Anda di halaman 1dari 150

SKRIPSI

BUDAYA LONTO LEOK SEBAGAI STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK


DPRD PROVINSI NTT DARI DAPIL MANGGARAI

OLEH

FRANSISKUS X. KURNIAWAN
1103051031

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Akademik


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2016
LEMBAR PERSETUJUAN

S K R I P S I

BUDAYA LONTO LEOK SEBAGAI STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK


DPRD PROVINSI NTT DARI DAPIL MANGGARAI

Diajukan Oleh

Nama : Fransiskus X. Kurniawan


Nomor Induk Mahasiswa : 1103051031
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan : Ilmu Komunikasi
Konsentrasi : Komunikasi Antarbudaya

Telah Disetujui Oleh Tim Pembimbing Untuk Diuji Dan Dipertahankan Di


Depan Dewan Penguji

Pembimbing I Tanggal : 28 Januari 2016

Prof. Dr. Aloysius Liliweri, MS


NIP. 19570619 198103 1 001

Pembimbing II Tanggal : 28 Januari 2016

Drs. Umrah Kamahi, M.Si


NIP. 19620930 198901 1 001

Mengetahui
Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi

Drs. Umrah Kamahi, M.Si


NIP. 19620930 198901 1 001

ii
LEMBAR PENGESAHAN

S K R I P S I

BUDAYA LONTO LEOK SEBAGAI STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK


DPRD PROVINSI NTT DARI DAPIL MANGGARAI

Diajukan Oleh

Nama : Fransiskus X. Kurniawan


Nomor Induk Mahasiswa : 1103051031
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan : Ilmu Komunikasi
Konsentrasi : Komunikasi Antarbudaya

Telah Disetujui Dan Diseminarkan Pada Tanggal 28 Januari 2016


Dinyatakan LULUS Dengan Predikat PUJIAN

Prof. Dr. Aloysius Liliweri, MS


Ketua : NIP: 19570619 198103 1 001 ...................................

Anggota I : Drs. Umrah Kamahi, M. Si


NIP: 19620930 198901 1 001 ...................................

Anggota II : Dr. Yermia Dj. Manafe, S.Sos, M.Si


NIP. 19700303 200501 1 001 ...................................

MENGESAHKAN

Dekan Ketua Jurusan

Dr. Frans Gana, M.Si Drs. Umrah Kamahi, M.Si


NIP. 19600614 198702 1 001 NIP. 19620930 198901 1 001

iii
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar keserjanaan di suatu Perguruan
Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya dan pendapat
yang pernah ditulis dan atau dipublikasikan oleh orang lain, kecuali yang secara
tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh
karena karya tulis ini serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di
Perguruan Tinggi ini.

Kupang, Januari 2016

Fransiskus X. Kurniawan
NIM. 1103051031

iv
v
Karya Ini Dipersembahkan Dengan Tulus Hati Kepada:

1. Ayah Tercinta John F. Basri dan Ibunda Tersayang Rosalia Kartina.

2. Semua Keluarga, Sahabat dan Kenalan Yang Telah Mendukung; Baik


Dalam Bentuk Moril Maupun Materi.

3. Untuk Malaikat Kecil yang selalu menginspirasiku dalam setiap pergumulan


hidup hingga aku bisa merasakan cahaya inspirasinya dalam menyelesaikan
tulisan ini

4. Teman-teman Seangkatan dan Seperjuangan KABUD 13, FASHION 11 &


CORONAT.

5. Dia Yang Selalu Menemani Inspirasiku Dalam Keheningan Malam.

6. Almamaterku Tercinta UNDANA Kupang.

7. GMNI Cabang Kupang. MERDEKA!!!

8. Untuk Indonesia Tanah Lahir Beta

vi
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan pada Sang Khalik, Pemberi Kehidupan
atas berkat dan tuntunan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
ini dengan baik dan benar. Tulisan dengan judul Budaya Lonto Leok Sebagai
Strategi Komunikasi Politik DPRD Provinsi NTT dari Dapil Manggarai.

Budaya lonto leok merupakan kebiasaan dan tradisi dalam masyarakat adat
Manggarai yang telah diwariskan seccara turun temurun dalam ruang interaksi
sosial masyarakat. Sebagai sebuah budaya, lonto leok tentunya berkembang dalam
dinamika kehidupan, terbentuk dalam suatu masyarakat yang selalu berubah
sesuai dengan perkembangan zaman. Manusia dan kebudayaan adalah dua unsur
yang tidak dapat dipisahkan, karena itu budaya juga berkembang bahkan berubah
bentuk sesuai dengan perubahan manusia modern. Tidak luput, budaya lonto leok
juga mengalami perubahan dalam dinamika sosial. Penulis mencoba mengkaji
kembali sejauh mana kekuatan unsur-unsur budaya ini dalam mendapatkan suara
dalam konteks pemilihan legislatif di era demokrasi modern.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan tulisan ini, ada banyak


khalangan yang turut berkontribusi demi menyempurnakan tulisan ini. Maka pada
kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas
segala masukan dan bimbingan mereka khususnya kepada:

1. Prof. Dr. Aloysius Liliweri, MS selaku pembimbing I, dimana koreksi dan


masukannya turut menyempurnakan tulisan ini.
2. Drs. Umrah Kamahi, M,Si selaku ketua jurusan Ilmu Komunikasi
sekaligus Pembimbing II dimana di tengah kesibukannya, beliau
senantiasa membimbing dan memberikan masukan dalam menyelesaikan
tulisan ini.

vii
3. Para dosen Jurusan Ilmu Komunikasi yang selalu menjadi motivator dan
teman diskusi dalam menyelesaikan tulisan ini.
4. Segenap staf kependidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik yang penuh
dedikasi memberikan bekal ilmu, bantuan dan pelayanan akademik.
5. Semua teman-teman angkatan yang selalu menjadi pembisik dan pemberi
inspirasi di kala penulis mulai tenggelam dalam aktivitas yang tidak
mendukung tulisan ini.
6. Kepada orang tua saya: Bapak John Basri dan Mama Rosalia Kartina, atas
segala doa dan dukungan baik secara material maupun moril sehingga
penulis dapat menyelesaikan tulisan ini dengan lancar dan tepat waktu.

Penulis menyadari, tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana


dalam ungkapan “Tak ada gading yang tak retak”. Manusia dan Kesempurnaan
adalah dua institusi yang berbeda. Karena itu, manusia bukan kesempuraan itu
sendiri, tetapi bergerak mendekati kesempurnaan dan kebenaran. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang dapat mendekatkan tulisan ini pada kesempurnaan sangat
diharapkan agar tulisan ini dapat berguna bagi siapa saja yang memerlukannya.

Kupang, Januari 2016

Penulis

viii
ABSTRAK

Fransiskus X. Kurniawan. 1103051031. Budaya Lonto Leok Sebagai


Strategi Komunikasi Politik DPRD Provinsi NTT Dari Dapil Manggarai.
Pembimbing: Prof. Aloysius Liliweri, MS dan Drs. Umrah Kamahi, M.Si. Terdiri
dari 132 halaman, 30 buku referensi dan satu situs web.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses dalam budaya
lonto leok sebagai strategi komunikasi politik, mengetahui kekuatan-kekuatan
unsur budaya lonto leok dan untuk mengetahui bagaimana strategi komunikasi
politik DPRD Provinsi NTT dari dapil Manggarai khususnya dari Manggarai
Timur dalam membentuk perilaku memilih (kesamaan makna). Penelitian
menggunakan beberapa konsep dan teori seperti teori fenomenologi sebagai pisau
analisis dalam mencari jawaban atas beberapa pertanyaan masalah. Fenomenologi
merupakan pendekatan untuk menggali kesadaran, perasaan dan pengalaman
subyektif informan sehingga dapat dianalisis dan disusun suatu rumusan ilmiah
terhadap temuan-temuan di lapangan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
proses komunikasi politik lonto leok terdiri dari beberapa tahapan seperti caleg
mengundang tokoh adat dan masyarakat, ritual lu’u, kepok, penyampaian gagasan
dan diskusi interaktif. Kekuatan unsur-unsur lonto leok dapat ditemukan dalam
penggunaan ungkapan adat (bahasa adat), simbol adat, masyarakat dan media.
Sementara itu, strategi yang dilakukan adalah strategi persuasif yang dapat
tercapai melalui transaksi hati dan gagasan antara caleg dan masyarakat.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa strategi komunikasi politik
lonto leok adalah pendekatan persuasif yang dipakai aktor politik untuk
mengkomunikasikan kepentingannya melalui kekuatan unsur-unsur budaya
(Bahasa adat, masyarakat dan media) sehingga terciptanya proses transaksi
gagasan dan perasaan untuk memperoleh kesamaan makna. Dalam ruang transaksi
itu ada ritual adat kepok sebagai penghargaan terhadap sesama dan lu’u sebagai
penghargaan terhadap orang yang sudah meninggal. Dengan kata lain, lonto leok
merupakan seni persuasi untuk mempengaruhi pilihan politik.

Kata Kunci: Lonto Leok, Komunikasi Politik, Unsur Budaya

ix
ABSTRACT

Fransiskus X. Kurniawan. 1103051031. Lonto leok culture as a political


communication strategy of House of Representation of NTT from Manggaraian
election area. Supervisors: Prof. Aloysius Liliweri, MS and Drs. Umrah Kamahi,
M.Si. It consists of 132 of contents, 30 reference books and 1 internet sites.
The purpose of this research was to be known a process of Lonto leok
culture as a political communication strategy, the strength of lonto leok culture
unsure, and to be known about political communication strategy of legislator to
forming the same role. This research used phenomenology approach to get the
answers of problem questions. Phenomenology is an approach to dig awareness,
feeling and experiences of informan. After that, the answers are analyzed and
arranged into scientific writing. In this research find some process in lonto leok
like invitation, lu’u rite, kepok rite, message and interactive discussion. The
strength of lonto leok can be found in custom statement (tradition language),
custom symbol, society and media. Meanwhile, the strategy is persuasive strategy
to get the same role by idea and feeling transaction.
So, lonto leok communication strategy is a persuasive approach that used by
political actor to communicate his interests by usages cultural unsure (tradition
language, custom symbol, society and media) with the result that creates idea and
feeling transaction to get the same role. The other statement, lonto leok is the art
of persuasive strategy to influence political choice.

