http://megadisaster.blogs.uny.ac.id/2017/03/22/resume-buku-community-development-karya-
jim-ife-dan-frank-tesoriero/
Gagasan utama buku ini adalah mengenai pendekatan pembangunan berbasis masyarakat yang
berlandaskan pada perspektif ekologis dan hak asasi manusia (HAM), sebagai alternatif jalan
keluar dari krisis ekologis dan keadilan sosial/HAM yang terjadi di semua belahan dunia.
Kebutuhan akan altenatif tersebut dinilai justru semakin terasa signifikansinya di era globalisasi
ini. Dalam membangun argumentasinya, buku ini berangkat dari kritik terhadap dua isu di
tataran makro, yaitu: krisis negara kesejahteraan, dan pendekatan pembangunan yang
menimbulkan kerusakan ekologis dan melanggar HAM. Namun, --menurut amatan saya-- kedua
penulis juga sekaligus mengkritisi dua isu penting lainnya, yaitu di tataran meso adanya
‘kesalahan’ dalam memaknai dan melakukan upaya community development atau pengembangan
masyarakat (baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta/perusahaan, NGO, maupun oleh
masyarakat sendiri), serta di tataran mikro yaitu kelemahan terkait dengan values, orientasi, dan
kompetensi/keterampilan pada diri pekerja masyarakat yang terlibat dalam upaya tersebut. Buku
ini secara komprehensif dan ‘provokatif’ mengajak untuk melakukan pemaknaan ulang atas
gagasan pengembangan masyarakat, sebagai jalan ‘mendekonstruksi’ dan membumikan gagasan
tersebut, untuk memberdayakan masyarakat (dan manusia) pada akhirnya.
Ife dan Tesoriero tampaknya bersepakat dengan sejumlah penulis lain yang menilai bahwa krisis
sumberdaya/fiskal di negara kesejahteraan ala Barat telah menimbulkan perlambatan ekonomi
yang makin membebani pemerintah di negara-negara tersebut. Akibatnya, terjadi pengurangan
jenis, jumlah dan mutu layanan publik. Atas dasar itu negara kesejahteraan dianggap sudah tidak
sanggup lagi memenuhi janji mereka akan kesejahteraan rakyatnya (Hal. 5-6). Dalam bahasa
yang lebih lugas, tesis negara kesejahteraan dapat dikatakan telah gagal karena asumsi-
asumsinya tidak mendukung pada prospek keberlanjutan gagasan itu sendiri (Hal. 20). Selain itu,
negara kesejahteraan juga dinilai telah memberi dampak negatif bagi masyarakat, diantaranya
adalah memandulkan modal sosial yang ada di masyarakat, dan menumbuhkan ‘ketergantungan
pada orang asing’, karena hampir semua kebutuhan masyarakat diurus oleh negara melalui
beragam tenaga professional sebagai perpanjangan tangan Negara (Hal. 35-40). Mengutip
Dobson (1995), pendekatan berbasis masyarakat kepada layanan-layanan kemanusiaan adalah
konsisten dengan gagasan dari suatu sistem ‘negara pasca-kesejahteraan’ (Hal. 26). Setelah
institusi keluarga, institusi agama, pasar dan negara dianggap kurang berhasil memenuhi layanan
masyarakat, Ife dan Tesoriero menganggap sekaranglah giliran ‘komunitas’ memikul tanggung
jawab utama untuk menyampaikan provisi layanan dalam bidang seperti kesehatan, pendidikan,
perumahan dan kesejahteraan” (Hal. 25-26).
