakan pempers. Saat ini pasien terpasang condom kateter.
Jumlah urin tertampung pada kantung urin 800cc/8jam. Konsistensi urin keruh,
bewarna kuning pekat. Hasil laboratorium menunjukan Hb 15,1 gr/dl, Ht 43 % leukosit
10,6 rb/ul urem darah 23 mg/dl, kreatinin darah 0,6 mg/dl.
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
1. Identitas klien
inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia
(usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup
kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini.
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului
inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi
fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah
ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah
terjadi ketidakmampuan.
b. Riwayat kesehatan klien
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya,
riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera
genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat
dirumah sakit.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan
klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal
bawaan/bukan bawaan.
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari
terjadinya inkontinensia
b. Pemeriksaan Sistem :
1) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen
menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
2) B2(blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
3) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4) B4 (bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena
adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai
keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi
pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria
akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar
di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
5) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen,
adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
6) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain,
adakah nyeri pada persendian.
Data penunjang
a. Urinalisis
a) Hematuria.
b) Poliuria
c) Bakteriuria.
b. Pemeriksaan Radiografi
1) IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.
2) VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi VU,
melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post Voiding
Residual).
3) Kultur Urine
1) Steril.
2) Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
3) Organisme.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai berikut :
1. Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis. (00017)
2. Inkontinensia Urine : Refleks berhubungan dengan ganggguan neurologis diatas
lokasi pusat mikturisi pontine/sakral. (00018)
3. Inkontinensia Urine : Dorongan yang berhubungan dengan hiperaktifitas detrusor
dengan gangguan kontraktilitas kandung kemih. (00019)
INTERVENSI
N Tang DiagnosaKepe Noc Dan Indikator Serta Uraian Aktivitas Nama
o gal rawatan Awal Dan Skor Target Rencana Dan
Ditegakkan / Tindakan (NIC) TTD
Kode Diagnosa Pera
Keperawatan wat
1. Inkonteninsia Tujuan: Bantuan
stress Setelah dilakukan asuhan Perawatan Diri
berhubungan keperawatan selama 2x24 Eliminasi (1804)
dengan jam, Inkonteninsia stress
1. Tentukan pola
kelemahan otot dapat teratasi berkemih normal
pelvis. (00017) Kriteria Hasil: pasien dan
1. Penuaan Fisik (0113) tentukan variasi
Kode indikator S. S. 2. Dorong
A T meningkatkan
0113 Tekanan pemasukan
05 Darah cairan
0113 Kekuata 3. Selidiki keluhan
07 n Otot kandung kemih
0113 Pergera penuh, dengan
20 kan palpasi daerah
sendi suprapubik
0113 Tonus 4. Ajari pasien
22 otot promted voiding
kandung dan bladder
kemih training
0113 Resisten 5. Kolaborasi :
23 si ambil urine
terhada untuk kultur dan
p infeksi sensitivitas