Anda di halaman 1dari 61

DAFTAR ISI

Bab I Pendahuluan

1) Latar Belakang
.................. I

2) Rumusan Masalah
.................... I

3) Tujuan
..................... I

Bab 2 Pembahasan

A. Anatomi Fisiologi Gastrointestinal

1. Mulut ..2

2. Faring Dan Esofhagus


5

3. Lambung
............................ 7

4. Usus Halus
............................. 7

5. Usus Besar
............................. 8

B. Gangguan Sistem Gastrointestis (Gastritis)

1. Definisi ...
8

2. Klasifikasi
........................... 8

3. Komplikasi .
11

4. Pemeriksaan Medis .
12

5. Penatalaksanaan .
13

6. Terapi 13

1
7. Pencegahan
14

C. Gastroenteritis (GE)

1. Definisi ...
15

2. Etiologi
........................... 15

3. Jenis-Jenis GE
......................... 15

4. Patofisiologi
................... 16

5. Manifestasi Klinis
.................. 17

6. Klasifikasi ........... .
17

7. Komplikasi .. ...
18

8. Pemeriksaan Penunjang
............... 18

9. Pemeriksaan Medis .
18

10. Pencegahan .... ..


21

D. Ulkus Peptikum ..
21

1. Definisi
21

2. Etiologi
22

3. Patofisiologi ....
24

2
4. Klasifikasi ...........
.. 25

5. Manifestasi Klini .........


26

6. Pemeriksaan Penunjang
............... 26

7. Penatalaksanaan
............... 27

8. Komplikasi ..
28

E. Kolitis Ulturatif
29

1. Definisi .... .
29

2. Anatomi Fisiologi ....


29

3. Etiologi
29

4. Factor faktor Yang Mempengaruhi


... .29

5. Patofisiologi ....
30

6. Manifestasi Klinis ...


30

7. Komplikasi ..
30

8. Penatalaksanaan ..
. 31

9. Pemeriksaan Penunjang
32

10. Pemeriksaan Diagnostik ..


. 32

3
F. Konstipasi

1. Definisi
32

2. Etiologi .
32

3. Patofisiologi .
33

4. Manifestasi Klinis
.......... 34

5. Penatalaksanaan
............ 34

6. Pengobatan ...
34

7. Pencegahan
34

G. Peritonitis

1. Pengertian .........
36

2. Etiologi .........
36

3. Manifestasi Klinis
.. 36

4. Komplikasui ..........
37

5. Penatalaksanaan
........ 37

6. Patofisiologi
........... 37

H. Hemoroid

1. Definisi
....................... 39

4
2. Etiologi
39

3. Manifestasi Klinis .
40

4. Patofisiologi .
40

5. Pemeriksaan Penunjang
................. 40

6. Penatalaksanaan Mandiri Perawat


. 41

7. Penatalaksanaan Medis
................... 41

Daftar pustaka
43

TUGAS PPI FARMAKOLOGI

SISTEM GASTROINTESTINAL

5
OLEH :

KHUMAIRAH

142 2012 0202

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2015

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang membutuhkan energi dalam beraktivitas


dan berinteraksi. Energy dapat dibersumber dari dalam tubuh (essensial)
dan dari luar tubuh ( non essensial) . Energi non essensial diperoleh makhluk

6
hidup dengan cara mengkonsumsi makanan dan minuman yang bersumber
dari berbagai jenis makanan dan minuman.

Kebutuhan akan aktivitas mendorong untuk memiliki sumber eneri yang


baik. Energi sendiri tidaklah langsung diperoleh ketika makan dan minum
saja, namun membutuhkan berbagai proses pencernaan yang dikerjakan oleh
sistem pencernaan. Sistem pencernaan terdiri dari cavum oris, dentis, faring,
esophagus, gaster, intestine tenue, intestine crasum, dan rectum. Selain itu
juga termasuk hepar, kandung empedu, dan pangkreas.

Sistem pencernaan terdiri dari berbagai proses mulai dari absorpsi,


reabsorpsi hingga eksresi yang dilakukuan oleh pencernaan atas dan
pencernaan bawah. Pada sistem pencernaan seringkali mengalami gangguan
baik gangguan oleh agen biologis maupun akibat trauma dan penuaan.
Sehingga membutuhkan penanganan farmakologi atau non farmakologi
untuk mengembalikan fungsi sistem ke keadaan semula.
Oleh karena itu pada makalah ini akan dibahas tentang Terapi Farmakologi
pada Sistem Gastrointestinal.

B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan anatomi fisiologi pada sistem gastrointestinal ?
2. Menjelaskan konsep medis gangguan sistem gastrointestinal gastritis?
3. Menjelaskan konsep medis gangguan sistem gastrointestinal
gastroentritis?
4. Menjelaskan konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Ulkus
Peptikum?
5. Menjelaskan konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Kolitis
Ultseratif?
6. Menjelaskan konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Konstipasi?
7. Menjelaskan konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Peritonitis?
8. Menjelaskan konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Hemoroid?

C. Tujuan
1. Mengetahui anatomi fisiologi pada sistem gastrointestinal !
2. Mengetahui konsep medis gangguan sistem gastrointestinal gastritis!
3. Mengetahui konsep medis gangguan sistem gastrointestinal
gastroentritis!
4. Mengetahui konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Ulkus
Peptikum!
5. Mengetahui konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Kolitis
Ulseratif!
6. Mengetahui konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Konstipasi!
7. Mengetahui konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Peritonitis!
8. Mengetahui konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Hemoroid!

7
8
BAB II

PEMBAHASAN

AA Anatomi Fisiologi Gastrointestinal

Proses pencernaan merupakan suatu proses yang melibatkan organ-


organ pencernaan dan kelenjar-kelenjar pencernaan. Antara proses dan
organ-organ serta kelenjarnya merupakan kesatuan sistem pencernaan.
Sistem pencernaan berfungsi memecah bahan- bahan makanan menjadi sari-
sari makanan yang siap diserap dalam tubuh.

Sistem pencernaan beurusan dengan penerimaan makanan dan


mempersiapkanya untuk diasimilasi oleh tubuh. Saluran pencernaan terdiri
atas bagian-bagian berikut :
1. Mulut
2. Faring (tekak) dan Esofagus (Kerongkongan)
3. Ventrikulus (Lambung)
4. Usus alus dan usus besar

1. Mulut
Mulut adalah rongga lonjong pada permulaan saluran pencernaan.
Terdiri atas 2 bagian : yaitu bagian luar yang sempit atau vestibula, yaitu
ruang diantara gusi serta gigi dengan bibir dan pipi, dan bagian dalam,
yaitu rongga mulut yang dibatasi disisi-sisinya oleh tulang maxilaris dan
semua gigi, dan sebelah belakang bersambung dengan awal faring.

Selain itu mulut memuat gigi untuk menguyah makanan, dan lidah
yang membantu untuu cita rasa dan menelan. Beberapa kelenjar atau
kelompok kelenjar menuangkan cairan pencerna penting kedalam saluran
pencernaan.

Seluruh saluran pencernaan dibatasi oleh selaput lendir (membran


mukosa), dari bibir sampai ujung akhir ujung usus bagus, ditambah
dengan lapisan-lapisan epitelium.

Selama dalam proses pencernaan,makanan dihancurkan menjadi zat


sederhana yang dapat diserap dan digunakan oleh sel jaringan tubuh.
Berbagai perubahan sifat makanan terjadi kerena kerja berbagai enzim
yang terkandung dalam berbagai cairan pencerna. Setiap jenis zat ini
mempunyai tugas khusus menyaring dan berkerja atas satu jenis
makanan dan tidak mempunyai pengaruh terhadap jenis lainya.

Ptialin (amilasi ludah) misalnya bekerja hanya atas gula dan tepung,
sedangkan pepsin hanya atas protein. Satu jenis cairan pencerna,
misalnya cairan pankreas dapat mengandung beberapa enzim, dan setiap
enzim bekerja hanya atas satu jenis makanan.
Enzim ialah zat kemia yang menimbulkan perubahan susunan kemia
terhadap zat lain, tampa enzim itu sendiri mengalami suatu perubahan.
Untuk dapat bekerja secara baik, berbagai enzim tergantuk adanya
garam mineral dan kadar asam atau kadar alkali yang tepat.

Atap mulut dibentuk oleh palatum, dan lidah terletak dilantainya dan
terikat pada tulang hioid. Digaris tengah sebuah lipatan membran
mukosa atau prenulum linguas (menyambung lidah dengan lantai mulut).
Di kedua sisi terletak papila sublingualis, yang memuat lubang kelenjar
ludah sukman libularis.

Sedikit eksternal dari papila ini terletak lipatan sublingualis, tempat


lubang-lubang halus kelenjar ludah sublingualis bermuara.

Selaput lendir mulut ditutupi oleh epitelium yang berlapis-lapis.


Dibawahnya terletak kelenjar-kelenjar alus yang mengeluarkan lendir.
Selaput ini akan kaya pada pembulu darah dan juga memuat banyak pada
ujung akhir saraf sensorif.

kelenjar ludah dan ludahnya.Kelenjar ludah adalah kelnjar majemuk


bertandan, yang berarti terdiri atas gabungan kelompok alvioli bentuk
kantong dan yang membentuk lubang-lubang kecil. saluran-saluran dari
setiap alviolus bersatu untuk membentuk saluran yang lebih besar dan
yang mengantar sekretnya kesaluran utama dan melalui ini sekret di
tuangkan kedalam mulut.

Kelenjar ludah yang utama ialah kelenjar parotis, submandibularis


dan sublingualis.
Kelenjar parotis ialah yang terbesar. Satu di sebelah kiri dan satu di
sebelah kanan dan terletak dekat depan agak kebawah telinga. Sekretnya
dituangkan kedalam mulut melalui saluran parotis atau saluran stensen,
yang bermuara dipipi sebelah dalam, berhadapan dengan graham,
( molar) kedua atas. Ada dua struktur penting yang melintasi kelenjar
parotis, yaitu arteri koratis exsterna dan syaraf kranial ke tujuh ( saraf
fasialis).

Kelenjar submandibularis. Nomor dua besarnya sesudah kelenjar


parotis. Terletak dibawah kedua sisi tulang rahang, dan berukuran kira-
kira sebesar buah kenari. Sekretnya di tuangkan kedalam mulut melalui
salurang submandibularis atau saluran wharton, yang bermuara didasar
mulut, kedat frenulum linguae.

Kelenjar sublingualis. Adalah yang terkecil letaknya dibawah lidah


dikanan dan dikiri flenulun linguae dan menuangkan sekretnya kedalam
dasar mulut melalui beberapa muara kecil.
Fungsi kelenjar ludah adalah mengeluarkan saliva, yang merupakan
cairan pertama yang mencerna makanan. Deras aliran saliva dirangsang
oleh:

a) Adanya makanan dalam mulut


b) Melihat, membuai dan memikirkan makanan.

Setiap kelenjar ludah dapat terkena infeksi. Tetapi yang terdahulu


Terserang adalah kelenjar parotis karena letaknya dekat dengan mulut
dan juga dapat terjadi sumbatan saluran parotis. Keadaan ini merupakan
salah satu bentuk parotitis atau parotiditis. Tetapi parotitis yang akut
jarang terjadi.

Penyakit beguk (gondong) ialah wabah parotitis (epidemi parotitis).

Saliva atau ludah adalah cairan yang bersifat alkali. Ludah


mengandung musin, enzim pencerna zat tepung, yaitu ptyalin, dan sedikit
zat padat.

Fungsi ludah atau saliva bekerja secara pisis dan kemiawi. Kerja
pisisnya adalah membasahi, mulut, membersihkan lidah dan
memudahkan orang berbicara. Ludah membasahi makanan agar mudah
untuk di telan. Dan dengan membasahi makanan itu ludah melarutkan
beberapa unsure, sehingga memudahkan kerja kemiawi terhadapnya.

Kerja kemiawi ludah disebabkan enzim ptyalin (amylase ludah) yang


didalam lingkungan alkali bekerja atas zat gula dan zat tepung yang telah
dimasa. Ptyalin hanya dapat bekerja atas zat tepung bila pembungkus
selulose pada zat tepung telah pecah, misalnya sudah dimasak, dan
kemudian tepung yang telah dimasak di ubah menjadi sejenis gula yang
mudah larut, yaitu maltose. Kerja ini dimulai didalam mulut, ludah di
telan bersama dengan makanan dan kerja ptyalin berjalan terus didalam
lambung selama kira-kira 20 menit atau sampai makanan menjadi asam
oleh kerja cairan lambung.

Selama dalam proses pencernaan,makanan dihancurkan menjadi zat


sederhana yang dapat diserap dan digunakan oleh sel jaringan tubuh.
Berbagai perubahan sifat makanan terjadi kerena kerja berbagai enzim
yang terkandung dalam berbagai cairan pencerna. Setiap jenis zat ini
mempunyai tugas khusus menyaring dan berkerja atas satu jenis
makanan dan tidak mempunyai pengaruh terhadap jenis lainya.

Ptialin (amilasi ludah) misalnya bekerja hanya atas gula dan tepung,
sedangkan pepsin hanya atas protein. Satu jenis cairan pencerna,
misalnya cairan pankreas dapat mengandung beberapa enzim, dan setiap
enzim bekerja hanya atas satu jenis makanan.

Enzim ialah zat kemia yang menimbulkan perubahan susunan kemia


terhadap zat lain, tampa enzim itu sendiri mengalami suatu perubahan.
Untuk dapat bekerja secara baik, berbagai enzim tergantuk adanya
garam mineral dan kadar asam atau kadar alkali yang tepat.

Bibir terdiri atas lipatan daging yang membentuk gerbang mulut.


Disebelah luar ditutupi oleh kulit dan disebelah dalam ditutupi selaput
lendir atau mukosa. Otot orbikularis oris menutup bibir :, levator anguli
oris mengangkat, dan despresor anguli oris menelan ujung mulut. Tempat
bibir atas dan bawah bertemu membentuk sudut mulut.

Palatum (langit-langit) terdiri atas 2 bagian, yaitu platum keras yang


tersusun atas tajuk-tajuk palatum dari sebelah depan tulang maksilaris,
dan lebih kebelakang terdiri atas 2 tulang platum. Dibelakang ini terletak
dari platum lunak, yang merupakan lipatan menggantung yang dapat
bergerak dan yang terdiri atas jaringan fibrus dan selaput lendir.
Gerakanya dikendalikan oleh ototnya sendiri. Ditengah platum lunak
menggantung keluar sebuah prosesus berbentuk krucut yaitu uvula. Dari
sini tiang-tiang lengkungan (fauces), melengkung kebawah dan
kesamping kiri dan kanan dan diantara tiang-tiang ini terdapat lipatan
rangkap otot dan selaput lendir yang disebelah kanan dan kiri memuat
tonsil.

Pipi membentuk sisi berdaging pada wajah dan menyambung dengan


bibir mulai pada lipatan naso-labial, berjalan dari sisi hidung ke sudut
mulut. Pipi dilapisi dari dalam oleh mukosa yang mengandung papila-
papila. Otot yang terdapat pada pipi ialah otot buksinator.

Gigi-geligi dan penguyahan. Terdapat dua kelompok gigi, yaitu gigi


sementara atau gigi sulung dan gigi tetap. Terdapat 20 gigi sulung, 10
pada setiap rahang. Dari tengah kedua sisi berturut-turut dinamai : 2
insisivus atau gigi seri, 1 kanina atau gigi taring. 2 molar atau graham.
Gigi tetap lebih banyak yaitu 32. 16 pada setiap rahang. Dari tengah
kesamping berturut-turut disebut : 2 insisivus, 1 taring, 2 premolar
(Graham depan). 3 molar (Graham belakang).

Umumnya pada seorang bayi pertama nya munculnya pada umur


enam bulan.Insisivus tengah pada rahang bawah yang pertama
keluar.kemudian insisivus lateral.Molar pertama keluar pada kira-kira
umur dua belas sampai lima belas bulan,gigi taring pada delapan belas
bulan,dan akhirnya pada dua puluh bulan molar lainnya.

Seorang anak berumur dua belas bulan biasanya telah memiliki


delapan gigi,dua insisivus tengah dan dua lateral pada kedua
rahang.Pada umur dua tahun si anak telah memiliki gigi sulung yang
lengkap. Dari pada gigi pasangannya pada rahang atas.

Gigi tetap mulai menggantikan yang sementara pada kira-kira umur


enam tahun.yang pertama-tama keluar ialah sebuah molar di belakang
gigi-gigi sementara disetiap sisi, kemudian pada umur tujuh sampai
delapan tahun keluar gigi insisivus, pada umur sembilan sampai sepuluh
tahun geraham per-molar, dan pada umur sebelas tahun gigi taring, pada
kia-kira dua belas tahun geraham molar dua dan ajhir geraham bungsu.

Sebuah gigi mempunyai mahkota,leher dan akar.Mahkota gigi


menjulang diatas gusi. Lehernya dikelilingi gusi dan akarnyaberada
dibawahnya. Gigi dibuat dari bahan yang sangat keras, yaitu
dentin.didalam pusat strukturnya terdapat terdapat rongga pulpa. Pulpa
gigi berisi sel jaringan ikat,pembuluh darah,dan serabut saraf. Bagian
gigi yang menjulang diatas gusi ditutupi email, yang jauh lebih keras dari
pada dentin.

