Anda di halaman 1dari 5

Pro Choice vs Pro-life

Pro Life adalah adalah gerakan yang menentang aborsi sejak selesainya pembuahan
karena setelah pembuahan itulah proses terbentuknya nyawa janin. kelompok pro life adalah
kelompok yang sangat mempertahankan kehidupan dan mereka akan bekerja keras untuk
membantu perempuan2 yang hamil di luar nikah untuk dibantu dan didampingi agar siap
menghadapi kenyataan yang terjadi dalam masa itu.

Pro Choice adalah gerakan yang mendukung aborsi karena kelompok ini menganggap
bahwa janin hanyalah bagian dari tubuh wanita dan memiliki hak untuk membuangnya. Gerakan
ini juga mendukung delayed animation yang berarti bayi atau janin baru mempunyai jiwa setelah
40 hari untuk laki – laki dan 90 hari untuk perempuan yang ditandai dengan gerakan janin
(quickening) dan bila bayi belum mempunyai jiwa maka janin itu diperbolehkan untuk diaborsi.

ABORSI terus menjadi perdebatan sejak dulu. Perdebatan yang tidak kunjung
mendapatkan titik temu ini mengakibatkan munculnya penganut paham pro-life yang berupaya
mempertahankan kehidupan dan pro-choice yang mendukung supaya perempuan mempunyai
pilihan untuk melakukan aborsi. Masalah legalitas aborsi selalu masuk “wilayah abu-abu” karena
hingga saat ini masih belum ada Undang-undang yang mengatur secara pasti dan tegas mengenai
aborsi.

Sudut pandang kehidupan menurut kelompok Freedom approach: perilaku seksual dinikmati
secara optimal dan perilaku seksual tidak selalu diikuti kehamilan. Sehingga, jika terjadi
kehamilan yang tak diinginkan akan dianggap sebagai suatu komplikasi dari hidup. Sedangkan
menurut kelompok Living approach: kehamilan bukanlah suatu komplikasi dari hidup, sehingga
jika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan akan tetap dilanjutkan. Bagaimana sikap kita
memandang masalah ini?

Di Amerika dewasa ini, terdapat isu yang cukup hangat, yang tak jarang mengundang
perdebatan, yaitu mengenai aborsi. Umumnya mereka yang setuju aborsi menyebut diri sebagai
‘pro- choice‘ -karena mengacu kepada hak ibu untuk ‘memilih’ nasib dirinya dan bayi yang
dikandungnya; sedangkan yang tidak setuju menyebut diri ‘pro-life‘. Gereja Katolik sendiri
selalu ada dalam posisi “pro-life” karena Gereja Katolik selalu mendukung kehidupan manusia,
tak peduli seberapa muda usianya, termasuk mereka yang masih di dalam kandungan.

Sebenarnya secara objektif terminologi yang dipakai sudah rancu, karena ‘pro-choice‘
sebenarnya bukan ‘choice‘, sebab pilihan yang diambil dalam hal ini hanya satu, yaitu
membunuh bayi yang masih dalam usia kandungan. Sang bayi yang kecil dan lemah itu tidak
membuat pilihan, sebab ia ditentukan untuk mati. Tragisnya, yang menentukan kematiannya
adalah ibunya sendiri yang mengandungnya.
 

Kapan kehidupan manusia terbentuk?

Gereja Katolik ‘pro- life‘ karena Tuhan mengajarkan kepada kita untuk menghargai kehidupan,
yang diperoleh manusia sejak masa konsepsi (pembuahan) antara sel sperma dan sel telur.
Kehidupan manusia terbentuk pada saat konsepsi, karena bahkan dalam ilmu pengetahuan-pun
diketahui, “Sebuah zygote adalah sebuah keseluruhan manusia yang unik.”[1] Pada saat konsepsi
inilah sebuah kesatuan sel manusia yang baru terbentuk, yang lain jika dibandingkan dengan sel
telur ibunya, ataupun sel sperma ayahnya. Pada saat konsepsi ini, terbentuk sel baru yang terdiri
dari 46 kromosom (seperti halnya  sel manusia dewasa) dengan kemampuan untuk mengganti
bagi dirinya sendiri sel-sel yang mati.[2] Analisa science menyimpulkan bahwa fertilisasi bukan
suatu “proses” tetapi sebuah kejadian yang mengambil waktu kurang dari satu detik. Selanjutnya,
dalam 24 jam pertama, persatuan sel telur dan sperma bertindak sebagai sebuah organisme
manusia, dan bukan sebagai sel manusia semata-mata. Masalahnya, orang-orang yang “pro-
choice” tidak menganggap bahwa yang ada di dalam kandungan itu adalah manusia, atau
setidaknya mereka menghindari kenyataan tersebut dengan berbagai alasan. Padahal science
sangat jelas mengatakan terbentuknya sosok manusia adalah pada saat konsepsi (pembuahan sel
telur oleh sel sperma). Pada saat itulah Tuhan ‘menghembuskan’ jiwa kepada manusia baru
ciptaan-Nya, yang kelak bertumbuh dalam rahim ibunya, dapat lahir dan berkembang sebagai
manusia dewasa. Adalah suatu ironi untuk membayangkan bahwa kita manusia berasal dari
‘fetus’ yang bukan manusia. Logika sendiri sesungguhnya mengatakan, bahwa apa yang akan
bertumbuh menjadi manusia layak disebut sebagai manusia.

