Bab I Pendahuluan
1) Latar Belakang
.................. I
2) Rumusan Masalah
.................... I
3) Tujuan
..................... I
Bab 2 Pembahasan
1. Mulut ..2
3. Lambung
............................ 7
4. Usus Halus
............................. 7
5. Usus Besar
............................. 8
1. Definisi ...
8
2. Klasifikasi
........................... 8
3. Komplikasi .
11
4. Pemeriksaan Medis .
12
5. Penatalaksanaan .
13
6. Terapi 13
1
7. Pencegahan
14
C. Gastroenteritis (GE)
1. Definisi ...
15
2. Etiologi
........................... 15
3. Jenis-Jenis GE
......................... 15
4. Patofisiologi
................... 16
5. Manifestasi Klinis
.................. 17
6. Klasifikasi ........... .
17
7. Komplikasi .. ...
18
8. Pemeriksaan Penunjang
............... 18
9. Pemeriksaan Medis .
18
D. Ulkus Peptikum ..
21
1. Definisi
21
2. Etiologi
22
3. Patofisiologi ....
24
2
4. Klasifikasi ...........
.. 25
6. Pemeriksaan Penunjang
............... 26
7. Penatalaksanaan
............... 27
8. Komplikasi ..
28
E. Kolitis Ulturatif
29
1. Definisi .... .
29
3. Etiologi
29
5. Patofisiologi ....
30
7. Komplikasi ..
30
8. Penatalaksanaan ..
. 31
9. Pemeriksaan Penunjang
32
3
F. Konstipasi
1. Definisi
32
2. Etiologi .
32
3. Patofisiologi .
33
4. Manifestasi Klinis
.......... 34
5. Penatalaksanaan
............ 34
6. Pengobatan ...
34
7. Pencegahan
34
G. Peritonitis
1. Pengertian .........
36
2. Etiologi .........
36
3. Manifestasi Klinis
.. 36
4. Komplikasui ..........
37
5. Penatalaksanaan
........ 37
6. Patofisiologi
........... 37
H. Hemoroid
1. Definisi
....................... 39
4
2. Etiologi
39
3. Manifestasi Klinis .
40
4. Patofisiologi .
40
5. Pemeriksaan Penunjang
................. 40
7. Penatalaksanaan Medis
................... 41
Daftar pustaka
43
SISTEM GASTROINTESTINAL
5
OLEH :
KHUMAIRAH
MAKASSAR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
6
hidup dengan cara mengkonsumsi makanan dan minuman yang bersumber
dari berbagai jenis makanan dan minuman.
B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan anatomi fisiologi pada sistem gastrointestinal ?
2. Menjelaskan konsep medis gangguan sistem gastrointestinal gastritis?
3. Menjelaskan konsep medis gangguan sistem gastrointestinal
gastroentritis?
4. Menjelaskan konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Ulkus
Peptikum?
5. Menjelaskan konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Kolitis
Ultseratif?
6. Menjelaskan konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Konstipasi?
7. Menjelaskan konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Peritonitis?
8. Menjelaskan konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Hemoroid?
C. Tujuan
1. Mengetahui anatomi fisiologi pada sistem gastrointestinal !
2. Mengetahui konsep medis gangguan sistem gastrointestinal gastritis!
3. Mengetahui konsep medis gangguan sistem gastrointestinal
gastroentritis!
4. Mengetahui konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Ulkus
Peptikum!
5. Mengetahui konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Kolitis
Ulseratif!
6. Mengetahui konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Konstipasi!
7. Mengetahui konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Peritonitis!
8. Mengetahui konsep medis gangguan sistem gastrointestinal Hemoroid!
7
8
BAB II
PEMBAHASAN
1. Mulut
Mulut adalah rongga lonjong pada permulaan saluran pencernaan.
Terdiri atas 2 bagian : yaitu bagian luar yang sempit atau vestibula, yaitu
ruang diantara gusi serta gigi dengan bibir dan pipi, dan bagian dalam,
yaitu rongga mulut yang dibatasi disisi-sisinya oleh tulang maxilaris dan
semua gigi, dan sebelah belakang bersambung dengan awal faring.
Selain itu mulut memuat gigi untuk menguyah makanan, dan lidah
yang membantu untuu cita rasa dan menelan. Beberapa kelenjar atau
kelompok kelenjar menuangkan cairan pencerna penting kedalam saluran
pencernaan.
Ptialin (amilasi ludah) misalnya bekerja hanya atas gula dan tepung,
sedangkan pepsin hanya atas protein. Satu jenis cairan pencerna,
misalnya cairan pankreas dapat mengandung beberapa enzim, dan setiap
enzim bekerja hanya atas satu jenis makanan.
Enzim ialah zat kemia yang menimbulkan perubahan susunan kemia
terhadap zat lain, tampa enzim itu sendiri mengalami suatu perubahan.
Untuk dapat bekerja secara baik, berbagai enzim tergantuk adanya
garam mineral dan kadar asam atau kadar alkali yang tepat.
Atap mulut dibentuk oleh palatum, dan lidah terletak dilantainya dan
terikat pada tulang hioid. Digaris tengah sebuah lipatan membran
mukosa atau prenulum linguas (menyambung lidah dengan lantai mulut).
Di kedua sisi terletak papila sublingualis, yang memuat lubang kelenjar
ludah sukman libularis.
Fungsi ludah atau saliva bekerja secara pisis dan kemiawi. Kerja
pisisnya adalah membasahi, mulut, membersihkan lidah dan
memudahkan orang berbicara. Ludah membasahi makanan agar mudah
untuk di telan. Dan dengan membasahi makanan itu ludah melarutkan
beberapa unsure, sehingga memudahkan kerja kemiawi terhadapnya.
Ptialin (amilasi ludah) misalnya bekerja hanya atas gula dan tepung,
sedangkan pepsin hanya atas protein. Satu jenis cairan pencerna,
misalnya cairan pankreas dapat mengandung beberapa enzim, dan setiap
enzim bekerja hanya atas satu jenis makanan.
Selain lendir faring yang dekat lubang fosterior nares dan lubang
saluran (tuba) eustakhius juga mengandung jaringan limfoit yang serupa
dengan jarinangan tonsil. Bila jaringan ini terjadi hipertropix ia dapat
menyumpat naresposterior dan terjadinya keadaan yang disebut sebagai
pembesaran edenoid.
Tahap kedua dan ketiga pada gerakan menelan terjadi tidak atas
kemauan sendiri. Sedangkan tahap pertama, meskipun atas kemauan
sendiri, sebagian besar berjalan otomatik.
4. Usus halus
Usus halus adalah tabung yang kira-kira sekitar dua setengah meter
panjang dalam keadaan hidup. Angka yang biasa diberikan, enam meter
adalah penemuan setelah mati bila otot kehilangan tonusnya. Usus halus
memanjang dari lambung sampai katup ileokalika, tempat berlangsung
dengan usus besar.
Usus halus terletak pada daerah umbilikus dan dikelilingi oleh usus
besar, dibagi dalam beberapa bagian :
a. Duodenum. Duodenum adalah bagian utama usus halus yang 25 cm
panjangnya, berbentuk sepatu kuda, dan kepalanya mengelilingi
kepala pancreas. Saluran empedu dan saluran pancreas masuk
kedalam duodenum pada satu luubang disebut ampula
hepatopankreatika, atau ampula vateri, sepuluh sentimeter dari
pylorus.
b. Yeyunum. Yeyenum Menempati dua perlima sebelah atas dari usus
halus yang selebihnya.
c. Ileum. Ileum menempati tiga perlima akhir.
d. Struktur. Struktur dinding usus halus terdiri atas keempat lapisan
yang sama dengan lambung.Dinding lapisan luar. Adalah membran
serosa, yaitu peritoneum yang menbalut usus dengan erat. Dinding
lapisan berotot. Terdiri atas dua lapis serabut saja: lapisan luar terdiri
atas serabut longitudinal. Dan dibawah ini ada lapisan tebal terdiri
atas serabut sirkuler. Diantara kedua lapisan-lapisan berotot ini
terdapat pembuluh darah. Pembuluh limfe dan flesus syaraf.
