Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sudah menghadapi masalah serius terkait perkawinan usia
anak. Perkawinan usia anak diketahui menjadi sebab dan akibat dari berbagai
permasalahan pembangunan di Indonesia, termasuk yang terkait dengan upaya
pembangunan kualitas manusia Indonesia. Data yang dirilis Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS, 2018) mencatat terdapat 1,2 juta kejadian
perkawinan usia anak di Indonesia. Angka yang cukup tinggi sekaligus
memperkuat fakta bahwa anak perempuan lebih berisiko dan terdampak dalam
praktik perkawinan usia anak. Data tersebut menemukan fakta sekitar 1 dari 9
perempuan usia 20-24 tahun telah menikah saat usia anak (sebelum usia 18
tahun). Hal tersebut bertolak belakang dengan laki-laki yang tercatat hanya 1 dari
100 laki-laki berumur 20 – 24 yang menikah sebelum usia 18 tahun.
Mandat konstitusi untuk pencegahan perkawinan usia anak di Indonesia
menemui lompatan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Undang Undang ini menjadi harapan terkait berbagai upaya
pencegahan atau penghapusan perkawinan usia anak di Indonesia. Perubahan
mendasar regulasi ini yakni adanya perubahan usia minimal perkawinan menjadi
19 tahun untuk kedua calon mempelai. Sebelum UU ini direvisi batas usia
minimal pengantin perempuan adalah 16 tahun dan pengantin laki-laki 19 tahun.
Selain diskriminatif, UU yang lama telah menempatkan anak perempuan sebagai
korban utama praktik perkawinan usia anak.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974, rakyat Indonesia yang beragama
Islam, harus menggunakan hukum yang berlaku dalam Islam saat melakukan
proses perkawinan. Sebelum proses pernikahan, setiap calon pengantin harus
melakukan bimbingan Perkawinan Pranikah yang dilakukan di KUA. Bimbingan
Perkawinan dilakukan dengan tujuan agar calon pengantin lebih siap mental
dalam berumah tangga dan bisa menghadapi masalah-masalah dalam rumah
tangga.
Angka pernikahan usia dini di Sulawesi Tenggara, masih tergolong tinggi,
hal ini dapat diketahui dari permohonan dispensasi nikah yang diajukan ke
Pengadilan Agama, sekitar 200 pemohon yang mengajukan ijin setiap tahunnya.
Oleh karena itu Pemerintah khususnya Pemerintah Sulawesi Tenggara memiliki
kepentingan untuk melakukan upaya – upaya preventif, tidak hanya melakukan
penyuluhan – penyuluhan tetapi yang utama berupa peraturan perundang-
undangan (peraturan daerah) yang mengatur mengenai batas usia perkawinan.
Apalagi menurut Mahkamah Konstitusi, batas usia kawin bukanlah permasalahan
konstitusionalitas tetapi merupakan kebijakan hukum yang terbuka bagi
pembentuk undang- undang (open legal policy).
Pencegahan perkawinan usia anak menjadi salah satu fokus kebijakan
pemerintah sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024. Dalam RPJMN disebutkan secara
spesifik target penurunan angka perkawinan usia anak dari 11,21% pada tahun
2018 menjadi 8,74% pada akhir tahun 2024. Komitmen tersebut diikuti dengan
penyusunan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Strategi
Pencegahan Pernikahan Anak) oleh Kementerian Agama yang memuat strategi
kebijakan dan program/kegiatan untuk menurunkan angka perkawinan usia anak.
1.2 Perumusan Masalah
Di Indonesia undang-undang yang mengatur tentang pernikahan tertuang
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa pernikahan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun batas usia pernikahan dalam
Undang-Undang Perkawinan bab II Pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa pernikahan
hanya diijinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan
sudah mencapai umur enam belas tahun. Kebijakan pemerintah dalam
menetapkan batasan usia minimal pernikahan ini tentunya sudah melalui proses
dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-
benar siap dan matang dari aspek fisik, psikis, dan mental.
Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 bahwa untuk melangsungkan pernikahan seseorang yang belum
mencapai usia 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua orang tuanya. Namun
dalam prakteknya di masyarakat secara umum masih banyak yang
melangsungkan pernikahan di usia muda atau di bawah umur. Secara nasional
pernikahan dini dengan usia di bawah 16 tahun sebanyak 26,95%. Bahkan
berdasarkan temuan dari Bappenas tahun 2008 menyatakan bahwa 34,5% dari
2.049.000 perkawinan tahun 2008 adalah per nikahan anak di bawah umur.1
Padahal usia pernikahan yang ideal bagi perempuan adalah 21-25 tahun,
sedangkan bagi laki-laki adalah 25-28 tahun. Karena pada usia tersebut organ
reproduksi pada perempuan sudah berkembang dengan baik dan kuat, serta
secara psikologis sudah dianggap matang untuk menjadi calon orang tua bagi
anak-anaknya. Sementara kondisi fisik dan psikis laki-laki pada usia tersebut
juga sudah kuat sehingga mampu menopang kehidupan keluarga dan
melindunginya baik secara psikis emosional, ekonomi, dan sosial.
Secara umum, sebagian masyarakat yang melangsungkan pernikahan
pada usia muda dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) Pernikahan dini
terjadi karena keadaan ekonomi keluarga yang berada di bawah garis
kemiskinan, sehingga dengan menikahkan salah satu anak perempuannya
sekalipun masih sangat belia, akan cukup meringankan beban orang tuanya
khususnya dari sisi ekonomi; (2) orang tua, anak, dan masyarakat dengan tingkat
kesadaran pendidikan yang rendah umur; (3) Ada kekhawatiran dikalangan
orangtua akan mendapatkan aib karena anak perempuannya sudah berpacaran
dengan laki-laki segera menikahkannya; (4) gencarnya media massa baik cetak
maupun elektronik khususnya internet yang belum bisa dikendalikan dalam batas
aman untuk di konsumsi publik yang mengekspos pornografi dan adeganadegan
yang tidak layak dipertontonkan secara umum menye bab kan remaja modern
kian banyak yang terjerembab dalam lingkup “permissive society” yang
membolehkan pola hidup yang bagaimanapun yang mereka inginkan; (5)
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tua takut anaknya menjadi perawan
tua jika tidak segera menerima pinangan dari laki-laki yang melamarnya.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dampak pernikahan dini
2. Untuk menyadarkan masyarakat terkait dampak dari pernikahan dini
1.4 Manfaat
1. Dengan lebih mengetahui dan memahami tentang dampak yang
ditimbulkan oleh pernikahan dini, diharapkan juga dapat menekan angka
pernikahan dini di kalangan remaja.
2. Dengan adanya tulisan ini, masyarakat bisa lebih memahami, mengetahui
dan sadar atas dampak yang ditimbulkan oleh pernikahan dini.
BAB II
Kerangka Konsep, Teori, dan Kajian Pustaka
2.1 Penyusunan Model Hubungan
Dalam pandangan hukum agama Islam perkawinan merupakan sebuah
ibadah yang dilakukan oleh pemeluknya untuk menghindari perbuatan-perbuatan
maksiat. Sesuai dengan instruksi presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam dijelaskan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat miitsaqan ghaliizhan untuk menaati
perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.
Allah SWT berfirman, "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di
antara kamu dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan yang perempuan." (QS an-Nur [24]:32). Menurut sebagian ulama, yang
dimaksud layak adalah kemampuan biologis. Artinya memiliki kemampuan untuk
menghasilkan keturunan.
Istilah perkawinan adalah merupakan istilah yang umum, yang digunakan
untuk semua makhluk ciptaan Allah dimuka bumi, sedangkan pernikahan
hanyalah diperuntukkan bagi manusia. Seperti kata nikah berasal dari bahasa
Arab yaitu “nikaahun” yang merupakan masdar atau kata asal dari kata kerja
nakaha, yang sinonim dengan tazawwaja. Jadi kata nikah berarti “adh-dhammu
wattadaakhul” artinya bertindih dan memasukkan, (Rahmat Hakim, 2000: 11)
sedangkan dalam kitab lain dikatakan bahwa nikah adalah “adh-dhmmu wal-
jam’u” artinya bertindih dan berkumpul.
Dalam pasal 4 kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa perkawinan
sudah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat
(1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam pasal 15
menjelaskan bahwa untuk mencapai kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,
perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur
sesuai dengan ketetapan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yaitu
bagi laki-laki berusia sekurang-kurangnya 16 tahun.
