Anda di halaman 1dari 25

POLEMIK PERNIKAHAN DINI DI MASA PANDEMI COVID-19

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Sosiologi Hukum

Dosen pembimbing : Prof. Rahayu Hartini, S.H., M.Si., M.Hum.

Oleh :
Rima Alaidi
202110380211040
Kelas A

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
POLEMIK PERNIKAHAN DINI DI MASA PANDEMI COVID-19

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Rima Alaidi

202110280211040

rimaalaidi17@gontor.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui polemik pernikahan dini di era pandemi
Covid-19 dalam perspektif hukum Islam. Melalui metode penelitian kualitatif deskriptif yang
secara khusus akan memanfaatkan literatur studi dan analisis kasus, terlihat bahwa dampak
Covid-19 memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap meningkatnya angka pernikahan dini
di Indonesia. Hasilnya bahwa secara umum pernikahan dini memiliki banyak aspek pengaruh
dari berbagai sudut pandang. Jika dilihat dari segi agama memiliki banyak kemafsadatan dari
pada kemaslahan maka pernikahan dini tidak dianjurkan, justru harus dihindari karena
memiliki banyak faktor yang buruk. Dari segi kesehatan dan hukum secara umum juga tidak
membenarkan adanya pernikahan dini, karena memicu banyaknya faktor buruk pada sosial,
ekonomi, masyarakat juga kesehatan. Pandemi Covid-19 bukanlah kali pertama yang memicu
terjadinya kendala dalam program masyarakat. Ini telah terjadi beberapa kali selama periode
konflik kemanusiaan, bencana dan epidemi lainnya. Indonesia harus bisa menyesuaikan
dengan cepat dan tanggap terhadap problematika yang semakin meningkat ini. Ruang digital
bisa menjadi alat bantu dalam pengelolaan dalam mengakhiri pernikahan dini lebih efektif
untuk menyampaikan pesan kepada kaum muda.

Kata kunci : Pernikahan dini, Covid-19, Hukum Islam.

Pendahuluan

Munculnya virus Covid-19 di Indonesia menimbulkan dampak yang luar biasa bagi bangsa
Indonesia. Covid-19 telah merubah banyak hal, seluruh sektor terancam oleh adanya virus
ini. Bukan saja sektor kesehatan, sosial, keuangan, bahkan perekonomian ikut terancam.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA)
melaporkan bahwa angka pernikahan dini di masa pandemi Covid-19 semakin meningkat.
Menurut Kemen PPN/Bappenas mengungkapkan bahwa pernikhan dini dijajahi oleh anak-
anak yang rata-rata berusia dibawah 18 tahun, yakni sekitar 400 sampai 500 anak perempuan
usia 10-17 tahun beresiko menikah akibat pandemi Covid-19. BKKBN juga melansir 80%
pernikahan dini di Jawa Timur meningkat. Artinya pernikahan dini di Indonesia mengalami
peningkatan yang signifikan, dibutuhkan telaah yang mendalam mengenai problematika
pernikahan dini dan peninjauan dari segi hukum Islam.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah diubah ke Undang-Undang


Nomor 16 Tahun 2019 khususnya pada pasal 7 yang mengatur tentang usia perkawinan
antara lelaki dengan perempuan. Ketentuan pasal 7 diubah sehingga berisi “Perkawinan
hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun” 1.
Adanya perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang usia minimum
pernikahan dini tidak begitu membawa dampak perihal penurunan angka kasus pernikahan
dini di Indonesia.2 Undang-Undang terbaru hanya menyelesaikan masalah kecil yang pada
akhirnya berakhir dengan masalah perkawinan yang tidak baik atau perceraian yang baik.3

Fenomena seperti ini sering kali dianggap tabu oleh banyaknya masyarakat, padahal polemik
ini membawa banyak dampak negatif terhadap pelaku pernikahan dini, khususnya pada pihak
perempuan.4 Jika ditinjau dari kacamata Islam, ‫“ إذا اجتمع الضرارن أسقط األكبر لألص@غر‬Perbuatan
yang menghasilkan banyak mudharat (resiko) maka yang lebih besar harus dijatuhkan atau
digugurkan untuk melakukan perbuatan yang lebih kecil mudharat (resiko)nya”.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deksriptif. Alasan penulis


menggunakan metode ini karena ingin memanfaatkan literatur studi juga ingin mengkaji
menggunakan gagasan yang diciptakan lebih pada konseptual. Proses pengumpulan data
mempertimbangkan ketersediaan pada data di perpustakaan (Library Research). Teknis
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis isi (Content Anaysis)
yakni sebuah teknis yang secara komprehensif berusaha menggali beragam keterangan dari
pesan atau infomrmasi yang disajikan dalam Teori Hukum Islam (Usul Fiqh) dan Teori
Perkawinan secara umum.

1
Dalinama Telaumbanua, ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun T974 Tentang Perkawinan’, 006265, 2019
<https://doi.org/10.31219/osf.io/8e6an>.
2
Hasan Bastomi, ‘PERNIKAHAN DINI DAN DAMPAKNYA ( TINJAUAN BATAS UMUR PERKAWINAN MENURUT
HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN INDONESIA )’, YUDISIA, 7.2 (2016), 355.
3
Dr. Rio Christiawan, S.H., M.Hum., M.Kn., Sosiologi Hukum Kontemporer, ed. by Yayat Sri Hayati, 1st edn
(Depok, 2021).
4
Dwi Rifiani, ‘Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Islam ’ ’’, De Jure, Jurnal Syariah Dan Hukum, 3.2
(2011), 125–34.
Pembahasan

a. Pernikahan Dini Di Tinjau Dari Segi Hukum Islam (Usul Fiqh)

Semua perbuatan seorang muslim yang sudah mencapai usia akil baligh atau sudah dapat
memahami dan mengetahui suatu hal, tidak bisa terlepas dari hukum syara’ sebagaimana
terumuskan dalam kaidah syara’ al-ashlu fiil afaali ataqoyyadu bil hukmi syari. Pada
mulanya hukum menikah adalah sunnah sesuai dengan Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 3:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Hukum Nikah di dalam Fiqh para ulama menjelaskan bahwa menikah mempunyai hukum
sesuai dengan kondisi dan faktor pelakunya. Hukum tersebut adalah (As-Sayyid Sabiq,
1973:15)5:

1. Wajib

Bagi orang yang sudah mampu menikah, nafsunya telah mendesak dan takut terjerumus
dalam perzinaan, maka ia wajib menikah. Karena menjauhkan diri dari perbuatan haram
adalah wajib

Allah berfirman dalam QS An-Nur 33:

‫ف الَّ ِذ ْينَ اَل يَ ِج ُدوْ نَ نِ َكاحًا َح ٰتّى يُ ْغنِيَهُ ُم هّٰللا ُ ِم ْن فَضْ لِ ٖه‬
ِ ِ‫َو ْليَ ْستَ ْعف‬

Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian
(diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya”

2. Sunnah

Bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mampu menikah, tetapi masih dapat menahan
dirinya dari perbuatan zina, maka sunnah baginya menikah. Nikah baginya lebih utama
daripada bertekun diri beribadah.

3. Haram

Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahirnya kepada istri serta
nafsunyapun tidak mendesak, maka ia haram menikah.

