Anda di halaman 1dari 26

Sikap Etis Kristiani Terhadap Kasus Aborsi oleh: Pdt. Jerry F. Tiwa, M.

Th

Kasus aborsi merupakan dilema besar yang tentunya tidak mudah untuk dipecahkan. Karena
mencakup bermacam-macam aspek: legal, teologis, etis, sosial dan personal. Di dalamnya ada
yang pro dan kontra dalam penilaian etis terhadap kasus aborsi ini. Legalitas tindakan aborsi
adalah urusan kedua ketertarikaan antara pro-life dan golongan pro-chois. Masalahnya ada legal
atau tindakan kriminal, dan inilah inti kontroversi terhadap kasus ini.Golongan pro-aborsi
menitikberatkan hak-hak si ibu, yaitu privasi untuk memilih, dengan disertai berbagai
argumentasi dibelakangnya yang sifatnya lebih pragmatis misalnya karena alasan
tanggungjawab, finansial, aib, kecacatan; Mereka yang anti aborsi menitikberatkan hak-hak si
bayi yang belum dilahirkan, dan khususnya hak untuk hidup. Kaum anti aborsi menitikberatkan
perlunya pembelaan terhadap hak-hak bayi yang belum di lahirkan itu, yang tidak mampu
membela dirinya sendiri.
Masalah yang pokok dalam kasus aborsi ini adalah tentang hakikat janin, yaitu
bagaimana kita berpikir tentang janin dalam rahim ibunya? Mengenai pokok ini ada bermacam-
macam pemahaman yang berbeda. Ada yang menganggap bahwa saat menentukan
pemanusiaan embrio itu adalah pada suatu titik antara penghamilan dan kelahiran; ada yang
menganggap bahwa janin hanya sebagian dari tubuh wanita yang mengandungnya, sehingga
janin itu belum dapat dianggap makhluk insani; kelompok lainnya menganggap pembuahan atau
fusi saat yang menentukan makhluk manusia mulai berada.
Dalam pandangan Kristen, isu aborsi adalah isu moral dan teologis. Maka, untuk
menanggapi masalah ini, yang menjadi taruhannya adalah ajaran iman Kristen mengenai Allah
dan manusia. Maka paper ini akan mendalami isu aborsi ini dengan menganalisa aborsi,
kemudian mengungkap beberapa pandangan yang berkontroversi dalam menanggapinya, terakhir
tulisan ini akan memberikan argumentasi teologis sebagi sikap etis kristiani terhadap kasus
aborsi.

PENGENALAN AWAL KASUS ABORSI


Gugur kandungan atau aborsi, bahasa Latin: abortus adalah
berhentinya kehamilansebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin.
Apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka
istilahnya adalah kelahiran prematur. Abortus provocanus merupakan satu istilah untuk
keguguran yang disengaja. DalamKBBI, aborsi diartikan sebagai tindakan: 1) menggugurkan
kandungan; 2) menghentikan; 3) mempersingkat sesuatu: lahir sebelum waktunya; berkembang
secara tidak sempurna. Jadi, tindakan aborsi pada dasarnya adalah suatu sikap yang dilakukan
tidak pada jalan yang sewajarnya. Meniadakan sesuatu kehidupan sebelum waktunya, yang
seharusnya ia mengalami kehidupan sebagai manusia, dengan cara memaksa atau menghambat
kehidupan yang sedang berlangsung dalam rahim.
Ada banyak hal yang menyebabkan seseorang berani mengambil keputusan untuk
melakukan aborsi. Penyebab umumnya diantaranya adalah kehamilan karena tindakan
perkosaan. Seorang perempuan yang telah menjadi hamil karena perkosaan itu, jika pikiran tidak
dapat tahan menanggung untuk harus melahirkan seorang anak yang dihasilkan akibat
kecelakaan itu, maka biasanya ia lebih memilih untuk menggugurkan bakal anak itu. Kemudian,
bisa juga disebabkan bila seorang perempuan hamil dan ternyata dalam pemeriksaan ia akan
melahirkan seorang anak yang tidak akan dapat hidup atau secara badani akan sangat rusak,
maka aborsi menjadi pilihan utama bagi mereka. Jika jika seorang wanita, dalam keadaan tidak
nikah, telah menjadi hamil dan anak yang dilahirkan itu adalah anak yang anak yang tidak
dikehendaki. Juga dalam kehamilan yaitu jika nyawa ibu tertancam dan hanya bisa tertolong
(diselamatkan) kalau dikorbankan nyawa anak dalam rahimnya waktu melahirkan, maka
umumnya secara kedokteran menganjurkan untuk melakukan tindakan aborsi. Secara
financial,bertambahnya seorang anak dalam keluarga akan menjadi beban dan malapetakan bagi
keluarga.Maka, untuk menyelesaikan pergumulan berat ini, keputusan terakhir ada pada pilihan
antara aborsi atau tidak sama sekali.

KONTROVERSI REAKSI ETIS TERHADAP KASUS ABORSI


Pro-Choice
Pandangan ini berpendapat bahwa aborsi dapat dilakukan kapan saja. Alasannya adalah
keyakinan bahwa janin itu bagian tubuh manusia. Kelompok pro-aborsi atau pro-choice
(kebebasan memilih) memberi tekanan utama pada hak seorang ibu memutuskan apakah dia
ingin memiliki bayinya. Seorang wanita tidak dapat dipaksa memiliki anak yang bertentangan
dengan keinginannya. Di Amerika yang pluralis, ada satu inti utama yang menjadi label bagi
mereka yaitu radical individualism. Prinsip etika disimpulkan dari prinsip ini. I have a right to
live my own life as long as I dont hurt anybody else. Kebebasan individu menjadi inti dari
segala tindakan. Perempuan berhak untuk melakukan tindakan seksual aktif dan jika ia punya
benih bayi yang mulai tumbuh dalam kandungannya sebagai hasil dari aktivitas seksualnya, itu
bukan tanggungjawab dari perempuan itu atau temannya laki-laki. Jadi, keputusan untuk
mengaborsi anak, itu tergantung dari keputusan wanita yang mengandungnya. Kalaupun ia
melakukan tindakan aborsi, itu adalah haknya sebagai individu yang punya hak untuk
melakukannya. Kaum individualisme bahkan menuntut akan meminimalisasi legalisasi
berdasarkan aturan. Mereka berusaha agar individualime menjadi tindakan bebas, bertindak
menurut mereka sendiri dan keinginan sendiri. Dalam pandangan kelompok pro-choice tentang
janin, secara konsisten mengatakan bahwa embrio atau janin bukan suatu keberadaan manusia
atau pribadi atau seseorang memiliki hak hidup yang kepadanya kita memiliki tanggungjawab.
Argumentasi alkitabiah yang dibangun oleh kelompok ini adalah berdasarkan pada
Kejadian 2:7, Ayub 34:14-15, Yesaya 57:16, Pengkhotbah 6:3-5 dan Matius 26:24 yang
semuanya ditafsirkan janin bukanlah manusia sebab belum dapat bernafas. Argumentasi
ilmiahnya: (1) Argumentasi karena kesadaran diri, bahwa bayi hanyalah bagian dari tubuh
manusia dan bukan manusia sampai dia memiliki kesadaran diri; (2) Argumentasi karena
ketergantungan fisik, bahwa bayi adalah gangguan bagi daerah kekuasaan fisik seorang ibu
sehingga seorang ibu berhak mengaborsinya; (3) Argumentasi karena keselamatan sang ibu,
bahwa aborsi legal lebih aman dan menyelamatkan ribuan ibu dari kematian dibandingkan aborsi
yang dilakukan diam-diam, sembarangan dan tidak bersih; (4) Argumentasi karena siksaan
danpenyia-yiaan, bahwa kehamilan yang tidak diinginkan berakibat anak-anak mengalami
penyiksaan dan disia-siakan orang tuanya dan aborsi merupakan solusi efektif; (5) Argumentasi
karena cacat, bahwa kemajuan ilmu kedokteran dapat mengidentifikasi sejak dini bayi cacat yang
dapat ditolak kelahirannya daripada menjadi beban keluarga dan masyarakat. (6) Argumentasi
karena kebebasan pribadi sebagaimana keputusan Pengadilan Tinggi AS yang menghormati hak
kebebasan pribadi wanita atas tubuhnya sehingga berhak mengeluarkan seorang bayi yang tidak
diinginkan dari rahimnya sama seperti hak mengusir tamu dari rumah. (7) Argumentasi karena
pemerkosaan, bahwa mempertahankan kehamilan dalam kondisi terhina akibat perkosaan
merupakan sikap tidak bermoral dan wanita tidak harus dipaksa memiliki seorang bayi yang
bertentangan dengan kemauannya.
Geisler menilai argumentasi alkitabiah yang memandang janin sebagai bagian dari tubuh
manusia sama sekali tidak benar sebagaimana yang dimaksud Alkitab. Nafas tidak dapat menjadi
ukuran dimulainya hidup manusia. Kehidupan manusia sudah ada sebelum adanya nafas saat
kelahiran, yaitu dari saat pembuahan misalnya, Mazmur 51:7 dalam dosa aku dikandung ibuku
atau Matius 1:20, anak yang dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Kelahiran
merupakan permulaan kehidupan yang dapat dilihat orang, tetapi bukan permulaan kehidupan itu
sendiri sebab seorang ibu dapat merasakan kehidupan dalam kandungannya saat bayi bergerak,
kadang bahkan melonjak (Lukas 1:44). Kisah penciptaan Adam adalah kasus unik dan hanya
Allah yang memberikan kehidupan bagi manusia dan bagaimana kehidupan diberikan pada saat
pembuahan (Kejadian 4:1).
Anak-anak yang mati karena keguguran memang tidak memiliki pengetahuan apapun
(Pkh 6:3-5), tetapi bukan berarti mereka bukan manusia. Orang dewasa pun kelak akan mati dan
mereka tetap manusia sebab tidak ada pengetahuan dalam dunia orang mati kemana engkau
akan pergi (Pkh 9:10). Demikian juga bahwa tingkat pengetahuan bukan ukuran menilai bahwa
seorang individu itu manusia atau bukan manusia. Kesadaran diri benar belum dimiliki oleh
janin, tetapi juga pada mereka yang sedang tidur, koma, anak-anak kecil yang berumur satu
setengah tahun maupun mereka yang kurang pendidikannya. Karenanya, kesadaran diri tidak
dapat dijadikan patokan untuk tindakan aborsi.
Embrio bagi Geisler, bukanlah suatu perluasan dari sang ibu, sebab setelah 40 hari
setelah pembuahan embrio itu sudah memiliki ilham, golongan darah dan sidik jari sendiri. Dan
akhirnya, embrio itu hanya bersarang di dalam kandungan ibunya. Menyikapi legalisasi
aborsi,dapat dikatakan bahwa legalisasi aborsi justru membunuh jutaan bayi. Aborsi dapat dinilai
sebagai bentuk penyiksaan anak yang paling buruk, penyiksaan melalui kematian yang kejam.
Data Departemen Pelayanan Kesehatan dan Manusia sejak aborsi dilegalkan tahun 1973 sampai
1982, penyiksaan anak meningkat lebih dari 500 % dan 91 % dari mereka disiksa orang tua yang
menginginkan anaknya. Aborsi terhadap janin cacat tidak dapat dibenarkan sebab sama seperti
pembunuhan terhadap bayi atau eutanasia karena alasan genetik.
Hak kebebasan pribadi, menurut Geisler tidaklah mutlak sebab janin adalah manusia
sejak pembuahannya dan aborsi jelas tindak pembunuhan. Aborsi merupakan tindakan lepas
tanggung jawab setelah melakukan hubungan seksual bebas sebab si tamu datang karena
diundang dan diusir karena tidak diinginkan. Benar kita semua menaruh simpati terhadap korban
pemerkosaan, tetapi mengaborsi janin jelas tindak pembunuhan. Seharusnya kita menghukum
pemerkosa yang bersalah, bukan bayi yang tidak berdosa. Daripada diaborsi, bayi itu lebih baik
diadopsi oleh orang lain yang mau merawatnya.

