Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

I. FRAKTUR KLAVIKULA
A. Pengertian
Clavikula (tulang selangka) adalah tulang menonjol di kedua
sisi di bagian depan bahu dan atas dada. Dalam anatomi manusia,
tulang selangka atau clavicula adalah tulang yang membentuk
bahu dan menghubungkan lengan atas pada batang tubuh. serta
memberikan perlindungan kepada penting yang mendasari
pembuluh darah dan saraf. Tulang clavicula merupakan tumpuan
beban dari tangan, sehingga jika terdapat beban berlebih akan
menyebabkan beban tulang clavicula berlebih, hal ini bias
menyebabkan terputusnta kontinuitas tulang tersebut
Fraktur clavicula merupakan 5% dari semua fraktur sehingga
tidak jarang terjadi. Fraktur clavicula juga merupakan cedera umum
di bidang olahraga seperti seni bela diri, menunggang kuda dan
balap motor melalui mekanisme langsung maupun tidak langsung.
Tidak menutup kemungkinan fraktur clavicula yang terjadi disertai
dengan trauma yang lain, karena letaknya yang berdekatan dengan
leher, setiap kejadian fraktur clavicula harus dilakukan pemeriksaan
cervical. Fraktur clavicula bias bersifat terbuka atau tertutup,
tergantung dari mekanisme terjadinya
Penatalaksanaan yang paling sering dilakukan dengan
menggunakan tindakan operatif, dengan pemasangan plat / orif.
Hal ini berpotensi menimbulkan beberapa masalah dalam
penatalaksanaan perioperatif.
B. Etiologi
Penyebab utama/primer dari fraktur adalah trauma, bisa
karena kecelakaan kendaran bermotor, olahraga, malnutrisi.
Trauma ini bisa langsung/tidak langsung (kontraksi otot, fleksi
berlebihan). Fraktur klavikula dapat terjadi sebagai akibat dari jatuh
pada tangan yang tertarik berlebihan, jatuh pada bahu atau injury
secara langsung

C. Manifestasi klinis
Tanda dan Gejala yang sering dijumpai pada pasien fracture
clavikula Kemungkinan akan mengalami sakit, nyeri,
pembengkakan, memar, atau benjolan pada daerah bahu atau
dada atas. Tulang dapat menyodok melalui kulit, tidak terlihat
normal. Bahu dan lengan bisa terasa lemah, mati rasa, dan
kesemutan. Pergerakan bahu dan lengan juga akan terasa susah.
Anda mungkin perlu untuk membantu pergerakan lengan dengan
tangan yang lain untuk mengurangi rasa sakit atau ketika ingin
menggerakan

D. Patofisiologi
Klavikula adalah tulang pertama yang mengalami proses
pengerasan selama perkembangan embrio minggu ke-5 dan 6.
Tulang klavikula, tulang humerus bagian proksimal dan tulang
skapula bersama-sama membentuk bahu. Tulang klavikula juga
membentuk hubungan antara anggota badan atas dan Thorax.
Tulang ini membantu mengangkat bahu ke atas, ke luar, dan ke
belakang thorax. Pada bagian proksimal tulang clavikula
bergabung dengan sternum disebut sebagai sambungan
sternoclavicular (SC). Pada bagian distal klavikula bergabung
dengan acromion dari skapula membentuk sambungan
acromioclavicular (AC)
Patah tulang clavikula pada umumnya mudah untuk dikenali
dikarenakan tulang klavikula adalah tulang yang terletak dibawak
kulit (subcutaneus) dan tempatnya relatif di depan. Karena
posisinya yang teletak dibawah kulit maka tulang ini sangat rawan
sekali untuk patah. Patah tulang klavikula terjadi akibat dari
tekanan yang kuat atau hantaman yang keras ke bahu. Energi
tinggi yang menekan bahu ataupun pukulan langsung pada tulang
akan menyebabkan fraktur.