Keywords: Lonto leok, Politic Communication, Cultural Unsure

x
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................iii
PERNYATAAN........................................................................................................iv
MOTTO ....................................................................................................................v
PERSEMBAHAN.....................................................................................................vi
KATA PENGANTAR..............................................................................................vii
ABSTRAK ................................................................................................................ix
DAFTAR ISI.............................................................................................................xi
DFTAR TABEL .......................................................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................xv

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................1
1.2 Batasan Penelitian........................................................................................7
1.3 Rumusan Masalah........................................................................................7
1.4 Tujuan Penelitian .........................................................................................7
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................................8
1.5.1 Manfaat Akademis ................................................................................8
1.5.2 Manfaat Praktis .....................................................................................8

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR ............................9


2.1 Kajian Empirik.............................................................................................9
2.2 Kajian Teoritik .............................................................................................11
2.2.1 Budaya................................................................................................11
2.2.2 Budaya Lonto leok..............................................................................17
2.2.3 Komunikasi.........................................................................................25
2.2.4 Komunikasi Politik.............................................................................30
2.2.5 Kerangka Teoritis ...............................................................................38
2.3 Kerangka Berpikir........................................................................................41

BAB III METODE PENELITIAN .........................................................................45


3.1 Metode dan Jenis Penelitian.........................................................................45
3.1.1 Metode Penelitian...............................................................................45

xi
3.1.2 Jenis Penelitian ...................................................................................45
3.1.3 Lokasi Penelitian ................................................................................45
3.1.4 Objek Penelitian .................................................................................46
3.1.5 Informan .............................................................................................46
3.2 Sumber Data.................................................................................................46
3.3 Teknik Pengumpulan Data...........................................................................47
3.4 Teknik Analisis Data....................................................................................48
3.5 Teknik Keabsahan Data ...............................................................................49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................................50


4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................................50
4.1.1 Visi Misi DPRD Provinsi NTT ..........................................................50
4.1.2 Kegiatan DPRD Provinsi NTT...........................................................51
4.1.3 Sekretariat DPRD Provinsi NTT ........................................................53
4.1.4 Profil Gedung DPRD Provinsi NTT...................................................55
4.2 Gambaran Umum Pemilihan Legislatif Tahun 2014 DPRD
Provinsi NTT ...............................................................................................56
4.2.1 Perolehan Suara Partai DPRD Provinsi NTT Dapil 4
(Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur).............................58
4.2.2 Calon Terpilih Berdasarkan Asal Partai Seluruh Dapil......................59
4.3 Penyajian Hasil Penelitian ...........................................................................63
4.3.1 Proses Lonto leok................................................................................63
4.3.2 Kekuatan Unsur-unsur Lonto leok Sebagai Komunikasi
Politik .................................................................................................76
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian .......................................................................91
4.4.1 Proses Lonto leok Sebagai Komunikasi Politik..................................91
4.4.2 Kekuatan Unsur-unsur Lonto leok......................................................94
4.4.3 Strategi Komunikasi Lonto leok .........................................................96
4.4.4 Degradasi Unsur Budaya Lonto leok..................................................102
4.4.5 Benih Demokrasi Lonto leok ..............................................................104

BAB V PENUTUP....................................................................................................107
5.1 Kesimpulan ..................................................................................................107
5.1.1 Proses Lonto leok................................................................................107
5.1.2 Kekuatan Unsur-unsur Lonto leok......................................................108
5.1.3 Strategi Komunikasi Lonto leok .........................................................108
5.2 Saran ............................................................................................................109
5.2.1 Saran Akademis..................................................................................109
5.2.2 Saran Praktis.......................................................................................110

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................112

xii
LAMPIRAN
BIOGRAFI PENULIS
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
Tabel 1. Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi......................................................57
Tabel 2. Perolehan Suara Partai DPRD Provinsi NTT Dapil 4...........................58
Tabel 3. Calon Terpilih Seluruh Dapil...................................................................58

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
Gambar 1. Elemen Komunikasi Politik ...............................................................32
Gambar 2. Kerangka Berpikir..............................................................................44
Gambar 3. Struktur Sekwan Provinsi NTT.........................................................55
Gambar 4. Tahapan Lonto leok ............................................................................69
Gambar 5. Kekuatan Unsur-Unsur Lonto leok ...................................................91
Gambar 6. Pola Komunikasi Lonto leok ..............................................................100
Gambar 7. Nilai Demokrasi Lonto leok..................................................................106

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

1.
2.
3.
4.
5.
6. Surat Izin Penelitian
7. Surat Keterangan Selesai Penelitian

xv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Budaya lonto leok merupakan bentuk musyawarah mufakat dalam konteks

masyarakat adat Manggarai dan simbol persatuan, persaudaraan dan kekeluargaan

dalam menyelesaikan masalah. Makna tersebut sangat tampak dalam sikap duduk

(dalam bentuk lingkaran), simbol adat yang dipakai misalnya tuak, ayam, pakaian

adat dan pribahasa adat yang digunakan dalam lonto leok . Menurut Petrus

Janggur (2010:135), lonto leok artinyaduduk melingkar untuk membicarakan dan

menyelesaikan segala masalah. Masalah yang dimaksud dapat berkaitan dengan

masalah sosial, politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan budaya.

Spirit lonto leok sebagai sebuah budaya dapat dikaji melalui pribahasa adat

Manggarai seperti: Muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambo neka woleng

lako (Pisang serumpun jangan berbeda kata, tebu serumpun jangan berbeda jalan),

ipung ca tiwu-neka woleng wintuk, nakeng ca wae-neka woleng tae (ikan ipun

sekolam jangan beda tindakan, ikan sekali jangan beda bicara), ema agu anak

neka woleng curup, weta agu nara-neka woleng bantang (Ayah dan anak jangan

beda kata, saudara dan saudari jangan berbeda mufakat).

Biasanya, dalam membuka suatu lonto leok , diawali dengan ucapan atau

sapaan adat dari tuan rumah atau yang mengundang untuk menyampaikan rasa

syukur dan menyampaikan maksud serta tujuan diadakanya suatu lonto leok

melalui upacara Kepok. Kepok itu sendiri adalah ungkapan adat yang disampaikan

pada upacara penerimaan tamu atau dalam meminta sesuatu yang diinginkan oleh

1
komunikator. Kepok juga sebagai ungkapan kesenangan hati dalam penerimaan

(tamu) dari tuan rumah atau tuan tanah (beo) yang tidak disampaikan secara

langsung melainkan melalui pribahasa adat (goet). Tamu-tamu tersebut adalah

orang yang dianggap penting dan dipandang besar dalam kaitannya dengan status

dan peran sosial.

Setelah upacara kepok dijalankan, tuan rumah atau yang mengundang

langsung memulai diskusi atau memberikan kesempatan kepada orang yang

dianggap mampu dan berwibawa seperti kepala kampung (tua gendang) untuk

memimpin diskusi. Seorang pemimpin lonto leok maupun peserta, harus

memenuhi unsur tata krama dalam berbicara dan bersikap. Misalnya terungkap

dalam pribahasa tipek mu’u agu madis ba weki yang bermakna tertib berbahasa

dan berperilaku santun sesuai dengan kata-kata yang diucapkan. Inilah yang

membedakan duduk berkumpul dalam konteks lonto leok dengan perkumpulan

biasa dalam adat Manggarai untuk sekadar membahas guyon, candaan, dan saat

bertamu (lejong) serta pembeda antara budaya duduk berkumpul di daerah lain.

Budaya lonto leok merupakan karakter dasar orang Manggarai (perang’e

data Manggarai) sekaligus sebagai sebuah tradisi dalam masyarakat adat

Manggarai yang telah diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang dan

masih digunakan sampai saat ini. Sebagai warisan budaya, lonto leok sudah

menjadi bagian dari kehidupan orang Manggarai dalam menjalankan

peradabannya baik di ranah sosial, politik, pendidikan, agama dan di dalam

berbagai ritual serta upacara adat.

2
Lonto leok dalam bingkai yang lebih luas tidak bisa berdiri sendiri sebagai

sebuah upacara adat. Frans Salesman (Regus, 2011: 49) dalam analisisnya

memperlihatkan ritual dan upacara orang Manggarai dari jenis waktu

pelaksanaanya, yakni: 1) ritual yang berkaitan dengan proses kehidupan awal

manusia, yaitu: kehamilan, masa nifas dan menopause; 2) ritual yang berkaitan

dengan kelangsungan hidup dan interaksi sosial, yaitu: mata pencaharian,

penyakit, perkawinan, syukuran dan selamatan, sumbangan sosial; dan 3) ritual

yang berkaitan dengan transisi antara kehidupan dunia dan akhirat, yaitu

kematian.

Selain tiga poin yang disampaikan Frans Salesman, sebenarnya orang

Manggarai punya relasi yang intens dengan “dunia seberang” melalui ritus-ritus

khusus. Munculnya ritual teing hang dalam upacara penti, misalnya, merupakan

salah satu bukti keberlanjutan relasi antara manusia, leluhur, pencipta dan alam

semesta.

Berkaitan dengan pembagian ritual adat ini, Lonto leok sering terjadi pada

ritual yang berkaitan kelangsungan hidup dan interaksi sosial orang Manggarai.

Namun tidak menutup kemungkinan pada fase kelahiran dan kematian juga bisa

diadakan lonto leok misalnya dalam persiapan ritual delap (penyambutan bayi)

dan persiapan menyambut ritual kelas (pemutus hubungan antara yang hidup dan

yang mati).

Kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun dan hidup dalam kehidupan

orang Manggarai ini menjadikan lonto leok sebagai budaya yang tidak bisa

dilepaskan. Dalam interaksi sosial, praktek lonto leok biasa digunakan sesuai

3
dengan konteks dan tujuannya seperti dalam persiapan upacara maupun saat

upacara adat berlangsung, masalah sosial-kemasyarakatan, termasuk dalam bidang

politik.