Menurut syariat Islam, usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan
berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada' wa al-wujub). Islam tidak menentukan
batas usia namun mengatur usia baligh untuk siap menerima pembebanan
hukum Islam. MUI mempertimbangkan semua pandangan ulama soal hukum
pernikahan dini. Ada beberapa perbedaan pendapat soal kebolehan pernikahan
ini. Jumhur ulama fikih, papar MUI, sebenarnya tak mempermasalahkan soal
pernikahan usia dini.
Sementara itu Ibn Hazm memilih hukum nikah usia dini pada lelaki dan
perempuan. Pernikahan usia dini pada perempuan yang masih kecil oleh orang
tua atau walinya diperbolehkan. Sementara pernikahan dini untuk anak lelaki
tidak diperbolehkan.
Pendapat berbeda diungkapkan oleh Ibnu Syubrumah dan Abu Bakar al-
Asham. Menurut mereka, pernikahan dini hukumnya terlarang. Pendapat yang
terdapat dalam Fathul Bari ini menyebutkan kebolehan nikah dini merujuk pada
pernikahan Nabi SAW dan Aisyah, maka hal tersebut adalah sebuah
kekhususan. Praktik pernikahan tersebut hanya dikhususkan untuk Nabi SAW
dan tidak untuk umatnya.
Berdasar beberapa pertimbangan tersebut, MUI memutuskan pernikahan
dini pada dasarnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah.
Namun hukumnya akan menjadi haram jika pernikahan tersebut justru
menimbulkan madharat. Kemudian, kedewasaan usia adalah salah satu indikator
bagi tercapainya tujuan pernikahan. Tujuan pernikahan adalah kemashlahatan
hidup berumah tangga dan bermasyarakat serta jaminan bagi kehamilan. Lantas,
MUI memutuskan demi kemashlahatan, ketentuan pernikahan dikembalikan
kepada ketentuan standardisasi usia merujuk UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
MUI tak lupa memberikan rekomendasi beserta ketentuan hukum yang
dikeluakannya. MUI merekomendasikan pemerintah lebih gencar
mensosialisasikan soal UU No 1 Tahun 1974. Tujuannya agar mencegah
pernikahan dini yang menyimpang dari tujuan dan hikmah pernikahan. Para
ulama, masyarakat serta pemerintah juga diminta memberikan sosialisasi
tentang hikmah perkawinan dan menyiapkan calon mempelai baik laki-laki dan
perempuan
2.2 Metode Analisis
Kajian ini merupakan buah dari penelitian pustaka. Bahan kepustakaan
yang digunakan adalah pustaka dalam bentuk skripsi, tesis, dan jurnal ilmiah
yang telah dipublikasikan sebelumnya. Dasar konseptual yang digunakan dalam
menganalisis dokumen terpilih adalah konsep yang telah disajikan oleh Henslin
(2006) dengan tiga perangkat dasar instrumen. Instrumen pertama tentang
analisis fungsional yang menitikberatkan pada struktur, fungsi (manifes dan
laten), disfungsi, dan ekuilibrium. Instrumen kedua tentang perspektif
interaksionisme simbolik yang menitikberatkan para penggunaan simbol,
interaksi, makna, dan definisi. Instrumen ketiga tentang perspektif konflik yang
menitikberatkan pada ketidaksetaraan, kekuasaan, konflik, persaingan, dan
eksploitasi. Adapun model analisis yang digunakan adalah model deskriptif
interpretatif.
BAB III
Profil, Kondisi, Hasil Analisis, dan Penafsiran Hasil Analisis
3.1 Hasil Identifikasi dan Desain Usulan Target Kebijakan
Dalam rangka mencegah perkawinan anak maka dapat diberikan tawaran
ke dalam dua kelompok yaitu:
1. Pra terjadinya perkawinan anak. Adapuan pra terjadinya perkawinan anak
dapat dilakukan dengan pencegahan, diantaranya: a). sosialisasi
Undang-UndangPerkawinan dan dampak perkawinan anak; b). Peer Grup
Konseling; c). Melakukan upaya pencegahan jika ada anak yang diduga
akan dikawinkan; d). Edukasi; e). Mediasi; f). Jika ada potensi nikah siri
maka dicegah. Seandainya juga akan terjadi pernikahan anak maka
pastikan ada pendampingan dari gugus tugas, ada pemastian hak anak
terpenuhi jika dia menikah, dan tetap melakukan edukasi kepada
keluarga.
