Anda di halaman 1dari 8

Jawaban UAS

Nama : Achmad Achsin Mubarok


NIM : 1122012
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Dosen : Haris Hidayatulloh M.H.I
Mata Kuliah : Masail Fiqhiyah
Semester : 3 (Tiga)

1. Aborsi yang merupakan suatu pembunuhan terhadap hak hidup seorang manusia, jelas
merupakan suatu dosa besar. Merujuk pada ayat-ayat Al-Quran yaitu pada Surat Al
Maidah ayat 32:
‫ِم ْن َأْج ِل َٰذ ِلَك َك َتْبَنا َع َلٰى َبِنٓى ِإْس َٰٓر ِء يَل َأَّن ۥُه َم ن َقَت َل َنْفًۢس ا ِبَغْي ِر َنْفٍس َأْو َفَس اٍد ِفى ٱَأْلْر ِض َفَك َأَّنَم ا َقَت َل ٱلَّن اَس َجِم يًع ا َو َم ْن‬
‫َأْح َياَها َفَك َأَّنَم ٓا َأْح َيا ٱلَّناَس َجِم يًعاۚ َو َلَقْد َج ٓاَء ْتُهْم ُرُس ُلَنا ِبٱْلَبِّيَٰن ِت ُثَّم ِإَّن َك ِثيًرا ِّم ْنُهم َبْع َد َٰذ ِلَك ِفى ٱَأْلْر ِض َلُم ْس ِرُفوَن‬

Artinya: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh)
orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia
telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.
Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” QS. Al-
Maidah Ayat 32

Mazhab Hanafi merupakan paham yang paling fleksibel, dimana sebelum masa empat
bulan kehamilan, aborsi bisa dilakukan apabila mengancam kehidupan si perempuan
(pengandung). Mazhab Maliki melarang aborsi setelah terjadinya pembuahan.
Menurut mazhab Syafii, apabila setelah terjadi fertilisasi zigot tidak boleh diganggu,
dan intervensi terhadapnya adalah sebagai kejahatan. Mazhab Hambali menetapkan
bahwa dengan adanya pendarahan yang menyebabkan miskram menunjukkan bahwa
aborsi adalah suatu dosa.
Abdurrahman Al Baghdadi dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam,
Menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan.
Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa
kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya.
Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya
ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya. Yang
memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w. 1596
M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang
bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang
mengalami pertumbuhan. Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain
Ibnu Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya`
Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir
berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi
adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami
pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama
manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya.
Dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah
peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin
dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus.

Dalam hukum positif di Indonesia, ketentuan yang mengatur masalah aborsi terdapat
di dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Ketentuan di dalam KUHP yang mengatur Masalah tindak pidana aborsi terdapat di
dalam Pasal 299, 346, 347, 348, dan 349. Pasal 299 KUHP: 1) Barang siapa dengan
sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan
diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat
digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling
banyak tiga ribu rupiah; (2) Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari
keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau
jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga; (3) Jika
yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalankan pencarian, maka dapat
dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu”.
Pasal 346 KUHP: “Seorang wanita yang dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun penjara”. Pasal 347 KUHP : “(1) Barang siapa dengan
sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas bulan; (2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”. Pasal 348 KUHP: “(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun enam bulan; (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan
matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
Pasal 349 KUHP: “Jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatan yang tersebut Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah
satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan itu dilakukan”. Di dalam KUHP sendiri,
istilah “aborsi‟ lebih dikenal dengan sebutan “pengguguran dan pembunuhan
kandungan” yang merupakan perbuatan aborsi yang bersifat kriminal (abortus provokatus
criminalis).
Istilah kandungan dalam konteks tindak pidana ini menunjuk pada pengertian
kandungan yang sudah berbentuk manusia maupun kandungan yang belum berbentuk
manusia. Karena adanya dua kemungkinan bentuk kandungan tersebut maka tindak
pidana yang terjadi dapat berupa: (1) pengguguran yang berarti digugurkannya atau
dibatalkannya kandungan yang belum berbentuk manusia; atau (2) pembunuhan yang
berarti dibunuhnya atau dimatikannya kandungan yang sudah berbentuk manusia.