E. Pemeriksaan Diagnostik
Gambaran klinis pada patah tulang klavikula biasanya
penderita datang dengan keluhan jatuh atau trauma. Pasien
merasakan rasa sakit bahu dan diperparah dengan setiap gerakan
lengan. Pada pemeriksaan fisik pasien akan terasa nyeri tekan
pada daerah fraktur dan kadang-kadang terdengar krepitasi pada
setiap gerakan. Dapat juga terlihat kulit yang menonjol akibat
desakan dari fragmen patah tulang. Pembengkakan lokal akan
terlihat disertai perubahan warna lokal pada kulit sebagai akibat
trauma dan gangguan sirkulasi yang mengikuti fraktur.Untuk
memperjelas dan menegakkan diagnosis pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan adalah :
1. Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis
fraktur.
2. Scan tulang, CT-scan/ MRI: Memperlihatkan frakur dan
mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.
F. Penanganan
Pada prinsipnya penangan patah tulang clavikula adalah
untuk mencapai penyembuhan tulang dengan minimum tingkat
morbiditas, hilangnya fungsi, dan sisa kelainan bentuk.
Kebanyakan patah tulang clavikula telah berhasil ditangani dengan
metode tanpa operasi. Perawatan nonoperative dengan cara
mengurangi gerakan di daerah patah tulang. Tujuan penanganan
adalah menjaga bahu tetap dalam posisi normalnya dengan cara
reduksi tertutup dan imobilisasi.
Modifikasi spika bahu (gips Clavikula) atau balutan berbentuk
angka delapan atau strap klavikula dapat digunakan untuk
mereduksi fraktur ini, menarik bahu ke belakang, dan
mempertahankan dalam posisi ini. Bila dipergunakan strap
klavikula, ketiak harus diberi bantalan yang memadai untuk
mencegah cedera kompresi terhadap pleksus brakhialis dan arteri
aksilaris. Peredaran darah dan saraf kedua lengan harus dipantau.
Fraktur 1/3 distal klavikula tanpa pergeseran dan terpotongnya
ligamen dapat ditangani dengan sling dan pembatasan gerakan
lengan. Bila fraktur 1/3 distal disertai dengan terputusnya ligamen
korakoklavikular, akan terjadi pergeseran, yang harus ditangani
dengan reduksi terbuka dan fiksasi interna.
Selama imobilisasi pasien diperkenankan melakukan latihan
gerakan tapi harus menghindari aktivitas yang berat. Tindak lanjut
perawatan dilakukan dengan pemantauan yang dijadwalkan 1
hingga 2 minggu setelah cedera untuk menilai gejala klinis dan
kemudian setiap 2 hingga 3 minggu sampai pasien tanpa gejala
klinis. Pemeriksaan foto rontgen tidak perlu selama proses
perawatan, tetapi akan lebih baik dilakukan pada saat proses
penyatuan tulang yang biasanya dapat dilihat pada minggu ke 4
sampai minggu ke 6 (pada saat fase remodeling pada proses
penyembuhan tulang). Tanda klinis penyatuan tulang adalah
berkurangnya rasa sakit atau rasa sakit hilang, dapat melakukan
gerakan bahu secara penuh, dan

II. TINDAKAN OPERASI ORIF


A. Pengertian
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah suatu bentuk
pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang
yang mengalami fraktur.
ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi),open reduksi
merupakan suatu tindakan pembedahan untuk memanipulasi
fragmen-fragmen tulang yang patah / fraktur sedapat mungkin
kembali seperti letak asalnya.Internal fiksasi biasanya melibatkan
penggunaan plat, sekrup, paku maupun suatu intramedulary (IM)
untuk mempertahan kan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi.
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) Merupakan tindakan
pembedahan dengan melakukan insisi pada derah fraktur,
kemudian melakukan implant pins, screw, wires, rods, plates dan
protesa pada tulang yang patah

B. Tujuan tindakan operasi


Tujuan dari operasi ORIF untuk mempertahankan posisi
fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami
pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail biasanya
digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur
tranvers.
Imobilisasi sampai tahap remodeling:
1. Melihat secara langsung area fraktur
2. mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan
tidak mengalami pergeseran.

