Anda di halaman 1dari 7

Tugas fiqh munakahah dan fiqh siyasah PAI 2C

Nama : Moh Akmal choirulloh


Nim : 1860201222212
Kelas : PAI 2C

Tugas : Cari 3 masalah terdiri


a. 1 masalah pernikahan di Indonesia
b. 1 masalah siyasah atau politik di Indonesia
c. 1 masalah pernikahan/politik di luar negeri Kemudian, lakukan analisis terhadap
masalah yang anda dapatkan dengan Fiqh Munakahah dan Fiqh Siyasah

A. Analisis Masalah Pernikahan di Indonesia (Pernikahan Dini Dan Upaya


Perlindungan Anak Di Indonesia) 1
Pada tahun 2014, berbagai koalisi lembaga sosial dan masyarakat sipil yang
yangbergerak di bidang perlindungan perempuan dan anak mengajukan permohonan
pengujian ketentuan batas usia perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Meskipun demikian,
permohonan ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 30-74/PUU-
XII/2014.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa batasan
usia minimum merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Menurut majelis
hakim batas usia minimal perkawinan dapat diubah oleh lembaga legislatif sesuai dengan
perkembangan zaman.
Pembatasan usia perkawinan pada asasnya tidak dilarang dan selama tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, tidak ada jaminan yang dapat memastikan
bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun
menjadi 18 (delapan belas) tahun, akan mengurangi angka perceraian, menanggulangi
permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan social.dari penjelasan di
atas banyak permasalahan yang di timbulkan akibat pernikahan dini yang ada di

1
Mustamin,malkan ,jumat.(2022) Pernikahan Dini Dan Upaya Perlindungan Anak Di Indonesia Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Datokarama Palu 2022, Volume 1
1
Indonesia,awal tahun 2023 banyak kasus pernikahan di berbagai wilayah termasuk
Tulungagung2 maka dari itu, penulis akan menganalisis masalah bagaimana pernikahan
dini dan perlindungan anak di Indonesia menurut fiqh munakahah dan hukum fiqh siyasah.
Pernikahan Dini dalam Pandangan Hukum Islam Pernikahan merupakan salah satu sunah
dan syariat Nabi Muhammad Saw.
Secara etimologis, kata nikah berasal dari bahasa Arab “ ‫ “ النكاح‬yang berarti
mengumpulkan,menggabungkan, menghimpun atau menambahkan. Kata nikah sama juga
memiliki arti al- wath yang artinya berhubungan seksual. Sementara nikah secara
terminologis menurut para ahli fikih adalah akad (kontrak) sebagai cara agar sah
melakukan hubungan seksual.3 Hukum asal pernikahan adalah jawaz/mubah (dibolehkan).
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa nikah hukumnya sunah. Sementara az-Zahiri
menyatakan wajib. Menurut Ulama Malikiyah, bagi sebagian orang sunnah, sebagian
lainnya mubah. Perubahan hukum ini mengikuti berbagai latarbelakang penyebab
terjadinya perkawinan.
Berkaitan dengan batas usia pernikahan, Islam tidak memberikan batasan umur ideal
dalam pernikahan. Seseorang wali dapat menikahkan anaknya sebelum atau setelah
mencapai usia baligh. Kriteria baligh pun masih diperdebatkan dikalangan ulama’. As-Syafi’i
misalnya, membatasi baligh bagi laki-laki ketika sudah mencapai umur 15 tahun dan/atau
sudah mimpi basah sementara bagi perempuan ketika sudah berumur 9 tahun atau sudah
mengalami menstruasi. Abu Hanifah menyebutkan bahwa usia dewasa laki-laki adalah 18
tahun sedangkan perempuan adalah 17 tahun.
Adapun Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan menyebutkan 15 tahun sebagai tanda
baligh. Ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Para pakar tafsir sendiri berbeda-beda
dalam memaknai bulugh al-nikah seperti yang terdapat dalam QS. An-Nisa’[4]: 6. Ibnu
Katsir memaknai kalimat ini dengan mimpi basah atau umur 15 tahun. Al-Alusi menyebut
usia 18 tahun untuk anak merdeka dan 17 tahun untuk budak. Sedangkan Abu Hayyan
mengutip pendapat An-Nakha’i dan Abu Hanifah menyebut usia 25 tahun.

