Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah agama katolik

“BAYI TABUNG’’
Dosen pengajar
Silvester Adinuhgra,M.Hum

Disusun oleh kelompok 4


1. ARDELIA PUSVITASARI
2. ERLY SAFITRI
3. NOVA MELISA
4. NURHASANAH
5. RISKA NATALIA KRISTIYANI
6. SINTA BELA
7. TRIA RIZKI JAYANTI
8. WIWIK WIDIA
9. YOSIANA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN EKA HARAP

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

TA 2021/2022

1.Pendahuluan
Manusia bergerak dalam sebuah tata kehidupan yang menakjubkan. Tak bisa dipungkiri bahwa sejak
awal mula seorang manusia diciptakan untuk menjadi partner bagi yang lain. Seorang Katolik tentu
saja mesti berpaling dan melihat kenyataan ini dalam Kitab Kejadian. Dalam Kejadian 2: 18
disebutkan, “Tuhan Allah berfirman: tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan
menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia.” Gagasan ini sesungguhnya mau
menegaskan bahwa manusia pria dan wanita memang diciptakan untuk bersatu dalam sebuah
hubungan yang setara.

Ikatan perkawinan akhirnya lahir sebagai wujud persatuan antara manusia pria dan wanita. Namun
tentu saja persatuan itu harus dilandasi sebuah gagasan untuk senantiasa saling menghormati dan
menghargai sebagai dua tubuh yang setara di hadapan Allah. Selanjutnya dalam hubungan itu Allah
kemudian memerintahkan agar manusia itu berani mengambil keputusan untuk beranak cucu dan
bertambah banyak untuk menaklukan bumi (bdk. Kejadian 1: 28). Jadilah di sini bahwa tujuan
prokreasi menjadi suatu yang sangat penting.

Akan tetapi persoalan muncul seiring dengan perkembangan teknologi dewasa ini. Orang tak perlu
lagi berada dalam sebuah ikatan perkawinan Katolik yang menekankan ratum dan consummatum
karena adanya bayi tabung. Bayi tabung adalah sebuah persoalan yang bisa dikatakan cukup
mengganggu karena dengannya hakekat dan makna terdalam dari sebuah perkawinan Katolik
diingkari. Di sini terjadi sebuah persoalan yang bisa dikatakan sangat kompleks karena banyak hal
menjadi terganggu. Bisa jadi dalam perkawinan itu tak ada lagi persatuan yang sesungguhnya. Oleh
karena itu, tulisan ini secara singkat mencoba mengangkat persoalan bayi tabung sebagai sebuah
pengingkaran makna perkawinan Katolik yang sesungguhnya. Secara kodrati memang perkawinan
diarahkan untuk tujuan prokreasi tetapi tidak bisa menghalalkan segala cara.

Teknologi adalah hasil kecerdasan manusia semata sehingga sungguh tak pantas apabila teknologi itu
kemudian menjadi sebuah kekuatan untuk menghancurkan makna manusia yang sesungguhnya.
Betapa tidak, keadaan dunia sudah sangat menyedihkan dengan banyaknya tindak kejahatan yang
terjadi. Menciptakan semakin banyak manusia yang awal mula kehidupannya di dalam tabung akan
menjadikan dunia ini semakin aneh. Ada demikian banyak konsekuensi yang harus dihadapi sendiri
oleh manusia. Maka dari itu, hal utama yang mesti diperhatikan adalah berusaha agar tidak berada di
bawah pengaruh atau kuasa yang berlebihan dari teknologi.Bayi tabung adalah sebuah persoalan yang
mesti diindahkan secara serius.
2.BAYI TABUNG: BERKAT ATAU KUTUK?

2.1 Selayang Pandang Bayi Tabung

Bayi tabung dikenal secara medis dengan istilah In-Vitro Fertilization (IVF). In-vitro artinya ‘di
dalam gelas/ tabung’, sehingga bisa diartikan sebagai proses pembuahan sel telur oleh sperma yang
dilakukan di dalam tabung. Di dalam tabung ini pula embrio diberi zat-zat makanan sampai saatnya ia
dimasukkan ke dalam rahim seorang wanita. Proses pemindahan ini disebut Embryo Transfer (ET).
Sel telur diambil dengan laparascopy dan sel sperma diambil dengan cara masturbasi. Umumnya sel-
sel telur yang telah dibuahi akandipilih yang paling sehat. Embrio itu yang dimasukkan kedalam
rahim wanita sedangkan embrio yang tidak sehat akan dibuang. Kadang sel telur yang dibuahi
dimasukkan ke dalam freezer, untuk dipakai di waktu mendatang. IVF dan ET dilakukan jika sang
wanita tidak dapat mengadung dengan cara yang normal, atau kalau ia tidak dapat mengandung
karena alasan kesehatan, dan karenanya meminta seorang wanita lain untuk mengandung anaknya.