Pro-life
Tidak ada aborsi: Keyakinan bahwa janin itu benar-benar manusia. Argumentasi
alkitabiah yang dibangun antara lain: Lukas1:41,44; 2:12,16; Keluaran 21:22 bahwa bayi yang
belum dilahirkan disebut anak-anak dan diciptakan Allah (Maz139:13) menurut gambar-Nya
(Kejadian 1:27). Hidup mereka dilindungi undang-undang (Kel 21:22) sama seperti orang
dewasa (Kej 9:6). Yesus sendiri menjadi manusia sejak dalam rahim Maria (Mat. 1:20-21; Luk
1:26-27). Secara ilmiah sejak dari pembuahan jenis kelamin pria atau wanita sudah ditentukan
dan sesuai dengan kesaksian Alkitab (Kej 1:27). Anak-anak yang belum lahir memiliki
karakteristik pribadi seperti dosa (Mazmur 51:5,7) tetapi dikenal dekat dan pribadi oleh Allah
(Mzm 1349:15-16; Yer 1:5) bahkan sudah dipanggil Allah sebelum dilahirkan (Kej. 25:22-23;
Hak 13:2-7; Yes 49:1,5; Gal 1:15). Anak yang belum lahir disebut secara pribadi dengan kata
ganti orang yang sama seperti manusia lainnya (Yer 1:5). Secara ilmiah, bahwa ilmu
pengetahuan lewat teknologi kedokteran membuktikan bahwa hidup manusia individual dimulai
pada saat pembuahan di mana seluruh informasi genetik ada. Pada saat terjadi pembuahan, ketika
sperma laki-laki (23 kromosom) dan sel telur wanita (23 kromosom) bersatu, manusia baru yang
kecil yang terdiri dari 46 kromosom muncul dan sejak saat itu sampai kematiannya tidak ada
informasi genetik baru yang ditambahkan. Semua yang ditambahkan di antara pembuahan
dankematian adalah makanan, air dan oksigen. Secara sosial, jelas bahwa embrio yang
dikandung adalah manusia yang memiliki orang tua manusia. Tindakan aborsi adalah tindakan
pembunuhan sama seperti pembunuhan anak bayi atau eutanasia karena melibatkan pasien yang
sama, prosedur yang sama dan berakhir dengan hasil yang sama.
Aborsi telah dinyatakan bersalah oleh banyak masyarakat dan orang-orang moralis. Jika
aborsi diterima maka kita mengakui diskriminasi dan berarti kita juga dapat menyingkirkan
mereka yang cacat jasmani, para lansia, korban AIDS, pecandu obat-obatan maupun mereka
yang terlantar. Kritik dilontarkan atas pandangan bahwa janin benar-benar manusia. Misalnya,
bagaimana jika hidup sang ibu terancam? Bagaimana jika janin tidak sampai ke uterus untuk
berkembang? Tidakkah kita berkewajiban menyelamatkan semua sel telur yang dibuahi agar
tidak terjadi aborsi spontan, karena janin tidak sampai ke uterus? Bukankah hidup kembar
identik dimulai sesudah pembuahan? Bagaimana dengan bayi yang tidak sempurna secara
genetik, karena hanya mempunyai 45 kromosom (Syndrome Turner) atau yang memiliki 47
(Syndrome Down) ? Embrio bukanlah seorang pribadi manusia, tetapi hanya dalam keberadaan
sebagai manusia.
Jawaban Geisler atas kritik itu sangat jelas. Aborsi secara medis dapat dibenarkan untuk
kasus kehamilan tubal dimana pilihannya nyawa ibu atau bayinya. Geisler berpendapat bahwa
secara moral dibenarkan mengambil setiap tindakan pencegahan medis untuk menyelamatkan
nyawa sang ibu. Artinya adalah aborsi yang dilakukan bukan seperti yang dimaksudkan karena
beberapa alasan: pertama, tujuannya bukanlah untuk membunuh bayi; maksudnya adalah untuk
menyelamatkan nyawa sang ibu. Kedua, ini adalah masalah nyawa ganti nyawa, bukan satu
situasi dimana ada permintaan untuk aborsi. Ketivhga, ketika hidup seseorang terancam, seperti
sang ibu, seorang memiliki hak untuk mempertahankannya atas dasar membunuh untuk membela
diri. John Stott mengatakan, Menurut tradisi kristiani, nyawa seseorang boleh dicabut demi
melindungi nyawa orang lain, misalnya dalam ikhtiar bela diri; tetapi tidak berhak membawa
maut ke dalam suatu situasi dimana tidak ada maut dan ancaman maut.
Kematian atau aborsi spontan dimana janin tidak sampai ke uterus, bukanlah
tanggungjawab moral kita dan berbeda dengan aborsi buatan (karena permintaan). Aborsi
spontan atau kematian alamiah karena keguguran bukan tugas moral kita mencampurinya.
Kembar identik manusia sejak pembuahannya sampai pembelahannya tetap manusia 100%
dengan masing-masing yang memiliki 46 kromosom. Akhirnya tidak ada perbedaan
mendasarantara keberadaan sebagai manusia dan menjadi pribadi manusia, yang ada hanyalah
perbedaan fungsional. Geisler menutup uraiannya dengan menyimpulkan bahwa kekudusan
hidup merupakan fokus utama perdebatan soal aborsi sehingga kewajiban kita melindungi
kekudusan hidup manusia

SIKAP ETIS KRISTIANI


Dalam perintah ke 6 berbunyi "Jangan Membunuh", maka dalam hal ini ada orang yang
bertanya-tanya, dalam situasi dan kondisi yang rumit, apakah perintah ini berlaku? Dan kalau
kita melihat konteksnya, maka perintah ini ditujukan untuk manusia. Dan sekarang yang menjadi
masalah utama adalah tentang status fetus itu sendiri;
Apakah fetus atau janin itu manusia atau bukan? Syarat apakah yang harus dimiliki
"sesuatu" supaya dapat dianggap seorang manusia, jelasnya supaya memiliki hak hidup? Jika
kita menganggap bayi yang belum dilahirkan bukan manusia, tetapi hanya benda, kapankah fetus
itu dapat menikmati statusnya sebagai seorang manusia atau pribadi? Jika janin itu belum
mempunyai status sebagai manusia, maka Abortus tidak dapat dicap sebagai pembunuhan, dan
masalah kita dapat diselesaikan, tetapi jika itu adalah manusia yang sedang mengalami proses
pertumbuhan secara kontinu, maka ini jelas merupakan suatu pembunuhan. Dalam hal ini, ada
pendapat yang menyatakan bahwa sejak terjadinya konsepsi, seorang anak sedang dibentuk
melalui proses yang alamiah dan terus-menerus, sel telur yang sudah dibuahi itu dalam waktu
sembilan bulan lebih akan berkembang menjadi bayi yang mempunyai ratusan juta sel dan fetus
mempunyai sistim sirkulasi sendiri dan otak.

Konsep Teologis
Alkitab memberi nilai yang tinggi atas hidup manusia. Dalam Ul 5 :117 tertulis "Jangan
Membunuh" dan dalam Kel 21:22-24 dipersoalkan tentang kasus pengguguran (Aborsi),
khususnya mengenai kasus kecelakaan seorang wanita yang sedang mengandung, yang terlibat
dalam perkelahian antara dua orang laki-laki, apabila si ibu hidup dan kandungannya gugur,
maka orang tersebut harus ganti rugi, dan kalau ibu itu mati dan kandungannya juga gugur, maka
harus nyawa ganti nyawa. Dalam hal ini ternyata orang Yahudi sangat menghargai hidup,
termasuk hidup binatang (lih Ul 22:6,7). Alkitab juga memberitahukan kepada kita bahwa
kehidupan sudah dimulai pada saat konsepsi, dalam Mat 1:20 dituliskan bahwa Yesus
dikandungoleh Roh Kudus, dengan demikian Yesus sungguh-sungguh menjadi manusia yang
seutuhnya pada saat konsepsi.
Alkitab juga memandang bayi yang belum dilahirkan itu sebagai satu pribadi atau
manusia. Mzm 139:13-16 mencatat tentang Daud, yang pada waktu dikandung sudah merupakan
manusia dalam pemeliharaan Allah. Yer 1:5 mencatat "Sebelum Aku membentuk engkau dalam
rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi
bangsa-bangsa. Juga dalam ayat yang lain yakni Mzm 51:7 Daud mengaku bahwa sifat dosanya
sudah ada sejak ia masih dalam kandungan.
Dalam Kej 1:26,27; 2:7 tertulis bahwa Allah menjadikan manusia menurut gambar dan
rupa-Nya, yang menunjukkan bahwa hidup ini kudus dan sangat berharga di hadapan Allah yang
telah menciptakannya. Maka dalam hal ini secara tegas Alkitab tidak membenarkan Aborsi,
alasannya:
1. Hidup manusia semata-mata Karunia Allah
2. Tuhan mempunyai rencana keselamatan bagi setiap insan yang lahir ke dunia ini.
3. Manusia tidak berhak untuk mencabut hak hidup dari pada fetus ataupun embrio, yang
berhak hanyalah Allah; jangan kita merampas hak Allah.

