Anda di halaman 1dari 33

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kesehatan Dalam Keluarga Berencana


A. Keluarga Berencana Dalam Pandangan Al-Qur’an Hadits
 Pandangan Al-Qur’an Tentang Keluarga Berencana
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang memberikan petunjuk yang perlu
kita laksanakan dalam kaitannya dengan KB diantaranya ialah :
Surat An-Nisa’ ayat 9:
‫وليخششش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقواهللا واليقولوا سديدا‬
“Dan hendaklah takut pada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah. Mereka khawatir terhadap kesejahteraan
mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah
mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Selain ayat diatas masih banyak ayat yang berisi petunjuk tentang pelaksanaan KB
diantaranya ialah surat al-Qashas: 77, al-Baqarah: 233, Lukman: 14, al-Ahkaf: 15, al-Anfal: 53,
dan at-Thalaq: 7.
Dari ayat-ayat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa petunjuk yang perlu dilaksanakan
dalam KB antara lain, menjaga kesehatan istri, mempertimbangkan kepentingan anak,
memperhitungkan biaya hidup brumah tangga.
 Pandangan al-Hadits Tentang Keluarga Berencana
Dalam Hadits Nabi diriwayatkan:
)‫إنك تدر ورثك أغنياء خير من أن تدرهم عالة لتكففون الناس (متفق عليه‬
“sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan
berkecukupan dari pada meninggalkan mereka menjadi beban atau tanggungan orang
banyak.”
Dari hadits ini menjelaskan bahwa suami istri mempertimbangkan tentang biaya rumah
tangga selagi keduanya masih hidup, jangan sampai anak-anak mereka menjadi beban bagi orang
lain. Dengan demikian pengaturan kelahiran anak hendaknya dipikirkan bersama.

2
B. Hukum Keluarga Berencana Dalam Islam
1.      Menurut al-Qur’an dan Hadits
Sebenarnya dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ada nas yang shoreh yang melarang atau
memerintahkan KB secara eksplisit, karena hukum ber-KB harus dikembalikan kepada kaidah
hukum Islam, yaitu:
‫اال صل فى األشياء االباحة حتى يدل على الدليل على تحريمها‬
Tetapi dalam al-Qur’an ada ayat-ayat yang berindikasi tentang diperbolehkannya mengikuti
program KB, yakni karena hal-hal berikut:
a.      Menghawatirkan keselamatan jiwa atau kesehatan ibu. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
)195 : ‫وال تلقوا بأيديكم إلى التهلكة (البقرة‬
“Janganlah kalian menjerumuskan diri dalam kerusakan”.
b.      Menghawatirkan keselamatan agama, akibat kesempitan penghidupan hal ini sesuai dengan
hadits Nabi:
‫كادا الفقر أن تكون كفرا‬
“Kefakiran atau kemiskinan itu mendekati kekufuran”.
c.       Menghawatirkan kesehatan atau pendidikan anak-anak bila jarak kelahiran anak terlalu dekat
sebagai mana hadits Nabi:
‫وال ضرر وال ضرار‬
“Jangan bahayakan dan jangan lupa membahayakan orang lain.

2.      Menurut Pandangan Ulama’


a. Ulama’ yang memperbolehkan
Diantara ulama’ yang membolehkan adalah Imam al-Ghazali, Syaikh al-Hariri, Syaikh Syalthut,
Ulama’ yang membolehkan ini berpendapat bahwa diperbolehkan mengikuti progaram KB
dengan ketentuan antara lain, untuk menjaga kesehatan si ibu, menghindari kesulitan ibu, untuk
menjarangkan anak. Mereka juga berpendapat bahwa perencanaan keluarga itu tidak sama
dengan pembunuhan karena pembunuhan itu berlaku ketika janin mencapai tahap ketujuh dari
penciptaan. Mereka mendasarkan pendapatnya pada surat al-Mu’minun ayat: 12, 13, 14.

3
b. Ulama’ yang melarang
Selain ulama’ yang memperbolehkan ada para ulama’ yang melarang diantaranya ialah Prof. Dr.
Madkour, Abu A’la al-Maududi. Mereka melarang mengikuti KB karena perbuatan itu termasuk
membunuh keturunan seperti firman Allah:
‫وال تقتلوا أوالدكم من إملق نحن نرزقكم وإياهم‬
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut (kemiskinan) kami akan
memberi rizkqi kepadamu dan kepada mereka”.

C. Cara KB yang Diperbolehkan dan Yang Dilarang oleh Islam


1)      Cara yang diperbolehkan
Ada beberapa macam cara pencegahan kehamilan yang diperbolehkan oleh syara’ antara lain,
menggunakan pil, suntikan, spiral, kondom, diafragma, tablet vaginal , tisue. Cara ini
diperbolehkan asal tidak membahayakan nyawa sang ibu. Dan cara ini dapat dikategorikan
kepada azl yang tidak dipermasalahkan hukumnya. Sebagaimana hadits Nabi :
) ‫ فلم ينهها (رواه مسلم‬.‫ م‬.‫كنا نعزل على عهد وسول هللا ص‬
Kami dahulu dizaman Nabi  SAW melakukan azl, tetapi beliau tidak melarangnya.

2)      Cara yang dilarang


Ada juga cara pencegahan kehamilan yang dilarang oleh syara’, yaitu dengan cara merubah atau
merusak organ tubuh yang bersangkutan. Cara-cara yang termasuk kategori ini antara lain,
vasektomi, tubektomi, aborsi. Hal ini tidak diperbolehkan karena hal ini menentang tujuan
pernikahan untuk menghasilakn keturunan.

2.2 Cloning Dan Bayi Tabung


a) Pengertian Cloning
Secara harfiah, kata “klon” (Yunani: klon, klonos) berarti cabang atau ranting muda. Kloning
berarti proses pembuatan (produksi) dua atau lebih individu (makhluk hidup) yang identik secara
genetik.” Kloning organisme sebenarnya sudah bcrlangsung selama beberapa ribu tahun lalu

4
dalam bidang hortikultura. Tanaman baru, misalnya, dapat diciptakan dari sebuah ranting. Dalam
dunia hortikultura (dunia perkebunan), kata “klon” masih digunakan hingga abad ke-20.
Secara mendetail, dapat dibedakan 2 jenis kloning. Jenis pertama adalah pelipatgandaan hidup
sejak awal melalui pembagian sel tunggal menjadi kembar dengan bentuk identik. Secara
kodrati, mereka seperti “anak kembar”. Jenis kedua adalah produksi hewan dari sel tubuh hewan
lain.
Kloning dan hukumnya secara tersurat tidak didapatkan dari kitab-
kitabm a r a j i ’   i s l a m ,   b a i k   d a r i   A l - Q u r ’ a n ,   H a d i t s ,   m a u p u n   k i t a b - k i t a b  
u l a m a   k l a s i k . Penentuan hukum kloning murni merupakan ijtihad kaum muslim sekarang
dan inimerupakan tantangan bagi kaum muslim dalam menanggapi realitas yang
terjadidis ekitarnya. O leh karena itu, s alah s atu cara yang mungkin dilakukan
adalahden gan  me lih at   metode  yan g  di lakuka n ula ma  terdah ulu  dal am mem utu s
kan h u k u m   t e r h a d a p   s u a t u   r e a l i t a s   y a n g   t i d a k   p e r n a h   d i j u m p a i   s e b e
l u m n y a (pendekatan ushul fiqh). Pada dasarnya, kloning merupakan suatu ide ilmiah
hasilpemikiran kreativitas manusia. Ide ini merupakan realisasi dari pembacaan manusiaterhadap
alam yang sebenarnya juga dianjurkan oleh islam (iqra dalam artian ayat-ayat kauniyah).
Menurut Syekh Muhammad Taufiq Miqdad setiap ide ilmiah yang dikemukakan tidak
keluar dari tiga katagori. Pertama, ia berkaitan dengan sesuatuyang telah pasti diharamkan
agama, seperti eutanasia. Ini jelas ditolak oleh agamakarena berkaitan langsung dengan
kehidupan manusia yang merupakan anugerahIlahi tanpa sedikitpun campur tangan manusia.
Pertama
: Pembuahan di dalam rahim. Bagian pertama ini dilakukan dengan dua cara :
Cara pertama :
Sel sperma laki-laki diambil, kemudian disuntikan pada tempatyang sesuai dalam rahim sang istri
sehingga sel sperma tersebut akan bertemudengan sel telur istri kemudian terjadi pembuahan yang
akan menyebabkankehamilan
Cara seperti ini dibolehkan oleh Syari'ah
, karena tidak terjadi pencampuran nasab dan ini seperti kehamilan dari hubungan seks antara
suamidan istri.
Cara kedua :

5
Sperma seorang laki-laki diambil, kemudian disuntikan pada rahim istri orang lain, atau wanita
lain, sehingga terjadi pembuahan dan kehamilan
Caraseperti ini hukum haram
, karena akan terjadi percampuran nasab. Kasus iniserupa dengan adanya seorang laki-laki yang
berzina dengan wanita lain yang menyebabkan wanita tersebut hamil.
Kedua:
Pembuahan di luar rahim. Bagian kedua ini dilakukan dengan lima cara :
Cara pertama:
Sel sperma suami dan sel telur istrinya diambil dan dikumpulkandalam sebuah tabung agar
terjadi pembuahan. Setelah dirasa cukup, maka hasilpembuahan tadi dipindahkan ke dalam
rahim istrinya yang memiliki sel telurtersebut Hasil pembuahan tadi akan berkembang di dalam
rahim istri tersebut,sebagaimana orang yang hamil kemudian melahirkan ana
yang dikandungnya.Bayi tabung dengan proses seperti
di atas hukumnya boleh, karena tidak adapercampuran nasab. ( Dar al Ifta' al Misriyah,
Fatawa Islamiyah : 9/ 3213-3228 )

Cara kedua
: Sel sperma seorang laki-laki dicampur dengan sel telur seorangwanita yang bukan istrinya ke
dalam satu tabung dengan tujuan terjadinyapembuahan. Setelah itu, hasil pembuahan tadi
dimasukkan ke dalam rahim istrilaki-laki tadi. Bayi tabung dengan cara seperti ini jelas d
iharamkan
dalam Islam,karena akan menyebabkan tercampurnya nasab.
Cara ketiga
: Sel sperma seorang laki-laki dicampur dengan sel telur seorang wanita yang bukan istrinya ke
dalam satu tabung dengan tujuan terjadinya pembuahan. Setelah itu, hasil pembuahan tadi
dimasukkan ke dalam rahim wanita yang sudah berkeluarga. Ini biasanya dilakukan
oleh pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak, tetapi rahimnya masih bisa berfungsi.
Bayi tabung dengan proses seperti ini jelas dilarang dalam Islam.

