Anda di halaman 1dari 6

Nama: muhammad Fikri Rosadi

Npm: 19.12.4815

Kelas: 4B

Semester: 4

Tugas Midle Test Masail Fiqh haditsah

1. Tujuan mempelajari Masail Fiqhiyah Al-Haditsah ialah (1) agar umat islam dapat
memahami pengertian, tujuan, ruang lingkup dan berbagai persoalan kajian Masa’il
fiqhiyah al-haditsah yang berkaitan dengan persoalan fiqh kontemporer. (2) Untuk
mengetahui dan mengidentifikasi masalah-masalah fiqh yang berkembang ditengah
masyarakat. (3) Menghindari sifat taqlid fanatisme beragama. (4) Mampu bersifat
aktif dan toleran (tasamuh) atas perbedaan pandangan dalam pemahaman fiqqh
secara rasional tanpa taqlid dengan suatu faham tertentu tanpa mengetahui dalil-
dalilnya. (5) Akan dapaat menerrapkan kaidah-kaidah pada dalil-dalil syara’ yang
terperinci dalam persoalan fiqh kontemporer, akan dipahami kandungan nash-nash
syara’ dan diketahui hukum-hukum yang ditunjukinya, sehingga dengan demikian
dapat diperoleh hukum perbuatan atau perbuatan-perbuatan dari nash tersebut. (6)
Dapat menerapkan kaidah-kaidah hukum yang ditentukan jalan keluar (sikap) yang
diambil dikala menghadapi masalah-masalah fiqh aktual, sehingga dapat ditentukan
pula hukum sesuai dengan jalan keluar yang diambil.
Adapun manfaat mempelajari Masailul Fiqhiyah Al-Haditsah (1) Menambah
wawasan bagi intelektual dalam menyelesaikan suatu permasalahan fiqh kontemporer.
(2) Menjawab persoalan siswa (3) Menjawab pertanyaan masyrakat.
2. Ada beragam argumentasi tentang pelaksanaan KB di dalam Islam. Pendapat yang
menyetujui pelaksanaan KB bersandar pada sebuah ayat di dalam Alqur’an yang
artinya, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”(QS. An-Nisa (4);
9 ).
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa kelemahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi
kesehatan fisik dan kelemahan intelegensi anak akibat kekurangan gizi merupakan
tanggung jawab kedua orang tua. Maka disinilah peranan KB sangat diperlukan untuk
membantu mereka keluar dari masalah tersebut.
Pelaksanaan KB diperdebatkan oleh kalangan ulama’, diantaranya ada yang
membolehkan dan ada yang melarang. Diantara ulama’ yang membolehkan adalah
Imam Ghazali, Syekh al-Hariri (mufti besar Mesir), syekh Mahmud Syaltut, dan
Sayyid Sabiq. Imam Ghazali tidak melarang dengan pertimbangan kesukaran yang
dialami seorang ibu disebabkan sering melahirkan dengan motif menjaga kesehatan,
menghindari kesulitan hidup, dan menjaga kecantikan si ibu.
Syekh al-Hariri memberikan memberikan ketentuan bagi individu dalam pelaksanaan
KB, diantaranya : a) Untuk menjarangkan anak., b) Untuk menghindari penyakit, bila
ia mengandung. Untuk menghindari kemudharatan, bila ia mengandung dan
melahirkan dapat membawa kematiannya (secara medis), c) Untuk menjaga kesehatan
si ibu, karena setiap hamil selalu menderita suatu penyakit (penyakit kandungan), dan
d) Untuk menghindari anak dari cacat fisik bila suami atau istri mengidap penyakit
menular seksual.
Syaikh Mahmud Syaltut membedakan konsep pembatasan keluarga (tahdiid al-nasl)
dan pengaturan atau perencanaan berketurunan (tandzhim al-nasl). Tandzim an-Nasl
diumpamakan dengan menjarangkan kelahiran karena situasi dan kondisi khusus, baik
yang ada hubungannya dengan keluarga yang bersangkutan maupun dengan
masyarakat dan negara.
Sayyid Sabiq dalam Fiqh As-Sunnah juga membolehkan seseorang untuk
melaksanakan KB dengan alasan sang ayah adalah seorang faqir, tidak mampu
memberikan pendidikan pada anak-anaknya, dan sang ibu adalah orang yang dha’if
(lemah) jika terus menerus melahirkan.
Sementara itu, salah satu ulama’ yang melarang pelaksanaan KB adalah Abu ‘Ala al-
Madudi (Pakistan), menurutnya pembatasan kelahiran adalah bertentangan dengan
ajaran Islam. Islam adalah suatu agama yang berjalan sesuai dengan fitrah manusia,
dan barangsiapa yang merubah atau menyalahi fitrah maka ia telah menuruti perintah
setan. Di samping pendapat tersebut, para ulama yang menolak KB menggunakan
dalil:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami
akan memberi rejeki kepadamu dan kepada mereka.”(QS. Al-Isra’ (17):31). Pendapat
tersebut menyatakan bahwa program KB melalui pembatasan kelahiran merupakan
hal yang tidak dibenarkan dalam agama Islam. Karena hal tersebut telah menyalahi
