Anda di halaman 1dari 10

URGENSI ETIKA LINGKUNGAN HIDUP

YOHANES FIRMAN GILI


1121305003

BAB I

1.1 PENDAHULUAN
Krisis lingkungan hidup yang dihadapi manusia modern merupakan akibat
langsung dari pengelolaan lingkungan hidup yang nir-etik.Artinya, manusia melakukan
pengelolaan sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran etika.Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi umat manusia berakar dalam krisis
etika atau krisis moral.Umat manusia kurang peduli pada norma-norma kehidupan atau
mengganti

norma-norma

yang

seharusnya

dengan

norma-norma

ciptaan

dan

kepentingannya sendiri.Manusia modern menghadapi alam hampir tanpa menggunakan


hati nurani.Alam begitu saja dieksploitasi dan dicemari tanpa merasa bersalah.Akibatnya
terjadi penurunan secara drastis kualitas sumber daya alam seperti lenyapnya sebagian
spesies dari muka bumi, yang diikuti pula penurunan kualitas alam. Pencemaran dan
kerusakan alam pun akhirnya mencuat sebagai masalah yang mempengaruhi kehidupan
sehari-hari manusia
Tidak bisa disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi
sekarang ini, baik pada lingkungan global maupun lingkup nasional, sebagian besar
bersumber dari perilaku manusia. Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan
bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya
mementingkan diri sendiri (egoisme).
Kasus illegal logging, illegal fishing, eksploitasi pasir, Kasus pencemaran
lingkungan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia, PT Inti Indorayon Utama, PT
Newmont, illegal logging, okupasi lahan kawasan hutan, hingga kasus-kasus korupsi
birokrasi dan kasus lingkungan yang terkait dengan liberalisasi perdagangan global,
semuanya berkaitan dengan masalah etika. Masalah moral. Terutama berkaitan dengan
kerakusan dan kelicikan manusia, perusahaan (korporasi) maupun negara dalam
mengeksploitasi alam.

Keraf (2002) mengatakan bahwa krisis lingkungan global bersumber pada


kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang mengenai dirinya,
alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kesalahan cara pandang ini
bersumber dari etika ekosentrisme yang memandang manusia sebagai alam semesta.
Manusia, dalam pandangan etika yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf Barat
modern, dianggap berada di luar dan terpisah dengan alam. Alam sekedar alat pemuas
manusia. Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa
Alam sebetulnya mempunyai hak untuk eksis. Itulah hak asasi alam. Tidak hanya
manusia yang berhak untuk eksis di bumi. Oleh karena itu perlu ada sinergi antara alam
dan manusia. Sehingga, Keraf (2002) mengharapan adanya gerakan bersama berbagai
pihak untuk mewujudkan etika lingkungan hidup yang dapat merawat bumi menjadi
tempat yang nyaman bagi semua kehidupan.
1.2.

Rumusan masalah

1. bagaimana problematikalinkungandan alternatif solusinya?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 pengertian ekosentrisme
Model ekosentrisme adalah model yang penekanannya atas pendobrakan cara
pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas
manusia. Jadi, ide dari model ini adalah memperluas keberlakuan etika untuk komunitas
yang lebih luas.
2.2. KRISIS LINGKUNGAN DAN ETIKA EKOSENTRISME
Krisis lingkungan terjadi dimana-mana. Degradasi kualitas sumberdaya alam semakin
mengerikan. Celaknya, manusia modern tidak mampu menahan laju dengadasi lingkungan
ini. Hukum lingkungan tidak berdaya dalam mencegah dan menangulangi pencemaran dan
kerusakan lingkungan, disebabkan karena cara pandang yang salah terhadap alam. Etika
ekosentrisme menurut Keraf (2002) cenderung mangantarkan perilaku manusia yang
ekspolitatif terhadap alam dapat dilihat dari beberapa fakta berikut :
a. Kepentingan politik dan kekuasaan masih lebih mendominasi proses peradilan. Bencana
lumpur panas Lapindo bisa menjadi salah satu contoh. Hingga setahun lebih kasus yang
menyengsarakan masyarakat Porong, Sidoarjo ini, proses peradilannya belum jelas.
Dugaan kuat karena pemilik PT. Lapindo Brantas adalah pejabat tinggi di negeri ini.
Dalam sistem kapitalisme,ketika pengusaha menjadi penguasa maka tidak jarang
kepentingan publik akan dikorbankan. (Mukhamadun, Jurnal Respublika, Nopember
2006). Kondisi seperti ini mengakibatkan belum adanya law enforcement dan law of
justice (penegakan hukum dan penegakan keadilan).
Semestinya