Secara historis, bayi tabung yang menjadi anak sulung adalah Loise Brown. Ia merupakan hasil dari
penelitianProfesor Robert Edwards bersama rekannya Patrick Steptoe. Loise lahir ke dunia melalui
proses operasi caesar di Oldham General Hospital, Oldham. Kelahiran ini menjadi sebuah tonggak
sejarah yang sangat penting karena dengannya orang menganggap bahwa persoalan ketidaksuburan
seseorang (dalam kaitan dengan seks) dapat diatasi dengan hadirnya bayi tabung. Bayi tabung dalam
hal ini dilihat sebagai sebuah alternatif solusi bagi keluarga yang tak mampu memiliki anak. Tentu
saja banyak kalangan menerima prestasi ini dengan sebuah kebangga luarbiasa karena ternyata
persoalan ketiadaan anak seakan bisa diselesaikan. Bayi tabung barangkali akhirnya menjadi sebuah
pilihan yang ditempuh oleh pasangan suami-istri yang memang sejak awal menginginkan anak dalam
perkawinan yang mereka jalani.

2.2 Bayi Tabung dalam Pandangan Gereja Katolik

Seperti yang telah ditegaskan sebelumnya bahwa Gereja Katolik sungguh menolak tawaran yang
dihadirkan lewat teknologi bayi tabung. Jika melihat bagaimana proses terjadinya bayi tabung tentu
saja pandangan Gereja ini sangat masuk akal. Betapa tidak, bayi tabung adalah sebuah pengingkaran
makna seks sesungguhnya lantaran benih sperma yang dibutuhkan diambil melalui masturbasi yang
tentu saja merupakan suatu tindakan yang dipandang sebagai dosa. Selain itu, praktek aborsi juga
sebenarnya terjadi dalam praktek bayi tabung ini karena embrio yang dinilai tidak sehat langsung
dibuang.Akhirnya titik pijak penolakan Gereja kembali pada individu yang dilahirkan itu dianggap
sebagai anak yang diabaikan martabatnya sendiri. Mengapa? Karena keinginan orangtua-lah yang
menjadi hal utama. Tujuan prokreasi pada akhirnya tak bisa diamalkan secara sungguh karena anak
yang hadir adalah anak yang lahir tanpa hubungan suami-istri yang mendalam melalui tindakan
persetubuhan.

Gereja tentu saja terbuka pada segala kemajuan teknologi yang ditawarkan tetapi dalam hal ini
kehadiran bayi tabung mengaburkan martabat manusia itu sendiri. Manusia lahir sebagai pria dan
wanita dengan keunikan tersendiri. Melihat manusia yang hadir dalam sebuah tubuh yang nyata
berarti juga dalam hal ini melihat kehadiran Allah sendiri. Manusia adalah ciptaan yang paling luhur
dari segala ciptaan lain karena kekhasan yang dimilikinya sebagai “yang secitra” dengan Allah. Jadi
dalam hal ini sungguh sangat tidak dibenarkan menjadikan manusia sebagai objek penelitian untuk
sebuah pembuktian ilmiah betapapun itu demi tujuan kebahagiaan. Di sini akhirnya orang tiba pada
pertanyaan, kebahagiaan seperti apakah yang sebenarnya diperjuangkan? Apakah bahagia memiliki
anak yang tercipta di dalam sebuah tabung?

Sikap Gereja terhadap perkembangan bayi tabung ini bisa dilihat sungguh nyata dalam Evangelium
Vitae Yohanes Paulus II yang menegaskan:

“Bermacam teknik reproduksi buatan [seperti bayi tabung] yang kelihatannya seolah mendukung
kehidupan, dan yang sering dilakukan untuk maksud demikian, sesungguhnya membuka pintu
ancaman terhadap kehidupan. Terpisah dari kenyataan bahwa hal tersebut tidak dapat diterima secara
moral, karena hal itu memisahkan pro-creation dari konteks hubungan suani istri, teknik-teknik yang
demikian mempunyai tingkat kegagalan yang cukup tinggi: tidak hanya dalam hal pembuahan
(fertilisasi) tetapi juga dari segi perkembangan embrio, yang mempunyai tingkat resiko kematian yang
tinggi, umumnya di dalam jangka waktu yang pendek. Lagipula, jumlah embrio yang dihasilkan
sering lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk implantasi ke dalam rahim wanita itu, dan
“spare-embryo” [embrio cadangan] ini lalu dihancurkan atau digunakan untuk penelitian yang dengan
dalih ilmu pengetahuan atau kemajuan ilmu kedokteran, pada dasarnya merendahkan kehidupan
manusia pada tingkat “materi biologis” semata yang dapat dibuang begitu saja.”
Gagasan yang diutarakan oleh Yohanes Paulus II tersebut secara jelas ingin mengutarakan apa yang
disampaikan berkaitan dengan bayi tabung. Sikap Gereja dalam hal ini sangat jelas yakni menolak
teknologi bayi tabung yang tentu saja menimbulkan banyak persoalan lanjutan.