Dinding submukosa terdapat antara otot sirkuler dan lapisan yang
terdalam yang merupakan perbatasannya. Dinding submukosa ini
terdiri atas jaringan ariolar dan berisi banyak pembuluh darah,
saluran limfe, kelenjar dan flesus syaraf yang disebut flesus meisner.
Didalam duodenum terdapat beberapa kelenjar khas yang dikenal
sebagai kelenjar brunner. Kelenjar-kelenjar ini adalah jenis kelenjar
tandan yang mengeluarkan secret cairan kental alkali yang bekerja
untuk melindungi lapisan duodenum dari pengaruh isi lambung yang
asam.
e. Fungsi usus halus. Fungsi usus halus adalah mencerna dan
mengabsorpsi khime dari lambung. Isi duodenum adalah alkali. Isinya
yang cair atau (khime) dijalankan oleh serangkaian gerakan feristaltik
yang cepat. Setiap gerakan lamanya 1 sekon dan antara dua gerakan
ada istirahat beberapa sekon. Terdapat juga dua jenis gerakan lain
seperti sebagai berikut:
Gerakan sekmental ialah gerakan yang memisahkan beberapa sekmen
usus satu dari yang lain karena diikat oleh gerakan konstriksi serabut
sirkuler. Hal ini memungkinkan isi yang cair ini sementara
bersentuhan dengan dinding usus untuk digesti dan absorpsi.
Kemudian segmen yang berisi itu hilang untuk timbul lebih jauh lagi
dalam usus tadi.
Gerakan pendulum atau ayunan menyababkan isi usus bercampur.
Dua cairan pencerna masuk duodenum melalui saluran-saluran
mereka yaitu empedu melalui hati dan getah pancreas dari pancreas.
f. Empedu di perlukan untuk pencernaan lemak yang diemulsikan(arti
nya di pecahkan dalam bagian-bagian kecil).dengan demikian
membantu kerja lipase.sifat nya alkali dan membantu membuat
makanan yang keluar dari lambung yang asam menjadi netral..
g. Garam empedu mengurangi tegangan permukaan isi usus dan
membantu membentuk emulsi dari lemak yang dimakan.
h. Getah pangkreas berisi tiga jenis enzim pencerna yang bekerja atas
tiga jenis makanan berikut.sifatnya alkali.amilase makanan mencerna
hidrat karbon:sifatnya lebih kuat dari ptyalin, bekerja atas zat tepung
mentah maupun yang telah dimasak dan mengubahnya menjadi
desakharida.
5. Usus besar
Usus besar atau kolon yang kira-kira satu setengah meter
panjangnya, adalah sumbangan dari usus halus dan mulai di katup
iliokolik atau ileosekal, yaitu tempat sisa makanan lewat. Reflex
gastrokolik terjadi ketika makanan masuk lambumg dan menimbulkan
peristaltic di dalam usus besar. Reflex ini menyebabkan defekasi atau
buang air besar.
Fungsi usus besar. Fungsi usus besar adalah usus besar tidak ikut
serta dalam pencernaan atau absorpsi makanan. Bila isi usus halus
mencapai sekum maka semua zat makanan telah diabsorpsi dan isinya
cair. Selama perjalanan didalam kolon isinya menjadi makin padat karena
air diabsorpsi ketika rectum di capai maka feses bersifat padat dan lunak.
Peristaltic didalam kolon sangat lamban. Diperlukan waktu kira-kira
enam belas sampai dua puluh jam bagi isinya untuk mencapai flexura
sigmoid. Fungsi kolon dapat diringkas sebagai berikut :
a. Absorpsi air, garam dan glukosa
b. Skresi musin oleh kelenjar didalam lapisan dalam
c. Penyiapan selulosa yang berupa hidrat karbon didalam tumbuh-
tumbuhan, buah-buahan dan sayur-sayuran hijau dan penyiapan sisa
protein yang belum dicernakan oleh kerja baktery guna ekskresi.
1. Definisi gastritis
b. Gastritis Kronis
Inflamasi yang berkepanjangan yang disebabkan baik oleh ulkus
lambung jinak maupun ganas, oleh bakteri H. Pylori . gastritis kronis
mungkin diklasifikassikan sebagai Tipe A atau Tipe B. Tipe A ini
terjadi pada fundus atau korpus lambung. Tipe B (H. Pylori)mengenai
antrum dan pylorus. Mungkin berkaitan dengan bacteria H. Pylori.
Faktor diit seperti minuman panas, bumbu penyedap,penggunaan
obat, alcohol, merokok atau refluks isi usus kedalam lambung.
c. Patofisiologi
d. Etiologi
1) Infeksi bakteri. Sebagian besar populasi di dunia terinfeksi oleh
bakteri H. Pylori yang hidup di bagian dalam lapisan mukosa yang
melapisi dinding lambung. Walaupun tidak sepenuhnya dimengerti
bagaimana bakteri tersebut dapat ditularkan, namun diperkirakan
penularan tersebut terjadi melalui jalur oral atau akibat memakan
makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri ini.
Infeksi H. pylori sering terjadi pada masa kanak kanak dan dapat
bertahan seumur hidup jika tidak dilakukan perawatan. Infeksi H.
pylori ini sekarang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya
peptic ulcer dan penyebab tersering terjadinya gastritis. Infeksi
dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan peradangan
menyebar yang kemudian mengakibatkan perubahan pada lapisan
pelindung dinding lambung. Salah satu perubahan itu adalah
atrophic gastritis, sebuah keadaan dimana kelenjar-kelenjar
penghasil asam lambung secara perlahan rusak. Peneliti
menyimpulkan bahwa tingkat asam lambung yang rendah dapat
mengakibatkan racun-racun yang dihasilkan oleh kanker tidak
dapat dihancurkan atau dikeluarkan secara sempurna dari
lambung sehingga meningkatkan resiko (tingkat bahaya) dari
kanker lambung. Tapi sebagian besar orang yang terkena infeksi
H. pylori kronis tidak mempunyai kanker dan tidak mempunyai
gejala gastritis, hal ini mengindikasikan bahwa ada penyebab lain
yang membuat sebagian orang rentan terhadap bakteri ini
sedangkan yang lain tidak.
3. Komplikasi
a. Gastritis Akute
Perdarahan saluran cerna atas, hingga anemia dan kematian.
Ulkus pada lambung: Karena erosi pada area yang mengelilingi
membrane mukosa lambung. biasanya terjadi akibat keseringan
menggunakan obat-obat anti-inflamasi nonsteroid, penggunaan
alcohol, dan perokok berat,juga oleh H. Pylori. Pendarahan pada
lambung dapat menyebabkan muntah darah atau terdapat darah pada
feces dan memerlukan perawatan segeraPerforasi lambung.
b. Gastritis Kronis
Gangguan penyerapan Vitamin B12 karena atropi lambung dan akan
terjadi
anemia pernisiosa.
Gangguan penyerapan zat besi.
Penyempitan daearah fillorus.
Kanker lambung; biasanya terjadi pada individu usia 40 tahun keatas
dan juga pad individu yang lebih muda. Diit yang mengiritasi biasanya
adalah factor utamanya. (makanan yang diasap dan sedikit
mengkonsumsi buah dan sayur), penyakit ini timbul akibat gastritis
yang sudah kronis, anemia pernisiosa, ulkus gastrikum.