fitrah manusia apalagi hanya kerena takut akan kemiskinan dan melupakan bahwa
Allah Yang Maha Memberi Rejeki.
Imam Zarkasyi berpendapat tidak haram menggunakan sesuatu yang dapat mencegah
kehamilan sebelum keluarnya sperma ketika berkumpul. Hukumnya makruh bagi
wanita menggunakan sesuatu yang dapat memperlambat kehamilan dan haram jika
mencegah kehamilan secara total.
3. Para Ulama berbeda pendapat mengenai wanita yang hamil di luar nikah,
apakah mereka dikenakan had dan sebagian lagi tidak. Yang disebut terakhir adalah
pendapat Abu Hanifah dan al-Syafi’i karena mungkin wanita itu dipaksa
atau laki-laki mendatanginya diwaktu wanita itu tidur.15Pendapat dua orang ini tepat
sekali, karena pada umumnya wanita (kecuali pelacur) tidak mau berzina. Hal
ini biasanya terjadi karena paksaan laki-laki. Apalagi sekarang telah banyakobat
penenang atau obat tidur. Hal ini banyak kita dalam media. Diantara para ulama
ada yang berpendapat bahwa wanita hamil karena zina ada iddahnya dan ada
yang berpendapat tidak. Demikian juga mengenai dihargai atau tidaknya sperma
zina. Berdasarkan perbedaan ini, maka diantara mereka ada yang berpendapat sah
menikahi wanita hamil karena zina, dan ada pula yang berpendapat tidak sah. Itu
apabila yang menikahi adalah orang lain. Bukan pria yang menghamilinya. Adapun
kalau pria yang menghamili maka sah menikahinya. Akan tetapi anak yang lahir
diluar nikah tersebut tidak dinasabkan kepadanya.
Pernikahan Bukan dengan Pria yang menghamilinyaDalam masalah ini ada dua
pendapat yang berkembang yaitu pertama, pendapat yang mengatakan sah nikah
dan tidak boleh digauli. Abu Hanifah dan Al Syafi’i berpendapat bahwa wanita hamil
diluar nikah tidak ada iddahnya.16Menurut mereka, wanita yang berzina tidak
dikenakan ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana yang ditetapkan oleh nikah
syar’i, karena iddah itu disyariatkan untuk memelihara keturunan dan
menghargai sperma. Dalam hal ini sperma zina tidak dihargai, dengan alasan
tidak ditetapkannya keturunan anak zina kepada ayah, tetapi kepada ibunya. Mereka
berlandaskan pada hadits :Anak itu dinasabkan kepada ibunya, sedangkan laki-laki
pezina tidak memiliki apa-apa.(HR. Bukhari)
Pernikahan dengan Pria yang MenghamilinyaPara ulama sependapat bahwa laki-laki
pezina halal menikahi wanita pezina.23Dengan demikian, perkawinan antara pria
dengan wanita yang dihamilinya sendiri adalah sah. Mereka boleh bersetubuh
sebagaimana layaknya suami isteri. Ini juga tidak bertentangan dengan isi surat
an-Nur ayat 3, karena mereka statusnya sebagai pezina. Pengarang Kitab
Muhadzab mengatakan dengan tegas bahwa bila seseorang yang berzina dengan
perempuan, tidak diharamkan mereka nikah, sesuai dengan firman Allah :......dan
dihalalkan bagimu selain yang demikian.... (an-Nisa’ : 24)
kedudukan Nasab Anak ZinaDiatas telah dikemukakan mengenai bolehnya
menikahi wanita hamil karena zinadan boleh menggaulinya bilam laki-laki itu
sendiri yang menghamilinya. Persoalan masih berlanjut yaitu kedudukan nasab
anak yang akan lahir, apakah anak itu dinasabkan ayah atau ibunya.Pada dasarnya
nasab anak zina dihubungkan dengan ibunya,26sesuai dengan hadits nabi, al waladu
lil firasy(seorang anak adalah milik ibunya). Maka anak itu tidak dinasabkan
kepada si ayah, walaupun si ayah mengatakan bahwa anak itu adalah
anaknya.27Dr. Wahbah al-Zuhaili mengupas hal ini secara lebih mendalam yaitu
dengan menetapkan batas waktu kelahiran anak dihitung sejak terjadinya
aqad nikah,karena kehamilan seseorang itu agaknya sulit diketahui oleh orang lain.
Yang lebih mengetahui tentang kehamilan adalah si wanita itu sendiri.
Menurutnya, bila bayi itu lahir setelah enam bulan dihitung sejak akad nikah, maka
bayi itu dinisbahkan kepada suami. Dan kalau kurang dari enam bulan
dinasabkan kepada ibunya. Kecuali bila si suami mengatakan bahwa anak itu
adalah anaknya dan tidak mengatakan bahwa anak itu bukan dari hubungan
zina. Pengakuan ini menurutnya, menetapkan nasab kepada si suami
berdasarkan akad nikah yang lalu, karena orang Islam harus berbuat baik dan
menutup aib.
4. Dalam praktik medis di kenal istilah eutanasia (taisir al-maut). Mudah nya, eutanasia
adalah memudahkan kematian seseorang dengan se nga ja tanpa merasakan sakit.