2. Pasca terjadinya perkawinan anak. Adapun jika terjadi pernikahan anak
karena dikabulkan permohonan dispensasi maka perlu dilakukan upaya-
upaya: a) Pemastian hak pendidikan anak; b) Hak kesehatan; c) Edukasi
dan pendampingan kerentanan psikologis dan ekonomi; d) Orang tua dan
mertua ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya pernikahan anaknya.
Sebaliknya jika permohonan dispensasi nikah ditolak maka hal-hal yang
perlu dilakukan adalah : a) Pemastian hak pendidikan anak; b). Hak
kesehatan; c). Pendampingan psikologis anak dan keluarga; d).
Pendampingan masyarakat dan sekolah agar melanjutkan proses tumbuh
kembangnya anak.
Adapun pelaksana pencegahan perkawinan anak tersebut dapat
dilakukan oleh kerjasama atau kolaborasi dari semua pihak atau lembaga terkait
dari semua struktur pemerintah dan elemen masyarakat, Elemen pemerintah
sebagai lembaga terkait adalah Kementrian Agama ; Kantor Urusan Agama,
Penghulu, dan Penyuluh, Kementrian Kesehatan; Puskesmas dan Tenaga
Kesehatan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan; Sekolah, Guru,
Kementrian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPPAI);
PUSPAGA, P2TP2A, Komisi Perlindungan Anak Indonesia/Komisi Perlindungan
Anak Daerah, BKKBN, Kementrian Sosial, Kementrian Koperasi & Usaha Kecil
dan Menengah, Kementrian Desa dan Kementrian dalam Negeri.
Keluarga yang kuat merupakan salah satu fondasi terpenting dalam
pembangunan sumber daya manusia. Keluarga merupakan salah satu
komponen utama dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan
(Sustainable Development Goals-SDGs). Kekuatan suatu bangsa sangat
dipengaruhi oleh kekuatan keluarga, sehingga pembangunan keluarga menjadi
kebutuhan dasar negara. Hal ini selaras dengan misi Presiden dalam Nawacita
Kedua, Nomor 1 yaitu Peningkatan Kualitas Manusia Indonesia. Kementerian
Agama sebagai salah satu stakeholder yang memliki peran dalam membangun
dan menguatkan ketahanan keluarga meluncurkan program Bimwin sejak tahun
2017. Sasaran program Bimwin meliputi calon pengantin (catin) yang sudah
mendaftar nikah dan remaja usia nikah (19-25 tahun) yang belum mendaftar
nikah. Dalam pelaksanaannya, Kementerian Agama menjalin kerjasama dengan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian
Kesehatan, dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional serta
dukungan 1.928 fasilitator Bimwin yang telah mendapat bimbingan teknis dari
unsur penghulu, penyuluh, dan ormas.
Pada tahun 2020 target catin terbimbing sebanyak 149.646 pasang dan
terealisasi sebesar 67% atau sebanyak 100.263 pasang. Tahun 2021 target catin
terbimbing 149.646 pasang dan terealisasi sebesar 84% atau sebanyak 125.703
pasang. Tahun 2019 Bimwin ditargetkan dalam 3 (tiga) kategori, yaitu: (1)
Bimbingan Perkawinan Pranikah Reguler sebanyak 151.470 pasang; (2)
Bimbingan Perkawinan Pranikah Mandiri sebanyak 57.787 pasang; dan (3)
Bimbingan Pranikah Usia Remaja Usia Nikah (21 tahun) sebanyak 58.920 orang.
Mempertimbangkan keterbatasan anggaran maka catin yang dapat dibimbing
hanya dialokasikan sebanyak 10% dari rata-rata 2.000.000 peristiwa nikah per
tahun. Dalam pelaksanaannya, peristiwa nikah yang terjadi sebanyak 1.968.978
peristiwa dan masing-masing program terealisasi sebagai berikut: (1) Bimbingan
Perkawinan Pranikah Reguler sebanyak 124.729 pasang; (2) Bimbingan
Perkawinan Pranikah Mandiri sebanyak 47.585 pasang; dan (3) Bimbingan
Pranikah Usia Remaja Usia Nikah (21 tahun) sebanyak 48.518 orang, dengan
capaian kinerja sebesar 82,35%
3.2 Hasil Identifikasi dan Desain Usulan Pendanaan Untuk Pelaksanaan
Kebijakan
Keberhasilan dan pelaksanaan Strategi Pencegahan Perkawinan anak
bergantung pada keterlibatan aktif pemangku kepentingan di berbagai tingkatan.