2.3 Bayi Tabung:Pengingkaran Makna Prokreasi

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Gereja dengan sangat tegas menolak bayi
tabung walaupun orang menampilkan pertimbangan kebahagiaan pasangan suami-istri. Bayi tabung
dalam hal ini dianggap sebagai suatu cara memperoleh anak yang tidak wajar. Tentu saja ini karena
anak itu dihasilkan bukan melalui sebuah tindakan persetubuhan. Perkawinan yang sesungguhnya
harus ditandai dengan persetubuhan yang kemudian dari kodratnya diarahkan untuk menghasilkan
keturunan atau anak. Suami-istri menjadi satu daging dalam persetubuhan untuk tujuan prokreasi
tersebut.

Berdasarkan gagasan tersebut maka tak bisa dipungkiri bahwa sikap Gereja memang sangat tegas dan
tidak memberikan pertimbangan apapun untuk menyetujui teknologi bayi tabung. Perkembangan
teknologi bayi tabung memang merupakan suatu kebanggan tersendiri namun akhirnya orang diajak
untuk melihat kembali makna sesungguhnya dari sebuah hidup perkawinan. Mendapatkan anak
merupakan suatu tujuan yang sangat penting dari perkawinan meskipun itu bukan merupakan tujuan
yang satu-satunya namun mesti diingat bahwa proses mendapatkan anak adalah suatu hal yang juga
ditekankan oleh Gereja.

Perkawinan seringkali berhadapan dengan persoalan kemandulan atau ketidakmampuan untuk


mendapatkan anak sehingga bayi tabung dianggap sebagai solusi atas persoalan tersebut. Tak bisa
disangkal bahwa dalam kenyataan seringkali ada banyak pasangan yang tidak mengalami kebahagiaan
hanya lantaran tidak memiliki anak. Gereja sendiri tidak memandang ketiadaan anak sebagai sebuah
kutukan sehingga perkawinan mesti dibubarkan. Perkawinan yang telah disempurnakan dengan
tindakan persetubuhan tak bisa lagi diceraikan dengan alasan apapun. Itulah makna tak terceraikan
yang sangat luhur dari perkawinan Katolik. Jadi di sini secara tegas ingin disampaikan bahwa tidak
ada satu alasan apapun yang mengharuskan pria dan wanita mesti menempuh jalan tertentu demi
mendapatkan anak supaya bisa mempertahankan perkawinan tersebut.
Anak dilahirkan dari sebuah proses yang “wajar” dan sungguh tak bisa diperoleh dengan cara apapun
juga. Anak tak bisa diperoleh dengan mempertemukan sel telur dan sel sperma di sebuah tabung. Itu
sungguh sebuah pengingkaran yang sangat menyedihkan yang harus dihindari. Makna prokreasi yang
sesungguhnya akan hilang hanya karena egoisme manusiawi yang sangat kuat bercokol. Maka dari
itu, bayi tabung menjadi sebuah pengingkaran yang sangat jelas tehadap makna prokreasi. Prokreasi
kehilangan makna yang sesungguhnya kalau manusia tak bisa menghargai Allah yang nyata dalam
sebuah perkawinan.

3.Penutup

Bayi tabung adalah sebuah kemajuan teknologi yang luarbiasa. Ada orang yang menjadi bahagia
karena bisa mendapatkan anak lewat teknologi bayi tabung. Ia mendapatkan hidup yang
sesungguhnya karena telah memiliki anak. Pertanyaannya adalah, “apakah kebahagiaan yang sejati
diperoleh dengan melakukan sebuah kejahatan?” Bayi tabung adalah bentuk kejahatan bagi Gereja
karena mengingkari martabat manusia yang sesungguhnya. Manusia dengan martabatnya sebagai
makhluk yang secitra dengan Allah menjadi objek penelitian teknologi. Kemudian, manusia yang
ingin hidup dalam sebuah ikatan perkawinan akhirnya harus jatuh dalam sebuah usaha yang salah.

Prokreasi sebagai salah satu tujuan yang ingin dicapai dari perkawinan akhirnya sekali lagi tak bisa
digapai dengan menghalalkan segala cara. Kebahagiaan dalam perkawinan tak bisa diraih dengan
sebuah usaha yang menodai makna prokreasi itu sendiri. Akhirnya, tulisan sederhana ini telah
berusaha mengungkap secara singkat problematika bayi tabung sebagai sebuah pengingkaran atas
makna prokreasi dalam pandangan Gereja Katolik. Bayi tabung merupakan sebuah perampasan atas
“hak” Allah untuk menjadikan seorang anak manusia.

Anda mungkin juga menyukai