Selanjutnya, Ife dan Tesoriero mengikuti kelompok pemikiran the Green dalam melihat masalah-
masalah lingkungan hidup. Berbeda dengan kalangan pecinta lingkungan hidup tradisonal yang
mengedepankan pendekatan konservatif yang lebih konvensional, Green menggunakan
pendekatan yang mendasar dan radikal, yaitu perspektif ekologis, yang melihat masalah
lingkungan hanyalah merupakan gejala dari masalah mendasar yang lebih penting, yaitu sebagai
konsekuensi dari suatu orde sosial, ekonomi dan politik yang secara mencolok tidak
berkelanjutan, dan karenanya orde tersebut harus diubah (Hal. 55-56). Pandangan Green ini
banyak dipengaruhi oleh pemikiran kaum eko-sosialisme, eko-anarkhisme, eko-feminisme, eko-
luddisme, anti pertumbuhan, ekonomi Green, kerja dan pasar tenaga kerja, pembangunan global,
eko-filosofi, dan pemikiran paradigma baru (Hal. 56-86). Dari pengaruh lingkaran pemikiran
tersebut, saya melihat kecenderungan Green untuk menggunakan paradigma konflik dalam
menganalisis masalah sosial yang ada, juga dari banyak rujukannya yang menggunakan
argumentasi dari penulis teori sosial kritikal, seperti Paulo Freire dan Ivan Illich, serta para
pemikir dari tradisi Marxis lainnya.
Gagasan inti dari perspektif ekologis tadi tergambar dari empat prinsip ekologis yang mereka
tawarkan, yaitu: (a) Holisme, yang memaknai bahwa setiap kejadian atau fenomena harus dilihat
sebagai bagian dari keseluruhan, dimana ada interdependensi, integrasi dan sintesis. Sehingga,
harus dibuat kaitan yang terpadu antara pengetahuan dan aksi, teori dan praktek, serta fakta dan
nilai. Prinsip ini melahirkan filosofi ekosentris yang menghormati kehidupan alam, menolak
solusi linier, dan menginginkan perubahan organik (Hal. 91-92); (b) Keberlanjutan, berarti
sistem-sistem dan sumber daya harus mampu dipertahankan dan dimanfaatkan dalam jangka
panjang, yang diwujudkan pada orientasi konservasi, mengurangi konsumsi, mengembangkan
ekonomi tanpa pertumbuhan, membatasi perkembangan teknologi, dan anti kapitalisme (Hal. 93-
95); (c) Keanekaragaman, yang dengannya berbagai sistem alam diyakini mampu berkembang,
beradaptasi dan tumbuh. Konsekuensinya adalah pentingnya penghargaan atas perbedaan, tidak
ada jawaban tunggal untuk semua masalah, desentralisasi, komunikasi jejaring dan lateral, dan
teknologi tingkat rendah (Hal. 95-98); dan (d) Kesimbangan, yang menekankan pentingnya
hubungan antara sistem-sistem dan kebutuhan untuk menjaga suatu keseimbangan diantara
sistem tersebut, yaitu keterhubungan dan perpaduan global-lokal, hak-tanggungjawab, gender,
perdamaian dan kooperasi (Hal. 98-100).
Dari keempat prinsip tersebut, saya cenderung melihat Green menggunakan paradigma
strukturalis fungsional dalam menganalisis masalah ‘internal’ ekologis sebagai sebuah sistem.
Namun tampak jelas mereka berupaya keras membedakannya dengan apa yang diusung oleh
teori-teori modernisasi (yang juga lahir dari paradigma strukturalis fungsional), yang meyakini
adanya perubahan linier, top-down dan seragam serta berambisi mengejar pertumbuhan ekonomi
(yang dalam perspektif Green telah dianggap gagal karena tidak berkelanjutan). Turunan dari
prinsip-prinsip di atas adalah bahwa pembangunan harus merupakan perubahan dari bawah
(bottom-up), yang didasarkan pada pemanfaatan potensi dan sumberdaya lokal, menghargai
keanekaragaman lokal-lokal tersebut, dan memberi peluang tiap-tiap lokal untuk tumbuh sesuai
kebutuhannya (Hal. 282). Dalam hal ini, model pengembangan masyarakat menjadi solusi
alternatif yang sangat logis dan ‘nyambung’ dengan perspektif ekologis tadi. Meskipun
demikian, hal tersebut masih dipandang belum cukup, karena perspektif ekologis dipandang
tidak cukup mampu memberi perhatian dan mengatasi masalah yang terkait dengan pemenuhan
keadilan dan hak-hak dasar manusia (Hal. 100-101).
