SOAL MIDLE:
1. Coba saudara uraikan dan jelaskan apa tujuan dan manfaat mempelajari Masailul Fiqhiyah
Al-Haditsah?
2. Jelaskan dengan baik tentang KB (Keluarga Berencana) dan dalil-dalil serta pendapat para
ulama?
3. Uraikan dan jelaskan dengan baik tentang menikahi wanita hamil karena zina dan
kedudukan anaknya serta uraikan dengan dalil-dalilnya?
4. Uraikan dan jelaskan dengan baik tentang Euthanasia serta dalil-dalilnya?
JAWABAN:
1. Pertama
Tujuan dari mempelajari Masailul Fiqhiyah al Hadistah adalah agar umat islam dapat
memahami pengertian, tujuan, kaidah-kaidah, serta persoalan dalam Masailul Fiqhiyah al
Hadistah yang berkaitan dengan Fiqh Kontemporer, untuk mengetahui masalah -masalah
Fiqh yang berkembang di masyarakat dan dapat bersikap toleran atas perbedaan-perbedaan
pandangan dalam pemahaman Fiqh, untuk beribadah mewujudkan kemashlahatan bagi
masyarakat, dan untuk mengkaji dan merumuskan masalah-masalah yang bersifat
amaliyah.
2. Kedua
KB (Keluarga Berencana) adalah perencanaan yang kongkret oleh pasangan suami
dan istri mengenai kapan anak-anaknya diharapkan lahir agar setiap anaknya lahir
disambut gembira, syukur dan menjaga keselamatan jiwa atau kesehatan ibu, menjaga
keselamatan agama serta menjaga kesehatan atau pendidikan anak-anak. Pendapat para
ulama: Menurut Syekh Abdullah bin Baaz mengenai pelaksanaan keluarga berencana baik
itu dengan cara sederhana seperti menggunakan pil, kondom, dan lainnya pada dasarnya
adalah haram, tetapi kemudian ada pengecualian yang menjadikan hukum kebolehan
dengan adanya suatu dharurat. Berbeda dengan pendapat Yusuf Al-Qardhawi yang
berpendapat bahwa hukum Keluarga Berencana yang disandarkan dengan hukum 'azl
(senggama terputus) adalah mubah/boleh.
ِ ى هَّللا
َّ ِ فَبَلَ َغ َذلِكَ نَب-صلى هللا عليه وسلم- ِ ُول هَّللا ِ ال ُكنَّا نَع
ِ ْز ُل َعلَى َع ْه ِد َرس َ َع َْن َجابِ ٍر ق
فَلَ ْم يَ ْنهَنَا-صلى هللا عليه وسلم-
Artinya: “Dari Jabir, ia berkata: Kami pernah melakukan ‘azl (coitus interuptus) pada
masa Rasulullah saw. kemudian berita itu sampai kepada Nabi saw. namun
Nabi saw. tidak melarang kami.” (HR. Muslim, no. 3634).
3. Ketiga
Tentang menikahi wanita hamil karena zina dan kedudukan anaknya terjadi
perbedaan pendapat:
Menurut pendapat Imam Syafi’i: boleh melakukan aqad nikah dengan perempuan
yang hamil karena berzina dan boleh pula melakukan jima’ dengannya setelah aqad,
apakah yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya atau laki-laki lain.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat: jika yang menikahinya itu orang yang
menzinahinya maka itu boleh dan boleh pula melakukan jima’. Tetapi jika yang
menikahinya laki-laki lain, maka boleh melakukan aqad nikah tapi tidak boleh
melakukan jima’ sampai istibra’ (kosongnya Rahim dan janin) dengan satu kali haid
atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Adapun imam imam malik dan imam Hambali berpendapat: tidak boleh
melaksanakan aqad nikah dengan pelacur hamil sehingga ia bersalin. Mereka
berpendapat bahwa untuk dibolehkannya menikahi perempuan hamil karena berzina
disyaratkan telah habis masa iddah nya, yakni setelah ia melahirkan.
Adapun bagimana nasab anak tersebut adalah bahwa dari penjelasan di atas telah di
kemukakan bahwa boleh menikahi hamil karena zina dan boleh menggaulinya bilamana
laki-laki itu sendiri yang menghamilinya.
Pada dasarnya nasab anak zina hanya dihubungkan dengan ibunya. Namun terjadi
beberapa perbedaan pendapat untuk masalah ini. Pendapat pertama, mengatakan bahwa
anak yang lahir dari perkawinan hamil di luar nikah, tetap dipandang sebagai anak zina.
Pendapat kedua,mengatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan dengan perempuan
yang sedang hamil karena zina oleh laki-laki yang menghamilinya adalah sah. Pendapat
ketiga, mengatakan jika anak itu lahir 6 bulan setelah akad nikah berarti usia kandungan
sekitar 3 bulan saat menikah, maka si anak secara otomatis sah dinasabkan pada ayahnya
tanpa harus ada ikrar tersendiri.
Anak zina menurut pandangan Islam, adalah suci dari segala dosa, karena kesalahan
itu tidak dapat ditujukan kepada anak tersebut, tetapi kepada orang tuanya (yang tidak sah
menurut hukum.
4. Keempat
Euthanasia berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan
penderitaan hebat menjelang kematiannya. Dalam dunia medis dikenal tiga macam
euthanasia, di antaranya: euthanasia aktif, euthanasia tidak lansung, dan euthanasia pasif.
Dalam pandangan agama islam, hidup adalah anugerah Allah. Dia yang
menganugerahkannya dan hanya Dia pula yang mencabutnya, atau berhak memerintahkan
untuk mencabutnya.
Dalam hukum Islam tentang Euthanasia ini para ulama berbeda pendapat dalam
mengklasifikasikan hal in, perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya
firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam 151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja)” (QS An-Nisaa`: 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa`: 29).