Pengunyahan.mengunyah ialah menggigit dan menggiling makanan


diantara gigi atas dan bawah. Gerakan lidah dan pipi pembantu dengan
memindah-mindahkan makanan lunak kepalatum keras dan ke gigi-gigi.
Otot utama untuk mrngunyah ialah maseter, otot temporalis dan otot
pterigoid. Medial dan lateral.

Kesehatan gigi harus ditekankan anak-anak sejak kecil sudah dapat


belajar menggosok gigi mereka dalam gerakan naik-turun, sisi dalam dan
luar, sesudah makan dan sebelum pergi tidur. Setiap tapal atau serbuk
gosok gigi yang manapun dapat digunakan. Jalan dan gula-gula jangan
dimakan diantara waktu makan,atau menjelang tidur. Hal ini merupakan
sumber penyakit gigi yang lazim. Pertumbuhan gigi , baik yang
sementara maupun yang tetap, harus diawasi. Kunjungan teratur pada
dokter gigi penting. Kalau dapat setiap bulan atau sedikit-dikitnya 4
sampai 6 bulan. Tidak ada rasa sakit bukan berarti tidak ada penyakit
atau karie gigi. Pada masa remaja kunjungan boleh lebih jarang, tetapi
sebaiknya tetap teratur.

2. Farinx dan usofagus


Farinx atau tekak terletak dibelakang hidung,mulut dan larinx
(tenggorokan). Farinx berupa saluran brtbrntuk kerucut dari bahan
membran berotot (muskulo membranosa) dengan bagian terlebar di
sebelah atas dan berjalan dari dasar tenggorokan sampai diketinggian
vertebrata servikal keenam , yaitu ketinggian tulang rawan krikoid.
Tempat farinx bersambung dengan usoagus. Catatan: pada ketinggian ini
farinx kira-kira tujuh sentimeter dan dibagi atas tiga bagian.

Nasofarinx dibelakang hidung didinding pada daerah ini terdapat


lubang saluran Eustakhius. Kelenjar-kelenjar adenoid terdapat pada
nasofarinx.

Faring oralis terletak dibelakang mulut kedua tonsilada didinding


lateral daerah faring.
Farinx larigeal ialah bagian terendah yang terletak dibelakang
laringix,didalam farinx terdapat tujuh lubangdua dari saluran Eustakhius,
dua bagian posterior lubang hidung(nares) yang berada dibelakang
rongga hidung,mulut, larinx dan usofagus.

Struktur Farinx. Dinding farinx tersusun atas tiga lapisan yaitu


lapisan mukosa.lapisan fibrosa dan lapisan berotot. Lapisan mukosa yang
terletak paling di dalam, bersambung dengan lapisan dalam hidung,mulut
dan saluran eustakhius.lapisan dalam pada bagian atas faring adalah
epitelium dari saluran pernafasan dan bersambung dengan epitelium
hidung. Bagian bbawah faring yang bersambung dengan mulut. Di lapisi
dengan epitelium berlapis.
Lapisan fibrosanya terletak antara lapisan mukosa dan lapisan berotot
otot utama pada faring ialah otot kostriktor. Yang berkontraksi sewaktu
otot utama pada faring ialah otot kostriktor. Yang berkontraksi sewaktu
makanan masuk ke faring dan mendorongnya kedalam esofagus.

Kedua tonsil merupakan dua kumpulan jarinangan limfosit yang


terletak di kanan dan kiri faring diantara tiang-tiang lengkung fauces.
Tonsil dijelajahi pembuluh darah dan pembuluh limfe dan mengandung
banyak limfosit.
Permukaan tonsil ditutupi membran mukosa yang bersambung
dengan bagian bawah faring. Permukaan ini penuh dengan lekukan dan
terdalam lekukan yang banyak ini sejumlah besar kelenjar penghasil
mukus menuangkan sekresinya. Mukus ini mengandung banyak limfosit.
Dengan demikian tonsil bekerja sebagai garis depan pertahanan dalam
infeksi yang tersebar dari hidung,mulut dan tenggorokan yang
bersambung dengan bagian bawah faring. Permukaan ini penuh dengan
lekukan dan terdalam lekukan yang banyak ini sejumlah besar kelenjar
penghasil mukus menuangkan sekresinya. Mukus ini mengandung
banyak limfosit. Dengan demikian tonsil bekerja sebagai garis depan
pertahanan dalam infeksi yang tersebar dari hidung,mulut dan
tenggorokan. Meskipun demikian tonsil bisa gagal menahan infeksi yaitu
ketika terjadi tonsilitis (peradangan tonsil). Setelah pengobatan dengan
antibiotika dan pengobatan lokal, maka tonsilektomi dapat di
pertimbangkan. Tetapi dewasa ini hal itu kurang dijalankan daripada
dulu.

Selain lendir faring yang dekat lubang fosterior nares dan lubang
saluran (tuba) eustakhius juga mengandung jaringan limfoit yang serupa
dengan jarinangan tonsil. Bila jaringan ini terjadi hipertropix ia dapat
menyumpat naresposterior dan terjadinya keadaan yang disebut sebagai
pembesaran edenoid.

Esofagus adalah sebuah tabung berotot yang panjangnya sampai 20-


25 cm. Diatas dimulai dari faring, sampai pintu masuk karbiak lambung
kebawah. Terletak dibelakang trakea dan didepan tulang punggung.
Setelah melalui toraxs menembus di diafragma, untuk masuk ke dalam
abdomen dan menyambung dengan lambung.

Esofagus berdinding empat berlapis. Disebelah luar terdiri atas


lapisan ikat yang renggang, sebuah lapisan otot tterdiri atas dua lapisan
serabut otot, yang satu berjalan dengan logitudinal dan yang lain sirkuler,
sebuah lapisan submukosa dan di paling dalam terdapt selapu
lendir(mukosa).

Menelan. Menelan dilakukan setelah mengunyah dan dapt dilukiskan


dalm tiga tahap: gerakan membentuk makanan menjadi sebuah lobus
dengan bantuan lidah dan pipi, dan melalui bagian belakang mulut masuk
kedalm faring.
Setelah makanan masuk kedalam faring maka palatum lunk naik
untuk menutup nares posterior, glotis menutup oleh kontraksi otot-
ototnya, dan otot konstriktor faring menangkap makanan dan
mendorongnya masuk ke esofagus. Pada saat ini pernafasan
berhenti,kalau tidak maka akan tersendak. Orang tak dapat menelan dan
bernafas pada saat yang sama. Gerakan menelan pada bagian ini
merupakan gerakan refleks.

Makanan berjalan dalm esofagus karena kerja peristaltik, lingkaran


serabut otot di depan makanan mengendor dan yang dibelakang
makanan berkontraksi. Maka gelombang peristaltik mengantarkan bola
makanan ke lambung.

Tahap kedua dan ketiga pada gerakan menelan terjadi tidak atas
kemauan sendiri. Sedangkan tahap pertama, meskipun atas kemauan
sendiri, sebagian besar berjalan otomatik.

Esofagus dapt terserang kardio-spasme atau khalasia, disebabkan


oleh kegagalan fungsi motorik yang berupa hilangnya gerakan peristaltik
dibagian bawah esofagus dan kegagalan spinkter kardiak untuk
mengendor. Gejala utama ialah disfagia( kerusakan menelan) dan
regurgitasi.

Pengobatan konservatif yang berupa dengan pelahan-lahan makan


makanan yang mudah ditelan adakalanya menolong.atau usaha untuk
membuka spinkter kardiak bila perlu dapat dilaksanakan. Kalau cara ini
gagal maka perlu dipertimbangkan tindakan pembedahan.
3. Lambung
Lambung merupakan saluran pencernaan yang berbentuk seperti
kantung, terletak di bawah sekat rongga badan.

Lambung terdiri atas tiga bagian sebagai berikut.


a. Bagian atas disebut kardiak, merupakan bagian yang berbatasan
dengan esofagus.
b. Bagian tengah disebut fundus, merupakan bagian badan atau tengah
lambung.
c. Bagian bawah disebut pilorus, yang berbatasan dengan usus halus.
Daerah perbatasan antara lambung dan kerongkongan terdapat otot
sfinkter kardiak yang

secara refleks akan terbuka bila ada bolus masuk.


Sementara itu, di bagian pilorus terdapat otot yang disebut sfinkter
pilorus. Otot-otot lambung ini dapat ber kontraksi seperti halnya otot-otot
kerongkongan.

Apa bila otot-otot ini berkontraksi, otot-otot tersebut menekan,


meremas, dan mencampur bolus bolus tersebut menjadi kimus (chyme).
Sementara itu, pencernaan secara kimiawi dibantu oleh getah
lambung. Getah ini dihasilkan oleh kelenjar yang terletak pada dinding
lambung di bawah fundus, sedangkan bagian dalam dinding lambung
menghasilkan lendir yang berfungsi melindungi dinding lambung dari
abrasi asam lambung, dan dapat beregenerasi bila cidera.

Getah lambung ini dapat dihasilkan akibat rangsangan bolus saat


masuk ke lambung. Getah lambung mengandung bermacam-macam zat
kimia, yang sebagian besar terdiri atas air. Getah lambung juga
mengandung HCl/asam lambung dan enzim-enzim pencernaan seperti
renin, pepsinogen, dan lipase.

Asam lambung memiliki beberapa fungsi berikut.


a. Mengaktifkan beberapa enzim yang terdapat dalam getah lambung,
misalnya pepsinogen diubah menjadi pepsin. Enzim ini aktif memecah
protein dalam bolus menjadi proteosa danpepton yang mempunyai
ukuran molekul lebih kecil.
b. Menetralkan sifat alkali bolus yang datang dari rongga mulut.
c. Mengubah kelarutan garam mineral.
d. Mengasamkan lambung (pH turun 13), sehingga dapat membunuh
kuman yang ikut masuk ke lambung bersama bolus.
e. Mengatur membuka dan menutupnya katup antara lambung dan usus
dua belas jari.
f. Merangsang sekresi getah usus.

Enzim renin dalam getah lambung berfungsi mengendapkan kasein


atau protein susu dari air susu. Lambung dalam suasana asam dapat
merangsang pepsinogen menjadi pepsin. Pepsin ini berfungsi memecah
molekul-molekul protein menjadi molekul-molekul peptida. Sementara
itu, lipase berfungsi mengubah lemak menjadi asam lemak dan gliserol.
Selanjutnya, kimus akan masuk ke usus halus melalui suatu sfinkter
pilorus yang berukuran kecil. Apabila otot-otot ini berkontraksi, maka
kimus didorong masuk ke usus halus sedikit demi sedikit.

4. Usus halus
Usus halus adalah tabung yang kira-kira sekitar dua setengah meter
panjang dalam keadaan hidup. Angka yang biasa diberikan, enam meter
adalah penemuan setelah mati bila otot kehilangan tonusnya. Usus halus
memanjang dari lambung sampai katup ileokalika, tempat berlangsung
dengan usus besar.
Usus halus terletak pada daerah umbilikus dan dikelilingi oleh usus
besar, dibagi dalam beberapa bagian :
a. Duodenum. Duodenum adalah bagian utama usus halus yang 25 cm
panjangnya, berbentuk sepatu kuda, dan kepalanya mengelilingi
kepala pancreas. Saluran empedu dan saluran pancreas masuk
kedalam duodenum pada satu luubang disebut ampula
hepatopankreatika, atau ampula vateri, sepuluh sentimeter dari
pylorus.
b. Yeyunum. Yeyenum Menempati dua perlima sebelah atas dari usus
halus yang selebihnya.
c. Ileum. Ileum menempati tiga perlima akhir.
d. Struktur. Struktur dinding usus halus terdiri atas keempat lapisan
yang sama dengan lambung.Dinding lapisan luar. Adalah membran
serosa, yaitu peritoneum yang menbalut usus dengan erat. Dinding
lapisan berotot. Terdiri atas dua lapis serabut saja: lapisan luar terdiri
atas serabut longitudinal. Dan dibawah ini ada lapisan tebal terdiri
atas serabut sirkuler. Diantara kedua lapisan-lapisan berotot ini
terdapat pembuluh darah. Pembuluh limfe dan flesus syaraf.
Dinding submukosa terdapat antara otot sirkuler dan lapisan yang
terdalam yang merupakan perbatasannya. Dinding submukosa ini
terdiri atas jaringan ariolar dan berisi banyak pembuluh darah,
saluran limfe, kelenjar dan flesus syaraf yang disebut flesus meisner.
Didalam duodenum terdapat beberapa kelenjar khas yang dikenal
sebagai kelenjar brunner. Kelenjar-kelenjar ini adalah jenis kelenjar
tandan yang mengeluarkan secret cairan kental alkali yang bekerja
untuk melindungi lapisan duodenum dari pengaruh isi lambung yang
asam.
e. Fungsi usus halus. Fungsi usus halus adalah mencerna dan
mengabsorpsi khime dari lambung. Isi duodenum adalah alkali. Isinya
yang cair atau (khime) dijalankan oleh serangkaian gerakan feristaltik
yang cepat. Setiap gerakan lamanya 1 sekon dan antara dua gerakan
ada istirahat beberapa sekon. Terdapat juga dua jenis gerakan lain
seperti sebagai berikut:
Gerakan sekmental ialah gerakan yang memisahkan beberapa sekmen
usus satu dari yang lain karena diikat oleh gerakan konstriksi serabut
sirkuler. Hal ini memungkinkan isi yang cair ini sementara
bersentuhan dengan dinding usus untuk digesti dan absorpsi.
Kemudian segmen yang berisi itu hilang untuk timbul lebih jauh lagi
dalam usus tadi.
Gerakan pendulum atau ayunan menyababkan isi usus bercampur.
Dua cairan pencerna masuk duodenum melalui saluran-saluran
mereka yaitu empedu melalui hati dan getah pancreas dari pancreas.
f. Empedu di perlukan untuk pencernaan lemak yang diemulsikan(arti
nya di pecahkan dalam bagian-bagian kecil).dengan demikian
membantu kerja lipase.sifat nya alkali dan membantu membuat
makanan yang keluar dari lambung yang asam menjadi netral..
g. Garam empedu mengurangi tegangan permukaan isi usus dan
membantu membentuk emulsi dari lemak yang dimakan.
h. Getah pangkreas berisi tiga jenis enzim pencerna yang bekerja atas
tiga jenis makanan berikut.sifatnya alkali.amilase makanan mencerna
hidrat karbon:sifatnya lebih kuat dari ptyalin, bekerja atas zat tepung
mentah maupun yang telah dimasak dan mengubahnya menjadi
desakharida.

5. Usus besar
Usus besar atau kolon yang kira-kira satu setengah meter
panjangnya, adalah sumbangan dari usus halus dan mulai di katup
iliokolik atau ileosekal, yaitu tempat sisa makanan lewat. Reflex
gastrokolik terjadi ketika makanan masuk lambumg dan menimbulkan
peristaltic di dalam usus besar. Reflex ini menyebabkan defekasi atau
buang air besar.

Kolon mulai sebagai kantong yang nekar dan padanya terdapat


apendikx vermiformis atau umbai cacing. Afendix juga terdiri atas
keempat lapisan dinding yang sama seperti usus lainya. Hanya lapisan
submukosanya berisi sejumlah besar jaringan limfe, yang dianggap
mempunyai pungsi serupa dengan tonsil. Sebagian terletak di bawah
sekum dan sebagian di belakang sekum atau disebut retrosekum. Dalam
apendisitis apendik meradang, yang umumnya menghendaki operasi
apendektomi.

Zat-zat sisa di dalam usus besar ini didorong kebagian belakang


dengan gerakan peristaltik. Zat-zat sisa ini masih mengandung banyak air
dan garam mineral yang diperlukan oleh tubuh. Air dan garam mineral
kemudian diabsorpsi kembali oleh dinding kolon, yaitu kolon ascendens.
Zat-zat sisa berada dalam usus besar selama 1 sampai 4 hari. Pada saat
itu terjadi proses pembusukan terhadap zat-zat sisa dengan dibantu
bakteri Escherichia coli, yang mampu membentuk vitamin K dan B12.
Selanjutnya dengan gerakan peristaltik, zat-zat sisa ini terdorong sedikit
demi sedikit ke saluran akhir dari pencernaan yaitu rektum dan akhirnya
keluar dengan proses defekasi melewati anus.

Fungsi usus besar. Fungsi usus besar adalah usus besar tidak ikut
serta dalam pencernaan atau absorpsi makanan. Bila isi usus halus
mencapai sekum maka semua zat makanan telah diabsorpsi dan isinya
cair. Selama perjalanan didalam kolon isinya menjadi makin padat karena
air diabsorpsi ketika rectum di capai maka feses bersifat padat dan lunak.
Peristaltic didalam kolon sangat lamban. Diperlukan waktu kira-kira
enam belas sampai dua puluh jam bagi isinya untuk mencapai flexura
sigmoid. Fungsi kolon dapat diringkas sebagai berikut :
a. Absorpsi air, garam dan glukosa
b. Skresi musin oleh kelenjar didalam lapisan dalam
c. Penyiapan selulosa yang berupa hidrat karbon didalam tumbuh-
tumbuhan, buah-buahan dan sayur-sayuran hijau dan penyiapan sisa
protein yang belum dicernakan oleh kerja baktery guna ekskresi.

