Anda di halaman 1dari 5

Paradigma Sexual Consent dan Aborsi

Oleh:
Naufal Abidzar
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang
Email:naufalabizaar007@gmail.com

A. PENDAHULUAN
Kemunculan permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 dan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual mendapatkan reaksi yg beragam ditegah
rakyat yang ditimbulkan sang penggunaan kerangka berpikir sexsual
consent atau persetujuan seksual pada beberapa pasal didalam aturan
tadi. Diantara sikap penolakan dipicu adanya kekhawatiran penggunaan
paradigma sexual consent tadi akan melegalkan seks bebas serta
perzinaan serta dianggap bertentangan dengan pancasila dan undang
undang dasar 1945.
Pergaulan bebas antara pria dan wanita di luar batas perkawinan,
terutama para pelajar dan mahasiswa hari ini telah mencapai batas yg
sangat mengkhawatirkan. Ini akibat hilangnya nilai-nilai agama pada
kehidupan rakyat, ditambah menggunakan gencarnya media massa yg
memberikan kehidupan mewah, bebas dan serba hedonis yang mengakibatkan
generasi belia terseret pada jurang kehancuran.
Pacaran sudah sebagai aktivitas yang wajar, bahkan sebagian
orang tua minder serta merasa membuat malu bila anaknya tidak memiliki
pacar, sebab dari pandangan mereka orang yg tidak pacaran, ialah orang
yg tidak mampu berteman dan masa depannya suram,serta susah mencari
jodoh. tidak sedikit berasal mereka yg akhirnya melakukan korelasi
seks pada luar pernikahan serta hamil, lalu berakhir menggunakan
pengguran kandungan dengan paksa.
Oleh karena itu, aborsi secara awam adalah perbuatan keji, tidak
berperikemanusiaan serta bertentangan hukum dan ajaran agama.
Andaipun demikian, hukum aborsi secara khusus perlu dikaji
secara lebih mendalam, sebab aborsi bukanlah dalam satu bentuk, tetapi
memiliki banyak sekali macam. sementara itu Islam bukanlah agama yg
kaku, tetapi kepercayaan yang memandang kehidupan insan ini asal
banyak sekali sudut, sebagai akibatnya ditemukan di dalamnya solusi
atas segala problematika yg dihadapi sang insan.

B. PEMBAHASAN
1. Paradigma Sexual Consent
2. Aborsi dalam hukum Islam
1. Paradigma Sexual Consent

Seksual concent telah menjadi topik pembicaraan sejak lama,


gerakan feminis merupakan salah satu yang paling produktif dalam
mendorong diterimanya seksual consent kedalam rumusan tindak pidana.
Salah satu contohnya adalah digunakannya pendekatan feminisme dalam
naskah akademis RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Teori hukum feminis
menurut Sulistiowati Irianto bermula dari asumsi dasar mengenai
hubungan antara perempuan dan hukum. Dalam prespektif kelompok
feminis, upaya melepaskan kekerasan seksual dari kungkungan ranah
privat yang bergerak menjadi persoalan publik merupakan peluang untuk
menegaskan posisi perempuan dan kelompok marginal lainnya dalam posisi
yang setara.

Di Indonesia, gerakan feminis juga berupaya memasukkan paradigma


sexual consent kedalam hukum pidana Indonesia yang tengah melakukan
pembaharuan subastansi hukum pidana yaitu pembaruan KUHP ataupun
dengan mengusulkan hukum pidana khusus diluar KUHP. Digunakannya
paradigma sexual concent dalam hukum pidana Indonesia khususnya pada
tindak pidana kekerasan sexual telah memicu perbedaan pendapat yang
terbelah dalam dua kubu yaitu pendukung dan penolak. Ekspresi dukungan
dan penolakan tersebut dapat ditelusuri baik dalam mimbar akademik
berupa seminar dan sebagainya termasuk perdebatan di media sosial.
Bagi kelompok pendukung, sexual consent merupakan hal utama yang harus
dipenuhi dalam relasi yang sehat ketika melakukan hubungan seksual.
Hal tersebut dipahami bahwa persetujuan orang-orang yang terlibat di
dalam aktivitas seksual tersebut tanpa adanya paksaan sama sekali dan
tidak bisa diasumsikan, tetapi harus jelas dinyatakan melalui kata-
kata dan tindakan yang tidak ambigu dan Tidak peduli telah berapa lama
atau sejauh apa seseorang berelasi dengan orang lain, consent tetap
menjadi hal pertama dan utama yang harus diingat sebelum melakukan
hubungan seks.
Penolakan terhadap paradigma sexual consent dalam kekerasan
seksual dikhawatirkan akan melegalkan zina dan bertentangan dengan
nilai nilai yang tumbuh dan berkembang di negara Pancasila. Penolakan
tersebut diantaranya datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
disampaikan oleh KH. Cholil Nafis, menurutnya selain dari sexual
consent masih membawa problematika sebagaimana diungkapkan dalam
penelitian Esty Diah Imaniar, dirinya menegaskan bahwa kekerasan
seksual harus menggunakan paradigma norma agama dan pancasila bukan
persetujuan seksual. Dengan demikian, keberadaan norma-norma agama
sebagai perwujudan dari sila ketuhanan yang maha esa semestinya
dijadikan sebagai paradigma utama. Perihal hubungan seksual, Islam
hanya mengenal Pernikahan, dalam istilah hukum Islam pernikahan
sebagaimana disampaikan Abu yahya Zakariya Al Anshary ialah akad yang
mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz
nikah atau dengan kata kata yang semakna dengannya.