2
Maraknya pernikahan dini,Tulungagung,02-02-2023
3
Al-Asqalany, Ibn Hajar. Syarah Muslim. Beirut: Dar al-Fikr,t
2
Pernikahan dini masih menjadi persoalan dan bahan perdebatan. Wilayah kajiannya
pun mencakup berbagai aspek serta melibatkan banyak pihak, seperti lembaga-lembaga
keagamaan, lembaga-lembaga pemerintahan (eksekutif dan legislatif), dan media-media
massa (online, cetak, dan televisi). Berkaitan dengan isu ini, umat Islam terpolarisasi
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang memperbolehkan dan kelompok yang
melarang adanya model pernikahan ini. Misalnya, hasil Muktamar Nahdhatul Ulama ke-32
di Makassar memperbolehkan perkawinan di bawah umur, dengan dasar hadis yang
mengisahkan Aisyah yang dinikahi Nabi Muhammad Saw.
Ketika berumur 6 tahun, meskipun baru hidup bersama ketika mencapai umur 9
tahun.. Sedangkan Majelis Tarjih Muhammadiyah menilai bahwa pernikahan Nabi Saw.
dengan Aisyah ra. tidak dapat dijadikan dasar argumentasi diperbolehkannya pernikahan
di bawah umur. Hadits yang menyatakan bahwa Aisyah menikah pada usia 6 tahun dinilai
janggal dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Majelis Tarjih Muhammadiyah cenderung sepakat dengan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentangperkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.4 Kelompok yang mendukung
perkawinan anak usia dini, berpijak pada sejumlah dalil baik dari al-Qur’an maupun hadits.
Kelompok yang memperbolehkan pernikahan dini mendasarkan pada beberapa hal, antara
lain: Pertama, alasan teologis, yaitu mengacu pada al-Qur’an, Hadits dan Ijma’. Dalam Q.S at-
Thalaq [65]: 4. Ayat di atas berbicara masalah iddah bagi perempuan yang sudah
monopause dan perempuan yang belum haid. Secara tidak langsung ayat di atas
memberikan gambaran bahwa perkawinan dapat dilakukan pada usia belia, karena iddah
hanya dapat diberlakukan kepada perempuan yang telah kawin kemudian bercerai. Dan
yang menjadi ukuran melakukan hubungan biologis adalah kesempurnaan postur tubuhnya
(iktimal binyatiha), dan hadits yang menyinggung perkawinan Aisyah ra. dengan
Rasulullah Saw. Menguatkan hal itu juga adanya kesepakatan para ulama’ dengan syarat
yang menjadi walinya adalah ayahnya sendiri, atau kakek dari pihak ayah. Kedua, alasan
moral, pernikahan dini dapat meminimalisir terjadinya perbuatan asusila dan perilaku
menyimpang di kalangan remaja.
Dengan pernikahan dini, perilaku seks bebas dan kehamilan di luar perkawinan
dapat dikurangai. Ketiga, alasan kesehatan, kanker payudara dan kanker rahim sedikit
terjadi pada perempuan-perempuan yang sudah mengalami kehamilan dan persalinan di