6
Cara keempat :
Sel sperma suami dan sel telur istrinya diambil dan dikumpulkan dalam sebuah tabung agar
terjadipembuahan. Setelah dirasa cukup, maka hasil pembuahan tadi dipindahkan kedalam rahim
seorang wanita lain. Ini jelas hukumnya haram.
Sebagian orangmenamakannya " Menyewa Rahim ".

Cara kelima :
Sperma suami dan sel telur istrinya yang pertama diambil dan dikumpulkan dalam sebuah tabung
agar terjadi pembuahan. Setelah dirasa cukup,maka hasil pembuahan tadi dipindahkan kedalam
rahim istri kedua dari laki-laki pemilik sperma tersebut. Walaupun istrinya pertama yang
mempunyai sel telur telah rela dengan hal tersebut, tetap saja bayi tabung dengan proses
semacam ini haram
, ( Majma' al Fiqh Al Islami,Munadhomah al Mu'tamar al Islami, Mu'tamar ke-3 di Amman tanggal
8-13 Shofar1407 – Majalah Majma' al Fiqh al Islami, edisi : 3 : 1/515-516 )

Hal itu dikarenakan tiga hal :


1. Karena bisa saja istri kedua yang dititipi sel telur yang sudah dibuahi tersebut hamil dari
hasil hubungan seks dengan suaminya, sehingga bisa dimungkinkan bayi yang ada di dalam
kandungannya kembar, dan ketika keduanya lahir tidak bisa dibedakan antara keduanya,
tentunya ini akan menyebabkan percampuran nasab yang dilarang dalam Islam.
2. Seandainya tidak terjadi bayi kembar, tetapi bisa saja sel telur dari istri pertama mati di
dalam rahim istri yang kedua, dan pada saat yang sama istri kedua tersebut hamil dari hubungan
seks dengan suaminya, sehingga ketika lahir, bayi tersebut tidak diketahui apakah dari istri yang
pertama atau istri kedua.
3. Anggap saja kita mengetahui bahwa sel telur dari istri pertama yang sudah dibuahi tadi
menjadi bayi dan lahir dari rahim istri kedua, maka masih saja hal tersebut meninggalkan
problem, yaitu siapakah sebenarnya ibu dari bayi tersebut,yang mempunyai sel telur yang sudah
dibuahi ataukah yang melahirkannya ? Tentunya pertanyaan ini membutuhkan jawaban. Dalam
hal ini Allah swt berfirman :" Ibu-ibu mereka tidaklah lain hanyalah wanita yang melahirkan
mereka " ( Qs AlMujadilah : 2 )

7
Dari ketiga alasan di atas, bisa disimpulkan bahwa proses pembuatan bayi tabung yang sel
telurnya berasal dari istri pertama dan dikembangkan dalam rahim istri kedua, hukumnya tetap
haram karena akan menyebakan percampuran nasab
sebagaimana yang dijelaskan di atas.

Dalil yang menjadi alas an diperbolehkan nya cloning.


Al Qur’an dalam beberapa ayat-ayatnya telah menuliskan dan melukiskan secara umum
tentang reproduksi manusia.Dalam surat Al Faathir : 11, disebutkan : “ Dan Allah menciptakan
kamudari tanah. kemudian dari air mani, kemudian dia menjadikan kamu berpasangan( laki-laki
dan perempuan ). Dan tidak ada seorang perempuan yang mengandung dan tidak (pula)
melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-
Nya…,sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. ” Dari ayat ini
terlihat bahwa manusia itu lahir dari setitik mani atau nuftah, yang bisa diartikan sebagai
spermatozoa atau sperma, atau bisa diartikan sebagai hasil daripembuahan atau zygote .Dalam
surah lain, yaitu surah Al-Mu’minum: 14, diuraikan tentang kejadian manusia yang berdasarkan
pada tingkatan-tingkatan perkembangannya, yaitu yang diawali dengan setitik nuftah ini yang
kemudian berevolusi menjadi embrio atau alaqah yaitu nuftah yang
melekat/menggantung. Alaqah itulah yang kemudian menjadi
s egumpal   daging,  lalu  daging  itu  kemudian  menjadi  tulang- tulang.  
K emudian tulang-tulang ini dibungkus oleh daging. Dan dari sinilah Allah menjadikan dia satu
kejadian yang lain sifatnya.Selanjutnya, dalam surat Az-zumar : 6, Allah telah memfitrahkan
kepada manusia secara alamiahnya bahwa kehamilan manusia adalah terjadi dalam perut ibunya:
“Ia (Tuhan) menjadikan kamu dalam perut ibu kamu, kejadian demi kejadian dalam 3 (tiga )
kegelapan” .Dalam HR. Bukhan, Rasulullah SAW juga menerangkan tentang kejadian ,
manusiadengan dalil yang didapat beliau dari turunnya ayat-ayat dalam Al
Qur’an.A dapun  fas e-fas e  yang  dimaks ud  adalah  s ebagai  berikut  :  “D ari  
A brirahman Abdullah bin Mas’ud berkata : Telah menceritakan kepada kami dari Rasulullah
SAW
dialah   orang   yang  benar  dan  dibenarkan  :“S es ungguhnya  s eorang  manus ia
kejadiannya dikumpulkan dalam rahim ibunya selama 40 hari kemudian ia menjadi s es uatu
yang menggantung atau alagah s elama itu juga kemudian ia menjadi

8
s egumpal   daging,  s elama   itu   juga,  kemudian  dikirim  kepadanva  malaik at,  lalu
ditiupkan padanya roh.”
Dari uraian di atas, menurut pendapat Muhammad Darudin dalam bukunyamengenai
“Reproduksi Bayi Tabung”, maka dalam ayat-ayat Al Qur’antidak ada tercermin bahwa
reproduksi manusia itu terjadi pembuahan seltelur oleh sperma hanya dalam tuba
fallopi.Dengan dalil itulah, ada jalan untuk melakukan pembuahan denganmelalui cara
yang tidak alamiah, baik melalui reproduksi bayi tabungmaupun dengan kloning.

Dalil-dalil keharaman.:Q.S. An-Najm:45-46
Artinya :“Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim)
(37),kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, danmenyempurnak
annya (38)”(Q.S.Al-Qiyamah :37-38) Anak-anak produk kloning dari p e r e m p u a n saja
( t a n p a a d a n y a l a k I – l a k I ) , t I d a k a k a n m emp u n y a I ayah. Dan
a n a k p r o d u k kloning tersebut jika dihasilkan dari proses pemindahan sel telur
yang telahd I g a b u n g k a n d e n g a n I n t I s e l t u b u h-- k e d a l a m r a h I m p e
rempuan yang bukan pemI lI k se l telur, tIdak pula akan 
mempunyai ibu. Sebab perempuan yang menjadi tempatp e m I n d a h a n s e l t e l u r t e r s
ebut hanya menjadI penampung, tIdak lebIh. InI merupakantI
n d a k a n m e n y I a – n y I a k a n m a n u s I a , s e b a b d a l a m k o n d I s I ni t I d
ak terdapat Ibu dan ayah.Hal InI bertentangan dengan fIrman
Allah SWT :

Q.S.Al-Hujurat:13,
Artinya :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-lakidan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku- suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantar
a   k a m u . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(Q.S.Al-Hujura t:13)

9
Q.S.Al-Ahzab:5,
Artinya:“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-
bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika ka
m u   t i d a k mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) 
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S.Al-Ahzab:5)

Q.S.Al-Israa':70,
Artinya:“D an   s es ungguhnya  telah  K ami  muliakan   anak- anak  A dam,  K ami   angku
t mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah
Kami ciptakan”(Q.S.Al-Isr aa':70)