AB Ganguan sistem gastrointestis (gastritis)

1. Definisi gastritis

Gastritis adalah inflamasi mukosa lambung (Kapita Selekta Kedokteran,


2001)
Gastritis adalah suatu peradangan lokal atau menyebar pada mukosa
lambung yang berkembang bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi
dengan bakteri atau bahan iritan. ( J. Reves, 1999 )

Gastritis adalah peradangan mukosa lambung yang bersifat akut,


kronik, difus dan lokal yang disebabkan oleh makanan, obat obatan, zat
kimia, stres, dan bakteri.
2. Klasifikasi

Gastritis menurut jenisnya terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:


a. Gastritis Akut
Gastritis (inflamasi mukosa lambung) paling sering diakibatkan oleh
kesembronoan diit, misalnya makan terlalu banyak, terlalu cepat,
makan-makanan yang terlalu banyak bumbu atau makanan yang
terinfeksi. Penyebab lain termasuk alcohol, aspirin, fefluks empedu
dan terapi radiasi. Gastritis dapat juga menjadi tanda pertama infeksi
sistemik akut. Bentuk gastritis akut yang lebih parah disebabkan oleh
asam kuat aatu alkali, yang dapat menyebabkan mukosa menjadi
ganggren atau perforasi.

b. Gastritis Kronis
Inflamasi yang berkepanjangan yang disebabkan baik oleh ulkus
lambung jinak maupun ganas, oleh bakteri H. Pylori . gastritis kronis
mungkin diklasifikassikan sebagai Tipe A atau Tipe B. Tipe A ini
terjadi pada fundus atau korpus lambung. Tipe B (H. Pylori)mengenai
antrum dan pylorus. Mungkin berkaitan dengan bacteria H. Pylori.
Faktor diit seperti minuman panas, bumbu penyedap,penggunaan
obat, alcohol, merokok atau refluks isi usus kedalam lambung.

c. Patofisiologi

Bahan-bahan makanan, minuman, obat maupun zat kimia yang masuk


kedalam lambung menyebabkan iritasi atau erosi pada mukosanya
sehingga lambung kehilangan barrier (pelindung).
Selanjutnya terjadi peningkatan difusi balik ionhidrogen.
Gangguan difusi pada mukosa dan penngkatan sekresi asam lambung
yang meningkat /banyak. Asam lambung dan enzim-enzim
pencernaan. Kemudian menginvasi mukosa lambung dan terjadilah
reaksi peradangan . Inilah yang disebut gastritis . Respon
mukosa lambung terhadap kebanyakan penyebab iritasi tersebut
adalah dengan regenerasi mukosa, karena itu gangguan-gangguan
tersebut seringkali menghilang dengan sendirinya.
Dengan iritasi yang terus menerus, jaringan menjadi meradang dan
dapat terjadi perdarahan.
Masuknya zat-zat seperti asam dan basa kuat yang bersifat korosif
mengakibatkan peradangan dan nekrosis pada dinding lambung
(gastritis korosif). Nekrosis dapat mengakibatkan perforasi dinding
lambung dengan akibat berikutnya perdarahan dan peritonitis.

Gastritis kronis dapat menimbulkan keadaan atropi kelenjar-kelenjar


lambung dan keadaan mukosa terdapat bercak-bercak penebalan
berwarna abu-abu atau abu-abu kehijauan (gastitis atropik).
Hilangnya mukosa lambung akhirnya akan mengakibatkan
berkurangnya sekresi lambung dan timbulnya anemia pernisiosa.
Gastritis atropik boleh jadi merupakan pendahuluan untuk karsinoma
lambung. Gastritis kronis dapat pula terjadi bersamaan dengan ulkus
peptikum atau mungkin terjadi setelah tindakan gastroyeyunostomi.

d. Etiologi
1) Infeksi bakteri. Sebagian besar populasi di dunia terinfeksi oleh
bakteri H. Pylori yang hidup di bagian dalam lapisan mukosa yang
melapisi dinding lambung. Walaupun tidak sepenuhnya dimengerti
bagaimana bakteri tersebut dapat ditularkan, namun diperkirakan
penularan tersebut terjadi melalui jalur oral atau akibat memakan
makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri ini.
Infeksi H. pylori sering terjadi pada masa kanak kanak dan dapat
bertahan seumur hidup jika tidak dilakukan perawatan. Infeksi H.
pylori ini sekarang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya
peptic ulcer dan penyebab tersering terjadinya gastritis. Infeksi
dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan peradangan
menyebar yang kemudian mengakibatkan perubahan pada lapisan
pelindung dinding lambung. Salah satu perubahan itu adalah
atrophic gastritis, sebuah keadaan dimana kelenjar-kelenjar
penghasil asam lambung secara perlahan rusak. Peneliti
menyimpulkan bahwa tingkat asam lambung yang rendah dapat
mengakibatkan racun-racun yang dihasilkan oleh kanker tidak
dapat dihancurkan atau dikeluarkan secara sempurna dari
lambung sehingga meningkatkan resiko (tingkat bahaya) dari
kanker lambung. Tapi sebagian besar orang yang terkena infeksi
H. pylori kronis tidak mempunyai kanker dan tidak mempunyai
gejala gastritis, hal ini mengindikasikan bahwa ada penyebab lain
yang membuat sebagian orang rentan terhadap bakteri ini
sedangkan yang lain tidak.

2) Pemakaian obat penghilang nyeri secara terus menerus. Obat


analgesik anti inflamasi nonsteroid (AINS) seperti aspirin,
ibuprofen dan naproxen dapat menyebabkan peradangan pada
lambung dengan cara mengurangi prostaglandin yang bertugas
melindungi dinding lambung. Jika pemakaian obat obat tersebut
hanya sesekali maka kemungkinan terjadinya masalah lambung
akan kecil. Tapi jika pemakaiannya dilakukan secara terus
menerus atau pemakaian yang berlebihan dapat mengakibatkan
gastritis dan peptic ulcer.

3) Penggunaan alkohol secara berlebihan. Alkohol dapat mengiritasi


dan mengikis mukosa pada dinding lambung dan membuat
dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun
pada kondisi normal.

4) Penggunaan kokain. Kokain dapat merusak lambung dan


menyebabkan pendarahan dan gastritis.

5) Stress fisik. Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma,


luka bakar atau infeksi berat dapat menyebabkan gastritis dan
juga borok serta pendarahan pada lambung.
6) Kelainan autoimmune. Autoimmune atrophic gastritis terjadi
ketika sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel sehat yang
berada dalam dinding lambung. Hal ini mengakibatkan
peradangan dan secara bertahap menipiskan dinding lambung,
menghancurkan kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung dan
menganggu produksi faktor intrinsic (yaitu sebuah zat yang
membantu tubuh mengabsorbsi vitamin B-12). Kekurangan B-12,
akhirnya, dapat mengakibatkan pernicious anemia, sebuah konsisi
serius yang jika tidak dirawat dapat mempengaruhi seluruh sistem
dalam tubuh. Autoimmune atrophic gastritis terjadi terutama pada
orang tua.

7) Crohns disease. Walaupun penyakit ini biasanya menyebabkan


peradangan kronis pada dinding saluran cerna, namun kadang-
kadang dapat juga menyebabkan peradangan pada dinding
lambung. Ketika lambung terkena penyakit ini, gejala-gejala dari
Crohns disease (yaitu sakit perut dan diare dalam bentuk cairan)
tampak lebih menyolok daripada gejala-gejala gastritis.

8) Radiasi and kemoterapi. Perawatan terhadap kanker seperti


kemoterapi dan radiasi dapat mengakibatkan peradangan pada
dinding lambung yang selanjutnya dapat berkembang menjadi
gastritis dan peptic ulcer. Ketika tubuh terkena sejumlah kecil
radiasi, kerusakan yang terjadi biasanya sementara, tapi dalam
dosis besar akan mengakibatkan kerusakan tersebut menjadi
permanen dan dapat mengikis dinding lambung serta merusak
kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung.

9) Penyakit bile reflux. Bile (empedu) adalah cairan yang membantu


mencerna lemak-lemak dalam tubuh. Cairan ini diproduksi oleh
hati. Ketika dilepaskan, empedu akan melewati serangkaian
saluran kecil dan menuju ke usus kecil. Dalam kondisi normal,
sebuah otot sphincter yang berbentuk seperti cincin (pyloric valve)
akan mencegah empedu mengalir balik ke dalam lambung. Tapi
jika katup ini tidak bekerja dengan benar, maka empedu akan
masuk ke dalam lambung dan mengakibatkan peradangan dan
gastritis.

10) Faktor-faktor lain. Gastritis sering juga dikaitkan dengan konsisi


kesehatan lainnya seperti HIV/AIDS, infeksi oleh parasit, dan
gagal hati atau ginjal.

3. Komplikasi

a. Gastritis Akute
Perdarahan saluran cerna atas, hingga anemia dan kematian.
Ulkus pada lambung: Karena erosi pada area yang mengelilingi
membrane mukosa lambung. biasanya terjadi akibat keseringan
menggunakan obat-obat anti-inflamasi nonsteroid, penggunaan
alcohol, dan perokok berat,juga oleh H. Pylori. Pendarahan pada
lambung dapat menyebabkan muntah darah atau terdapat darah pada
feces dan memerlukan perawatan segeraPerforasi lambung.

b. Gastritis Kronis
Gangguan penyerapan Vitamin B12 karena atropi lambung dan akan
terjadi
anemia pernisiosa.
Gangguan penyerapan zat besi.
Penyempitan daearah fillorus.
Kanker lambung; biasanya terjadi pada individu usia 40 tahun keatas
dan juga pad individu yang lebih muda. Diit yang mengiritasi biasanya
adalah factor utamanya. (makanan yang diasap dan sedikit
mengkonsumsi buah dan sayur), penyakit ini timbul akibat gastritis
yang sudah kronis, anemia pernisiosa, ulkus gastrikum.

4. Pemeriksaan medis

Bila seorang pasien didiagnosa terkena gastritis, biasanya dilanjutkan


dengan pemeriksaan tambahan untuk mengetahui secara jelas
penyebabnya. Pemeriksaan tersebut meliputi :
a. Pemeriksaan darah. Tes ini digunakan untuk memeriksa adanya
antibodi H. pylori dalam darah. Hasil tes yang positif menunjukkan
bahwa pasien pernah kontak dengan bakteri pada suatu waktu dalam
hidupnya, tapi itu tidak menunjukkan bahwa pasien tersebut terkena
infeksi. Tes darah dapat juga dilakukan untuk memeriksa anemia,
yang terjadi akibat pendarahan lambung akibat gastritis.

b. Pemeriksaan pernapasan. Tes ini dapat menentukan apakah pasien


terinfeksi oleh bakteri H. pylori atau tidak.

c. Pemeriksaan feces. Tes ini memeriksa apakah terdapat H.


pylori dalam feses atau tidak. Hasil yang positif dapat
mengindikasikan terjadinya infeksi. Pemeriksaan juga dilakukan
terhadap adanya darah dalam feces. Hal ini menunjukkan adanya
pendarahan pada lambung.

d. Endoskopi saluran cerna bagian atas. Dengan tes ini dapat terlihat
adanya ketidaknormalan pada saluran cerna bagian atas yang
mungkin tidak terlihat dari sinar-X. Tes ini dilakukan dengan cara
memasukkan sebuah selang kecil yang fleksibel (endoskop) melalui
mulut dan masuk ke dalam esophagus, lambung dan bagian atas usus
kecil. Tenggorokan akan terlebih dahulu dimati-rasakan (anestesi)
sebelum endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien merasa
nyaman menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam saluran cerna yang
terlihat mencurigakan, dokter akan mengambil sedikit sampel
(biopsy) dari jaringan tersebut. Sampel itu kemudian akan dibawa ke
laboratorium untuk diperiksa. Tes ini memakan waktu kurang lebih 20
sampai 30 menit. Pasien biasanya tidak langsung disuruh pulang
ketika tes ini selesai, tetapi harus menunggu sampai efek dari
anestesi menghilang, kurang lebih satu atau dua jam. Hampir tidak
ada resiko akibat tes ini. Komplikasi yang sering terjadi adalah rasa
tidak nyaman pada tenggorokan akibat menelan endoskop.

e. Ronsen saluran cerna bagian atas. Tes ini akan melihat adanya tanda-
tanda gastritis atau penyakit pencernaan lainnya. Biasanya akan
diminta menelan cairan barium terlebih dahulu sebelum dilakukan
ronsen. Cairan ini akan melapisi saluran cerna dan akan terlihat lebih
jelas ketika di ronsen.

5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gastritis secara umum adalah menghilangkan faktor
utama yaitu etiologinya, diet lambung dengan porsi kecil dan sering,
serta Obat-obatan. Namun secara spesifik dapat dibedakan sebagai
berikut:
a. Gastritis Akut
Pantang minum alkohol dan makan sampai gejala-gejala
menghilang; ubah menjadi diet yang tidak mengiritasi
Jika gejala-gejala menetap, mungkin diperlukan cairan IV.
Jika terdapat perdarahan, penatalaksanaannya serupa dengan
hemoragie yang terjadi pada saluran gastrointestinal bagian atas.
Jika gastritis terjadi akibat menelan asam kuat atau alkali,
encerkan dan netralkan asam dengan antasida umum, misalnya
aluminium hidroksida, antagonis reseptor H2, inhibitor pompa
proton, antikolinergik dan sukralfat (untuk sitoprotektor).
Jika gastritis terjadi akibat menelan basa kuat, gunakan sari buah
jeruk yang encer atau cuka yang di encerkan.
Jika korosi parah, hindari emetik dan bilas lambung karena bahaya
perforasi.

b. Gastritis Kronis
Modifikasi diet, reduksi stress, dan farmakoterapi.
H. phylory mungkin diatasi dengan antibiotik (mis; tetrasiklin atau
amoxicillin) dan garam bismuth (pepto bismol).

6. Terapi Untuk Gastritis

Terapi gastritis sangat bergantung pada penyebab spesifiknya dan


mungkin memerlukan perubahan dalam gaya hidup, pengobatan atau,
dalam kasus yang jarang, pembedahan untuk mengobatinya.

Terapi terhadap asam lambung


Asam lambung mengiritasi jaringan yang meradang dalam lambung
dan menyebabkan sakit dan peradangan yang lebih parah. Itulah
sebabnya, bagi sebagian besar tipe gastritis, terapinya melibatkan obat-
obat yang mengurangi atau menetralkan asam lambung seperti :
a. Anatsida. Antasida merupakan obat bebas yang dapat berbentuk
cairan atau tablet dan merupakan obat yang umum dipakai untuk
mengatasi gastritis ringan. Antasida menetralisir asam lambung dan
dapat menghilangkan rasa sakit akibat asam lambung dengan cepat.

b. Penghambat asam. Ketika antasida sudah tidak dapat lagi mengatasi


rasa sakit tersebut, dokter kemungkinan akan merekomendasikan
obat seperti cimetidin, ranitidin, nizatidin atau famotidin untuk
mengurangi jumlah asam lambung yang diproduksi.

c. Penghambat pompa proton. Cara yang lebih efektif untuk mengurangi


asam lambung adalah dengan cara menutup pompa asam dalam sel-
sel lambung penghasil asam. Penghambat pompa proton mengurangi
asam dengan cara menutup kerja dari pompa-pompa ini. Yang
termasuk obat golongan ini adalah omeprazole, lansoprazole,
rabeprazole dan esomeprazole. Obat-obat golongan ini juga
menghambat kerja H. pylori

d. Cytoprotective agents. Obat-obat golongan ini membantu untuk


melindungi jaringan-jaringan yang melapisi lambung dan usus kecil.
Yang termasuk ke dalamnya adalah sucraflate dan misoprostol. Jika
meminum obat-obat AINS secara teratur (karena suatu sebab), dokter
biasanya menganjurkan untuk meminum obat-obat golongan
ini. Cytoprotective agents yang lainnya adalah bismuth subsalicylate
yang juga menghambat aktivitas H. pylori.

e. Terapi terhadap H. pylori


Terdapat beberapa regimen dalam mengatasi infeksi H. pylori.
Yang paling sering digunakan adalah kombinasi dari antibiotik dan
penghambat pompa proton. Terkadang ditambahkan pula bismuth
subsalycilate. Antibiotik berfungsi untuk membunuh bakteri,
penghambat pompa proton berfungsi untuk meringankan rasa sakit,
mual, menyembuhkan inflamasi dan meningkatkan efektifitas
antibiotik.

Terapi terhadap infeksi H. pylori tidak selalu berhasil, kecepatan


untuk membunuh H. pylori sangat beragam, bergantung pada
regimen yang digunakan. Akan tetapi kombinasi dari tiga obat
tampaknya lebih efektif daripada kombinasi dua obat. Terapi dalam
jangka waktu yang lama (terapi selama 2 minggu dibandingkan
dengan 10 hari) juga tampaknya meningkatkan efektifitas.