Dalam bidang politik, lonto leok memang sudah menjadi kebiasaan dalam

masyarakat Manggarai sejak zaman kerajaan, sampai sekarang ini. Budaya lonto

leok dijadikan sebagai media para raja atau dalu (camat) untuk

mengkomunikasikan kebijakan dan keputusan tertentu. Namun ada satu fenomena

baru yang muncul dalam ranah demokrasi modern, ketika budaya ini digunakan

sebagai media untuk mendulang suara oleh aktor politik dalam momentum

demokrasi. Para calon legislatif, calon bupati bahkan calon kepala desa sering kali

menggunakan lonto leok sebagai media penarik suara dari pemilih.

Khusus dalam pemilihan legislatif, merujuk pada keputusan Mahkamah

Konstitusi yang membatalkan pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008

tentang penentuan calon terpilih, bahwa seorang calon anggota DPR dan DPRD

terpilih berdasarkan suara terbanyak, maka hal ini sangat berdampak pada strategi

komunikasi politik pada pelaksanaan kampanye.

Kondisi tersebut juga menuntut parpol untuk lebih siap dan kreatif dalam

merumuskan strategi komunikasi politik dalam rangka menjual visi dan misi

partai, sehingga mampu diterjemahkan oleh calon legislator yang kemudian

disampaikan kepada publik pemilih. Mengutip Pramono Anung Wibowo

(2013:7), penggunaan strategi komunikasi politik adalah strategi yang merawat

dan meluaskan legitimasi ketokohan sang politisi sebagai aset politik yang mampu

4
membesarkan partai, menciptakan kebersamaan dan membangun konsensus

berdasarkan visi, misi dan program politik yang jelas.

Selain itu, perubahan undang-undang di atas juga tidak hanya memantik

persaingan antar caleg yang berbeda partai tetapi juga kemampuan komunikasi

politik caleg untuk bersaing antar sesama partai untuk mendulang suara terbanyak.

Partai dan caleg adalah satu kesatuan utuh pelaksana kampanye yang sama-sama

memiliki keharusan untuk meyakinkan dan merebut suara terbanyak dalam pemilu

termasuk memakai perangkat budaya seperti lonto leok sebagai saluran

komunikasi politik.

Model strategi komunikasi politik para caleg tersebut sangat tampak dalam

pemilihan legislatif DPRD Propinsi NTT tahun 2014, khususnya dari dapil

Manggarai. Ratusan calon legislatif ramai bertarung dalam hingar bingar

perhelatan demokrasi demi mendulang suara rakyat. Silang kepentingan serta

manuver strategi para calon pun membuat aura politik tidak hanya dinamis tetapi

cenderung memanas. Hawa politik yang memanas ini sangat tampak dalam

perebutan panggung komunikasi politik untuk mempengaruhi pemilih. Fenomena

ini menjadi menarik ketika para calon bersinggungan dengan budaya. Pendekatan

budaya dalam strategi komunikasi politik sangat tampak dalam usaha persuasif

melalui tokoh adat atau mengikuti upacara dan ritual adat yang dilakukan di

daerah pemilihan mereka. Salah satu strategi budaya yang mereka pakai adalah

budaya lonto leok .

Para caleg menggunakan perangkat budaya ini sebagai strategi komunikasi

politik dimana terjadi transaksi gagasan untuk mencapai kesamaan makna. Selain

5
mendengarkan berbagai masalah dalam masyarakat, para caleg juga menjadikan

lonto leok sebagai media sosialisasi diri dan strategi transaksi politik jika nanti

terpilih sebagai legislator. Berdasarkan pengakuan dan pengamatan penulis

hampir semua anggota legislatif dari dapil Manggarai menggunakan medium

budaya ini untuk meraup suara. Namun ada suatu masalah yang ditemukan yakni

bagaimana proses, dinamika, unsur dan strategi caleg dalam menggunakan media

untuk meyakinkan konstituen sehingga berdampak pada kesan dan perilaku

memilih. Masalah ini semakin menarik jika dihubungkan dengan caleg yang

terpilih dan yang tidak terpilih.

Melihat fenomena budaya lonto leok dipakai dalam komunikasi politik,

lambat laun kebiasaan ini juga menjadi budaya politik di Manggarai. Lonto leok

sebagai budaya komunikasi politik tentunya sangat menarik untuk diteliti dengan

menggunakan pendekatan ilmiah yang berbasis logis, kritis dan sistematis.

Masalah lain adalah belum adanya sarjana yang meneiliti keunikan budaya ini

dalam konteks komunikasi politik. Selama ini, budaya lonto leok selalu dikaitkan

dengan masalah dalam interaksi sosial. Karena itu, melalui penelitian ini penulis

mencoba menelaah dan mengkaji lebih dalam budaya ini sebagai bagian dari

bentuk komunikasi politik dengan pendekatan budaya.

Penulis akhirnya mengambil judul “BUDAYA LONTO LEOK SEBAGAI

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK ANGGOTA DPRD PROPINSI NTT

DARI DAPIL MANGGARAI”.

6
1.2 Batasan Penelitian

1. Strategi komunikasi politik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

komunikasi politik yang dilakukan oleh legislator terpilih dari dapil

Manggarai pada pemilihan legislatif tahun 2014

2. Daerah pemilihan Manggarai sangat luas, karena itu demi menunjang

penelitian ini penulis membatasi lokus penelitian pada caleg terpilih dari

dapil Manggarai khususnya dari Kabupaten Manggarai Timur.

1.3 Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang di atas, maka penulis merumuskan

masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana proses proses lonto leok sebagai strategi komunikasi

politik?

2. Apa kekuatan unsur-unsur yang membentuk budaya lonto leok dalam

konteks komunikasi politik?

3. Bagaimana strategi komunikasi politik dalam budaya lonto leok sehingga

menimbulkan kesamaan makna antara seorang Caleg dan calon pemilih?

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana proses lonto leok sebagai strategi

komunikasi politik dalam masyarakat adat Manggarai khususnya di

Kabupaten Manggarai Timur

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan kekuatan unsur-unsur dalam

budaya lonto leok

7
3. Menjelaskan strategi komunikasi politik dalam budaya lonto leok untuk

mencapai kesamaan makna antara caleg dan calon pemilih sehingga

menimbulkan perilaku memilih.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan penulis di

bidang akademis khususnya dalam memperdalam pengetahuan tentang

strategi komunikasi politik melalui pendekatan budaya lonto leok. Selain

itu, penelitian ini bermanfaat bagi peneliti lain yang ingin

mengembangkannya.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Sebagai bahan evaluasi dan bahan pembelajaran bagi pihak yang ingin

mengetahui budaya lonto leok sebagai strategi komunikasi politik;

2. Sebagai bahan masukan bagi anggota legislatif sekarang maupun caleg

yang akan datang dalam mengevaluasi kekurangan dan kelebihan

budaya lonto leok yang sudah dijalankan dan yang akan dijalankan.

8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

2.1 Kajian Empirik

Sebagai penunjang dalam penilitian ini, penulis mengambil penelitian

sebelumnya sebagai bahan referensi. Untuk itu penulis mengutip penelitian yang

pernah dilakukan oleh Pramono Anung Wibowo (2013), seorang cendekiawan

dan politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dibukukan

dengan judul “Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi” (Potret Komunikasi

Politik Legislator-Konstituen).Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

latar belakang, konsep diri dan motivasi legislator, bagaimana legislator

memaknai konstituenya, bagaimana komunikasi politik legislator dalam

kampanye politik? Dan bagaimana hambatan, peluang, dan keunikan dalam

komunikasi politik pemilu 2009.

Hasil penelitian ditemukan bahwa komunikasi politik legislator dalam

kampanye, berdasarkan sisi aktor, legislator bertindak sebagai aktor komunikasi

politik dengan memanfaatkan para elit religi, kekerabatan, elit formal, elit budaya,

dan tokoh informen. Sedangkan dalam penyusunan pesan, legislator mengangkat

isu-isu tentang kesejahteraan seperti ekonomi, pertanian, pendidikan, kesehatan

dan transmigrasi, pesan ideologi, citra diri, program, partai, realita dan hiperbola.

Selain itu, dalam penelitian tersebut, media kampanye yang digunakan

adalah media umum, media tradisional, dan media massa. Konstituen dipilah oleh

legislator dengan mempertimbangkan beberapa karakteristik yang merupakan

representasi dari berbagai komunitas religi, komunitas wilayah, komunitas

9
pekerja, ideologis, komunitas adat, komunitas historis, komunitas lembaga,

komunitas etnis dan komunitas lokal. Sementara itu, reaksi konstituen terhadap

legislator adalah mereka menganggap aktor sebagai panutan, idola, tokoh

bayangan dan kerabat.

Pramono Anung Wibowo dalam penelitian ini menemukan beragam

hambatan yang ada, ternyata bermuara pada sistem pemilu yang mendorong

tumbuhnya budaya liberal dan kapitalistik. Sementara peluang yang dapat

dikembangkan dalam mengatasi permasalahan dalam komunikasi politik yang

efektif dilakukan dalam intensitas komunikasi politik dan pendekatan komunikasi

kontekstual. Strategi lain yang digunakan adalah berkaitan dengan dana kampanye

seperti alat peraga, konsumsi, transportasi, media, sarana, kegiatan sosial, hadiah

dan pembayaran saksi pada waktu pemilihan. Besarnya dana yang dikeluarkan

dalam kampanye politik ini, berkisar dari Rp 300 juta hingga 6 miliyar yang

bersumber dari dana pribadi, bantuan dari partai, teman, perusahan dan

masyarakat.

Sementara itu, pemaknaan legislator terhdap konstituen sesungguhnya

merupakan relasi dialektis antara legislator dengan kondisi sosio-kultural yang

melatarbelakangi konstituennya. Kemampuan legislator dalam memaknai kondisi

sosio-kultural sebagai kesempatan untuk menjadikan kondisi itu sebagai sarana

yang efektif dalam proses kampanye.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Sementara

teknik pengumpulan data didapat melalui wawancara dan observasi. Paradigma

yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologis dan interaksi simbolik.