Saling melengkapi dengan perspektif ekologis tadi adalah perspektif keadilan sosial dan HAM.
Berkaitan dengan isu HAM, pengembangan masyarakat lebih condong pada kombinasi antara
perspektif struktural dan post-struktural, dibandingkan pada perspektif individual maupun
reformis kelembagaan (Hal. 114-115). Karenanya, ketidakadilan dilihat lebih sebagai akibat dari
adanya struktur yang merugikan/opresi terhadap kelas, ras, gender, distribusi pendapatan,
kekuasaan, dsb., dibandingkan karena kesalahan individu atau ketidakberfungsian lembaga.
Ketidakadilan juga dilihat sebagai akibat dari modernitas, dominasi dan kekerasan melalui
bahasa, wacana, pengetahuan, dsb. Upaya mewujudkan keadilan --sebagai lawan dari
ketidakdilan tadi--, akan berkaitan erat dengan hak-hak, yang dalam hal ini HAM merupakan hak
yang dianggap paling dasar dan bersifat universal (Hal. 116, 118, dan 121).
Ife dan Tesoriero berpandangan bahwa HAM merupakan komponen vital dalam pengembangan
masyarakat, dimana proses pengembangan masyarakat tersebut seharusnya juga berarti
penegasan HAM, memungkinkan orang mewujudkan dan melaksanakan HAM mereka, dan
terlindung dari pelanggaran HAM (Hal. 122). Mewujudkan HAM sebagai kerangka bagi
pengembangan masyarakat berarti mengupayakan terbangunnya suatu kebudayaan HAM yang
kuat, yang sangat mungkin membutuhkan upaya dan waktu yang tidak sedikit (Hal. 125-126).
Dalam hal ini, gagasan pemberdayaan (empowerment) merupakan gagasan sentral dalam strategi
keadilan sosial dan HAM. Ife dan Tesoriero memaknai pemberdayaan sebagai upaya
meningkatkan keberdayaan dari mereka yang dirugikan (the disadvantaged) akibat kelas, gender
dan ras/etnisitas, maupun kelompok dirugikan lainnya seperti perempuan, masyarakat
adat/pribumi, kelompok etnis minoritas, kaum miskin, dll.
Pengembangan masyarakat bukanlah gagasan baru. Dalam hal ini, Ife dan Tesoriero --
menggunakan kerangka analisis di atas-- menilai upaya pengembangan masyarakat yang selama
ini banyak dilakukan oleh berbagai kalangan telah gagal dan justru menyebabkan
berkembangnya sikap pesimis dan skeptis terhadap kelayakan gagasan tersebut. Sebabnya jelas,
yaitu karena menempatkan pengembangan masyarakat dalam skema proyek dan mengandalkan
tenaga professional eksternal yang tidak sejalan dengan semangat dasar dari pengembangan
masyarakat itu sendiri. Dalam buku ini, dengan lugas Ife dan Tesoriero mengkritik keras model
pengembangan masyarakat berformat program/proyek tersebut:
“Terdapat banyak proyek atau lembaga konsultansi yang berjalan hanya untuk beberapa bulan,
biasanya dengan seorang pekerja eksternal, dan hal tersebut secara naïf diharapkan untuk
membuat sebuah perbedaan besar pada kehidupan suatu masyarakat. Proyek-proyek seperti ini
seringkali sia-sia dan tidak berhasil, dan menyebabkan laporan-laporannya tidak berguna dan
berbagai struktur masyarakat yang gagal. Akibatnya, proyek-proyek ini memberikan reputasi
buruk pada pengembangan masyarakat” . (Ife dan Tesoriero, 2008:671)
Mengkaitkan antara berbagai perspektif tadi dengan komunitas, Ife dan Tesoriero menyatakan
bahwa perspektif keadilan sosial dan HAM sesungguhnya menyediakan suatu visi dari apa yang
secara sosial diinginkan yaitu sebuah masyarakat yang didasarkan atas definisi dan penjaminan
hak-hak, kesetaraan, pemberdayaan, yang mengalahkan opresi struktural dan keadaan yang
merugikan, kebebasan menentukan kebutuhan dan terpenuhinya kebutuhan tersebut, dan
seterusnya (Hal. 190). Sementara, perspektif ekologis meyediakan visi dari apa yang layak, dan
menguraikan jenis masyarakat yang dapat hidup dalam jangka panjang, yaitu masyarakat yang
didasarkan atas prinsip-prinsip holism, keberlanjutan, keanekaragaman dan keseimbangan (Hal.
