Anda di halaman 1dari 5

TUGAS AGAMA KATOLIK

Nama: ANDRE FEBRIAN


NIM: PO 26.20.1.20.113
DOSEN: SILVENTER ADINUGRAHA,S.S, M.Hum.
Bagaimana pandangan gereja katolik tentang keluarga berencana?
Gereja Katolik memandang program KB dapat diterima. Namun, cara melaksanakannya harus
diserahkan sepenuhnya kepada tanggung jawab suami-istri, dengan mengindahkan kesejahteraan
keluarga.

Geraja Katolik menyatakan bahwa KB pertama-tama harus dipahami sebagai sikap tanggung jawab. Soal
metode, termasuk cara pelaksanaan tanggung jawab itu, umat Katolik harus senantiasa bersikap dan
berperilaku penuh tanggung jawab. Pelaksanaan pengaturan kelahiran harus selalu memperhatikan
harkat dan martabat manusia serta mengindahkan nilai-nilai agama dan social budaya yang berlaku
dalam masyarakat.”

Pandangan Gereja Katolik tentang KB itu disampaikan Romo Jeremias Balapito Duan MSF, sekretaris
eksekutif Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dalam buku berjudul “Membagun
Keluarga Sejahtera dan Bertanggung Jawab Berdasarkan Perspektif Agama Katolik”. Buku ini diterbitkan
Komisi Keluarga KWI bersama BKKBN dan UNFPA (Dana Kependudukan Dunia).

Sejauh ini Gereja Katolik menganjurkan umat melaksanakan program KB dengan cara pantang berkala
(tidak melakukan persetubuhan saat masa subur). “Para uskup Indonesia mendukung ajaran Paus
dengan memberi anjuran hendaknya metode alamiah (KB Alamiah-pantang berkala) beserta segala
perbaikannya lebih diperkenalkan dan dianjurkan,” ujar Romo Jeremias mengutip pedoman Pastoral
keluarga tahun 1975 No.26.

Paus Paulus VI pernah menyatakan, ajaran gereja “berdasarkan kaitan tak terceraikan yang dikehendaki
oleh Allah dan karena itu tidak dapat dibatalkan oleh manusia atas prakarsanya sendiri antara kedua
makna tindakan perkawinan, yakni arti ‘pemersatu’ dan arti ‘prokerasi’.”

Namun, manakala umat Katolik tidak dapat melaksanakan cara tersebut (KB alamiah), padahal mereka
juga ingin mengatur kelahiran, apa yang harus mereka lakukan? Menurut Romo Jeremias, Gereja Katolik
menyadari sepenuhnya berbagai kesulitan yang dihadapi keluarga Katolik dalam usaha mengatur
kelahiran.

Dalam keadaan demikian, mereka bisa bertindak secara tanggung jawab dan tidak perlu merasa berdosa
apabila menggunakan cara lain. Asal, cara tersebut tidak merendahkan martabat suami atau istri, tidak
berlawanan dengan hidup manusia (pengguguran dan pemandulan), dan dapat dipertanggungjawabkan
secara medis,” tambah Romo Jeremias.

Dalam Ensiklik dijelaskan, untuk mengatur keluarga, kelahiran, jumlah dan waktu kelahiran anak, gereja
menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada suami-istri.
Letak kesulitan:

Memang, Gereja Katolik membedakan dengan jelas antara prinsip tanggung jawab dalam hal prokreasi
dan metode KB sebagai cara pelaksanaan tanggung jawab tersebut. Pimpinan Gereja Katolik
membenarkan prinsip tanggung jawab tersebut. Namun, dalam pelaksanaannya membedakan antara
metode KB Alamiah yang dibenarkan dan metode kontraseptif yang tidak dibenarkan.

”Dengan jujur harus disimpulkan, disinilah letak kesulitan bagi kalangan Katolik atau orang Katolik yang
berkehendak baik dan bersedia mengindahkan ajaran gereja untuk memahami posisi gereja,” ujar Romo
Jeremias.

Namun begitu, dalam Ensiklik (No.10) dinyatakan, bahwa orang tua dapat mengambil keputusan yang
telah dipertimbangkan secara tulus ikhlas mau memelihara keluarga yang besar; atau juga karena
alasan-alasan yang berat, tetapi dengan tetap penuh hormat menaati hukum moral, mau
menghindarkan kelahiran baru untuk sementara waktu atau waktu yang tak ditentukan lamanya.