4. Pemeriksaan medis
d. Endoskopi saluran cerna bagian atas. Dengan tes ini dapat terlihat
adanya ketidaknormalan pada saluran cerna bagian atas yang
mungkin tidak terlihat dari sinar-X. Tes ini dilakukan dengan cara
memasukkan sebuah selang kecil yang fleksibel (endoskop) melalui
mulut dan masuk ke dalam esophagus, lambung dan bagian atas usus
kecil. Tenggorokan akan terlebih dahulu dimati-rasakan (anestesi)
sebelum endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien merasa
nyaman menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam saluran cerna yang
terlihat mencurigakan, dokter akan mengambil sedikit sampel
(biopsy) dari jaringan tersebut. Sampel itu kemudian akan dibawa ke
laboratorium untuk diperiksa. Tes ini memakan waktu kurang lebih 20
sampai 30 menit. Pasien biasanya tidak langsung disuruh pulang
ketika tes ini selesai, tetapi harus menunggu sampai efek dari
anestesi menghilang, kurang lebih satu atau dua jam. Hampir tidak
ada resiko akibat tes ini. Komplikasi yang sering terjadi adalah rasa
tidak nyaman pada tenggorokan akibat menelan endoskop.
e. Ronsen saluran cerna bagian atas. Tes ini akan melihat adanya tanda-
tanda gastritis atau penyakit pencernaan lainnya. Biasanya akan
diminta menelan cairan barium terlebih dahulu sebelum dilakukan
ronsen. Cairan ini akan melapisi saluran cerna dan akan terlihat lebih
jelas ketika di ronsen.
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gastritis secara umum adalah menghilangkan faktor
utama yaitu etiologinya, diet lambung dengan porsi kecil dan sering,
serta Obat-obatan. Namun secara spesifik dapat dibedakan sebagai
berikut:
a. Gastritis Akut
Pantang minum alkohol dan makan sampai gejala-gejala
menghilang; ubah menjadi diet yang tidak mengiritasi
Jika gejala-gejala menetap, mungkin diperlukan cairan IV.
Jika terdapat perdarahan, penatalaksanaannya serupa dengan
hemoragie yang terjadi pada saluran gastrointestinal bagian atas.
Jika gastritis terjadi akibat menelan asam kuat atau alkali,
encerkan dan netralkan asam dengan antasida umum, misalnya
aluminium hidroksida, antagonis reseptor H2, inhibitor pompa
proton, antikolinergik dan sukralfat (untuk sitoprotektor).
Jika gastritis terjadi akibat menelan basa kuat, gunakan sari buah
jeruk yang encer atau cuka yang di encerkan.
Jika korosi parah, hindari emetik dan bilas lambung karena bahaya
perforasi.
b. Gastritis Kronis
Modifikasi diet, reduksi stress, dan farmakoterapi.
H. phylory mungkin diatasi dengan antibiotik (mis; tetrasiklin atau
amoxicillin) dan garam bismuth (pepto bismol).
AC Gastrointeristis( GE )
1. Definisi
GE adalah radang pada lambung dan usus yang memberikan gejalah
diare, dengan atau tanpa disertai muntah, dan sering kali disertai
peningkatan suhu tubuh. Diaere yang dimaksudkan adalah buang airt
besar berkali-kali ( dengan jumlah yang melebihi 4 kali, dan bentuk feses
yang cair, dapat disertai dengan darah dan lender)
2. Etiologi gastroenteritis
4. Patofisiologi GE
Proses terjadinya diare dapat disebabkan oleh berbagai factor antara lain
infeksi bakteri, malabsorbsi, atau sebab yang lain. Factor infeksi, proses
ini diawali dengan adanya mikroorganisme yang masuk kedalam saluran
pencernaan, kemudian berkembang biak dalam lambung dan usus.
Mikroorganisme yang masuk dalam lambung dan usus memproduksi
toksin, yang terikat pad mukosa usus dan menyebabkan sekresi aktif
anion klorida kedalam lumen usus yang diikutiair, ion karbonat, kation,
natrium dan kalium.infeksi bakteri jenis enteroinfasif seperti : E, coli,
paratyphi B. salmonella, shigella, toksin yang dikeluarkannya dapat
menyebabkan kerusakan dinding usus berupa nekrosis dan ulserasi.
Diare bersifat sekretorik eksudatif, cairan diare dapat bercampu lender
dan darah.
5. Manifestasi Klinik
Gejala awal adalah anak menjadi cengeng dan gelisah, suhu badan
mungkin meningkat, nafsu makan menurun kemudian timbul diare tinja
cair, mungkin mengandung darah atau lendir, warna tinja berubah
menjadi kehijau-hijauan karena tercampur empedu, anus dan sekitarnya
menjadi lecet karena tinja menjadi asam akibatnya, banyaknya asam
laktat yang terjadi dari pemecahan laktosa yang tidak dapat diabsorpsi
oleh usus. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah dehidrasi
diare.
Bila penderita telah banyak kehilangan air dan elektrolit terjadilah gejala
dehidrasi.berat badan menurun pada bayi, ubun-ubun besar dan cekung,
tonus dan turgor otot kulit berkurang, selaput lendir mulut dan bibir
menjadi kering.
6. Klasifikasi
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik yang meliputi :
a. Pemeriksaan Feses
Makroskopis dan mikroskopis.
1. pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet
dinistest, bila diduga terdapat intoleransi gula.
2. Bila diperlukan, lakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.
3. Evaluasi feses terhadap telur cacing dan parasit
4. Kultur fese (jika anak dirawat di rumah sakit, pus dalam feses atau
diare yang berkepanjangan), untuk menentukan patogen
5. Evaluasi volume, warna, konsistensi, adanya mukus atau pus pada
feses
b. Pemeriksaan Darah
1. pH darah dan cadangan dikali dan elektrolit ( Natrium, Kalium,
Kalsium, dan Fosfor ) dalam serum untuk menentukan
keseimbangan asama basa.
2. Kadar ureum dan kreatmin untuk mengetahui faal ginjal.
3. Darah samar feses, untuk memeriksa adanya darah (lebih sering
pada gastroenteritis yang berasal dari bakteri)
4. Hitung darah lengkap dengan diferensial
9. Penatalaksaan Medis
Penatalaksaan klien dengan gastroenteritis adalah :
a. Pemberian cairan
b. Dietetik (pemberian makanan)
c. Obat-obatan
d. Education : memberikan pendidikan kesehatan kepada ibu-ibu
tentang anak-anak yang sehat atau makanan untuk anak diare
d. Therapi
Prinsip pengobatan diare adalah menggantikan cairan yang hilang
dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau
karbohidarat lain (gula, air, tajin, dan lain-lain).
1. Obat-obatan Anti Sekresi
Asetosal dosis 25 mg / hari dengan dosis minimal 30 mg.
Klorpromazin dosis 0,5 1 mg / kg BB / hari
2. (Obat Spasmolitik
Umumnya obat spasmolitik seperti papaverin, tidak boleh di
gunakan
3. Obat Antibiotik
4. Umumnya antibiotik tidak diberikan bila tidak ada penyebab yang
jelas. Bila penyebab yang jelas. Bila penyebabnya kolera dibeirkan
tetrasiklin 25-50 mg / kg BB / hari. Antibiotik juga diberikan bila
terdapat penyakit penyerta, spt : OMA, faringitis, bronkitis atau
bronkopneumonia.