10
Dia (Pramono) melihat kedua paradigma ini saling melengkapi dimana

fenomenologis bertumpu pada pemahaman terhadap pengalaman subyektif atas

gejala alamiah atau peristiwa dan kaitan-kaitanya, sedangkan interaksi simbolik

bertumpu pada penafsiran atas pemaknaan simbolik yang dihasilkan dari interaksi.

Penelitian terdahulu tersebut yang menjadi acuan awal dari penulis, namun

yang menjadi pembeda adalah dalam penelitian Pramono Anung Wibowo melihat

komunikasi politik secara umum, sementara dalam penelitian ini lebih focus pada

aspek budaya dalam komunikasi politik khususnya budaya Lonto leok . Selain itu,

lokus penelitian dari P.A. Wibowo adalah pemilihan legislatif DPR-RI sementara

dalam penelitian ini dalam konteks DPRD Propinsi NTT dari dapil Manggarai

khususnya dari Manggarai Timur.

2.2 Kajian Teoritik

Teori-teori yang dikaji dalam penelitian ini meliputi teori budaya,

fenomenologi dan teori komunikasi politik. Teori-teori diasumsikan dapat

mengarahkan penulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian,

khususnya tentang unsur-unsur budaya Lonto leok dan bagaimana proses

komunikasi politik dalam budaya Lonto leok tersebut.

2.2.1. Budaya

1. Pengertian Budaya

Tempus mutantur, et nos mutamur in illid. Waktu berubah dan kita berubah

juga di dalamnya. Demikian pepatah Latin kuno yang masih sangat relevan pada

masa sekarang ini. Jika dikatakan tidak ada yang tetap di dunia ini, yang tetap

hanyalah perubahan itu sendiri. Begitu juga dengan budaya atau kebudayaan.

11
Seturut konteks zaman yang berubah, orang-orang dengan alam pikir dan rasa,

karsa dan cipta, kebutuhan dan tantangan yang mengalami perubahan, serta

budaya pun ikut berubah. Karena kebudayaan itu dinamis, sampai sekarang ini

belum ada rumusan baku dan final terkait definisi dan konspep budaya. Namun,

sebagai penunjang dalam penelitian ini, penulis mencoba mengambil beberapa

definisi kebudayaan yang bisa dijadikan pisau analisis dalam mengkaji penelitian

ini.

Menurut Koentjaraningrat (1980) dalam (Soelaeman, 2005:21), kata

“kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari

budhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan

“hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Sedangkan kata budaya merupakan

perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dari budi” sehingga

dibedakan antara budaya yang berarti “daya dari budi” yang merupakan cipta,

karsa dan rasa, dengan kebudayaan yang berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa.

Lebih jauh Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi

(1990:180) mendefinisikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan system

gagasan dan tindakan serta hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik dirinya dan yang diperoleh dengan cara belajar.

Raymond Williams, pengamat dan kritikus kebudayaan terkemuka

(Sutrisno, 2005:7) juga mengkaji kata kebudayaan. Menurutnya, kebudayaan

merupakan salah satu dari dua atau tiga kata yang paling kompleks penggunaanya

dalam bahasa Inggris. Mengapa demikian? Sebab kata ini sekarang sering

digunakan untuk mengacu pada sejumlah konsep penting dalam beberapa disiplin

12
ilmu dalam kerangka pikir yang berbeda-beda. Pada awalnya, “culture” dekat

“kultivasi” (Cultivation), yaitu pemeliharaan ternak, hasil bumi dan upacara-

upacara religius. Sejak abad ke-16 hingga 19, istilah ini mulai secara luas

digunakan untuk pengembangan akal budi manusia individu dan sikap-perilaku

pribadi lewat pembelajaran. Kebangkitan Romantisme selama Revolusi Industri

dan gerakan nasionalisme di akhir abad ke-19 juga ikut mempengaruhi dinamika

pemaknaan atas budaya.

Edward Brunett Tylor dalam bukunya Primitive Culture: Researches into

the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Art and Customs (Murray,

1871), mencoba merumuskan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks

yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat-istiadat,

serta kebiasaan-kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota

masyarakat.

M. J. Herskovitz, dalam bukunya Man and His Works (1957: 17),

merumuskan bahwa kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang

diciptakan manusia sebagai realisasi diri manusia di dalam dunianya (life world)

yang meliputi pola-pola kegiatan dalam suatu organisasi (sosial, politik, ekonomi,

religiositas), kemampuan-kemampuan manusia dalam bahasa, seni sastra, seni

music, seni tari dalam beragam bentuknya, dan kegiatan-kegiatan rohani untuk

menampakkan nilai-nilai yang transenden.

Mengetahui banyaknya perbedaan definisi budaya, Williams (Sutrisno,

2005:8) berani berpendapat bahwa perubahan-perubahan historis atas budaya bisa

direfleksikan ke dalam tiga arus penggunaan istilah budaya, yaitu:

13
1. Mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis dari seorang

individu, sebuah kelompok, atau masyarakat;

2. Mencoba memetakan khazanah kegiatan intelektual dan artistic sekaligus

produk-produk yang dihasilkan. Dalam istilah ini budaya kerap

dihubungkan dengan kesenian

3. Menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-

keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat.

Sementara itu, masih terkait dengan konsep budaya, dua antropolog Kroeber

dan Kluckhonhn lebih dari 50 tahun lalu berupaya memetakan kebhinekaan

pengertian budaya. Menurut mereka, ada enam pemahaman pokok mengenai

budaya yaitu:

1. Definisi deskriptif: cenderung melihat budaya sebagai totalitas

komperhensif yang menyusun keseluruhan hidup sosial sekaligus

menunjukan sejumlah ranah (bidang kajian) yang membentuk budaya.

2. Definisi historis: melihat budaya sebagai warisan yang diturunkan dari

generasi satu ke generasi berikutnya.

3. Definisi normatif: mengambil dua bentuk. Pertama, budaya adalah aturan

atau jalan hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakan yang

konkret. Kedua, menekankan peran gugus nilai tanpa mengacu pada

perilaku

4. Definisi psikologis, member tekanan pada peran budaya sebagai

piranti pemecah masalah yang membuat orang bisa berkomunikasi,

belajar, atau memenuhi kebutuhan material maupun emosionalnya

14
5. Definisi structural: mau menunjukan pada hubungan atau keterkaitan

antara aspek-aspek yang terpisah dari budaya sekaligus menyoroti fakta

bahwa budaya adalah abstraksi yang berbeda dari perilaku konkret.

6. Definisi genetis: melihat asal-usul bagaimana budaya itu bisa eksis atau

tetap bertahan. Definisi ini cenderung melihat budaya lahir dari interaksi

antar manusia dan tetap bisa bertahan karena ditransmisikan dari satu

generasi ke generasi berikutnya.

Kebhinekaan konsep dan definisi budaya tentunya telah diuji dalam suatu

dialektika pemikiran para ahli dalam labirin ilmu pengetahuan pada setiap

fasenya. Sampai sekarang belum ada konsensus mutlak dari para ahli dalam

merumuskan budaya. Bahkan Ignas Kleden (1988) memaknai budaya bukan

sebagai kata benda, melainkan kata kerja dimana dalam kebudayaan itu sendiri

secara terus menerus memproduksi dirinya sendiri. Ini berarti rumusan baku

tentang konsep budaya adalah mustahil sepanjang perubahan itu ada. Penulis pun

membatasi pengertian budaya sebagai sistem nilai, tingkah laku, gagasan,

kebiasaan, pengetahuan, kepercayaan, pengalaman, aturan, dan adat istiadat

manusia yang berjalan dalam dialektika kehidupan dan diwariskan secara turun-

temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam menunjang peradaban

manusia itu sendiri.

2. Unsur-Unsur Kebudayaan

Unsur-unsur kebudayaan meliputi semua kebudayaan dunia, baik yang

kecil, bersahaja dan terisolasi, maupun yang besar, kompleks dan dengan jaringan

15
yang luas. Menurut konsep B. Malinowski dalam Soelaeman (2005:23),

kebudayaan di dunia mempunyai tujuh unsur universal yaitu:

1. Bahasa

2. Sistem teknologi,

3. Sistem mata pencaharian,

4. Organisasi sosial,

5.Sistem pengetahuan,

6. Religi,

7. Kesenian.

3. Fungsi-Fungsi Budaya

Ting-Toomey (1999:12) mengidentifikasikan 5 fungsi budaya, yaitu:

1. Budaya berfungsi untuk menunjukkan identitias.

Nilai-nilai budaya, kepercayaan dan norma menunjukkan makna dan

petunjuk identitas tertentu.

2. Untuk memuaskan kebutuhan menjadi bagian dalam suatu kelompok

Menjadi bagian dari suatu kelompok merupakaan kebutuhan dari setiap

orang. Dengan bergabungnya seseorang dalam komunitas tertentu, dia

menjadi lebih nyaman, tergabung, dan merasa diterima

3. Fungsi regulasi ikatan antar kelompok budaya.

Melalui nilai dan norma yang terkandung dalam budaya, manusia akan

memiliki rambu-rambu dalam dalam berinteraksi dengan orang/kelompok

budaya lain.

16
4. Fungsi adaptasi lingkungan

Budaya akan membantu manusia dalam proses adaptasi dengan manusia

lain, kelompok budaya, dan lingkungan ekologis yang lebih luas.

5. Fungsi komunikasi budaya

Budaya akan selalu mempengaruhi cara manusia berkomunikasi dan

sebaliknya komunikasi akan mempengaruhi budaya. Karena hubungan

ketergantungan itu dikenal istilah budaya adalah komunikasi dan

komunikasi adalah budaya. Melalui proses komunikasi budaya yang

abstak itu dapat terwujud menjadi nyata dan dapat dimengerti, diwariskan

(tradisi lisan dan tulisan) dan diubah serta dikontekstualisasikan dari satu

generasi ke generasi berikutnya. Komunikasi juga berperan penting dalam

hal mendefinisikan serta mengkonstruksikan pengalaman-pengalaman

budaya.