Dari sabda Ensiklik maupun Konsili jelas umat Katolik juga mempunyai tugas mengatur kelahiran untuk
membangun kesejahteraan keluarga dan demi kepentingan negara. Namun, bukan orang lain atau
negara yang boleh menentukan jumlah anak. Cara-cara mengatur kelahiran harus diputuskan oleh
suami-istri sendiri.

Bagaimana Pandangan gereja katolik tentang bayi tabung?

Bayi Tabung dalam Pandangan Gereja Katolik

Seperti yang telah ditegaskan sebelumnya bahwa Gereja Katolik sungguh menolak
tawaran yang dihadirkan lewat teknologi bayi tabung. Jika melihat bagaimana
proses terjadinya bayi tabung tentu saja pandangan Gereja ini sangat masuk akal.
Betapa tidak, bayi tabung adalah sebuah pengingkaran makna seks sesungguhnya
lantaran benih sperma yang dibutuhkan diambil melalui masturbasi yang tentu
saja merupakan suatu tindakan yang dipandang sebagai dosa. Selain itu, praktek
aborsi juga sebenarnya terjadi dalam praktek bayi tabung ini karena embrio yang
dinilai tidak sehat langsung dibuang.Akhirnya titik pijak penolakan Gereja kembali
pada individu yang dilahirkan itu dianggap sebagai anak yang diabaikan
martabatnya sendiri. Mengapa? Karena keinginan orangtua-lah yang menjadi hal
utama. Tujuan prokreasi pada akhirnya tak bisa diamalkan secara sungguh karena
anak yang hadir adalah anak yang lahir tanpa hubungan suami-istri yang
mendalam melalui tindakan persetubuhan.

Gereja tentu saja terbuka pada segala kemajuan teknologi yang ditawarkan tetapi
dalam hal ini kehadiran bayi tabung mengaburkan martabat manusia itu sendiri.
Manusia lahir sebagai pria dan wanita dengan keunikan tersendiri. Melihat
manusia yang hadir dalam sebuah tubuh yang nyata berarti juga dalam hal ini
melihat kehadiran Allah sendiri. Manusia adalah ciptaan yang paling luhur dari
segala ciptaan lain karena kekhasan yang dimilikinya sebagai “yang secitra”
dengan Allah. Jadi dalam hal ini sungguh sangat tidak dibenarkan menjadikan
manusia sebagai objek penelitian untuk sebuah pembuktian ilmiah betapapun itu
demi tujuan kebahagiaan. Di sini akhirnya orang tiba pada pertanyaan,
kebahagiaan seperti apakah yang sebenarnya diperjuangkan? Apakah bahagia
memiliki anak yang tercipta di dalam sebuah tabung?

Sikap Gereja terhadap perkembangan bayi tabung ini bisa dilihat sungguh nyata
dalam Evangelium Vitae Yohanes Paulus II yang menegaskan:

“Bermacam teknik reproduksi buatan [seperti bayi tabung] yang kelihatannya


seolah mendukung kehidupan, dan yang sering dilakukan untuk maksud
demikian, sesungguhnya membuka pintu ancaman terhadap kehidupan. Terpisah
dari kenyataan bahwa hal tersebut tidak dapat diterima secara moral, karena hal
itu memisahkan pro-creation dari konteks hubungan suani istri, teknik-teknik yang
demikian mempunyai tingkat kegagalan yang cukup tinggi: tidak hanya dalam hal
pembuahan (fertilisasi) tetapi juga dari segi perkembangan embrio, yang
mempunyai tingkat resiko kematian yang tinggi, umumnya di dalam jangka waktu
yang pendek. Lagipula, jumlah embrio yang dihasilkan sering lebih banyak
daripada yang dibutuhkan untuk implantasi ke dalam rahim wanita itu, dan
“spare-embryo” [embrio cadangan] ini lalu dihancurkan atau digunakan untuk
penelitian yang dengan dalih ilmu pengetahuan atau kemajuan ilmu kedokteran,
pada dasarnya merendahkan kehidupan manusia pada tingkat “materi biologis”
semata yang dapat dibuang begitu saja.”

Gagasan yang diutarakan oleh Yohanes Paulus II tersebut secara jelas ingin
mengutarakan apa yang disampaikan berkaitan dengan bayi tabung. Sikap Gereja
dalam hal ini sangat jelas yakni menolak teknologi bayi tabung yang tentu saja
menimbulkan banyak persoalan lanjutan.

Anda mungkin juga menyukai