2. Ber-KB bisa mubah atau dibolehkan karena tidak ada dalil yang mengharamkannya. Hal
ini didasarkan pada kaidah hukum Islam: al-ashlu fii al-asyyaa`i wa al-ahwaali al-ibaahah
hatta yadulla al-daliilu `ala tahriimihaa (Pada dasarnya segala sesuatu/perbuatan itu
boleh, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya).
Ber-KB dalam arti mengurangi atau tidak memiliki anak sama sekali dalam situasi di
sebuah negara yang berkurang jumlah penduduknya, misalnya karena bencana alam atau
peperangan, sementara secara ekonomi dan pendidikan mampu memiliki anak, maka
hukumnya bisa makruh
Dan bisa menjadi haram jika dalam kondisi tersebut, upaya mengurangi atau
menghalangi untuk memiliki anak tersebut dilakukan dengan cara yang salah. Misalnya
dengan melakukan aborsi pada usia kandungan telah mencapai lebih dari 120 hari atau
empat bulan, yaitu ketika janin sudah ditiupkan ruh; atau melakukan operasi steril
sementara tidak ada indikasi medis yang membahayakan jika memiliki anak.
Menurut Masjfuk Zuhdi, ber-KB dengan motivasi individu untuk menyejahterakan
keluarga dan dengan motivasi kolektif seperti ingin menyejahterakan masyarakat dan
negara bisa sunnah hukumnya; bahkan bisa wajib jika negara tempat tinggalnya sudah
sangat padat penduduknya. Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
hukum ber-KB di Indonesia, yang sudah sangat padat penduduknya, adalah wajib.

3. Ada 2 hal yang menyebutkan bahwa bayi tabung itu halal, yaitu:

1) Sperma tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari istrinya
kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
2) Sperma si suami diambil kemudian di suntikkan ke dalam saluran rahim istrinya
atau langsung ke dalam rahim istrinya untuk disemaikan.

Hal tersebut dibolehkan asal keadaan suami istri tersebut benar-benar memerlukan
inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami istri tersebut memperoleh keturunan.
Sebaliknya, Ada 5 hal yang membuat bayi tabung menjadi haram yaitu:

1) Sperma yang diambil dari pihak laki-laki disemaikan kepada indung telur pihak
wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
2) Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang diambil
dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si
wanita.

3) Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sepasang suami istri,
kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia mengandung
persemaian benih mereka tersebut.

4) Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain
kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.

5) Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan
istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.

Jumhur ulama menghukuminya haram. Karena sama hukumnya dengan zina yang
akan mencampur adukkan nashab dan sebagai akibat, hukumnya anak tersebut tidak sah
dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Sesuai firman Allah
dalam surat (At-Tiin: 4) adalah:

‫َلَقْد َخ َلْقَنا ٱِإْل نَٰس َن ِفٓى َأْح َس ِن َتْقِو يٍم‬

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

4. Menurut Muhammad Rashfi dalam Al-Islam wa al-Thib sebagaimana juga dikutip Sayid
Sabiq, bahwa Islam melarang homoseks karena dampak negatif yang ditimbulkan
terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat sangat besar, di antaranya:
Homoseksual adalah bentuk perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma
agama, norma susila, dan bertentangan pula dengan sunnatullah (God’s law/ natural law)
dan fitrah manusia (human nature). Hal ini ber implikasi pada timbulnya rasa benci
terhadap perempuan, dan pada akhirnya dapat merusak sendi-sendi kebahagiaan rumah
tangga karena tidak mampu menjalankan tugas sebagai suami, dan si istri hidup tanpa
ketenangan dan kasih sayang.
Homoseks dapat mengakibatkan kelainan jiwa dan ini berimplikasi pada timbulnya
tingkah laku yang aneh-aneh pada pria pasangan si homo. Misalnya, ia bergaya seperti
wanita dalam berpakaian, berhias dan bertingkah laku.
Homoseks dapat mengakibatkan gangguan saraf otak, sehingga melemahkan daya
pikiran dan semangat kerja. Homoseks dapat mendatangkan penyakit AIDS (Acquired
Immune Deficiency syndrome), yang menyebabkan kekurangan atau bahkan kehilangan
daya tahan tubuh. Berdasarkan penelitian terhadap 12.000 pen duduk Amerika yang
terkena AIDS, ternyata 73 persen akibat hubungan free sex, terutama homoseks.
Mengamati beberapa argumen dan dasar hukum di atas, maka dapat diketahui betapa
keras larangan perbuatan homoseks itu. Disamping itu hampir tidak dijumpai perbedaan
pen dapat mengenai ketidakbolehan homoseks. Hampir tidak ada unsur maslahat dari
perbuatan ter sebut, bahkan yang paling banyak adalah unsur mudaratnya. Hanya saja
yang menjadi masalah adalah masih adanya pandangan yang berbeda di antara ulama
dalam menentukan ukuran hukuman yang ditetapkan buat menghukum pelakunya.