2.2.2 Budaya Lonto leok

2.2.2.1 Pengertian

Budaya Lonto leok merupakan karakter dasar orang Manggarai (perang’e

data Manggarai). Sebagai warisan budaya, Lonto leok sudah menjadi bagian dari

kehidupan orang Manggarai dalam menjalankan peradabannya baik di ranah

sosial, politik, pendidikan, agama dan di dalam berbagai ritual serta upacara adat.

Menurut Petrus Janggur (2010:135), Lonto leok artinyaduduk melingkar untuk

membicarakan dan menyelesaikan segala masalah. Masalah yang dimaksud dapat

ditemukan dalam ranah sosial, politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan budaya.

17
Budaya ini merupakan bentuk musyawarah mufakat dalam konteks

masyarakat adat Manggarai dan simbol persatuan, persaudaraan dan kekeluargaan

dalam menyelesaikan masalah. Makna tersebut sangat tampak dalam sikap duduk

(dalam bentuk lingkaran), simbol adat yang dipakai misalnya tuak, ayam, pakaian

adat dan pribahasa adat yang digunakan dalam Lonto leok . Selain itu Landur

dalam artikelnya “Menelisik Demokrasi Budaya Lonto leok” dalam

(chreezt.blogspot.sg/2012/05/menelisik-nilai-demokrasi-budaya-lonto.html?m=1)

menjelaskan Lonto leok sebagai pertemuan atau rapat yang dihadiri oleh warga

kampung untuk mengurus segala masalah di kampung tersebut.

Dewasa ini, konsep Lonto leok ini dipahami secara baru. Lonto leok tak

lagi semata-mata pertemuan adat dan mbaru gendang tak otomatis lagi menjadi

tempat berlangsungnya acara tersebut. Lebh dari itu, Lonto leok berarti

pertemuan apa saja yang berkaitan dengan kesejahteraan bersama warga kampung

dan tempat berlangsungnya pun bisa diadakan dimana-mana sesuai kesepakatan

dan kebutuhan.

Spririt Lonto leok sebagai sebuah budaya dapat dilacak melalui pribahasa

adat Manggarai seperti: Muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambo neka

woleng lako (Pisang serumpun jangan berbeda kata, tebu serumpun jangan

berbeda jalan), ipung ca tiwu-neka woleng wintuk, nakeng ca wae-neka woleng

tae (ikan ipun sekolam jangan beda tindakan, ikan sekali jangan beda bicara), ema

agu anak neka woleng curup, weta agu nara-neka woleng bantang (Ayah dan

anak jangan beda kata, saudara dan saudari jangan berbeda mufakat).

18
Biasanya, dalam membuka suatu Lonto leok , diawali dengan ucapan atau

sapaan adat dari tuan rumah atau yang mengundang untuk menyampaikan rasa

syukur dan menyampaikan maksud serta tujuan diadakanya suatu Lonto leok

melalui upacara Kepok. Kepok itu sendiri adalah ungkapan adat yang

disampaikan pada upacara penerimaan tamu atau dalam meminta sesuatu yang

diinginkan oleh komunikator. Kepok juga sebagai ungkapan kesenangan hati

dalam penerimaan (tamu) dari tuan rumah atau tuan tanah (beo) yang tidak

disampaikan secara langsung melainkan melalui pribahasa adat (goet). Biasanya,

tamu-tamu tersebut adalah orang yang dianggap penting dan dipandang besar

dalam kaitannya dengan status dan peran sosial.

Setelah upacara kepok dijalankan, tuan rumah atau yang mengundang

langsung memulai diskusi atau memberikan kesempatan kepada orang dianggap

mampu dan berwibawa seperti kepala kampung (tua gendang) untuk memimpin

diskusi. Seorang pemimpin Lonto leok maupun peserta, harus memenuhi unsur

tata karma dalam berbica ra dan bersikap. Misalnya terungkap dalam pribahasa

tipek mu’u agu madis ba weki yang bermakna tertib berbahasa dan berperilaku

santun sesuai dengan kata-kata yang diucapkan. Inilah yang membedakan duduk

berkumpul dalam konteks Lonto leok dengan perkumpulan biasa dalam adat

Manggarai untuk sekadar membahas guyon, candaan, dan bertamu (lejong) serta

pembeda antara budaya duduk berkumpul di daerah lain.

Lonto leok dalam bingkai yang lebih luas tidak bisa berdiri sendiri sebagai

sebuah upacara adat. Frans Salesman (Regus, 2011: 49) dalam analisisnya

19
memperlihatkan ritual dan upacara orang Manggarai dari jenis waktu

pelaksanaanya, yakni:

1. Ritual yang berkaitan dengan proses kehidupan awal manusia, yaitu:

kehamilan, masa nifas dan menopause;

2. Ritual yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan interaksi sosial,

yaitu: mata pencaharian, penyakit, perkawinan, syukuran dan selamatan,

sumbangan sosial; dan

3. Ritual yang berkaitan dengan transisi antara kehidupan dunia dan akhirat,

yaitu kematian.

Selain tiga poin yang disampaikan Frans Salesman dalam disertasinya,

sebenarnya orang Manggarai punya relasi yang intens dengan “dunia seberang”

melalui ritus-ritus khusus. Munculnya ritual teing hang dalam upacara penti,

misalnya, merupakan salah satu bukti keberlanjutan relasi antara manusia, leluhur,

pencipta dan alam semesta.

Berkaitan dengan pembagian ritual adat ini, Lonto leok sering terjadi pada

ritual yang berkaitan kelangsungan hidup dan interaksi sosial orang Manggarai.

Namun tidak menutup kemungkinan pada fase kelahiran dan kematian juga bisa

diadakan Lonto leok misalnya dalam persiapan ritual delap (penyambutan bayi)

dan persiapan menyambut ritual kelas (pemutus hubungan antara yang hidup dan

yang mati).

Berdasarkan gambaran di atas, dapat disumpulkan bahwa budaya Lonto leok

merupakan bentuk musyawarah adat untuk mencari dan menemukan solusi dari

suatu masalah dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan budaya

20
yang dilakukan dalam semangat kekeluargaan, persaudaraan dan persatuan serta

diwariskan secara turun temurun sebagai kebiasaan, karakter, perilaku, dan sistem

nilai dalam masyarakat adat Manggarai.

2.2.2.2 Jenis-Jenis Lonto leok

Menurut Kristian Landur dalam tulisannya(http:chreezt.blogspot.sg/2012/0/

menelisik-nilai-demokrasi-budaya-lonto.html?m=1) yang diunduh Jumat, 03 Juli

2015, jenis-jenis lonto leok dibagi atas:

1. Lonto leok adat (riang adak)

Merupakan jenis Lonto leok yang diadakan dalam rangka upacara atau

ritual adat yang akan atau sedang dilaksanakan dalam kampung. Dalam

Lonto leok ini dibahas mengenai persiapan, kelangsungan upacara, biaya

dan juga evaluasi sebuah upacara atau ritual adat

2. Lonto leok agama (riang imbi)

Musyawarah yang diadakan dalam rangka mempersiapkan upacara agama

seperti misa syukur, pentabisan imam baru, kunjungan Uskup atau tokoh

gereja, dll

3. Lonto leok politik (riang pelitik/negara)

Merupak jenis Lonto leok dalam rangka kunjungan pemerintah, kegiatan

yang diselenggarakan pemerintah atau sosialisasi tertentu yang diadakan

dalam suatu kampung untuk memperlancar kegiatan dan melibatkan banyak

orang dalam kegiatan tersebut. Forum Lonto leok juga biasa digunakan

dalam sosialisasi seorang calon legislator, calon bupati, gubernur untuk

meminta dukungan dan meminta partisipasi politik masyarakat.

21
4. Lonto leok sekolah (riang sekolah kudut mbiang dila, tea nera)

Yakni Lonto leok yang diadakan untuk persiapan sekolah, pesta sekolah,

ritual wuat wa’i, dll. Inti dari Lonto leok ini adalah meminta dukungan

moral maupun material dari segenap warga kampung untuk persiapan

sekolah anak. Biasanya Lonto leok ini dibuat saat seorang anak masuk ke

dalam jenjang perguruan tinggi

2.2.2.3 Prinsip-Prinsip Lonto leok

Dalam Lonto leok selalu menggunakan prinsip-prinsip berikut ini:

1. Muku ca pu’u neka woleng curup

Artinya, pisang serumpun jangan berbeda kata. Dalam Lonto leok yang

hadir adalah serumpun warga kampung. Di sana terjadi bantang cama reje

leleng (bersama-sama melakukan rapat dengar-pendapat). Hasil dari Lonto

leok yang diharapkan adalah semua warga seia sekata seperti tumbuhan

pisang yang selalu bertumbuh secara merumpun atau mengelompok.

2. Teu ca ambo neka woleng lako

Artinya, tebu serumpun jangan beda jalan. Prinsip ini juga merujuk pada

hasil dari Lonto leok tersebut. Maksud dari prinsip ini adalah apa yang

telah diputuskan bersama harus diikuti dan dijalani. Beda jalan bukanlah

tujuannya.

3. Ipung ca tiwu neka woleng wintuk

Arti harafiah dari go’et ini adalah ikan sekolam jangan berbeda tindakan.

Prinsip ini menekankan kesamaan tindakan. Di sini mau ditunjukkan bahwa

semua warga kampung harus bertindak bersama-sama.

22
4. Nakeng ca wae neka woleng tae

Artinya, ikan se-kali (sungai) jangan berbeda bicara. Prinsip ini

menekankan kesamaan kata. Maksudnya apa yang telah disepakati itulah

yang dibicarakan. Neka somor nggara olo sumir nggara musi (jangan plin

plan lain ke depan lain ke belakang).

5. Ema agu anak neka woleng curup

Artinya, ayah dan anak jangan berbeda kata. Prinsip ini menunjukkan

bahwa orang tua sejatinya harus sekata dengan anak-anaknya. Dan juga

generasi tua harus sekata dengan generasi muda.

6. Weta agu nara neka woleng bantang

Secara harafiah artinya adalah saudari dan saudara jangan berbeda

musyawarah untuk mufakat. Di sini kelihatannya masyarakat Manggarai

menjujung tinggi kesamaan martabat wanita dan pria. Oleh karena itu,

wanita dan pria harus memiliki satu kesepakatan. Pola cama-cama ata

mendo, teti cama-cama ata geal (pikul sama-sama yang berat, angkat sama-

sama yang ringan).