Untuk memastikan H. pylori sudah hilang, dapat dilakukan


pemeriksaan kembali setelah terapi dilaksanakan. Pemeriksaan
pernapasan dan pemeriksaan feces adalah dua jenis pemeriksaan
yang sering dipakai untuk memastikan sudah tidak adanya H. pylori.
Pemeriksaan darah akan menunjukkan hasil yang positif selama
beberapa bulan atau bahkan lebih walaupun pada kenyataanya
bakteri tersebut sudah hilang.
7. Pencegahan

Walaupun infeksi H. pylori tidak dapat selalu dicegah, berikut


beberapa saran untuk dapat mengurangi resiko terkena gastritis :

a. Makan secara benar. Hindari makanan yang dapat mengiritasi


terutama makanan yang pedas, asam, gorengan atau berlemak. Yang
sama pentingnya dengan pemilihan jenis makanan yang tepat bagi
kesehatan adalah bagaimana cara memakannya. Makanlah dengan
jumlah yang cukup, pada waktunya dan lakukan dengan santai.

b. Hindari alkohol. Penggunaan alkohol dapat mengiritasi dan mengikis


lapisan mukosa dalam lambung dan dapat mengakibatkan peradangan
dan pendarahan.

c. Jangan merokok. Merokok mengganggu kerja lapisan pelindung


lambung, membuat lambung lebih rentan terhadap gastritis dan
borok. Merokok juga meningkatkan asam lambung, sehingga
menunda penyembuhan lambung dan merupakan penyebab utama
terjadinya kanker lambung. Tetapi, untuk dapat berhenti merokok
tidaklah mudah, terutama bagi perokok berat. Konsultasikan dengan
dokter mengenai metode yang dapat membantu untuk berhenti
merokok.

d. Lakukan olah raga secara teratur. Aerobik dapat meningkatkan


kecepatan pernapasan dan jantung, juga dapat menstimulasi aktifitas
otot usus sehingga membantu mengeluarkan limbah makanan dari
usus secara lebih cepat.

e. Kendalikan stress. Stress meningkatkan resiko serangan jantung dan


stroke, menurunkan sistem kekebalan tubuh dan dapat memicu
terjadinya permasalahan kulit. Stress juga meningkatkan produksi
asam lambung dan melambatkan kecepatan pencernaan. Karena
stress bagi sebagian orang tidak dapat dihindari, maka kuncinya
adalah mengendalikannya secara effektif dengan cara diet yang
bernutrisi, istirahat yang cukup, olah raga teratur dan relaksasi yang
cukup.
f. Ganti obat penghilang nyeri. Jika dimungkinkan, hindari penggunaan
AINS, obat-obat golongan ini akan menyebabkan terjadinya
peradangan dan akan membuat peradangan yang sudah ada menjadi
lebih parah. Ganti dengan penghilang nyeri yang mengandung
acetaminophen

g. Ikuti rekomendasi dokter.

AC Gastrointeristis( GE )

1. Definisi
GE adalah radang pada lambung dan usus yang memberikan gejalah
diare, dengan atau tanpa disertai muntah, dan sering kali disertai
peningkatan suhu tubuh. Diaere yang dimaksudkan adalah buang airt
besar berkali-kali ( dengan jumlah yang melebihi 4 kali, dan bentuk feses
yang cair, dapat disertai dengan darah dan lender)

2. Etiologi gastroenteritis

Gastroenteritis/GE disebabkan oleh :


b. infeksi oleh bakteri (salmonella spp, campylobacter jejuni,
stafilococcus Eureus, bacillus cereus, clostridium perfrigens dan
enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC), virus( rota-verus,
adenovirus enteris, virus Norwalk), parasit (bardia lambia,
cryptosporidium). Bakteri penyebab diare diindonesia adalah
shigella, salmonella, campylobacter jejuni, Escherichia coli, dan
entamoeba histolutica. Disertai berat umumnya oleh shigella
flexneri,salmonella dan enteroinvasive E.coli (EIEC). Infeksi oleh
mikroorganisme ini menyebabkan peningkatan sekresi cairan

c. diare juga disebabkan oleh obat-obatan seperti replacement hormone


tiroid, laksatif, antibiotic, asetaminophen, kemoterapi dan antasida.

d. pemberian makan melalui NGT, gangguan motelitas usus seperti


diabetic enteropathy, scleroderma visceral, sindrom karsinoid,
vagotomi

e. penyakit pada pasien seperti gangguan metabolic dan endokrin


(diabetes, addisson, tirotoksikosis, Ca Tyroid sehingga terjadi
peningkatan penglepasan calsitonin), gangguan nutrisi dan
malabsorpsi usus (colitis ulseratif, syndrome usus peka, penyakit
seliaka), paralitik ileus dan obstruksi usus
Beberapa factor resiko terjadinya diare adalah makanan atau minuman
terkontaminasi bakteri, berpergian kenegara endemis dengan senitasi
lingkungan dan kebersihan air yang buruk, penggunaan antibiotik yang
berkepanjangan, HIV positif atau AIDS

3. Jenis jenis GE ( diare)

a. Diare akut adalah diare yang serangannya tiba-tiba dan berlangsung


kurang dari 14 hari diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis
dan menjadi:

1. Diare non inflamasi.


Diare ini disebabkan oleh enterotoksin dan menyebabkan diare
cairan dan volume yang besar tanpa lender dan darah. Keluhan
abdomen jarang terjadi atau bahkan tidak ada sama sekali.
Dehidrasi cepat terjadi apabila tidak mendapat cairan pengganti.
Tidak ditemukan lekosit pada pemeriksaan feses rutin.
2. Diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi bakteri dan
pengeluaran sitotoksin dikolon. Gejalah klinis ditandai mulas
sampai nyeri seperti nyeri kolik, mual, muntah, demam, tenesmus,
gejalah dan tanda dehidrasi. Secara makroskopis terdapat lender
darah dan pada pemeriksaan feses rutin, dan secara mikroskopis
terdapat sel leukosit polimorfonuklear.

b. Diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.


Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat
dibagi menjadi diare sekresi, diare osmotic, diare eksudatif dan
gangguan motilitas.

1. Diare sekresi, diare dengan volume feses banyak biasanya


disebabkan oleh gangguan transport elektrolit akibat peningkatan
produksidan sekresi air dan elektrolit namun kemampuan
absorbsimukosa usus kedalam lumen usus menurun. Penyebabnya
adalah toksin bakteri (seperti toksin kolera), pengaruh garam
empedu, asam lemak rantai pendek, laksatif non osmotic dan
hormone intestinal (gastrin vasoactive intestinal polipeptiden
(VIP).

2. Diare osmotic, terjadi bila terdapat partijkek yang tidak dapat


diabsorbsi sehingga osmolaritas lumen meningkat dan air tertarik
dari plasma dan lumen usus sehingga terjadilah diare. Sebagai
contoh malabsorbsi karbohidrat akibat defisiense lactase atau
akibat garam magnesium.

3. Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa


baik usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudat dapat
terjadi akbibat infeksi bakteri atau bersifat non infeksi seperti
gluten sensitive enterop[athy, inflammatory bowel disease (IBD)
atau akibat radiasi.

4. Kelompok lain adalah gangguan motilitas yang mengakibatan


waktu transit makanan/minuman diusus menjadi lebih cepat. Pada
kondisi tirotoksikosis, sindroma usus iritabel atau diabetes militus
dapat muncul diare ini

4. Patofisiologi GE

Proses terjadinya diare dapat disebabkan oleh berbagai factor antara lain
infeksi bakteri, malabsorbsi, atau sebab yang lain. Factor infeksi, proses
ini diawali dengan adanya mikroorganisme yang masuk kedalam saluran
pencernaan, kemudian berkembang biak dalam lambung dan usus.
Mikroorganisme yang masuk dalam lambung dan usus memproduksi
toksin, yang terikat pad mukosa usus dan menyebabkan sekresi aktif
anion klorida kedalam lumen usus yang diikutiair, ion karbonat, kation,
natrium dan kalium.infeksi bakteri jenis enteroinfasif seperti : E, coli,
paratyphi B. salmonella, shigella, toksin yang dikeluarkannya dapat
menyebabkan kerusakan dinding usus berupa nekrosis dan ulserasi.
Diare bersifat sekretorik eksudatif, cairan diare dapat bercampu lender
dan darah.

Faktor malabsorbsi merupakan kegagalan dalam melakukan absorbsi


terhadap makanan atau zat yang mengakibatkan tekanan osmotic
meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kerongga usus
yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadi diare.
Gangguan motilitas usus yang mengakibatkan hiperperilstaltik akan
mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap
makanan sehingga timbul diare, sebaliknya jika terjadi hipoperilstaltik
akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan sehingga terjadi diare.
Akibat dari diare dapat menyebabkan kehilangan air dan elektrolit
(dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa (asidosismetabolik
dan hipokalemi), gangguan nutrisi (intake kurang, output berlebihan).

5. Manifestasi Klinik
Gejala awal adalah anak menjadi cengeng dan gelisah, suhu badan
mungkin meningkat, nafsu makan menurun kemudian timbul diare tinja
cair, mungkin mengandung darah atau lendir, warna tinja berubah
menjadi kehijau-hijauan karena tercampur empedu, anus dan sekitarnya
menjadi lecet karena tinja menjadi asam akibatnya, banyaknya asam
laktat yang terjadi dari pemecahan laktosa yang tidak dapat diabsorpsi
oleh usus. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah dehidrasi
diare.
Bila penderita telah banyak kehilangan air dan elektrolit terjadilah gejala
dehidrasi.berat badan menurun pada bayi, ubun-ubun besar dan cekung,
tonus dan turgor otot kulit berkurang, selaput lendir mulut dan bibir
menjadi kering.

Gejala klinis sesuai tingkat dehidrasi adalah sebagai berikut :


a. Dehidrasi ringan (kehilangan 2,5% BB)
Kesadaran komposmentis, nadi kurang dari 120 kali per menit,
pernafasan biasa, ubun-ubun besar agak cekung, mata agak cekung,
turgor dan tonus biasa, mulut kering.

b. Dehidrasi sedang (kehilangan 6,9 % BB)


Kesadaran gelisah, nadi 120-140 kali per menit, pernafasan agak
cepat, ubun-ubun besar cekung, mata tampak cekung, turgor dan
tonus agak kurang, mulut kering

c. Dehidrasi berat (kehilangan > 10 % BB)


Kesadaran apatis sampai koma, nadi lebih dari 140 kali permenit,
pernafasan kusmaul, ubun-ubun besar cekung sekali, turgor dan
tonus kurang sekali, mulut kering dan sianosis.

Gangguan keseimbangan asam dan basa dan elektrolit :


a. Cairan yang banyak keluar melalui BAB menyebabkan kehilangan
bikarbonat, sehingga PH menurun, PCO2 meningkat, asidosis
metabolik yang ditandai pernafasan kusmaul.
b. Terjadi hipo/hipertermi (< 130 atau > 150 mEq/L), hipokalemia (< 3
mEq).
c. Hipoglikemi gangguan gizi
d. Syok hipovolemi.

6. Klasifikasi

Klasifikasi Tanda dan Gejala


Tak ada dehidrasi Tak ada tanda dan gejala dehidrasi :
Keadaan umum baik, sadar
Tanda vital (tekanan darah, suhu, nadi,
pernapasan) dalam batas normal
Dehidrasi tak berat Dua atau lebih tanda-tanda berikut :
Gelisah, rewel
Mata cekung
Air mata kurang
Haus (minum banyak)
Mulut dan bibir sedikit kering
Cubitan kulit perut kembali lambat
Tangan dan kaki hangat
Dehidrasi berat Dua atau lebih tanda-tanda berikut :
Kondisi umum lemas
Kesadaran menurun tidak sadar
Mata cekung
Air mata tidak ada
Tidak mampu untuk minum/minum lemah
Mulut dan bibir kering
Cubitan kulit perut kembali sangat lambat
( 2 detik)
Tangan dan kaki dingin
7. Komplikasi
a. Dehidrasi
b. Renjatan hipovolemik
c. Kejang
d. Bakterimia
e. Mal nutrisi
f. Hipoglikemia
g. Intoleransi sekunder akibat kerusakan mukosa usus.

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik yang meliputi :
a. Pemeriksaan Feses
Makroskopis dan mikroskopis.
1. pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet
dinistest, bila diduga terdapat intoleransi gula.
2. Bila diperlukan, lakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.
3. Evaluasi feses terhadap telur cacing dan parasit
4. Kultur fese (jika anak dirawat di rumah sakit, pus dalam feses atau
diare yang berkepanjangan), untuk menentukan patogen
5. Evaluasi volume, warna, konsistensi, adanya mukus atau pus pada
feses

b. Pemeriksaan Darah
1. pH darah dan cadangan dikali dan elektrolit ( Natrium, Kalium,
Kalsium, dan Fosfor ) dalam serum untuk menentukan
keseimbangan asama basa.
2. Kadar ureum dan kreatmin untuk mengetahui faal ginjal.
3. Darah samar feses, untuk memeriksa adanya darah (lebih sering
pada gastroenteritis yang berasal dari bakteri)
4. Hitung darah lengkap dengan diferensial

c. Intubasi Duodenum ( Doudenal Intubation )


1. Untuk mengatahui jasad renik atau parasit secara kualitatif dan
kuantitatif, terutama dilakukan pada penderita diare kronik.
2. Aspirasi duodenum (jika diduga G.lamblia)

d. Uji antigen immunoassay enzim, untuk memastikan adanya rotavirus


e. Urinalisis dan kultur (berat jenis bertambah karena dehidrasi;
organisme Shigella keluar melalui urine)

9. Penatalaksaan Medis
Penatalaksaan klien dengan gastroenteritis adalah :
a. Pemberian cairan
b. Dietetik (pemberian makanan)
c. Obat-obatan
d. Education : memberikan pendidikan kesehatan kepada ibu-ibu
tentang anak-anak yang sehat atau makanan untuk anak diare

Prinsip pengobatan diare adalah menggantikan cairan yang hilang


melalui feses dengan atau tanpa muntah, dengan cairan yang
mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain (gula, air tajin,
tepung beras, dll)
Penatalaksanaan :
a. Dehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan
Hal yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang
cepat dan akurat, yaitu:
1. Jenis cairan yang akan digunakan
a) Cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan meskipun
jumlah kaliumnya lebih rendah dibandingkan dengan kadar
kalium cairan feses.
b) Jika tidak tersedia RL, dapat diberikan cairan NaCl isotonik
ditambah satu ampul Nabikarbonat 7,5% 50 ml pada setiap 1L
infus NaCl isotonik.
c) Pada keadaan diare akut awal yang ringan, dapat diberikan
bubuk oralit sebagai usaha awal agar tidak terjadi dehidrasi.
Atau dapat dengan pengganti oralit : air teh + 1 sendok gula +
seujung sendok garam atau air tajin + gula + garam

2. Jumlah cairan yang akan diberikan :


a) Pada prinsipnya jumlah cairan yang akan diberikan sesuai
dengan jumlah cairan yang keluar dari tubuh.
b) Kehilangan cairan dari tubuh dapat dihitung dengan memakai
rumus:
B.D. plasma dengan memakai rumus:
Kebutuhan cairan: BD plasma-1,025 x BB x 4 ml
0,001
3. Kembali makanan semula secara bertahap, setelah dehidrasi
hilang. Misal : SGM diencerkan 1/3 takaran semula, biasanya
makan nasi tim di ganti bubur dahulu.
1. Keperluan cairan
o Dehidrasi ringan : 150 cc / kg BB / hari
o Dehidrasi sedang : 200 cc / kg BB / hari
o Dehidrasi berat : infus RL, nacl, D10 %.

2. untuk anak umur 1 bulan 2 tahun, BB 3 10 kg.


o 1 jam I : 4 ml/kg BB/jam = 10 tts/kg BB/mnt (jika set infus 1
ml = 15 tts)
o 7 jam berikutnya : 12 ml/kg BB/jam = 3 tts/kg BB/mnt (jika
set infus 1 ml = 15 tts)
o 16 jam kemudian : 125 ml/kg BB, oralit per oral.