190). Konsekuensi alamiah dari premis-premis kedua perspektif tadi adalah menempatkan
komunitas sebagai basis pengembangan masyarakat (Hal. 190).
Jenis komunitas yang dipandang lebih cocok untuk pendekatan pengembangan masyarakat
adalah komunitas geografis (Hal. 196). Penilaian tersebut berdasarkan ciri-ciri komunitas yang
diajukan Ife dan Tesoriero, yaitu: (a) Komunitas melibatkan interaksi pada skala yang mudah
dikendalikan individu-individu; (b) Didalamnya ada sebentuk rasa ‘memiliki’, diterima dan
dihargai yang membentuk rasa identitas pada seseorang; (c) Ada tuntutan kewajiban dan
kontribusi pada anggotanya; (d) Sebagai Gemeinschaft, interaksi tidak bersifat kontraktual dan
dapat saling berkontribusi bagi kepentingan bersama; (e) Memungkinkan pemberian nilai,
produksi dan ekspresi dari suatu kebudayaan lokal berbasis masyarakat yang mendorong adanya
keanekaragaman dan partisipasi yang lebih luas (Hal. 191-194).
Berangkat dari analisis maupun prinsip-prinsip yang telah diuraikan di atas, Ife dan Tesoriero
mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai proses pembentukan, atau pembentukan
kembali, struktur-struktur masyarakat manusia yang memungkinkan berbagai cara baru dalam
mengaitkan dan mengorganisasi kehidupan sosial serta pemenuhan kebutuhan manusia (Hal. 3).
Pengembangan masyarakat harus bersifat holistik --tidak hanya berdimensi tunggal, seperti
hanya menekankan dimensi ekonomi yang terbukti gagal--, dimana terdapat 6 dimensi paling
penting yang harus dilaksanakan secara seimbang, yaitu: dimensi pengembangan sosial,
ekonomi, politik, budaya, lingkungan, personal/spiritual (Hal. 410-482).
Selain itu, penekanan pengembangan masyarakat diarahkan lebih pada proses dan bukan hasil.
Pendekatan ini memerlukan reorientasi khususnya bagi pekerja masyarakat yang umumnya
terbiasa mengukurnya dari hasil (Hal. 335). Pengembangan masyarakat adalah perjalanan
discovery (penjelajahan), dimana ketika terjadi atau menemui hal-hal yang tidak diharapkan,
maka itu adalah peluang baru untuk belajar dan berkembang (Hal. 336). Seorang pekerja
masyarakat yang sejak awal sudah mematok hasil yang jelas dari upayanya itu justru merupakan
pekerja yang tidak memberdayakan masyarakat (disempowering community) karena justru akan
menjauhkan masyarakat dari kontrol atas proses dan penentuan arah pengembangannya (Hal.
337). Dalam hal ini, sarana dan tujuan pengembangan masyarakat dipandang sebagai bukan
sebagai dua hal yang terpisah. Sekedar mencapai tujuan pelestarian ekologis, keadilan sosial dan
HAM tidak berarti apapun, dan hanya akan berarti jika proses itu sendiri mencerminkan prinsip-
prinsip dasar pengembangan masyarakat (Hal. 341).
Ifo dan Tesoriero juga menegaskan, bahwa proses pengembangan masyarakat tidak dapat
dipaksakan dari luar, sebagaimana yang umum terjadi selama ini. Keterlibatan masyarakat hanya
dapat dicapai dari partisipasi penuh mereka. Proses pengembangan masyarakat harus menjadi
proses masyarakat yang dimiliki, dikuasai, dan dilangsungkan oleh masyarakat sendiri (Hal.
