Anda di halaman 1dari 4

A.

DASAR HUKUM KB

Ber-KB dalam pengertian untuk mencegah kehamilan akibat hubungan badan suami-
istri telah dikenal sejak masa Nabi Muhammad, dengan perbuatan azal yang sekarang dikenal
dengan coitus-interuptus, yakni MLPD· terputus, yaitu melakukan ejakulasi (inzal almani) di
luar vagina (faraj) sehingga sperma tidak bertemu dengan indung telur istri. Dengan demikian
tidak mungkin terjadi kehamilan karena indung telur tidak dapat dibuahi oleh sperma suami.

azal pernah dilakukan oleh sebagian Sahabat Nabi yang menjimaki bundak-budaknya
tetapi mereka tidak menginginkannya hamil. Demikian pula terhadap istri mereka setelah
mendapat izin sebelumnya. Peristiwa azal ini mereka ceritakan kepada Nabi seraya
mengharapkan petunjuk Nabi tentang hukumnya. Ternyata Nabi tidak menentukan
hukumnya, sementara wahyu yang masih turun juga tidak menentukan hukumnya.

Mengenai azal diungkapkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan
Muslim sebagai berikut:

“Dari sahabat Jabir berkata: kami melakukan azal pada masa nabi SAW sedangkan
ketika itu al-Quran masih turun, kemudian berita peristiwa ini sampai kepada Rasulullah dan
beliau tidak melarang kami.1 Dalam riwayat yang lain disebutkan dan ketika itu al-Quran
masih turun”.2

Secara ensensial dan sarih, hadis di atas inilah yang dijadikan dasar hukum dan nash
tentang dibolehkannya ber-KB menurut hukum Islam, sekaligus sebagai dalil untuk
mengkiaskan penggunaan alat kontrasepsi seperti kondom dan sejenisnya sebagaimana akan
dijelaskan nantinya. Meskipun demikian dalil-dalil yang sharih tentang KB tidaklah
ditemukan dalam al-Quran, kecuali hanya terdapat dalam beberapa ayat yang dapat diambil
pengertian secara umum saja seperti, ketika Allah memberikan peringatan kepada manusia
supaya tidak meninggalkan cucu-cucu yang lemah sehingga dikhawatirkan kesejahteraan
hidupnya dikemudian hari,3 sama juga halnya ketika Allah menganjurkan bagi para ibu
supaya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh yang diartikan sekaligus sebagai
anjuran menjarangkan kehamilan, tanggung jawab suami-istri dan menjaga resiko yang
ditimbulkan oleh anak-anak.4 Mengenai resiko dan kesusahan bagi seorang ibu akibat
mengandung dan melahirkan anak-anak ini, ditegaskan pula dalam surah al-Luqman ayat 14,
1
Imam Muslim, Sahih Muslim (Beirut: Dar Jil, t.th.), 4. 160. Lihat juga Imam Bukhari, Sahih al-Bukhari t.t.:
Dar Tuq al-Najah, t.th.), 13. 171.
2
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah (Beirut: Darul Fikr, t.th.), 1. 620. Lihat juga Imam Muslim, Sahih Muslim, 4.
160. Ahmad Bin Hambal, Musnad Ahmad Bin Hambal (t.t. jamiyah al-Islami>, 2010), 5. 1752
3
Lihat (QS. An-Nisa: 9).
4
Lihat (QS. Al-Baqarah: 233).
surah al-Ahqaf ayat 15 dan beberapa ayat lain tentang fitnah yang disebabkan oleh anak yang
banyak.

Mengenai keluarga berencana atau setidak-tidaknya mencegah keluarga berencana atau


setidak-tidaknya mencegah kehamilan “keluarga berencana” dikenal sekarang, terjadi silang
pendapat mengenai hukum ber-KB dikalangan para ulama di antara mereka ada yang
membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Ulama yang membolehkan seperti Imam al-
Ghazali dalam kitabnya, ihya Ulu muddin dinyatakan, bahwa azal tidak dilarang, karena
kesukaran yang dialami si ibu disebabkan sering melahirkan. Motifnya antara lain: untuk
menjaga kesehatan si ibu, untuk menghindari kesulitan hidup, karena banyak anak, dan untuk
menjaga kecantikan si ibu.5

Kemudian Syekh al-Hariri (Mufti Besar mesir) beliau berpendapat bahwa menjalankan
KB bagi perorangan (individu) hukumnya boleh dengan beberapa ketentuan seperti: untuk
menjarangkan anak. Untuk menghindari suatu penyakit bila ia mengandung. Untuk
menghindari kemudaratan bila ia mengandung dan melahirkan dapat membawa kematiannya
(secara medis). Untuk menjaga kesehatan si ibu, karena setiap hamil selalu menderita suatu
penyakit kandungan. Dan untuk menghindari anak dari cacat fisik bila suami atau istri
mengindap penyakit kotor.