3. untuk anak umur 2-5 tahun, dengan BB 10 15 kg


o 1 jam I : 30 ml/kg BB/jam = 3 tts/kg BB/mnt. (makro).
o 16 jam kemudian : 125 ml/kg BB oralit per oral

4. untuk anak 5 tahun, dengan BB 15 25 kg.


o 1 jam I : 20 ml/kg BB/jam = 5 tts/kg BB/mnt (makro)
o 7 jam berikutnya : 10 ml/kg BB/jam = 2-3 tts/kg BB/mnt
(makro).
o 16 jam kemudian : 125 ml/kg BB, oralit peroral.

b. Memberikan terapi simptomatik


Pemberian terapi simptomatik harus berhati-hati dan perlu
pertimbangan karena lebih banyak kerugiannya daripada
keuntungannya :
1. Pemberian anti motilitas seperti Loperamid perlu dipertimbangkan
karena dapat memperbutuk diare. Jika memang dibutuhkan
karena pasien amat kesakitan diberikan dalam jangka pendek (1-2
hari saja) dengan jumlah sedikit.
2. Pemberian antiemetik seperti Metoklopropamid juga perlu
diperhatikan karena dapat menimbulkan kejang pada anak dan
remaja akibat rangsangan ekstrapiramidal.
3. Pada diare akut yang ringan kecuali rehidrasi peroral, bila tidak
ada kontraindikasi dapat diberikan Bismuth
subsalisilat maupun Loperamiddalam waktu singkat. Pada diare
berat, obat-obat tersebut perlu dipertimbangkan dalam pemberian
waktu yang singkat dan dikombinasikan dengan pemberian obat
antimikrobial.
4. Pada penderita diare mungkin disertai denganLactose intolerance,
oleh karena itu hindari makanan/ minuman yang mengandung
susu sapai diare membaik dan hindari makanan yang pedas atau
banyak mengandung lemak.

c. Memberikan terapi defenitif


Terapi kausal dapat diberikan pada infeksi:
1. Kolera eltor:
Tetrasiklin 4x500 mg/ hari, selama 3 hari atau
Kortimoksazol, dosis awal 2x3 tab, kemudian 2x2 tab selama 6
hari atau
Kloramfenikol 4x500 mg/ hari, selama 7 hari atau gol.
Fluoroquinolon
2. S.aureus: Kloramfenikol 4x500 mg/ hari
3. Salmonellosis:
Ampisilin 4x1g/ hari atau
Kortimoksazol 2x2 tab atau
Gol. Fluoroquinolon seperti Siprofloksasin 2x500 mg selama 3-5
hari
4. Shigellosis:
Ampisilin 4x1g/ hari, selama 5 hari atau
Kloramfenikol 4x500 mg/ hari, selama 5 hari
5. Injeksi Helicobacter jejuni Eritromisin 3x500 atau 4x500 mg/ hari
selama 7 hari
6. Amubiasis:
Metronidazol 4x500 mg/ hari selama 3 hari atau
Tinidazol dosis tunggal 2 g/ hari selama 3 hari atau
Secnidazole dosis tunggal 2 g/ hari selama 3 hari atau
Tetrasiklin 4x500 mg/ hari, selama 10 hari
7. Giardiasis:
Quinacrine 3x100 mg/ hari selama 1 minggu atau
Chloroquin 3x100 mg/ hari selama 5 hari atau
Metronidazol 3x250 mg/ hari selama 7 hari
8. Balantidiasis: Tetrasiklin 3x500 mg/ hari, selama 10 hari
9. Kandidosis: Nystatin 3x500.000 unit selama 10 hari
10. Virus : simtomatik dan suportif

d. Therapi
Prinsip pengobatan diare adalah menggantikan cairan yang hilang
dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau
karbohidarat lain (gula, air, tajin, dan lain-lain).
1. Obat-obatan Anti Sekresi
Asetosal dosis 25 mg / hari dengan dosis minimal 30 mg.
Klorpromazin dosis 0,5 1 mg / kg BB / hari

2. (Obat Spasmolitik
Umumnya obat spasmolitik seperti papaverin, tidak boleh di
gunakan

3. Obat Antibiotik
4. Umumnya antibiotik tidak diberikan bila tidak ada penyebab yang
jelas. Bila penyebab yang jelas. Bila penyebabnya kolera dibeirkan
tetrasiklin 25-50 mg / kg BB / hari. Antibiotik juga diberikan bila
terdapat penyakit penyerta, spt : OMA, faringitis, bronkitis atau
bronkopneumonia.

10. Pencegahan
Dalam pencegahan penyakit Gastroenteritis dapat dilihat dalam lima
tingkat pencegahan (five levels of prevention) sebagai berikut :
a. Perbaikan status gizi individu/perorangan ataupun masyarakat untuk
membentuk daya tahan tubuh yang lebih baik dan dapat
melawan Agent penyakit yang akan masuk kedalam tubuh, seperti
mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung zat gizi yang lebih
baik dan diperlukan oleh tubuh.

b. Pemberian ASI Ekslusif kepada bayi yang baru lahir, karena ASI
banyak mengandung kalori, protein dan vitamin yang banyak
dibutuhkan oleh tubuh, pencegahan ini bertujuan untuk membentuk
system kekebalan tubuh sehingga terlindung dari berbagai penyakit
infeksi seperti Gastroenteritis.

c. Diagnosa Dini dan Pengobatan Segera (Early Diagnosis and Prompt


Treatment)

d. Pemberantasan Cacat (Disability Limitation)


Penyakit Gastroenteritis ini jika tidak diobati secara baik dan teratur
akan dapat menyebabkan kematian. Pembatasan kecacatan (Disability
Limitation) dalam mencegah terjadinya penyakitGastroenteritis dapat
dilakukan dengan berbagai upaya diantaranya :
1) Mencegah proses penyakit lebih lanjut dengan cara melakukan
pengobatan secara berkesinambungan sehingga tercapai proses
pemulihan yang baik.
2) Melakukan perawatan khusus secara berkala guna memperoleh
pemulihan kesehatan yang lebih cepat.
3) Mencuci tangan sebelum makan

e. Rehabilitasi (Rehabilitation)
Rehabilitasi (Rehabilitation) dalam mencegah terjadinya penyakit
Gastroenteritis dapat dilakukan dengan rehabilitasi fisik/medis
apabila terdapat gangguan kesehatan fisik akibat
penyakit Gastroenteritis

AD Ulkus Peptikum

1. Pengertian

Pada tahun 350 SM, Diocles Of Carystos dipercaya sebagai orang


yang menyebutkan kondisi ulkus lambung pertama kali. Marcellus
Donatus of Mantua pada tahun 1586 menjadi orang pertama yang
mendeskripsikan ulkus lambung melalui autopsi, pada tahun 1688
Muralto mendeskripsikan ulkus duodenal secara autopsi. Pada tahun
1737, Morgagni juga menyebutkan kondisi ulkus pada lambung dan
duodenum secara autopsi (Angel, 2006).

Ulkus peptikum atau ulkus peptikumum merupakan keadaan


dimana kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai di
bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah
epitel disebut erosi, walaupun sering kali dianggap juga sebagai
ulkus(Fry, 2005). Menurut definisi, ulkus peptikum dapat ditemukan pada
setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu
esophagus, lambung, duodenum, jejunum,dan setelah tindakan
gastroenterostomi. Ulkus peptikum diklasifikasikan atas ulkus akut dan
ulkus kronik, hal tersebut menggambarkan tingkat tingkat kerusakan
pada lapisan mukosa yang terlibat( Aziz, 2008).

Walaupun aktivitas percernaan peptik oleh getah lambung


merupakan etiologi yang penting, terdapat bukti bahwa ini hanya
merupakan salah satu dari banyak factor yang berperan dalam
pathogenesis ulkus peptikum (lewis,2000). Oleh karena banyaknya
persamaan serta perbedaan dalam konsep keperawatan antara ulkus
lambung dan ulkus duodenum, maka pada proses keperawatan ini akan
dibahass bersamaan agar memudahkan dalam asuhan keperawatan.
Ulkus peptikum adalah eksvasi ( area berlubang ) yang terbentuk
dalam dinding mukosa lambung, pylorus, duodenum atau esophagus.
Ulkus peptikum sering disebut sebagai ulkus lambung, duodenal atau
esophageal tergantung pada lokasinya ( Suddarth & Brunner. 2002.
hal.1064).

Ulkus peptikum adalah ulkus yang terjadi pada mukosa, sub


mukosa dan kadang-kadang sampai lapisan muskularis, dari traktus
gastrointestinalis yang selalu berhubungan dengan asam lambung yang
cukup mengandung HCl. Termasuk ini ialah ulkus (tukak) yang terdapat
pada bagian bawah dari esophagus, lambung dan duodenum bagian atas (
first portion of the duodenum). Mungkin juga dijumpai di tukak yeyunum
yaitu penderita yang mengalami gastroyeyenostomi (Hadi Sujono. 2002.
hal.204).

Ulkus peptikm merupakan putusnya kontinuitas mukosa lambung


yang meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak
meluas sampai ke bawah epitel disebut sebagai erosi, walaupun sering
dianggap sebagai ulkus (misalnya ulkus karena stress). Menurut
definisi, ulkus peptikum dapat terletak pada setiap bagian saluran cerna
yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus, lambung,
duodenum, dan setelah gastroenterostomi, juga jejunum.( Sylvia, A. Price,
2006).

2. Etiologi
Sebab-sebab yang pasti dari ulkus peptikum yang belum diketahui.
Beberapa teori yang menerangkan tentang tukak peptik, antara lain
sebagai berikut :
1. Asam getah lambung terhadap resistensi mukosa.
Tukak peptik kronia tidak mungkin terjadi lama tanpa adanya
getah lambung. Sebagai contoh berdasarkan penyelidikan yang
mengumpulkan banyak penderita dengan anemia pernisiosa disertai
dengan alkorida.

2. Golongan darah
Penderita dengan golongan darah O lebih banyak menderita tukak
duodeni jikadibandingkan dengan pada tukak lambung. Adapun
sebabnya belum diketahui dengan benar. Dan hasil penelitian
dilaporkan bahwa pada penderita dengan golongan darah O
kemunkinan terjadinya tukak duodeni adalah 38% lebih besar
dibandingkan golngan lainnya. Kerusakan di daerah piepilorus dapat
dihubungkan dengan golongan darah A, baik berupa tukak yang
biasa ataupun karsinoma. Sedangkan pada golongan darah O sering
ditemukan kelainan pada korpus lambung.

3. Susunan saraf pusat


Teori nerogen pada tukak peptik telah dibicarakan tahun 1959.
Berdasarkan pengalaman dari Chusing, erosi akut dan tukak pada
esofagus, lambung dan duodenum dapat dihubungkan dengan
kerusakan intrakranial, termasuk neoplasma primer atau sekunder
dan hiperensi maligna. Faktor kejiwaan dapat menyebabkan
timbulnya tukak peptik. Misalnya pada mereka yang psikisnya sangat
labil, pada ketegangan jiwa, emosi, mempunyai ambisi besar dan lain-
lainnya yang menyebabkan untuk hidup tidak wajar.

4. inflamasi bakterial
Dari dasar tukak telah dibakkan untuk menyelidiki
mikroorganisme yang diduga sebagai penyebabnya, tetapi tidak
ditemukan satu macam bakteripun. Selanjutnya pada hasil
pemeriksaan didapat bahwa inflamasi non bakteri atau inflamasi
khemis lebih besar dari pada inflamasi bakterial. Tukak yang spesifik
misalnya pada TBC dan sifilis disebabkan spesifik mikrooganisme.

5. Inflamasi non bakterial


Teori yang menyatakan bahwa inflamasi non bakterial sebagai
penyebab didasarkannya inflamasi dan kurvatura minor, antrum dan
bulbus duodenia yang mana dapat disebutkan juga antaral gasthritis,
sering ditemukan dengan tukak. Dan sebagai penyebab dari
gasthritisSendiri belum jelas. Tukak yang kronis ialah sebagai
kelanjutan dari tukak yang akut. Berdasarkan pemeriksaan histologis
ditemukan perubahan yang nyata dari erosi akut ke tukak yang akut.

6. Infark
Teori infark yang berdasarkan timbulnya kerusakan semacam
kawah, sering ditemukan pada otopsi. Adannya defek pada dinding
serta timbulnya infark, karena asam getah lambung dan dapat pula
ditunjukkan adanya jaringan trombose.
7. Faktor hormonal.
Banyak teori yang menerangkan adanya pengaruh-pengaruh
hormonal yang dapat menimbulkan tukak peptik.

8. Obat-obatan (drug induced peptic ulcer).

9. Aspirin, alkohol, tembakau dapat menyebabkan kerusakan sawar


mukosa lambung. Dari sekian banyak obat-obatan, yang paling sering
menyebabkan adalah golongan salisilat, yaitu menyebabkan kelainan
pada mukosa lambung. Phenylbutazon juga dapat menyebabkan
timbulnya tukak peptik, seperti halnya juga histamin, reseprin akan
merangsang sekresi lambung. Berdasarkan penyelidikan, ternyata
golongan salisilat hanya akan menyebabkan erosi lokal.

10. Herediter.
Berdasarkan penelitian di dalam keluarga ternyata bahwa tukak
peptik ini ada pengaruhnya dengan herediter. Terbukti bahwa dengan
orang tua/ famili yang menderita tukak, jika dibandingkan dengan
mereka yang orang tuanya sehat. Oleh sebab itu, family anamnesa
perlu ditegakkan

11. Berhubungan dengan penyakit lain.


a. Hernia diafrakmatika.
Pada hernia diafrakmatika, mukosa pada lingkaran hernia
mungkin merupakan tempat timbulnya erosi atau tukak.
b. Sirosis hati.
Tukak peptik ditemukan juga pada penderita penyakit hepar
terutama pada sirosis lebih banyak jika dibandingkan dengan orang
normal. Tukak duodeni pada kaum wanita dengan sirosis biliaris
ternyata bertambah, jika neutralisasi dari isi duodenum berkurang.
c. Penyakit paru-paru.
Frekuensi dari tukak yang kronis dengan TBC paru-paru sering
ditemukan. Bertambah banyaknya tukak peptik dapat
dihubungkan dengan bertambah beratnya emfisema dan
corpulmonale.

12. Faktor daya tahan jaringan.


Penurunan daya tahan jaringan mempermudah timbulnya ulkus. Daya
tahan jaringan dipengaruhi oleh banyaknya suplai darah dan cepatnya
regenerasi.

3. Patofisiologi
a. Penyebab Umum
Penyebab umum dari userasi peptikum adalah ketidakseimbangan
antara kecepatan sekresi dan lambung dan derajat perlindungan yang
diberikan oleh sawar mukosa gastroduodenal dan netralisasi asam
lambung oleh cairan duodenum. Semua daerah yang secara normal
terpapar oleh cairan lambung dipasok dengan baik oleh kelenjar
mukus, antara lain kelenjar ulkus campuran pada esophagus bawah
dan meliputi sel mukus penutup pada mukosa lambung: sel mukus
pada leher kelenjar lambung; kelenjar pilorik profunda (menyekresi
sebagian besar mukus): dan akhirnya kelenjar Brunner pada duodenum
bagian atas yang menyekresi mukus yang sangat alkali (Guyton, 1996).
Sebagian tambahan terhadap perlindungan mukus dari mukosa,
duodenum dilindungi oleh sifat alkali dari sekresi usus halus, terutama
adalah sekresi pancreas yang mengandung sebagian besar natrium
bikarbonat, berfungsi menetralisir asam klorida cairan lambung
sehingga menginaktifkan pepsin untuk mencegah pencernaan mukosa.
Sebagai tambahan, ion-ion bikarbonat disediakan dalam jumlah besar
oleh sekresi kelenjar Brunner yang terletak pada beberapa inci
pertama dinding duodenum dan didalam empedu yang berasal dari hati
(Lewis,2000). Akhirnya, dua mekanisme kontrol umpan balik
memastikan bahwa netralisasi cairan lambung ini sudah sempurna,
meliputi hal-hal sebagai berikut :
1) Jika asam yang berlebihan memasuki duodenum, secara refleks
mekanisme ini menghambat sekresi dan peristaltic lambung baik
secara persarafan maupun secara hormonal sehingga menurunkan
kecepatan pengosongan lambung.
2) 2Adanya asam pada usus halus memicu pelepasan sekretin pada
mukosa usus, kemudian melalui darah menuju pancreas untuk
menimbulkan sekresi yang cepat dari cairan pancreas- yang
mengandung natrium bikarbonat berkonsentrasi tinggi - sehingga
tersedia natrium bikarbonat untuk menetralisir asam.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ulkus peptikum dapat
disebabkan oleh salah-satu dari dua judul (10 sekresi asam dan
pepsin yang berlebihan oleh mukosa lambung, atau (2)
berkurangnya kemampuan sawar mukosa gastroduodenalisn
untuk berlindung dari sifat pencernaan dari kompleks asam
pepsin.

b. Penyebab khusus
1) Infeksi bakteri H. pylori
Dalamlima tahun terakhir, ditemukan paling sedikit 75% pasien
ulkus peptikum menderita infeksi kronis pada bagian akhir
mukosa lambung, dan bagian mukosa duodenumoleh bakteri
H.pylori. Sekali pasien terinfeksi, maka infeksi dapat berlangsung
seumur hidup kecuali bila kuman diberantas dengan obat anti
bacterial. Lebih lanjut lagi, bakteri dapat melakukan penetrasi
sawar mukosa lambung, baik dengan kemampuanya sendiri untuk
menembus sawar maupun dengan melepaskan enzin-enzim
pencernaan yang mencairkan sawar. Akibatnya, cairan asam kuat
pencernaan yang disekresi oleh lambung dapat berpenetrasi
kedalam jaringan epithelium dan dapat mencernakan epitel,
bahkan juga jaringan-jaringan di sekitarnya. Keadaan ini dapat
menuju pada kondisi ulkus peptikum (Sibernagl, 2007).

2) Peningkatan sekresi asam


Pada kebanyakan pasien yang menderita ulkus peptikum dibagian
awal duodenum, jumlah sekresi asam lambung lebih banyak dari
normal, bahkan sering dua kali lipat dari normal. Walaupun
setengah dari peningkatan asam ini mungkin disebabkan oleh
infeksi bakteri, percobaan pada hewan ditambah bukti adanya
perangsangan berlebihan sekresi asam lambung oleh saraf pada
manusia yang menderita ulkuspeptikum mengarah kepada sekresi
cairan yang berlebihan (Guyton, 1996).
Predisposisi peningkatan sekresi asam diantaranya adalah factor
psikogenik seperti pada saat mengalaami depresi atau kecemasan
dan merokok.