Dasar Kitab Suci

1. Kitab suci juga mengajarkan bahwa manusia sudah terbentuk sebagai manusia sejak
dalam kandungan ibu:

Yes 44:2: “Beginilah firman TUHAN yang menjadikan engkau, yang membentuk engkau
sejak dari kandungan dan yang menolong engkau…”

Allah sendiri mengatakan telah membentuk kita sejak dari kandungan, artinya, sejak dalam
kandungan kita sudah menjadi manusia yang telah dipilih-Nya.

Ayb 31: 15: “Bukankah Ia, yang membuat aku dalam kandungan, membuat orang itu juga?
Bukankah satu juga yang membentuk kami dalam rahim?”

Ayub menyadari bahwa ia dan juga orang-orang lain telah diciptakan/ dibentuk oleh Allah sejak
dalam kandungan.

Yes 49, 1,5: “….TUHAN telah memanggil aku sejak dari kandungan telah menyebut
namaku sejak dari perut ibuku…. Maka sekarang firman TUHAN, yang membentuk aku sejak
dari kandungan untuk menjadi hamba-Nya, untuk mengembalikan Yakub kepada-Nya…”
Nabi Yesaya mengajarkan bahwa Allah telah memanggilnya sejak ia masih di dalam kandungan
(sesuatu yang tidak mungkin jika ketika di dalam kandungan ia bukan manusia).

2. Kitab Suci mengajarkan bahwa setiap kehidupan di dalam rahim ibu adalah ciptaan yang
unik, yang sudah dikenal oleh Tuhan:

Yer 1:5: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau,
dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah
menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”

Mazmur 139: 13, 15-16: “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku
dalam kandungan ibuku…. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di
tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu
melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan
dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya.”

Gal 1:15-16: “Tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan
memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya
aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaatpun aku tidak minta
pertimbangan kepada manusia”

Luk 1:41-42: “Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam
rahimnya dan Elisabetpun penuh dengan Roh Kudus lalu berseru, “Diberkatilah engkau di
antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu.”

3. Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk memperhatikan dan mengasihi saudara-saudari kita
yang terkecil dan terlemah, sebab dengan demikian kita melakukannya untuk Kristus sendiri.

Mat 25:45: “… sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari
yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.”

Aborsi yang pada akhirnya membunuh janin, entah di dalam atau di luar kandungan, adalah
tindakan pembunuhan yang bertentangan dengan perintah Yesus untuk memperhatikan dan
mengasihi saudari-saudari kita yang terkecil dan terlemah.

4. Kitab Suci menuliskan bahwa kita tidak boleh membunuh, atau jika mau dikatakan dengan
kalimat positif, kita harus mengasihi sesama kita.

Kel 20: 13; Ul 5:17; Mat 5:21-22; 19:18: “Jangan membunuh.”

Mat 22:36-40; Mrk 12:31; Luk 10:27; Rom 13:9, Gal 5:14: “Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri”

1 Yoh 3:15 “Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah seorang pembunuh manusia. Dan
kamu tahu, bahwa tidak ada seorang pembunuh yang tetap memiliki hidup yang kekal di dalam
dirinya.”
Jika di dunia ini mulai banyak kampanye untuk melindungi binatang-binatang, (terutama
binatang langka), maka adalah suatu ironi, jika manusia  malahan melakukan aborsi yang
membunuh sesama manusia, yang derajatnya lebih tinggi dari binatang. Apalagi jika aborsi
dilegalkan/ diperbolehkan secara hukum. Maka menjadi suatu ironi yang mengenaskan: ikan
lumba-lumba dilindungi mati-matian, tetapi bayi-bayi manusia dimatikan dan tidak dilindungi.

Suatu permenungan: seandainya kita adalah janin itu, tentu kitapun tak ingin ditusuk dan
dipotong-potong sampai mati. Maka, jika kita tidak ingin diperlakukan demikian, janganlah kita
melakukannya terhadap bayi itu. Atau, kalau kita mengatakan bahwa kita mengimani Kristus
Tuhan yang hadir di dalam mahluk ciptaan-Nya yang terkecil itu, maka sudah selayaknya kita
tidak menyiksanya apalagi membunuhnya! Kita malah harus sedapat mungkin memeliharanya
dan memperlakukannya dengan kasih.

5. Kitab Suci menuliskan, bahwa jika kita tidak peduli akan nasib saudara-saudari kita yang
lemah ini, kita sama dengan Kain, yang pura-pura tidak tahu nasib saudaranya sendiri.

Kel 4: 9 Firman Tuhan kepada Kain, “Di mana Habel adikmu itu?” Ia (Kain) menjawab, “Aku
tidak tahu.” Padahal tidak mungkin ia tidak tahu sebab Kain sendirilah yang memukul Habel
adiknya hingga ia mati (lih. Kel 4:8).