Selanjutnya adalah Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa pembatasan keluarga


bertentangan dengan syariat Islam. Umpamanya membatasi keluarga hanya 3 anak saja dalam
segala situasi dan kondisi atau dalam bahasa inggrisnya “birth control” sedangkan pengatur
kelahiran menurut beliau tidak bertentangan dengan ajaran Islam, umpanya menjarangkan
kelahiran karena situasi dan kondisi khusus, baik yang ada hubungannya dengan keluarga
yang bersangkutan, maupun ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat dan negara.
Alasan lain yang membolehkan adalah suami istri yang mengindap penyakit berbahaya dan
dikhawatikan menular kepada anaknya.6

B. DASAR HUKUM STERILISASI

Pendapat para ahli yang berkaitan dengan penggunaan alat kontrasepsi dan sterilisasi

A. Sterilisasi
Dalam fatwa Majma Fiqh al-Islami mengenai KB steril, baik vasektomi maupun
tubektomi memuat bahwa:7

5
Al-Ghazali ihya ulumuddin (beirut: dar ma’rifah, t.th..), 2. 52.
6
Abd Salam, Pembaharuan Pemikiran Islam Antara Fakta dan Realita (Yogyakarta: Lesfi, 2003), 170.
7
Raehanul Bahraen, Fikih Kontemporer Kesehatan Wanita, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2017), 150
1. Tidak boleh mengeluarkan undang-undang secara umum guna membatasi
kebebasan suami-isteri dalam memperoleh keturunan atau anak.
2. Haram menghilangkan secara total kemampuan laki-laki maupun perempuan
untuk memiliki keturunan, yaitu yang di kenal dengan istilah medisnya
sterilisasi. Yakni selama dilakukan bukan untuk darurat, yang ditetapkan
berdasarkan aturan-aturan syariat.
3. Boleh mengatur tempo melahirkan demi memberi jarak kehamilan (antara satu
dengan yang selanjutnya), atau berniat menghentikan hingga waktu tertentu. Hal
ini boleh dilakukan jika ada keutuhan yang sesuai ada kebutuhan yang sesuai
dengan tolok ukur syariat, dan jangka waktu ditetapkan atas dasar musyawarah
serta kerelaan keduanya, selama tidak menimbulkan bahaya. Di samping
sarananya pun harus sesuai dengan syariat dan tidak ada tindakan yang
membahayakan kehamilan.

Maka kesimpulan dari fatwa diatas adalah tidak boleh melakukan sterilisasi pada zakar
maupun rahim (operasi vasektomi dan tubektomi) kecuali jika memang terdapat indikasi
medis dari dokter spesialis kandungan, seperti pernah operasi cecar 3 sampai 5 kali.
Kemudian untuk wanita tersebut, dianjurkan tubektomi agar tidak hamil lagi. Sedangkan
untuk laki-laki, atau para suami, tidak ada alasan yang bisa membolehkannya melakukan
vasektomi.8

B. Pendapat Pemakalah

Dilihat dari pembahasan diatas dapat disimpulkan Pada zaman Rasulullah SAW tidak
ada seruan luas untuk ber-KB, atau membatasi keturunan, atau mencegah kehamilan di
tengah-tengah kaum muslimin. Tidak ada upaya dan usaha yang serius untuk menjadikan Al-
azal sebagai amalan yang meluas dan tindakan yang popular di tengah-tengah masyarakat.

Islam memperboleh melakukan penjarangan anak atau penundaan kehamilan atau


pengaturan memperboleh keturunan dengan azal dengan syarat mendapatkan izin dari istri
dan penggunaan alat-alat kontrasepsi atau lebih dikenal dengan istilah keluarga
berencana.namun ber-KB dengan cara sterisasi yaitu vasektomi bagi pria dan tubektomi bagi
wanita, pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan oleh hukum Islam karena telah merusak organ
tubuh dan mempunya efek negative yang lebih jauh apabila salah satu suami atau istri
meninggal. Kecuali karena darurat, misalnya salah seorang suami atau istri mempunyai
penyakit yang dapat menurut kepada calon anak dalam rahim sehingga mengakibatkan anak
8
Ibid.,151
cacat. Termasuk sterilisasi ini adalah pemandulan dan pengkebirian. dalam konteks
keindonesian KB hukumnya boleh bagi setiap masyarakatnya karena bertujuan untuk
mencapai kemaslahatan dan kesejahteraan bersama.

Anda mungkin juga menyukai