Oleh sebab itu, Sikap etis Kristiani dalam menanggapi masalah aborsi ini, pertama-tama
harus dilihat dari prerogatif Allah, karena masalah memberi hidup atau mengambil hidup adalah
urusan Allah. Semua orang Kristen percaya bahwa Allah yang mahakuasa adalah Allah pencipta
segala sesuatu, pemberi hidup, pemelihara dan pengambil hidup. Dialah yang memberi nafas dan
segala sesuatu kepada manusia, artinya bahwa hidup dan mati manusia adalah bagian dari Allah.
Selanjutnya, bagi kita sebagai orang Kristen meyakini bahwa terjadinya kehidupan
manusia itu bukan acakan atau terjadi secara otomatis, melainkan merupakan karya keterampilan
kreatif Allah. Seperti dikatakan dalam Mazmur 139:13, Engkaulah yang membentuk buah
pinggangku dan menenun aku dalam kandungan ibuku, artinya bahwa, kehidupan manusia itu
terjadi oleh karena ada penyebab yaitu Allah. Dia yang membentuk manusia, dan ia mengenal
sejak sebelum dalam kandungan (Yer.1:5). Selanjutnya, bahwa kehidupan manusia merupakan
kontinuitas (kesinambungan) artinya bahwa manusia mempunyai identitas yang sama baik di
dalam maupun di luar kandungan, sebelum maupun sesudah kelahiran, sebagai janin, bayi,
pemuda, dan orang dewasa tetap sebagai pribadi yang sama. Kehidupan janin insani adalah
suatukehidupan insani, dengan potensi menjadi makhluk manusia yang seutuhnya. Dorothy I.
Marx dalam bukunya Itu kan Boleh?, beliau mengatakan bahwa saat pertemuan merupakan saat
penentuan kehidupan fetus dalam hal-hal: a) Sifat pembawaan yang kelak diperolehnya dari
orangtuanya. b) Bakat-bakat serta IQ yang kelak dinyatakannya. c) Sifat-sifat pribadi yang kelak
dimilikinya. d) Tinggi badannya kelak. e) Warna mata dan rambutnya. f) Kekuatan fisiknya dan
mutu kesehatannya. Berdasarkan hal ini, maka dapar dikatakan bahwa: pertama, walaupun janin
berada di dalam kandungan ibunya selama 9 bulan dan mengalami suatu proses pembentukan
dan pertumbuhan, namun kepribadiannya sudah terbentuk sejak ia mulai
dikandung; kedua,walaupun janin berada di dalam kandungan selama 9 bulan, dan belum dapat
disebut "Manusia Seutuhnya", tetapi peri-kemanusiaan sudah ada sejak ia mulai dikandung.
Maka dalam hal ini, tindakan Aborsi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dibenarkan dan
merupakan suatu pembunuhan.
Maka yang seharusnya kita pikirkan bahwa baik ibu yang mengandung maupun anak
yang dikandung, sebagai dua makhluk manusia yang masing-masing berada dalam dua tahap
pertumbuhan yang berbeda. Penghuni rahim ibu bukan produk pembuahan, melainkan seorang
anak yang belum dilahirkan. John Stott, bahkan lebih lanjut mengatakan bahkan pengertian
kehamilan itu sendiri hanya menunjuk kepada suatu proses saja, yang sedang berlangsung
dalam tubuh si ibu. Jadi, janin bukan sebagian dari tubuh ibunya, bukan pula makhluk insan yang
potensial, melainkan sudah suatu kehidupan insani, yang meskipun belum matang, mempunyai
potensi untuk bertumbuh menuju kepenuhan dari kemusiaan individualnya
yang sudahdimilikinya. Stephen Schwarz, dalam menanggapi isu aborsi ini menegaskan
demikian,
On the whole, apart from the rare instances where there are live births, abortion is the killing
of the child. it is a deliberate and intentional killing, either because one wants the child dead, or
because on chooses a method of removal that in fact constitutes killing.

Mark Belz, dalam bukunya, Suffer The Little Children: Christians, Abortion, and Civil
Disobedience, menyatakan sikapnya terhadap kasus aborsi:
We oppose abortion because we believe that abortion is the destruction of human life. But it is
not just abortion in general and human life in general. We beliece that each abortion is the
taking of the life of an individual human being.

Ia meneruskan alasannya berdasarkan konsep Alkitabiah dengan menyatakan:


The Bible teachers that every human being is created in the image of God, and the Sixth
Commandment prohibith killing those created in Gods image. If abortion is theintentional,
unjustified destruction of another human being, then abortion is a clear violation of that
comandment.
Jadi, sikap Kristen sangat tegas, bahwa aborsi merupakan suatu pelanggaran terhadap
ketetapan Allah. Aborsi bukan merupakan pilihan Kristiani dalam kasus apapun.Verkuyl dalam
bukunya Etika seksual menyimpulkan suatu pertibangan etis terhadap sikap penolakkan atas
tindakan aborsi. Ia menyatakan bahwa kejujuran menuntut untuk mengakui tiga kenyataan.
Pertama-tama, bahwa kehidupan manusiawi telah dimulai pada waktu konsepsi dalam rahim;
yang kedua, bahwa setiap hidup manusiawi, juga hidup janin, berhak atas perlindungan; dan
ketiga, setiap pengambilan keputusan, yang membinasakan hidup yang sedang mulai itu
adalahpembunuhan hidup manusiawi yang sedang mulai.
Itulah sebabnya, aborsi merupakan dosa yang mengerikan. Bahwa merupakan suatu
keberanian bagi kita manusia yang fana ingin berperan sebagai Allah untuk mencabut nyawa
manusia. Orang-orang yang melakukannya bukan saja membunuh hidup melainkan menentukan
siapa harus hidup. Akhirnya tidak ada alasan bagi kita untuk melegalkan tindakan aborsi. Aborsi
adalah pelanggaran terhadap hukum Allah, dan Allah sangat membenci tindakan seperti itu.

KESIMPULAN
Aborsi dalam kaitannya dengan kekristenan merupakan suatu isu moral dan teologis.
menjadi rumit untuk diputuskan. Aborsi bisa dilakukan karena berbagai alasan yang mendasar
dan mendesak, misalnya karena korban perkosaan, demi keselamatan ibu, karena masalah
financial dan sebagainya. Maka, tindakan aborsi seringkali dijadikan pilihan terakhir ketika
permasalahan mengenai janin. Isu sentral dari kasus ini adalah hakikat janin dalam kandungan
ibunya, yaitu bagaimana kita berpikir tentang janin dalam rahim ibunya. Kasus aborsi dalam
lingkup etika ditanggapi secara berbeda-beda. Ada yang berlaku pro-choice yang
menitikberatkan hak-hak si ibu, yaitu privasi untuk memilih. Akibatnya aborsi dijadikan sebagai
sesuatu yang legal. Tanggapan lain adalah pro-life, yang menitikberatkan hak-hak si bayi yang
belum dilahirkan, dan khususnya hak untuk hidup. Kedua pandangan ini secara kristiani
mempunyai dasar alkitabiah yang mendukung akan posisi-posisi mereka.
Lalu bagaimana etika Kristen menyingkapi masalah ini? Ternyata, berdasarkan
argumentasi Alkitabiah aborsi bukanlah pilihan Kristen. Alkitab tetap memandang bahwa
tindakan aborsi adalh suatu pelanggaran terhadap Firman Allah dan hukum-hukum Allah.
Danmanusia yang melakukannya bisa dianggap sebagai orang yang menggantikan posisi Allah
sebagai permilik manusia, yang mana dengan berani menentukan siapa yang berhak untuk hidup
dan yang berhak untuk mati. Akhirnya, secara kristiani, aborsi bukanlah pilihan kristiani dan
Allah membenci tindakan aborsi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Belz, Mark. Suffer The Little Children: Christians, Abortion, and Civil Disobedience. Illinois:
Crossway Books, 1989
Davis, John Jefferson. Abortion and the Christian: What Every Believer Should Know. New
Jersey: Presbyterian and Reformed Publisher co, 1984
Geisler, Norman L. Etika Kristen: Pilihan dan Isu. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara,
2000
Gorman, Michael J. & Brooks, Ann Loar. Holy Abortion?: A Theological Critique of the
Religious Coalition for Reproductive Choice. Oregon: Wipf and Stock Publishers, 2003
Marx, Dorothy I. Itu Kan Boleh?. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, tt
Salim, Peter. The Contemporary English-Indonesian Dictionary. Jakarta: Modern English Press,
1991
Schwarz, Stephen. The Moral Question of Abortion. Chicago: Loyola University Press, 1990
Stott, John. Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani: Penilaian Atas Masalah Sosial
dan Moral Kontemporer, terj G.M.A. Nainggolan. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/OMF, 1996
Verkuyl, J. Etika Kristen: Etika Seksuil. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982
Wenberg, Robert N. Life in the Balance: Exploring the Abortion Controversy. Grand Rapids,
Michigan: Willian B. Eerdmans Publishing Company, 1985
Zimbelman, Ernie. Human sexuality and evangelical Christians. Lanham: University Press of
America, tt

DEKRIMINALISASI ABORSI

Oleh SHIDARTA (Agustus 2014)

Aborsi adalah salah satu dari banyak isu kontroversial dalam hukum. Permasalahan etisnya
berada dalam kerangka berpikir bahwa aborsi adalah pembunuhan manusia, terlepas mahluk
yang dibunuh masih berupa janin. Persoalan tentang apakah janin ini sudah pantas disebut
manusia atau belum, sangat bergantung pada kapan gumpalan darah dan/atau daging itu
memiliki nyawa yang terpisah dari ibunya. Dalil-dalil agama akan berseliweran di sini, berusaha
menyampaikan doktrin-doktrinnya. Kendati ada tolok ukur yang berbeda tentang kapan sebuah
janin sudah memiliki nyawa, para ahli etika berkeyakinan bahwa setiap calon manusia itu telah
memiliki hak untuk dilahirkan begitu terjadi konsepsi (the right to be born after conception).

Apabila pegangan etis di atas digunakan maka apapun alasannya, aborsi tetap terlarang secara
moral. Aborsi adalah pembunuhan! Namun, pegangan etis ini ternyata juga tidak tunggal. Kaum
utilitarian menawarkan kompromi. Menurut mereka, aborsi bisa jadi akan lebih bermanfaat
daripada membiarkan janin itu tumbuh, padahal ia bakal lahir sebagai bayi yang tidak
dikehendaki (unexpected child). Pandangan inilah yang rupanya diikuti oleh Pemerintah melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Menurut Pasal 31
dari peraturan ini, tindakan aboris hanya dapat dilakukan berdasarkan: (a) indikasi kedaruratan
medis; atau (b) kehamilan akibat perkosaan. Khususnya untuk huruf (b) tersebut lalu diatur lagi
pada ayat berikutnya, bahwa tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila
usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid
terakhir. Kategori yang pertama, yakni kedaruratan medis dikenal dalam terminologi hukum
sebagai abortus provocatus therapiticus. Kedaruratan itu ditandai dengan adanya ancaman
nyawa dan kesehatan ibu dan/atau janin. Bisa juga karena janin tersebut menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan atau tidak dapat diperbaiki, sehingga menyulitkan bayi
tersebut hidup di luar kandungan.