3) Konsumsi obat-obatan.
Obat-obat seperti OAINS/obat anti-inflamasi, nonsteroid- seperti
Indometasin, Ibupropen, Asam Salisilat- mempunyai efek
penghambatan siklo-oksigenase sehingga menghambat sintesis
prostaglandin dari asam arakhidonat secara sistemik- termasuk
pada epitel lambung dan duodenum. Pada sisi lain, hal ini juga
menurunkan sekresi HCO3 sehingga memperlemah perlindungan
mukosa(Sibernagl, 2007). Efek lain dari obat ini adalah merusak
mukosa local melalui difusi non-ionik ke dalam sel mukosa. Obat
ini juga berdampak terhadap agregasi trombosit sehingga akan
meningkatkan bahaya pendarahan ulkus (Kee, 1995).

4) Stress fisik yang disebabkan oleh syok, luka bakar, sepsis, trauma,
pembedahan, gagal napas, gagal ginjal, dan kerusakan susunan
syaraf pusat (Lewis, 20000. Bila kondisi stress ini berlanjut, maka
kerusakan epitel akan meluas dan kondisi ulkus peptikum menjadi
lebih parah.

5) Refluks usus-lambung dengan materi garam empedu dan enzzim


pancreas yang berlimpah dan memenuhi permukaan mukosa
dapat menjadi predisposisi kerusakan epitel mukosa.
Factor-faktor diatas menyebabkan kerusakan epitel mulai dari
erosi yang berlanjut pada ulkus akut, kemudian ulkus kronis, dan
terbentuknya jaringan parut; maka akan terjadi penetrasi dari
seluruh dinding lambung.

4. Klasifikasi

N Ulkus duodenal Ulkus Lambung


o
1 Insidens Insiden
Usia 30-60 tahun Biasanya 50 tahun lebih
Pria: wanita 3:1 Pria:wanita 2:1
Terjadi lebih sering dari pada ulkus
lambung
2 Tanda dan gejala Tanda dan gejala
Hipersekresi asam lambung Normal sampai hiposekresi
Dapat mengalami penambahan berat asam lambung
badan Penurunan berat badan dapat
Nyeri terjadi 2-3 jam setelah makan; terjadi
sering Nyeri terjadi sampai 1 jam
terbangun dari tidur antara jam 1 dan setelah
2 pagi. makan; jarang terbangun pada
Makan makanan menghilangkan nyeri malam hari;
Muntah tidak umum dapat hilang dengan muntah.
Hemoragi jarang terjadi dibandingkan Makan makanan tidak
ulkus membantu dan
lambung tetapi bila ada milena lebih kadang meningkatkan nyeri.
umum Muntah umum terjadi
daripada hematemesis. Hemoragi lebih umum terjadi
Lebih mungkin terjadi perforasi daripada
daripada ulkus duodenal, hematemesis
ulkus lambung lebih umum terjadi daripada
milena.

3 Kemungkinan Malignansi Kemungkinan malignansi


Jarang Kadang-kadang

4 Faktor Risiko Faktor Risiko


Golongan darah O, PPOM, gagal Gastritis, alkohol, merokok,
ginjal NSAID, stres
kronis, alkohol, merokok, sirosis,
stress.

5. Manifestasi Klinik
Secara umum pasien tukak gaster biasanya mengeluh dispesia.
Dispesia adalah suatu sindroma klinik / kumpulan keluhan, beberapa
penyakit saluran cerna seperti, mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati,
sendawa/terapan, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat merasa
kenyang. Dispesia secara klinis dibagi atas :
a. Dispesia akibat gangguan motilitas,
b. Dispesia akibat tukak:
c. Dispesia akibat refluks
d. Dispesia tidak spesifik.

Pasien tukak peptic memberikan ciri ciri keluhan seperti nyeri ulu
hati, rasa tidak nyaman/discomfort, disertai muntah. Pada tukak duodeni
rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit bisa
membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah pasien
makan dan minu obat antasida ( Hunger pain Food Relief = HPFR). Rasa
sakit tukak gaster yang timbul setelah makan, berbeda dengan tukak
duodeni yang merasa enak setelah makan, rasa sakit gaster sebelah kiri
dan rasa sakit tukak gaster sebelah kanan, garis tengah perut. Rasa sakit
bermula pada satu titik ( pointing sign) akhirnya difus bisa menjalar ke
punggung. Ini kemungkinan disebabkan penyakit bertambah berat atau
mengalami komplikasi berupa penetrasi tukak ke organ pancreas.

Walaupun demikian rasa sakit saja tidak dapat menegakkan


diagnosis tukak gaster karena dipepsis nontukak juga gak bisa
menimbulkan rasa sakit yang sama, juga tidak dapat digunakan lokasi
sakit sebelah kiri atau kanan tengah perut. Adapun tukak akibat obat
OAINS dan tukak pada usia lanjut/manula biasanya tidak menimbulkan
keluhan, hanya diketahui melalui komplikasinya berupa perdarahan dan
perporasi. Muntah kadang timbul pada tukak peptic disebabkan edema
dan spasme seperti tukak kanal pilorik (obstruksi gastric outlet). Tukak
prepilorik dan duodeni bisa menimbulkan gastric outlet obstruction
melalui terbentuknya fibrosis/oedem dan spasme.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan fisik mungkin ditemukan adanya nyeri, nyeri
epigastrik,dan nyeri tekan abdomen
b. Bising usus mungkin tidak ada
c. Pemeriksaan dengan barium terhadap saluran GI atas dpat
menunjukkan adanya ulkus, namun endoskopi adalah pemeriksaan
diagnostic pilihan
d. Endoskopi atas digunakan untuk mengidentifikasikan perubahan
inflamasi, ulkus dan lesi. Melalui endoskopi mukosa dapat secara
langsung dilihat dn biopsy didapatkan. Endoskopi telah diketahui
dapat mendeteksi beberapa lesi yang tidak terlihat melalui
pemeriksaan sinar X karenaukuran atau lokasinya.
e. Feces dapat diambil setiap hari sampai laporan laboratorium adalah
negative terhadap darah samar.
f. Pemeriksaan sekretori lambung merupakan nilai yang menentukan
dalam mendiagnosis aklorhidria (tidak terdapat asam hidroklorida
dalam getah lambung) dan sindrom zollinger-ellison. Nyeri yang
hilang dengan makanan atau antasida dan tidak adanya nyeri yang
timbul juga mengidentifikasikan adanya ulkus.
g. Adanya H. Pylori dapat ditemukan dengan biopsy dan histiologi
melalui kultur, meskipun hal ini merupakan tes laboratorium khusus.
Serta tes serologis terhadap antibody pada antigen H. pylori.

7. Penatalaksanaan
Beberapa metode dapat digunakan untuk mengontrol keasaman lambung
termasuk perubahan gaya hidup, obat-obatan, dan tindakan pembedahan.
a. Penurunan stress dan istirahat.
b. Penghentian merokok
c. Modifikasi diet, Air jeruk yang asam,coca cola,bir,kopi,tidak
mempunyai pengaruh userogenik pada mukosa lambung tapi dapat
menambah sekresi asam lambung.
d. Obat-obatan
e. Intervensi bedah

Penatalaksanaan Farmakologis
Antagonis Reseptor H2/ARH2.
Struktur homolog dengan histamine Mekanisme kerjanya memblokir efek
histaminsel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam
lambung.Inhibisi bersifat reversible.
Dosis terapeutik :
Simetidin : 2 x 400 mg/800 mg malam hari,dosis maintenance 400 mg
Ranitidine : 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg
Nizatidine : 1 x 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg
Famotidine : 1 x 40 mg malam hari
Roksatidine : 2 x 75 mg / 150 mg malam hari,dosis maintenance 75 mg
malam hari.

contoh-contoh obat anti ulkus


a. Antasida: Antasida mengurangi keasaman lambung, bereaksi dengan
asam hidroklorik,membentuk garam dan air untuk menghambat
aktivitas peptik dengan meningkatkan pH.

1) ACITRIL (Interbat)
Komposisi: Tiap tablet/5ml, suspensi: Magnesium hidroksida 200
mg, Almunium hidroksida 200 mg, Simetikon 20 mg, Gel 200
mg
Indikasi: Tukak Peptik, hiperasiditas saluran cerna, kembung,
dispepsia, gastritis. Perhatian: Hati-hati pada kerusakan fungsi
ginjal, diet rendah fosfat. Efek samping: Gangguan saluran cerna:
diare, sembelit. Interaksi obat: Mengurangi absorpasi tetraksilin,
Fe, antagonis H2, kuinidin, warfarin. Kemasan: Tablet 100 tablet,
Suspensi 120 ml.

2) ACTAL PLUS ( Valeant/Combiphar)


Komposisi:Almunium hidroksida 200 mg, Magnesium hidroksida
152 mg, Simetikon 25 mg. Indikasi: Tukak peptik, hiperasiditas
lambung, pirosis dan heartburn pada kehamilan.
Dosis: Tukak peptik : 2-4 tablet dapat diulang sesuai kebutuhan.
Hiperaditas lambung : 1-2 tablet, jam setelah makan atau
sesuai kebutuhan. Pirosis dan heartburn pada kehamilan : 1-2
tablet sebelum sarapan pagi dan jam setelah makan atau sesuai
kebutuhan.Efek samping: sembelit, diare, pada dosis tinggi dapat
menimbulkan obstruksi usus.
Kemasan: Tablet : 10 strip @ 10 tablet, 50 strip @ 10 tablet.

3) ANTASIDA DOEN (Medipharma)


Komposisi :Tiap tablet kunyah atau tiap 5 ml suspensi
mengandung : Gel Aluminium Hidroksida kering 258,7 mg (setara
dengan Aluminium Hidroksida) 200 mg, Magnesium Hidroksida
200 mg.
Indikasi :
Untuk mengurangi gejala-gejala yang berhubungan dengan
kelebihan asam lambung, gastritis, tukak lambung, tukak pada
duodenum dengan gejala-gejala.

8. Komplikasi
Komplikasi ulkus peptikum adalah ulkus yang
membandel(intraktibilitas), perdarahan, perforasi, dan obstruksi
pylorus. Setiap komplikasi ini merupakan indikasi pembedahan (Price,
1996).
a. Intraktibilitas.
Komplikasi ulkus peptikum yang paling sering adalah intraktibilitas,
yang berarti bahwa terapi medis telah gagal mengatasi gejala-gejala
secaa adekuat. Pasien dapat tergangu tidurnya oleh nyeri, kehilangan
waktu untuk bekerja, memerlukan perawatan di rumahsakit, atau
hanya tidak mampu mengikuti program terapi, intraktibilitas
merupakan alasan tersering untuk anjuran pembedahan. Perubahan
menjadi ganas tidak perlu terlalu dipertimbangkan baik untuk ulkus
lambung maupun untuk ulkus duodenum. Ulkus ganas sejak semula
sudah bersifat ganas, paling tidak menurut pengetahuan mutakhir.
Ulkus yang memulai perjalanan dengan jinak akan tanpa mengalami
degenerasi ganas.

b. Perdarahan
Perdarahan merupakan komplikasi ulkus peptikum yang sangat sering
terjadi, sedikitnya ditemukan pada 25% kasus selama perjalanan
penyakit (Guyton, 1996). Walaupun ulkus pada setiap tempat dapat
mengalami perdarahan, namun yang tersering adalah di dinding
posterior bulbus duodenum, karena pada tempat ini dapat terjadi
erosi arteria pankretiduodenalis atau arteria gastroduodenalis.
Gejala-gejala yang dihubungkan dengan perdarhan ulkus tergantung
pada kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah yang ringan dan
kronik dapat mengakibatkan anemia defisiensi besi. Feses dapat
positif dengan darah samara tau mungkin hitam dan seperti ter
(melena). Perdarahan massif dapat mengakibatkan hematemesis
(muntah darah), menimbulkan syok, dan memerlukan transfuse darah
serta pembedahan darurat.

c. Perporasi.
Kira-kira 5% dari semua ulkus akan mengalaminperporasi, dan
komplikasi ini bertanggung jawab atas sekitar 65% kematian akibat
ulkus peptikum (Price, 1995). Ulkus biasanya terjadi pada dinding
anterior duodenum atau lambung karena daerah ini hanya diliputi
oleh peritoneum. Pada kondisi klinik, pasien dengan komplikasi
perporasi datang dengan keluhan nyerimendadak yang parah pada
abdomen bagian atas. Dalam beberapa menit, timbul peritonitis kimia
akibat keluarnya asam lambung, pepsin, dan makanan yang
menyebabkan nyeri hebat. Kondisi nyeri tersebut yang menyebabkan
pasien takut bergerak atau bernafas. Auskultasi abdomen menjadi
senyap dan pada saat palpasi, abdomen mengeras seperti papan.
Perporasi akut biasanya dapat didiagnosis berdasarkan gejala-gejala
saja diagnosis dipastika melalui adanya udar bebas dalam rongga
peritoneal, dinyatakan sebagai bulan sabit translusen anatara
bayangan hati dan diafragma. Udara tentu saja masuk rongga
peritoneal melalui ulkus yang mengalami perporasi (Azis, 2008).

d. Obstruksi
Obstruksi pintu keluar lambng akibat peradangan dan edema,
pilospasme, atau jaringan parut terjadi pada sekitar 5% pasien ulkus
peptikum. Obstruksi timbul lebih sering pada pasien ulkus duodenum,
tetapi kadang terjadi pada ulkus lambung terletak dekat dengan
sfingter pylorus. Anoreksia mual dan kembung setelah makan
merupakan gejala-gejala yang sering timbul kehilangan berat badan
juga sering terjadi. Bila obstruksi bertambah berat, dapat timbul nyeri
dan muntah (Mineta,1983)

AE Kolitis Ulseratif
1. Pengertian
Kolitis Ulseratif adalah penyakit ulseratif dan inflamasi berulang
dari lapisan mukosa kolon dan rektum. (Brunner & Suddarth, 2002, hal
1106).
Kolitis Ulseratif adalah penyakit radang kolon nonspesifik yang
umumnya berlangsung lama disertai masa remisi dan eksaserbasi yang
berganti-ganti. (Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson, 2006, hal, 461)
Kolitis Ulseratif adalah penyakit inflamasi primer dari membran
mukosa kolon (Monica Ester,2002,hal,56).
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Kolitis
Ulseratif adalah suatu penyakit inflamasi pada lapisan mukosa kolon dan
rektum yang menyebabkan luka atau lesi dan berlangsung lama.

2. Anatomi dan Fisiologi Kolon


Usus besar atau kolon berbentuk saluran muscular berongga yang
membentang dari sekum hingga kanalis ani dan dibagi menjadi sekum,
kolon ( assendens, transversum, desendens, dan sigmoid ) dan rektum.
Katup ileosekal mengontrol masuknya kimus kedalam kolon, sedangkan
otot sfingter eksternus dan internus mengontrol keluarnya feses dari
kanalis ani. Diameter kolon kerang lebih 6,3 cm dengan panjang kurang
lebih 1,5 m.
Usus besar memiliki berbagai fungsi, yang terpenting adalah
absorbsi air dan elektrolit.Ciri khas dari gerakan usus adalah
pengadukan haustral. Gerakan meremas dan tidak progresif ini
menyebabkan isi usus bergerak bolak-balik, sehingga memberikan waktu
untuk terjadinya absorbsi.Peristaltik mendorong feses ke rektum dan
meenyebabkan peregangan dinding rektum dan aktivasi refleks defekasi.
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam kolon berfungsi
mencerna beberapa bahan, membantu penyerapan zat-zat gizi dan
membuat zat-zat penting.Beberapa penyakit serta antibiotik bisa
menyebabkan gangguan pada bakteri dalam usus besar. Akibatnya terjadi
iritasi yang menyebabkan dikeluarkanya lendir dan air sehingga
terjadilah diare ( Lestari Sri,Amk, Agus Priyanto, Amk, 2008, hal 60)

3. Etiologi

Etiologi kolitis ulseratif tidak diketahui. Faktor genetik tampaknya


berperan dalam etiologi karena terdapat hubungan familial. Juga
terdapat bukti yang menduga bahwa autoimunnita berperan dalam
patogenesis kolitis ulseratif. Antibody antikolon telah ditemukan dalam
serum penderita penyakit ini. Dalam biakan jaringan limposit dari
penderita kolitis ulseratif merusak sel epitel pada kolon.
Telah dijelaskan beberapa teori mengenai penyebab kolitis
ulseratif, namun tidak ada yang terbukti. Teori yang paling terkenal
adalah teori reaksi sistem imun tubuh terhadap virus atau bakteri yang
menyebabkan terus berlangsungnya peradangan dalam dinding usus.
Menderita kolitis ulseratif memang memiliki kelainan sistem imun,
tetapi tidak diketahui hal ini merupakan penyebab atau akibat efek ini,
kolitis ulseratif tidak sebabkan oleh distres emosional atau sensitifitas
terhadap makanan, tetapi faktor-faktor ini mungkin dapat memicu
timbulnya gejala pada beberapa orang. (Sylvia A. Price & Lorraine M.
Wilson, 2006, hal, 462).