C. Indikasi/kontra indikasi
Indikasi ORIF (Open Reduksi Fiksasi Internal) meliputi :
1. Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
2. Fraktur dengan gangguan neurovaskuler
3. Fraktur Kominutif
4. Fraktur Pelvis
5. Fraktur terbuka
6. Trauma vaskuler
7. Fraktur shaft humeri bilateral
8. Floating elbow injury
9. Fraktur patologis
10. Reduksi tertutup yang sukar dipertahankan
11. Trauma multiple
12. Fraktur terbuka derajatI II
Kontraindikasi ORIF (Open Reduksi Fiksasi Internal) meliputi :
1. Pasien dengan penurunan kesadaran
2. Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan
tulang
3. Pasien yang mengalami kelemahan (malaise)
D. Pathway

Trauma langsung, trauma tidak langsung

Jaringan tidak kuat atau tidak dapat menahan


kekuatan dari luar

FRAKTUR

Perubahan letak fragmen Kehilangan fungsi kerusakan


kerusakan bagian-bagian lunak jaringan saraf

Keterbatasan gerak

Imobilitas Tindakan

Sirkulasi perifer berkurang

Iskemik
Konservatif Operatif Prosedur
pembedahan
E. Komplikasi
Pada kasus ini jarang sekali terjadi komplikasi karena incisi
relatif kecil dan fiksasi cenderung aman. Komplikasi akn terjadi bila
ada penyakit penyerta dan gangguan pada proses penyambungan
tulang.

III. Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian keperawatan
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Pada kasus
fraktur, klien biasanya merasa takut akan mengalami
kecacatan pada dirinya. Oleh karena itu, klien harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu juga, dilakukan pengkajian yang meliputi
kebiasaan hidup klien, seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolism kalsium, pengonsumsian
alcohol yang dapat mengganggu keseimbangan klien, dan
apakah klien melakukan olah raga atau tidak.
2. Pola nutrisi dan metabolism. Klien fraktur harus mengknsumsi
nutrisi melebihi kebutuhan sehari harinya, seperti kalsium, zat
besi, protein, vitamin C, dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang.
3. Pola eliminasi. Urine dikaji frekwensi, kepekatan, warna, bau,
dan jumlahnya. Feses dikaji frekuensi, konsistensi, warna dan
bau. Pada kedua pola ini juga dikaji adanya kesulitan atau
tidak.
4. Pola tidur dan istirahat. Semua klien fraktur biasanya merasa
nyeri, geraknya terbatas, sehingga dapat mengganggu pola
dan kebutuhan tidur klien. Pengkajian juga dilaksanakan pada
lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, kesulitan
tidur, dan penggunaan obat tidur.
5. Pola aktifitas. Hal yang perlu dikaji adalah bentuk aktifitas klien
terutama pekerjaan klien, karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur.
6. Pola hubungan dan peran. Klien akan mengalami kehilangan
peran dalam keluarga dan masyarakat karena klien harus
menjalani rawat inap.
7. Pola persepsi dan konsep diri. Dampak yang timbul adalah
ketakutan akan kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara optimal,
dan gangguan citra diri.
8. Pola sensori dan kognitif. Pada klien fraktur, daya rabanya
berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedangkan
pada indera yang lain dan kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga timbul rasa nyeri akibat fraktur.
9. Pola reproduksi seksual. Klien tidak dapat melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap,
mengalami keterbatasan gerak, serta merasa nyeri. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak
dan lama perkawinan.
10. Pola penanggulangan stress. Timbul rasa cemas akan
keadaan dirinya. Mekanisme koping yang ditempuh klien dapat
tidak efektif.
11. Pola tata nilai dan keyakinan. Klien fraktur tidak dapat
melakukan ibadah dengan baik, hal ini disebabkan oleh rasa
nyeri dan keterbatasan gerak klien.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Gambaran Umum
a. Keadaan umum. Keadaan baik atau buruknya klien
b. Kesadaran klien : compos mentis, gelisah, apatis, sopor,
coma, yang bergantung pada keadaan klien.
c. Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang,
berat, dan pada kasus fraktur biasanya akut.
d. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan, baik
fungsi maupun bentuk.
e. Secara Sistemik, dari kepala sampai kaki. Harus
memperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
klien, terutama mengenai status neurovaskuler.
2. Keadaan Lokal.
a. Look (Inspeksi). Perhatikan apa yang akan dilihat, antara
lain :
1) Sikatriks (jaringan parut, baik yang alami maupun
buatan seperti bekas operasi)
2) Fistula
3) Warna kemerahan atau kebiruan(livid) atau
hiperpigmentasi
4) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-
hal yang tidak biasa (abnormal)
5) Posisi dan bentuk ekstremitas(deformitas)
6) Posisi jalan (gait,waktu masuk ke kamar periksa)
b. Feel (palpasi). Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu
posisi klien diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi
anatomi).
1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit.
2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi
atau edema terutama di sekitar persendian.
3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal)
4) Tonus otot pada waktu relaksasi atau kontraksi,
benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat
pada tulang.
c. Move (pergerakan terutama rentang gerak).
Pemeriksaan dengan menggerakan ekstremitas, kemudian
mencatat apakah ada keluhan nyeri pada pergerakan.
Pergerakan yang dilihat adalah pergerakan aktif dan pasif.