Dalam hal ini terdapat tiga pandangan. Pandangan pertama menyatakan bahwa
hukuman liwath lebih keras daripada hukuman zina. Bahwa hukumannya bagaimanapun
harus dibunuh, baik ia telah kawin maupun belum kawin. Pandangan ini antara lain
diperpegangi oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, Ibn Az-
Zubair, Ibn Abbas, AzZuhri, Imam Ahmad dan Imam Syafi’i.
Argumentasi pandangan di atas didasarkan pada sebuah hadis Nabi Muhammad saw.
Yang menyuruh membunuh pelaku homoseks dan melaknatnya. Bunyi hadis itu sebagai
berikut:

‫حدثنا محمد بن عمرو السواق حدثنا عبد العزيز بن محمد عن عمرو بن أب عمرو عن عكرمة عن بن عباس قال‬
‫قال رسول هللا صلى هللا عليه‬
‫رة قال أبو‬44‫وسلم ث من وجدتموه يعمل عمل قوم الفاء فاقتلوا الفاعل والمفعول به قال وفي الباب عن جابر وأب هري‬
‫عيسى وإنما يعرف هذا الديث عن بن عباس عن النب صلى هللا عليه وسلم من هذا الوجه وروى محمد بن إسحاق هذا‬
‫الديث عن عمرو بن أب عمرو فقال ملعون من عمل عمل قوم الفاء ول يذكر فيه القتل وذكر فيه ملعون من أتى بيمة‬
‫ه‬44‫لى هللا علي‬44‫رة عن النب ص‬44‫ه عن أب هري‬44‫الح عن أبي‬44‫وقد روي هذا الديث عن عاصم بن عمر عن سهيل بن أب ص‬
29‫وسلم قال اقتلوا الفاعل والمفعول به‬

Artinya :
“…Diriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw. Bersabda:
“Barangsiapa yang kalian temui telah menjalankan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah
kedua pelakunya”. (HR.al-Turmuzi).

Hadis ini juga ditakhrijkan oleh Baihaqi dari Sa’id ibn Jabir, dan Mujahid dari ibn
Abbas r.a. bahwa ia ditanya tentang bikr yang melakukan homoseks, maka ia menjawab
bahwa hukumannya adalah rajam, berdasarkan hadis Rasulullah saw.
Dikatakan:‫فروى عنه أن حده الرجم بكرا كان او ثيبا‬

Artinya:
”Diriwayatkan bahwa had homoseks adalah rajam, baik pelakunya jejaka maupun telah
menikah”

Lain halnya dengan pandangan sebelumnya, pandangan kedua ini menyatakan bahwa
hukuman liwath sama dengan hukuman pezina. Pandangan ini didasarkan pada sebuah
hadis : ‫اذا أتى الرجل الرجل فهما زنيان‬
Artinya:
“Jika seorang laki-laki ‘mendatangi’ laki-laki maka keduanya telah melakukan zina”.

Hadis tersebut di atas adalah hadis marfu’ dan berkualitas shahih dengan beberapa
indikator, diantaranya sanad bersambung dan tidak terdapat unsur kejanggalan dalam
matannya.

Kandungan pokok hadis tersebut di atas menerangkan tentang penyerupaan homoseks


dengan zina. Karena itu homoseks dimasukkan dalam keumuman dalil tentang zina, baik
yang muhsan ataupun yang tidak muhsan. Pandangan ini dianut oleh Imam Malik, Imam
Syafi’I, Imam Ahmad dan Ishaq. Sedangkan kalangan ulama fiqh tabi’in, di antaranya al-
Hasan al-Bashry, Ibrahim al-Nakh’iy, Atha’ bin Abi Rabah dan lain-lain lebih
menegaskan bahwa pandangan had al-luthiy sama dengan had al-zaniy berasal dari al-
Tsaury dan ulama-ulama Kufah