Beberapa pihak mengungkapkan ala san eutanasia karena kasih sayang. Sebabnya
sang pasien sudah menderita sakit yang teramat parah. Secara medis kemungkinannya
untuk bertahan hidup sangat tipis. Namun kondisi organ tubuhnya masih berfungsi
layaknya orang hidup.
Pengertian "mempercepat kematian" dalam terminologi Islam tidak dikenal. Dalam
ajaran Islam, yang menentukan kematian hanya Allah SWT, sebagaimana dijelaskan
dalam surah Yunus [10] ayat 49 yang mengatakan, "...Apabila telah datang ajal
mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak
(pula) mendahulukannya)."
Dengan demikian, eutanasia sebe narnya merupakan penghentian upaya medis yang
diminta atau mendapat persetujuan dari pihak pasien dan keluarganya. Eutanasia
sendiri ada dua jenis. Pertama eutanasia positif (taisir almaut al-fa'al). Maksudnya,
tindakan ini me mudahkan kematian pasien yang dilakukan oleh dokter dengan
menggunakan bantuan alat atau obat.
Contoh kasus eutanasia positif adalah seorang yang menderita kanker ganas dengan
rasa sakit yang luar biasa. Dokter dengan pertimbangan medis menilai peluang hidup
sang pasien sangat kecil. Lalu dokter memberinya obat dengan takaran tinggi yang
dapat menghentikan kesakitannya sekaligus menghentikan tanda-tanda kehidupan.
Sementara eutanasia negatif (taisir al-maut al-munfa'il), adalah tim medis tidak
menggunakan bantuan alat atau obat untuk mengakhiri kehidupan sang pasien.
Namun yang dilakukan adalah membiarkan sang pasien tanpa pengobatan.
Contoh kasus eutanasia negatif adalah penderita kanker yang sudah kritis hingga
koma. Lantas dalam perhitungan dan analisa tim medis, penderita tersebut sulit untuk
bertahan. Akhirnya tim dokter dan keluarga sepakat tidak mela kukan tindakan
apapun namun tetap memperpanjang harapan hidup sang pasien.
Syekh Yusuf Qaradhawi ketika ditanya masalah ini menjawab jika eutanasia yang
dimaksud adalah jenis yang positif, maka hal tersebut dilarang. Jika model eutanasia
positif, berarti si dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si pasien.
Bahkan Syekh Yusuf Qaradhawi meng golongkan hal tersebut sebagai pembunuhan
dan masuk kategori dosa besar. Walaupun, kata Syekh Qaradhawi, niat melakukan
eutanasia atas dasar kasih sayang.
Dalam Islam segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang, baik
disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan,
sebagaimana disebutkan dalam hadis, "Tidak halal membunuh seorang Muslim,
kecuali karena salah satu dari tiga alasan, yaitu; pezina mukhsan/sudah berkeluarga,
maka ia harus dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh seorang Muslim
lainnya dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga; dan seorang yang keluar dari
Islam."
Kemudian ia memerangi Allah dan Rasul-Nya, maka ia harus dibunuh, disalib, dan
diasingkan dari tempat kediamannya." (HR. Abu Dawud dan an- Nasa'i dari Aisyah
binti Abu Bakar RA). Selain alasan-alasan di atas, segala perbuatan yang berakibat
kematian orang lain dimasukkan dalam kategori perbuatan (jarimah) tindak pidana,
yang mendapat sanksi hukum.
Sementara model eutanasia negatif, menurut Syekh Yusuf Qaradhawi berkisar pada
ikhtiar memberikan pengobatan dan tidak memberikan pengobatan. Mengobati
penyakit menurut jumhur hukum yang paling kuat adalah mubah. Sebagian kecil
ulama mewajibkannya seperti Ibnu Taimiyyah.
Para ulama berbeda pendapat manakah yang lebih baik antara berobat atau bersabar.
Yang berpendapat bersabar lebih baik berdalil dari hadis Ibnu Abbas tentang wanita
penderita epilepsi yang meminta Nabi SAW mendoakannya.
Rasulullah SAW bersabda, "Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau
akan mendapatkan surga. Dan jika engkau mau aku akan doakan kepada Allah agar
Dia menyembuhkanmu." Wanita itu menjawab, "Aku akan bersabar". (Muttafaq
Alaih).
Syekh Qaradhawi berpendapat jika seseorang yang sakit lalu diberi berbagai macam
pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, dan sebagainya namun tidak ada
perubahan maka bisa jadi me lanjutkan pengobatan tidak wajib hukumnya. Justru bisa
jadi menghentikan pengobatanlah yang wajib. Jadi taisir al-maut, seperti contoh
eutanasia negatif bukanlah termasuk membunuh jiwa. ¦ ed: hafidz muftisany

Anda mungkin juga menyukai