10. Pencegahan
Dalam pencegahan penyakit Gastroenteritis dapat dilihat dalam lima
tingkat pencegahan (five levels of prevention) sebagai berikut :
a. Perbaikan status gizi individu/perorangan ataupun masyarakat untuk
membentuk daya tahan tubuh yang lebih baik dan dapat
melawan Agent penyakit yang akan masuk kedalam tubuh, seperti
mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung zat gizi yang lebih
baik dan diperlukan oleh tubuh.
b. Pemberian ASI Ekslusif kepada bayi yang baru lahir, karena ASI
banyak mengandung kalori, protein dan vitamin yang banyak
dibutuhkan oleh tubuh, pencegahan ini bertujuan untuk membentuk
system kekebalan tubuh sehingga terlindung dari berbagai penyakit
infeksi seperti Gastroenteritis.
e. Rehabilitasi (Rehabilitation)
Rehabilitasi (Rehabilitation) dalam mencegah terjadinya penyakit
Gastroenteritis dapat dilakukan dengan rehabilitasi fisik/medis
apabila terdapat gangguan kesehatan fisik akibat
penyakit Gastroenteritis
AD Ulkus Peptikum
1. Pengertian
2. Etiologi
Sebab-sebab yang pasti dari ulkus peptikum yang belum diketahui.
Beberapa teori yang menerangkan tentang tukak peptik, antara lain
sebagai berikut :
1. Asam getah lambung terhadap resistensi mukosa.
Tukak peptik kronia tidak mungkin terjadi lama tanpa adanya
getah lambung. Sebagai contoh berdasarkan penyelidikan yang
mengumpulkan banyak penderita dengan anemia pernisiosa disertai
dengan alkorida.
2. Golongan darah
Penderita dengan golongan darah O lebih banyak menderita tukak
duodeni jikadibandingkan dengan pada tukak lambung. Adapun
sebabnya belum diketahui dengan benar. Dan hasil penelitian
dilaporkan bahwa pada penderita dengan golongan darah O
kemunkinan terjadinya tukak duodeni adalah 38% lebih besar
dibandingkan golngan lainnya. Kerusakan di daerah piepilorus dapat
dihubungkan dengan golongan darah A, baik berupa tukak yang
biasa ataupun karsinoma. Sedangkan pada golongan darah O sering
ditemukan kelainan pada korpus lambung.
4. inflamasi bakterial
Dari dasar tukak telah dibakkan untuk menyelidiki
mikroorganisme yang diduga sebagai penyebabnya, tetapi tidak
ditemukan satu macam bakteripun. Selanjutnya pada hasil
pemeriksaan didapat bahwa inflamasi non bakteri atau inflamasi
khemis lebih besar dari pada inflamasi bakterial. Tukak yang spesifik
misalnya pada TBC dan sifilis disebabkan spesifik mikrooganisme.
6. Infark
Teori infark yang berdasarkan timbulnya kerusakan semacam
kawah, sering ditemukan pada otopsi. Adannya defek pada dinding
serta timbulnya infark, karena asam getah lambung dan dapat pula
ditunjukkan adanya jaringan trombose.
7. Faktor hormonal.
Banyak teori yang menerangkan adanya pengaruh-pengaruh
hormonal yang dapat menimbulkan tukak peptik.
10. Herediter.
Berdasarkan penelitian di dalam keluarga ternyata bahwa tukak
peptik ini ada pengaruhnya dengan herediter. Terbukti bahwa dengan
orang tua/ famili yang menderita tukak, jika dibandingkan dengan
mereka yang orang tuanya sehat. Oleh sebab itu, family anamnesa
perlu ditegakkan
3. Patofisiologi
a. Penyebab Umum
Penyebab umum dari userasi peptikum adalah ketidakseimbangan
antara kecepatan sekresi dan lambung dan derajat perlindungan yang
diberikan oleh sawar mukosa gastroduodenal dan netralisasi asam
lambung oleh cairan duodenum. Semua daerah yang secara normal
terpapar oleh cairan lambung dipasok dengan baik oleh kelenjar
mukus, antara lain kelenjar ulkus campuran pada esophagus bawah
dan meliputi sel mukus penutup pada mukosa lambung: sel mukus
pada leher kelenjar lambung; kelenjar pilorik profunda (menyekresi
sebagian besar mukus): dan akhirnya kelenjar Brunner pada duodenum
bagian atas yang menyekresi mukus yang sangat alkali (Guyton, 1996).
Sebagian tambahan terhadap perlindungan mukus dari mukosa,
duodenum dilindungi oleh sifat alkali dari sekresi usus halus, terutama
adalah sekresi pancreas yang mengandung sebagian besar natrium
bikarbonat, berfungsi menetralisir asam klorida cairan lambung
sehingga menginaktifkan pepsin untuk mencegah pencernaan mukosa.
Sebagai tambahan, ion-ion bikarbonat disediakan dalam jumlah besar
oleh sekresi kelenjar Brunner yang terletak pada beberapa inci
pertama dinding duodenum dan didalam empedu yang berasal dari hati
(Lewis,2000). Akhirnya, dua mekanisme kontrol umpan balik
memastikan bahwa netralisasi cairan lambung ini sudah sempurna,
meliputi hal-hal sebagai berikut :
1) Jika asam yang berlebihan memasuki duodenum, secara refleks
mekanisme ini menghambat sekresi dan peristaltic lambung baik
secara persarafan maupun secara hormonal sehingga menurunkan
kecepatan pengosongan lambung.
2) 2Adanya asam pada usus halus memicu pelepasan sekretin pada
mukosa usus, kemudian melalui darah menuju pancreas untuk
menimbulkan sekresi yang cepat dari cairan pancreas- yang
mengandung natrium bikarbonat berkonsentrasi tinggi - sehingga
tersedia natrium bikarbonat untuk menetralisir asam.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ulkus peptikum dapat
disebabkan oleh salah-satu dari dua judul (10 sekresi asam dan
pepsin yang berlebihan oleh mukosa lambung, atau (2)
berkurangnya kemampuan sawar mukosa gastroduodenalisn
untuk berlindung dari sifat pencernaan dari kompleks asam
pepsin.
b. Penyebab khusus
1) Infeksi bakteri H. pylori
Dalamlima tahun terakhir, ditemukan paling sedikit 75% pasien
ulkus peptikum menderita infeksi kronis pada bagian akhir
mukosa lambung, dan bagian mukosa duodenumoleh bakteri
H.pylori. Sekali pasien terinfeksi, maka infeksi dapat berlangsung
seumur hidup kecuali bila kuman diberantas dengan obat anti
bacterial. Lebih lanjut lagi, bakteri dapat melakukan penetrasi
sawar mukosa lambung, baik dengan kemampuanya sendiri untuk
menembus sawar maupun dengan melepaskan enzin-enzim
pencernaan yang mencairkan sawar. Akibatnya, cairan asam kuat
pencernaan yang disekresi oleh lambung dapat berpenetrasi
kedalam jaringan epithelium dan dapat mencernakan epitel,
bahkan juga jaringan-jaringan di sekitarnya. Keadaan ini dapat
menuju pada kondisi ulkus peptikum (Sibernagl, 2007).
3) Konsumsi obat-obatan.
Obat-obat seperti OAINS/obat anti-inflamasi, nonsteroid- seperti
Indometasin, Ibupropen, Asam Salisilat- mempunyai efek
penghambatan siklo-oksigenase sehingga menghambat sintesis
prostaglandin dari asam arakhidonat secara sistemik- termasuk
pada epitel lambung dan duodenum. Pada sisi lain, hal ini juga
menurunkan sekresi HCO3 sehingga memperlemah perlindungan
mukosa(Sibernagl, 2007). Efek lain dari obat ini adalah merusak
mukosa local melalui difusi non-ionik ke dalam sel mukosa. Obat
ini juga berdampak terhadap agregasi trombosit sehingga akan
meningkatkan bahaya pendarahan ulkus (Kee, 1995).
4) Stress fisik yang disebabkan oleh syok, luka bakar, sepsis, trauma,
pembedahan, gagal napas, gagal ginjal, dan kerusakan susunan
syaraf pusat (Lewis, 20000. Bila kondisi stress ini berlanjut, maka
kerusakan epitel akan meluas dan kondisi ulkus peptikum menjadi
lebih parah.