Tampaknya aborsi kategori kedaruratan media ini tidak akan banyak menimbulkan kontroversial,
kendati tetap menyisakan problema etis. Lain halnya dengan kategori kedua, yaitu hamil akibat
perkosaan. Sekalipun aborsi jenis kedua ini dibatasi jangka waktunya yaitu harus dalam kurun
waktu 40 (empat puluh) sejak haid terakhir, aborsi ini bukan termasuk aborsi terapetis. Alasan
pembolehannyaa lebih ke arah psikologis si ibu.

Untuk menghindari penyelundupan hukum oleh orang-orang yang ingin melakukan aborsi
dengan pura-pura hamil akibat diperkosa, maka Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
2014 mensyaratkan adanya surat keterangan dokter (untuk menentukan usia kehamilan), dan
keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain (untuk menentukan adanya dugaan perkosaan).
Tentu saja, filter pengaman tersebut masih mudah ditembus karena pemantauan atas kerja para
profesional tersebut masih tergolong rawan di Indonesia. Ada bukti bahwa dokter-dokter tertentu
berkeyakinan bahwa praktik aborsi yang mereka tangani untuk remaja-remaja yang hamil di luar
nikah adalah bagian dari penyelamatan terhadap masa depan remaja tersebut. Cara berpikir
demikian seharusnya tidak lagi bisa ditoleransi setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor
61 Tahun 2014 ini.

Hal lain yang ingin disinggung dalam tulisan singkat ini adalah soal sifat limitatif yang dimuat di
dalam Pasal 31. Kata hanya di dalam rumusan pasal tersebut memperlihatkan pembatasan
untuk dua jenis aborsi itu saja. Tidak boleh lebih daripada itu. Sebagai contoh, apabila ada isteri
yang hamil karena kegagalan menggunakan alat kontrasepsi, tidak bisa diterima sebagai alasan
untuk minta dilakukan aborsi. Tindakan aborsi jenis ini adalah abortus provocatus criminalis.
Demikian juga, konsep perkosaan di dalam perkawinan (marital rape) juga tidak boleh
dimasukkan ke dalam denotasi dari Pasal 31. Padahal, konon sejumlah penggagas KUHP
menginginkan agar delik perkosaan dalam perkawinan ini bisa diakomodasikan di dalam
rancangan kodifikasi hukum pidana Indonesia yang baru.

Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 merupakan suatu kebijakan


dekriminalisasi aborsi, namun diterapkan secara limitatif. Dalam praktiknya, apa yang
disinggung dalam peraturan ini sudah pula berjalan di masyarakat, sehingga dapat dipahami jika
peraturan tersebut disikapi secara adem ayem oleh masyarakat. Tinggal kita menunggu seperti
apa pengaturan teknis dari Pasal 31 tersebut, di samping korelasi dan konsistensinya dengan
peraturan perundang-undangan lain yang tersebar di berbagai tempat, termasuk dalam KUHP
mendatang. (***)
D-Fast Generation

akulah malaikat jalanan yang lahir di surga di bawah bayang-bayang bintang sembilan dan atas
restu Allah... (sory bos..g' ada niat sombong atau takabbur loh..)he...

Jumat, 12 Juni 2009

ABORSI, TRANSPLANTASI DAN OPERASI DALAM KONTEKS ISLAM


DAN KESEHATAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Saat ini Aborsi, transplantasi dan operasi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari
tingginya angka aborsi transplantasi dan operasi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia
sendiri, angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. Angka yang tidak sedikit mengingat
besarnya tingkat kehamilan di Indonesia. Selain itu, ada yg mengkategorikan aborsi itu pembunuhan.
Ada yang melarang atas nama agama. Ada yang menyatakan bahwa jabang bayi juga punya hak hidup
sehingga harus dipertahankan, dan lain-lain.
Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan
kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah
perdarahan, infeksi dan eklampsia.
Namun sebenarnya aborsi juga merupakan penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalam bentuk
komplikasi perdarahan dan sepsis. Akan tetapi, kematian ibu yang disebabkan komplikasi aborsi sering
tidak muncul dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis. Hal itu terjadi
karena hingga saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat. Di satu pihak
aborsi dianggap ilegal dan dilarang oleh agama sehingga masyarakat cenderung menyembunyikan
kejadian aborsi, di lain pihak aborsi terjadi di masyarakat. Ini terbukti dari berita yang ditulis di surat
kabar tentang terjadinya aborsi di masyarakat, selain dengan mudahnya didapatkan jamu dan obat-
obatan peluntur serta dukun pijat untuk mereka yang terlambat datang bulan.
Tidak ada data yang pasti tentang besarnya dampak aborsi terhadap kesehatan ibu, WHO
memperkirakan 10-50% kematian ibu disebabkan oleh aborsi (tergantung kondisi masing-masing
negara). Diperkirakan di seluruh dunia setiap tahun dilakukan 20 juta aborsi tidak aman, 70.000 wanita
meninggal akibat aborsi tidak aman, dan 1 dari 8 kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. Di
Asia tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya, di antaranya 750.000
sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia. Risiko kematian akibat aborsi tidak aman di wilayah Asia
diperkirakan antara 1 dari 250, negara maju hanya 1 dari 3700. Angka tersebut memberikan gambaran
bahwa masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar.
Sementara ada isu-isu dan nilai-nilai etis yang berlaku secara umum dalam beberapa bidang bioetika,
ada pula isu-isu etis khusus untuk masing-masing persoalan biomedis. Makalah ini dimulai dengan
mendaftar masalah-masalah yang cukup spesifik terkait dengan pencangkokan organ, yang
dikelompokkan menjadi tiga kelompok persoalan etis besar. Tulisan ini tak berpretensi untuk menjawab
semua persoalan pelik tersebut, namun sekadar mengajukan beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam mengambil keputusan-keputusan etis terkait. Pembahasan etika di makalah ini
ingin dipusatkan pada etika yang bersumber dari agama (tanpa menafikan adanya upaya-upaya
menawarkan etika sekular untuk menjawab persoalan etis pencangkokan organ). Karena itu, bagian
kedua mencoba menjawab sebagian kecil dari persoalan-persoalan tersebut, dengan mengambil contoh
kasus tanggapan Islam terhadap teknologi medis ini. Meski ada konsensus yang cukup mengesankan
dalam Islam ketika merespon pencangkokan organ, tanggapan tersebut dianggap kurang lengkap karena
hanya terfokus kepada satu dari tiga kelompok masalah etis pencangkokan organ. Secara khusus, satu
masalah yang tak cukup banyak mendapat perhatian adalah mengenai isu keadilan distributif. Di bagian
akhir diberikan beberapa catatan mengenai dua isu umum dan mendasar dalam bioetika yang perlu
diperbincangkan, khususnya dalam konteks Indonesia .
Ada berbagai upaya dari manusia untuk mengikuti trand mode dan untuk memper cantik dir yaitu
dengan cara Operasi plastik atau dikenal dengan "Plastic Surgery" atau dalam bahasa arab "Jirahah
Tajmil" ,adalah bedah/operasi yang dilakukan untuk mempercantik atau memperbaiki satu bagian di
dalam anggota badan, baik yang nampak atau tidak, dengan cara ditambah, dikurangi atau dibuang,
bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan estetika (seni) tubuh.
Maka dari latar belakang diatas kami penulis mengambil judul Seputar Aborsi, Tranplantasi dan Operasi
dalam Konteks Islam dan kesehatan.
B. BATASAN MASALAH
Dalam makalah ini saya akan membahas masalah-masalah dalam dunia aborsi, transplantasi dan
operasi. Dalam masalah-masalah ini terdapat dua sudut pandang, yaitu dari segi kesehatan dan dari
agama islam
Dalam segi/aspek kesehatan, masalah yang saya angkat ialah sebagai berikut:
1. Apakah definisi/pengertian dari aborsi, transplantasi dan operasi?
2. Apa yang sebenarnya terjadi dalam masalah aborsi, transplantasi dan operasi ?
3. Apa akibat aborsi, transplantasi dan operasi ini untuk hidup manusia secara keseluruhan?
Dalam segi/aspek agama islam, masalah yang saya angkat ialah sebagai berikut:
1. Apa yang dikatakan al-Qur`an mengenai kasus aborsi, transplantasi dan operasi?
2. Apa yang dikatakan oleh ajaran islam ?
3. Apa tanggapan agama islam tentang kasus aborsi, transplantasi dan operasi?
C. TUJUAN
- Dalam pembuatan makalah ini, saya akan menjelaskan pengertian, jenis-jenis dan masalah-masalah
pada aborsi, transplantasi dan operasi dalam segi/aspek kesehatan dan dalam segi/ aspek islam.
- Menambah wawasan tentang kesehatan dan agama islam mengenai aborsi, transplantasai dan operasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aborsi
Menurut Fact About Abortion, Info Kit on Womens Health oleh Institute for Social, Studies and Action,
Maret 1991, dalam istilah kesehatan aborsi didefinisikan sebagai penghentian kehamilan setelah
tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai
20 minggu.
Jadi, gugur kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah terjadi keguguran janin; melakukan
abortus sebagai melakukan pengguguran (dengan sengaja karena tak menginginkan bakal bayi yang
dikandung itu). Secara umum, istilah aborsi diartikan sebagai pengguguran kandungan, yaitu
dikeluarkannya janin sebelum waktunya, baik itu secara sengaja maupun tidak. Biasanya dilakukan saat
janin masih berusia muda (sebelum bulan ke empat masa kehamilan).
I. Aborsi Konteks Medis / Kesehatan
Menurut batasan atau definisi, aborsi adalah pengeluaran buah kehamilan dimana buah kehamilan itu
tidak mempunyai kemungkinan hidup di luar kandungan. Sedangkan dunia kedokteran berpendapat
bahwa janin yang lahir dengan berat badan yang sama atau kurang dari 500 gram tidak mungkin hidup
di luar kandungan, meskipun ada laporan kedokteran yang menyatakan bahwa ada janin di bawah 500
gram yang dapat hidup. Karena janin dengan berat badan 500 gram sama dengan usia kehamilan 20
minggu, maka kelahiran janin dibawah 20 minggu tersebut sebagai aborsi.
Ada negara tertentu yang memakai batas 1000 gram sebagai aborsi, menurut Undang-Undang di
Indonesia, kematian janin di bawah 1000 gram tidak perlu dilaporkan dan dapat dikuburkan di luar
Tempat Pemakaman Umum.
Dari cara terjadinya aborsi, ada dua macam aborsi, aborsi spontan (abortus spontaneus) dan aborsi
buatan (abortus provocatus). Aborsi spontan terjadi sendiri tanpa campur tangan manusia, sedang
aborsi buatan adalah hasil dari perbuatan manusia yang dengan sengaja melakukan perbuatan
pengguguran. Abortus yang terjadi pada usia kehamilan di bawah 12 minggu disebut abortus dini.
a. Abortus Spontaneus
Insiden abortus spontan diperkirakan 10% dari seluruh kehamilan. Namun angka ini mempunyai dua
kelemahan, yaitu kegagalan untuk menghitung abortus dini yang tidak terdeteksi, serta aborsi ilegal
yang dinyatakan sebagai abortus spontan.
Insiden abortus spontan sulit untuk ditentukan secara tepat, karena sampai sekarang belum diterapkan
kapan sebenarnya dimulainya kehamilan? Apakah penetrasi sperma kedalam sel telur sudah merupakan
kehamilan? Apakah pembelahan sel telur yang telah dibuahi berarti mulainya kehamilan? Atau
kehamilan dimulai setelah blastocyst membenamkan diri kedalam decidua? Atau setelah janin
bernyawa?
Dengan pemeriksaan tes yang dapat mendeteksi Human Chorionic Gonadotropin maka frekuensi
abortus akan menjadi lebih tinggi (20% - 62%).
1. Penyebab abortus spontan
Lebih dari 80% abortus terjadi pada usia kehamilan 12 minggu. Setengah di antaranya disebabkan
karena kelainan kromosom. Resiko terjadinya abortus meningkat dengan makin tingginya usia ibu serta
makin banyaknya kehamilan. Selain itu kemungkinan terjadinya abortus bertambah pada wanita yang
hamil dalam waktu tiga bulan setelah melahirkan.
Pada abortus dini, pengeluaran janin/embrio biasanya didahului dengan kematian janin/embrio.
Sedangkan abortus pada usia yang lebih lanjut, biasanya janin masih hidup sebelum dikeluarkan.
Kelainan Pertumbuhan Zygote.
Penyebab paling sering terjadinya abortus dini adalah kelainan pertumbuhan hasil konsepsi
(pembuahan), baik dalam bentuk Zygote, embrio, janin maupun placenta. Ternyata 50% - 60% dari
abortus ini berhubungan dengan kelainan kromosom.
Faktor Ibu.
Penyakit pada ibu biasanya terjadi pada janin dengan kromosom yang normal, paling banyak pada usia
kehamilan 13 minggu. Beberapa macam infeksi bakteria atau virus dapat menyebabkan abortus.
Penyakit ibu yang kronis biasanya tidak menyebabkan abortus, meskipun dapat menyebabkan kematian
janin pada usia yang lebih lanjut atau menyebabkan persalinan prematur. Kelainan pada uterus (rahim)
dapat menyebabkan abortus spontan.
2. Pembagian abortus spontan
Abortus Imminens (threatened abortion), yaitu adanya gejala-gejala yang mengancam akan terjadi
aborsi. Dalam hal demikian kadang-kadang kehamilan masih dapat diselamatkan.
Abortus Incipiens (inevitable abortion), artinya terdapat gejala akan terjadinya aborsi, namun buah
kehamilan masih berada di dalam rahim. Dalam hal demikian kehamilan tidak dapat dipertahankan lagi.
Abortus Incompletus, apabila sebagian dari buah kehamilan sudah keluar dan sisanya masih berada
dalam rahim. Pendarahan yang terjadi biasanya cukup banyak namun tidak fatal, untuk pengobatan
perlu dilakukan pengosongan rahim secepatnya.
Abortus Completus, yaitu pengeluaran keseluruhan buah kehamilan dari rahim. Keadaan demikian
biasanya tidak memerlukan pengobatan.
Missed Abortion. Istilah ini dipakai untuk keadaan dimana hasil pembuahan yang telah mati tertahan
dalam rahim selama 8 minggu atau lebih. Penderitanya biasanya tidak menderita gejala, kecuali tidak
mendapat haid. Kebanyakan akan berakhir dengan pengeluaran buah kehamilan secara spontan dengan
gejala yang sama dengan abortus yang lain.
b. Abortus Therapeuticus
Abortus therapeuticus adalah pengakhiran kehamilan pada saat dimana janin belum dapat hidup demi
kepentingan mempertahankan kesehatan ibu. Menurut Undang-Undang di Indonesia tindakan ini dapat
dibenarkan. Keadaan kesehatan ibu yang membahayakan nyawa ibu dengan adanya kehamilan adalah
penyakit jantung yang berat, hypertensi berat, serta beberapa penyakit kanker.
Di beberapa negara, termasuk dalam kategori ini adalah kehamilan akibat perkosaan atau insect, dan
pada keadaan dimana bayi yang dikandungnya mempunyai cacat fisik atau mental yang berat. Di
negara-negara Eropa, aborsi diperbolehkan apabila ibu menderita campak Jerman (German Measles)
pada trimester pertama.
Elective Abortion
Aborsi sukarela adalah pengakhiran kehamilan pada saat janin belum dapat hidup namun bukan karena
alasan kesehatan ibu atau janin. Pada masa kini, aborsi jenis inilah yang paling sering dilakukan. Di
Amerika Serikat, terjadi satu aborsi sukarela untuk tiap 3 janin lahir hidup.
Eugenic Abortion:
pengguguran yang dilakukan terhadap janin yang cacat