C. Persiapan dan prosedur di ruang operasi


1. Inform concent
Surat persetujuan kepada pasien dan keluarga mengenai
pemeriksaan sebelum operasi, alasan, tujuan, keuntungan,
kerugian tindakan operasi
a. Diit
Pasien dipuasakan selama 8 jam sebelum operasi
1) Persiapan kebersihan kulit
Untuk membebaskan daerah operasi dari
mikroorganisme, persiapan yang dilakukan adalah
pencukuran rambut pada daerah perut , daerah sekitar
anus dan alat reproduksi.
2) Terapi pharmacologic
Narkotik dihindari karena dapat menghilangkan tanda
dan gejala, antibiotic untuk menanggulangi infeksi
3) Pengecekan status
Mengecek status pasien sudah tepat dilakukan operasi
orif, dengan menyesuaikan diagnosanya. Apabila
sudah tepat diagnosanya maka segera diantar ke ruang
operasi untuk dilakukan operasi
4) Persiapan alat dan ruangan
a) Alat tidak steril : Lampu operasi, Cuter unit, Meja
operasi, Suction, Hepafik, Gunting
b) Alat Steril : Duk besar 3, Baju operasi 4, Selang
suction steril, Selang cuter Steril,side 2/0, palain
2/0,berbagai macam ukuran jarum