Bagian ini akan memaparkan 3 (tiga) usulan pelaksanaan sesuai kebutuhan dan
kondisi terkini setiap daerah, proses pelaksanaan, dan pilihan strategi yang
dapat diadaptasi oleh pemangku kepentingan terkait. Langkah-langkah praktis ini
diperoleh dari hasil diskusi, kajian literatur, dan masukan dari pemangku
kepentingan terkait selama proses perumusan Strategi Pencegahan Pernikahan
Anak.
1. Tahapan pelaksanaan
Proses untuk pelaksanaan Strategi Pencegahan Pernikahan Anak
dirancang dalam bentuk siklus yang terdiri atas 5 (lima) tahap.
Tahap 1: Pemetaan Kondisi Daerah/Provinsi
Tahap 2: Pembangunan Komitmen Bersama untuk pencegahan Perkawinan
Anak
Tahap 3: Perencanaan dan penganggaran untuk strategi pencegahan
pernikahan anak
Tahap 4: Pelaksanaan Upaya pencegahan perkawinan Anak
Tahap 5: Monitoring dan Evaluasi
2. Pendekatan Pelaksanaan
Terdapat 3 (tiga) pendekatan yang dapat menjadi pedoman pelaksanaan
strategi pencegahan pernikahan anak di tingkat daerah, yaitu: 1) Pendekatan
Penguatan; 2) Pendekatan Akselerasi; dan 3) Pendekatan Konsolidasi. Ketiga
pendekatan ini dirumuskan dengan perhitungan angka absolut perkawinan anak
di setiap provinsi. Ketiga pendekatan tersebut diharapkan dapat menjadi opsi
pelaksanaan strategi pencegahan pernikahan anak yang dapat diadaptasi sesuai
konteks dan kebutuhan daerah, serta memberikan pilihan intervensi sesuai
sumber daya yang tersedia.

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Arah kebijakan pembangunan nasional perlindungan anak adalah
terwujudnya lndonesia layak anak melalui penguatan sistem perlindungan
anak yang responsif terhadap keberagaman dan karakteristik tempat
tinggal anak. Tujuannya adalah memastikan anak menikmati haknya.
2. Pada tahun 2020 target catin terbimbing sebanyak 149.646 pasang dan
terealisasi sebesar 67% atau sebanyak 100.263 pasang. Tahun 2021
target catin terbimbing 149.646 pasang dan terealisasi sebesar 84% atau
sebanyak 125.703 pasang.
4.2. Saran
Pencegahan dan penghapusan perkawinan usia anak dapat dilakukan
melalui beberapa strategi kebijakan sebagai berikut:
1. Peningkatan Kegiatan Sosialisasi dan Diseminasi
2. Mempercepat Penerbitan Peraturan Teknis Pencegahan Perkawinan Usia
Anak
3. Konsistensi Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung
4. Peninjauan Kembali Perda
DAFTAR PUSTAKA

Bastomi, H., 2016. Pernikahan Dini Dan Dampaknya (Tinjauan Batas Umur
Perkawinan menurut Hukum Islam Dan Hukum Perkawinan Indonesia).
YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 7(2), pp.354-384.
Nabila, D., 2019. PERAN UNICEF DALAM MENGURANGI ANGKA
PERNIKAHAN DINI DI JAWA TIMUR PADA TAHUN 2011-2012 (Doctoral
dissertation, University of Muhammadiyah Malang).
Oktaviani, M. and Aryani, M.I., 2021. PERAN UNICEF DALAM MENANGANI
CHILD MARRIAGE DI INDIA TAHUN 2014-2016. NUSANTARA: Jurnal
Ilmu Pengetahuan Sosial, 8(2), pp.387-401.
Rifiani, D., 2011. Pernikahan dini dalam perspektif hukum islam. Journal de Jure,
3(2).

Anda mungkin juga menyukai