Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Agama Islam adalah satu satunya agama yang benar di sisi Allah. Datangnya
Islam merupakan rahmat bagi semesta alam. Di antara rahmat yang dibawa Islam
yaitu menjunjung tinggi hak-hak seseorang untuk hidup. Syariat Islam diatur
untuk menjaga dan memelihara lima perkara agama, jiwa, keturunan, akal dan
harta atau biasa disebut dengan al Kulliyyât al Khamsu1 ataupun al Darûriyât al
Khâmsu2 (lima perkara yang mendesak pada kehidupan manusia),Sebagian ulama
menyebutkan hal ini merupakan tujuan utama dalam ajaran agama sebelum
datangnya Islam.Islam memelihara lima perkara tersebut merupakan kewajiban
bagi seorang muslim,oleh karenanya setiap pelanggaran dalam hal-hal tersebut
akan dijatuhkan hukuman yang telah ditetapkan menurut syari'at baik itu yang
bersifat had (hukuman yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah di dalam al
Quran/Hadist), ta’zîr (hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa
(maksiat) yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’) qisâs (Hukuman yang
dikenakan hukuman balas) ataupun dengan membayar diyah (harta yang wajib
dibayar dan diberikan oleh pelaku jinayah kepada wali/ahli waris sebagai ganti
rugi disebabkan jinayah yang dilakukan).Kehamilan merupakan sebuah anugerah
Allah kepada para wanita.Namun, tidak semua wanita merasa senang dan bahagia
dengan setiap kelahiran anak. Hal ini disebabkan banyak faktor yang melatar
belakangi hal tersebut, dan akhirnya mengakibatkan sebagian wanita lebih
memilih menggugurkan kandungannya yang mana hal ini dikenal dengan istilah
aborsi.Aborsi merupakan salah satu wacana aktual dan marak diperbincangkan,
persoalan ini udah sangat memperhatinkan, tidak hanya permasalah individu
tetapi sudah jadi persoalan sosial, bahkan sudah meresahkan masyarakat. Sering
kita temui media cetak dan elektronik menyuguhkan berita-berita yang
menyedihkan, mulai adanya dukun yang membuka praktek ataupun dokter yang
membuka jasa aborsi secara ilegal, penemuan serpihan serpihan tubuh janin
ditempat sampah yang dibungkus kantong kantong plastik, sampai penemuan
mayat bayi dipinggir jalan tanpa diketahui siapa yang melahirkannya.Umumnya
hal ini dilakukan oleh masyrakat modern yang terlalu bebas dalam pergaulannya,
sebagaimana banyak dilakukan masyarakat urban, seperti yang terjadi di kota
kota besar di indonesia dari penelitian yang dilakukan oleh prof. Budi Utomo dan
kawan kawan di sepuluh kota besar dan enam kabupaten menunjukkan bahwa
pertahun terdapat 2 juta kasus aborsi. Mengenai hukum aborsi tidak ada nash
secara langsung menyebutkannya,terlebih aborsi yang dilakukan sebelum masa
peniupan ruh. Meski demikian pendapat para ulama tentang aborsi sangat
beragam, khususnya dalam hal penentuan dibolehkannya pengguguran
kandungan dengan alasan yang dibenarkan tersebut. Di samping beberapa
pendapat dikalangan ulama’, terdapat juga kajian hukum terhadap aborsi yang
ditetapkan oleh tiga ormas terbesar di Indonesia yaitu Lembaga Bahtsul Masâil
Nahdlatul Ulama (LBM NU), Majelis Tarjîh Muhammadiyah (MT) dan Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Dalam pencarian hukum (istinbat) mengenai suatu
peristiwa yang baru, ketiga lembaga tersebut menggunakan cara yang berbeda
sesuai dengan tuntunan dan metode masing-masing. Istinbath hukum menurut
LBM NU mempunyai dua pengertian, yang pertama menggali hukum secara
langsung dari al Qur'an dan Hadits. Yang kedua pengambilan hukum dengan
memberlakukan secara dinamis nash-nash ulama fiqih dalam konteks
permasalahan yang dicari hukumnya. Adapun istinbath dengan makna yang
pertama yang lebih cenderung dengan pengertian ijtihad oleh ulama NU dirasa
sangat sulit karena keterbatasanketerbatasan dalam ilmu penunjang dan
pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Adapun dalam makna
kedua selain praktis, juga dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah
memahami ibarat-ibarat kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh
karena itu kalimat istinbath di kalangan NU terutama dalam kerja bahts al-
masa'ilnya tidak populer karena kalimat itu telah populer di kalangan ulama NU
dengan pemahaman ijtihad, dan sebagai gantinya dipakai kalimat bahtsul masâil
yang artinya membahas masalahmasalah yang terjadi melalui referensi kita-kitab
fiqih mazhab yang empa. Adapun menurut MT Muhammadiyah istinbath lebih
cenderung dengan pengertian ijtihad hal ini karena mereka beranggapan bahwa
pintu ijtihad tetap terbuka lebar sampai hari kiamat sepanjang tidak menyangkut
bidang ta’abbudi (hal-hal yang semata-semata karena perintah) dan memang
merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Istinbath hukum bagi MUI adalah dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwa
yang dilakukan oleh MUI. Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam
rumusan Pedomam Penetapan Fatwa MUI. Dalam Mazhab Hanafi aborsi adalah
mubah/diperbolehkan dengan catatan belum adanya tanda-tanda kehidupan.