4. Klasifikasi
5. Manifestasi Klinik
Secara umum pasien tukak gaster biasanya mengeluh dispesia.
Dispesia adalah suatu sindroma klinik / kumpulan keluhan, beberapa
penyakit saluran cerna seperti, mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati,
sendawa/terapan, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat merasa
kenyang. Dispesia secara klinis dibagi atas :
a. Dispesia akibat gangguan motilitas,
b. Dispesia akibat tukak:
c. Dispesia akibat refluks
d. Dispesia tidak spesifik.
Pasien tukak peptic memberikan ciri ciri keluhan seperti nyeri ulu
hati, rasa tidak nyaman/discomfort, disertai muntah. Pada tukak duodeni
rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit bisa
membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah pasien
makan dan minu obat antasida ( Hunger pain Food Relief = HPFR). Rasa
sakit tukak gaster yang timbul setelah makan, berbeda dengan tukak
duodeni yang merasa enak setelah makan, rasa sakit gaster sebelah kiri
dan rasa sakit tukak gaster sebelah kanan, garis tengah perut. Rasa sakit
bermula pada satu titik ( pointing sign) akhirnya difus bisa menjalar ke
punggung. Ini kemungkinan disebabkan penyakit bertambah berat atau
mengalami komplikasi berupa penetrasi tukak ke organ pancreas.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan fisik mungkin ditemukan adanya nyeri, nyeri
epigastrik,dan nyeri tekan abdomen
b. Bising usus mungkin tidak ada
c. Pemeriksaan dengan barium terhadap saluran GI atas dpat
menunjukkan adanya ulkus, namun endoskopi adalah pemeriksaan
diagnostic pilihan
d. Endoskopi atas digunakan untuk mengidentifikasikan perubahan
inflamasi, ulkus dan lesi. Melalui endoskopi mukosa dapat secara
langsung dilihat dn biopsy didapatkan. Endoskopi telah diketahui
dapat mendeteksi beberapa lesi yang tidak terlihat melalui
pemeriksaan sinar X karenaukuran atau lokasinya.
e. Feces dapat diambil setiap hari sampai laporan laboratorium adalah
negative terhadap darah samar.
f. Pemeriksaan sekretori lambung merupakan nilai yang menentukan
dalam mendiagnosis aklorhidria (tidak terdapat asam hidroklorida
dalam getah lambung) dan sindrom zollinger-ellison. Nyeri yang
hilang dengan makanan atau antasida dan tidak adanya nyeri yang
timbul juga mengidentifikasikan adanya ulkus.
g. Adanya H. Pylori dapat ditemukan dengan biopsy dan histiologi
melalui kultur, meskipun hal ini merupakan tes laboratorium khusus.
Serta tes serologis terhadap antibody pada antigen H. pylori.
7. Penatalaksanaan
Beberapa metode dapat digunakan untuk mengontrol keasaman lambung
termasuk perubahan gaya hidup, obat-obatan, dan tindakan pembedahan.
a. Penurunan stress dan istirahat.
b. Penghentian merokok
c. Modifikasi diet, Air jeruk yang asam,coca cola,bir,kopi,tidak
mempunyai pengaruh userogenik pada mukosa lambung tapi dapat
menambah sekresi asam lambung.
d. Obat-obatan
e. Intervensi bedah
Penatalaksanaan Farmakologis
Antagonis Reseptor H2/ARH2.
Struktur homolog dengan histamine Mekanisme kerjanya memblokir efek
histaminsel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam
lambung.Inhibisi bersifat reversible.
Dosis terapeutik :
Simetidin : 2 x 400 mg/800 mg malam hari,dosis maintenance 400 mg
Ranitidine : 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg
Nizatidine : 1 x 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg
Famotidine : 1 x 40 mg malam hari
Roksatidine : 2 x 75 mg / 150 mg malam hari,dosis maintenance 75 mg
malam hari.
1) ACITRIL (Interbat)
Komposisi: Tiap tablet/5ml, suspensi: Magnesium hidroksida 200
mg, Almunium hidroksida 200 mg, Simetikon 20 mg, Gel 200
mg
Indikasi: Tukak Peptik, hiperasiditas saluran cerna, kembung,
dispepsia, gastritis. Perhatian: Hati-hati pada kerusakan fungsi
ginjal, diet rendah fosfat. Efek samping: Gangguan saluran cerna:
diare, sembelit. Interaksi obat: Mengurangi absorpasi tetraksilin,
Fe, antagonis H2, kuinidin, warfarin. Kemasan: Tablet 100 tablet,
Suspensi 120 ml.
8. Komplikasi
Komplikasi ulkus peptikum adalah ulkus yang
membandel(intraktibilitas), perdarahan, perforasi, dan obstruksi
pylorus. Setiap komplikasi ini merupakan indikasi pembedahan (Price,
1996).
a. Intraktibilitas.
Komplikasi ulkus peptikum yang paling sering adalah intraktibilitas,
yang berarti bahwa terapi medis telah gagal mengatasi gejala-gejala
secaa adekuat. Pasien dapat tergangu tidurnya oleh nyeri, kehilangan
waktu untuk bekerja, memerlukan perawatan di rumahsakit, atau
hanya tidak mampu mengikuti program terapi, intraktibilitas
merupakan alasan tersering untuk anjuran pembedahan. Perubahan
menjadi ganas tidak perlu terlalu dipertimbangkan baik untuk ulkus
lambung maupun untuk ulkus duodenum. Ulkus ganas sejak semula
sudah bersifat ganas, paling tidak menurut pengetahuan mutakhir.
Ulkus yang memulai perjalanan dengan jinak akan tanpa mengalami
degenerasi ganas.
b. Perdarahan
Perdarahan merupakan komplikasi ulkus peptikum yang sangat sering
terjadi, sedikitnya ditemukan pada 25% kasus selama perjalanan
penyakit (Guyton, 1996). Walaupun ulkus pada setiap tempat dapat
mengalami perdarahan, namun yang tersering adalah di dinding
posterior bulbus duodenum, karena pada tempat ini dapat terjadi
erosi arteria pankretiduodenalis atau arteria gastroduodenalis.
Gejala-gejala yang dihubungkan dengan perdarhan ulkus tergantung
pada kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah yang ringan dan
kronik dapat mengakibatkan anemia defisiensi besi. Feses dapat
positif dengan darah samara tau mungkin hitam dan seperti ter
(melena). Perdarahan massif dapat mengakibatkan hematemesis
(muntah darah), menimbulkan syok, dan memerlukan transfuse darah
serta pembedahan darurat.
c. Perporasi.
Kira-kira 5% dari semua ulkus akan mengalaminperporasi, dan
komplikasi ini bertanggung jawab atas sekitar 65% kematian akibat
ulkus peptikum (Price, 1995). Ulkus biasanya terjadi pada dinding
anterior duodenum atau lambung karena daerah ini hanya diliputi
oleh peritoneum. Pada kondisi klinik, pasien dengan komplikasi
perporasi datang dengan keluhan nyerimendadak yang parah pada
abdomen bagian atas. Dalam beberapa menit, timbul peritonitis kimia
akibat keluarnya asam lambung, pepsin, dan makanan yang
menyebabkan nyeri hebat. Kondisi nyeri tersebut yang menyebabkan
pasien takut bergerak atau bernafas. Auskultasi abdomen menjadi
senyap dan pada saat palpasi, abdomen mengeras seperti papan.