Q.S.At-tiin:4
Artinya :“sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya.”( Q.S.At-tiin:4) M e m p r o d u k s I anak melaluI p roses kloning akan
mencegah pelaksanaan banyak hukum-hukum syara', seperti hukum tentang perkawinan, nasab,
nafkah, hak dan kewajiban
antara bapak dan anak, waris, perawatan anak, hubungan kemahraman,hubungan 'ashabah,dan
lain-lain. Di samping itu kloning akan mencampur adukkan dan menghilangkannasab serta
menyalahi fitrah yang telah diciptakan Allah untuk manusia dalam masalahkelahiran anak.
Kloning manusia sungguh merupakan perbuatan keji yang akan dapatmenjungkir balikkan
struktur kehidupan masyarakat. Berdasarkan dalil-dalil itulah proses kloning manusia
diharamkan menurut hukum Islam dan tidak boleh dilaksanakan. AllahSWT berfirman mengenai
perkataan Iblis"...dan akan aku (Iblis) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar
merekamengubahnya."(QS. An Nisaa' : 119) Yang dimaksud dengan ciptaan Allah (khalqullah)
dalam ayat tersebut adalah suatu
fitrah yang telah ditetapkan Allah untuk manusia. Dan fitrah dalam kelahiran dan berkembang
biak pada manusia adalah dengan adanya laki-laki dan perempuan, serta melalui jalan
pembuahan sel sperma laki-laki pada sel telur perempuan. Sementara ituAllah SWT telah

10
menetapkan bahwa proses pembuahan tersebut wajib terjadi antaraseorang laki-laki dan
perempuan yang diikat dengan akad nikah yang sah. Dengandemikian kelahiran dan
perkembangbiakan anak melalui kloning bukanlah termasukfitrah. Apalagi kalau prosesnya
terjadi antara laki-laki dan perempuan yang tidak diikatdengan akad nikah yang sah.

b) Bayi Tabung

Bayi tabung dikenal dengan istilah pembuahan in vitro atau dalam bahasa Inggris dikenal
sebagai in vitro fertilisation. Ini adalah sebuah teknik pembuahan sel telur (ovum) di luar tubuh
wanita. Bayi tabung adalah salah satu metode untuk mengatasi masalah kesuburan ketika metode
lainnya tidak berhasil.

Prosesnya terdiri dari mengendalikan proses ovulasi secara hormonal, pemindahan sel telur dari
ovarium dan pembuahan oleh sel sperma dalam sebuah medium cair. Lalu bagaimanakah hukum
bayi tabung dalam pandangan Islam? Dua tahun sejak ditemukannya teknologi ini, para ulama di
Tanah Air telah menetapkan fatwa tentang bayi tabung/inseminasi buatan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma
dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk
ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.

Namun, para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri yang
dititipkan di rahim perempuan lain. "Itu hukumnya haram," papar MUI dalam fatwanya. Apa
pasal? Para ulama menegaskan, di kemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit
dalam kaitannya dengan warisan.

Para ulama MUI dalam fatwanya juga memutuskan, bayi tabung dari sperma yang dibekukan
dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram. "Sebab, hal ini akan menimbulkan
masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam hal
kewarisan," tulis fatwa itu.

Lalu bagaimana dengan proses bayi tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan
suami-istri yang sah? MUI dalam fatwanya secara tegas menyatakan hal tersebut hukumnya

11
haram. Alasannya, statusnya sama dengan hubungan kelamin antarlawan jenis di luar penikahan
yang sah alias zina.

Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam forum Munas
Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Ada tiga keputusan yang ditetapkan ulama
NU terkait masalah bayi tabung: Pertama, apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam
rahim wani

ta tersebut ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram.

Hal itu didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW
bersabda, "Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT,
dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) di dalam rahim
perempuan yang tidak halal baginya."

Kedua, apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya
tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. "Mani muhtaram adalah mani yang
keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara'," papar ulama NU dalam fatwa
itu.

Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar hukum dari
Kifayatul Akhyar II/113. "Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan
beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat
atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang." Ketiga, apabila mani yang ditabung
itu mani suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukan ke dalam
rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).

Meski tak secara khusus membahas bayi tabung, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
juga telah menetapkan fatwa terkait boleh tidak nya menitipkan sperma suami-istri di rahim istri
kedua. Dalam fatwanya, Majelis Tarjih dan Tajdid mengung kapkan, berdasarkan ijitihad jama'i
yang dilakukan para ahli fikih dari berbagai pelosok dunia Islam, termasuk dari Indonesia yang
diwakili Mu hammadiyah, hukum inseminasi buat an seperti itu termasuk yang dilarang.

12
"Hal itu disebut dalam ketetapan yang keempat dari sidang periode ke tiga dari Majmaul Fiqhil
Islamy dengan judul Athfaalul Anaabib (Bayi Tabung)," papar fatwa Majelis Tarjih PP
Muhammadiyah. Rumusannya, "cara kelima inseminasi itu dilakukan di luar kandungan antara
dua biji suami-istri, kemudian ditanamkan pada rahim istri yang lain (dari suami itu) ... hal itu
dilarang menurut hukum Syara'." Sebagai ajaran yang sempurna, Islam selalu mampu menjawab
berbagai masalah yang terjadi di dunia modern saat ini.

2.3 Transfusi Darah, Transplantasi Organ Tubuh Manusia

A. Transfusi Darah
1.      Pengertian
Perkataan transfusi darah, adalah terjemahan dari bahasa inggris “blood
transfution” kemudian diterjemahkan dokter arab menjadi (memindahkan darah karena
kepentingan medis). Lalu Dr. Ahmad Sofyan mengartikan transfusi darah dengan istilah
“pindah-tuang darah” sebagaimana dikemukakannya dalam rumusan definisinya yang berbunyi:
“Pengertian pindah-tuang darah adalah memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh
darah orang yang yang akan ditolong”
Sedangkan Asy-Syekh Husain Muhammad Makhluuf merumuskan definisinya sebagai
berikut:
‫ْض اِل ِ ْنقَا ِذ َحيَاتِ ِه‬
ِ ‫ْح إِلَى ال َم ِري‬ َّ ‫ع بِد َِم اإْل ِ ْن َسا ِن بِنَ ْقلِ ِه ِمنَ ال‬
ِ ‫ص ِحي‬ ِ ‫نَ ْق ُل ال َّد ِم لِ ْل ِعاَل‬.
ُ ‫ج هُ َو اإْل ِ ْنتِفَا‬
Artinya:
Transfusi darah adalah memanfaatkan darah manusia, dengan cara memindahkannya dari
(tubuh) orang yang sehat kepada orang yang membutuhkannya, untuk mempertahankan
hidupnya.[1]

2.      Pandangan islam mengenai transfuse darah


Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan
kemanusiaan, bukan komersialisasi; baik darahnya itu disumbangkan secara langsung kepada
orang yang memerlukan transfusi darah, misalnya untuk anggota keluarga sendiri, maupun

13
diserahkan kepada palang merah atau bank darah untuk disimpan sewaktu-waktu untuk
menolong orang yang memerlukan.
Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama dengan donornya  mengenai
agama/kepercayaannya, bangsa/suku bangsanya, dan sebagainya. Karena menyumbangkan darah
dengan ikhals itu adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan oleh
Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-
Maidah ayat 32:
Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah ia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya.
Jadi, boleh saja mentransfusi darah seorang muslim untuk orang non-muslim (Katolik,
Hindu, Budha, dan sebagainya), dan sebaliknya demi menolong dan memuliakan/menghormati
harkat dan martabat manusia (human dignity). Sebab Allah sebagai Khalik alam semesta
termasuk manusia berkenan memuliakan manusia, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an
Surat Al-Isra ayat 70:
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam (manusia)
Berdasarkan ayat di atas, maka sudah seharusnya manusia bisa saling tolong menolong, dan
menghormati sesamanya (mutual respect).
Adapun dalil syar’i yang bisa menjadi pegangan untuk membolehkan transfusi darah tanpa
mengenal batas agama dan sebagainya, berdasarkan kaidah hukum fiqh Islam yang berbunyi:
‫اَأْل َصْ ُل فِى اأْل َ ْشيَا ِء اإْل ِ بَا َحةُ َحتَّى يَ ُد َّل ال َّدلِ ْي ُل َعلَى تَحْ ِر ْي ِمهَا‬
Bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh hukumnya, kecuali kalau ada dalil
yang mengharamkannya.
Sedangkan tidak ada satu ayat dan satu hadis pun yang secara eksplisit atau dengan nash
yang sharih melarang transfusi darah; maka berarti transfusi darah diperbolehkan, bahkan
perbuatannya sebagai donor darah itu ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan
Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia.
Namun, untuk memperoleh maslahah dan menghindari mafsadah (bahaya/resiko), baik bagi
donor darah maupun bagi penerima sumbangan darah, sudah tentu transfusi itu harus dilakukan
setelah melalui pemeriksaan yang teliti terhadap kesehatan kedua-duanya, terutama kesehatan
donor darah harus benar-benar bebas dari penyakit menular yang dideritanya, seperti penyakit
AIDS (penyakit yang menyebabkan penderitanya kekurangan/kehilangan daya tahan tubuhnya).

14
Jelaslah, bahwa persyaratan diperbolehkannya transfusi darah itu berkaitan dengan masalah
medis, bukan masalah agama. Persyaratan ini harus dipenuhi, karena adanya kaidah-kaidah
hukum Islam sebagai berikut:
a)  ُ‫اَلض ََّر ُر يُزَ ال‬  , artinya Bahaya itu harus dihilangkan (dicegah). Misalnya bahaya kebutaan harus
dihindari dengan berobat dan sebagainya.
b)   ‫اَلض ََّر ُر اَل يُزَ ا ُل بِالض ََّر ِر‬ , artinya Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain ( yang lebih
besar bahayanya). Misalnya seorang yang memerlukan transfusi darah karena kecelakaan lalu
lintas, atau operasi, tidak boleh menerima darah orang yang terkena AIDS, sebab bisa
mendatangkan bahaya yang lebih besar/berakibat fatal.
c)   ‫ار‬ ِ ‫ضّر َر َو اَل‬
ِ ‫ض َر‬ َ ‫اَل‬ , artinya Tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula
membuat mudarat kepada orang lain. Misalnya seorang pria yang impoten atau terkena AIDS
tidak boleh kawin sebelum sembuh. Demikian pula seorang yang masih hidup tidak boleh
menyumbangkan ginjalnya kepada orang lain.