342). Mengutip Putnam (1993), bahwa semua pengembangan masyarakat seharusnya bertujuan
membangun masyarakat, yang didalamnya melibatkan pengembangan modal sosial, memperkuat
interaksi sosial dalam masyarakat, menyatukan mereka, dan membantu mereka untuk saling
berkomunikasi dengan cara yang dapat mengarah pada dialog yang sejati, pemahaman dan aksi
sosial (Hal. 363). Sehingga, dalam kegiatan penelitian di masyarakat misalnya, model penelitian
yang cocok dengan prinsip dan praktik pengembangan masyarakat adalah participatory action
research (PAR), karena dianggap dapat menggabungkan penelitian tindakan dan kolaborasi (Hal.
607).
Terkait dengan tujuan pengembangan masyarakat tadi, partisipasi dipandang sebagai unsur
sentral dan vital dalam pengembangan masyarakat yang ‘bottom up’. Partisipasi memungkinkan
individu-individu memainkan peran kewarganegaraan dan bagi mereka terlibat secara kolektif
dalam proses-proses kewarganegaraan sosial (Hal. 123, 139). Partisipasi terkait dengan HAM,
karena mengaktifkan ide HAM, hak berpartisipasi dalam demokrasi dan memperkuat demokrasi
deliberatif. Seperti halnya pengembangan masyarakat, demokrasi deliberatif menghargai
kepakaran masyarakat, dan berupaya mencari peran bagi masyarakat dalam mendefinisikan
parameter-parameter permasalahan, dan tidak menempatkan pemerintah sebagai pakar yang
memiliki pengetahuan dan kebijakan yang superior (Hal. 294-295).
Pada akhirnya, menurut kedua penulis, sukses tidaknya upaya pengembangan masyarakat sampai
tingkat tertentu sangat dipengaruhi oleh peran dan kemampuan aktor penggerak yaitu pekerja
masyarakat yang terlibat aktif bersama masyarakat dalam upaya tersebut. Keduanya
berpandangan bahwa model profesionalisme pada pekerja masyarakat tidak cocok dengan
aktivitas kerja masyarakat. Bahkan, pendekatan profesionalisme bertentangan dengan
pengembangan masyarakat (Hal. 656, 658). Mengutip Ivan Illich, profesi-profesi cenderung
untuk memistifikasi, mengasingkan dan tidak memberdayakan para pengguna layanan (Hal.
657). Sederhananya, profesionalisme dapat menjebak pekerja masyarakat memainkan peran
‘dokter dan pasien’ ketika berhubungan dengan masyarakat. Konsekuensi logis dari penolakan
terhadap model professional spesifik bagi praktek kerja masyarakat adalah bahwa ide dari
kualifikasi pendidikan khusus kerja masyarakat juga harus ditolak (Hal. 660). Menurut Ife dan
Tesoriero, sesungguhnya ada banyak pengalaman pendidikan yang berbeda yang dapat
membantu untuk mempersiapkan seorang pekerja masyarakat untuk praktik (Hal. 660).
Mengikuti pemikiran Freire, proses belajar terbesar sesungguhnya justru melalui pertukaran
pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan bersama masyarakat.
Ife dan Tesoriero mengungkap paradox yang fundamental pada diri pekerja masyarakat, yaitu
“semakin lebih terampil, berpengalaman dan efektif seorang pekerja masyarakat, maka semakin
masyarakat tidak diberdayakan dalam proses pemberdayaan tersebut”. Hal ini terkait dengan
dilema mengenai bagaimana berperan serta dalam sebuah proses pengembangan dan peningkatan
kesadaran tanpa memaksakan nilai seseorang pada suatu masyarakat (Hal. 663-664). Kekuasaan
(power) dan dominasi menjadi isu dalam hal ini. Pengembangan masyarakat bukanlah sesuatu
yang bisa dicapai dengan cepat. Mustahil melaksanakan kerja masyarakat dalam waktu singkat.