5
Ahmad Atabik and Koridatul Mudhiiah, ‘Pernikahan Dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam’, Yudisia, 5.2
(2014), 293–94.
4. Makruh

Makruh menikah bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja
kepada istrinya.Walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak mempunyai
keinginan syahwat yang kuat.

5. Mubah

Bagi orang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mengharamkan untuk menikah, maka
nikah hukumnya mubah baginya.

Adapun menikah dini atau pernikahan anak, yaitu menikah pada usia remaja atau muda,
bukan usia tua, hukumnya sunnah atau mandub, demikian menurut Imam Taqiyudin An-
Nabhani dengan berlandaskan pada hadis Nabi yang artinya: “Wahai para pemuda, barang
siapa yang telah mampu, hendaklah menikah, sebab dengan menikah itu akan lebih
menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kehormatan. Kalau belum mampu,
hendaklah berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu” (HR. Bukhari dan Muslim).

Satu hal yang perlu digaris bawahi dari hadits di atas adalah perintah menikah bagi para
pemuda dengan syarat jika ia telah mampu, maksudnya adalah siap untuk menikah. Kesiapan
menikah dalam tinjauan hukum Islam meliputi 3 hal, yaitu6:

1. Kesiapan ilmu

Yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fikih yang ada kaitannya dengan masalah
pernikahan, baik hukum sebelum menikah, seperti khitbah (melamar), pada saat menikah
seperti syarat dan rukun akad nikah, maupun sesudah menikah seperti hukum Menafkahi
keluarga, thalak, ataupun rujuk. Syarat pertama ini didasari pada prinsip bahwa Fardhu ain
hukumnya bagi seorang muslim untuk mengetahui hukum perbuatan sehari-hari yang
dilakukannya atau yang akan dilakukannya.

2. Kesiapan harta atau materi

yang dimaksud dengan harta di sini ada dua macam yaitu harta sebagai mahar dan harta
sebagai nafkah suami kepada istrinya untuk memenuhi kebutuhan pokok (alhajat asasiyyah)
bagi istri berupa sandang, pangan, dan papan yang wajib diberikan dalam kadar yang layak
(bil ma’ruf)

3. Kesiapan fisik atau kesehatan khususnya bagi laki-laki


6
Rifiani.
yaitu mampu menjalani tugasnya sebagai suami, tidak impoten. Khalifah Umar bin
Khaththab

pernah memberi penangguhan selama satu tahun kepada seorang laki-laki (suami) yang
impoten untuk berobat. Ini menunjukkan kesiapan fisik yang satu ini perlumendapat
perhatian serius.

Sebagai umat Islam tentu menjalani kehidupan di dunia ini memiliki tujuan yang melekat
untuk membersamai langkahnya menuju ridhoNya. Hukum Islam bersifat luas dan luwes,
humanis, dan selalu membawa rahmat bagi seluruh manusia di alam ini. 7 Menurut para
fuqaha (ahli fiqih), terdapat lima aspek yang dapat dijadikan pedoman atau petunjuk dalam
menjalani kehidupan yang Islami, yakni maqasid Al - Syari’ah (tujuan-tujuan hukum Islam).

Secara umum maqasid Al - Syari’ah memiliki tujuan untuk kebaikan atau kemaslahatan
semua manusia. Tujuan dari ini sefrekuensi dengan tujuan hukum dari Allah tidak lain yakni
kebaikan. Kemaslahatan yang dimaksud adalah mencakupi semua hal kehidupan manusia. Di
antaranya maqasid Al - Syari’ah terdiri dari lima aspek8 yaitu hifdz al-din (menjaga agama)
aspek ini bertujuan melindungi dan menjaga agama merupakan hak bagi umatnya untuk
memeluk dan meyakini agamanya adalah hak yang tidak bisa dipaksakan, artinya mereka
memiliki kebebasan dan tidak ada pengekangan dalam menganut agama. Contoh
penjagaannya seperti melaksanakan rukun-rukun Islam yaitu menjaga sholat lima waktu,
melaksanakan puasa, membayar zakat dan seterusnya.

Yang kedua yaitu hifdz nafs (menjaga diri) adalah landasan dan alasan untuk menyatakan
bahwa manusia tidak boleh disakiti, dilukai, apalagi dibunuh. Contoh penerapannya dengan
menjaga pola makan dan minum sehingga tidak sampai jatuh sakit. Yang ketiga hifdz ‘aql
(menjaga akal) yakni semua yang menyebabkan hilangnya akan maka tidak diperbolehkan
seperti mengonsumsi narkoba atau minuman keras.

Yang keempat hifdz al-maal (menjaga harta) dengan tidak memiliki harta orang lain dengan
cara mencuri, korupsi dan lain-lain, membelanjakan harta dengan baik. Yang kelima adalah
hifdz nasl (menjaga keturunan) yaitu melindungi keturunannya agar tidak berbuat zina karena
memiliki dampak negaif dari segala aspek. Seperti secara psikologis, kesehatan, nasab,
ekonomi, sosial dan yang lainya. Bentuk pencegahan dari hifdz nasl (menjaga keturunan)
yaitu dengan jalan pernikahan atau penegakan hukum bagi yang melakukan perzinaan.
7
Imam Syathibi, Al-Muwafaqot (Beirut, Libanon: Darul Kutub Ilmiah).
8
Perspektif Hukum-keluarga-islam, ‘Jurnal Al Wasith: Jurnal Studi Hukum Islam || Vol. 5 No. 2 (2020) ’, 8.2
(2020), 107–25.
Pada dasarnya istilah nikah berasal dari bahasa Arab ‫ نكح – ينكح – نكاحا‬yang artinya sama
dengan lafadz ‫ت@@زوج‬, jika dalam ilmu fiqh kata zawaj yaitu akad yang jelas kemudian
diucapkan oleh calon mempelai pria atas rukun-rukun dan syarat, sedangkan menurut
madzhab 4 (Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Maliki) menyatakan pernikahan sebagai suatu akad
yang memperbolehkannya laki-laki berhubungan badan dengan perempuan. Kemudian akad
nikah adalah akad ibadah menurut pandangan sebagian Ulama Syafi’iyah, yakni
membolehkan suami menyetubuhi istrinya. Jadi bukan akad tamlik bi al-intifa’. Demikian
juga di dalam Al-Qur’an dan hadits-haidts Nabi, menjelaskan bahwa perkataan “nikah” pada
umumnya diartikan dengan “perjanjian perikatan”.9

Syari’at nikah dalam Islam merupakan syari’at pertama, karena perintah sholat bukan hal
utama yang diperintahkan oleh Allah kepada nabi pertama kita Nabi Adam melainkan
perintah untuk menikah. kemudian menikah juga merupakan syari’at terakhir , mengapa
seperti itu karena kelak di surga ketika sariat sholat, puasa, zakat, dan haji tidak ada, syari’at
nikahlah yang masih ada. Hal tersebutlah yang mendasari bahwa syariat nikah menjadi
syari’at terakhir.10

Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang membicarakan mengenai perintah untuk
melaksakan pernikahan. Maka dari itu menikah merupakan syari’at yang penting dalam
Islam. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang pernikhan terdapat pada (QS. Ar-Rum: 21)

َ ِ‫ق لَ ُك ْم ِّم ْن اَ ْنفُ ِس ُك ْم اَ ْز َواجًا لِّتَ ْس ُكنُ ْٓوا اِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َرحْ َمةً ۗاِ َّن فِ ْي ٰذل‬
ٍ ‫ك اَل ٰ ٰي‬
َ‫ت لِّقَوْ ٍم يَّتَفَ َّكرُوْ ن‬ َ َ‫َو ِم ْن ٰا ٰيتِ ٖ ٓه اَ ْن َخل‬

Artinya :

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan


untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia
menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.