4
Hanafi, Yusuf. Kontroversi Perkawinan Anak Di Bawah Umur Perspektif Fikih Islam, HAM Internasional, Dan UU
Nasional. Bandung: Mandar Maju, 2011
3
usia muda. Selain itu, resiko gangguan kehamilan, kematian janin relatif lebih besar jika
usia ibu bertambah. Keempat, alasan ideologis, bahwa perkawinan anak usia dini dapat
meningkatkan jumlah populasi suatu umat. Umat yang kaum mudanya melakukan
pernikahan dini, akan mengalami peningkatan populasi yang lebih besar dari umat lainnya.
Penolakan terhadap pernikahan dini sebenarnya untuk mengurangi jumlah umat muslim.
Di samping itu, penolakan pernikahan dini digunakan untuk menanamkan keraguan di hati
umat Islam akan sunnah Rasulullah Saw, sebagai pribadi yang ma’shum (terhindar dari
kesalahan).
Kebolehan melakukan perkawinan usia dini yang didasarkan pada hadits Rasulullah
Saw. yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Mas’ud ra., yang berbunyi: Artinya: Abdullah bin
Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, wahai para pemuda barang siapa
diantara kalian telah mampu untuk menikah, hendaknya dia menikah, karena dengan
pernikahan tersebut bisa lebihmenundukkan pandangan mata dan menjaga kemaluan.
Barang siapa yang belummampu, maka hendaklah dia berpuasa sebab puasa itu dapat
meredamsyahwatnya. (HR. Al-Bukhari-Muslim)5
Menurut Konsep Maqashid as-Syari’ah dalam Pernikahan Usia Anak Maqashid al-
syariah atau tujuan-tujuan syari’at merupakan suatu metode ijtihad yang berupaya
menyingkap tujuan universal di setiap ketetapan syariat untuk memenuhi aspek
kemaslahatan bagi manusia serta salah satu pendekatan penting dalam menimbang
ketentuan suatu hukum Syariah.6
Ditegaskan dalam kitab al-Muwafaqat, prinsipnya berupaya menjelaskan hal-hal yang
harus dijamin pemenuhannya bagi manusia sebab hal tersebut sangat fundamental dan
menjadi sendi kehidupan yang sehat dan bermartabat. Al-Syathibi membagi maqashid
menjadi dua: maqashid al-Syari’ atau maqashid al-syari’ah, dan maqashid al-mukallaf atau
niat.
Maqashid al-Syari’ dibagi menjadi tiga kategori, yaitu; dharuriyyat (hak primer)
hajiyyat (hak sekunder) dan tahsiniyyat (hak suplementer). Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur
seorang Ulama Tunisia pada abad 18, mengembangkan maqashid al-syari’ah menjadi 7
macam. Selain hifdz al-din, hifdz al-nafs, hifdz al-aql, hifdz al-nasl, dan hifdz al-mal, Ibn
‘Asyur menambahkan 2 tujuanuniversal yaitu hifdz al-hurriyah dan Musawah.
Dalam kasus pernikahan dini terdapat benturan antara hifdz al-nafs, hifdz al-aql dan
hifdz al-nasl. Dimana usia anak masih sangat beresiko untuk melakukan hubungan seksual

5
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim ibn al Mughirah. Shahih Al-Bukhari. Beirut:Dar al-Fikr, t.t.
6
Ibn ‘Asyur, Muhammad Thahir. Maqashid Al-Syariah. Kairo: Dar al-Ilm, 1999.
4
apalagi kesiapan organ reproduksinya. Selain itu usia anak lebih tepat dipergunakan untuk
masa pengembangan fungsi akal dan pendidikan daripada untuk reproduksi dengan
menikah dan memiliki keturunan. Sehingga mendahulukan keselamatan jiwa anak dari
resiko yang ditimbulkan akibat pernikahan dan pengembangan fungsi akal lebih
didahulukan daripada hifdz al-nasl. Pernikahan dini juga dianggap tidak sejalan dengan
salah satu maqasid al- nikah (tujuan nikah) yaitu membangun keluarga sakinah, mawaddah
dan rahmah dari suami istri, dimana psikologi anak belum memahami semua itu kecuali
kasih sayang dari kedua orangtuanya.