II. Aborsi Konteks Hukum Islam


Dr. Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam halaman 127-128
menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan
setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli
fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi
dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam
kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang
memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.
Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At
Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor
Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur)
maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami
pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang
harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan
setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan
sampai dibuang atau dibunuh (Masjfuk Zuhdi, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam,
halaman 81; M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam, halaman 57; Cholil Uman, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad
Modern, halaman 91-93; Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum
Islam Masa Kini, halaman 77-79).
Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya
ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan
masa kehamilan. Abdullah bin Masud berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:
Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk
nuthfah, kemudian dalam bentuk alaqah selama itu pula, kemudian dalam bentuk mudghah selama
itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya. [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi].
Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh
makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya
antara lain didasarkan pada dalil-dalil syari berikut. Firman Allah SWT:
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki
kepada mereka dan kepadamu. (Qs. al-Anaam [6]: 151).
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki
kepada mereka dan kepadamu. (Qs. al-Isra` [17]: 31).
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan
(alasan) yang benar (menurut syara). (Qs. al-Isra` [17]: 33).
Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh. (Qs. at-
Takwiir [81]: 8-9)
Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah
berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan
pembunuhan yang diharamkan Islam.
Adapun aborsi sebelum kandungan berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di atas, para fuqoha
berbeda pendapat dalam masalah ini. Akan tetapi menurut pendapat Syaikh Abdul Qadim Zallum (1998)
dan Dr. Abdurrahman Al Baghdadi (1998), hukum syara yang lebih rajih (kuat) adalah sebagai berikut.
Jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan
dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Dalam hal ini hukumnya sama
dengan hukum keharaman aborsi setelah peniupan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran
kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (jaiz) dan tidak apa-apa.
(Abdul Qadim Zallum, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam: Kloning,
Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati,
halaman 45-56; Dr. Abdurrahman Al Baghdadi, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, halaman 129 ).
Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (jaiz) dan
tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih
berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang
menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.
Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan dengan
azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehamilan. Azl dilakukan oleh
seorang laki-laki yang tidak menghendaki kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab azl merupakan
tindakan mengeluarkan sperma di luar vagina perempuan. Tindakan ini akan mengakibatkan kematian
sel sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan mengakibatkan tiadanya
pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan menimbulkan kehamilan.
Rasulullah Saw telah membolehkan azl kepada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau mengenai
tindakannya menggauli budak perempuannya, sementara dia tidak menginginkan budak
perempuannya hamil. Rasulullah Saw bersabda kepadanya:
Lakukanlah azl padanya jika kamu suka! [HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud].
Namun demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah
peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut
ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan
melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan
adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT:
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. (Qs. al-Maaidah [5]: 32) .
Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan. Sedangkan Rasulullah
Saw telah memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka
berobatlah kalian! [HR. Ahmad].
RESIKO ABORSI
Aborsi memiliki risiko penderitaan yang berkepanjangan terhadap kesehatan maupun keselamatan
hidup seorang wanita. Tidak benar jika dikatakan bahwa seseorang yang melakukan aborsi ia tidak
merasakan apa-apa dan langsung boleh pulang .
Resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi berisiko kesehatan dan keselamatan secara
fisik dan gangguan psikologis. Risiko kesehatan dan keselamatan fisik yang akan dihadapi seorang wanita
pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi adalah ;
Kematian mendadak karena pendarahan hebat.
Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal.
Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan.
Rahim yang sobek (Uterine Perforation).
Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya.
Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita).
Kanker indung telur (Ovarian Cancer).
Kanker leher rahim (Cervical Cancer).
Kanker hati (Liver Cancer).
Kelainan pada ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan
pendarahan hebat pada kehamilan berikutnya.
Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi ( Ectopic Pregnancy).
Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease).
Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)
Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan
seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental
seorang wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai Post-Abortion Syndrome (Sindrom
Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat dalam Psychological Reactions Reported After
Abortion di dalam penerbitan The Post-Abortion Review.
Oleh sebab itu yang sangat penting untuk diperhatikan dalam hal ini adanya perhatian khusus dari orang
tua remaja tersebut untuk dapat memberikan pendidikan seks yang baik dan benar.
B. Transplantasi / Pencangkokan
I. Persoalan-persoalan etis dalam transplantasi organ
Terkait dengan pencangkokan organ, di bawah ini akan dicoba didaftar secara agak terinci isu-isu etis
yang mungkin muncul dalam empat kelompok.
A. Kebolehan intrinsik pencangkokan
Di sini pertanyaannya adalah kebolehan atau ketidakbolehan secara intrinsik teknologi ini maupun
dampak-dampak negatif yang dipersepsi akan ditimbulkannya. Misalnya, ada beberapa pandangan
keagamaan tertentu yang melihat upaya ini sebagai melanggar kesakralan tubuh atau martabat manusia
yang merupakan ciptaan Tuhan. Ini bisa jadi merupakan bentuk lain, atau bisa diturunkan dari,
keberatan umum terhadap kedokteran yang melakukan intervensi atas tubuh manusia. Berhakkah
manusia mengintervensi kehidupan manusia? Sebagian besar agama akan memberikan jawaban
afirmatif terhadap pertanyaan ini, namun biasanya dengan kualifikasi-kualifikasi tertentu. Maka
persoalannya adalah: sampai sejauh apa intervensi itu bisa dilakukan? Ini adalah pertanyaan mengenai
batas-batas intervensi yang diperbolehkan, dengan mempertimbangkan upaya mempertahankan
martabat manusia maupun upaya menghindari playing god. Di bagian akhir tulisan ini nanti akan
disinggung mengenai masalah ini lebih jauh.
Di samping itu, dalam literatur etika dan hukum Islam, misalnya, ada pula persoalan-persoalan spesifik
seperti: apakah boleh seorang Muslim menerima organ dari non-Muslim? Bagaimana pula dengan organ
dari binatang, khususnya binatang yang diharamkan bagi Muslim untuk mengkonsumsinya, seperti babi?
Apakah memindahkan organ babi, misalnya, ke tubuh manusia bisa dianalogikan dengan mengkonsumsi
daging itu?
Pertanyaan mengenai boleh/tidak bolehnya pencangkokan organ ini bisa juga dilihat dari konteks sosial-
ekonomi: kepada kelompok masyarakat manakah teknologi ini berpihakorang miskin atau kaya? Isu ini
akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan mengenai keadilan distributif di bawah. Sebelum itu, fakta
bahwa ada pertanyaan-pertanyaan etis yang bisa dimunculkan mengenai kebaikan/keburukan intrinsik
teknologi pencangkokan, ini saja sudah menunjukkan bahwa teknologi ini tidak bebas-nilaibahkan
sebelum kita melihat dampak-dampaknya.
B. Perolehan dan distribusi organ
Salah satu persoalan terbesar, khususnya di negara maju seperti AS, muncul karena jauh lebih tingginya
permintaan akan organ ketimbang suplai yang ada. Di AS, pada 2003 lebih dari 19,000 pencangkokan
organ dilakukan; organ-organ tersebut diambil dari 9,800 donor. Namun angka ini menjadi amat kecil
jika dibandingkan dengan daftar tunggu: pada tahun itu, ada 83,000 orang yang menunggu; sehingga
rata-rata ada 17 orang setiap harinya yang meninggal karena tak beruntung mendapat organ pada
waktunya. Karena itu, ada dua kelompok pertanyaan besar menyangkut permintaan dan suplai organ:
Bagaimana memperoleh organ?
Secara garis besar, ada dua cara memperoleh organ: melalui donor hidup dan donor mati. Menyangkut
donor hidup, bolehkah organ ditukar dengan sejumlah uang? Atau haruskah sumbangan organ
didasarkan pada motif yang sepenuhnya altruistik? Etiskah jual-beli organ? Tidakkkah ini akan
menjadikan kedokteran menjadi semacam pasar bebas untuk organ? Bolehkah orangdengan
kemauannya sendirimenjual organnya, dan orang lain membelinya? Saat ini, organ trafficking sudah
menjadi masalah global. Meski secara resmi pemerintah-pemerintah di dunia melarang ini dengan
hukuman yang cukup keras, nyatanya perdagangan organ terus berlangsung.
Di sini ada masalah etis lain: biasanya penyuplai organ datang dari negara-negara dengan amat banyak
orang miskin (seperti India , Bangladesh , China , dan sebagainya), sedangkan penerima organ adalah
negara-negara maju (AS, sebagian negara Eropa, Singapura, dan sebagainya). Tidakkah ini menunjukkan
bahwa seakan-akan orang kaya memiliki hak lebih atas hidup dan kesehatan (dan kehidupan) dibanding
orang miskin? Bagaimana tanggapan etis kita terhadapnya?
Untuk memenuhi kelangkaan organ, bolehkah (khususnya dari sudut pandang agama-agama)
mencangkok organ binatang ke tubuh manusia? Bolehkah binatang dikorbankan demi kesejahteraan
manusia? Bagaimana juga dengan menggunakan embryo sebagai pabrik organ? Atau, memanfaatkan
embryo yang akan diaborsi? Ini segera akan membawa ke masalah lain dalam bioetika, yaitu
menyangkut peminakan sel tunas, yang dibahas di sesi lain seminar ini. Peminakan sel tunas
menjanjikan penyelesaian masalah sumber organ untuk pencangkokan, namun ia juga memunculkan
masalah-masalah etis lain.
Terkait dengan donor mati, menjadi hak siapakah organ manusia yang mati? Si manusia itu sendiri,
keluarganya, atau bahkan negara? Di Inggris, misalnya, ada prinsip presumed consentbahwa jika tak
ada permintaan/wasiat khusus dari orang yang mati, berarti ia menyetujui organ-organ tertentu dalam
tubuhnya diambil untuk dicangkokkan pada orang lain (atas dasar pandangan bahwa adalah tugas
kewarganegaraan untuk mendonorkan organ tubuhnya setelah tak dipakai). Namun di AS, berlaku
prinsip kebalikan yaitu pengambilan organ dari orang mati hanya bisa dilakukan jika ada
permintaan/wasiat yang mengijinkannya. (Saat ini sedang diusulkan cara lain yang disebut mandated
choice, dimana setiap orang wajib memberitahu apakah ia akan mendonorkan organnya atau tidak
setelah meningal.) Terkait dengan isu-isu di atas, akan muncul pula pertanyaan lain mengenai