Perporasi akut biasanya dapat didiagnosis berdasarkan gejala-gejala
saja diagnosis dipastika melalui adanya udar bebas dalam rongga
peritoneal, dinyatakan sebagai bulan sabit translusen anatara
bayangan hati dan diafragma. Udara tentu saja masuk rongga
peritoneal melalui ulkus yang mengalami perporasi (Azis, 2008).
d. Obstruksi
Obstruksi pintu keluar lambng akibat peradangan dan edema,
pilospasme, atau jaringan parut terjadi pada sekitar 5% pasien ulkus
peptikum. Obstruksi timbul lebih sering pada pasien ulkus duodenum,
tetapi kadang terjadi pada ulkus lambung terletak dekat dengan
sfingter pylorus. Anoreksia mual dan kembung setelah makan
merupakan gejala-gejala yang sering timbul kehilangan berat badan
juga sering terjadi. Bila obstruksi bertambah berat, dapat timbul nyeri
dan muntah (Mineta,1983)
AE Kolitis Ulseratif
1. Pengertian
Kolitis Ulseratif adalah penyakit ulseratif dan inflamasi berulang
dari lapisan mukosa kolon dan rektum. (Brunner & Suddarth, 2002, hal
1106).
Kolitis Ulseratif adalah penyakit radang kolon nonspesifik yang
umumnya berlangsung lama disertai masa remisi dan eksaserbasi yang
berganti-ganti. (Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson, 2006, hal, 461)
Kolitis Ulseratif adalah penyakit inflamasi primer dari membran
mukosa kolon (Monica Ester,2002,hal,56).
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Kolitis
Ulseratif adalah suatu penyakit inflamasi pada lapisan mukosa kolon dan
rektum yang menyebabkan luka atau lesi dan berlangsung lama.
3. Etiologi
b. Faktor-faktor lingkungan
Banyak hipotesis telah dibesarkan kontribusi lingkungan
kepatogenesis lingkungan kolitis ulseratif meliputi :
5. Patofisiologi
Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan inflamasi berulang
dari lapisan mukosa kolon dan rektum. Puncak insiden kolitis ulseratif
adalah pada usia 30 sampai 50 tahun.
Perdarahan terjadi sebagai akibat dari ulserasi. Lesi berlanjut,
yang terjadi satu secara bergiliran, satu lesi diikuti oleh lesi yang lainnya.
Proses penyakit mulai pada rektum dan akhirnya dapat mengenai seluruh
kolon. Akhirnya usus menyempit, memendek, dan menebal akibat
hipertrofi muskuler dan deposit lemak. (Brunner & Suddarth, 2002, hal
1106).
Kolitis ulseratif merupakan penyakit primer yang didapatkan pada
kolon, yang merupakan perluasan dari rektum. Kelainan pada rektum
yang menyebar kebagian kolon yang lain dengan gambaran mukosa yang
normal tidak dijumpai. Kelainan ini akan behenti pada daerah ileosekal,
namun pada keadaan yang berat kelainan dapat terjadi pada ileum
terminalis dan appendiks. Pada daerah ileosekal akan terjadi kerusakan
sfingter dan terjadi inkompetensi. Panjang kolon akan menjadi 2/3
normal, pemendekan ini disebakan terjadinya kelainan muskuler
terutama pada kolon distal dan rektum. Terjadinya striktur tidak selalu
didapatkan pada penyakit ini, melainkan dapat terjadi hipertrofi lokal
lapisan muskularis yang akan berakibat stenosis yang reversibel
Lesi patologik awal hanya terbatas pada lapisan mukosa, berupa
pembentukan abses pada kriptus, yang jelas berbeda dengan lesi pada
penyakit crohn yang menyerang seluruh tebal dinding usus. Pada
permulaan penyakit, timbul edema dan kongesti mukosa. Edema dapat
menyebabkan kerapuhan hebat sehingga terjadi perdarahan pada trauma
yang hanya ringan, seperti gesekan ringan pada permukaan.
Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses kriptus pecah
menembus dinding kriptus dan menyebar dalam lapisan submukosa,
menimbulkan terowongan dalam mukosa. Mukosa kemudian terlepas
menyisakan daerah yang tidak bermukosa (tukak). Tukak mula- mula
tersebar dan dangkal, tetapi pada stadium yang lebih lanjut, permukaan
mukosa yang hilang menjadi lebih luas sekali sehingga menyebabkan
banyak kehilangan jaringan, protein dan darah. (Harrison, 2000, hal 161)
6. Manifestasi Klinik
Kebanyakan gejala kolitis ulseratif pada awalnya adalah berupa buang
air besar yang lebih sering. Gejala yang paling umum dari kolitis ulseratif
adalah sakit perut dan diare berdarah. Pasien juga dapat mengalami :
a. Anemia
b. Fatigue/ kelelahan
c. Berat badan menurun
d. Hilangnya nafsu makan
e. Hilangnya cairan tubuh dan nutrisi
f. Lesi kulit ( eritoma nodusum )
g. Lesi mata ( uveitis )
h. Buang air besar beberapa kali dalam sehari ( 10-20 kali sehari )
i. Terdapat darah dan nanah dalam kotoran
j. Perdarahan rektum
k. Kram perut
l. Sakit pada persendian
m. Anoreksia
n. Dorongan untuk defekasi
o. Hipokalsemia (Brunner & Suddarth, 2002, hal 1106).
7. Komplikasi
a. Megakolon toksik
b. Perforasi
c. Hemoragi
d. Neoplasma malignan
e. Pielonefritis
f. Nefrolitiasis
g. Kalanglokarsinoma
h. Artritis
i. Retinitis, iritis
j. Eritema nodusum (Brunner & Suddarth, 2002)
8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
1) Terapi Obat obatan
Terapi obat-obatan. Obat-obatan sedatif dan
antidiare/antiperistaltik digunakan untuk mengurangi peristaltik
sampai minimum untuk mengistirahatkan usus yang terinflamasi.
Terapi ini dilanjutkan sampai frekuensi defekasi dan kosistensi
feses pasien mendekati normal.
Sulfonamida seperti sulfasalazin (azulfidine) atau sulfisoxazol
(gantrisin) biasanya efektif untuk menangani inflamasi ringan dan
sedang. Antibiotik digunakan untuk infeksi sekunder, terutama
untuk komplikasi purulen seperti abses, perforasi, dan peritonitis.
Azulfidin membantu dalam mencegah kekambuhan. (Brunner &
Suddarth, 2002, hal 1107-1108).
2) Pembedahan
Pembedahan umunya digunakan untuk mengatasi kolitis ulseratif
bila penatalaksaan medikal gagal dan kondisi sulit diatasi,
intervensi bedah biasanya diindikasi untuk kolitis ulseratif.
Pembedahan dapat diindikasikan pada kedua kondisi untuk
komplikasi seperti perforasi, hemoragi, obstruksi megakolon,
abses, fistula, dan kondisi sulit sembuh.(Cecily Lynn betz & Linda
sowden. 2007, hal 323-324)
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Masukan diet dan cairan
Cairan oral, diet rendah residu-tinggi protein-tinggi kalori, dan
terapi suplemem vitamin dan pengganti besi diberikan untuk
memenuhui kebutuhan nutrisi. Ketidak- seimbangan cairan dan
elektrolit yang dihubungkan dengan dehidrasi akibat diare, diatasi
dengan terapi intravena sesuai dengan kebutuhan. Adanya
makanan yang mengeksaserbasi diare harus dihindari. Susu dapat
menimbulkan diare pada individu intoleran terhadap
lactose.Selain itu makanan dingin dan merokok juga dapat
dihindari, karena keduanya dapat meningkatkan morbilitas usus.
Nutrisi parenteral total dapat diberikan. (Brunner & Suddarth,
2002, hal 1106-1107).
2) Psikoterapi
Ditunjukkan untuk menentukan faktor yang menyebabkan stres
pada pasien, kemampuan menghadapi faktor-faktor ini, dan upaya
untuk mengatasi konflik sehingga mereka tidak berkabung karena
kondisi mereka. (Brunner & Suddarth, 2002, hal 1108).