B. Analisis Masalah (Lembaga yudikatif di Indonesia dalam fiqh siyasah) 7


Lembaga Yudikatif adalah suatu badan badan yang memiliki sifat teknis-yuridis yang
berfungsi mengadili penyelewengan pelaksanaan konstitusi dan peraturan perudang-
undangan oleh institusi pemerintahan secara luas serta bersifat independent (bebas dari
intervensi pemerintah) dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. 8 Badan Yudikatif biasanya
identik dengan kehakiman dimana badan ini bertugas sebagai mengadili dan memutuskan
pelanggaran undang-undang. Kekuasaan Yudikatif atau kekuasaan yustisi (kehakiman)
ialah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undangundang dan berhak untuk
memberikan peradilan kepada rakyat. Badan Yudikatiflah yang berkuasa memutuskan
perkara, menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran undangundang yang telah
diadakan dan dijalankan.
Lembaga Yudikatif dalam Fiqh Siyasah Dalam wacana fiqh siyasah dalam bukunya
Muhammad Iqbal dengan judul “Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”
mengatakan bahwa trias politica telah ada sejak Rasulullah Muhammad SAW di Madinah
yaitu disebut juga sulthah al-tasyri’iyyah (Kekuasaan Legislatif), sulthah althanfidziyah
(kekuasaan eksekutif), Sulthah al-qadha’iyyah (Kekuasaan Yudikatif). Dalam kamus ilmu
politik, yudikatif merupakan kekuasaan yang mempunyai hubungan dengan tugas dan
wewenang peradilan. Dan dalam konsep Fiqh Siyasah, kekuasaan yudikatif ini biasa disebut
sebagai Sulthah Qadhaiyyah. Kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan
perkaraperkara perbantahan dan permusuhan, pidana dan penganiayaan, perselisishan
orang-orang yag berseteru yang dilaporkan kepadanya mengambil hak dari orang durjana
dan mengembalikannya kepada yang punya, mengawasi harta wakaf dan persoalan-
persoalan lain yang diperkarakan di pengadilan, menerapkan perundang-undangan
7
Rio mohammad, Dewi kemala,Agustina sely.(2021). Tinjauan Fiqh Siyasah terhadap Lembaga Yudikatif di
Indonesia. Jurnal Kajian Manajemen Pendidikan Islam dan Studi Sosial Vol. 5 No.2. 2021
8
A. Rahman H. I ,2007, Sistem Politik Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu), h. 215.
5
kepadanya dalam rangka menegakkan keadilan di muka bumi. Sedangkan tujuan
kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksananya
keadilan serta tujuan menguatkan negara dan menstabilkan kedudukan hukum kepala
negara.9
Pada masa awal kekuasaan Islam, kekuasaan peradilan masih dipegang oleh
Rasulullah saw. Beliau sendiri yang melaksanakan fungsi sebagai hakim atas berbagai
persoalan dan sebagai pemimpin umat. Setelah Islam mulai berkembang dan kekuasaan
Islam makin melebar, Rasulullah mulai mengangkat sahabat-sahabatnya untuk
menjalankan kekuasaan di bidang peradilan di berbagai tempat. Rasulullah saw sendiri
melaksanakan peranannya sebagai hakim setelah menerima firman Allah Swt yang
memerintahkan kepada beliau untuk menyelesaikan persengketaan yang timbul, yaitu
surat An-Nisa’ ayat 65 yang artinya‫“ ا‬Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
Dalam hal pengambilan hukum terhadap masalah yang tidak diatur wahyu atau
kebijakan-kebijakan politik, Nabi saw melibatkan para shahabatnya dengan jalan
musyawarah baik secara umum maupun secara khusus.
Dari sini dapat dikemukakan bahwa meskipun Nabi saw diperintah secara khusus
menegakkan hukum Allah swt, namun pelaksanaannya bersifat kolegial. Ini berimplikasi
bahwa Nabi saw sebagai kepala negara memegang seluruh kekuasaan politik dan
menyelenggarakannya sendiri atau mendelegasikan kepada para shahabatnya.
Dari sini dapat diketahui bahwa pemerintahan Nabi saw bersifat "monokrasi
konstitusional". Kekuasaan kehakiman atau penegak hukum pada masa pemerintahan
Islam terdapat tiga model yaitu: (1) al-Qadhâ yaitu lembaga peradilan yang memiliki
otoritas dalam menyelesaikan masalah-masalah keperdataan, masalah hukum keluarga dan
pidana (jinâ yah), dan kekuasaan ini disebut wilâ yat al-Qadhâ '; (2) al-Hisbah yaitu lembaga
resmi negara yang diberi kewenangan menyelesaikan perkara-perkara ringan dan
sebenarnya tidak harus diselesaikan dilembaga peradilan, seperti penimbunan, pemalsuan
dan pengurangan takaran; (3) al-Mazhâ lim yaitu lembaga yang diperuntukkan untuk
membela hak-hak rakyatnya yang teraniaya akibat dari kebijakan. 10