Sedangkan hubungan seksual yang dilakukan diluar ikatan pernikahan


merupakan perbuatan zina. Zina menurut bahasa dan istilah syara’
mempunyai pengertian yang sama, yaitu persetubuhan yang dilakukan
seorang laki-laki dan perempuan pada kemaluan depannya tanpa didasari
dengan tali kepemilikan dan syubhat kepemilikan. Sedangkan perbuatan
zina menurut hukum Islam adalah setiap hubungan seksual yang
diharamkan, baik yang dilakukan oleh orang yang telah berkeluarga
maupun yang belum berkeluarga asal ia tergolong orang mukallaf,
meskipun dilakukan dengan rela sama rela.

2. Aborsi dalam hukum Islam

Setiap makhluk hidup mempunyai hak untuk menikmati hidup, baik


hewan, tumbuh-tumbuhan, apalagi manusia yang menyandang gelar
khalifatullah dipermukaan bumi. Oleh karena itu dalam ajaran Islam
sangat mementingkan pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Pemeliharaan terhadap kelima hal tersebut
tergolong ke dalam al-mashalih al-haqiqiyat. Secara kodrati manusia
diciptakan Allah Swt dalam bentuk laki-laki dan perempuan. Penciptaan
manusia yang berpasang-pasangan membuat mereka cenderung untuk
melakukan hubungan biologis berguna untuk melahirkan keturunan yang
akan meneruskan kelangsungan eksistensi umat manusia dimuka bumi.
Pengguguran kandungan bertentangan dengan ketentuan Allah Swt. yang
sering kali disebut dengan istilah aborsi, berarti merusak dan
menghancurkan janin calon manusia yang dimuliakan oleh-Nya, karena Ia
berhak lahir dalam keadaan hidup sekalipun dari hubungan gelap. Allah
Swt berfirman dalam Alqur’an surat Al-Isra’ ayat 31 yang artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”
Membicarakan aborsi sebenarnya membicarakan perempuan. Hal ini
dapat dibenarkan karena perempuan dipandang sebagai pelaku aborsi,
yang secara faktual ini benar-benar terjadi dan ada di masyarakat.

A. Hukum Aborsi dalam Pandangan Islam

Sebagai konsekuensi dari pemahaman surat Al-Isra' ayat 31 tadi ,


para fuqaha membuat formulasi hukum yang berbeda-beda mengenai aborsi.
Perlu untuk dikemukakan di sini, para fuqaha (klasik) memberlakukan
hukum ini secara umum, yakni mencakup aborsi di dalam dan di luar
perkawinan (kehamilan karena seks di luar nikah). Hanya saja,
perkembangan terakhir menunjukkan adanya formulasi hukum tersendiri
bagi aborsi yang disebabkan oleh hamil di luar nikah dengan alasan-
alasan yang tidak semata-mata bersifat fiqhi, melainkan juga
menyertakan alasan-alasan yang sifatnya moral dan sosial.

Aborsi yang dilakukan oleh perempuan sebenarnya beresiko tinggi


terhadap kesehatan dan keselamatan jiwanya, namun tetap menjadi
pilihan mereka dengan alasan aborsi merupakan hak reproduksi atau
bentuk otonomi perempuan atas tubuhnya. Dalam pandangan hukum Islam
aborsi hukumnya haram. Seluruh ulama sepakat bahwa aborsi setelah
kehamilan melewati masa 120 hari adalah haram, karena pada saat itu
janin telah bernyawa. Boleh dilakukan jika kondisi “dharurat”, seperti
apabila membahayakan jiwa si ibu. Sedangkan aborsi pada usia kehamilan
di bawah 40 hari hukumnya makruh.Ini pun dengan syarat adanya
keridhaan dari suami dan istri serta adanya rekomendasi dari dua orang
dokter spesialis bahwa aborsi itu tidak menyebabkan kemudharatan bagi
si ibu.

B. Pendapat Madzhab-Madzhab Tentang Aborsi


Dalam studi hukum Islam, terdapat perbedaan pendapat tentang
aborsi di dalam empatmazhab besar Islam, yaitu:
1.Madzhab Hanafi, mazhab ini merupakan paham yang paling
fleksibel. Sebelum masa empat bulan kehamilan, aborsi bisa dilakukan
apabila mengancam kehidupan si perempuan (orang yang mengandung).
2.Madzhab Maliki melarang aborsi setelah terjadinya pembuahan.
3.Madzhab Syafii, apabila setelah terjadi fertilisasi zygote
tidak boleh diganggu,dan intervensi terhadapnya adalah sebagai
kejahatan.
4.Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan bahwa aborsi adalah
suatu dosa, dengan adanya pendarahan yang menyebabkan miskram sebagai
petunjuk bahwa aborsi itu haram.
5.Mazhab Hanafi, ketentuannya lebih fleksibel yang mana
aborsihanya dapat dilakukan apabila kehamilan tersebut benar-benar
mengancam ataumembahayakan nyawa si wanita hamil dan hal ini hanya
dibenarkan untuk dilakukanterhadap kehamilan yang belum umur 4 bulan.
Daftar Pustaka

Atnive Nova Sigiro. (2021). “Kekerasan Seksual dan Ketimpangan


gender” Jurnal Perempuan. Vol. 26 No 2
Dadang Jaya. (2019). “Gender dan feminisme; sebuah kajian dari
prespektif islam.” AtTatbiq: Jurnal Ahwal al-Syakhsiyyah (JAS), Vol 04
Edisi 01
Adrina dkk, Hak-Hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1998
Anshor, MariaUlfa,Fikih Aborsi;WacanaPenguatan Hak Reproduksi
Perempuan, Jakarta; Kompas Media Nusantara

Anda mungkin juga menyukai