harus

ada

proses

hukum

yang

fair

atas

kasus

seperti

ini,

sehinggaproses hukum dan denda dilakukan sebagaimana UU 23/1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 41 46. Sesuai dengan prinsip polluters must
pay pihak-pihak yang terbukti dalam peradilan melakukan tindakan pencemaran atau
kerusakan lingkungan harus membayar ganti rugi dan melakukan reklamasi. Namun

hinga saat ini ribuan masyarakat Porong yang kehilangan tempat tinggal, kehilangan
pekerjaan serta anak-anak mereka tidak bisa sekolah, belum mendapatkan keadilan.
b. Mafia Peradilan dan Tekanan Pemodal. perusahaan-perusahaan asing multinasional
banyak sekali menerapkan standar ganda sekaligus menggunakan superioritas ekonomi
dan politik untuk melindungi kepentingan bisnisnya di negara-negara sedang
berkembang. Hal ini menjadi salah satu penyebab utama krisis lingkungan hidup. Kasuskasus kejahatan lingkungan seringkali endingnya tidak membawa rasa keadilan Contoh
ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat adalah bebasnya bos PT Newmont.
Pengadilan Negeri Manado memutuskan, PT Newmont Minahasa Raya (PT NMR), anak
perusahaan dari Newmont Mining Corporation, dan Presiden Direkturnya, Richard Ness,
tidak bersalah atas seluruh dakwaan pencemaran dan pelanggaran atas peraturan yang
berlaku.
c. Konflik kepentingan berbagai sektor akibat kerakusan dan kelicikan. Diijinkannya 13
perusahaan pertambangan beroperasi di kawasan lindung melalui PP 2/2008, dengan
model pertambangan terbuka bisa menjadi contoh. Pihak pertambangan hanya
berpedoman PP 2/2008, Perpu Nomor 1 Tahun 2004 dan Keppres Nomor 41 Tahun 2004,
tanpa memperhatikan prinsip-prinsip konservasi seperti dalam UU Nomor 5/1990 tentang
Konservasi Sumberdaya alam dan Ekosistemnya, juga UU Nomor 23/1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Eksploitasi tambang dalam kawasan Hutan Lindung
dipastikan akan berdampak negatif bagi lingkungan. Fungsi hutan sebagai pendukung
perekonomian masyarakat pun akan hilang menyusul penguasaan kawasan itu oleh pihak
swasta. Disamping itu hilangnya fungsi daerah resapan air akan terjadi seiring dengan
hilangnya hutan yang menjadi lapisan penutup tanah. Fungsi hutan sebagai tempat hidup
keragaman hayati dan penyeimbang iklim juga akan terganggu.
Kalau kita jujur, ternyata aktor-faktor pendorong kerusakan lingkungan di atas
sangat berkaitan dengan etika. Lebih lanjut kita bisa melihat bahwa etika yang salah akan
menjadi driving factor kerusakan lingkungan. Misalnya :
a. Etika Developmentalisme dan Liberalisasi Ekonomi.