bagaimana mendefiniskan kematian (isu yang muncul secara lebih kuat dalam kasus euthanasia, dan
pasien dalam situasi persistent vegetative state ).
Bagaimana mendistribusikan organ?
Karena ada jauh lebih banyak orang yang ingin mendapatkan organ ketimbang suplai yang ada,
bagaimana caranya kita menyeleksi siapa yang berhak mendapatkan prioritas menerima organ? Apakah
cukup membuat daftar tunggu berdasarkan waktu permintaan? Ataukah perlu ada kriteria lain untuk
menyeleksinya? Misalnya, mestikah orang berusia lebih muda mendapatkan prioritas ketimbang orang
tua, dengan pertimbangan bahwa yang pertama memiliki harapan hidup produktif yang lebih besar?
Bagaimana dengan narapidana? Bolehkah ia - sebagai orang yang pernah melakukan kejahatan terhadap
masyarakat - menerima kebaikan hati anggota masyarakat lain? Di negara seperti AS, ada isu yang
pernah menjadi kontroversi: bolehkah imigran ilegal menerima cangkok organ? Atau, bolehkah orang
yang tak berhati-hati menjaga kesehatannya menerima organ baru (pecandu alkohol menerima hati
baru; atau perokok berat menerima paru-paru)? Pertanyaan-pertanyaan ini terkesan mendiskriminasi
kelompok masyarakat tertentu yang pernah melakukan kesalahan sosial ataupun personal. Bolehkah
diskriminasi semacam ini diberlakukan? Secara lebih umum, adakah situasi yang memungkinkan
diperbolehkannya (secara etis) diskriminasi?
Persoalan-persoalan di atas muncul karena desakan kekurangan organ yang luar biasa, dibandingkan
dengan yang membutuhkannya, sehingga siapa yang berhak mendapatkan organ, atau mendapatkan
prioritas untuk itu, menjadi persoalan yang amat mendesak. Masalah-masalah seperti ini biasanya
dibahas dalam konteks keadilan distributif (secara sempit). Yaitu, dalam suatu masyarakat, apakah
semua anggota masyarakat punya hak yang sama ( equal access ) atas organ? Ada beberapa kriteria lain
yang biasa dipakaimisalnya berdasarkan asas kebutuhan (siapa yang paling membutuhkan), kontribusi
pada masyarakat, atau pasar-bebas (siapa yang dapat membayar, dia akan mendapatkan) - namun tak
ada yang bersifat mutlak keberlakuannya.
1. Isu keadilan distributif
Jika berbicara mengenai keadilan distributif, isu utamanya adalah mengupayakan agar semua orang
mendapatkan hak yang sama atas sumberdaya yang terbatas, atau bagaimana membagi sumberdaya
terbatas itu secara adil ( fair ). Dalam contoh di atas, isu ini pertama kali muncul dalam pengertiannya
yang sempit sebagai isu mengenai bagaimana membagikan organ yang terbatas pada penderita yang
membutuhkannya yang jumlahnya lebih banyak.
Namun dalam konteks yang lebih luas, konteks sumberdaya medis secara lebih luas, ada isu lain. Hingga
kini pencangkokan organ adalah prosedur yang amat mahal, yang hanya bisa diperoleh orang yang
cukup kaya. Bagi sebagian besar orang, pencangkokan organ bukanlah pilihan sama sekaliartinya, jika
tak ada alternatif lain selain pencangkokan, ia akan merosot kesehatannya atau bahkan mati. Di sini
penting diperhatikan bahwa warga Amerika Serikat termasuk yang paling banyak menerima organjauh
lebih banyak dari yang mereka sumbangkansehingga seakan-akan prosedur cankok organ sudah
seperti prosedur yang biasa, meskipun sesungguhnya tidak.
Sementara itu, penjualan organ amat marak di negara-negara berkembang karena himpitan ekonomi.
Jurang sosial antara kaya-miskin jelas tercermin dalam teknologi pencangkokan organ. Teknologi ini jelas
tidak berpihak kepada orang miskin, bahkan secara tidak langsung justru amat merugikan banyak orang
miskin karena membuka pasar yang luas bagi orang miskin untuk menjual organnya. Kecuali jika
alternatif sumber organ ditemukan (misalnya memalui teknologi peminakan sel atau sel tunas, yang
masih perlu waktu cukup lama untuk bisa menjadi alternatif yang berarti), sampai kapan pun teknologi
ini akan tetap memiliki sifat itu. Sampai di sini, ada pertanyaan yang lebih mendasar mengenai apakah
pencangkokan organ merupakan kemajuan kedokteran yang tak terbantahkan. Secara teknis, memang
ini pencapaian luar biasa; tapi secara inheren juga ada kesulitan besar untuk menjadikan teknologi ini
bermanfaat untuk semua atau sebagian besar manusia, seperti akan dibahas di bagian akhir tulisan ini.
Karena itu, berbicara mengenai keadilan distributif dalam konteks yang lebih luas, kita bisa
mempertanyakan apakah teknologi ini bermanfaat untuk sebagian besar manusia. Jika tidak, apakah tak
seharusnya sumberdaya medis yang ada diprioritaskan untuk prosedur-prosedur medis atau
penanganan kasus-kasus media lain, yang menyangkut hidup lebih banyak orang yang tak dapat
menikmati teknologi ini? Pada gilirannya, ini akan membawa pada pertanyaan mengenai etika pemilihan
masalah untuk riset medismasalah seperti apakah yang perlu mendapat prioritas riset medis? Perlu
dicatat di sini bahwa persoalan semacam ini tak hanya muncul di negara berkembang, tapi bahkan juga
di negara maju seperti AS, yang banyak rakyatnya masih belum mendapatkan pelayanan kesehatan
dasar.
II. Dari fikih ke kosmologi tubuh: Pencangkokan organ dalam literatur Islam
Di antara banyak pertanyaan etis terkait dengan pencangkokan organ seperti yang dibahas di atas, ada
penekanan yang berbeda di antara komunitas yang berbeda-beda dari sisi sosial-ekonomi maupun
keagamaan. Di AS, misalnya, isu-isu utama yang dibahas terutama berkisar pada kelompok pertanyaan
kedua, mengenai perolehan dan distribusi organ. Di negara berkembang, sementara penggunaan
teknologi ini jauh di belakang negara maju, banyak isu muncul terkait dengan organ trafficking ,
sementara distribusi organ tak menjadi isu.
Pada bagian ini akan dibahas satu contoh respon terhadap pencangkokan organ dari para pemikir
Muslim. Terkait dengan karakter agama Islam maupun konteks sosial Muslim, tak mengherankan jika tak
semua pertanyaan di atas tidak mendapatkan penekanan yang sama. Secara umum, kelompok-
kelompok kegamaan, khususnya Islam, memberikan soratan cukup mendasar pada persoalan boleh
tidaknyadari sudut pandang nilai-nilai keagamaanmelakukan pencangkokan organ.
Literatur Islam mengenai isu ini didominasi oleh pendekatan fikih (hukum/ jurisprudensi). Dan persoalan
utama yang mendominasi fikih biasanya terbatas pada masalah halal-haram , meskipun tidak selalu
demikian. Dalam Islam, pertanyaan penting mengenai apakah pencangkokan organ diperbolehkan oleh
agama dijawab dengan merujuk pada sumber tekstual utama (Qur'an dan hadis) maupun kitab-kitab
hukum fikih.
Dari segi metodologi, untuk menjawab masalah-masalah kontemporer ulama mencari kasus-kasus yang
dibahas dalam kitab-kitab lama itu, atau kasus-kasus yang analog dengannya. Pengambilan keputusan
seperti ini dibimbing oleh seperangkat prinsip umum, yang disebut usul fikih (prinsip-prinsip fikih). Di
antaranya, ada prinsip pertimbangan manfaat dan mudarat (keburukan) dari suatu keputusan; prinsip
mendahulukan menghindari keburukan; prinsip bahwa manfaat yang amat besar dapat mengatasi
keburukan-keburukan inheren yang lebih kecil; prinsip darurat (sesuatu yang dalam keadaan normal tak
diperbolehkan, tapi dalam keadaan darurat
C. Operasi Ringan / Operasi Plastik
Operasi plastik atau dikenal dengan "Plastic Surgery" atau dalam bahasa arab "Jirahah Tajmil" ,adalah
bedah/operasi yang dilakukan untuk mempercantik atau memperbaiki satu bagian di dalam anggota
badan, baik yang nampak atau tidak, dengan cara ditambah, dikurangi atau dibuang, bertujuan untuk
memperbaiki fungsi dan estetika (seni) tubuh
Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan operasi plastik itu hanya ada
dua:
1. Untuk mengobati aib yang ada dibadan, atau dikarenakan kejadian yang menimpanya seperti
kecelakaan, kebakaran atau yang lainya. Maka operasi ini dimaksudkan untuk pengobatan.
2. Atau untuk mempercantik diri, dengan mencari bagian badan yang dianggap mengganggu atau tidak
nyaman untuk dilihat orang, istilah yang kedua ini adalah untuk kecantikan dan keindahan.
Jenis Jenis Operasi Plastik
Seperti yang telah kita ketahui bahwa operasi yang dilakukan itu bisa sebelum meninggal atau
sesudahnya, akan tetapi untuk pembagian yang kedua ini tidak ada hubungannya dengan operasi
plastik. Oleh karena itu dalam makalah yang singkat ini, kita tidak membicarakan hal-hal yang berkenaan
dengan mayat.
Operasi plastik ada dua :
1. Operasi tanpa ada unsur kesengajaan
Maksudnya adalah operasi yang dilakukan hanya untuk pengobatan dari aib (cacat) yang ada dibadan,
baik karena cacat dari lahir (bawaan) seperti bibir sumbing, jari tangan atau kaki yang berlebih atau yang
disebabkan oleh penyakit yang akhirnya merubah sebagian anggota badan, seperti akibat dari penyakit
lepra/kusta, TBC, atau karena luka bakar pada wajah akibat siraman air panas.
Kesemua unsur ini adalah operasi yang bukan karena keinginannya, akan tetapi yang dimaksudkan
adalah untuk pengobatan saja, walaupun hasilnya nanti menjadi lebih indah dari sebelumnya, dalam
hukum fiqih disebutkan bahwa, operasi semacam ini dibolehkan saja, adapun dalil diantaranya sebagai
berikut :
Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.a, dari Nabi Saw. berliau pernah bersabda, "Tidak lah Allah Swt.
menurunkan wabah/penyakit kecuali Allah Swt. juga menurunkan obat penwarnya"(H.R. Bukhari)
Riwayat dari Usamah ibn Syuraik R.a, berkata, "Ada beberapa orang Arab bertanya kepada Rasulullah
Saw.:"Wahai Rasulullah, apakah kami harus mengobati (penyakit kami), Rasulullah menjawab, "Obatilah.
Wahai hamba Allah lekaslah kalian berobat, karena sesungguhnya Allah Swt. tidak menurunkan satu
penyakit- diriwayat lain disebutkan beberapa penyakit, kecuali diturunkan pula obat penawarnya,
kecuali satu yang tidak bisa diobati lagi", mereka pun bertanya,"Apakah itu wahai Rasul?", Rasulullah
pun menjawab, "penyakit tua"(H.R At-Turmudzi)
Maksud dari hadits diatas adalah, bahwa setiap penyakit itu pasti ada obatnya, maka dianjurkan kepada
orang yang sakit agar mengobati sakitnya, jangan hanya dibiarkan saja, bahkan hadits itu menekankan
agar berobat kepada seorang dokter yang profesional dibidangnya.
Imam Abu hanifah dalam kitabnya berpendapat, "Bahwa tidak mengapa jika kita berobat menggunakan
jarum suntik, dengan alasan untuk berobat, karena berobat itu dibolehkan hukumnya, sesuai dengan
ijma' ulama, dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan". Akan tetapi disebutkan pula,
bahwa tidak diperbolehkan berobat menggunakan bahan yang diharamkan, seperti khamar, bir dan
sejenis. Tapi apabila ia tidak mengetahui kandungan obat itu, maka tidak mengapa menggunakannya,
namun jika tidak memungkinkan lagi (yakin bahwa tidak ada obat) untuk mencari obat selain yang
diharamkan itu, maka bolehlah menggunakan sekedarnya
Ibn Mas'ud Ra., berpendapat mengenai hadits diatas, Bahwa sesungguhnya Allah Swt. tidak
menciptakan sembuhnya kalian dengan barang yang diharamkan-Nya". Makna dari pendapat beliau
adalah walau bagaimanapun Allah Swt. menurunkan penawar yang halal, karena secara akal pikir, tidak
mungkin Allah mengharamkan yang telah diharamkan-Nya, kemudian diciptakan untuk dijadikan obat,
pasti masih ada jalan lain yang lebih halal.
Melakukan pengobatan (operasi) semacam ini terkadang bisa menjadi wajib hukumnya, yang apabila
dibiarkan terus-menerus akan menyebabkan kematian, maka wajib baginya untuk berobat
semampunya.
Allah Swt. berfirman yang artinya (wallahu a'lam), "dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan" Dan di ayat lain disebutkan, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu"
Ayat diatas menunjukkan bahwa Allah Swt. melarang hamba-Nya membiarkan begitu saja kerusakan
(penyakit) dalam dirinya.
Operasi ini tidak bisa dikatakan mengubah ciptaan Allah dengan sengaja, karena operasi ini untuk
pengobatan, walaupun pada akhirnya bertambah cantik atau indah pada dirinya. Syeikh Dr. Yusuf Al-
Qaradawi berpendapat : "Adapun kalau ternyata orang tersebut mempunyai cacat yang mungkin
menjijikkan pandangan, misalnya karena ada daging tambah yang boleh menimbulkan sakit jiwa dan
perasaan, maka tidak berdosa bagi orang itu untuk berobat, selagi dengan tujuan menghilangkan
kecacatan atau kesakitan yang boleh mengancam hidupnya, karena Allah tidak menjadikan agama buat
kita ini dengan penuh kesukaran.