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran Radiologi
1) Foto polos abdomen
2) Barium enema
3) Ultrasonografi ( USG )
4) CT-scan dan MRI
AF Konstipasi
1. Definisi
Konstipasi merupakan defekasi tidak teratur yang abnormal, dan
juga pengerasan feses tak normal yang membuat pasasenya kulit dan
kadang menimbulkan nyeri. Jenis konstipasi ini disebut sebagai
konstipasi kolonik.
Kebanyakan individu sedikitnya melakukan defekasi sekali dalam sehari.
Rentang normal, rentang normal, adalah tiga kali defekasi dalam sehari
atau kurang dalam seminggu. Pada individu yang mengalami konstipasi,
defekasi terjadi secara tidak teratur, disertai feses yang keras. Beberapa
orang yang mengalami konstipasi kadang-kadang menghasilkan feses
cair sebagai akibat dari iritasi yang disebabkan oleh massa feses yang
keras dan kering dalam kolon. Feses ini mengandung banyak sekali
mukus, yang disekresi oleh kelenjar dalam kolon dalam responsnya
terhadap massa pengiritasi ini.
2. Etiologi
Penyebab konstipasi biasanya multifaktor, misalnya : Konstipasi
sekunder (diit, kelainan anatomi, kelainan endokrin dan metabolik,
kelainan syaraf, penyakit jaringan ikat, obat, dan gangguan psikologi),
konstipasi fungsional (konstipasi biasa, Irritabel bowel syndrome,
konstipasi dengan dilatasi kolon, konstipasi tanpa dilatasi kolon ,
obstruksi intestinal kronik, rectal outlet obstruction, daerah pelvis yang
lemah, dan ineffective straining), dan lain-lain (diabetes melitus,
hiperparatiroid, hipotiroid, keracunan timah, neuropati, Parkinson, dan
skleroderma).
a. Konstipasi sekunder
1) ola hidup: Diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air
besar yang buruk, kurang olahraga.
2) Kelainan anatomi (struktur) : fissura ani, hemoroid, striktur, dan
tumor, abses perineum, megakolon.
3) Kelainan endokrin dan metaolik : hiperkalsemia, hipokalemia,
hipotiroid, DM, dan kehamilan.
4) Kelainan syaraf : stroke, penyakit Hirschprung, Parkinson,
sclerosis multiple, lesi sumsum tulang belakang, penyakit Chagas,
disotonomia familier.
5) Kelainan jaringan ikat : skleroderma, amiloidosis, mixed
connective-tissue disease.
6) Obat : antidepresan (antidepresan siklik, inhibitor MAO), logam
(besi, bismuth), anti kholinergik, opioid (kodein, morfin), antasida
(aluminium, senyawa kalsium), calcium channel blockers
(verapamil), OAINS (ibuprofen, diclofenac), simpatomimetik
(pseudoephidrine), cholestyramine dan laksan stimulans jangka
panjang.
7) Gangguan psikologi (depresi).
c. Penyebab lain
1) Cedera saraf spinalis yang mempengaruhi sistem saraf otonom
2) Kondisi dinding usus yang tidak memiliki saraf
3) Faktor psikologis efek inhibisi pada intervasi otonom.
4) Tumor, penyakit divertikel, hemoroid, abnormalitas kongenital.
5) Kadar progesteron yang menyebabkan penurunan motilitas pada
saluran cerna
6) Diabetes melitus, hipotiroidisme
3. Patofisiologi
Patofisiologi konstipasi masih belum dipahami. Konstipasi diyakini,
berhubungan dari pengaruh dari sepertiga fungsi utama kolon:
a. transpor mukosa (sekresi mukosa memudahkan gerakan isi kolon),
b. aktivitas mioelektrik (pencampuran massa rektal dan kerja propulsif),
c. proses defekasi.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis mencakup distensi abdomen, borborigimus (gemuruh
usus), rasa nyeri dan tekanan, penurunan nafsu makan, sakit kepala,
kelelahan, tidak dapat makan, sensasi pengosongan tidak lengkap,
mengejan saat defekasi, dan eliminase volume feses sedikit, keras, dan
kering.
5. Penatalaksanaan
Pengobatan ditujukan pada penyebab dasar konstipase.
Penatalaksanaan mencakup penghentian penyalahgunaan laksatif,
menganjurkan memasukkan serat dalam diet dengan peningkatan asupan
cairan, dan pembuatan program latihan rutin untuk memperkuat otot
abdomen. Umpan balik biologis adalah teknik yang dapat digunakan
untuk membantu pasien belajar merelaksasi mekanisme sfingter untuk
mengeluarkan feses. Penambahan 6 sampai 12 sendok teh penuh sekam
yang tidak diproses setiap hari kedalam diet sangat dianjurkan,
khususnya untuk pengobatan konstipasi pada lansia. Konseling diet harus
harus menganjurkan diet tinggi sisa untuk menimbulkan gerakan yang
cepat pada kolon dan feses dalam jumlah banyak dan lembut
Apabila penggunaan laksatif diperlukan, salah satu dari berikut ini dapat
dilakukan: preparat pembentuk bulk, preparat salin dan osmotik,
lubrikan, stimulan, atau pelunak feses. Kerja fisologis dan penyuluhan
pasien yang dihubungkan dengan laksatif. Enema dan supositoria rektal
secara umum tidak dianjurkan untuk konstipasi dan harus diberikan
untuk pengobatan pada impaksi atau persiapan usus, untuk pembedahan
atau prosedur diagnostik. Apabila penggunaan laksatif jangka panjang
benar-benar diperlukan, preparat pembentuk-bulk diberikan dalam
kombinasi dengan laksatif osmotik.
6. Pengobatan
a. Laksans
Sebagian besar penderita dengan konstipasi ringan biasanya tidak
membutuhkan pemberian laksans. Namun bagi mereka yang telah
melakukan perubahan gaya hidup, tetapi masih tetap mengalami
konstipasi, pemberian laksans dan atau klisma untuk jangka waktu
tertentu dapat dipertimbangkan. Pengobatan ini dapat menolong
sementara untuk mengatasi konstipasi yang telah berlangsung lama
akibat usus yang malas. Pada anak-anak, pengobatan laksans jangka
pendek, untuk merangsang supaya usus mau bergerak secara teratur,
juga dapat dipakai untuk mencegah konstipasi. Laksans dapat
diberikan per oral, dalam bentuk cairan, tablet, bubuk. Ada beberapa
macam cara kerjanya.4,5,10
e. Osmotic laxatives
Mempunyai efek menahan cairan dalam usus, osmosis, atau
mempengaruhi pola distribusi air dalam tinja. Laksans jenis ini
mempunyai kemampuan seperi spons, menarik air ke dalam kolon,
sehingga tinja mudah melewati usus.
7. Pencegahan
a. Jangan jajan di sembarang tempat.
b. Hindari makanan yang kandungan lemak dan gulanya tinggi.
c. Minum air putih minimal 1,5 sampai 2 liter air (kira-kira 8 gelas)
sehari dan cairan lainnya setiap hari.
d. Olahraga, seperti jalan kaki (jogging) bisa dilakukan. Minimal 10-15
menit untuk olahraga ringan, dan minimal 2 jam untuk olahraga yang
lebih berat.
e. Biasakan buang air besar secara teratur dan jangan suka menahan
buang air besar.
f. Konsumsi makanan yang mengandung serat secukupnya, seperti
buah-buahan dan sayur-sayuran.
g. Tidur minimal 4 jam sehari.
AG Peritonitis
1. Pengertian
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga
abdomen dan meliputi visera merupakan penyakit berbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronis/ kumpulan tanda dan gejala,
diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular,
dan tanda-tanda umum inflamasi.