9
Bustamin & Rony Jaya. URGENSI CHECKS AND BALANCES KETATANEGARAAN INDONESIA DAN ISLAM. Jurnal Ilmiah
Syari’ah, Volume 18, Nomor 2, Juli-Desember 2019.
10
Wery Gusmansyah. TRIAS POLITICA DALAM PERSPEKTIF FIKIH SIYASAH. ALIMARAH: Jurnal Pemerintahan dan
Politik Islam, Vol. 2, No. 2, 2017.
6
negara yang dipandang tidak memihaknya atau penyalahan terhadap kekuasaan
negara, seperti korupsi atau penyuapan, dan dan kekuasaan ini disebut wilâ yat al-
Mazhâ lim.11 Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh tidak hanya mengatur
persoalan ibadah kepada Allah SWT, akan tetapi seluruh sendi kehidupan manusia telah
diatur termasuk juga sistem bernegara, dalam hal ini bagaimana islam mengatur
kewenangan kehakiman atau lembaga peradilan dalam suatu negara yang sekarang dikenal
di Indonesia dengan lembaga yudikatif agar dapat menegakan keadilan dan menstabilkan
hukum dalam negara.

C. Analisis Masalah Pernikahan di Luar Negri ( Pernikahan Beda Agama)


Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk
mewujudkan kehidupan yang bahagia. Sebagai negara yang majemuk Indonesia memiliki
keragaman agama dan kepercayaan sehingga secara tidak langsung berpotensi terjadinya
perkawinan antar agama atau perkawinan beda agama. Undang-Undang tengang
perkawinan yang berlaku di Indonesia juga tidak mengatur secara eksplisit mengenai
perkawinan beda agama sehingga menimbulkan sah atau tidaknya perkawinan beda agama
tersebut. Hal demikian dapat menimbulkan berbagai masalah yang timbul di masyarakat,
terutama pasangan yang akan melakukan perkawinan beda agama.
Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perkawinan beda
agama diatur dalam Undang-Undang Perkawinan serta bagaimana akibat-akibat yang akan
timbul apabila perkawinan beda agama tersebut tetap dilakukan oleh pasangan yang akan
melangsungkan perkawinan. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research,
yang mengkaji berbagai dokumen yang terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan
penulis adalah metode penulisan yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan
undang-undang. Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini,
yakni bahan hukum primer, bahan hukum skunder.Hasil dari analisis penelitian
menunjukkan bahwa perkawinan akan banyak menimbukan berbagai masalah serta
akibat-akibat hukum diantaranya mengenai keharmonisan keluarga, dan kedudukan sah
atau tidaknya anak apabila memiliki keturunan dari perkawinan beda agama. Undang-
Undang Perkawinan seharusnya mengatur secara tegas mengenai perkawinan beda agama
agar tidak terdapat pertarungan hukum, dan tidak menimbulkan pendapat dalam
menyikapi permasalahan tentang perkawinan beda agama tersebut.12
11
Yusuf Faisal Ali, DISTRIBUSI KEKUASAAN POLITIK DALAM KAJIAN FIQH SIYÂSAH. UCEJ, Vol. 2 No. 1. 2017, h. 214-
235
12
Choirulloh mohammad,village,07-03-2022
7

Anda mungkin juga menyukai