2.2.2.4 Unsur-Unsur Lonto leok

Menurut Petrus Janggur (2010:135), Lonto leok memiliki unsur-unsur

budaya yang terintegral dalam upacara tersebut, yakni:

1. Mbaru gendang (rumah adat)

Mbaru artinya rumah, gendang artinya alat musik tradisional Manggarai

yang dibuat dari kayu dan kulit kambing. Dalam satu kampung hanya

mempunyai satu rumah adat dan memiliki kedudukan yang tinggi dari

23
semua rumah yang lain karena di dalam rumah inilah tinggalnya tua golo

atau tua gendang (kepala kampung). Di rumah ini juga tempat

menyelenggarakan pesta-pesta besar dalam kampung dan menjamu tamu-

tamu agung yang mengunjungi desa. Dalam menjalankan Lonto leok ,

biasanya semua pihak yang terkait diundang ke rumah gendang untuk

bermusyawarah mencari solusi dari suatu masalah juga sebagai tempat

menjamu tamu-tamu yang datang mengunjungi kampung. Konsep Lonto

leok itu sendiri bertolak dari bentuk rumah adat yang kerucut. Oleh karena

itu, setiap kali terjadi upaca Lonto leok selalu dalam posisi duduk

melingkar sesuai dengan bentuk rumah tersebut.

2. Tua Adat atau komunikator adat

Biasanya status dan peran tua golo sebagai kepala kampung diwariskan

kepada keturunan sulung dari suku uang tergolong penduduk asli. Tetapi

ada pula yang diganti oleh adik atau keturunan adiknya (wa’e ase) dan

orang yang dianggap mampu . Peran tua golo dalam upacara ini sangat

penting karena dia merupakan pengambil keputusan akhir berdasarkan

usul, saran dan masukan dari forum adat.

3. Bahasa adat (goet)

Unsur lain yang terintegral dalam budaya Lonto leok adalah bahasa. Di

sini bahasa yang dipakai bukan hanya bahasa Manggarai yang dipakai

dalam interaksi keseharian, tetapi juga pribahasa adat (goet) yang memiliki

makna tertentu dalam masyarakat Manggarai.

24
4. Warga kampung (Komunikan)

Merupakan utusan dari keluarga, suku, atau pihak yang bermasalah yang

sengaja dihadirkan untuk mengikuti serta member pertimbangan dalam

proses Lonto leok .

5. Simbol adat

Simbol adat yang dimaksud adalah material adat yang dipakai dalam

upacara Lonto leok yang memiliki arti dan maknanya tersendiri seperti tuak

kepok, ayam, dan pakaian adat yang dipakai dalam upacara tersebut

2.2.3 Komunikasi

2.2.3.1 Pengertian

Kata atau istilah komunikasi dari bahasa Inggris “communication”. Secara

etimologis berasal dari bahasa Latin, communicatus, dan perkataan ini bersumber

pada kata communis. Dalam kata communis ini memiliki makna berbagi atau

menjadi milik bersama yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan bersama atau

kesamaan makna. Komunikasi secara terminologis merujuk pada adanya proses

penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Jadi, dalam

pengertian ini yang terlibat dalam komunikasi adalah manusia.

Definisi dan pengertian komunikasi menjadi semakin banyak dan beragam

dalam perkembangannya. Masing-masing mempunyai penekanan arti, cakupan,

konteks yang berbeda satu sama lain, tetapi pada dasarnya saling melengkapi dan

menyempurnakan makna komunikasi sejalan dengan perkembangan ilmu

komunikasi. Deddy Mulyana dan Jallaludin Rakhmat (2009:14) mendefinisikan

komunikasi sebagai suatu proses dinamik-transaksional yang mempengaruhi

25
perilaku sumber (source) dan penerimanya (receiver) yang dengan sengaja

menyandi (to code) perilaku mereka untuk menghasilkan pesan yang mereka

salurkan lewat suatu saluran (Channel) guna merangsang/memperoleh

sikap/perilaku tertentu.

Carl I. Hovland dalam Mulyana (2010: 69) menyatakan bahwa komunikasi

adalah proses yang memungkinkan seseorang menyampaikan rangsangan

(biasanya lambing-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain.

Sedangkan Everest M.Rogers dan D. Lawrence Kincaid dalam Cangara

(2006:19) mengemukakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana dua

orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu

sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba saling perngertian yang mendalam.

Selanjutnya West dan Turner dalam bukunya Teori Komunikasi Analisis

dan Aplikasi (2009:5), komunikasi merupakan proses sosial dimana individu-

individu menggunakan symbol-simbol untuk menciptakan dan

menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka.

Harold Lasswell dalam (Cangara, 2006:18) menjelaskan secara singkat

bahwa komunikasi ialah menjawab pertanyaan “Siapa yang menyampaikan, apa

yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan apa pengaruhnya”.

Dari pernyataan Laswell di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang

meliputi komunikasi adalah komunikator, pesan, media, komunikan dan efek.

Setiap unsur ini saling terpaut dalam membangun proses komunikasi yang efektif

dan efisien. Jadi, dapat diambil benang merah bahwa komunikasi merupakan

suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran

26
pesan dan informasi secara langsung atau melalui media, secara verbal maupun

nonverbal yang disampaikan pada komunikan untuk mencapai kesamaan makna

dan memberikan efek tertentu terhadap perilaku, gagasan, perubahan sikap

maupun perubahan sosial.

2.2.3.2 Tujuan komunikasi

Tujuan komunikasi adalah membangun dan menciptakan pemahaman atau

pengertian bersama. Menurut Marhaeni Fajar dalam bukunya Ilmu Komunikasi

Teori dan Praktek (2009: 60-62), menjelaskan bahwa saling mengerti dan saling

memahami bukan berarti harus menyetujui tetapi mungkin degan terjadi

perubahan sikap, perubahan pendapat, perubahan perilaku dan perubahan sosial.

1. Perubahan sikap

Setelah mendapat kesamaan makna dalam proses komunikasi sikap yang

diperoleh bisa berupa positif maupun negatif. Dalam berbagai situasi dan

konteks sosial seseorang bisa mempengaruhi sikap orang agar sesuai

dengan keinginan dan cita-citanya.

2. Perubahan pendapat

Pendapat bisa diubah setelah mendapatkan pemahaman. Pemahaman ini

akan disusul dengan perubahan pendapat komunikan sesuai dengan

interpretasi yang dihasilkan dalam proses komunikasi.

3. Perubahan perilaku

Perubahan sikap dan pendapat akan berujung pada perubahan perilaku.

Komunikasi dapat mengubah kebiasaan dan perilaku yang lama menjadi

sesuai dengan apa yang disampaikan oleh komunikator.

27
4. Perubahan sosial

Komunikasi dapat menyatukan ikatan hubungan dengan orang lain

sehingga ikatan tersebut dapat diarahkan menuju perubahan interaksi

sosial dalam masyarakat.

2.2.3.3 Unsur-Unsur Komunikasi

Cangara dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi (2006:23)

mengemukakan unsur-unsur komunikasi yang berkaitan satu sama lain yakni

1. Sumber

Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat

dan pengirim informasi. Sumber ini bisa terdiri dari satu orang, tetapi juga

bisa dalam bentuk kelompok.

2. Pesan

Pesan yang dimaksud adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada

penerima. Pesan bisa disampaiakan secara tatap muka atau melalui media.

Isinya bisa berupa pengetahuan, hiburan, informasi, nasihat atau

propaganda.

3. Media

Media yang dimaksud adalah alat yang digunakan untuk memindahkan

pesan dari sumber kepada penerima

4. Penerima

Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh

sumber. Penerima bisa berupa satu orang atau lebih, bisa berupa

kelompok, partai atau negara.

28
5. Pengaruh

Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan,

dirasakan dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima

pesan

6. Tanggapan balik

Ada yang beranggap bahwa umpan balik adalah salah satu bentuk dari

pada pengaruh yang berasal dari penerima. Akan tetapi sebenarnya umpan

balik bisa juga berasal dari unsure lain seperti pesan dan media, meski

pesan belum sampai pada penerima.

7. Lingkungan

Lingkungan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi yakni

faktor fisik, lingkungan sosial budaya, lingkungan psiklogis dan dimensi

waktu.

2.2.3.4 Dimensi Komunikasi

Prof. Alo Liliweri (2004: 46) menemukan definisi komunikasi manusia

yang di dalamnya mengandung beberapa dimensi yaitu:

1. Simbol: Segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyatakan

sesuatu maksud tertentu (ada yang menyebutnya sebagai pesan)

2. Media untuk mengalihkan symbol-simbol

3. Proses kognitif yang mempengaruhi peralihan dan interpretasi symbol

4. Norma-norma sosial yang membangun makna-makna tertentu atas

symbol yang dikirim dan diterima tersebut

29
2.2.4 Komunikasi Politik

2.2.4.1 Pengertian

Untuk memahami komunikasi politik dalam penelitian ini, penulis merujuk

pada pendapat beberapa ahli. Dan Nimmo dalam mengkaji komunikasi politik

melibatkan unsur-unsur komunikator politik, pesan politik, media politik,

khalayak politik serta akibat-akibat komunikasi politik. Dengan demikian

komunikasi politik merupakan pembicaraan politk yang melibatkan unsur -unsur

komunikasi dengan akibat-akibat poltik tertentu (Nimmo, 1993:8). Nimmo sendiri

mengartikan komunikasi politik sebagai pembicaraan tentang politik.

Muis (2000: xiv) mengemukakan komunikasi politik adalah proses

komunikasi yang bermuatan penggunaan kecerdasan, kepintaran, kecerdikan,

bahkan kelicikan (sagacity, expediency, Crafitiness,judiciousness, schemingness)

dengan tujuan menguasai dan mengatur negara dan masyarakat. Pengertian ini

secara implisit lebih mengedepankan pragmatisme politik dari pada tuntutan

komunikasinya. Dominasi ranah politik dapat dilihat dari porses komunikasi

dengan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Lebih lanjut Muis

mencoba mendiskripsikan tentang penggunaan segala macam pola komunikasi

yang dapat dilakukan oleh lembaga kekuasaan, lembaga legislatif, lembaga

hukum, lembaga politik, lembaga masyarakat, lembaga ekonomi atau kelompok

pelaku ekonomi besar (presure group), dan lembaga komunikasi massa untuk

mengontrol, menguasai dan mengatur masyarakat dan negara.