4. Faktor Yang Mempengaruhi Kolitis

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kolitis yaitu :


a. Faktor genetik
Sebuah genetik komponen ke etiologi kolitis ulseratif dapat
didasarkan pada hipotesis berikut :
1) Agregasi dari kolitis ulseratif dalam keluarga
2) Insiden etnis perbedaan dalam insiden
3) Penanda genetik dan keterkaitan

b. Faktor-faktor lingkungan
Banyak hipotesis telah dibesarkan kontribusi lingkungan
kepatogenesis lingkungan kolitis ulseratif meliputi :

1) Diet : sebagai usus besar terkena banyak zat-zat makanan yang


dapat mendorong peradangan, faktor-faktor diet yang telah
dihipotesiskan untuk memainkan peran dalam patogenesis dari
kedua kolitis ulseratif dan penyakit crohn.
2) Diet rendah serat makanan dapat mempengaruhi insiden kolitis
ulseratif
3) Menyusui: ada laporan yang saling bertentangan perlindungan
menyusui dalam perkembangan penyakit inflamasi usus.

5. Patofisiologi
Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan inflamasi berulang
dari lapisan mukosa kolon dan rektum. Puncak insiden kolitis ulseratif
adalah pada usia 30 sampai 50 tahun.
Perdarahan terjadi sebagai akibat dari ulserasi. Lesi berlanjut,
yang terjadi satu secara bergiliran, satu lesi diikuti oleh lesi yang lainnya.
Proses penyakit mulai pada rektum dan akhirnya dapat mengenai seluruh
kolon. Akhirnya usus menyempit, memendek, dan menebal akibat
hipertrofi muskuler dan deposit lemak. (Brunner & Suddarth, 2002, hal
1106).
Kolitis ulseratif merupakan penyakit primer yang didapatkan pada
kolon, yang merupakan perluasan dari rektum. Kelainan pada rektum
yang menyebar kebagian kolon yang lain dengan gambaran mukosa yang
normal tidak dijumpai. Kelainan ini akan behenti pada daerah ileosekal,
namun pada keadaan yang berat kelainan dapat terjadi pada ileum
terminalis dan appendiks. Pada daerah ileosekal akan terjadi kerusakan
sfingter dan terjadi inkompetensi. Panjang kolon akan menjadi 2/3
normal, pemendekan ini disebakan terjadinya kelainan muskuler
terutama pada kolon distal dan rektum. Terjadinya striktur tidak selalu
didapatkan pada penyakit ini, melainkan dapat terjadi hipertrofi lokal
lapisan muskularis yang akan berakibat stenosis yang reversibel
Lesi patologik awal hanya terbatas pada lapisan mukosa, berupa
pembentukan abses pada kriptus, yang jelas berbeda dengan lesi pada
penyakit crohn yang menyerang seluruh tebal dinding usus. Pada
permulaan penyakit, timbul edema dan kongesti mukosa. Edema dapat
menyebabkan kerapuhan hebat sehingga terjadi perdarahan pada trauma
yang hanya ringan, seperti gesekan ringan pada permukaan.
Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses kriptus pecah
menembus dinding kriptus dan menyebar dalam lapisan submukosa,
menimbulkan terowongan dalam mukosa. Mukosa kemudian terlepas
menyisakan daerah yang tidak bermukosa (tukak). Tukak mula- mula
tersebar dan dangkal, tetapi pada stadium yang lebih lanjut, permukaan
mukosa yang hilang menjadi lebih luas sekali sehingga menyebabkan
banyak kehilangan jaringan, protein dan darah. (Harrison, 2000, hal 161)

6. Manifestasi Klinik
Kebanyakan gejala kolitis ulseratif pada awalnya adalah berupa buang
air besar yang lebih sering. Gejala yang paling umum dari kolitis ulseratif
adalah sakit perut dan diare berdarah. Pasien juga dapat mengalami :
a. Anemia
b. Fatigue/ kelelahan
c. Berat badan menurun
d. Hilangnya nafsu makan
e. Hilangnya cairan tubuh dan nutrisi
f. Lesi kulit ( eritoma nodusum )
g. Lesi mata ( uveitis )
h. Buang air besar beberapa kali dalam sehari ( 10-20 kali sehari )
i. Terdapat darah dan nanah dalam kotoran
j. Perdarahan rektum
k. Kram perut
l. Sakit pada persendian
m. Anoreksia
n. Dorongan untuk defekasi
o. Hipokalsemia (Brunner & Suddarth, 2002, hal 1106).

7. Komplikasi
a. Megakolon toksik
b. Perforasi
c. Hemoragi
d. Neoplasma malignan
e. Pielonefritis
f. Nefrolitiasis
g. Kalanglokarsinoma
h. Artritis
i. Retinitis, iritis
j. Eritema nodusum (Brunner & Suddarth, 2002)
8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
1) Terapi Obat obatan
Terapi obat-obatan. Obat-obatan sedatif dan
antidiare/antiperistaltik digunakan untuk mengurangi peristaltik
sampai minimum untuk mengistirahatkan usus yang terinflamasi.
Terapi ini dilanjutkan sampai frekuensi defekasi dan kosistensi
feses pasien mendekati normal.
Sulfonamida seperti sulfasalazin (azulfidine) atau sulfisoxazol
(gantrisin) biasanya efektif untuk menangani inflamasi ringan dan
sedang. Antibiotik digunakan untuk infeksi sekunder, terutama
untuk komplikasi purulen seperti abses, perforasi, dan peritonitis.
Azulfidin membantu dalam mencegah kekambuhan. (Brunner &
Suddarth, 2002, hal 1107-1108).

2) Pembedahan
Pembedahan umunya digunakan untuk mengatasi kolitis ulseratif
bila penatalaksaan medikal gagal dan kondisi sulit diatasi,
intervensi bedah biasanya diindikasi untuk kolitis ulseratif.
Pembedahan dapat diindikasikan pada kedua kondisi untuk
komplikasi seperti perforasi, hemoragi, obstruksi megakolon,
abses, fistula, dan kondisi sulit sembuh.(Cecily Lynn betz & Linda
sowden. 2007, hal 323-324)

b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Masukan diet dan cairan
Cairan oral, diet rendah residu-tinggi protein-tinggi kalori, dan
terapi suplemem vitamin dan pengganti besi diberikan untuk
memenuhui kebutuhan nutrisi. Ketidak- seimbangan cairan dan
elektrolit yang dihubungkan dengan dehidrasi akibat diare, diatasi
dengan terapi intravena sesuai dengan kebutuhan. Adanya
makanan yang mengeksaserbasi diare harus dihindari. Susu dapat
menimbulkan diare pada individu intoleran terhadap
lactose.Selain itu makanan dingin dan merokok juga dapat
dihindari, karena keduanya dapat meningkatkan morbilitas usus.
Nutrisi parenteral total dapat diberikan. (Brunner & Suddarth,
2002, hal 1106-1107).

2) Psikoterapi
Ditunjukkan untuk menentukan faktor yang menyebabkan stres
pada pasien, kemampuan menghadapi faktor-faktor ini, dan upaya
untuk mengatasi konflik sehingga mereka tidak berkabung karena
kondisi mereka. (Brunner & Suddarth, 2002, hal 1108).

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran Radiologi
1) Foto polos abdomen
2) Barium enema
3) Ultrasonografi ( USG )
4) CT-scan dan MRI

b. Pemeriksaan Endoskopi ( Pierce A.Grace & Neil.R.Borley, 2006, hal


110 )

10. Pemeriksaan Diagnostik


a. Contoh feses ( pemeriksaan digunakan dalam diagnosa awal dan
selama penyakit ) : terutama mengandung mukosa, darah, pus dan
organisme usus khususnya entomoeba histolytica.
b. Protosigmoi doskopi : memperlihatkan ulkus, edema, hiperermia, dan
inflamasi.
c. Sitologi dan biopsy rectal membedakan antara pasien infeksi dan
karsinoma. Perubahan neoplastik dapat dideteksi, juga karakter
infiltrat inflamasi yang disebut abses lapisan bawah.
d. Enema barium, dapat dilakukan setelah pemeriksaan visualisasi
dilakukan, meskipun jarang dilakukan selama akut, tahap kambuh,
karena dapat membuat kondisi eksasorbasi.
e. Kolonoskopi : mengidentifikasi adosi, perubahan lumen dinding,
menunjukan obstruksi usus.
f. Kadar besi serum : rendah karena kehilangan darah
g. ESR : meningkat karena beratnya penyakit. Trombosis : dapat terjadi
karena proses penyakit inflamasi.
h. Elektrolit : penurunan kalium dan magnesium umum pada penyakit
berat. (Brunner & Suddarth, 2002).

AF Konstipasi
1. Definisi
Konstipasi merupakan defekasi tidak teratur yang abnormal, dan
juga pengerasan feses tak normal yang membuat pasasenya kulit dan
kadang menimbulkan nyeri. Jenis konstipasi ini disebut sebagai
konstipasi kolonik.
Kebanyakan individu sedikitnya melakukan defekasi sekali dalam sehari.
Rentang normal, rentang normal, adalah tiga kali defekasi dalam sehari
atau kurang dalam seminggu. Pada individu yang mengalami konstipasi,
defekasi terjadi secara tidak teratur, disertai feses yang keras. Beberapa
orang yang mengalami konstipasi kadang-kadang menghasilkan feses
cair sebagai akibat dari iritasi yang disebabkan oleh massa feses yang
keras dan kering dalam kolon. Feses ini mengandung banyak sekali
mukus, yang disekresi oleh kelenjar dalam kolon dalam responsnya
terhadap massa pengiritasi ini.

2. Etiologi
Penyebab konstipasi biasanya multifaktor, misalnya : Konstipasi
sekunder (diit, kelainan anatomi, kelainan endokrin dan metabolik,
kelainan syaraf, penyakit jaringan ikat, obat, dan gangguan psikologi),
konstipasi fungsional (konstipasi biasa, Irritabel bowel syndrome,
konstipasi dengan dilatasi kolon, konstipasi tanpa dilatasi kolon ,
obstruksi intestinal kronik, rectal outlet obstruction, daerah pelvis yang
lemah, dan ineffective straining), dan lain-lain (diabetes melitus,
hiperparatiroid, hipotiroid, keracunan timah, neuropati, Parkinson, dan
skleroderma).
a. Konstipasi sekunder
1) ola hidup: Diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air
besar yang buruk, kurang olahraga.
2) Kelainan anatomi (struktur) : fissura ani, hemoroid, striktur, dan
tumor, abses perineum, megakolon.
3) Kelainan endokrin dan metaolik : hiperkalsemia, hipokalemia,
hipotiroid, DM, dan kehamilan.
4) Kelainan syaraf : stroke, penyakit Hirschprung, Parkinson,
sclerosis multiple, lesi sumsum tulang belakang, penyakit Chagas,
disotonomia familier.
5) Kelainan jaringan ikat : skleroderma, amiloidosis, mixed
connective-tissue disease.
6) Obat : antidepresan (antidepresan siklik, inhibitor MAO), logam
(besi, bismuth), anti kholinergik, opioid (kodein, morfin), antasida
(aluminium, senyawa kalsium), calcium channel blockers
(verapamil), OAINS (ibuprofen, diclofenac), simpatomimetik
(pseudoephidrine), cholestyramine dan laksan stimulans jangka
panjang.
7) Gangguan psikologi (depresi).

b. Konstipasi fungsional = kontipasi simple atau temporer


1) Konstipasi biasa : akibat menahan keinginan defekasi.
2) Irritabel bowel syndrome
3) Konstipasi dengan dilatasi kolon : idiopathic megacolon or
megarektum
4) Konstipasi tanpa dilatasi kolon : idiopathic slow transit
constipation
5) Obstruksi intestinal kronik.
6) Rectal outlet obstruction : anismus, tukak rectal soliter,
intusesepsi.
7) Daerah pelvis yang lemah : descending perineum, rectocele.
8) Mengejan yang kurang efektif (ineffective straining)

c. Penyebab lain
1) Cedera saraf spinalis yang mempengaruhi sistem saraf otonom
2) Kondisi dinding usus yang tidak memiliki saraf
3) Faktor psikologis efek inhibisi pada intervasi otonom.
4) Tumor, penyakit divertikel, hemoroid, abnormalitas kongenital.
5) Kadar progesteron yang menyebabkan penurunan motilitas pada
saluran cerna
6) Diabetes melitus, hipotiroidisme

3. Patofisiologi
Patofisiologi konstipasi masih belum dipahami. Konstipasi diyakini,
berhubungan dari pengaruh dari sepertiga fungsi utama kolon:
a. transpor mukosa (sekresi mukosa memudahkan gerakan isi kolon),
b. aktivitas mioelektrik (pencampuran massa rektal dan kerja propulsif),
c. proses defekasi.

Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal,


melalui empat tahap kerja: rangsangan refleks penyekat rektoanal.
Relaksasi otot sfigter internal, relaksasi sfigter eksternal dan otot dalam
region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen. Gangguan salah
satu dari empat proses ini dapat menimbulkan konstipasi.

Apabila dorongan untuk defekasi diabaikan, memran mukosa rektal dan


muskulatur menjadi tidak peka terhadap adanya massa fekal, dan
akibatnya rangsangan yang lebih kuat diperlukan untuk menghasilkan
dorongan peristaltik tertentu agar terjadi defekasi. Efek awal retensi
fekal aini adalah untuk menimbulkan kepekaan kolon, dimana pada tahap
ini sering mengalami spasme, khususnya setelah makan, sehingga
menimbbulkan nyeri kolik midabdominal atau abdomen bawah. Setelah
proses ini berlangsung sampai beberapa tahun, kolon kehilangan tonus
dan menjadi sangat tidak reaponsif terhadap rangsang normal, akhirnya
terjadi konstipasi. Atoni usus juga terjadi pada proses penuaan, dan hal
ini dapat diakibatkan oleh penggunaan laksatif yang berlebihan.

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis mencakup distensi abdomen, borborigimus (gemuruh
usus), rasa nyeri dan tekanan, penurunan nafsu makan, sakit kepala,
kelelahan, tidak dapat makan, sensasi pengosongan tidak lengkap,
mengejan saat defekasi, dan eliminase volume feses sedikit, keras, dan
kering.

5. Penatalaksanaan
Pengobatan ditujukan pada penyebab dasar konstipase.
Penatalaksanaan mencakup penghentian penyalahgunaan laksatif,
menganjurkan memasukkan serat dalam diet dengan peningkatan asupan
cairan, dan pembuatan program latihan rutin untuk memperkuat otot
abdomen. Umpan balik biologis adalah teknik yang dapat digunakan
untuk membantu pasien belajar merelaksasi mekanisme sfingter untuk
mengeluarkan feses. Penambahan 6 sampai 12 sendok teh penuh sekam
yang tidak diproses setiap hari kedalam diet sangat dianjurkan,
khususnya untuk pengobatan konstipasi pada lansia. Konseling diet harus
harus menganjurkan diet tinggi sisa untuk menimbulkan gerakan yang
cepat pada kolon dan feses dalam jumlah banyak dan lembut

Apabila penggunaan laksatif diperlukan, salah satu dari berikut ini dapat
dilakukan: preparat pembentuk bulk, preparat salin dan osmotik,
lubrikan, stimulan, atau pelunak feses. Kerja fisologis dan penyuluhan
pasien yang dihubungkan dengan laksatif. Enema dan supositoria rektal
secara umum tidak dianjurkan untuk konstipasi dan harus diberikan
untuk pengobatan pada impaksi atau persiapan usus, untuk pembedahan
atau prosedur diagnostik. Apabila penggunaan laksatif jangka panjang
benar-benar diperlukan, preparat pembentuk-bulk diberikan dalam
kombinasi dengan laksatif osmotik.

Terapi obat-obatan khusus dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi


motorik intrinsik usus. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
penggunaan preparat prokinetik seperti Cisaprinde dapat meningkatkan
frekuensi defekasi.

6. Pengobatan
a. Laksans
Sebagian besar penderita dengan konstipasi ringan biasanya tidak
membutuhkan pemberian laksans. Namun bagi mereka yang telah
melakukan perubahan gaya hidup, tetapi masih tetap mengalami
konstipasi, pemberian laksans dan atau klisma untuk jangka waktu
tertentu dapat dipertimbangkan. Pengobatan ini dapat menolong
sementara untuk mengatasi konstipasi yang telah berlangsung lama
akibat usus yang malas. Pada anak-anak, pengobatan laksans jangka
pendek, untuk merangsang supaya usus mau bergerak secara teratur,
juga dapat dipakai untuk mencegah konstipasi. Laksans dapat
diberikan per oral, dalam bentuk cairan, tablet, bubuk. Ada beberapa
macam cara kerjanya.4,5,10

b. Bulk forming agents/hydrophilic


Digunakan untuk meningkatkan masa tinja, hingga akan merangsang
terjadinya perilstatik. Bahan ini biasanya cukup aman, tetapi dapat
mengganggu penyerapan obat lain. Laksans ini juga dikenal dengan
nama fiber supplements, dan harus diminum dengan air. Dalam
usus bahan ini akan menyerap air, dan membuat tinja menjadi lebih
lunak. Beberapa contoh : 4,5,10

c. Emollients / softeners / surfactant / wetting agents


Menurunkan tekanan permukaan tinja, membantu penyampuran
bahan cairan dan lemak, sehingga dapat melunakkan tinja. Pelunak
tinja (stool softeners) dapat melembabkan tinja, dan menghambat
terjadinya dehidrasi. Laksans ini banyak dianjurkan pada penderita
setelah melahirkan atau pasca bedah Beberapa contoh: Docusate
(Colace, Surfak). Mineral oil. Polaxalko

d. Emollient stool softeners in combination with stimulants / irritant


Menyebabkan tinja menjadi lunak. Stimulan meningkatkan aktivitas
perilstatik saluran cerna, menimbulkan kontraksi otot yang teratur
(rhythmic). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fenolftalen,
yang dikandung dalam beberapa laksans stimulans, ternyata dapat
meningkatkan resiko kanker. FDA telah melakukan pelarangan
penjualan bebas produk yang mengandung bahan fenolftalen ini.
Sebagian besar produsen laksans saat ini telah mulai mengganti
fenolftalen dengan bahan yang lebih aman. Beberapa contoh :
Docusate sodium and casanthranol combination (Peri-Colace, Diocto
C, SilaceC), Bisacodyl (Dulcolax)

e. Osmotic laxatives
Mempunyai efek menahan cairan dalam usus, osmosis, atau
mempengaruhi pola distribusi air dalam tinja. Laksans jenis ini
mempunyai kemampuan seperi spons, menarik air ke dalam kolon,
sehingga tinja mudah melewati usus.