Kemudian dalil yang merujuk pada ayat Al-Qur’an pada (QS.Ar-Rum: 21) yaitu
hadits Nabi Muhammad SAW;

.}ٌ‫ {التَّ ْز ِو ْي ُج بَ َر َكةٌ َو ْال َولَ ُد َرحْ َمةٌ فَأ َ ْك ِر ُموْ ا أَوْ اَل َد ُك ْم فَإ ِ َّن َك َرا َمةَ اأْل وْ اَل ِد ِعبَا َدة‬:‫صاَل ةُ َوال َّساَل ُم‬
َّ ‫ال النَّبِ ُّي َعلَ ْي ِه ال‬
َ َ‫ق‬

9
Hari Widiyanto, ‘Konsep Pernikahan Dalam Islam (Studi Fenomenologis Penundaan Pernikahan Di Masa
Pandemi)’, Islam Nusantara, 04.01 (2020), 103–10 <https://doi.org/10.33852/jurnalin.v4i1.213>.
10
Widiyanto.
Nabi saw. bersabda, “Pernikahan itu keberkahan dan anak itu rahmat, maka muliakanlah
anak-anak kalian, maka sesungguhnya memuliakan anak-anak itu ibadah.” Berdasarkan
penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula dengan imam
An-Nawawi Al-Bantani ketika mensyarah hadis ini tidak menjelaskan periwayatnya.

Hadis Kedua:

َ ‫ب ع َْن ُسنَّتِ ْي فَلَي‬


.}‫ْس ِمنِّ ْي‬ َ ‫ {النِّ َكا ُح ُسنَّتِ ْي فَ َم ْن َر ِغ‬:‫صاَل ةُ َوال َّساَل ُم‬
َّ ‫َوقَا َل َعلَ ْي ِه ال‬

Nabi saw. bersabda, “Nikah itu sunnahku, siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka ia
tidak mengikuti jalanku.” Berdasarkan penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat
hadis ini. Begitu pula dengan imam An-Nawawi Al-Bantani ketika mensyarah hadis ini tidak
menjelaskan periwayatnya.11

Pernikahan dalam Islam bukanlah sebuah perjanjian keperdataan biasa, tetapi di mata Islam
pernikahan memiliki nilai yang luar biasa yaitu merupakan sebuah Ibadah. Di dalam Al-
Qur’an dijelaskan bahwa ikatan antara suami dan istri adalah ikatan yang paling suci dan
paling kokoh. Allah juga mengaskan perihal ikatan perjanjian antara suami istri dengan
sebutan ‫( ميثاقا غليظا‬perjanjian yang kokoh). Pelaksanaan yang diperintahkan oleh Allah adalah
bentuk ketaatan atau ibadah seorang hamba kepada Penciptanya.12

Jika perintah menikah dijalani atas dasar mentaati perintah Allah dan Agama juga mengikuti
sunnah Rasulullah SAW, maka akan terlahir di dalam pernikahan tersebut rasa sakinah,
mawaddah, dan rahmah yang bisa dinikmati oleh sepasang suami istri tersebut. Mengartikan
istilah sakinah, mawaddah, dan rahmah memiliki ragam definisi. Diantaranya Al-Isfahan
(ahli fiqh dan tafsir) mengartikan sakinah dengan tidak pantang menyerah dalam menjalani
segala tantangan hidup. Menurut al-Jujani (ahli bahasa), sakinah berarti adanya kedamaian
yang muncul di dalam hati pada saat sesuatu datang dengan tiba-tiba. Diiringi satu nur
(cahaya) dalam hati yang menimbulkan ketenangan dan kedamaian pada yang
menyaksikannya, dan merupakan keyakinan berdasarkan ain al-yaqin (penglihatan). Selain

11
Widiyanto.
12
Rusdaya Basri, ‘Konsep Pernikahan Dalam Pemikiran Fuqaha’, Jurnal Hukum Diktum, 13.2 (2015), 1.
itu istilah sakinah bisa disamakan dengan kata rahmah dengan thuma’ninah yang berarti
tenang, tidak gundah gulana dalam melaksanakan ibadah.13

Dalam agama Islam ketentuan batas usia minimum untuk melangsungkan perkawinan tidak
ditentukan berdasarkan apapun, baik batas usia minimal maupun batas usia maksimal.14

jika di tinjau dari kaidah usul fiqh ini ‫“ األصل فى العقد رضى المتعاقدين و نتيجته ما التزماه بالتعاقد‬Suatu
transaksi pada dasarnya harus dilandasai kerelaan kedua belah pihak dan hasillnya adalah sah
dan mengikat kedua belah pihak terhadap dictum yang ditransaksikan”.15 Melihat kaidah ini
jika dikaitkan dengan masalah pernikahan dini, jika diantara pihak laki-laki dengan pihak
wanita memiliki kesamaan niat rela satu sama lain untuk mengikat sebuah transaksi
(pernikahan) maka sah-sah saja pernikahan dini itu diberlangsungkan.

Kaidah lain yang bias mendukung adanya pernikahan dini yaitu dapat dikaitkan dengan
kaidah ini; ‫ كل شرط كان من مص@@لحة العق@@د أو من مقتض@@اه فه@@و ج@ائز‬yang berarti “Setiap syarat dalam
suatu transaksi yang bertujuan untuk kesuksesan dan tujuan transaksi tersebut, maka
dibolehkan”16.

Tetapi jika dilihat dari sisi lain menggunkan kaidah usul fiqh yang lain, maka bisa menjadi
lain hukumnya. Seperti ‫“ األص@@ل فى اإلبض@اع التح@ريم‬Pada dasarnya hubungan seksual adalah
haram. Hal ini menjadi halal dengan adanya perkawinan yang sah”. Kemudian kaidah usul
fiqh yang lain mengatakan ‫“ ذرء المفاس@@@د مق@@@دم على جلب المص@@@الح‬menolak kerusakan lebih
diutamakan dari pada menarik kemaslahatan”,17 maksutnya jika kerusakan atau bahaya lebih
mendominasi dari kebaikan yang akan ditimbulkan maka sebaiknya dihindari atau tidak
dibenarkan untuk melakukannya.