Sementara itu, David Bell dalam menjelaskan komunikasi politik lebih

menekankan pada kepentingan-kepentingan yang mendasari komunikasi tersebut.

30
Bell mengindikasikan ada tiga kepentingan dalam komunikasi politik antara lain:

pembicaraan politik yang berhubungan dengan kepentingan kekuasaan,

pembicaraan pengaruh (mempengaruhi seseorang tanpa ancaman) dan

pembicaraan otoritas (Ali, 1999:132). Dari pemaparan Bell di atas dapat dipahami

bahwa komunikasi politik merupakan aktifitas komunikasi yang berhubungan

dengan kekuasaan, baik untuk mendapatkan maupun memperoleh kekuasaan, atau

untuk mempengaruhi orang lain serta komunikasi yang bersifat member perintah.

Komunikasi politik menurut Denton dan Woodward dalam McNair (2011:3)

didefinisikan sebagai: Pure discussion about the allocation of public resource,

official authority (who is given the power to make legal. Legislative and executive

decision), and official sanctions (what the state rewards or punishes. Maknanya,

komunikasi politik adalah pembahasan murni tentang alokasi sumber daya publik,

otoritas pejabat (yang diberi kekuasaan untuk membuat keputusan legal, legislatif,

dan eksekutif, serta sanksi resmi (apa yang diberikan oleh negara, imbalan atau

hukuman).

Sementara itu cakupan komunikasi politik menurut McNair adalah:

1. Semua bentuk komunikasi yang dilakukan oleh politikus dan pelaku

politik lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu;

2. Komunikasi yang ditujukan kepada para pelaku-pelaku politik oleh yang

bukan politisi seperti pemilih dan kolomnis Koran

3. Komunikasi tentang para pelaku-pelaku politik dan aktivitas mereka

seperti yang terdapat pada laporan berita, editorial, dan bentuk lain dari

pembahasan media tentang politik

31
Kajian komunikasi politik mengarah pada hubungan antara tiga elemen

dalam proses tindakan politik dipahami dan disadari. Tiga elemen tersebut adalah

organisasi politik, media dan warga negara. Ketiganya digambarkan sebagai

berikut:

Gambar 1. Elemen Komunikasi Politik

PARTIES
Reportage, Political organization
Public organization
Editorials, Pressure Group
Terrorist organization
Commentary,
Asnalysis Apepeals
Programmes, advertising
MEDIA public relation

opinion polls
letters,
citizen journalism
reportage,
editorials,

commentary, CITIZENS
analysis
Sumber: Wibowo (2013:12)

Dalam gambar ini, McNair menguraikan bahwa aktor politik adalah partai

politik yang sudah terbentuk, kumpulan dari para individu yang bersama-sama

dalam kesepakatan organisasi dan struktur individu mencapai kesepakatan

bersama. Tujuan yang merefleksikan sistem nilai dan ideologi. Sementara pola

32
komunikasi yang terjadi dalam gambar ini bukan pola komunikasi linear

melainkan interaktif melalui tiga komponen tersebut. Dalam konteks pemilu di

Indonesia, misalnya dalam kampanye politik, pola komunikasi yang terjadi bisa

melalui media bisa juga melalui komunikasi langsung antara aktor politik dan

masyarakat.

Berbekal dari pengertian tersebut komunikasi politik merupakan aktifitas

komunikasi yang dilakukan oleh semua elemen masyarakat, baik yang terdapat

dalam struktur kekuasaan (lembaga-lembaga negara), maupun lembaga di luar

negara (pers, lembaga masyarakat, pelaku ekonomi) yang berhubungan dengan

kepentingan-kepentingan untuk mengatur, menguasai atau mengontrol suatu

Negara/wilayah/daerah dan masyarakat. Dengan demikian dalam komunikasi

politik sarat dengan kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan cara

mendapat kekuasaan serta menggolkan kepentingan pribadi dan kelompok dalam

suatu peristiwa politik.

2.2.4.2 Unsur-Unsur Komunikasi Politik

Sebagaimana unsur-unsur komunikasi pada umumnya, maka komunikasi

politik terdiri dari beberapa unsur yaitu: komunikator politik, komunikan, isi

komunikasi (pesan-pesan) media komunikasi, tujuan komunikasi, efek, dan

sumber komunikasi. Setiap unsur jelas fungsinya, yang mengarah kepada

tercapainya fungsi primer komunikasi politik yaitu tujuan komunikasi. Dalam

komunikasi politik, maka fungsi primer komunikasi melembaga dengan fungsi

primer negara sesuai sistem politik yang melandasinya (Rudy, 2005:3) yakni:

33
a. Komunikasi Politik.

Dalam komunikasi politik yang dimaksud komunikator, yaitu individu-

individu yang berada dalam suatu instusi, asosiasi, partai politik, lembaga-

lembaga pengelola media massa dan tokoh-tokoh masyarakat. Komunikator

politik dapat pula berupa negara, badanbadan internasional dan mereka yang

mendapat tugas atas nama negara. Komunikator politik merupakan bagian integral

dalam berlangsungnya proses komunikasi. Komunikator politik yang memberi

warna dominan terhadap proses komunikasi, yaitu komunikator yang menduduki

struktur kekuasaan, karena merekalah yang mengelola, mengendalikan lalu lintas

transformasi pesan-pesan komunikasi dan mereka yang menentukan

kebijaksanaan nasional. Karena itu sebagai komunikator politik dituntut berbagai

persyaratan agar proses komunikasi mencapai sasaran sebagaimana diharapkan.

Persyaratan-persyaratan yang dimaksud yaitu:

1. Memiliki nuansa yang luas tentang berbagai aspek dan masalah-masalah

kenegaraan.

2. Memiliki komitmen moral terhadap sistem nilai yang sedang berlangsung.

3. Berorientasi kepada kepentingan negara.

4. Memiliki kedewasaan emosi (emotional intelligence)

5. Jauh dari sikap hipokrit (cognitive dissonance)

Komunikator politik yang berada dalam struktur kekuasaan disebut juga

sebagai elit berkuasa. Sedangkan elit yang tidak duduk pada sruktur kekuasaan-

kekuasaan disebut elit masyarakat yaitu elit yang paling besar jumlahnya, karena

34
elit ini berada dalam berbagai asosiasi kemasyarakatan yang berhubungan dengan

seluruh aspek kehidupan (Mulyana, 2010:5)

b. Komunikan.

Komunikan adalah seseorang atau sekelompok orang sebagai subyek yang

dituju oleh komunikator (pengirim/penyampai pesan), yang menerima pesan-

pesan (berita, informasi, pengertian) berupa lambang-lambang yang mengandung

arti atau makna.

c. Isi (pesan-pesan) komunikasi.

Isi (pesan-pesan) komunikasi merupakan produk penguasa setelah melalui

proses encoding atau setelah diformulasikan ke dalam simbol-simbol sesuai

lingkup kekuasaan. Pada dasarnya isi komunikasi akan terdiri dari:

1. Seperangkat norma yang mengatur lalu lintas transpormasi pesan.

2. Panduan dan nilai-nilai idealis yang tertuju kepada upaya mempertahankan dan

melestarikan sistem nilai yang sedang berlangsung.

3. Sejumlah metode dan cara pendekatan untuk mewujudkan sifat-sifat integrative

bagi penghuni sistem.

4. Karakteristik yang menunjukkan identitas negara.

5. Motivasi sebagai dorongan dasar yang memicu pada upaya meningkatkan

kualitas hidup bangsa.

Dari ungkapan diatas memberi informasi bahwa komunikasi didalam

prosesnya berada pada struktur formal. Pesan-pesan komunikasi mengalir menurut

jenjang struktur kekuasaan sampai kepada sasaran.

35
d. Media Komunikasi

Dalam sistem politik yang bagaimana pun bentuk dan sifatnya, maka media

komunikasi mendapat tempat yang cukup penting. Media komunikasi menjadi

pusat perhatian penguasa sebagai alat untuk mendapat legitimasi rakyat didalam

melakukan kebijaksanaan dan sekaligus memperkuat kedudukan penguasa melalui

pesan-pesan komunikasi yang telah direpresentasikan

kedalam simbol-simbol kekuasaan.

e. Tujuan komunikasi

Dalam komunikasi politik, tujuan komunikasi selalu berhimpit (bahkan

melembaga) dengan tujuan negara untuk mencapai tujuan tersebut, maka sumber-

sumber komunikasi dikelola secara bijak melalui perencanaan yang matang dan

terarah. Sifat dan bentuk tujuan yang hendak dicapai akan sangat bergantung

kepada sistem politik yang mendasari nya. Hal ini akan tampak jelas dari ideal

normatif negara yang tertuang dalam ketentuan normatif masing-masing sistem.

f. Efek komunikasi

Efek adalah hasil dari penerimaan pesan atau informasi yang disampaikan

oleh komunikan. Pengaruh atau kesan yang timbul setelah komunikan menerima

pesan. Efek dapat berlanjut dengan pemberian respon tanggapan atau jawaban

yang di sebut umpan balik atu feedback. Feedback adalah arus balik yang berupa

tanggapan atau jawaban dalam rangka proses komunikasi yang bertujuan untuk

saling pengertian atau memperoleh kesepakatan bersama.

36
g. Sumber komunikasi politik

Sumber (source) sangat menentukan kualitas dan kredebilitas komunikasi.

Sumber diartikan sebagai asal keluarnya, di peroleh atau munculnya isu, informasi

yang dapat di jadikan materi pesan komunikasi. Sumber dapat berasal dari

individu karena idenya yang sangat berharga, atau dapat pula bersumber dari elit

politik dan dapat pula berasal dari suatu faham. Dari unsur-unsur tersebut,

keberhasilan proses komunikasi pada akhirnya bermuara pada kemampuan

komunikator dalam memotivasi komunikan untuk berbuat sesuatu sesuai

kebijaksanaannya yang telah ditetapkan komunikasi elit berkuasa.