3.      Hubungan antara Donor dan Resipien


Transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman (haram
perkawinan) antara donor dan resipien. Sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan
kemahraman sudah ditentukan oleh Islam sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’a Surat An-Nisa
ayat 23, ialah:
a.       Mahram karena adanya hubungan nasab. Misanya hubungan antara anak dengan ibunya atau
saudaranya sekandung/sebapak/seibu dan sebagainya.
b.      Mahram karena adanya hubungan perkawinan. Misalnya hubungan antara seorang dengan
mertuanya atau anak tiri dari istri yang telah disetubuhi dan sebagainya.
c.       Mahram karena adanya hubungan sepersusuan. Misalnya hubungan antara seorang dengan
wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang sepersusuan dan sebagainya.
Kemudian pada ayat berikutnya (An-Nisa ayat 24) ditegaskan bahwa selain wanita-wanita
yang tersebut pada An-Nisa ayat 23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak adanya hubungan
kemahraman, kecuali mengawini seorang wanita bersama bibinya secarapoligamis dilarang
berdasarkan hadis Nabi. Maka jelaslah, bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan
kemahraman antara donor dan resipien. Karena itu, perkawinan antara donor dan resipien

15
diizinkan oleh agama (hukum Islam), berdasarkan mafhum mukhalafah Surat An-Nisa ayat 23-24
tersebut di atas.

4.      Hukum Memperjualbelikan Darah


Sebagaimana telah diketahui, bahwa sumber darah amat terbatas, sedang yang
memerlukannya sangat banyak, apalagi sering terjadi kecelakaan, ada yang tidak tertolong
karena kehabisan persediaan darah.
Dalam keadaan seperti ini, mungkin ada orang yang mempergunakan kesempatan untuk
mencari keuntungan, yaitu memperjualbelikan darah. Bila diberi peluang dan tidak ketat diawasi,
maka timbul kekhawatiran, bahwa ada di antara anggota masyarakat yang menjual darahnya
karena didesak keperluan hidupnya. Akhirnya bisa membahayakan para donor tersebut, karena
diperiksa terlebih dahulu, atau darah yang diperjualbelikan itu milik dari donor yang mempunyai
penyakit yang berbahaya.
Kalau dipikir-pikir dalam-dalam, maka orang yang memperjualbelikan darah itu kurang
manusiawi, sebab penggunaan darah itu adalah untuk menolong nyawa si penderita (secara
lahiriahnya). Dalam keadaan yang semacam ini, seharusnya yang berbicara adalah nurani, bukan
materi yang menonjol.
Kalau di tinjau dari segi hukum, maka di antara ulama ada yang memperbolehkan jual beli
darah, sebagaimana halnya jual beli barang najis yang ada manfaatnya, seperti kotoran hewan.
Dengan demikian secara analogis (Qiyas), diperbolehkan memperjualbelikan darah manusia
(sama-sama najis) dan memang besar manfaatnya untuk menolong jiwa manusia. Pendapat ini
dianut oleh mazhab Hanafi dan Zhahiri.

B.  Transplantasi Anggota Badan

1.      Pengertian
Pencangkokan (transplantasi) ialah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup
yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik,
yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidupnya
tidak ada lagi.

16
Pada saat ini juga, ada upaya memberikan organ tubuh kepada orang yang memerlukan,
walaupun orang itu tidak menjalani pengobatan, yaitu untuk orang yang buta. Hal ini khusus
donor mata bagi orang buta.
Pencangkokan organ tubuh yang menjadi pembicaraan pada waktu ini adalah : mata, ginjal
dan jantung. Karena ketiga organ tubuh tersebut sangat penting fungsinya untuk manusia
terutama sekali ginjal dan jantung.

2.      Macam-macam donor organ tubuh


Ada 3 (tiga) tipe donor organ tubuh, dan setiap tipe mempunyai permasalahannya sendiri,
yaitu:
a.       Donor dalam keadaan hidup sehat. Tipe ini memerlukan seleksi yang cermat dan general
check up (pemeriksaan kesehatan yang lengap), baik terhadap donor maupun terhadap si
penerima (resipien), demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan oleh karena
penolakan tubuh resipien, dan sekaligus untuk mencegah resiko bagi donor. Sebab menurut data
statistik, 1 dari 1000 donor meninggal dan si donor juga merasa was-was dan tidak aman, karena
menyadari bahwa dengan menyumbangkan sebuah ginjalnya, misalnya, ia tidak akan
memperoleh kembali ginjalnya seperti sedia kala.
b.      Donor dalam keadaan hidup koma atau diduga kuat akan meninggal segera. Untuk tipe ini,
pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya
dengan bantuan alat pernapasan khusus. Kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut di
cabut, setelah selesai proses pengambilan ogan tubuhnya. Hanya, criteria mati secara
medis/klinis dan yuridis perlu ditentukan dengan tegas dan tuntas. Apakah kriteria mati itu
ditandai dengan berhentinya denyut jantung dan pernafasan (sebagaimana rumusan PP No.
18/1981) ataukah ditandai dengan berhentinya fungsi otak (sebagaimana rumusan Kongres IDI
tahun 1985). Penegasan criteria mati secara klinis dan yuridis itu sangat penting bagi dokter
sebagai pegangan dalam menjalankan tugasnya, sehingga ia tidak khawatir dituntut melakukan
pembunuhan berencana oleh keluarga  yang bersangkutan sehubungan dengan praktek
transplantasi itu.
c.       Donor dalam keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab secara medis tinggal
menunggu penetuan kapan donor dianggap meninggal secara medis dan yuridis dan harus
diperhatikan pula daya tahan tubuh yang mau diambil untuk transplantasi.

17
3.      Pandangan islam mengenai transplantasi organ tubuh
Bagaimana pandangan Islam terhadap transplantasi ketiga organ tubuh tersebut  di atas,
yakni mata, ginjal, dan jantung? Jawaban masalah ini tergantung kepada kondisi donornya,
apakah donor dalam keadaan hidup sehat, ataukah dalam keadaan koma atau hampir meninggal,
ataukah dalam keadaan mati.
Apabila pencangkokkan mata (selaput bening mata atau kornea mata), ginjal, dan jantung
dari donor dalam keadaan hidup sehat, maka menurut hemat penulis, Islam tidak membenarkan
(melarang), karena:
1.      Firman Allah dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 195:
Dan  janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan
Ayat ini mengingatkan manusia agar tidak gegabah berbuat sesuatu yang bisa berakibat fatal
bagi dirinya, sekalipun mempunyai tujuan kemanusiaan yang luhur.
Misalnya seorang menyumbangkan sebuah matanya atau sebuah ginjalnya kepada orang lain
yang buta atau tidak berfungsi ginjalnya, sebab selain ia mengubah ciptaan Allah yang membuat
buta mata dan ginjal berpasangan, juga ia menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami tidak
normalnya atau tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu.
2.      Kaidah Hukum Islam
‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬
ِ ِ‫صا ل‬ ِ ‫َدرْ ُء ْال َمفَا ِس ِد ُمقَ َّد ٌم َعلَى َج ْل‬
Menghindari kerusakan/resiko dudahulukan atas menarik kemaslahatan
Misalnya, menolong orang dengan cara mengorbankan dirinya sendiri bisa berakibat fatal bagi
dirinya, tidak dibolehkan oleh Islam.
3.      Kaidah Hukum Islam
‫ض َر ُر اًل يُزَ ا ُل بِالض ََّر ِر‬
َّ ‫اَل‬
Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya.
Misalnya, bahaya yang mengancam jiwa si A, tidak boleh diatasi/dilenyapkan dengan cara yang
bisa menimbulkan bahaya baru yang mengancam jiwa orang yang menolong si A tersebut.
Apabila pencangkokkan mata, ginjal, atau jantung dari donor dalam keadaan koma atau
hampir meninggal; maka Islam pun tidak mengizinkan, karena:
1.      Hadits Nabi
‫ار‬ ِ ‫ض َر َر َواَل‬
َ ‫ض َر‬ َ ‫اَل‬