Berdasarkan pada kaidah di atas, dapat diketahui bahwa segala perbuatan dan perkataan yang
dilakukan oleh mukhallaf (pelaku) dan dilarang oleh syara’ (syari’at) maka tidak dibenarkan
perbuatannya karena mengandung kerusakan atau resiko jika dikerjakan pekerjaan tersebut.
13
Dosen Fakultas Ushuluddin and others, ‘Konsep Sakinah, Mawaddah Dan Rahmah Dalam Al-Qur’an
(Prespektif Penafsiran Kitab Al-Qur’an Dan Fafsirnya’, Pemikiran Hukum Islam, 14.1 (2015), 47–48.
14
Surmiati Ali, ‘Perkawinan Usia Muda Di Indonesia Dalam Perspektif Negara Dan Agama Serta
Permasalahannya’, Legislasi Indonesia, 12.2 (2015), 1–28 <https://e-
jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/405>.
15
Syamsul Hilal, ‘Qawâ ‘ Id Fiqhiyyah Furû ‘ Iyyah Sebagai’, Al-’ADALAH, 11.2 (2013).
16
Hilal.
17
Intan Arafah and others, ‘PENDEKATAN SADD ADZ- DZARI ’ AH DALAM STUDI ISLAM’, Al-Mu’amalah: Jurnal
Hukum &Ekonomi, 5.1, 68–86 <https://doi.org/10.32505/muamalat.v5i1.1443>.
Kaidah usul fiqh selanjutnya menjalesakan tentang pencegahan pada suatu hal yang
mengakibatkan kerusakan atau bahaya;

‫منع كل ما يتوصل به إلى الشيء الممنوع المشتمل على مفسدة أو مضرة‬

“Mencegah segala sesuatu (perkataan maupun perbuatan) yang menyampaikan pada sesuatu
yang dicegah/dilarang yang mengandung kerusakan atau bahaya”18. Pada kaidah ini perlu
adanya ketelitian atau kewaspadaan dalam bersikap maupun berucap, menelaah sebab dan
akibatnya jika dilakukan akankah berakibat baik atau buruk ke depannya. Jika berakibat baik,
maka melanjutkan perbuatan atau perkataan nya tidak apa-apa. Namun jika berakibat buruk,
maka sebaiknya dicegah.

Selanjutnya kaidah usul fiqh berkaitan dengan kebaikan bersama;

‫التوصل بما هو مصلحة الى مفسدته‬

“Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu
kerusakan (kemafsadatan)19. Kaidah ini menjelaskan bahwa suatu pekerjaan jika diawal
mengandung unsur kemaslahatan (kebaikan), kemudian di lain hari menimbulkan suatu
kemafsadatan (kerusakan) maka perbuatan ini tidak dibenarkan. Contoh dalam praktek
pernikahan dini yaitu; dua Insan yang mempunyai niat baik dalam rangka menaati perintah
Allah SWT dan mengikuti sunnnah Rasulullah SAW akan memberlangsungkan pernikahan
demi terjauhnya dari perzinaan (hal memasuki kategori kemaslahatan (kebaikan)) kemudian
di sisi lain dua Insan ini ternyata tidak memenuhi persyaratan secara administratif negara,
yaitu dalam hal ketentuan umur. Yakni umur mereka berada di bawah umur dari ketentuan,
atau bisa disebut pernikahan dini atau pernikahan anak. Kemudian jika diberlangsungkan
pernikahan ini akan banyak membawa dampak negatifnya dari positifnya terhadap mereka
(hal ini yang dimaksud dengan kemafsadatan )) maka perbuatan ini hendaknya tidak
dilakukan.

Kaidah selanjutnya;

18
Arafah and others.
19
Arafah and others.
‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬
ِ ِ‫صال‬ ِ ‫َدرْ ُء ْال َمفَ ِس ِد ُمقَ َّد ٌم َعلَی َج ْل‬

“Mencegah kerusakan lebih diutamakan dari pada hanya sebatas mengambil kemaslahatan”

Pada kaidah di atas memberikan penjelasan yang apabila dikaitkan dengan permasalahan
pernikahan dini di masa pandemi Covid-19 sangat tepat jika dijadikan rujukan penolakan.
Sebab pernikahan dini menimbulkan banyak kontro versi hampir di seluruh dunia. Antara pro
dan kontra menyikapi problematika pernikahan dini. Jika dilihat dari kacamata agama, ada
dua kemungkinan antara boleh dan tidak. Jika aspek pendukung terdapat banyak positif dari
pada negatif, maka pernikahan dini sah-sah saja. Namun jika mengandung banyak aspek
negatif maka lebih baik tidak dilakukan, karena memiliki banyak resiko jika dijalankan.

Pernikahan yang dilakukan oleh seorang yang belum mencapai usianya, akan menimbulkan
sebuah problem atau masalah. Diantara dampak negative dari pernikahan dini antara lain20:

a. Intervensi orang tua bisa berakibat kurang baik hubungan antara orang tua dengan anak.

b. Potensi terjadinya perceraian karena tingkat emosional yang relatife masih tinggi dan tidak
setabil.

c. Dapat menggangu psikis (kejiwaan) seorang istri

d. Kurangnya kesiapan organ rahim istri dalam reproduksi sebab usia yang masih muda

Meskipun begitu, bagi sebagian orang, menikah muda memiliki beberapa dampak positif
yang antara antara lain21:

a. Relatif dapat mengurangi beban keluarga dalam bidang pengeluaran ekonomi

b. Menjaga kehormatan nama keluarga

c. Mempercepat kedewasaan anak

20
Rifiani.
21
Rifiani.
d. Menghindari hamil diluar nikah (freesex) dan dampak dari pergaulan bebas.

b. Pernikahan Anak Dalam Konteks COVID-19

UNFPA (United Nations Population Fund) dan UNICEF (United Nations Internationals
Children’s Emergency Fund) telah membuat laporan singkat terkait perkembangan sebuah
program pernikahan anak yang telah mereka rancang. Mereka menganalisa apa saja gangguan
yang memicu terganggunya pelaksanaan program yang mereka rancang. Laporan singkat
yang mereka buat menjelaskan perihal alternatif pekerjaan terprogram tradisional sebagai
sarana untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh Covid-19. Juga memberikan
masukan program untuk ke depannya selama fase respons pemulihan Covid-19, kemudian
juga akan menguraikan implikasi untuk pemrograman di masa depan, termasuk kebutuhan
untuk memperkuat ketahanan program demi pemberantasan pernikahan anak atau dini.

Program global GPECM) ini dirancang untuk mengurangi pernikahan anak, termasuk
memberdayakan anak perempuan, menjaga mereka agar tetap bersekolah, memberi mereka
keterampilan hidup dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi, dan menangani masalah
sosial, dan norma budaya yang terkait dengan pernikahan anak. Perkiraan global
menunjukkan bahwa penundaan pelaksanaan intervensi selama satu tahun, rata-rata akan
menyebabkan sekitar 7,4 pernikahan anak akan berlanjut. 22 Artinya jika penanganan program
ini tidak terlaksana akan menambah meyumbang angka pernikahan dini semakin banyak.
Program yang telah mereka rancang begitu bagus akan penurunan angka pernikahan anak.
Sebelum munculnya pandemi Covid-19, kasus ini sudah menjadi polemik besar juga di dunia,
dan belum membuahkan hasil yang signifkan dalam penurunan angka pernikahan anak.
Apalagi karena munculnya Covid jadi semakin bertambah kenaikan kasus ini. Di Afrika
Timur dan Selatan juga mengalami perkembangan yang luar biasa perihal pernikahan anak,
di mana 36% dari semua anak perempuan nya yang berusia 20-24 tahun, rata-rata mereka
menjalani pernikahan sebelum ulang tahunnya yang ke-18.23 Besarnya angka peningkatan
ternyata tak bisa dipercaya, ternyata data regional menutupi variasi besar antara dan di dalam
negara. Sementara prevalensi pernikahan anak telah menurun di wilayah ini, pertumbuhan

22
UNFPA and UNICEF, ‘Child Marriage in COVID-19 Contexts : Disruptions , Alternative Approaches And’,
UNICEF, 2020 <https://www.unicef.org/esa/reports/child-marriage-covid-19-contexts>.
23
UNICEF.
penduduk telah melampaui kemajuan yang dicapai dan proyeksi menunjukkan bahwa jumlah
anak perempuan yang akan menikah saat masih anak-anak akan terus bertambah.24

Covid-19 telah mengacaukan kehidupan generasi bangsa dan keluarga di seluruh dunia dan
berdampak buruk pada program untuk mengakhiri kasus pernikahan anak. Semua keluarga,
masyarakat dan ekonomi mengalami imbas dari pandemi Covid-19 ini. Dampak yang tidak
sedikit membuat negara-negara mengalami peningkatan kemiskinan yang lebih tinggi dan
kesehatan yang semakin rapuh, kesejahteraan sosial dan sistem pemerintahan yang belum
terealisasikan. Pergerakan pemenrintah dalam mengupayakan penanggulangan kasus Covid-
19 sangat menghancurkan perekonomian bagi orang-orang yang yang mata pencahariannya
berdasarkan kegiatan ekonomi informal.