2. Etiologi
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial
Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena
infeksi intra abdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites
terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehinggan menjadi
translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe
mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi
bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar
protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan
abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul
komponen asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi
adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%,
spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram
positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain
15%, dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob
dan infeksi campur bakteri.
4. Komplikasi
a. Ketidakseimbangan elektrolit
b. Dehidrasi
c. Asidosis metabolic
d. Alkalosis respiratorik
e. Syok
5. Penatalaksanaan/Pengobatan
Penggantian cairan, koloid dan elektrolit adalah focus utama. Analgesik
diberikan untuk mengatasi nyeri anti emetic dapat diberikan sebagai
terapi untuk mual dan muntah. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau
masker akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi kadang-
kadang inkubasi jalan napas dan bantuk ventilasi diperlukan.
6. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara
perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang
bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa,
yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi
peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan.
Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial,
pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau
ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila
mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial
yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari
gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses.
Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila
perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan
terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala
peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula
tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritoneum.
AH Hemoroid
1. Definisi
Hemoroid adalah pelebaran vena didalam pleksus hemoroidalis yang
tidak merupakan keadaan patologi. Hanya apabila hemoroid ini
menyebabkan keluhan atau penyulit, diperlukan tindakan.
Hemoroid dibedakan antara intern dan yang ekstern. Hemoroid intern
adalah leksus v.hemoroidalis superior diatas garis mukokutan dan
ditutupi oleh mukosa. Hemoroid intern ini merupakan bantalan vaskuler
didalam jaringan sub mukosa pada rektum sebelah bawah. Sering
hemoroid terdapat pada 3 posisi primer, yaitu kanan depan, kanan
belakang, dan kiri lateral.
Hemoroid yang lebih kecil terdapat diantara ketiga letak primer tersebut.
Hemoroid ekstern yang merupakan pelebaran dan penonjolan fleksus
hemoroid inferior terdapat disebelah distal garis mukokutan didalam
jaringan dibawah epitel anus. (R. Sjamsuhidajat, hal 910 - 1997)
Hemoroid adalah suatu pelebaran pembuluh darah balik (vena) pada
anus/dubur, teraba seperti bola atau benjolan kecil yang dapat
menimbulkan rasa nyeri, gatal, dan ketidak nyamanan. Hemoroid adalah
pelebaran vena didalam fleksus hemoroidalis yang tidak merupakan
keadaan patologik. (Deden Dermawan, hal 101 - 2010)
2. Etiologi
a. Obstipasi (konstipasi/sembelit) yang menahun.
b. Penyakit yang membuat penderita sering mengejang, misalnya:
pembesaran prostat jinak.
c. Penekanan kembali aliran darah vena, seperti pada kanker dubur,
radang dubur, penyempitan dubur, kenaikan takanan pembuluh darah
porta (didalam rongga perut), sakit lever jenis sirosis (mengkerut),
lemah jantung, dan limpa bengkak.
d. Bendungan pada rongga pinggul akibat tumor rahim, atau kehamilan.
e. Banyak duduk.
f. Diare menahun.
g. Peregangan. Ini misalnya terjadi pada seseorang yang suka
melakukan hubungan seksual yang tidak lazim yaitu anogenetal.
(Deden Dermawan, hal 103 - 2010)
3. Manifestasi klinik
a. Perdarahan (bewarna merah terang saat defekasi).
b. Nyeri akibat inflamasi dan edema yang disebabkan oleh trombosis
(hemoroid eksterna).
c. Rasa gatal pada daerah anus.
Hemoroid mempunyai tanda dan gejala yang berbeda pada tiap tingkat
a. Hemoroid tingkat 1 : varises 1 atau lebih vena hemoroidalis interna
dengan gejala perdarahan berwarna segar pada saat buang air besar.
b. Hemoroid tingkat 2 : varises dari 1 at lebih vena hemoroidalis interna
yang keluar dari dubur pada saat devekasi tapi bisa masuk kembali
dengan sendirinya.
c. Hemoroid tingkat 3 : seperti tingkat 2 tetapi dapat masuk spontan,
harus didorong kembali.
d. Hemoroid tingkat 4 : telah terjadi inkaserasi.
(Deden Dermawan, hal 103-104 2010)
4. Patofisiologi
Drainase daerah anorektal adalah melalui vena-vena hemoroidalis
superior dan inverior. Vena hemoroidalis superior mengembalikan daerah
kevena mesenterika inverior dan berjalan sub mukosa dimulai dari
daerah anorektal dan berada dalam bagian yang disebut kolumna
murgagni, berjalan memanjang secara radier sambil mengadakan
anostomosis. Ini menjadi varises disebut hemoroid interna. Lokasi primer
hemoroid interna (pasien berda dalam posisi litotomi) terdapat pada 3
tempat yaitu anterior kanan, posterior kanan, dan lateral kiri. Hemoroid
yang lebih kecil terjadi diantara tempat-tempat tersebut. V. Hemoroidalis
inferior memulai venular dan pleksus-pleksus kecil didaerah anus dan
distal dari garis anorektal. Pleksus ini terbagi menjadi dua dan pleksus
inilah yang menjadi varises dan disebut hemoroid eksterna hemoroit
timbul akibat kongesti vena yang disebabkan gangguan aliran balik dari
vena hemoroidalis. Beberapa faktor etiologi telah diajukan termasuk
konstipasi atau diare, sering mengejang, kongesti pelvis pada kehamilan.
Pembesaran prostat, fibroma uteri, dan tumor rektum. Penyakit hati
kronik yang disertai hipertensi portal sering mengakibatkan hemoroid,
karena vena hemoroidalis superiormengalirkan darah kedalam sistem
portal. Selain itu sistem portal tidak mempunyai katub sehingga mudah
terjadi aliran balik. (Deden Dermawan, 104 2010)
5. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaa laboratorium
Pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mendeteksi kadar
hematokrit dan adanya anemia.
b. Pemeriksaan anoskopi.
c. Pemeriksaan proktosigmoidoskopi
Proktosigmoidoskopi perlu dikerjakan untuk memastikan bahwa
keluhan bukan disebabkan oleh prows radang atau prows keganasan
ditingkat yang lebih tinggi, karena hemoroid merupakan keadaan
fisiologik saja atau tanda yang menyertai. (Arif Muttaqin, hal 689
2011)
7. Penatalaksanaan medis
a. Pada derajat I pengobatan masih dapat dilakukan secara konservativ
yaitu dengan obat minum ; salep ; supositoria . di samping itu
perubahan gaya hidup dan makan dengan banyak makan makanan
berserat dan mengusahakan supaya buang air besar lancar dan faeces
tidak keras.
c. Pada derajat III pun jika tidak terlalu banyak atau terlalu besar masih
dapat dilakukan tindakan sperti diatas. Tetapi jika wasir sudah
menyeluruh atau besar, maka pengobatan yang terbaik adalah dengan
jalan operasi.
d. Operatif : hemoroidektomi adalah eksisi hanya pada jaringan yang
menonjol dan eksisi konserfatif kulit serta anoderm normal.
Pada operasi wasir yang membengkak ini dipotong dan dijahit
biasanya dalam anaestesie spinal (pembiusan hanya sebatas pusar
kebawah) sehingga pasien tidak merasa sakit, tapi tetap sadar.
Ada dua metode operasi : yang pertama setelah hemoroid dipotong,
tepi sayatan dijahit kembali. Pada metode yang kedua dengan alat
stapler hemoroid dipotong dan dijahit sekaligus. Keuntungan dari
metode kedua ini adalah rasa sakit yang jauh berkurang dari pada
metode pertama meskipun pada operasi wasir dengan metode
pertama pun rasa sakit sudah berkurang dibandingkan cara operasi
10-20 tahun yang lalu.