Pembangunan memang tidak saja menghasilkan manfaat, melainkan juga


membawa resiko. Pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan.
Interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk system ekologi yang
disebut ekosistem.. Hanya saja, investasi besar di bisnis pertambangan juga menuai
kerusakan lingkungan yang luar biasa dahsyatnya. Oleh karena itu kalau tidak ada
langkah-langkah kongkrit pelestarian alam oleh berbagai negara maka eksistensi bumi
bisa terancam. Kerusakan lingkungan akan diperparah dengan adanya liberalisasi
perdagangan. Keraf (2002) menyebutkan adanya keterkaitan erat antara liberalisasi
perdagangan dengan kerusakan lingkungan di negara-negara berkembang. Negara-negara
dunia ketiga seperti Indonesia biasanya mengambil jalan termudah dalam menghadapi
persaingan global, dengan cara menggadaikan kekayaan alamnya untuk dieksploitasi.
Keraf (2002) juga menegaskan bahwa etika developmentalisme telah mengilhami ide
utang luar negeri. Utang luar negeri telah mengantarkan dunia ketiga termasuk Indonesia
pada kerusakan sumberdaya alam dan lungkungan yang sangat parah.
Eksploitasi di sektor pertambangan, bisa dijadikan contoh buruknya pengelolaan
lingkungan hidup. Dengan besarnya potensi tambang ditambah aturan-aturan yang
liberal,

Indonesia

dengan

mudah

menarik investor

asing

untuk

menanamkan

modalnya.Tahun 1967 PT Freeport Indonesia (FI) memulai dengan Kontrak Karya


generasi I (KK I) untuk konsesi selama 30 tahun. Pemerintah Indonesia (dalam rangka
menarik investor asing) memberikan insentif bebas pajak dan royalti yang tidak terlalu
besar, maka tercatat 16 perusahaan asing ikut dalam KK II. Pada tahun 1988, secara tak
terduga FI menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg, diperkirakan
mencapai 72 juta tons. Kemudian mereka mengajukan pembaharuan KK selama 30 tahun
dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun.
b. Sikap dan perilaku destruktif.
Keutuhan lingkungan banyak tergantung pada kearifan manusia dalam mengelola
sumberdaya alam. Individu, kelompok masyarakat, pengusaha damn pemerintah
semstinya peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup dan fungsi lingkungan hidup.
Namun sering kali sikap hidup manusia justru sangat destruktif terhadap lingkungannya.
Misalnya kebiasaan membuang sampah tidak pada tempatnya. Kebiasaan buruk ini bisa
berdampak

pada

lingkungan

kesehatan,

pemandangan

yang

tidak

menarik,

mengakibatkan tersumbatnya saluran air dan lain-lain. Kebiasaan melakukan penebangan


hutan tanpa mengindahlkan prinsip pengelolaan hutan lestari telah mengakibatkan laju
deforestari (pengundulan hutan) yang luar biasa. Setidaknya 2,5 juta ha/th hutan
terdegradasi (www.dephut.go.id)
Kebiasaan pengusaha pertambangan terbuka (open mining) yang tidak sungguh-sungguh
melakukan reklamasi juga mengakibatkan kerusakan lingkungan dan pencemaran yang
sangat parah. Seperti eksploitasi pasir di Kepri, pertambanagn Timah di Dabo-Singkep,
Pertambangan Batubara di Kalimantan Selatan, Pertambangan Emas dan Tembaga di
Papua.
2.3. ALTERNATIF SOLUSI
Menyadari berbagai problematika lingkungan di atas, beberapa alternatif solusi
sebagai berikut :
a. Politik Lingkungan yang Dilandasi Etika Lingkungan.
Komitmen politik Global yang telah disepakati dalam KTT Bumi tahun 1992 di Rio de
Janeiro berupa paradigma pembangunan berkelanjutan semestinya juga ditindaklanjuti
dengan paradigma keberlanjutan ekologi. Karena jika hanya terfokus pada paradigma
pembangunan berkelanjutan, dikhawatirkan dunia akan kembali terjebak pada etika
developmentalisme yang terbukti sangat eksploitatif dengan alasan pembangunan.
Developmentalisme menurut Wolgang Sach dalam Keraf (2002) telah menjebak banyak
negara di dunia. Hasli yang diperoleh adalah kehidupan yang tetap memprihatinkan di
negara dunia ketiga. Yang tercipta kemudian jurang yang menganga antara segelintir
orang yang kaya dengan mayoritas rakyat yang miskin, kehancuran lingkungan, dan
tergusurnya budaya lokal. Oleh karena itu, disinilah urgensinya Pengelolaan Lingkungan
dilandasi atas ideologi yang benar serta paradigma keberlanjutan ekologi yang luas
sebagai alternatif dari konsep pembangunan berkelanjutan.

c. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).


Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) akan menentukan
sejauhmana tujuan penyelenggaraan pemerintahan itu bisa dicapai dan diwujudkan.
Konsep ini diharapkan bisa mencegah munculnyaconflict of interest antar penyeleggara
pemerintahan. Selanjutnya diharapkan juga akan menekan korupsi birokrasi. Sehingga
akan

menyelamatkan

sumberdaya

alam.

Konsep

ini

mensyaratkan

beberapa

hal. Pertamapemerintahan harus berjalan secara efektif. Kedua pemerintah itu sendiri
harus tunduk pada aturan yang berlaku. Selama tidak ada kepastian hukum , selama itu
pula tidak mungkin bisa dijamin ada pemerintahan yang baik.Ketiga, pemerintah berdiri
tegak sebagai wasit dan penjaga aturan hukum demi menjamin kepentingan bersama
seluruh rakyat. Keempat, perlu dijamin lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah
berfungsi secara maksimal dan efektif. Sehingga fungsi social kontrol bisa optimal.
d. Penegakan Hukum Lingkungan
Penegakan Hukum Lingkungan merupakan aspek penting yang perlu dibahas tersendiri.
Aspek ini sangat terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Langkah yang
harus ditempuh adalah : pertama, reformasi legislasi. Peraturan perundangan yang tidak
pro lingkungan dan tidak pro publik harus ditinjau ulang. Undang-undang Sumberdaya
Air, Undang-undang Penanaman Modal Asing, PP 2/2008 dll, semestinya ditinjau
kembali untuk kepentingan penyelamatan sumberdaya alam dan lingkungan. Karena bila
substansi peraturan perundangan tidak menjamin kepentingan lingkungan hidup dan tidak
pro rakyat, maka akan terjadi pembangkangan rakyat (civil disobedience) dalam
mematuhi peraturan perundang-undangan tersebut.Kedua, reformasi pengadilan (judical
reform). Prinsip independensi pengadilan, prinsip profesionalitas, prinsip akuntabilitas,
prinsip partisipasi, prinsip transaparansi dan prinsip aksesibilitas harus dapat
duwujudkan.Ketiga, reformasi apartur penegak hukum (enforcement apparatur reform).

KESIMPULAN
menyelesaikan problematika lingkungan seakan hanya sebuah ide utopia. Mengapa
demikian? Keraf (2002) di akhir buku Etika Lingkungan, hanya menawarkan konsep kembali
pada kearifan lokal masyarakat adat. Mampukah masyarakat adat menghadapi globalisasi
kapital? Karena tren peradaban dunia justeru makin kapitalistik. Etika ekosentrisme makin
mendominasi kehidupan umat manusia. Ideologi developmentalisme kian menemukan
momentumnya, saat para pengusaha hitam menjadi penguasa. Terjadilah konspirasi antara
penguasa dan pengusaha dengan korporasinya.
Namun demikian, konsep etika lingkungan jika dilaksanakan secara komprehensip
baik pada tataran individu, publik maupaun negara tetap memberi secercah harapan bagi
upaya penyelamatan sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh karena itu yang harus diambil
adalah pilihan yang berlandaskan pada etika ekonomi sekaligus etika ekologi. Konsep valuasi
ekonomi sumberdaya alam, yang menilai secara komprehensip sumber daya alam.

DAFTAR PUSTAKA
Djajadiningrat, S.T, 2001. Pemikiran, Tantangan, dan Permasalahan Lingkungan. Studio Tekno
Ekonomi ITB. Bandung.
Djojohadikusumo, S.1993. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan.
LP3ES. Jakarta
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Keraf, S.A. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta
McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
.Terjemahan
Mukhamadun, 2006. Lumpur Lapindo Akar Masalah dan Alternatif Solusinya dalam Perspektif
Hukum Lingkungan. Jurnal Hukum Respublika Vol.6 No.1, Nopember 2006.hal 12-20
Sale, K.1996. Revolusi Hijau. Diterjemahkan oleh Matheos Nalle. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta.
Syafitri, M. at al. 2005. Dibawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam. Suara BebasYayasan Kehati. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai