Anda di halaman 1dari 22

PANDANGAN AGAMA-AGAMA DI INDONESIA TERHADAP

TINDAKAN MEDIS TENTANG ABORSI

(Makalah ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah)

PENDIDIKAN AGAMA

Dosen pengampu :

Ali Muazis, M.Ag

Disusun oleh Kelompok VIII :

1. Aulia Rohmita Maharani (2201261)


2. Fera Tiara Sari (2201299)
3. Fhirna Fadianna (2201265)

SEMESTER 1 TAHUN AKADEMIK 2022/2023 PROGRAM STUDI


DIPLOMA III KEBIDANAN AKADEMI KEBDANAN KH.PUTRA
BREBES

Jl. Raya Benda Sirampog Brebes Kab.Brebes-prov.Jawa tengah indonesia kode pos 52272
No.Telp (02895102000) Faxmile(0283,4314010), Email akbidkhputra@gmail.com
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dari tahun ke tahun, kasus praktik aborsi kerap muncul dalam pemberitaan media.
Faktor ekonomi dan hubungan gelap menjadi alasan utama yang
melatarbelakanginya. Namun, apapun alasannya, aborsi tetaplah tindakan ilegal yang
tidak dibenarkan.
Secara bahasa, aborsi berarti keguguran kandungan, pengguguran kandungan, atau
membuang janin. Sedangkan secara istilah, aborsi adalah tindakan pengeluaran janin
sebelum waktu kelahirannya.
Kemudian secara hukum dan Agama di Indonesia Tindakan Aborsi juga
merupakan tindakan yang tidak dibenarkan. Melainkan dengan alasan tertentu.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Aborsi Provokatus dan aborsi Teraputik ?
2. Bagaimana tanggapan hukum agama Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, dan Budha
tentang Aborsi ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana tanggapan agama-agama di indonesia tentang
Aborsi
2. Untuk mengetahui tentang Hukum Aborsi Provokatus dan Aborsi teraputik

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aborsi

Pengguguran kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah


berakhirnya kehamilan dengan dikeluarkannya janin (fetus) atau embrio sebelum
memiliki kemampuan untuk bertahan hidup di luar rahim, sehingga
mengakibatkan kematiannya. Aborsi yang terjadi secara spontan disebut juga
"keguguran". Aborsi yang dilakukan secara sengaja sering kali disebut "aborsi
induksi" atau "abortus provokatus".
Aborsi Teraputik adalah tindakan pengguguran kandungan berdasarkan alasan
kesehatan, baik fisisk maupun psikis seorang ibu hamil.
B. Pandangan Agama Islam Terhadap Aborsi
1. Hukum Melakukan Aborsi Provokatus Berdasarkan Al-Qur’an, hadits, dan
para ulama
a. Berdasarkan al-qur’an
Manusia adalah ciptaan Allah yang mulia, tidak boleh dihinakan baik
dengan merubah ciptaan tersebut, maupun mengranginya dengan cara
memotong sebagiananggota tubuhnya, maupun dengan cara memperjual
belikannya, maupun dengan cara menghilangkannya sama sekali yaitu dengan
membunuhnya, sebagaimana firman Allah swt Yang artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan umat manusia “ ( Qs. al-
Isra’:70)
Membunuh satu nyawa sama artinya dengan membunuh semua orang.
Menyelamatkan satu nyawa sama artinya dengan menyelamatkan semua
orang. Sebagaimana firman Allah swt yang artinya:
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, maka seakan-akan dia
telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara
keselamatan nyawa seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
keselamatan nyawa manusia semuanya.” (Qs. Al Maidah:32)
Dilarang membunuh anak ( termasuk di dalamnya janin yang masih dalam
kandungan ) , hanya karena takut miskin. Sebagaimana firman Allah swt yang
artinya:“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat.
Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar.” (Qs al Isra’ : 31)
3
Setiap janin yang terbentuk adalah merupakan kehendak Allah swt,
sebagaimana firman Allah swt yang artinya:“Selanjutnya Kami dudukan janin
itu dalam rahim menurut kehendak Kami selama umur kandungan. Kemudian
kami keluarkan kamu dari rahim ibumu sebagai bayi.” (QS al Hajj : 5)
Larangan membunuh jiwa tanpa hak, sebagaimana firman Allah swt yang
artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
melainkan dengan alasan yang benar “ ( Qs al Isra’ : 33 )
b. Berdasarkan Hadist
Jika aborsi dilakukan setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat)
bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqaha') sepakat akan
keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan
sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya
mengharamkannya. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah SAW
telah bersabda: “Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam
perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk
‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula,
kemudian ditiupkan ruh kepadanya.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Ahmad, dan Tirmidzi).
Maka melakukan aborsi berumur 4 (empat) bulan dalam kandungan adalah
haram hukumnya, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa.
Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain
didasarkan pada dalil-dalil syar’i. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, kami akan memberi
rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan- perbuatan yang keji, baik yang nampak diantaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar. Demikianitu yang diperintahkan kepadamu
supaya kamu memahami(nya).” (QS Al-An’am: 151) Melakukan aborsi
adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam. Dalil
syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40

4
malam, sebagaimana dijelaskan Rasulullah SAW: “Jika

5
nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah
mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia
membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang
belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah), ya Tuhanku, apakah
dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?’ Maka Allah
kemudian memberi keputusan…” (HR Muslim dari Ibnu Mas’ud)
Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan
penampakan anggota-anggota tubuhnya, adalah setelah melewati 40 atau 42
malam. Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu
penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai tanda-tanda sebagai
manusia yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam). Tindakan penganiayaan
tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya. Jadi, siapa saja yang
melakukan aborsi baik dari para pihak ibu, bapak maupun tenaga kesehatan,
berarti mereka telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal atau
dalam Islam yang mewajibkan mereka membayar diyat bagi janin yang
digugurkan, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh
diyat manusia sempurna (10 ekor onta). Sebagaimana telah diterangkan dalam
hadits Rasulullah: “Memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang
perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah,
yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan” (HR Bukhari dan Muslim)
c. Berdasarkan Para Ulama.
Penentuan hukum aborsi tidak dilakukan secara asal-asalan. Para ulama
mengaitkannya dengan ketentuan dalam Alquran dan hadist. Para ulama
bermujtahid dengan mengkajinya bersama-sama dengan teliti. Adapun ayat
yang biasa dijadikan acuan ketika berbicara tentang aborsi antara lain:
"Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami
yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada kamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar." (QS. Al-Isra:
31)
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan
dengan haq. Dan barangsiapa dibunuh secara dhalim, maka sesungguhnya
Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah
keluarganya melampaui batasa dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah
orang yang dimenangkan." (QS. Al-Isra: 33)

6
Dari dua ayat tersebut, para ulama akhirnya membagi hukum aborsi
menjadi tiga jenis. berikut penjelasannya:
1. Sebelum ditiupkannya roh
Kalangan ulama fiqih berbeda pendapat dalam menyikapi hal ini. Berikut
penjelasannya:
a. Dibolehkan secara mutlak tanpa dikaitkan dengan uzur sama sekali.
Pendapat ini dikemukakan oleh ulama mazhab Zaidiyah, sebagian
mazhab Hanafi, dan sebagian mazhab Syafi‟i.
b. Dibolehkan apabila ada uzur, dan makruh hukumnya apabila tanpa
uzur. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian mazhab Hanafi dan
sebagian mazhab Syafi‟i.
c. Makruh secara mutlak apabila belum ditiupkan roh. Pendapat ini
dikemukakan oleh mazhab Maliki.
d. Haram melakukan aborsi, sekalipun belum ditiupkan roh. Pendapat ini
dikemukakan oleh jumhur ulama mazhab Maliki dan mazhab Zahiri
2. Setelah Ditiupkannya Roh
Ulama fiqih sepakat bahwa melakukan aborsi terhadap kandungan
yang telah menerima roh hukumnya haram. Para ulama juga sepakat
mengenai sanksi hukum pada kasus ini, yaitu membayar gurrah (budak
laki-laki atau perempuan). Sanksi ini berlaku bagi pelaku dan orang lain
yang terlibat di dalamnya. Selain membayar gurrah, pelaku aborsi juga
dikenai sanksi hukum kaffarat dengan memerdekakan budak. Jika tidak
mampu, maka wajib baginya berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika
masih tidak mampu, wajib baginya memberi makan 60 orang fakir miskin.
3. Karena alasan darurat
Aborsi yang dilakukan karena alasan darurat diperbolehkan dalam
Islam. Misalnya jika mengancam nyawa sang ibu atau mengganggu
kesehatan reproduksinya. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah, bahwa
Rasulullah SAW menganjurkan untuk tidak berbuat sesuatu yang
membahayakan diri sendiri atau orang lain. Namun, jika aborsi dilakukan
karena sebab-sebab lain yang sama sekali tidak terkait dengan keadaan
darurat, seperti untuk menghindari rasa malu atau karena faktor ekonomi,
maka hukumnya haram.