D. Tehnik pembedahan dan alat


1. Persiapan:
a. Alat-alat disiapkan
- boar : 1
- redaction : 2
- satu set perlengkapan ET : 1 set.
- retractor : 2
- lastpat : 2
- arteri klem panjang : 2
- arteri klem kecil/pendek : 2/2
- nakulder : 1
- duk klem : 1
- kobra : 2
- kassa kecil : 20
- duk steril : 3
- plate : 1
- screw : 6
- penduga : 1
- gunting jaringan : 2
- gunting benang : 1
- pingset sirurgis : 2
- pingset anatomis : 2
- mangkok(kom) : 2
- quret : 1
- jarum traumatik maupun atraumatik :1
- couter : 1
- suction: 1
- benang: polysorb 2-0, biopsin 4-0
- penduga : 1
b. Pasien dipindahkan dari brancard ke meja operasi
c. Klien dipasang bedside monitor
d. Instrumentator dan operator mencuci tangan secara steril
lalu mengenakan jas operasi dan sarung tangan.
2. Pelaksanaan operasi
a. Klien diintubasi dengan ET sebelumnya dilakukan general
anestesi
b. Klien diposisikan telentang dengan kepala sedikit ekstensi
c. Dalam stadium anastesi dilakukan disinfektan
menggunakan betadine,kemudian diblilas menggunakan
alkohol 70 %
d. Dipasang linen (doek steril), difiksasi dengan doek klem,
selanjutnya ditutup/dipasang doek lubang besar
(mempersempit area yang akan dioperasi).
e. Melakukan insisi dengan pisau bedah ± 10 cm,secara
horizontal dari lapisan kulit,lemak, otot.
f. Melakukan pemegangan tulang menggunakan
reduction,kemudian memposisikannya pada posisi
semula,kemudian memasang plate pada tiang sambil
memegang dengan retractor dan melakukan pengeburan,
memasang plate dan screw sebanyak 7 dengan obeng.
g. Control perdarahan. perdarahan disuction atau dep
dengan kassa,dan memakai cuter.
h. Memposisikan tulang dengan keadaan semula,mengukur
panjang plate dan screw
i. Kemudian tulang di bor dan diukur kedalaman bor dengan
alat penduga
j. Memasang plate dan screw pada tulang yang telag dibor
k. Mencuci dengan NaCl, dan memastikan tidak ada lagi
perdarahan.
l. Melakukan hecting dengan polisorb 2-0, pada sevi
menggunakan safil 2-0 dan pada bagian kulit
menggunakan byosin 4-0
m. Menutup luka dengan sufra tulle, kasa dan diplester.
n. Daerah area operasi dibersihkan dengan Nacl 0,9%, dan
handuk basah.
o. Operasi selesai, mengobservasi A, B, C, ET dilepaskan
p. Klien dipindahkan ke brancard dan pindahkan keruang
recovery.
E. Diagnosa keperawatan
1. Diagnosa pre operativ
a. Nyeri akut berhubungan denganagen cidera fisik (farktur)
b. Cemas berhubungan dengan proses operasi
Diagnosa NOC NIC
Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Kaji nyeri klien
berhubungan tindakan (P,Q,R,S,T)
denganagen cidera keperawatan selama 3 2. Ajarkan tehnik
fisik (farktur) x 24 nonfarmakologi
jam, diharapkan nyeri /tehnik
pasien relaksasi(tarik nafas
dapat berkurang dalam)
dengan 3. Kolaborasi dengan
kriteria hasil : dokter pemberian
 Skala nyeri analgetik
berkurang menjadi 4 4. Tingkatkan istirahat
 Klien mampu
mengontrol nyeri
dengan tehnik
nonfarmakologi
 TTV dalam batas
normal

Cemas berhubungan Setelah dilakukan 1. Kaji faktor


Dengan kurangnya tindakan keperawatan penyebab
Informasi (prosedur selama 1 x 30 menit, kecemasan pasien.
operasi) diharapkan cemas 2. Berikan dukungan
pasien dapat teratasi kepada pasien.
dengan kriteria hasil : 3. Jelaskan prosedur
 Kontak mata baik operasi
 Pasien terlihat 4. Observasi reaksi
tenang nonverbal pasien.
 Pasien tidak gelisah 5. Temani pasien dan
 TD normal dengarkan keluhan

 Pasien dapat pasien

mengungkapkan 6. Tunjukkan sikap

keluhannya empati kepada


pasien

2. Diagnosa inta operasi


1) Bersihan jalan napas tidak efektif b/d produksi mucus
2) Gangguan pertukaran gas b/d efek anastesi (spasme
broncus)
3) Resiko infeksi b/d prosedur invasif (pembedahan)
Diagnosa NOC NIC
Bersihan jalan napas Setelah dilakukan 1. Lakukan suction
tidak efektif b/d tindakan keperawatan 2. Berikan terapi O2
produksi mucus selama 1x24 jam jalan 3. Atur posisi pasien
napas pasien ekstensikan kepala
efektif,dengan kriteria : pasien 30 derajat
 Pasien dapat dari kaki/ miringkan
bernapas dengan pasien
mudah 4. Ajarkan batuk
 Tidak ada suara efektif
napas
 tambahan/suara
napas bersih
 RR dalam rentang
normal
 Tidak ada secret