Menurut Umar bin al-Khaththab beserta sejumlah sahabat dan tabi’in bahwa pelaku
homo seks harus dirajam dengan lemparan batu hingga meninggal, baik dalam keadaan
bujangan maupun sudah menikah. Imam Ahmad, Ishaq, Malik dan Az-Zuhri juga
sependapat dengan ini.
Jabir bin Zaid berkata, orang yang melakukan sodomi, harus dirajam. Menurut Asy-
Sya’bi, dia harus dibunuh, dalam keadaan sudah menikah atau bujangan.
Ibnu Abbas r.a suatu ketika ditanya tentang sanksi pelaku homoseks, ia menjawab,
“dia harus diikat di sebuah bangunan yang paling tinggi di kota, lalu dirajam dengan
lemparan batu. Sedangkan Ali pernah merajam pelaku homoseks lalu memfatwakan
untuk membakarnya.” Ini mengandung makna bahwa Ibnu Abbas mentolerir dua jenis
hukuman ini.
Atha’ berkata: ”Saya pernah menyaksikan tujuh orang yang dihadapkan kepada Ibn
AzZubair karena mereka telah melakukan homoseks. Empat orang diantaranya sudah
menikah dan selebihnya masih membujang. Lalu ia memerintahkan keempat orang itu
untuk di keler di depan Masjidil Haram, lalu mereka dirajam dengan lemparan batu.
Adapun ketiga orang lainnya dihukum dengan pukulan dan cambukan. Sementara saat itu
di dalam mesjid ada Ibn Umar dan Ibn Abbas.
Para sahabat telah sepakat bahwa sanksi orang yang melakukan homoseks harus
dihukum mati. Namun demikian mereka saling berbeda pendapat tentang cara
pelaksanaannya.
Al-Hakim dan Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman liwath lebih ringan
daripada hukuman pezina, yaitu diberikan takzir (dibuang). Mereka beralasan bahwa
liwath itu hanyalah merupakan salah satu bentuk dari sekian macam bentuk maksiat
yang tidak ditetapkan bentuk hukumannya oleh Allah. Maka dalam hal itu hukumannya
adalah takzir. Mereka lebih jauh menyatakan bahwa liwath itu hanyalah bersetubuh pada
tempat yang tidak diinginkan oleh naluri yang normal, bahkan hewan pun tidak
menginginkannya. Karena itu pelakunya tidak memperoleh hukuman had.

Dalam Pasal 292 KUHP menyatakan larangan terhadap orang dewasa yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis kelamin yang diketahuinya
atau sepatutnya diduganya belum dewasa. Larangan pada pasal tersebut, lebih lanjut
dijelaskan dalam Pasal 495 ayat (1) RUU KUHP dengan batasan usia, yaitu hanya
dipidana jika dilakukan terhadap orang di bawah umur 18 tahun.
Selain itu, Pasal 495 ayat (1) RUU KUHP memuat sanksi pidana. Pidana yang
dijeratkan semula pidana penjara paling lama 5 tahun, menjadi pidana penjara paling
lama 9 tahun.
Di dalam perkembangannya, terdapat tambahan ayat baru berupa ancaman pidana
tersebut tidak hanya berlaku pada perbuatan cabul dibawah umur, namun juga terhadap
seseorang yang melakukan perbuatan cabut terhadap orang berusia diatas 18 tahun.

Namun, usulan mengenai ancaman pidana penjara terhadap orang yang berusia diatas
18 tahun masih belum disetujui oleh berbagai fraksi. Berbagai pihak menyatakan kontra
lantaran negara tidak bisa mengintervensi hak dasar warga hanya karena perbedaan
orientasi seksual.

Referensi :
Haerolah, M.A 2022. “Perbandingan Hukum Aborsi, Hukum Islam, Hukum Pidana
Indonesia”. Jurnal Ekonom Hukum dan Ekonomi Islam, (online), Vol. 4, No. 1,
(https://unisa-palu.e-journal.id/Almashadir/article/view/82, diakses 25 Desember 2023)

Nina, N 2018. “Keluarga berencana dan Pemberdayaan Perempuan”, (online),


(https://www.google.com/amp/s/swararahima.com/2018/08/30/keluarga-berencana-dan-
pemberdayaan-perempuan/amp/, diakses 25 Desember 2023).

Muhamad, I. 2019. “Bayi Tabung Dalam Pandangan Islam”. Jurnal Al-'Adl, (online),
Vol. 12, No. 1, (https://ejournal.iainkendari.ac.id/index.php/al-adl/article/download/
1383/996, diakses 25 Desember 2023)

Fatmawati, 2015. “Homoseks dan Lesbian Perspektif Hukum Islam”. Jurnal Hukum
Islam, (online), Vol. 13, No. 2,
(https://ejurnal.iainpare.ac.id/index.php/diktum/article/download/367/283/, diakses 25
Desember 2023)
Willa, W 2022. “Aturan Hukum LGBT di Indonesia, Bisa Dipidana”, (online),
(https://www.hukumonline.com/berita/a/aturan-hukum-lgbt-di-indonesia--bisa-dipidana-
lt627b5c0e71ba7/, diakses 25 Desember 2023).

Anda mungkin juga menyukai