Bukti krisis dari kesehatan sebelumnya menunjukkan bahwa remaja putri secara tidak
proporsional terpengaruh oleh keadaan darurat, seperti epidemi Ebola menyebabkan
ditutupnya sekolah-sekolah dan hilangnya pendidikan, penurunan akses terhadap informasi
dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi, lenyapnya mata pencaharian dan kontraksi
jaringan dukungan sosial. Isu-isu merusak strategi untuk mengakhiri kegiatan penikahan anak
dan mempengaruhi kemajuan yang dicapai selama dekade terakhir.25

Pengantin anak rentan gizi karena mereka sedang menjalani fase pertumbuhan dan
perkembangan yan pesat pada masa remaja. Mereka rentan terhadap anemia, kekurangan gizi
dan konsekuensi buruknya. Selian itu, kehamilan dan menyusui selama masa remaja dapat
menyebabkan stunting, penurunan berat badan dan defisiensi mikronutrien.26

Indonesia menduduki peringkat tertinggi kedua dengan nominasi jumlah pernikahan anak
tertinggi di Asia Tenggara, setelah negara Kamboja. Pencapaian penurunan tidak mengalami
peningkatan yakni hanya 0,6 persen (0,6%) sepanjang tahun 2019 hingga 2020, dan masih
jauh dari terget penurunan yang diperkirakan yaitu 8,74 persen (8,74%) pada tahun 2024.27

24
UNICEF.
25
UNICEF.
26
Shantanu Sharma, ‘Early Marriage and Spousal Age Difference : Predictors of Preconception Health of Young
Married Women in Delhi , India’, Journal of Health Research Emerald Publishing Limited, 1.1 (2021), 11
<https://doi.org/10.1108/JHR-01-2021-0062>.
27
Elga Andina, ‘INCREASING NUMBER OF CHILD MARRIAGES DURING COVID-19 PANDEMIC’, A Brief Study of
Actual And Strategic Issues, 13.4 (2021).
Persoalannya jika terjadi perkawinan anak akan mengakibatkan dampak negatif yang serius
dan berlangsung lama. Jika seorang remaja mengalami kehamilan, maka yan terdampak
bukan saja pada pendidikannya, namun juga kesehatan (dari kompilasi kelahiran), juga
kesempatan kerja yang akan mempengaruhi kehidupannya dan pendapatan di masa depannya
nanti. Karena umur pada remaja yang belum memiliki kesiapan secara matang khususnya
pada reproduksi, akan sangat mempengaruhi pada kesehatan janin bahka bayi yang
dilahirkannya akan beresiko kematian, stunting, dan berat badan yang rendah.28 Problematika
lain yang bisa terjadi pada pernikahan dini adalah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
karena di usia remaja pengelolaan emosi belum stabil, sehingga sangat memicu terjadinya
masalah ini. Tidak hanya itu, permasalahan pada pernikahan anak juga dapat memicu
keributan pada keluarga besar di antara mereka, yang akhirnya para orang tua juga mau tidak
mau ikut terjun dalam menangani masalah yang anaknya hadapi. Terlebih jika mereka belum
siap secara finansial, akan menambah beban keuangan pada keluarga mereka juga.

Pernikahan anak dalam konteks yang tidak stabil dan kemanusiaan memiliki banyak hasil
negatif bagi anak perempuan dan perempuan. Ini merusak kesehatan mereka (termasuk
kesehatan dan hak seksual serta reproduksi ) dan meningkatkan risiko kekerasan seksual dan
berbasis gender. Konsekuensi kesehatan yang negatif dapat mencakup kematian atau
kesakitan ibu, infeksi menular seksual (termasuk HIV) dan tingkat kematian balita yang lebih
tinggi. Perkawinan anak mengganggu pendidikan anak perempuan “Bencana kemanusiaan
terjadi ketika kerusakan dan membahayakan partisipasi ekonomi dan politik mereka.29

Menurut keterangan Pengadilan Agama ada 34.000 pengajuan permohonan dispensasi nikah
sejak januari hingga Juni 2020, dan yang dikabulkan 97 persen. Peningkatan terus terjadi
sejak tahun 2019, yakni sebesar 23.126 kasus dispensasi nikah.30 Di masa pandemi sudah
banyak dampak yang dihadapi, dimana kondisi kesejahteraan yang terus menurun mendorong
para oarang tua harus merelakan anak-anaknya untuk putus sekolah, menikah. Di sisi lain
perkawinan anak ini juga menimbulkan peningkatan terhadap kekerasan dan masalah mental
pada anak.

28
Kate Buentjen, Claudia, Walton, ‘In Indonesia, a New Tool Is Being Used to Fight Child Marriage’, 21
November 2019, 2019 <https://blogs.adb.org/blog/indonesia-new-tool-being-used-fight-child-marriage>.
29
Youth Voices and others, ‘Covid-19 And Child Marriage : A Year On’, Girls Not Brides | The Global Partnership
to End Child Marriage, 2021, 1–6.
30
Yosepha Pusparisa, ‘Pernikahan Dini Melonjak Selama Pandem’, 16 September 2020, 2020
<https://katadata.co.id/ariayudhistira/infografik/5f6175a8a15b5/pernikahan-dini-melonjak-selama-pandemi>.
Sumber : Katadata.co.id

Musibah besar yang melanda Indonesia sejak tahun 2020 yaitu pandemi Covid-19 tentu
memiliki peran besar dalam mengubah cara atau gaya hidup masyarakat Indonesia.
Pemerintah mencetuskan kebijakan yang memiliki dampak pada pengurangan kegiatan yang
dilakukan masyarakat. Kebijakan tersebut berdampak pada semua usia, tidak hanya orang
dewasa yang seharusnya bekerja di luar rumah tetapi juga anak-anak yang seharusnya mereka
menimba ilmu di sekolah masing-masing. Adanya pandemi Covid-19 ini membuat hampir
semua masyarakat mengalami shock-culture pada perubahan sistem yang berlaku di
Indonesia. Hampir semua sektor mengharuskan para anggotanya memiliki akses internet.
Kegiatan belajar-mengajar mengharuskan mereka berjauhan dengan sistem yang telah
dirancang oleh pemerintah yaitu Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan kurikulum darurat,
yang masih ditemukan banyak kendala dalam pelaksanaannya, baik dari pihak tenaga
pengajar ataupun para pelajar. Tidak hanya antara tenaga pengajar dengan muridnya, tapi
juga walimurid yang dipaksa ikut mengawasi adanya sistem pembelajaran yang dijalani
secara daring. Yang terjadi, keluhan para walimurid bermunculan dikarenakan disfungsi
sekolah yang membuat para walimurid harus bersusah payah mendidik anak-anaknya.
Padahal para walimurid telah membayar uang sekolah, yang seharusnya pendidikan ialah hak
nya para tenaga pengajar untuk mendidik murid-muridnya. Akibatnya ketika sekolah
diliburkan, banyak walimurid yang kebingungan mengatur proses pendidikan anaknya di
rumah. Kondisi inilah yang memicu terjadinya peningkatan stress pada anak-anak akibat
emosi orang tua yang bertubi-tubi. Pandemi Covid-19 mengakibatkan buruknya situasi
dimanapun, khususnya pada lingkungan yang tidak menyenangkan bagi anak.