Ganguan pertukaran Setelah dilakukan


gas b/d efek anastesi tindakan keperawatan 1. Buka jalan napas
( spasme broncus) selama 1x24 jam tidak dengan maneuver
terjadi ganguan chin lift atau jaw

pertukaran gas, trust


dengan 2. Pasang mayo

kriteria : 3. Lakukan suction

 Tidak ada sianosis pada mayo

 Kesadaran 4. Posisikan pasien

composmentis Untuk

 Suara napas bersih memaksimalkan


ventilasi
 TTV dalam rentang
5. Monitor RR
normal
(kedalaman, irama,
 Sputum dapat
frekuansi, suara
keluar dengan
napas)
mudah
 Saturasi o2 dalam
rentang normal
Resiko infeksi b/d Setelah di lakukan 1. Monitor TTV
Prosedur invasif: tindakan keperawatan 2. Monitor tanda-tanda
pembedahan selama 1 x 24 jam infeksi.
resiko infeksi dapat 3. pertahankan teknik
teratasi, dengan aseptic selama
criteria hasil : proses
 TTV dalam rentang pembedahan.
normal 4. Lakukan pencucian
 Tidak ada tanda tangan sebelum
tanda infeksi dan sedudah
 Luka bersih bertemu pasien.

 Perdarahan < 500 5. Observasi


ml pelaksanaan
pembedahan
dengan
menggunakan
teknik steril.
6. Monitor keadaan
luka
7. Tutup rapat luka
dengan jahitan
yang rapi.
8. Jaga luka agar tidak
terkontaminasi dari
lingkungan
3. Diagnosa post operasi
1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
Obstruksi jalan napas : Produksi mucus
2) Resiko cidera (Injury) berhubungan dengan Efek anastesi
Diagnosa NOC NIC
Bersihan jalan napas Setelah dilakukan 1. Lakukan suction
Tidak efektif b/d tindakan keperawatan 2. Berikan terapi O2
obstruksi jalan napas: selama 1x24 jam jalan 3. Atur posisi pasien
Produksi mucus napas pasien efektif, ekstensikan kepala
dengan kriteria : pasien 30 derajat
 Pasien dapat dari kaki/ miringkan
bernapas dengan pasien
mudah 4. Ajarkan batuk
 Tidak ada suara Efektif
napas
tambahan/suara
napas bersih
 RR dalam rentang
normal
 Tidak ada secret

Resiko Cidera Setelah dilakukan


berhubungan dengan tindakan keperawatan 1. Temani pasien agar
Factor kimia (Efek selama 1 x 24 jm tidak jatuh
anastesi). resiko cidera dapat 2. Pasang side rail
teratasi dengan kriteria tempat tidur
hasil : 3. Anjurkan keluarga
 Tidak ada lagi efek untuk menemani
dari obat anastesi pasien nanti saat di
 Pasien bangsal
mengungkapkan 4. Mengontrol
rasa nyaman. lingkungan dari
 Kesadaran kebisingan.
composmentis 5. Sediakan
lingkungan yang
aman bagi pasien
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.


Edisi 12. Jakarta : EGC

M.A Henderson. 2012. Ilmu Bedah untuk Perawat. Yogyakarta : Yayasan


Essentia Medica

Mansjoer, A. Dkk . 2012 . Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3.


Jakarta: Media Aesculopius

Lukman, & Ningsih, N. (2013). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan


Gangguan Sistem Muskuloskletal. Jakarta : Salemba Medika

North American Nursing Diagnosis Association. 2016. Nursing Diagnosis:


Definition and Classification 2009-2011. NANDA International.
Philadelphia.

Amin H,2015. Aplikasi asuhan keperawatan nerdasarkan NANDA NOC


NIC. Yogyakarta: Media hardy

Anda mungkin juga menyukai