18
Tidak boleh membikin mudarat pada dirinya dan tidak boleh pula membikin mudarat pada
orang lain.
Misalnya orang yang organ tubuh dari seorang donor yang belum mati secara klinis dan yuridis
untuk transplantasi, berarti ia membuat mudarat kepada donor yang berakibat mempercepat
kematiannya
2.      Manusia wajib berikhtiar untuk menyembuhkan penyakitnya, demi mempertahankan hidupnya;
tetapi hidup dan mati itu di tangan Allah. Karena itu manusia tidak boleh mencabut nyawanya
sendiri (bunuh diri) atau mempercepat kematian orang lain, sekalipun dilakukan oleh dokter
dengan maksud untuk mengurangi/menghentikan penderitaan si pasien.
Apabila pencangkokan mata, ginjal, atau jantung dari donor yang telah meninggal secara
yuridis dan klinis, maka menurut penulis, Islam bisa mengizinkan dengan syarat:
1.      Resipien (penerima sumbangan donor) berada dalam keadaan darurat, yang mengancam
jiwanya dan ia sudah menempuh pengobatan secara medis dan nonmedis, tetapi tidak berhasil.
2.      Pencangkokkan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat bagi resipien
dibandingkan dengan keadaannya sebelum pencangkokkan.
Adapun dalil syar’I yang dapat dijadikan dasar untuk membolehkan pencangkokkan mata
(selaput bening/kornea mata), ginjal, atau jantung, antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 195 di atas, yang menurut sebab turun ayatnya adalah para
Sahabat Nabi mulai merasa Islam dan umat Islam telah menang dan kuat. Karena itu, mereka
ingin melakukan bisnis perdagangan dan sebagainya dengan sepenuh tenaga guna memperoleh
kembali harat benda yang lenyap selama itu akibat perjuangan untuk agama. Maka ayat ini
memperingatkan kepada Sahabat agar tidak tergoda oleh harta sampai lengah dan lupa
perjuangan yang mulia, sebab musuh-musuh Islam masih tetap mencari dan menunggu
kelengahan umat Islam agar dengan mudah Islam dapat dihancurkan.
Ayat tersebut secara analogis dapat dipahami, bahawa Islam tidak membenarkan pula orang yang
membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya maut atau tidak berfungsinya organ tubuh yang
sangat vital baginya, tanpa usaha penyembuhan secara medis dan nonmedis, teremasuk
pencangkokkan organ tubuh, yang secara medis memberi harapan kepada yang bersangkutan
untuk bisa bertahan hidup dengan baik.
2.      Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 32:

19
Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya.
Ayat ini menunjukkkan bahawa Islam sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat
menyelamatkan jiwa manusia. Misalnya seorang yang menemukan bayi yang tidak berdosa yang
di buang di sampah, wajib mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya. Demikian pula
seorang yang dengan ikhlas hati mau menyumbangkan organ tubuhnya (mata, ginjal, atau
jantung) setelah ia meninggal, maka Islam membolehkan, bahkan memandangnya sebagai amal
perbuatan kemanusiaan yang tinggi nilainya, karena menolong jiwa sesama manusia atau
memebantu berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya yang tidak berfungsi.
3.      Hadis Nabi
‫ض َع لَهُ َد َوا ًء َغ ْي َردَا ٍء َوا ِح ٍد ْالهَ َر ُم‬
َ ‫ض ْع دَا ًء ِإاَّل َو‬
َ َ‫تَدَاوُوْ ا ِعبَا َد هللاِ فَإ ِ َّن هللاَ لَ ْم ي‬
Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu
penyakit, kecuali Dia juga meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu, yaitu
penyakit tua (Hadis riwayat Ahman bin Hanbal, At-Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah,
Ibnu Hibban, dan Al-Hakim dari Usamah bin Syarik)
Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam wajib berobat jika menderita sakit, apa pun macam
penyakitnya, sebab setiap penyakit berkah kasih sayang Allah, pasti ada obat penyembuhnya,
kecuali sakit tua. Karena itu penyakit yang sangat ganas, seperti kanker dan AIDS yang telah
banyak membawa korban manusia di seluruh dunia, terutama di dunia Barat, yang hingga kini
belum diketahui  obatnya, maka pada suatu waktu akan ditemukan pula obatnya.

4. Kaidah hukum Islam:


َّ ‫اَل‬
‫يُزَ ا ُل‬ ‫ض َر ُر‬
“Bahaya itu dilenyapkan / dihilangkan”.
Seorang yang menderita sakit jantung atau ginjal yang sudah mencapai stadium yang gawat,
maka ia menghadapi bahaya maut sewaktu-waktu. Maka menurut kaidah hukum di atas, bahaya
maut itu harus ditanggulangi dengan usaha pengobatan. Dan jika usaha pengobatan secara medis
biasa tidak bisa menolong, maka demi menyelamatkan jiwanya, pencangkokan jantung atau
ginjal diperbolehkan karena kaeadaan darurat. Dan ini berarti, kalau penyembuhan penyakitnya
bisa dilakukan tanpa pencangkokan, maka pencangkokan organ tubuh tidak dikenakan.
5. Menurut hukum wasiat:

20
keluarga orang meninggal wajib melaksanakan wasiat orang yang meninggal
mengenai  hartanya dan apa yang bisa bermanfaat, baik untuk kepentingan si mayat itu sendiri
(melunasi utang-utangnya), kepentingan ahli waris dan non ahli waris, maupun untuk
kepentingan agama dan umum (kepentingan social, pendidikan, dan sebagainya). Berhubung si
donor organ tubuh telah membuat wasiat untuk menyumbangkan organ tubuhnya untuk
kepentingan kemanusian, maka keluarga/ahli waris wajib membantu pelaksanaan wasiat si mayat
itu.
Sebaliknya, apabila seseorang pada waktu hidupnya tidak mendaftarkan dirinya sebagai
donor organ tubuh dan ia tidak pula memberi wasiat kepada keluarga/ahli warisnya untuk
menyumbangkan organ tubuhnya apabila ia nanti meninggal , maka keluarga/ahli warisnya tidak
berhak mengizinkan pengambilan organ tubuh si mayat untuk pencangkokan atau untuk
penelitian ilmiah dan sebagainya.

4. Hubungan antara Donor dan Resipien


Bagaimana menurut islam, apakah donor organ tubuh itu bisa mendapat pahala,
jikaresipien (penerima organ tubuh) orang yang saleh, dan apakah si donor juga menanggung
dosa, jika resipien-nya  orang yang suka berbuat maksiat? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan
tegas “tidak”! berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut.
1.      Al-Qur’an Surat Al-Najm ayat 39-41:
Artinya:
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan
bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). kemudian akan diberi Balasan
kepadanya dengan Balasan yang paling sempurna,
Ayat-ayat di atas menunjukkan, bahwa setiap orang hanya akan mendapat balasan/ganjaran
dari Allah sesuai dengan amalnya masing-masing.
2.      Al-Qur’an Surat Al-Najm ayat 38 :
Artinya:
(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,
Ayat ini menunjukkan, bahwa seorang tidak menanggung dosa orang lain. Berdasarkan ayat ini
dan ayat-ayat tersebut diatas (Al-Najm 39-41), maka islam tidak mengenal swarga nunut, neraka
katut.

21
3.      Hadits Nabi :
ُ‫ح يَ ْد ُعوْ لَه‬ َ ‫ أَوْ ِع ْل ٍم يُ ْنتَفَ ُع بِ ِه أَوْ َولَ ٍد‬، ‫ص َد قَ ٍة َجا ِريَ ٍة‬
ٍ ِ‫صا ل‬ ٍ ‫إِ َذا َما ت اإْل ِ ْن َسا نَ اِ ْنقَطَ َع َع َملُهُ ِإاَّل ِم ْن ثَاَل‬
َ ‫ث‬
Jika manusia itu telah meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali yang meninggalkan tiga
hal, yaitu : 1. Sedekah/amal jariah (wakaf), 2.  Ilmu yang diambil  bernanfaatnya oleh orang
lain, dan 3. Anak saleh yang mendoakan untuk orang tuanya. (Hadits riwayat Al-Bukhari dan
lain-lain dari Abu Hurairah)
Karena itu, menurut penulis, donor organ tubuh tidak bertanggung jawab atas
perbuatan resipien, sebagaimana ia (donor) tidak berhak memperoleh pahala dari amalan-amalan
yang baik dari resipien,  sebab sumbangan organ tubuh itu tidak termasuk dalam kategori tiga hal
yang disebut dalam hadist di atas.

2.4 Haid, Nifas dan Menyusui/Pemberian ASI

HAID
Haid adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan yang sehat, yang telah mencapai usia
haid (9 tahun qomariyah). Sedangkan darah yang keluar dari seorang perempuan yang sakit,
maka disebut sebagai darah fasad (rusak/penyakit). Darah yang keluar sebelum usia 9 tahun
(hijriah) adalah darah yang rusak (darah fasad). Darah yang keluar selain masa-masa haid
dikategorikan sebagai darah istihadhoh.
2.5.1 Warna dan Sifat Darah Haid
Warna darah haid dari yang terkuat sampai yang terlemah adalah hitam, merah, kelabu, kuning,
keruh.
Sedangkan sifat-sifat darah adalah kental, amis (berbau tidak sedap), kental dan amis. Contoh:
1. Darah hitam-kental, lebih kuat daripada darah hitam-encer
2. Darah hitam-amis, lebih kuat daripada darah hitam-tidak amis
3. Darah kental-amis, lebih kuat daripada darah kental saja, atau amis saja.
Catatan: Sifat dan warna darah ini baru digunakan ketika darah haid yang keluar melebihi batas
maksimal haid (15 hari), hal ini bertujuan agar perempuan dapat menentukan mana masa haidnya
dan mana masa sucinya.
2.5.2 Masa Haid dan Masa Suci
Masa minimal haid adalah sehari semalam (24 jam). Sedangkan masa maksimal haid adalah 15