Lingkup aman yang menjadikan banyak orang merasa aman yaitu sekolah-sekolah, terutama
bagi gadis-gadis muda.31 Jika anak-anak yang tidak melakukan kegiatan sekolah sering
dianggap sebagai beban bila dibarengi penurunan pendapatan keluarga. Oleh karena itu inilah
yang menjadi pemicu terjadinya pernikahan anak, karena orang tua yang merasa terbebani
karena anaknya. Akhirnya orang tua ingin segera menikahkan anaknya dengan tujuan agar
segera terlepas dari beban menghidupi atau mencukupi anaknya. Tetapi tidak semua
dikarenakan keinginan orang tua, beberapa ada yang dipicu anaknya sendiri mungkin karena
perbuatan anaknya yang sudah melampui batas wajar. Begitulah sedikit realita yang
melahirkan banyak problematika akibat pandemi Covid-19 yang melanda berbagai kalangan.

Dengan diadakannya aktivitas belajar di rumah mengakibatkan remaja memiliki keleluasaan


dalam bergaul di lingkungan sekitar. Tentu saja pergaulan yang tidak terkontrol dapat
memicu terjadinya hamil di luar nikah bila pengawasan orangtua terhadap anaknya sangat
lemah.

31
Andina.
Dosen Dr. Sonny Dewi Judiasih, M.H.CN., salah satu dosen unpad, menjelaskan bahwa
praktik perkawinan di bawah umum rentan terjadi kepada perempuan yang tinggal di
pedesaan serta berasal dari keluarga yang kurang mampu dengan tingkat pendidikan yang
rendah.

Dengan demikian, semestinya pengadilan tidak mempermudah izin dispensasi kawin.


Sementara yang terjadi di lapangan adalah ada hampir 90 persen permohonan dispensasi
perkawinan dikabulkan oleh hakim. Secara tidak langsung hal inilah yang menjadikan
Indonesia kerap bertahan di jajaran negara dengan angka pernikahan dini tertinggi di dunia.

Entah karena bencana alam, konflik atau kekerasan umum, peristiwa-peristiwa ini dapat
melipatgandakan faktor-faktor yang memotivasi pernikahan anak. Bagian berikut
memaparkan beberapa pendorong utama pernikahan anak dalam krisis kemanusiaan dan
pentingnya memahami konteksnya agar dapat merespons secara efektif. Selama beberapa
dekade terakhir, perubahan iklim telah memicu peristiwa cuaca ekstrem – termasuk banjir,
kekeringan, dan angin topan – yang menyebabkan sejumlah krisis akut dan berkepanjangan,
yang pada gilirannya mempengaruhi ekonomi dan struktur sosial. Beberapa negara dengan
kerentanan tinggi terhadap “goncangan” iklim seperti itu juga memiliki tingkat pernikahan
anak yang tinggi.32

Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah menggugurkan


persoalan yang kaum feminis akan pandangan batas usia yang telah ditentukan, yakni batas
usia wanita adalah 16 Tahun menjadi 19 tahun, dan laki laki tidak berubah batasan usianya
yaitu 19 Tahun. Mengingat subjek dalam pernikahan tidak hanya perempuan saja, maka
untuk mewujudkan perkawinan yang baik, peran laki-laki juga sama besarnya dengan
perempuan.33

Undang-Undang yang telah ada jika dikaji hanya berisi tentang kriteria dan persyaratan
perkawinan, pencegahan, pembatalan perkawinan, dan perceraian beserta konsekuensi
masing-masing pada perkawinan tersebut. Ini sangat miskin pengaturan, jika hanya berisi
seperti ini. Seharusnya DPR merumuskan Undang-Undang Perkawinan yang dapat menjadi
pedoman dan panutan bagi masyarakat yang sudah atau belum melaksanakan perkawinaan,
mendapat rujukan perkawinan yang baik. Kemudian sebagai penguasa pemerintah melalui
regulasi perlu mengatur perkawinan sebagai lembaga yang dipersyaratkan undang-undang

32
Voices and others.
33
Christiawan, S.H., M.Hum., M.Kn.
dengaan perspektif bahwa perkawinan adalah hal privat yang harus diatur, tetapi tidak untuk
dicampuri. Pemerintah juga perlu merumuskan dan menimbang batasan-batasan keterlibatan
pihak negara mengingat hal ini adalah hal yang sangat sensitif. Artinya, jika pemerintah
terlalu terlibat dalam urusan ini pada sisi privat perkawinan, maka aspek hak asasi manusia
akan rawan terlanggar. Selanjutnya pemerintah perlu benar-benar menerapkan syarat-syarat
perkawinan secara rigid melalui due process of law (C) yang layak untuk dapat mencatatkan
administrasi perkawinan. Dalam hal ini perlu diadakan sosialisasi yang berkelanjutan dari
instansi terkait bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga sehingga
harus dilaksanakan secara prudent (penuh pertimbangan) dengan melalui due of process
(proses hukum yang sebenarnya) yakni yang layak. Dengan demikian, perceraian bukan lagi
menjadi ujung perkawinan yang buruk, melainkan perkawinan yang baik.34

Menurut Hadiati koeswadji (1994: 78) menjelaskan bahwa pada hakikatnya perkawinan
merupakan lembaga yang mempersatukan lelaki dan perempuan dalam sebuah lembaga yang
bernama keluarga.35 Definisi yang dijelaskan sangat berkaitan dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 sehingga jika deregulasi, seharusnya terdapat arahan yang
mengharuskan perkawinan sebagai lembaga dan mewujudkan keluarga sebagai lingkungan
tumbuh kembang yang sehat bagi seluruh yang terlibat di dalamnya, karena keluarga adalah
salah satu faktor lingkungan yang sangat berkontribusi dalam penentuan karakter bangsa.

Dalam hal ini pemerintah semestinya menyikapi hal perkawinan warga negaranya dengan
mengantarkan warga negaranya pada perkawinan yang lebih baik. Kemudian mengadakan
rancangan evaluasi atas Undang-Undang Perkawinan dengan mengintegrasikan persyaratan
perkawinan pada lembaga yang mengelola keluarga sebagai lingkungan tumbuh kembang
dan pengembangan potensi warga negara yang sehat dan baik.

Guna menghindari paradigma perkawinan yang buruk atau perceraian yang baik, maka perlu
kehati-hatian dengan penerapan due process of law (proses hukum yang sebenarnya) yang
layak pada perkawinan. Pemerintah juga perlu memperhatikan perihal kriteria perceraian dan
poligami adalah hak privat setiap warga negara.