7
2. Hukum Melakukan Aborsi terapeutik berdasarkan Al-quran, Hadist dan Para
Ulama.
a. Berdasarkan Al-Qur’an
Kehidupan (al-hayah) adalah sesuatu yang ada pada organisme hidup, ciri-
ciri adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan, gerak, iritabilita,
membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan, dan sebagainya. Sehingga dengan
pengertian kehidupan ini, maka dalam sel telur dan sel sperma (yang masih
baik, belum rusak) sebenarnya sudah terdapat kehidupan, sebab jika dalam sel
sperma dan sel telur tidak ada kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi
pembuahan sel telur oleh sel sperma. Jadi, kehidupan (al-hayah) sebenarnya
terdapat dalam sel telur dan sel sperma sebelum terjadinya pembuahan, bukan
hanya ada setelah pembuahan.
Sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya: “Dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan
suatu (alasan) yang benar.” (QS Al-Isra’: 33) Namun demikian, melakukan
aborsi pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika
dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu
akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi
seperti ini, melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan
jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh
ajaran Islam. Sesuai firman Allah SWT: “Barang siapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya.” (QS Al-Maidah: 32) Di samping itu aborsi
dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan, sedangkan
Rasulullah SAW telah memerintahkan umatnya untuk berobat.
b. Berdasarkan Hadits
Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah Azza
Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka
berobatlah kalian.” (HR Ahmad). Sedangkan kaidah fiqih dalam masalah ini
menyebutkan: “Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum,
maka dipilih yang lebih ringan madharatnya.” Berdasarkan kaidah ini, seorang
wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan
itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya.

8
Hal ini harus dapat dipastikan secara medis, karena syari’at memandang
sang ibu sebagai akar pohon dan sang janin sebagai cabangnya. Dalam Islam
dikenal prinsip al-ahamm wa al-muhimm (yang lebih penting dan yang
penting). Dalam kasus ini dapat diartikan “pengambilan yang lebih kecil
buruknya dari dua keburukan.” Sedangkan di negara kita yang dimaksud
dengan indikasi medis adalah demi menyelamatkan nyawa ibu dengan syarat-
syaratnya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan
kewenangan untuk melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan
penyakit kandungan) sesuai dengan tanggung jawab profesi, harus meminta
pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi), harus ada
persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat,
dilakukan disarana kesehatan yang memiliki tenaga atauperalatan yang
memadai, yang ditunjuk oleh pemerintah, prosedur tidak dirahasiakan,
dokumen medik harus lengkap.
c. Menurut Para Ulama
Meski pada dasarnya aborsi adalah haram, sebagian ulama ada yang
memperbolehkan. Akan tetapi dalam kasus ini tidak bisa sembarangan dan
dengan syarat-syarat yang sangat ketat tentunya, seperti sebelum usia janiN 40
hari terhitung sejak masa pembuahan. Hukum aborsi dalam agama islam
adalah haram. Kecuali dalam keadaan darurat yang dapat mengancam ibu
dan/atau janin, maka aborsi diperbolehkan dan harus berdasarkan
pertimbangan medis dari tim dokter ahli. Di Indonesia sendiri terdapat
peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang aborsi yaitu PP No. 61
tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Peraturan ini sempat menjadi
kontroversi, pasalnya dalam UU itu menyebutkan pula bahwa aborsi bisa
dilakukan oleh perempuan dengan alasan darurat medis maupun alasan
perkosaan.
Pada pasal 31 isinya tertulis, aborsi hanya dapat dilakukan dengan
indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat pemerkosaan. Aborsi karena
dua alasan tersebut hanya dapat dilakukan pada usia kehamilan maksimal 40
hari. Kemudian teknis dan penentuan aborsi kemudian diatur pada pasal 32
sampai dengan pasal 38. Indikasi medis harus ditentukan oleh tim dokter,
adanya bukti hasil pemerkosaan dari pernyataan ahli. Aborsi juga harus
dilakukan dengan persetujuan berbagai pihak yang terkait termasuk yang