2. Operasi yang disengaja


Maksudnya adalah operasi yang tidak dikarenakan penyakit bawaan (turunan) atau karena kecelakaan,
akan tetapi atas keinginannya sendiri untuk menambah keindahan dan mempercantik diri.
Operasi ini ada bermacam-macam, akan tetapi saya hanya menuliskan garis besarnya saja, yaitu ada
terbagi dua, dan setiap bagian ini mempunyai landasan hukum masing-masing :
a. Operasi anggota badan
Diantaranya adalah operasi telinga, dagu, hidung, perut, payudara, pantat (maaf) dengan ditambah,
dikurang atau dibuang, dengan keinginan agar terlihat cantik.
b. Operasi mempermuda
Adapun operasi bagian kedua ini diperuntukkan bagi mereka yang sudah berumur tua, dengan menarik
kerutan diwajah, lengan, pantat, tangan, atau alis. Mungkin ini menurut penulis bagian-bagian yang
sering kita temui dan yang paling umum.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum operasi plastik ini, namun kebanyakan ulama hadits
berpendapat bahwa tidak boleh melakukan operasi ini dengan dalil diantaranya sebagai berikut :
a. Firman Allah
"Allah telah melaknatnya. setan berkata, "Sungguh akan kutarik bagian yang ditentukan dari hamba-
hamabaMu. dan sungguh akan kusesatkan mereka, dan akan kubangkitlan angan-angan kosong mereka,
dan aku suruh mereka memotong telinga binatang ternak lalu mereka benar-benar memotongnya, dan
aku akan suruh mereka (merobah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar merobahnya. dan
barangsiapa yang menjadikan setan sebagai pelindung maka sungguh dia telah merugi dengan kerugian
yang nyata"
Ayat ini menjelaskan kepada kita dengan konteks celaan dan haramnya melakukan pengubahan pada
diri yang telah diciptakan Allah dengan sebaik-baik penciptaan, karena mengikuti akan hawa nafsu dan
keinginan syaitan yang dilaknat Allah.
b. Diriwayatkan dari Imam Bukhari dan Muslim Ra. dari Abdullah ibn Mas'ud Ra.Rasulullah Saw bersabda
"Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dan yang meminta untuk ditatokan, yang mencukur
(menipiskan) alis dan yang meminta dicukur, yang mengikir gigi supaya kelihatan cantik dan merubah
ciptaan Allah." (H.R Bukhari) dari hadits ini, dapat diambil sebuah dalil bahwa Allah Swt. melaknat
mereka yang melakukan perkara ini dan mengubah ciptaan-Nya
c. Riwayat dari Ashabis Sunan
Dari Asmaa Ra., bahwa ada seorang perempuan yang mendatangi Rasulullah Saw. dan berkata, " Wahai
Rasululllah, dua orang anak perempuan ku akan menjadi pengantin, akan tetapi ia mengadu kepadaku
bahwa rambutnya rontok, apakah berdosa jika aku sambung rambutnya?", maka Rasulullah pun
menjawab, "Sesungguhnya Allah melaknat perempuan yang menyambung atau minta disambungkan
(rambutnya)"
Hadits ini dengan jelas mengatakan bahwa haram hukumnya bagi orang yang menyambung rambutnya
atau istilah sekrang dikenal dengan konde, wig atau whatever dan jauh dari rahmat Allah Swt.
d. Qiyas
Untuk melengkapi pendapat ini, maka akan saya coba menggunakan qiyas dan akal. Operasi plastik
semacam ini tidak dibolehkan dengan meng-qiyas larangan Nabi Saw. terhadap orang yang
menyambung rambutnya, tato, mengikir (menjarangkan) gigi atau apa saja yang berhubungan dengan
perubahan terhadap apa yang telah diciptakan Allah Swt.
e. Segi Akal
Secara akal kita akan menyangka bahwa orang itu kelihatannya indah dan cantik akan tetapi, ia telah
melakukan operasi plastik pada dirinya, perbuatan ini sama dengan pemalsuan atau penipuan terhadap
dirinya sendiri bahkan orang lain, adapun hukumnya orang yang menipu adalah haram menurut syara'.
Begitu juga dengan bahaya yang akan terjadi jika operasi itu gagal, bisa menambah kerusakan didalam
tubuhnya dan sedikit sekali berhasilnya, apapun caranya tetap membahayakan dirinya dan ini tidak
sesuai dengan hukum syara', sesuai dengan firman Allah yang berbunyi (wallahu 'alam) "Jangan bawa
diri kalian dalam kerusakan"