22
hari. Jika darah yang keluar lebih dari 15 hari 15 malam, maka darah tersebut disebut sebagai
darah istihadhoh (darah penyakit). Sedangkan masa suci (tidak keluar darah haid) minimal
adalah 15 hari, dan tidak ada jumlah maksimal dalam masa suci ini.
2.5.3 Macam-macam Perempuan Yang Mengalami Haid
1. Mubtadi’ah (‫دأة‬------‫)مبت‬ / Perempuan Yang Pertama Kali Mengalami Haid.
Perempuan jenis ini terbagi menjadi 2 kategori, yang dapat membedakan warna darah dan yang
tidak dapat membedakan warna darah.
1) Mubtadi’ah Mumayyizah (‫ )مبتدأة مميزة‬/ Perempuan yang pertama kali mengalami haid dan
dapat membedakan warna darah.
Perempuan ini adalah perempuan yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid dan dapat
membedakan antara darah yang kuat dan warna darah yang lemah. Ketentuan hukum haid
perempuan kategori ini: Hukum haid perempuan ini adalah dikembalikan pada kemampuannya
dalam membedakan warna darah (darah kuat dan darah lemah).
Syarat-syarat perempuan kategori ini:
• Darah kuat tidak kurang dari masa minimal haid (sehari semalam)
• Darah kuat tidak lebih dari masa maksimal haid (15 hari 15 malam)
• Darah lemah tidak kurang dari masa minimal suci (15 hari 15 malam)
• Darah lemah yang keluar lebih dari 15 hari tersebut terus bersambung (tidak ada darah kuat
yang mengiringinya).
2) Mubtadi’ah Ghoiru Mumayyizah (‫ )مبتدأة غير مميزة‬/ Perempuan yang pertama kali mengalami
haid dan tidak dapat membedakan warna darah.
Perempuan ini adalah perempuan yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid dan sama
sekali tidak dapat membedakan antara warna darah yang kuat dan warna darah yang lemah.
Ketentuan hukum haid perempuan kategori ini:
a. Jika darah yang keluar dari perempuan ini tidak memenuhi syarat pada perempuan Mubtadi’ah
Mumayyizah, dan hanya tahu awal keluar darahnya, maka darah haid perempuan ini adalah
sehari-semalam (24 jam), dan masa sucinya adalah 29 hari.
b. Jika dia sama sekali tidak dapat mengenali sifat darahnya yang keluar, dan tidak tahu kapan
keluarnya, maka perempuan tersebut masuk kategori perempuan Mutahayyiroh, Perempuan
Mutahayyiroh dalam tinjauan hukum haidnya terbilang amat rumit. Ada dua istilah untuk
kategori perempuan ini, istilah pertama adalah Mutahayyiroh (Perempuan yang bingung dengan darah

23
haidnya), dan istilah kedua adalah Mutahayyaroh (Perempuan yang dibingungkan oleh darah haidnya).
2. Mu’tadah ( ‫معتادة‬ / Perempuan Yang Pernah Mengalami Haid
Perempuan yang pernah mengalami haid terbagi menjadi tiga 2 kategori; yang dapat membedakan jenis
darah dan yang tidak dapat membedakan jenis darah.
1). Mu’tadah Mumayyizah ( ‫ )معتادة مميزة‬/ Perempuan yang pernah mengalami haid dan dapat
membedakan jenis darah
Perempuan ini adalah perempuan yang pernah mengalami haid dan masa suci (meski 1 kali saja)
serta dapat mengenali dan membedakan antara warna darah kuat yang dan warna darah yang
lemah. Ketentuan hukum haid perempuan kategori ini: Darah haid perempuan ini dengan
menitikberatkan pada kemampuan dirinya dalam membedakan warna darah.
2). Mu’tadah Ghoiru Mummayyizah (‫ )معتادة غير مميزة‬/ Perempuan yang pernah mengalami haid
dan tidak dapat membedakan jenis darah
Perempuan ini adalah perempuan yang pernah mengalami haid (meski 1 kali saja) dan tidak
dapat mengenali dan membedakan antara warna darah kuat yang dan warna darah yang lemah.
Perempuan kategori ini, dikategorikan menjadi 3 kategori lagi:
• Mu’tadah Ghoiru Mummayyizah adz-Dzakiroh. Perempuan yang pernah mengalami haid dan
tidak dapat membedakan jenis darah, serta hanya ingat jumlah hari haidnya saja. Pointnya adalah
perempuan ini samasekali tidak mengetahui apa-apa tentang haid, dia hanya hapal lama hari
darah haidnya keluar (misal perempuan ini hanya ingat jumlah hari haidnya 6 hari)
• Perempuan yang pernah mengalami haid dan tidak dapat membedakan jenis darah, serta hanya
ingat waktu keluar dan waktu berhenti darah haidnya saja. Poinnya adalah perempuan ini sama
sekali tidak mengetahui apa tentang haid, dia hanya hapal waktu keluar dan berhenti darah
haidnya (misal perempuan ini ingat waktu keluarnya sebelum maghrib sekitar jam 17.00 sore,
dan waktu berhenti darahnya sesudah maghrib sekitar jam 18.30)
• Perempuan yang pernah mengalami haid dan tidak dapat membedakan jenis darah, serta sama
sekali tidak ingat jumlah hari dan awal keluar dan berhenti darah haidnya. Perempuan ini sama
sekali tidak ingat berapa hari darahnya keluar, kapan awal keluarnya, dan kapan berhentinya.
NIFAS
Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan (terpisahnya anak dari sang ibu yang melahirkan).
Disyaratkan dalam darah nifas yaitu darah yang keluar setelah melahirkan adalah dalam kurun 15 hari
pertama setelah bayi dilahirkan. Artinya, darah nifas itu keluar sejak hari ke-1 sampai hari ke-15 setelah

24
melahirkan. Jika ternyata darah keluar tetapi tidak dalam masa 15 hari tersebut, maka perempuan
tersebut tidak mengalami nifas, dan darah yang keluar tersebut dihukumi haid menurut qaul ashoh.
Contoh:
1. Pada tanggal 1 seorang perempuan melahirkan, namun darah baru keluar pada tanggal 5. Dengan
demikian, darah yang keluar mulai tanggal 5 dihukumi haid, sedangkan tanggal 1 hingga 40 atau 60 hari
berikutnya terbilang sebagai nifas.
2. Pada tanggal 1 seorang perempuan melahirkan, namun darah baru keluar pada tanggal 17. Dengan
demikian, perempuan tersebut tidak mengalami nifas, dan darah yang keluar pada tanggal 17 tersebut
dikategorikan sebagai darah haid (dengan tetap melihat kategori haid perempuan tersebut).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai
merasa sakit adalah nifas.” Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnva yaitu
rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas. Para ulama berbeda
pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh
Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa
syari’at, halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang
wanita mendapati darah lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas.
Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya
40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits.”
Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah
berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si
wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena
selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka
tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40 hari) itu, maka
hendaklah hal tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa
mendatang.
Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini, hendaklah ia
kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada pasal
sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan
suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh
digauli oleh suaminya.Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu
tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam kitab Al-Mughni.

25
Nifas tidak dapat ditetapkan, kecualijika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk
manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia
maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit.
Karena itu yang berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah.
Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai
hamil, dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam
kitab Syarhul Iqna’: “Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum
masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Namun jika sesudahnya, maka ia
tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila sesudah kelahiran temyata tidak sesuai dengan
kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak teryata demikian,
tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak pedu kembali mengerjakan kewajiban”
2.2.1 Masa Nifas
Masa nifas secara umum adalah 40 hari dan malamnya. Sedangkan masa paling sedikitnya nifas
adalah lahdzoh (‫)لحظة‬/sak kecrutan (bhs. Jawa). Dan masa paling lama nifas adalah 60 hari dan
malamnya.
2.2.2 Hukum Nifas
Jika darah nifas yang keluar melebihi masa maksimal nifas (60 hari dan malamnya), maka
hukum yang berlaku hampir sama dengan hukum dan kategori haid. Maksudnya adalah hukum
nifasnya dengan melihat apakah perempuan tersebut termasuk kategori perempuan yang pertama
kali mengalami nifas (‫)مبتدأة‬, atau perempuan yang sebelumnya pernah mengalami nifas ( ‫)معتادة‬,
yang dapat membedakan warna darah (‫ ))مميزة‬atau tidak dapat membedakan warna darah ( ‫غير‬
‫يزة‬----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------‫)مم‬.
Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa
hal berikut ini:
a) Iddah. dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab, jika talak jatuh sebelum
isteri melahirkan iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika
talak jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah
dijelaskan. Masa haid termasuk hitungan masa ila’, sedangkan masa nifas tidak.
b) Ila’ yaitu jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya selama-lamanya, atau selama
lebih dari empat bulan.
Apabila dia bersumpah demikian dan si isteri menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa

26
empat bulan dari saat bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut, suami diharuskan menggauli
isterinya, atau menceraikan atas permintaan isteri.
Dalam masa ila’ selama empat bulan bila si wanita mengalami nifas, tidak dihitung terhadap sang suami,
dan ditambahkan atas empat bulan tadi selama masa nifas. Berbeda halnya dengan haid, masa haid
tetap dihitung terhadap sang suami.
c) Baligh. Masa baligh terjadi denganhaid, bukan dengan nifas. Karena seorang wanita tidakmungkinbisa
hami sebelum haid, maka masabaligh seorang wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului
kehamilan.
d) Darah haid jika berhenti lain kembali keluar tetapi masih dalam waktu biasanya, maka darah itu
diyakini darah haid. Misalnya, seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah
empat hari haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan
kedelapan; maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah haid.
Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari
keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa
fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya dan terlarang baginya apa yang terlarang bagi
wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib.
Dan setelah suci, ia harus mengqadha’ apa yang diperbuatnya selama keluarya darah yang
diragukan, yaitu yang wajib diqadha’ wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menunut para
fuqaha ‘ dari Madzhab Hanbali.
Yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas
maka termasuk nifas. Jika tidak, maka darah haid. Kecuali jika darah itu keluar terus menerus
maka merupakan istihadhah.
Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab AI-Mughni’ bahwa Imam Malik
mengatakan: “Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari, yakni sejak
berhentinya, maka itu termasuk nifas. Jika tidak, berarti darah haid.”
Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Menurut kenyataan,
tidak ada sesuatu yang diragukan dalam masalah darah. Namun, keragu-raguan adalah hal yang
relatif, masing-masing orang berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya.
Padahal Al-Qur’an dan Sunnah berisi penjelasan atas segala sesuatu. Allah tidak pernah
mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali, kecuali jika ada kesalahan dalam
tindakan pertama yang tidak dapat diatasi kecuali dengan mengqadha’.