9
hamil, serta bimbingan sebelum dan sesudah pelaksanaan aborsi.
Bagaimanapun,

1
hukum aborsi dalam pandangan islam adalah haram meskipun oleh korban
pemerkosaan atau jika tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syariat.
Sebagian ulama memperbolehkan aborsi, namun jika dalam keadaan darurat
yang dapat mengancam ibu dan/atau janin. Dan aborsi diperbolehkan
berdasarkan pertimbangan medis dari tim dokter ahli.
Sebagian ulama berpendapat bahwa; sejak bertemunya sel sperma
dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada
kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan
persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia
yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan
besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih
besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang
atau dibunuh. Ulama yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak
pertemuan sel telur dengan sel sperma dengan alasan karena sudah ada
kehidupan pada kandungan, pendapatnya lemah. Sebab kehidupan sebenarnya
tidak hanya wujud setelah pertemuan sel telur dengan sel sperma, tetapi
bahkan dalam sel sperma itu sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam
sel telur, meski kedua sel itu belum bertemu.
Sedangkan menurut hukum yang berlaku di Indonesia bahwa seorang
wanita tidak boleh dijatuhi hukuman bila dia mengakhiri kehamilan dengan
bantuan tenaga medis yang sudah mempunyai izin. Bila tenaga medis tersebut
memang melakukan abortus atas dasar yang baik dengan syarat bahwa
melanjutkan kehamilan dapat membahayakan kehidupan wanita hamil
tersebut, atau dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik, ada resiko yang
cukup hebat bahwa bila bayi dilahirkan, bayi mungkin mengalami cacat fisik
atau mental yang cukup parah. Memang mengggugurkan kandungan adalah
suatu kerusakan atau akibat buruk yang menimpa seseorang (kelompok)
karena perbuatan atau tindakan pelanggaran hukum (mafsadat), begitu pula
dengan hilangnya nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan kandungannya
juga suatu mafsadat. Namun menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan
madharatnya dari pada menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan
kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut.
C. Perspektif Aborsi dari Tinjauan Hukum Agama Kristen

1
Alkitab tidak pernah secara khusus berbicara mengenai aborsi. Namun, ada
banyak ajaran Alkitab yang memyatakan dengan jelas pandangan Allah mengenai
aborsi. Yeremia 1:5 menyatakan bahwa Allah telah mengenal kita sebelum Dia
membentuk kita dalam kandungan. Mazmur 139:13-16 berbicara mengenai peran
aktif Allah dalam menciptakan dan membentuk kita dalam rahim. Keluaran 21:22-
25 menyatakan hukuman yang sama bagi orang yang mengakibatkan kematian
seorang bayi yang masih dalam kandungan dengan orang yang membunuh. Hal ini
dengan jelas mengindikasikan bahwa Allah memandang bayi dalam kandungan
sudah sebagai manusia, sama bobotnya dengan orang dewasa. Bagi orang Kristen,
aborsi bukan hanya sekedar soal hak perempuan untuk memilih.
Aborsi juga berkenaan dengan hidup matinya manusia yang diciptakan dalam
rupa Allah (Kejadian 1:26-27; 9:6). Argumen utama yang selalu diangkat untuk
menentang posisi orang Kristen terkait aborsi adalah, “Bagaimana dengan kasus
pemerkosaan dan/atau hubungan seks antar saudara?” Betapapun mengerikannya
hamil sebagai akibat pemerkosaan atau hubungan seks antar saudara, apakah
membunuh sang bayi adalah solusinya? Dua kesalahan tidak menghasilkan
kebenaran. Anak yang lahir karena pemerkosaan atau hubungan seks antar saudara
dapat saja diberikan keluarga yang tidak mampu memperoleh anak untuk diado[so
– atau anak tsb dapat dibesarkan sendiri oleh ibunya. Sekali lagi, sang bayi tidak
seharusnya dihukum karena perbuatan jahat ayahnya.
Argumen lain yang biasanya diangkat untuk menentang posisi orang Kristen
terkait aborsi adalah, “Bagaimana jika hidup sang ibu terancam?” Secara jujur ini
adalah pertanyaan paling sulit untuk dijawab dalam soal aborsi. Pertama-tama,
perlu diingat bahwa situasi semacam ini hanya kurang dari 1/10 dari 1 persen, dari
seluruh aborsi yang dilakukan di dunia saat ini. Jauh lebih banyak perempuan
yang melakukan aborsi karena merka tidak mau “merusak tubuh mereka” daripada
perempuan yang melakukan aborsi untuk menyelamatkan jiwa mereka. Kedua,
mari kita mengingat bahwa Allah adalah Allah yang bisa melakukan mukjizat. Dia
sanggup menjaga hidup ibu dan bayinya, sekalipun secara medis hal itu tidak
mungkin. Akhirnya, keputusan ini hanya dapat diambil antara suami, isteri dan
Allah. Setiap pasangan yang menghadapi situasi yang sangat sulit ini harus berdoa
minta hikmat dari Tuhan (Yakobus 1:5), meminta petunjuk mengenai apa yang
Tuhan mau mereka kerjakan.