Efek-efek negatif dari aborsi

Tidak mengherankan, karena aborsi adalah perbuatan yang menentang hukum alam dan hukum
Tuhan, maka tindakan ini membawa akibat- akibat negatif, terutama kepada ibu dan ayah bayi,
maupun juga kepada para pelaku aborsi dan masyarakat umum, terutama generasi muda, yang
tidak lagi melihat kesakralan makna perkawinan.

Ibu yang mengandung bayi, terutama menanggung akibat negatif, baik bagi fisik maupun
psikologis, yaitu kemungkinan komplikasi fisik, resiko infeksi, perdarahan, atau bahkan
kematian. Selanjutnya, penelitian dalam Journal of the National Cancer Institute di Amerika
juga menunjukkan wanita yang melakukan aborsi meningkatkan resiko 50% terkena kanker
payudara. Sebab aborsi membuat terputusnya proses perkembangan natural payudara, sehingga
jutaan selnya kemudian mempunyai resiko tinggi mengalami keganasan. Selanjutnyapun
kehamilan berikutnya mempunyai peningkatan resiko gagal 45%, atau komplikasi lainnya seperti
prematur, steril, kerusakan cervix. Selanjutnya tentang hal ini dapat anda lihat di link ini, silakan
klik: http://www.cirtl.org/endres96.htm.

Di atas semua itu adalah tekanan kejiwaan yang biasanya dialami oleh wanita- wanita yang
mengalami aborsi. Tekanan kejiwaan ini membuat mereka depresi, mengalami kesedihan yang
berkepanjangan, menjadi pemarah, dikejar perasaan bersalah, membenci diri sendiri, bahkan
sampai mempunyai kecenderungan bunuh diri. Menurut studi yang diadakan oleh David Reardon
yang memimpin the Elliot Institute for Social Sciences Research di Springfield Illinois (di negara
Obama menjadi senator): 98% wanita yang melakukan aborsi menyesali tindakannya, 28%
wanita sesudah melakukan aborsi mencoba bunuh diri, 20% wanita post-aborsi mengalami
nervous breakdown, 10% dirawat oleh psikiatris.

Ini belum menghitung adanya akibat negatif dalam masyarakat, terutama generasi muda.
Legalisasi aborsi semakin memerosotkan moral generasi muda, yang dapat mempunyai
kecenderungan untuk mengagungkan kesenangan seksual, ataupun memikirkan kepentingan diri
sendiri, tanpa memperhitungkan tanggung jawab. Suatu mentalitas yang sangat bertentangan
dengan ajaran Kristiani.

  

Kesimpulan

Pengajaran Alkitab dan Gereja Katolik menyatakan, “Kehidupan manusia adalah sakral karena
sejak dari awalnya melibatkan tindakan penciptaan Allah”[12]. Kehidupan, seperti halnya
kematian adalah sesuatu yang menjadi hak Allah[13], dan manusia tidak berkuasa untuk
‘mempermainkannya’. Perbuatan aborsi menentang hukum alam dan hukum Allah, maka tak
heran, perbuatan ini mengakibatkan hal yang sangat negatif kepada orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Aborsi adalah tindakan pembunuhan manusia, walaupun ada sebagian orang yang
menutup mata terhadap kenyataan ini. Gereja Katolik tidak pernah urung dalam menyatakan
sikapnya yang “pro-life“/ mendukung kehidupan, sebab, Gereja menghormati Allah Pencipta
yang memberikan kehidupan itu. Tindakan melindungi kehidupan ini merupakan bukti nyata dari
iman kita kepada Kristus, yang adalah Sang Hidup (Yoh 14:6) dan pemberi hidup itu sendiri.

Mari, di tengah-tengah budaya yang menyerukan “kematian”/ culture of death, kita sebagai umat
Katolik dengan berani menyuarakan “kehidupan”/ culture of life. Mari kita melihat di dalam
setiap anak yang lahir, di dalam setiap orang yang hidup maupun yang meninggal, gambaran
kemuliaan Tuhan Pencipta yang telah menciptakan manusia sesuai dengan gambaran-Nya.
Dengan demikian, kita dapat menghormati setiap orang, dan memperlakukan setiap manusia
sebagaimana mestinya demi kasih dan hormat kita kepada Tuhan yang menciptakannya.

Mari bersama kita mewartakan Injil Kehidupan, yang menyatakan kepenuhan kebenaran tentang
manusia dan tentang kehidupan manusia. Semoga kita dapat memiliki hati nurani yang jernih,
sehingga kita dapat mendengar seruan Tuhan untuk memperhatikan dan mengasihi sesama kita
yang terkecil, yakni mereka yang sedang terbentuk di dalam rahim para ibu. Sebab Yesus
bersabda, “Apa yang kau lakukan terhadap saudaramu yang paling kecil ini, engkau lakukan
untuk Aku…” (lih. Mat 25:45).

Widya K.P.S
XIA1-43

Anda mungkin juga menyukai