27
Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya maka ia
telah terbebas dari tanggungannya. Sebagaimana firman Allah: “Artinya : Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan.. ” [Al-Baqarah: 286] “Artinya :
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu …” [At-Taghabun : 16]
e) Dalam haid, jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak
terlarang menggaulinya.
Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh
menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab Hanbali.
Yang benar, menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab
tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan
Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa isterinya datang kepadanya sebelum empat
puluh hari, lalu ia berkata: “Jangan kau dekati aku !”. Ucapan Utsman tersebut tidak berarti
suami terlarang menggauli isterinya karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati
Ustman, yaknik hawatir kalau isterinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan
pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya. Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa’ Ath-
Thabii’iyah Lin-Nisa’ Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin, dengan edisi
Indonesia Darah Kebiasaan Wanita hal 53 – 57 terbitan Darul Haq, Penerjemah Muhammad
Yusuf Harin. MA]

MENYUSUI
Memiliki buah hati atau momongan adalah suatu kebahagiaan bagi setiap orang tua,
kehadirannya merupakan anugerah dari Allah yang harus disyukuri sekaligus amanat yang harus
dijaga dengan baik. Sebaliknya, tak jarang ketidak-hadiran momongan menjadi pemicu keretaka
rumah tangga.
Salah satu bentuk syukur atas adanya buah hati adalah menjaga dan merawatnya dengan sebaik
mungkin, diantaranya dengan memberikan air susu ibu (ASI).
Sebagian wanita di tengah arus isu emansipasi dan kesetaraan gender yang mengalir keluar dari
batasnya kanalnya- menganggap menyusui sebagai beban. Dengan alasan kesibukan, mereka rela
tidak menyusui buah hatinya sendiri. Bahkan diantaranya tega enggan menyusui anaknya hanya
dengan alasan demi menjaga keindahan tubuhnya. Lalu bagaimana Islam dan para ahli hukum

28
Islam memandang praktek menyusui? Sebagai agama yang komprehensif, Islam telah
menyinggung masalah menyusui ini dalam Kitab-Nya, tepatnya dalam Al Baqarah, 233 :
ُ‫ُوف اَل تُ َكلَّف‬ ِ ‫ال َم ْعر‬- ْ -ِ‫ َوتُه َُّن ب‬-‫هُ ِر ْزقُه َُّن َو ِك ْس‬-َ‫و ِد ل‬-ُ‫ا َعةَ َو َعلَى ْال َموْ ل‬-‫َّض‬
َ ‫ض ْعنَ أَوْ اَل َده َُّن َحوْ لَ ْي ِن َكا ِملَ ْي ِن لِ َم ْن أَ َرا َد أَ ْن يُتِ َّم الر‬ ُ ‫َو ْال َوالِد‬
ِ ْ‫َات يُر‬
‫ا ُو ٍر فَاَل‬- ‫اض ِم ْنهُ َما َوت ََش‬
ٍ ‫صااًل ع َْن تَ َر‬ َ ِ‫ث ِم ْث ُل َذلِكَ فَإ ِ ْن أَ َرادَا ف‬ ِ ‫ضا َّر َوالِ َدةٌ بِ َولَ ِدهَا َواَل َموْ لُو ٌد لَهُ بِ َولَ ِد ِه َو َعلَى ْال َو‬
ِ ‫ار‬ َ ُ‫نَ ْفسٌ إِاَّل ُو ْس َعهَا اَل ت‬
‫ا‬-‫وا أَ َّن هَّللا َ بِ َم‬-‫وا هَّللا َ َوا ْعلَ ُم‬-ُ‫ُوف َواتَّق‬ ْ ِ‫ا َءاتَ ْيتُ ْم ب‬-‫لَّ ْمتُ ْم َم‬-‫ا َح َعلَ ْي ُك ْم إِ َذا َس‬-َ‫عُوا أَوْ اَل َد ُك ْم فَاَل ُجن‬-‫ض‬
ِ ‫ال َم ْعر‬- ِ ْ‫ا َوإِ ْن أَ َر ْدتُ ْم أَ ْن تَ ْستَر‬-‫َاح َعلَ ْي ِه َم‬
َ ‫ُجن‬
)233 : ‫صي ٌر (البقرة‬ ِ َ‫تَ ْع َملُونَ ب‬
” Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani kecuali sesuai dengan kadar kemampuannya.
Janganlah seorang ibu (menjadi) menderita sengsara karena anaknya dan seorang ayah (jangan
menjadi menderita) karena anaknya, dan ahli warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan,
maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin anak kalian disusui oleh orang lain,
maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran sepatutnya.
Bertakwalah kalian kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kalian
kerjakan.” Siapakah “para ibu” yang dimaksud dalam ayat tersebut?
Ada tiga pendapat dalam memahami kata “para ibu” yang ada dalam ayat di atas :
1. Mujahid, Ad Dhahhak dan As Siddiy: maksud dari kata “para ibu” dalam ayat tersebut adalah
isteri-isteri yang telah dicerai oleh suaminya yang masih memiliki anak kecil yang masih perlu
disusui.
2. Al Wahidiy : makna kata “para ibu” di sini adalah wanita yang masih berstatus sebagai isteri
dan memiliki anak kecil untuk disusui.
3. Abu Hayyan dalam Bahr al Muhith : maksud dari kata “para ibu” di ayat tersebut adalah
umum, mencakup isteri aktif maupun isteri yang sudah dicerai
2.3.1 Hukum Menyusui
1. Imam Malik RA: Wajib bagi seorang ibu menyusui anaknya jika:
a) Dia masih berstatus sebagai isteri;
b) Si anak tidak mau menyusu kepada selain ibunya;
c) Tidak ada ayahnya.
Adapun bagi wanita yang telah dicerai ba`in maka tidak ada kewajiban menyusui, kalau pun
terpaksa dia menyusui, maka dia berhak mendapatkan upah atas apa yang telah dia kerjakan

29
2. Mayoritas Ulama: Sunnah bagi seorang ibu menyusui anaknya, kecuali dalam kondisi tertentu
seperti jika
a) anak tersebut tidak mau menyusu kepada selain ibunya atau suaminya tidak mampu untuk
membayar biaya penyusuan anaknya
b) Mampu namun tidak ada orang yang mau menyusui anaknya. Dalam kondisi pengecualian
tersebut maka hukum menyusui anak adalah wajib.

Pemberian ASI
a.      Pengertian ASI
Air Susu Ibu (ASI) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam
anorganik yang sekresi oleh kelenjar mamae ibu, yang berguna sebagai makanan bagi bayinya.Sedangkan
ASI Ekslusif adalah perilaku dimana hanya memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sampai
umur 6 bulan tanpa makanan dan ataupun minuman lain
ASI dalam jumlah cukup merupakan makanan terbaik pada bayi dan dapat memenuhi kebutuhan gizi
bayi selama 6 bulan pertama. ASI merupakan makanan alamiah yang pertama dan utama bagi bayi
sehingga dapat mencapai tumbuh kembang yang optimal. ASI merupakan makanan alamiah yang baik
untuk bayi, praktis, ekonomis, mudah dicerna untuk memiliki komposisi, zat gizi yang ideal sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan pencernaan bayi.
 

b.     Pandangan Kesehatan dan Islam


Air Susu Ibu (ASI) yang merupakan anugrah Ilahi untuk pertumbuhan bayi kini semakin
tergeser oleh penggunaan susu formula. Penyebabnya adalah semakin meningkatnya angka
partisipasi angkatan kerja perempuan, kuatnya penetrasi iklan susu formula beserta distribusinya
hingga ke desa-desa disertai budaya modern yang mempengaruhi ibu menyusui sesegera
mungkin menyapih anaknya. Pentingnya penggunaan ASI itulah sehingga dipandang perlu
dibuatkan RPP Pemberian ASI pada yang akan berlaku secara nasional dan Peraturan Daerah
yang berlaku dalam wilayah Sulawesi Selatan, agar ASI tidak tergantikan oleh susu formula.
Mengutip DR Abdul Basith Jamal & DR Daliya Shadiq Jamal (2011), beberapa pusat
penelitian  telah banyak mengadakan eksperimen untuk membuat ASI tiruan, melalui uji coba
bahan-bahan kimiawi yang disuntikkan ke dalam kelenjar susu pada beberapa binatang
menyusui. Maksud dari eksperimen ini, adalah untuk membuat susu buatan yang memiliki
kandungan kimiawi yang sama dengan susu murni (ASI). Dan hasilnya, seperti yang kita
dapatkan sekarang ini, di pasaran banyak terdapat susu buatan yang dijual di toko-toko, baik
untuk komsumsi bayi, maupun anak-anak, bahkan untuk orang dewasa.  Namun para ilmuwan
berdasarkan penelitian yang mereka lakukan menegaskan, bahwa susu buatan mustahil dapat
menggantikan fungsi susu murni, karena kandungan yang dimiliki keduanya tidak bisa sama

30
persis. Tentunya, pengakuan di atas, menunjukkan kegagalan susu buatan dalam memainkan
perannya sebagai pengganti susu murni (ASI).
Sebagai anugerah Ilahi, ASI merupakan bahan makanan terbaik untuk bayi karena memiliki
kandungan semua zat gizi yang diperlukan bayi dalam masa enam bulan pertama sejak lahir.
Pemberian ASI juga lebih fleksibel karena ibu bayi dapat memberikannya walau sedang dalam
keadaan sakit, haid, bepergian atau tidur. Jadi ASI selalu siap untuk diberikan pada bayi dan
tidak memerlukan persiapan juga tidak membutuhkan biaya alias tidak dibeli. Bisa dibandingkan
dengan susu formula yang harus memerlukan persiapan waktu untuk menyajikannya dan
mengeluarkan uang untuk mendapatkannya.
 