1
Dalam 99% aborsi yang dilakukan sekarang ini, alasannya terkait “pengaturan
kelahiran secara retroaktif.” Perempuan dan/atau pasangannya tidak
menginginkan bayi yang dikandung. Maka, mereka memutuskan untuk
mengakhiri hidup bayi itu, daripada harus membesarkannya. Ini adalah kejahatan
yang terbesar. Bahkan dalam kasus 1% yang dipenuhi dilema itu, aborsi pun
masih belum sepantasnya dijadikan opsi pertama. Manusia dalam kandungan Itu
layak untuk mendapatkan segala usaha untuk memastikan kelahirannya. Bagi
mereka yang telah melakukan aborsi, dosa aborsi tidaklah lebih sulit diampuni
dibanding dengan dosa-dosa lainnya. Melalui iman kepada Kristus, dosa apapun
dapat diampuni (Yohanes 3:16; Roma 8:1; Kolose 1:14). Perempuan yang telah
melakukan aborsi, atau para pria yang telah mendorong aborsi, atau bahkan dokter
yang melakukan aborsi, semuanya tetap dapat diampuni melalui iman kepada
Yesus Kristus.
D. Perspektif Aborsi dari Tinjauan Hukum Agama Katolik
Greja katolik menentang segala bentuk prosedur aborsi atau pengguguran
kandungan yang tujuan langsungnya adalah untuk menghancurkan embrio,
blastosis, zigot atau janin (fetus), karena berpegang pada keyakinan bahwa
"kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara mutlak sejak saat
pembuahannya. Sejak saat pertama keberadaannya, seorang manusia insani harus
diakui hak-haknya sebagai seorang pribadi, di antaranya adalah hak untuk hidup
yang tidak dapat diganggu gugat yang dimiliki setiap makhluk tak bersalah."
Namun, Gereja Katolik juga mengakui bahwa tindakan-tindakan tertentu yang
secara tidak langsung mengakibatkan kematian janin dapat dibenarkan secara
moral, seperti ketika tujuan langsung tindakannya adalah pengangkatan rahim
dengan sel kanker.
Pastor Ignatius Jajasewaya, Vikep yogyakarta, bagian keuskupan Agung
Semarang, menjelaskan gereja Katholik melarang aborsi jauh sebelum kelompok-
kelompok pro-life (lintas agama) muncul untuk menentang praktek aborsi.
“Penulis, baik selaku wakil uskup maupun pribadi, mendukung gerakan ini serta
mendoakannya semoga berhasil” kata pastor Jajasewaya. Hukuman
ekskomunikasi otomatis (excommunicatio latae sententiae), tak peduli dengan
cara apa dan kapan dilaksanakan. Menurut uskup Anton Pain Ratu SVD
menyebutkan masalah aborsi telah menjadi sorotan masyarakat di wilayah yang
berbatasan langsung dengan Timor Leste itu. “Sebagai pimpinan gereja Katholik

1
wilayah ini, kami telah mengeluarkan surat keputusan nomor 550/92 yang isinya
menyatakan bahwa umat

1
Katholik yang secara sengaja melakukan aborsi akan dikucilkan dari lingkungan
gereja atau disebut ekskomunikasi otomatis dengan menerima segala resiko”.
Dalam sebuah konferensi antiabosi di Vatikan, Sabtu, 25 Mei 2019, Paus
Franciskus mengatakan tidak boleh ada alasan untuk mengambil nyawa seorang
manusia, bahkan untuk kasus ketika nyawa itu masih berupa janin yang secara
medis lemah dan bisa meninggal saat dilahirkan atau tak lama setelah dia lahir.[9]
Sanksi Terhadap orang yang Melakukan Aborsi.
Umat Katolik yang merampungkan suatu aborsi terkena ekskomunikasi secara
otomatis dan langsung (latae sententiae). Itu berarti bahwa ekskomunikasi tersebut
tidak perlu dinyatakan atau dijatuhkan seperti halnya penalti ferendae sententiae
("masih harus diputuskan"); namun, sebagaimana ditetapkan dengan jelas oleh
hukum kanon, ekskomunikasi terjadi ipso facto (oleh kenyataan itu sendiri) ketika
suatu delik atau "tindak pidana" dilakukan (suatu penalti latae sententiae). Hukum
kanon menyatakan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu "pelaku pelanggaran
tidak terkena penalti latae sententiae", dan sebagai gantinya akan diberikan suatu
penitensi atau silih; di antara 10 kondisi yang tercantum dalam hukum kanon
terdapat klausul delik yang dilakukan oleh orang yang belum berusia 16 tahun,
orang yang bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak mengetahui adanya
penalti tersebut, dan "orang yang terpaksa bertindak karena ketakutan berat,
kendati hanya relatif berat, ataupun karena kebutuhan mendesak atau kesusahan
berat". Menurut suatu memorandum tahun 2004 oleh Kardinal Joseph Ratzinger,
para politisi Katolik yang aktif mengampanyekan dan memberikan suara demi
hukum- hukum aborsi permisif perlu diberitahu oleh imam mereka mengenai
ajaran Gereja, serta diperingatkan agar menahan diri untuk tidak menerima
Komuni Kudus atau menempuh risiko ditolak hingga mereka mengakhiri kegiatan
tersebut. Posisi ini didasarkan pada Kanon 915 dalam Kitab Hukum Kanonik 1983
dan juga didukung, atas nama pribadi, oleh Kardinal Raymond Leo Burke, Prefek
Signatura Apostolik, otoritas yudisial tertinggi dalam Gereja Katolik setelah Sri
Paus.
Terlepas dari indikasi dalam hukum kanon bahwa ekskomunikasi otomatis
tidak berlaku pada wanita yang melakukan aborsi karena rasa takut yang berat
atau karena kesusahan berat, Gereja Katolik, di luar pembedaan tersebut,
menjamin dimungkinkannya pengampunan bagi para wanita yang telah
melakukan aborsi. Paus Yohanes Paulus II menuliskan: Sekarang saya ingin