7. Pencegahan
a. Jangan jajan di sembarang tempat.
b. Hindari makanan yang kandungan lemak dan gulanya tinggi.
c. Minum air putih minimal 1,5 sampai 2 liter air (kira-kira 8 gelas)
sehari dan cairan lainnya setiap hari.
d. Olahraga, seperti jalan kaki (jogging) bisa dilakukan. Minimal 10-15
menit untuk olahraga ringan, dan minimal 2 jam untuk olahraga yang
lebih berat.
e. Biasakan buang air besar secara teratur dan jangan suka menahan
buang air besar.
f. Konsumsi makanan yang mengandung serat secukupnya, seperti
buah-buahan dan sayur-sayuran.
g. Tidur minimal 4 jam sehari.
AG Peritonitis
1. Pengertian
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga
abdomen dan meliputi visera merupakan penyakit berbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronis/ kumpulan tanda dan gejala,
diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular,
dan tanda-tanda umum inflamasi.

Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membrane serosa


yang melingkupi kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnya.
Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan
sekitarnyah melalui perforasi usus seperti rupture appendiks atau
divertikulum karena awalnya peritonitis merupakan lingkungan yang
steril. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh materi kimia yang irritan
seperti asam lambung dari perforasi ulkus atau empedu dari perforasi
kantung empeduatau laserasi hepar. Pada wanita sangat dimungkinkan
peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba falopi atau
rupturnya kista ovari. Kasus peritonitis akut yang tidak tertangani dapat
berakibat fatal.

2. Etiologi
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial
Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena
infeksi intra abdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites
terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehinggan menjadi
translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe
mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi
bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar
protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan
abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul
komponen asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi
adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%,
spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram
positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain
15%, dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob
dan infeksi campur bakteri.

Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi


atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi
bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang
berasal dari saluran cerna bagian atas.

Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah


mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan
berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya
timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga
terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena
iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan
substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organ-organ
dalam (Misalnya penyakit Crohn).

3. Manifestasi klinis / Tanda dan Gejala


Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam
tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi,
dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya
memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi.
Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita
secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau
tegang karena iritasi peritoneum.

Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan


nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis
ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi
(misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau
HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial,
ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita
dnegan paraplegia dan penderita geriatric.

4. Komplikasi
a. Ketidakseimbangan elektrolit
b. Dehidrasi
c. Asidosis metabolic
d. Alkalosis respiratorik
e. Syok

5. Penatalaksanaan/Pengobatan
Penggantian cairan, koloid dan elektrolit adalah focus utama. Analgesik
diberikan untuk mengatasi nyeri anti emetic dapat diberikan sebagai
terapi untuk mual dan muntah. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau
masker akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi kadang-
kadang inkubasi jalan napas dan bantuk ventilasi diperlukan.

Tetapi medikamentosa nonoperatif dengan terapi antibiotik, terapi


hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan metabolic dan
terapi modulasi respon peradangan. Penatalaksanaan pasien trauma
tembus dengan hemodinamik stabil di dada bagian bawah atau abdomen
berbeda-beda namun semua ahli bedah sepakat pasien dengan tanda
peritonitis atau hipovolemia harus menjalani explorasi bedah, tetapi hal
ini tidak pasti bagi pasien tanpa tanda-tanda sepsis dengan hemodinamik
stabil. Semua luka tusuk di dada bawah dan abdomen harus dieksplorasi
terlebih dahulu. Bila luka menembus peritoneum, maka tindakan
laparotomi diperlukan.

Prolaps visera, tanda-tanda peritonitis, syok, hilangnya bising usus,


terdapat darah dalam lambung, buli-buli dan rectum, adanya udara bebas
intraperitoneal dan lavase peritoneal yang positif juga merupakan
indikasi melakukan laparotomi. Bila tidak ada, pasien harus diobservasi
selama 24-48 jam. Sedangkan pada pasien luka tembak dianjurkan agar
dilakukan laparotomi

6. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara
perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang
bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa,
yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran


mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan
agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai
mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya
dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk
mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal,
produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan
curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen


mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh
darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan
didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh
organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah
dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta
muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih
lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum


atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan
perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi
usus.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi
peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan.
Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial,
pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau
ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang


disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut
dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh
asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan
limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi
ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi,
perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam
selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan
malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan
keadaan umum yang merosot karena toksemia.

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang


mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis
generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan
menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini
tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul
mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan
peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas.
Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut
pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut
fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan
peritoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini
akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi
peritonitis bakteria.

Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen


apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur
karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus
tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen
dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis
bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga
menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal
maupun general.

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila
mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial
yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari
gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses.
Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila
perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan
terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala
peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula
tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritoneum.

AH Hemoroid
1. Definisi
Hemoroid adalah pelebaran vena didalam pleksus hemoroidalis yang
tidak merupakan keadaan patologi. Hanya apabila hemoroid ini
menyebabkan keluhan atau penyulit, diperlukan tindakan.
Hemoroid dibedakan antara intern dan yang ekstern. Hemoroid intern
adalah leksus v.hemoroidalis superior diatas garis mukokutan dan
ditutupi oleh mukosa. Hemoroid intern ini merupakan bantalan vaskuler
didalam jaringan sub mukosa pada rektum sebelah bawah. Sering
hemoroid terdapat pada 3 posisi primer, yaitu kanan depan, kanan
belakang, dan kiri lateral.
Hemoroid yang lebih kecil terdapat diantara ketiga letak primer tersebut.
Hemoroid ekstern yang merupakan pelebaran dan penonjolan fleksus
hemoroid inferior terdapat disebelah distal garis mukokutan didalam
jaringan dibawah epitel anus. (R. Sjamsuhidajat, hal 910 - 1997)
Hemoroid adalah suatu pelebaran pembuluh darah balik (vena) pada
anus/dubur, teraba seperti bola atau benjolan kecil yang dapat
menimbulkan rasa nyeri, gatal, dan ketidak nyamanan. Hemoroid adalah
pelebaran vena didalam fleksus hemoroidalis yang tidak merupakan
keadaan patologik. (Deden Dermawan, hal 101 - 2010)

2. Etiologi
a. Obstipasi (konstipasi/sembelit) yang menahun.
b. Penyakit yang membuat penderita sering mengejang, misalnya:
pembesaran prostat jinak.
c. Penekanan kembali aliran darah vena, seperti pada kanker dubur,
radang dubur, penyempitan dubur, kenaikan takanan pembuluh darah
porta (didalam rongga perut), sakit lever jenis sirosis (mengkerut),
lemah jantung, dan limpa bengkak.
d. Bendungan pada rongga pinggul akibat tumor rahim, atau kehamilan.
e. Banyak duduk.
f. Diare menahun.
g. Peregangan. Ini misalnya terjadi pada seseorang yang suka
melakukan hubungan seksual yang tidak lazim yaitu anogenetal.
(Deden Dermawan, hal 103 - 2010)

Kondisi hemoroid biasanya tidak berhubungan dengan kondisi medis atau


penyakit, namun ada beberapa predisposisi penting yang dapat
meningkatkan risiko hemoroid sebagai berikut ini:
a. peradangan pada usus, seperti pada kondisi kolitis ulseratif atau
penyakit crohn.
b. Kehamilan, berhubungan dengan banyak masalah anorektal.
c. Konsumsi makanan rendah serat.
d. Obesitas.
e. Hipertensi portal.
(Arif Muttaqin, hal 690 2011)

3. Manifestasi klinik
a. Perdarahan (bewarna merah terang saat defekasi).
b. Nyeri akibat inflamasi dan edema yang disebabkan oleh trombosis
(hemoroid eksterna).
c. Rasa gatal pada daerah anus.

Hemoroid mempunyai tanda dan gejala yang berbeda pada tiap tingkat
a. Hemoroid tingkat 1 : varises 1 atau lebih vena hemoroidalis interna
dengan gejala perdarahan berwarna segar pada saat buang air besar.
b. Hemoroid tingkat 2 : varises dari 1 at lebih vena hemoroidalis interna
yang keluar dari dubur pada saat devekasi tapi bisa masuk kembali
dengan sendirinya.
c. Hemoroid tingkat 3 : seperti tingkat 2 tetapi dapat masuk spontan,
harus didorong kembali.
d. Hemoroid tingkat 4 : telah terjadi inkaserasi.
(Deden Dermawan, hal 103-104 2010)

4. Patofisiologi
Drainase daerah anorektal adalah melalui vena-vena hemoroidalis
superior dan inverior. Vena hemoroidalis superior mengembalikan daerah
kevena mesenterika inverior dan berjalan sub mukosa dimulai dari
daerah anorektal dan berada dalam bagian yang disebut kolumna
murgagni, berjalan memanjang secara radier sambil mengadakan
anostomosis. Ini menjadi varises disebut hemoroid interna. Lokasi primer
hemoroid interna (pasien berda dalam posisi litotomi) terdapat pada 3
tempat yaitu anterior kanan, posterior kanan, dan lateral kiri. Hemoroid
yang lebih kecil terjadi diantara tempat-tempat tersebut. V. Hemoroidalis
inferior memulai venular dan pleksus-pleksus kecil didaerah anus dan
distal dari garis anorektal. Pleksus ini terbagi menjadi dua dan pleksus
inilah yang menjadi varises dan disebut hemoroid eksterna hemoroit
timbul akibat kongesti vena yang disebabkan gangguan aliran balik dari
vena hemoroidalis. Beberapa faktor etiologi telah diajukan termasuk
konstipasi atau diare, sering mengejang, kongesti pelvis pada kehamilan.
Pembesaran prostat, fibroma uteri, dan tumor rektum. Penyakit hati
kronik yang disertai hipertensi portal sering mengakibatkan hemoroid,
karena vena hemoroidalis superiormengalirkan darah kedalam sistem
portal. Selain itu sistem portal tidak mempunyai katub sehingga mudah
terjadi aliran balik. (Deden Dermawan, 104 2010)

5. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaa laboratorium
Pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mendeteksi kadar
hematokrit dan adanya anemia.
b. Pemeriksaan anoskopi.

Penilaian dengan anoskopi diperlukan untuk melihat hemoroid interna


yang tidak menonjol keluar. Anoskopi dimasukkan dan diputar untuk
mengamati keempat kuadran. Hemoroid interna terlihat sebagai
struktur vaskular yang menonjol kedalam lumen. Apabila penderita
diminta mengedan sedikit, ukuran hemoroid akan membesar dan
penonjolan atau prolaps akan lebih nyata.

c. Pemeriksaan proktosigmoidoskopi
Proktosigmoidoskopi perlu dikerjakan untuk memastikan bahwa
keluhan bukan disebabkan oleh prows radang atau prows keganasan
ditingkat yang lebih tinggi, karena hemoroid merupakan keadaan
fisiologik saja atau tanda yang menyertai. (Arif Muttaqin, hal 689
2011)

6. penatalaksanaan mandiri perawat


a. Pasien dengan hemoroid ( tingkat I dan II) dapat diobati dengan
tindakan lokal dan anjuran diit.
1) Hemoroid tingkat 1 : varises 1 atau lebih vena hemoroidalis
interna dengan gejala perdarahan berwarna segar pada saat
buang air besar.
2) Hemoroid tingkat 2 : varises dari 1 at lebih vena hemoroidalis
interna yang keluar dari dubur pada saat devekasi tapi bisa masuk
kembali dengan sendirinya.
3) Hemoroid tingkat 3 : seperti tingkat 2 tetapi dapat masuk spontan,
harus didorong kembali.
4) Hemoroid tingkat 4 : telah terjadi inkaserasi.
b. Mencegah Obstipasi : dengan diet rendah sisa, banyak makan-
makanan berserat seperti buah dan sayur, banyak minum dan
mengurangi daging. Hindari mengejan berlebihan saat defekasi.
c. Rendam duduk dengan salep dan supositoria yang mengandung
anestesi serta tirah baring (merupakan tindakan yang berfungsi untuk
mengurangi pembesaran)
d. Menjaga personal hygiene yang baik (anus)
e. Olah raga teratur
f. Mengurangi/mencegah stres.
(Deden Dermawan, hal 107 - 2010)

7. Penatalaksanaan medis
a. Pada derajat I pengobatan masih dapat dilakukan secara konservativ
yaitu dengan obat minum ; salep ; supositoria . di samping itu
perubahan gaya hidup dan makan dengan banyak makan makanan
berserat dan mengusahakan supaya buang air besar lancar dan faeces
tidak keras.

b. Pada derajat II pengobatan seperti pada derajat I biasanya sudah


tidak berhasil. Disini dapat dilakukan tindakan penyuntikan,
pengikatan dengan karet khusus (rubberband ligation) ; IRC (Infared
coagulation) atau pemanasan ; DGHAL (Doppler Guided Hemorrhoidal
Artery Ligation ) adalah pengikatan pembuluh darah wasir dibawah
USG Doppler. Pada dasarnya tujuan tindakan-tindakan diatas adalah
untuk mengecilkan Hemoroid itu dan umumnya dapat dilakukan
dalam rangka rawat jalan.

c. Pada derajat III pun jika tidak terlalu banyak atau terlalu besar masih
dapat dilakukan tindakan sperti diatas. Tetapi jika wasir sudah
menyeluruh atau besar, maka pengobatan yang terbaik adalah dengan
jalan operasi.
d. Operatif : hemoroidektomi adalah eksisi hanya pada jaringan yang
menonjol dan eksisi konserfatif kulit serta anoderm normal.
Pada operasi wasir yang membengkak ini dipotong dan dijahit
biasanya dalam anaestesie spinal (pembiusan hanya sebatas pusar
kebawah) sehingga pasien tidak merasa sakit, tapi tetap sadar.
Ada dua metode operasi : yang pertama setelah hemoroid dipotong,
tepi sayatan dijahit kembali. Pada metode yang kedua dengan alat
stapler hemoroid dipotong dan dijahit sekaligus. Keuntungan dari
metode kedua ini adalah rasa sakit yang jauh berkurang dari pada
metode pertama meskipun pada operasi wasir dengan metode
pertama pun rasa sakit sudah berkurang dibandingkan cara operasi
10-20 tahun yang lalu.

e. Infeksi : berikan antibiotik per oral

f. Nyeri terus menerus : berikan supositoria atau salep rektal untuk


anestesi dan pelembab kulit.

g. Melancarkan defekasi : diberikan cairan parafin atau larutan


magnesium sulfat 10%.

h. Hemoroid dapat dibuat nekrosis dengan cara membekukan dengan


CO2 dan N2O, teknik ini tidak begitu banyak dipakai karena sulit
mengontrol mukosa yang terkelupas dan timbulnya bau yang tidak
enak dari anus. (Deden Dermawan, hal 105-106 2010)
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C. (2000). Keperawatan Medikal-Bedah ; Buku Saku untuk


Brunner dan Suddarth, EGC, Jakarta.
Charles, J.Reeves, dkk. 2001. Buku 1 Keperawatan Medikal Bedah Ed. I.
Salemba Medika. Jakarta.
Crowin, Elizabeth J. 2002. Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Dermawan, deden, dkk.2010.Keperawatan Medikal Bedah (sistem
Pencernaan).Surakarta.Gosyen Publishing
Dermawan, Deden, Tutik Rahayuningsih. Keperawatan Medikal Bedah (Sistem
Pencernaan). 2010. Penerbit Gosyen Publishing. Yogyakarta.
Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006 Prima Medika : Jakarta
Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Grace, Pierce & Neil Borley. 2005. At a glance ilmu bedah edisi ketiga.Jakarta
:Erlangga
Lusianah, Suratun.2010. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Trans Info Media: Jakarta
Mansjoer, Arief. (1999). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Media Aesculapius;
Jakarta
Mutaqqin, Arif dan Kumala sari. 2011. Gangguan gastrointestinal Aplikasi
Asuhan keperawatan medikal bedah. Jakarta :Salemba Medika.
Muttaqin Arif,dkk.2001.Gangguan Gastro Intestinal.Jakarta.Salemba Medika
Silvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, ECG ;
Jakarta.
Sjamsuhidajat,R & wim de jong.1997.Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta.EGC By: Dwi
Arianto.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 1. Jakarta: EGC.
Slamet suyono, dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed.3. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta.
W. Sutoyo, Aru. 2006. Ilmu penyakit dalam jilid 1 edisi keempat. Jakarta
:Kedokteran Indonesia

Anda mungkin juga menyukai