Kandungan zat gizi ASI seperti adanya protein dan lemak, mengandung laktosa dan vitamin,
ada zat besi, garam, kalsium dan fosfat serta memiliki kandungan air yang cukup sekalipun
berada pada iklim panas.  ASI memiliki kandungan protein dan lemak yang tepat untuk
kebutuhan bayi dalam jumlah yang pas. Kandungan laktosa (gula susu) ASI juga sangat tepat
untuk kebutuhan bayi disamping kandungan vitamin sehingga tidak perlu lagi menyediakan
vitamin tambahan selama enam bulan pertama.
Besarnya faedah ASI bagi bayi baru lahir menyebabkan potensi terkena penyakit diare lebih
kecil dibandingkan dengan bayi yang diberikan susu formula. Demikian pula gangguan
kesehatan lainnya seperti gangguan saluran pernafasan dan telinga tengah serta  penyakit infeksi
lainnya.
Imunitas bayi pengkonsumsi ASI terhadap penyakit infeksi disebabkan oleh ASI bebas
bakteri sehingga terjamin kebersihannya. ASI juga mengandung antibodi (zat kekebalan)
imunoglobulin terhadap bakteri infeksi yang membantu bayi terlindungi dari ancaman penyakit
infeksi hingga sang bayi bisa memproduksi sendiri antibodinya. Kandungan sel darah putih
(leukosit) dalam ASI juga turut membantu mencegah penyakit infeksi pada bayi.
Didalam ASI juga terdapat zat yang disebut faktor bifidus yang membantu bakteria khusus
yaitu laktobacillus bifidus, tumbuh dalam usus halus bayi. Laktobacillus bitidus inilah yang
mencegah bakteri berbahaya yang dapat menyebabkan diare. Kandungan laktoferin dalam ASI
juga turut membantu mencegah pertumbuhan beberapa bakteria berbahaya.
Keuntungan bagi ibu yang menyusui bayinya dengan ASI dapat membantu menghentikan
pendarahan setelah melahirkan serta membantu mencegah kehamilan berikutnya. Keuntungan
psikologis sangat baik bagi ibu dan bayi karena dapat terbangun hubungan ikatan secara
emosional. Hubungan psikologis yang baik antara ibu dan  bayi kelak membantu kecerdasan
emosional sang anak ketika memasuki dunia pendidikan. Menyusui bagi ibu bayi tidaklah
membuat payudara menjadi jelek dan kurang menarik lagi bagi suami.
 

Menurut Abd-Alda’em Al-Kheel, banyak studi yang dilakukan di tiga puluh negara


menunjukkan ibu yang menyusui bayinya kurang terkena kanker payudara. Rahim melebar dua
puluh kali selama kehamilan dan melahirkan. Penelitian menunjukkan menyusui bermanfaat

31
untuk membantu rahim kembali ke ukuran normal. Sebaliknya ibu yang tidak menyusui bayinya
ukuran rahimnya tetap lebih dari batas normal. Selain itu, menyusui juga melindungi dari kanker
rahim. Penyusuan alami membantu ibu untuk mengurangi berat badannya dan melindungi
dirinya dari kegemukan. Bahkan ia juga bekerja sebagai analgesik alami rasa sakit bagi ibu juga.
Penyusuan alami juga membantu ibu dan anak untuk tidur nyenyak.
Bagi bayi, ASI lebih mudah dicerna dan tidak pernah basi. Meski ibu bayi tidak menyusui
anak bayinya beberapa hari, ASI tetap hangat dan tidak mengenal basi. Bandingkan dengan susu
formula yang sudah pasti basi bila tidak segera dikonsumsi dalam waktu tertentu.  ASI juga
mengandung enzim khusus (lipase) yang mencerna lemak dan mempercepat pertumbuhan anak
hingga tahun kedua sejak lahir.
Penelitian menunjukkan bahwa sistem kekebalan bayi tumbuh lebih cepat ketika ia diberi
susu ibu. Hal ini disebabkan dalam air susu ibu mengandung unsur kekebalan yang disebut
“mucins” yang mengandung banyak protein dan karbohidrat. Mucins berfungsi menghilangkan
ancaman serangan kuman penyakit dari tubuh bayi tanpa efek samping. Sedangkan
imunoglobulin juga turut membantu bayi selama tiga bulan pertama untuk melindungi tubuh dari
serangan kuman.
Meski demikian, ditengah masyarakat masih tumbuh pemahaman yang keliru tentang ASI.
Misalnya pemahaman, apabila mengkonsumsi bumbu masakan yang keras mengandung cabai,
dapat mempengaruhi rasa ASI. Memang terkadang, kandungan ASI tidak selalu sama karena
terdapat keragaman jenis makanan yang dikonsumsi sang ibu bayi. Keragaman jenis makanan
adalah termasuk kategori keragaman yang normal dan jarang mengganggu kesehatan bayi.

c.    Manfaat ASI dalam Pandangan Islam


Manfaat ASI telah disebutkan dalam Al Quran, “Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS   Luqman: 14).
 

Dengan demikian, sejak 14 abad yang lalu masyarakat Muslim telah mengenal pengetahuan
akan manfaat ASI bagi kesehatan bayi. Perintah menyapih anak dalam dua tahun relevan dengan
temuan ilmiah tentang manfaat ASI. Misalnya dalam tulisan  Rex D. Russell, “Design in Infant
Nutrition” (http:// www. icr.org/pubs/imp-259.html). Russell mengatakan bahwa menyusui bayi
selama dua tahun setelah kelahiran sungguh amat bermanfaat.
Para ilmuwan dibidang kesehatan awal Abad 20 sepakat bahwa makanan sempurna untuk
bayi adalah air susu ibu. Riset selama setengah abad,  para ilmuwan menemukan manfaat baru
dari susu ibu bahwa ASI memberikan kekebalan tubuh terhadap berbagai bakteri dan virus.  Para
ilmuwan menemukan bahwa jumlah bakteri dalam usus bayi yang diberi susu sapi adalah
sepuluh kali lipat lebih banyak daripada yang ada dalam usus bayi yang diberi susu
ibu. Rekomendasi para ilmuwan tersebut kemudian diadopsi oleh Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO). Bagi masyarakat

32
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.    Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor hidup sehat maka
hukumnya haram.
2.    Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor sakit (koma), hukumnya
haram.
3.    Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor telah meninggal, ada yang
berpendapat boleh dan ada yang berpendapat haram.
Bahwa Nifas adalah darah yang keluar disebabkan oleh kelahiran anak. Hukum
yang berlaku pada nifas adalah sama seperti hukum haid, baik mengenai hal2 yang
diperbolehkan,diharamkan, diwajibkan maupun di hapuskan. Karena nifas adalah darah
haid yang tertahan karena proses kehamilan. Takaran maksimal bagi keluar darah nifas
ini adalah 40 hari.
Air Susu Ibu (ASI) yang merupakan anugrah Ilahi untuk pertumbuhan bayi kini
semakin tergeser oleh penggunaan susu formula. Penyebabnya adalah semakin
meningkatnya angka partisipasi angkatan kerja perempuan, kuatnya penetrasi iklan
susu formula beserta distribusinya hingga ke desa-desa disertai budaya modern yang
mempengaruhi ibu menyusui sesegera mungkin menyapih anaknya. Pentingnya
penggunaan ASI itulah sehingga dipandang perlu dibuatkan RPP Pemberian ASI pada
yang akan berlaku secara nasional dan Peraturan Daerah yang berlaku dalam wilayah
Sulawesi Selatan, agar ASI tidak tergantikan oleh susu formula.

33
DAFTAR PUSTAKA
https://budiyantoarifrahmat.wordpress.com/2013/10/25/haidnifas-menyusui-dan-bayi-tabung-menurut-
pandangan-islam/

http://irwantokrc.blogspot.com/2015/08/transfusi-dan-transplantasi-organ-tubuh.html

https://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/fatwa/10/05/08/114856-apa-hukum-bayi-tabung-
menurut-islam-

https://www.scribd.com/doc/71675590/Kloning-Dan-Bayi-Tabung-berdasarkan-ISLAM-Hadist-dan-
dalil-Alquran

http://windahidayatulhabibah.blogspot.com/2012/05/makalah-keluarga-berencana-dalam.html

34

Anda mungkin juga menyukai