Setidakya ada dua isu disini, yaitu lamanya waktu komitmen dari pekerja masyarakat (khususnya
pekerja masyarakat eksternal), dan terbatasnya orang atau organisasi yang mau membiayai atau
mengelola berbagai program pengembangan masyarakat dalam jangka panjang (Hal. 669-671)
Setelah menganalisis sejumlah kelemahan atau keterbatasan yang ada pada pekerja masyarakat,
Ife dan Tesoriero juga mengajukan karakteristik yang ‘harus’ ada pada pekerja masyarakat.
Menurut mereka, para pekerja masyarakat dituntut untuk memiliki kompetensi praxis
pengembangan masyarakat, yang dimaknai sebagai adanya kesatuan antara proses refleksi kritis,
analisis dan tindakan yang dilakukan secara bersamaan (Hal. 554). Keterampilan yang penting
‘dimiliki’ pekerja masyarakat, yaitu: analisis, kesadaran, pengalaman, belajar dari orang lain, dan
intuisi (Hal. 618-626). Selain itu, peran dan keterampilan memfasilitasi, mendidik, representasi,
dan keterampilan teknis lain juga sangat diperlukan. Termasuk kemampuan mengatasi dilema
moral dan mengembangkan jaringan pendukung dari berbagai pihak (Hal. 558-614, 673-674).
Penutup
Buku ini secara komprehensif telah menguraikan landasan pemikiran mengenai urgensi dari
pengembangan masyarakat ditengah krisis global saat ini. Gagasan alternatif yang ditawarkan
buku ini tidak hanya radikal dalam hal bagaimana model perubahan sosial dan pembangunan
dijalankan, tapi juga bagaimana model pengembangan masyarakat yang selama ini
dikembangkan harus dirombak total mulai dari prinsip, pendekatan, model sampai dengan sikap
dan keterampilan macam apa yang dibutuhkan untuk melaksanakan itu semua. Menurut saya,
jika harus diberi label baru --untuk membedakan dengan pendekatan lama--, pendekatan dalam
buku ini mungkin dapat disebut sebagai perspektif ‘baru’ pengembangan masyarakat atau ‘neo-
community development’. Gagasan kedua penulis mungkin juga dapat dikaitkan dengan
semangat perlawanan terhadap budaya dominan (counterculture) dan pembongkaran atas narasi-
narasi besar yang diusung oleh modernisme (postmodernism) yang muncul dan berkembang di
masyarakat Barat dalam beberapa dekade terakhir.
Gagasan buku ini dapat dianggap sebagai hipotesis ‘baru’ yang mungkin saja punya peluang
untuk dapat diwujudkan menjadi kenyataan, dalam arti gagasan mereka dapat menginspirasi dan
diadopsi oleh banyak komunitas dan/atau lembaga kemasyarakatan tertentu untuk melakukan
pengembangan masyarakat sesuai atau setidaknya mendekati apa yang dicita-citakan kedua
penulis tersebut. Namun ada sejumlah isu yang dalam pandangan saya menjadi titik kritis yang
perlu dicermati. Salah satunya, kedua penulis kurang membahas dan tidak menyatakan dengan
tegas tentang apa dan bagaimana peran negara (pemerintah) dalam pendekatan ‘neo-community
development’ ini. Pengembangan masyarakat dapat menjadi alternatif solusi atas masalah-
masalah sosial yang ada di masyarakat, seperti masalah kemiskinan, pengangguran, penanganan
masalah narkoba, dll. Namun kemampuan komunitas untuk menangani masalah sosial, ekonomi
dan politik yang lebih besar harus juga dipertanyakan. Padahal, dalam beberapa hal, pendekatan
top-down yang hanya dapat dilakukan oleh institusi setingkat negara mungkin juga masih
diperlukan. Kurangnya penjelasan dalam buku ini mungkin sepintas membuat gagasan kedua
penulis tersebut menjadi mirip dengan gagasan komunalisme yang menganggap masyarakat
terdiri dari bagian-bagian kecil, dimana negara hanyalah sekedar kumpulan dari komunal-
komunal tersebut, atau anarkhisme yang memandang negara sebagai institusi yang tidak
diinginkan, tidak diperlukan dan merusak.