Yaitu pada saat usia kandungan sebelum 4 bulan atau 120 hari yang bertepatan
dengan peniupan ruh. Karena janin yang belum diberikan ruh belum termasuk
manusia/makhluk hidup.21 Menurut Ulama Malikiyah berpendapat bahwa
kehidupan sudah dimulai sejak terjadi konsepsi. Oleh karena itu menurut mereka,
aborsi tidak diizinkan bahkan sebelum janin berusia 40 hari.adapun sanksi bagi
yang melakukannya adalah jika dilanggar wajib dikenai hukuman sesuai usia janin
yang digugurkan. Semakin tua usia janin yang digugurkan semakin besar pula
tebusan yang wajib dibayarkan kepada ahli warisnya. Mayoritas Ulama Malikiyah
sepakat untuk memberi hukuman (ta’zir) bagi pelaku aborsi pada janin sebelum
penyawaan.Terdapat perbedaan pendapat di kalangan Ulama Syafi’iyyah
terhadap pandangan aborsi. Pendapat pertama adalah Hukumnya haram secara
mutlak. Pendapat ini merupakan pendapat al aujah (kuat) dalam Mazhab Syafi'i,
yang didukung oleh Syekh Ibnul Imad dan beberapa ulama' dari kalangan Mazhab
Syafi'i. Alasannya ketika mani/sperma sudah menetap di dalam rahim, maka mani
tersebut sudah akan tiba waktunya dan sudah siap untuk ditiup ruh. Imam Ghazâli
dalam kitab Ihya' menyatakan; ketika mani laki-laki (sperma) sudah bercampur
dengan mani perempuan (ovum) maka sudah siap menerima kehidupan, karena
itu merusaknya adalah suatu tindakan kriminal (kejahatan/jinayat). Pendapat
kedua, melakukan aborsi bagi janin yang sudah berusia 120 hari haram
hukumnya, karena diperkirakan bahwa janin sudah bernyawa. Bagi yang
melakukannya maka sangsinya adalah ghurrah, yakni diyat yang harus dipenuhi
oleh orang yang melakukan pembunuhan janin, berupa membayar seorang budak
laki-laki atau perempuan kepada keluarga si janin atau membayar kafarat senilai
dengan seperdua puluh diyat biasa, yaitu lima ekor unta. Sedangkan pengguguran
sebelum 120 hari boleh namun makruh secara mutlak. Pendapat ini dikemukakan
oleh Imam al Ramli dari kalangan Mazhab Syafi'i, beliau menyatakan bahwa
hukum pengguguran kandungan sebelum ditiupnya ruh itu dimungkinkan makruh
tanzîh atau makruh tahrîm, dan hukum makruh tahrîm akan semakin kuat ketika
umur janin di dalam kandungan mendekati masa ditiupnya ruh.Fuqaha Hanabilah
berpendapat janin boleh digugurkan selama masih fase segumpal daging
mudghah, karena belum berbentuk anak manusia,sebagaimana ditegaskan Ibnu
Qudâmah dalam kitab al-Mughni : Pengguguran terhadap janin yang masih
berbentuk mudghah (segumpal daging) dikenai denda ghurrah, bila menurut ahli
kandungan janin sudah terlihat bentuknya. Namun, apabila telah memasuki tahap
pembentukan, dalam hal ini ada dua pendapat, pertama yang paling sahih adalah
pembebasan hukuman ghurrah, karena janin belum berbentuk misalnya baru
berupa alaqah, maka pelakunya tidak dikenai hukuman, dan pendapat kedua :
ghurrah tetap wajib karena janin yang digugurkan sudah memasuki tahap
penciptaan anak manusia.Selanjutnya Ibnu Qudamah menjelaskan lebih lanjut,
jika janin berubentuk segumpal darah alaqah, maka yang harus dibayarkan adalah
1/3 uang kompensasi ghurrah harus dibayar 2/3 dari uang kompensasi, jika janin
sudah berbentuk sempurna atau bernyawa, maka dikenakan denda lengkap
ghurrah kamilah. Atas perbedaan pendapat tersebut Ulama-ulama Indonesia
dalam hal ini yang diwakili oleh NU, Muhammadiyah dan MUI yang mana
ketiganya adalah lembaga Islam terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia
pun berbeda pendapat dalam penetapan hukum aborsi. Lembaga Bahtsul Masa’il
NU menentukan aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis
(pelekatan embiro pada dinding rahim pada dinding rahim ibu), dan
diperbolehkan dalam keadaan dan sebab tertentu.Muhammadiyah berpendapat
bahwa aborsi yang terjadi karena tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan
indikasi medis tanpa memperhitungkan usia janin sejak terjadinya pembuahan
hukumnya haram.MUI dalam fatwanya Nomor 4 tahun 2005 Tentang Aborsi,
menegaskan Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada
dinding rahim ibu (nidasi), dan diperbolehkan karena adanya uzur, baik yang
bersifat darurat ataupun hajat tertentu.Selanjutnya ditinjau dari perspektif
Perlindungan Anak tindakan aborsi dianggap bertentangan dengan Undang-
undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Karena dalam Undang-
undang tersebut dikatakan, anak yang masih di dalam kandungan secara hukum
juga harus dilindungi oleh negara.Dalam perspektif Undang-undang Perlindungan
Anak, Pasal 1 menyebutkan bahwa anak-anak adalah yang berusia di bawah 18
tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Artinya di sini aborsi tidak
dibenarkan karena mengabaikan hak hidup anak, Selain merupakan tindak
pidana, juga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi.Dalam Hukum Positif
tentang Perlindugan Anak dan HAM tidak dijelaskan secara rinci aborsi seperti apa
yang dilarang dan dilegalkan oleh negara, hanya dijelaskan bahwa aborsi secara
umum bertentangan dengan konsep hukumnya, dan komparasinya terhadap
Perlindungan Anak dan HAM dalam negara kita ini.

Anda mungkin juga menyukai