34
Christiawan, S.H., M.Hum., M.Kn.
35
Christiawan, S.H., M.Hum., M.Kn.
Intinya dalam hal ini artinya mekanisme yang diatur dalam regulasi Undang-Undang
Perkawinan bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman. Jika akan melangsungkan
perkawinan maka prosesnya harus seketat ketika akan melangsungkan perceraian, termasuk
poligami tentu juga harus melalui tahap due process of law (process hukuum yang
sebenarnya) yang ketat juga. Secara paralel perevisian Undang-Undang Perkawinan harus
difokuskan pada bagian perceraian, sehingga ketentuan perceraian yang ada dalam regulasi
tidak secara mudah dapat memberi jalan pada perceraian karena proses yang begitu rumit.36

Kendala yang dihadapi oleh UNICEF dan UNFPA dalam penangan program yang mereka
rancang yaitu upaya mengakhiri pernikahan anak telah meluas karena sistem yang berlaku
semasa pandemi Covid-19 berjalan. Adapun beberapa kendala yang mereha hadapi antara
lain37:

 School-based interventions: Intervensi yang paling berpengaruh pada


program GPECM adalah melalui basis pendidikan yaitu sekolah. Tujuan dari
intervensi ini salah satunya adalah untuk menjaga perempuan di sekolah.
Program bimbingan yang berbasis sekolah dan klub putri; kemudian
pemberian pendidikan tentang kecakapan dalam hidup atau pendidikan
seksualitas yang komprehensif, dan bimbingan dan konseling yang di
tawarkan oleh pihak sekolah.
 Community engagement; adanya keterbatasan jarak sosial dan gerakan
membuat semua intervensi keterlibatan masyarakat yang memerlukan
interaksi tatap muka telah terkena dampak negatif.
 Adolescent and youth friendly SRH services; dampak Covid-19 yang paling
menonjol jatuh pada sektor kesehatan, banyak sumber daya manusia yang
teralihkan fokusnya untuk penanganan pandemi Covid-19. Ditambah dengan
adanya kebijakan social-distancing, hal ini mengakibatkan berkurangnya
akses dan ketersediaan layanan SRH dan GBV yang sangat ramah terhadap
remaja-remaja. Tanpa layanan ini, peningkatan kehamilan remaja dan
kekerasan tidak bisa dihindari. Artinya jika ini bisa diberlakukan maka,
program untuk mengakhiri pernikahan anak sangat bisa dikendalikan.

36
Christiawan, S.H., M.Hum., M.Kn.
37
UNICEF.
 Field research/studies; dampak pandemi Covid-19 membuat hampir semua
program terhenti. Studi dasar komunikasi perubahan perilaku sosial yang
rencanakan tentang pernikhan anak dalam konteks pembangunan dan
kemanusiaan juga telah tertunda sampai program dari pemerintah dihentikan
(PSBB, Social distancing, dsb).

Melaui pendekatan alternatif GPECM terus beroperasi meskipun mengahadapi tantangan


Covid-19, dengan menggunakan pendekatan alternatif dan inovatif. Sebuah snapshoot dari
beberapa pendekatan diantaranya38:

1) Digital and media engagement: keterlibatan kantor dan mitra UNFPA dan UNICEF
telah menjajaki cara lain untuk menjangkau kaum muda dengan pendidikan dan
pesan-pesan utama sementara sekolah-sekolah ditutup dan kaum muda sangat rentan.
Ini termasuk metode seperti:

 Radio programmes and mini-dramas: di Mozambik, mini-darama enam


episode yang membahas masalah terkait Covid-19 disiarkan untuk
menjangkau kaum muda dengan pesan tentang Covid-19, pernikahan anak,
dan kekerasan berbasis gender. Di Uganda, pesan audio dibagikan oleh 20
stasiun radio. Saluran bantuan anak, televisi, media sosial, pesan teks, dan U-
report. Pesan ini telah diterjemahkan ke lebih dari 24 bahasa lokal. Negara-
negara lain di kawasan ini melakukan inisiatif serupa.
 Virtual e-learning: semua negara sedang mencari cara untuk menyediakan
pedidikan melalui sarana virtual atau jarak jauh. Misalnya di Etiopia,
Kementerian Pendidikan dan Biro Pendidikan Regional mengembangkan
rencana pembelajaran jarak jauh yang dibiayai. Dengan dukungan UNICEF
dan mitra, diperkirakan 3,9 juta ank di wilayah GPECM nedapat manfaat dari
pendidikan radion dan TV. Namun metode ini menghadirkan keterbatasan
yang signifikan dalam hal menhjangkau anak-anak dan remaja yang paling
rentan.

2) Continuity of services: sangat penting bahwa paket lengkap layanan kesehatan


seksual dan reproduksi ramah remaja dan remaja, layanan HIV dan GBV terus
38
UNICEF.
ditawarkan selama pandemi Covid-19. Selain itu langkah-langkah mitigasi terkait
virus telah menyebabkan peningkatan masalh kesehatan mental. Terutama di kalangan
anak muda, yang mungkin memerlukan dukungan psiko-sosial berkelanjutan.

 Sexual and reproductive health services: sebagian besar negara di kawasan


ini sedang menjajaki kemungkinan penyediaan layanan SRH jarak jauh dan
seluler untuk memastikan kesinambungan .
 Mental health and psychosocial support: di seluruh dunia, masalah
kesehatan mental terkait lockdown Covid-19 sedang meningkat. UNFPA,
UNICEF dan mitra meningkatkan upaya mereka seputar kesehatan mental dan
dukungan psiko-sosial jika memungkinkan.
 Social protection: di Zambia Kementerian Pengembangan Masyarakat dan
Layanan Sosial ], dengan dukungan dari UNICEF, mengembangkan rencana
respons untuk mengatasi dampak Covid-19 pada populasi yang rentan. Ini
termasuk bantuan tunai darurat untuk membantu mencegah pernikahan anak
sehingga kelarga tidak dipaksa untuk mengatur pernikahan dengan imbalan
bayaran.

3) Community and Youth Engagement: keterlibatan masyarakat sangat penting bagi


keberhasilan GPECM. Keterlibatan dengan jaringan pemuda sangat penting untuk
menjangkau remaja dan remaja secara langsung. Negara-negara yang menerapkan
program tersebut telah mencari cara alternatif untuk melanjutkan kegiatan keterlibatan
dalam konteks Covid-19, dengan memperhatikan kesehatan masyarakat dan protokol
jarak sosial.
4) Data dand assesements: Covid-19 telah menciptakan konteks yang berkembang
pesat dan dinamis di negara-negara di seluruh dunia, dan menyoroti perlunya data
yang akurat dan tepat waktu untuk menginformasikan kebijakan dan pengambilan
keputusan terprogram UNFPA dan UNICEF bekerja sama dengan pemerintah,
organisasi sipil, dan mitra sektor swasta untuk memperkuat pengumpulan, analisis,
dan mitra sektor swasta untuk memperkuat pengumpulan, analisis, dan penggunaan
data dalam konteks Covid-19.

Kesimpulan
Pertama, dari sisi hukum, perkawinan atau perikahan bukan hanya sekedar untuk keabsahan
melakukan hubungan seksual atau persetubuhan, tetapi lebih jauh dari itu bertujuan untuk
mencapai sesuatu yang lebih luhur karena pada dasarnya perkawinan atau pernikahan itu
dipandang sebagai sebuah persetujuan perikatan.