1
menyampaikan suatu perkataan khusus bagi para wanita yang telah melakukan
aborsi. Gereja menyadari

1
adanya banyak faktor yang mungkin telah mempengaruhi keputusan Anda, dan ia
tidak ragu bahwa dalam banyak kasus hal itu mungkin suatu keputusan yang
menyakitkan dan bahkan sangat menggelisahkan. Luka di dalam hati Anda
mungkin belum tersembuhkan. Tentu saja apa yang telah terjadi adalah dan tetap
sangat keliru. Namun, jangan menyerah pada keputusasaan dan jangan kehilangan
harapan. Berusahalah untuk lebih memahami apa yang telah terjadi dan hadapilah
dengan jujur. Apabila Anda belum melakukannya, serahkanlah diri Anda pada
kerendahan hati dan percayalah pada penyesalan. Bapa yang penuh belas kasihan
siap memberikan Anda pengampunan dan damai sejahtera-Nya dalam Sakramen
Rekonsiliasi.
Gereja mengajarkan bahwa "kehidupan manusia harus dihormati dan
dilindungi secara mutlak sejak saat pembuahannya. Sejak saat pertama
keberadaannya, seorang manusia insani harus diakui hak-haknya sebagai seorang
pribadi, di antaranya adalah hak untuk hidup yang tidak dapat diganggu gugat
yang dimiliki oleh setiap makhluk tak bersalah." Sejak abad pertama, Gereja telah
menegaskan bahwa setiap aborsi langsung adalah kejahatan moral, suatu ajaran
yang Katekismus Gereja Katolik nyatakan "belum berubah dan tetap tidak dapat
berubah". Gereja mengajarkan bahwa hak yang tidak dapat dicabut atas
kehidupan, yang dimiliki setiap individu manusia yang tak bersalah, merupakan
suatu elemen pokok dalam masyarakat sipil dan perundang-undangannya. Dengan
kata lain, masyarakat terikat pada kewajiban untuk secara hukum melindungi
kehidupan mereka yang belum terlahir. "Pada saat suatu hukum positif merampas
satu kategori manusia dari perlindungan yang sepatutnya diberikan kepada mereka
oleh undang- undang sipil, negara menyangkal kesetaraan semua orang di hadapan
hukum. Ketika negara tidak menempatkan kekuasaannya untuk melayani hak-hak
setiap warga, dan terutama mereka yang lebih lemah, maka landasan-landasan
utama suatu negara yang berdasarkan hukum terkikis secara perlahan. Sebagai
konsekuensi dari penghormatan dan perlindungan yang harus dijamin bagi anak
yang tidak terlahirkan sejak saat pembuahannya, hukum harus memberikan
sanksi- sanksi pidana untuk setiap pelanggaran yang disengaja terhadap hak-hak
sang anak." Karena Gereja Katolik memandang aborsi langsung adalah sama
sekali salah, maka Gereja Katolik merasa wajib untuk mengurangi penerimaannya
oleh masyarakat dan dalam undang-undang sipil.