Selain itu, gagasan Ife dan Tesoriero mungkin justru sulit diterima secara massif di negara-
negara berkembang. Kedua penulis hidup di negara ‘Barat’ (mereka berasal dari Australia), yang
sangat mungkin telah mengalami dan menyaksikan sendiri bagaimana gagasan negara
kesejahteraan itu muncul, tumbuh dan belakangan ini mulai tampak meredup. Sehingga ketika
konsep tersebut mulai berkurang daya tariknya, gagasan-gagasan alternatif menjadi logis untuk
dimunculkan. Namun, bagaimana dengan negara-negara yang bukan ‘penganut’ negara
kesejahteraan? Dalam konteks negara yang ‘sedang berkembang’ macam Indonesia, dimana
masalah-masalah sosial seperti tingginya kemiskinan, pengangguran, eksklusi sosial dan
rendahnya akses dan kualitas pemenuhan kebutuhan dasar masih dialami oleh sejumlah besar
warga negara, gagasan negara kesejahteraan cenderung masih dianggap sebagai ‘model ideal’
sebuah negara yang peduli dan aktif melayani kebutuhan warga negaranya. Indikasinya, sejauh
yang saya ketahui, dapat dijumpai di banyak analisis dan pendapat para ahli di berbagai media
ilmiah maupun populer, atau bahkan di ruang-ruang kuliah ketika para dosen dengan
bersemangat membandingkan antara pelayanan sosial yang ada Indonesia dengan negara yang
menjalankan model negara kesejahteraan. Artinya, dalam kondisi demikian sangat mungkin
kalangan intelektual akademis di Indonesia tidak akan menyambut gagasan Ife dan Tesoriero
dengan antusiasme yang memadai.
Hal lain yang juga mungkin akan menyulitkan gagasan ini dapat dilaksanakan secara penuh
adalah tingginya standar kompetensi yang diharapkan ada pada diri pekerja masyarakat. Tidaklah
mudah untuk menjadi atau dapat menemukan orang-orang semacam ‘nabi komunitas’ yang
memiliki kemauan, kekuatan moral, kepribadian, pemahaman ilmu-ilmu sosial, kepemimpinan,
kemampuan manajerial, keterampilan dan dukungan sumber daya seperti yang diharapkan oleh
buku tersebut. Sementara peran pekerja masyarakat (baik yang muncul dari dalam maupun dari
luar komunitas) tampaknya memegang peran strategis, maka keterbatasan jumlah dan sebaran
pekerja masyarakat tentunya akan mengurangi peluang keberhasilan upaya pengembangan
masyarakat tadi secara luas, mengingat proses pengembangan masyarakat membutuhkan waktu
yang tidak sebentar.
Meskipun demikian, menurut saya, buku ini memberikan kontribusi yang sangat penting dalam
membangun visi tentang bagaimana masyarakat mampu memberdayakan dirinya sendiri tanpa
tergantung pada bantuan dari aktor eksternal. Gagasan dalam buku ini juga dapat menjadi bahan
refleksi seluruh pihak tentang bagaimana struktur, proses dan kultur masyarakat
yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Gagasan mengenai pengembangan masyarakat dan
pekerja masyarakat yang ‘ideal’ tidak harus dipandang sebagai sesuatu yang utopis semata. Jika
model ‘ideal’ tadi dapat dijadikan sebagai indikator-indikator dalam mengukur ‘keberhasilan’
(dalam arti proses dan capaian) dari upaya pengembangan masyarakat dan kompetensi serta
kinerja para pekerja masyarakat, maka tiap-tiap komunitas dan pekerja masyarakat dapat
mengukur sendiri berada di level manakah mereka ada saat ini, dan hal-hal apa saja yang masih
perlu diperbaiki lagi.
http://haicandra.blogspot.co.id/2014/03/comdev-mimpi-yang-belum-mati.html