Kedua, secara sosial, perkawinan itu sendiri berhasil mengangkat derajat seorang wanita ke
tingkat yang lebih tinggi di masyarakat dibanding dengan kondisinya sebelum
melangsungkan perkawinan.

Ketiga, perkawinan daris sudut pandang agama merupakan sesuatu yang suci dan sakal.
Untuk itu perkawinan harus dilakukan oleh orang-orang yang suci agar tujuan perkawinan
yang luhur itu dapat tercapai.

Jika makna perkawinan ini bisa dipahami dengan baik, tentu akan menjadi langkah awal
untuk membentuk keluarga yang selanjutnya kumpulan keluarga ini akan membentuk warga
masyarakat yang pada akhirnya menjadi sebuah negara. Dapat dikatakan jika pelaksanaan
pernikahan itu dilangsungkan sesuai dengan peraturan agama dan perundang-undangan maka
bisa dipastikan akan terbentuk keluarga-keluarga yang baik, dan akan menciptakan negara
yang baik pula. Karen diduduki oleh masyarakat yang taat akan peraturan.

Terus memperkuat pendekatan terpadu untuk mengakhiri pernikahan anak dengan sektor-
sektor utama seperti kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial. Hal ini penting untuk
memastikan paket layanan tanggapan yang holistik diberikan untuk remaja perempuan yang
beresiko menikah di bawah umur atau sudah menikah.

Pastikan integrasi pernikhan anak dalam survei dn penilaian yang sedang berlangsung dan
direncanakan. Ini termasuk tetapi tidak terbatas pada penilaian kerentanan, penilaian tentang
peningkatan praktik berbahaya atau GBV dalam konteks Covid-19.

Perlu adanya pengintegrasian antara pernikahan anak dalam respons Covid-19 dan rencana
pemulihan semaksimal mungkin. Memperkuat dan mendukung saluran untuk konsultasi
kesehatan virtual menggunakan saluran bantuan, radio, telepon seluler, termasuk juga saluran
khusus untuk remaja. Memberikan dukungan mental dan psiko-sosial kepada kaum muda
karena Covid-19 telah menyebabkan peningkatan masalah kesehatan mental terutama di
kalangan remaja dan kaum muda. Bila perlu libatkan remaja dalam desain, implementasi dan
pemantauan intervensi, sambil memastikan keselamatan dan perlindungan mereka.

Pandemi Covid-19 bukanlah kali pertama yang memicu terjadinya kendala dalam program
masyarakat. Ini telah terjadi beberapa kali selama periode konflik kemanusiaan, bencana dan
epidemi lainnya. Indonesia harus bisa menyesuaikan dengan cepat dan anggap terhadap
problematikaa yang semakin meningkatini. Ruang digital bisa menjadi alat bantu dalam
pengelolaan dalam mengakhiri pernikahan dini lebih efektif jua untuk menyampaikan pesan
dan melanjutkan pendidikan online bagi kaum muda.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Surmiati, ‘Perkawinan Usia Muda Di Indonesia Dalam Perspektif Negara Dan Agama
Serta Permasalahannya’, Legislasi Indonesia, 12.2 (2015), 1–28 <https://e-
jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/405>

Andina, Elga, ‘INCREASING NUMBER OF CHILD MARRIAGES DURING COVID-19


PANDEMIC’, A Brief Study of Actual And Strategic Issues, 13.4 (2021)
Arafah, Intan, Universitas Islam, Negeri Sunan, and Kalijaga Yogyakarta, ‘PENDEKATAN
SADD ADZ- DZARI ’ AH DALAM STUDI ISLAM’, Al-Mu’amalah: Jurnal Hukum
&Ekonomi, 5.1, 68–86 <https://doi.org/10.32505/muamalat.v5i1.1443>

Atabik, Ahmad, and Koridatul Mudhiiah, ‘Pernikahan Dan Hikmahnya Perspektif Hukum
Islam’, Yudisia, 5.2 (2014), 293–94

Basri, Rusdaya, ‘Konsep Pernikahan Dalam Pemikiran Fuqaha’, Jurnal Hukum Diktum, 13.2
(2015), 1

Bastomi, Hasan, ‘PERNIKAHAN DINI DAN DAMPAKNYA ( TINJAUAN BATAS


UMUR PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM
PERKAWINAN INDONESIA )’, YUDISIA, 7.2 (2016), 355

Buentjen, Claudia, Walton, Kate, ‘In Indonesia, a New Tool Is Being Used to Fight Child
Marriage’, 21 November 2019, 2019 <https://blogs.adb.org/blog/indonesia-new-tool-
being-used-fight-child-marriage>

Christiawan, S.H., M.Hum., M.Kn., Dr. Rio, Sosiologi Hukum Kontemporer, ed. by Yayat Sri
Hayati, 1st edn (Depok, 2021)

Hilal, Syamsul, ‘Qawâ ‘ Id Fiqhiyyah Furû ‘ Iyyah Sebagai’, Al-’ADALAH, 11.2 (2013)

Hukum-keluarga-islam, Perspektif, ‘Jurnal Al Wasith: Jurnal Studi Hukum Islam || Vol. 5


No. 2 (2020) ’, 8.2 (2020), 107–25

Pusparisa, Yosepha, ‘Pernikahan Dini Melonjak Selama Pandem’, 16 September 2020, 2020
<https://katadata.co.id/ariayudhistira/infografik/5f6175a8a15b5/pernikahan-dini-
melonjak-selama-pandemi>

Rifiani, Dwi, ‘Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Islam ’ ’’, De Jure, Jurnal Syariah
Dan Hukum, 3.2 (2011), 125–34

Sharma, Shantanu, ‘Early Marriage and Spousal Age Difference : Predictors of Preconception
Health of Young Married Women in Delhi , India’, Journal of Health Research
Emerald Publishing Limited, 1.1 (2021), 11 <https://doi.org/10.1108/JHR-01-2021-
0062>

Syathibi, Imam, Al-Muwafaqot (Beirut, Libanon: Darul Kutub Ilmiah)

Telaumbanua, Dalinama, ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019


Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun T974 Tentang Perkawinan’,
006265, 2019 <https://doi.org/10.31219/osf.io/8e6an>

UNICEF, UNFPA and, ‘Child Marriage in COVID-19 Contexts : Disruptions , Alternative


Approaches And’, UNICEF, 2020 <https://www.unicef.org/esa/reports/child-marriage-
covid-19-contexts>

Ushuluddin, Dosen Fakultas, Ahmad Munir, Said Agil Al-munawar, Ciputat Press, and
Ahmad Rofiq, ‘Konsep Sakinah, Mawaddah Dan Rahmah Dalam Al-Qur’an (Prespektif
Penafsiran Kitab Al-Qur’an Dan Fafsirnya’, Pemikiran Hukum Islam, 14.1 (2015), 47–
48

Voices, Youth, Child Marriage, Girls Not Brides, and Graham Crouch, ‘Covid-19 And Child
Marriage : A Year On’, Girls Not Brides | The Global Partnership to End Child
Marriage, 2021, 1–6

Widiyanto, Hari, ‘Konsep Pernikahan Dalam Islam (Studi Fenomenologis Penundaan


Pernikahan Di Masa Pandemi)’, Islam Nusantara, 04.01 (2020), 103–10
<https://doi.org/10.33852/jurnalin.v4i1.213>

Anda mungkin juga menyukai