1
Meski umat Katolik dilarang mendukung aborsi langsung dalam bidang
apapun, menurut Frank K. Flinn, diakui juga bahwa umat Katolik dapat menerima
kompromi-kompromi yang, ketika membiarkan terjadinya aborsi langsung,
menurunkan prevalensi dengan cara-cara seperti melarang beberapa bentuknya
atau menetapkan berbagai solusi terhadap kondisi-kondisi yang menimbulkan
peningkatan prevalensi. Flinn mengatakan bahwa dukungan dapat diberikan
kepada suatu platform politik yang mengandung sebuah klausul yang berpihak
pada aborsi tetapi juga berisi unsur-unsur yang secara aktual mengurangi jumlah
aborsi, daripada suatu platform anti-aborsi yang mengarah pada peningkatan
jumlahnya. Pada tahun 2004, Joseph Kardinal Ratzinger, Prefek Kongregasi
Ajaran Iman, menyatakan: "Seorang Katolik bersalah saat bekerja sama secara
formal dalam kejahatan, dan sangat tidak layak hadir untuk menerima Komuni
Kudus, apabila ia dengan sengaja memilih seorang kandidat justru karena sikap
permisif sang kandidat dalam hal aborsi dan/atau eutanasia. Ketika seorang
Katolik tidak menyetujui sikap kandidat yang mendukung aborsi dan/atau
eutanasia, tetapi memilih kandidat itu karena alasan-alasan lain, maka hal itu
dianggap kerja sama material yang tak terkait, yang dapat diperkenankan dengan
adanya alasan-alasan proporsional."
E. Prespektif Aborsi dari Tinjauan Hukum Agama Hindu
Teks-teks Hindu klasik sangat mengutuk aborsi. BBC menuliskan, "Saat
mempertimbangkan aborsi, cara Hindu adalah memilih tindakan yang akan
memberikan kerugian paling sedikit bagi semua yang terlibat: sang ibu dan ayah,
sang janin dan masyarakat." Lebih lanjut BBC menyatakan, "Dalam praktiknya,
bagaimanapun, aborsi dipraktikkan dalam kultur Hindu di India, karena larangan
keagamaan atas aborsi.
Terkadang dikesampingkan oleh preferensi kultural demi anak laki-laki. Hal
ini dapat menyebabkan aborsi untuk menghindari kelahiran bayi perempuan, yang
disebut 'fetisida wanita'." Para akademisi Hindu dan pembela hak-hak wanita telah
mendukung larangan atas aborsi selektif-seks. Beberapa umat Hindu mendukung
aborsi dalam kasus kehidupan sang ibu terancam bahaya atau ketika janinnya
memiliki anomali perkembangan yang mengancam nyawa.
Beberapa teolog Hindu dan Brahma Kumaris meyakini bahwa keberadaan
pribadi manusia dimulai dalam periode tiga bulan kehamilan dan berkembang
dalam periode lima bulan, yang mungkin menyiratkan diizinkannya aborsi hingga

1
bulan ketiga dan menganggap aborsi setelah bulan ketiga sebagai penghancuran
tubuh yang sedang menjelma yang dimiliki sang jiwa.
F. Perspektif Aborsi dari Tinjauan Hukum Agama Budha
Tidak terdapat satu pandangan Buddhis mengenai aborsi. Beberapa sumber
dalam tradisinya, termasuk sejumlah peraturan monastik Buddhis, berpegang pada
keyakinan bahwa kehidupan dimulai sejak saat pembuahan dan bahwa aborsi,
yang sesungguhnya melibatkan pemusnahan hidup secara sengaja, harus ditolak.
Yang menjadikan isu ini kompleks adalah keyakinan Buddhis bahwa "kehidupan
merupakan suatu rangkaian kesatuan tanpa titik awal yang dapat dipahami". Di
antara kalangan Buddhis, tidak terdapat sudut pandang resmi atau yang lebih
diutamakan berkenaan dengan aborsi.
Dalai Lama ke-14 mengatakan bahwa aborsi adalah "negatif", tetapi ada
pengecualian-pengecualian. Ia mengatakan, "Saya pikir aborsi seharusnya
disetujui ataupun ditolak berdasarkan keadaan masing-masing.” Menginduksi atau
cara lain yang mengakibatkan aborsi dipandang sebagai suatu hal serius dalam
peraturan membiara (monastik) yang dianut oleh para rahib Theravāda maupun
Wajrayana; para rahib dan rubiah tidak diperkenankan untuk membantu seorang
wanita dalam melakukan aborsi. Sumber-sumber dalam tradisi Buddhis tidak
mengenal perbedaan antara aborsi fase-awal dan fase-akhir, tetapi, di Sri Lanka
dan Thailand, "stigma moral" terkait aborsi bertambah seiring dengan
perkembangan fetus atau janin. Sementara sumber-sumber dalam tradisi
tampaknya tidak melihat kemungkinan keterkaitan aborsi dengan kesehatan sang
ibu, para guru Buddhis modern dari banyak tradisi dan hukum aborsi di banyak
negara Buddhis mengakui kalau ancaman bagi kehidupan atau kesehatan fisik
sang ibu dapat dijadikan suatu pembenaran yang dapat diterima untuk melakukan
aborsi sebagai suatu hal praktis, kendati hal itu dapat dipandang sebagai suatu
perbuatan dengan konsekuensi karma atau moral negatif.