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Aborsi bukan sekedar masalah medis atau kesehatan masyarakat, namun juga problem sosial yang
muncul karena manusia mengekor pada peradaban Barat. Maka pemecahannya haruslah dilakukan
secara komprehensif-fundamental-radikal, yang intinya adalah dengan mencabut sikap taqlid kepada
peradaban Barat dengan menghancurkan segala nilai dan institusi peradaban Barat yang bertentangan
dengan Islam, untuk kemudian digantikan dengan peradaban Islam yang manusiawi dan adil.
Hukum aborsi dalam pandangan Islam menegaskan keharaman aborsi jika umur kehamilannya sudah 4
(empat) bulan, yakni sudah ditiupkan ruh pada janin. Untuk janin yang berumur di bawah 4 bulan, para
ulama telah berbeda pendapat. Jadi ini memang masalah khilafiyah. Namun menurut pemahaman kami,
pendapat yang rajih (kuat) adalah jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat
puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya
haram. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya
boleh (jaiz) dan tidak apa-apa. Wallahu alam [M. Shiddiq al-Jawi]
Dan dari pemaparan tentang operasi plastic diatas, maka jelaslah bahwa operasi plastik itu diharamkan
menurut syara' dengan keinginan untuk mempercantik dan memperindah diri, dengan kesimpulan
sebagai berikut :
1. Operasi plastik merubah ciptaan Allah Swt
2. Adanya unsur pemalsuan dan penipuan
3. Dari sisi lain, bahwa negatifnya lebih banyak dari manfaatnya, karena bahaya yang akan terjadi sangat
besar apabila operasi itu gagal, bisa menyebabkan kerusakan anggota badan bahkan kematian.
4. Syarat pembedahan kosmetik yang dibenarkan Islam; memiliki keperluan untuk tujuan kesehatan
semata-mata dan tiada niat lain; tidak dari benda yang najis/diharamkan dan diakui doktor profesional
yang ahli dalam bidang itu bahwa pembedahan akan berhasil dilakukan tanpa risiko, bahaya dan
mudarat.
Sebelum menutup makalah ini, saya ingin menekankan bahwa Allah Swt. Tidak lah menciptakan
makhluknya dengan sia-sia, "Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan
menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun
tubuhmu." Sesungguhnya Allah Swt. Menciptakan kalian dalam keadaan sempurna dan seimbang satu
sama lainnya dengan sebaik-baik penciptaan. "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya ." Sudah sepantasnya kita sebagai makhluk Allah mensyukuri apa-apa yang
telah diberikan kepada kita.

DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Ghanim, 1963, Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah, t.p., t.tp

Al Baghdadi, Abdurrahman, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, Gema Insani Press, Jakarta

Hakim, Abdul Hamid,1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawaid Al Fiqhiyah, Saadiyah
Putera, Jakarta

Hasan, M. Ali, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam,
RajaGrafindo Persada, Jakarta

Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Kalam
Mulia, Jakarta
KERANGKA KONSEP

1. Aborsi

Gugur kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah berhentinya kehamilan sebelum
usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat
(hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran
prematur. (Wikipedia, 2009)

Abortus provokatus merupakan jenis abortus yang sengaja dibuat/dilakukan, yaitu dengan cara
menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu. Pada umumnya bayi
dianggap belum dapat hidup diluar kandungan apabila usia kehamilan belum mencapai 28
minggu, atau berat badan bayi kurang dari 1000 gram, walaupun terdapat beberapa kasus bayi
dengan berat dibawah 1000 gram dapat terus hidup.

Abortus Provokatus Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus.

Merupakan abortus yang dilakukan dengan disertai indikasi medik. Di Indonesia yang dimaksud
dengan indikasi medik adalah demi menyelamatkan nyawa ibu. Syarat-syaratnya:

1. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai
dengan tanggung jawab profesi.
2. Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi).
3. Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.
4. Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang
ditunjuk oleh pemerintah.
5. Prosedur tidak dirahasiakan.
6. Dokumen medik harus lengkap.

Alasan-alasan untuk melakukan tindakan abortus medisinalis :

1. Abortus yang mengancam (threatened abortion) disertai dengan perdarahan yang terus
menerus, atau jika janin telah meninggal (missed abortion).
2. Mola Hidatidosa atau hidramnion akut.
3. Infeksi uterus akibat tindakan abortus kriminalis.
4. Penyakit keganasan pada saluran jalan lahir, misalnya kanker serviks atau jika dengan
adanya kehamilan akan menghalangi pengobatan untuk penyakit keganasan lainnya pada
tubuh seperti kanker payudara.
5. Prolaps uterus gravid yang tidak bisa diatasi.
6. Telah berulang kali mengalami operasi caesar.
7. Penyakit-penyakit dari ibu yang sedang mengandung, misalnya penyakit jantung organik
dengan kegagalan jantung, hipertensi, nephritis, tuberkulosis paru aktif, toksemia
gravidarum yang berat.
8. Penyakit-penyakit metabolik, misalnya diabetes yang tidak terkontrol yang disertai
komplikasi vaskuler, hipertiroid, dan lain-lain.
9. Epilepsi, sklerosis yang luas dan berat.
10. Hiperemesis gravidarum yang berat, dan chorea gravidarum.
11. Gangguan jiwa, disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Pada kasus seperti ini,
sebelum melakukan tindakan abortus harus dikonsultasikan dengan psikiater.

Abortus Provokatus Kriminalis

Merupakan aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik (ilegal). Biasanya
pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau obat-obat tertentu. Aborsi
provokatus kriminalis adalah pengguguran kandungan yang tujuannya selain untuk
menyelamatkan/mengobati ibu, dilakukan oleh tenaga medis/non-medis yang tidak kompeten,
serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh peraturan perundangan.
Biasanya di dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan.

Alasan-alasan melakukan abortus provokatus kriminalis :

1. Alasan kesehatan, di mana ibu tidak cukup sehat untuk hamil.


2. Alasan psikososial, di mana ibu sendiri sudah enggan/tidak mau untuk punya anak lagi.
3. Kehamilan di luar nikah.
4. Masalah ekonomi, menambah anak berarti akan menambah beban ekonomi keluarga.
5. Masalah sosial, misalnya khawatir adanya penyakit turunan, janin cacat.
6. Kehamilan yang terjadi akibat perkosaan atau akibat incest (hubungan antar keluarga).
7. Selain itu tidak bisa dilupakan juga bahwa kegagalan kontrasepsi juga termasuk tindakan
kehamilan yang tidak diinginkan.

Dari banyaknya penyebab permasalahan aborsi di atas, semua pihak dihadapkan pada adanya
pertentangan baik secara moral dan kemasyarakatan di satu sisi maupun dengan secara agama
dan hukum di lain sisi. Dari sisi moral dan kemasyarakatan, sulit untuk membiarkan seorang ibu
yang harus merawat kehamilan yang tidak diinginkan terutama karena hasil pemerkosaan, hasil
hubungan seks komersial (dengan pekerja seks komersial) maupun ibu yang mengetahui bahwa
janin yang dikandungnya mempunyai cacat fisik yang berat. Anak yang dilahirkan dalam kondisi
dan lingkungan seperti ini nantinya kemungkinan besar akan tersingkir dari kehidupan sosial
kemasyarakatan yang normal, kurang mendapat perlindungan dan kasih sayang yang seharusnya
didapatkan oleh anak yang tumbuh dan besar dalam lingkungan yang wajar, dan tidak tertutup
kemungkinan akan menjadi sampah masyarakat.

Di samping itu, banyak perempuan merasa mempunyai hak atas mengontrol tubuhnya sendiri. Di
sisi lain, dari segi ajaran agama, agama manapun tidak akan memperbolehkan manusia
melakukan tindakan penghentian kehamilan dengan alasan apapun. Sedangkan dari segi hukum,
masih ada perdebatan-perdebatan dan pertentangan dari yang pro dan yang kontra soal persepsi
atau pemahaman mengenai undang-undang yang ada sampai saat ini. Baik dari UU kesehatan,
UU praktik kedokteran, kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), UU penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan UU hak azasi manusia (HAM). Keadaan seperti di
atas inilah dengan begitu banyak permasalahan yang kompleks yang membuat banyak timbul
praktik aborsi gelap, yang dilakukan baik oleh tenaga medis formal maupun tenaga medis
informal. Baik yang sesuai dengan standar operasional medis maupun yang tidak, yang
kemudian menimbulkan komplikasi komplikasi dari mulai ringan sampai yang menimbulkan
kematian.

Uman, Cholil, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, Ampel Suci, Surabaya

Zallum, Abdul Qadim, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning,
Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati,
Al-Izzah, Bangil

Zuhdi, Masjfuk, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Haji Masagung, Jakarta
Pencarian dari www.google.com yang diakses pada tanggal 7 Desember 2007, dengan rincian sebagai

Anda mungkin juga menyukai