1
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pengguguran kandungan atau aborsi adalah berakhirnya kehamilan dengan


dikeluarkannya janin (fetus) atau embrio sebelum memiliki kemampuan untuk
bertahan hidup di luar rahim, sehingga mengakibatkan kematiannya. Aborsi
provokatus adalah aborsi yang dilakukan secara sengaja dengan obat maupun alat-
alat, sedangkan aborsi teraputik adalah aborsi yang dilakukan untuk pengobatan atau
untuk kebaikan.
Al-qur’an dan hadist melarang untuk melakukan aborsi provokatus dan
hukumnya adalah haram sedangkan untuk aborsi teraputik memperbolehkan dengan
syarat-syarat tertentu, kemudian para ulama sebagian ada yang berpendapat
memperbolehkan melakukan aborsi namun dengan syarat-syarat tertentu dan sebagian
melarangnya.
Alkitab tidak pernah secara khusus berbicara mengenai aborsi. Yeremia 1:5
menyatakan bahwa Allah telah mengenal kita sebelum Dia membentuk kita dalam
kandungan. Hal ini dengan jelas mengindikasikan bahwa Allah memandang bayi
dalam kandungan sudah sebagai manusia, sama bobotnya dengan orang dewasa. Bagi
orang Kristen, aborsi bukan hanya sekedar soal hak perempuan untuk memilih.
Greja katolik menentang segala bentuk prosedur aborsi atau pengguguran
kandungan yang tujuan langsungnya adalah untuk menghancurkan embrio, blastosis,
zigot atau janin (fetus), karena berpegang pada keyakinan bahwa "kehidupan manusia
harus dihormati dan dilindungi secara mutlak sejak saat pembuahannya.
Beberapa teolog Hindu dan Brahma Kumaris meyakini bahwa keberadaan
pribadi manusia dimulai dalam periode tiga bulan kehamilan dan berkembang dalam
periode lima bulan, yang mungkin menyiratkan diizinkannya aborsi hingga bulan
ketiga dan menganggap aborsi setelah bulan ketiga sebagai penghancuran tubuh yang
sedang menjelma yang dimiliki sang jiwa.
Dalai Lama ke-14 mengatakan bahwa aborsi adalah "negatif", tetapi ada
pengecualian-pengecualian. Ia mengatakan, "Saya pikir aborsi seharusnya disetujui
ataupun ditolak berdasarkan keadaan masing-masing.” Menginduksi atau cara lain
yang mengakibatkan aborsi dipandang sebagai suatu hal serius dalam peraturan
membiara (monastik) yang dianut oleh para rahib Theravāda maupun Wajrayana; para
rahib dan rubiah tidak diperkenankan untuk membantu seorang wanita dalam
2
melakukan aborsi.

2
DAFTAR PUSTAKA

1. https://www.dhammacakka.org/?channel=ceramah&mode=detailbd&id=326
2. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Agama_dan_aborsi#:~:text=Buddha,- Artikel
%20utama%3A%20Buddhisme&text=Tidak%20terdapat%20satu%20pand angan
%20Buddhis,hidup%20secara%20sengaja%2C%20harus%20ditolak
3. https://ejournal.iahntp.ac.id/index.php/satya-dharma/article/download/511/320
4. https://www.gotquestions.org/Indonesia/aborsi-Alkitab.html
5. https://kumparan.com/berita-hari-ini/hukum-aborsi-dalam-islam-lengkap-dengan-
ketentuan-dan-dalil-dalilnya-1wZyNVccUtf
6. https://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/258/hukum-aborsi-dalam-islam/
7. https://pecihitam.org/hukum-aborsi-dalam-islam/
8. https://id.wikipedia.org/wiki/Aborsi_dan_Gereja_Katolik
9. https://id.wikipedia.org/wiki/Gugur_kandungan

Anda mungkin juga menyukai