2.2.4.3 Strategi Komunikasi Politik

Strategi merupakan pendekatan, cara, metode yang dipakai dalam

menggolkan suatu kepentingan. Dalam kontek komunikasi politik, strategi yang

dimaksud adalah pendekatan yang dipakai oleh aktor politik untuk menyampaikan

pesan sehingga menimbulkan reaksi atau perilaku memilih. Strategi komunikasi

politik, menurut Wibowo (2013:147) terdiri dari:

1. Strategi Komunikasi Antarpribadi

Ditemukan pendekatan-pendekatan komunikasi antarpribadi seperti:

Pendekatan kompetensi diri yaitu pendekatan yang dilakukan dengan

memunculkan kemampuan diri yang dimiliki seperti ketenaran dan

keterampilan; pendekatan pengalaman yaitu pendekatan yang dilakukan

oleh caleg yang sudah pernah menjabat sebelumnya; pendekatan budaya

yaitu pendekatan yang dilakukan melalui medium budaya terutama seorang

caleg yang memiliki budaya yang sama; pendekatan kontradiksi yakni

37
pendekatan yang dilakukan dengan cara memberikan argumentasi yang

berlawanan; pendekatan tokoh masyarakat yaitu pendekatan yangn khusus

pada simpul-simpul komunikasi masyarakat; dan pendekatan pada

masyarakat yaitu pendekatan dengan langsung berinteraksi dengan

masyarakat dalam berbagai kegiatan dan peristiwa.

2. Strategi Komunikasi Kelompok

Pendekatan ini dilihat dari dua sisi yakni konteks kelompok sebagai aktor-

aktor kampanye dan kelompok sebagai audiens yaitu komunitas-komunitas

pada masyarakat. Ada banyak model strategi komunikasi yang dijalankan

seperti: kampanye kelompok yang berasal dari partai yang sama secara

bersama-sama baik dengan nomor urut yang sama atau berbeda melakukan

kampanye pada daerah pemilihan yang sama atau berbeda; strategi

kampanye kelompok dengan nomor urut beda dan dapil berbeda; dan

strategi kampanye kelompok dengan nomor urut beda dan dapil sama.

Sinergi kelompok ini biasanya memberikan mutualisme simbiosis bagi

semua pihak. Namun dalam kenyataanya banyak peserta kampanye yang

incumbent justru diharapkan membantu menarik peraihan suara bagi peserta

kampanye yang baru.

2.2.5 Kerangka Teoritis

Paradigma yang dipakai oleh penulis dalam penelitian ini adalah paradigma

fenomenologi yang memandu penulis dalam menjawabi pertanyaan penelitian.

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomai, yang berarti menampak

dan phainomenon merujuk pada yang menampak. Istilah fenomenologi

38
diperkenalkan oleh Johan Heinrickh Lambert. Meskipun pelopor fenomenologi

adalah Husserl, fenomenologi banyak dikupas oleh Schutz yang tetap berdasar

pada pemikiran Husserl. Hal ini diungkapkan oleh George Ritzer dan Barry Smart

(2012:460) yang menyatakan fenomenologi ialah suatu perspektif yang modern

tentang dunia manusia dan merupakan gerakan filsafat yang paling dekat

hubungannya dengan abad ke-20 dimana banyak penulis-penulis yang mengambil

tulisan Hussserl sebagai titik tolak mereka. Pada bagian ini Husserl secara tegas

menolak Descartes untuk meragukan segala sesuatu dan hanya menerima apa

yang diperolehnya dengan menggunakan akalnya sendiri sebagai sesuatu yang

pasti, bukan muatan substansi dalam pandangan filsafat modern tentang realitas.

Husserl mengimbau untuk memperhatikan pengalaman dan mendasarkan

kepastian pada pengalaman sendiri (self-experience) untuk mendapat kejelasan

filsafat. Husserl (1931) sebagaimana yang dikutip Ritcher (2012:463) mengakui

pengalaman diri itu bebas dari segala otoritas eksternal; ‘masing-masing dari kita

membawa di dalam dirinya sendiri jaminan akan keberadaannya yang mutlak’.

Ada dua alasan utama mengapa Schutz dijadikan pusat dalam penerapan

metodologi penelitian kualitatif yang menggunakan paradigma fenomenologi.

Pertama, karena melalui Schutz-lah pemikiran dan ide Husserl yang dirasa abstrak

dapat dijelaskan dengan lebih gamblang dan mudah dipahami. Kedua, Schutz

merupakan orang pertama yang menerapkan fenomenologi dalam penelitian ilmu

sosial.

Schutz dalam Anung (2013:16) mengawali pemikiranya dengan mengatakan

obyek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan dengan interpretasi

39
terhadap realitas. Orang-orang saling terkait satu sama lain ketika membuat

interpretasi ini. Tugas penulis sosial-lah yang menjelaskan secara ilmiah proses

ini. Dalam melakukan penelitian, penulis mengasumsikan dirinya sebagai orang

yang tidak tertarik atau bukan bagian dari dunia orang yang diamati. Penulis

hanya terlibat secara kognitif dengan orang yang diamati.

Fenomenologi dapat diartikan sebagai pengalaman subyektif atau

fenomenologis, studi tentang kesadaran dan persepektif pokok dari seseorang,

atau anggapan umum yang menunjukkan pengalaman subyektif dari berbagai

jenis dan tipe subyek yang ditemui. Dalam arti yang lebih khusus istilah ini

mengacu pada penelitian terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif pertama

seseorang, sebagai suatu disiplin ilmu Fenomenologi merupakan pandangan

berpikir yang menekankan pada pengalaman-pengalaman subyektif manusia dan

interpretasi-interpretasi dunia dan berusaha memahami bagaimana dunia muncul

kepada orang lain. Fenomenologi oleh Wibowo (2013:17) memiliki cirri yakni:

1. Cenderung mempertanyakan naturalisme atau obyektivisme dan positivism

yang telah berkembang sejak renaisans dalam pengetahuan modern dan

teknologi

2. Memastikan kognisi yang mengacu pada yang dinamakan evidenz yaitu

kesadaran akan suatu benda

3. Percaya bahwa tidak hanya suatu benda yang ada dalam dunia alam dan

budaya

Berdasarkan pandangan fenomenologis, individu dalam masyarakat sangat

mungkin membangun pola-pola pandangan yang merupakan negasi atau oposisi

40
dari formulasi dominan. Individu justru membangun kognisi, nilai dan norma

alternatif yang bertentangan sama sekali dengan pesan atau peristiwa-peristiwa

politik. Situasi ini menyajikan sikap kritis individu dan kemampuannya untuk

membangun basis pandangan alternatif.

Pandangan individu juga berpotensi membangun sinkretisme antara

sejumlah pandangan, baik pandangan dominan maupun situasi praktis yang

dialaminya. Individu dalam masyarakat melakukan negosiasi dalam proses

memahami pesan-pesan politik yang disebarluaskan dalam kampanye dengan

berbagai pendekatan. Jadi, yang ditekankan dalam fenoemenologi adalah

pemahaman terhadap pengalaman subyektif atas peristiwa dan kaitannya yang

melingkupi subyek. Dalam penelitian ini, peneliti akan ‘merekam’ dunia

(pengalaman , pemikiran, dan perasaan subyektif) si subyek dan mencoba

memahami atau menyelaminya.

2.3 Kerangka Berpikir

Salah satu karakter dasar orang Manggarai (perange data Manggarai) suka

bergotong royong seperti yang terungkap dalam go’et “gori cama-cama”, kerja

sama. Bentuk-bentuk konkrit dari gotong royong ini, antara lain dalam hal

mendirikan rumah, teristimewa membangun mbaru gendang, membangun jalan

raya, membiayai pendidikan anak sekolah, pada urusan nikah, pada peristiwa

kematian, peristiwa politik, dll.

Dalam setiap bentuk konkrit gotong royong di atas, biasanya masyarakat

Manggarai memulainya dengan sebuah pertemuan yang disebut lonto leok .

Sebelum acara lonto leok , tu’a gendang menabuh gendang/gong sebagai tanda

41
bahwa ada pertemuan yang akan dilaksanakan. Dalam forum ini posisi semua

orang yang hadir adalah sejajar dan tidak ada yang ditinggikan, namun tetap

memiliki prinsip-prinsip yang telah ditetapkan bersama.

Setelah semua warga atau yang mewakili hadir, upacara ini dibuka dengan

kepok atau sapaan penghormatan terhadap forum yang dilakukan oleh tua

gendang atau yang mewakili. Setelah itu, pemimpin rapat (tu’a golo)

melemparkan tema pertemuan. Tema pertemuan itu kemudian didiskusikan oleh

semua warga yang mengikuti pertemuan. Sudah barang tentu di sini terjadi pro

dan kontra. Namun, dari pro dan kontra ini akan menghasilkan sebuah keputusan

final atau mufakat. Keputusan final yang telah dicapai tentu merupakan keputusan

yang satu dan sama. Oleh karena itu, semua warga harus bersatu melaksanakan

keputusan bersama ini. Hal nyata dalam go’et-go’et berikut ini; “nai ca anggi

tuka ca leleng, bantang cama reje leleng; muku ca pu’u neka woleng curup, teu

ca ambo neka woleng lako”.

Dalam perkembangan demokrasi khususnya melalui pemilihan langsung,

budaya ini sering kali dijadikan sebagai ruang komunikasi politik bagi seorang

calon legislatif untuk mendapat dukungan dari masyarakat pemilih. Seorang

kandidat yang punya kepentingan harus pandai memanfaatkan ruang ini untuk

pencitraan dan sosialisasi diri agar dapat terpilih.

Berkaitan dengan budaya lonto leok sebagai strategi komunikasi politik,

seorang calon legislator harus mampu mempengaruhi tokoh adat dan masyarakat

dalam menyampaikan visi-misi maupun tujuan politiknya. Oleh karena itu, dalam

lonto leok terjadi interaksi antara caleg, tokoh adat dan masyarakat. Tokoh adat

42
memiliki pengaruh yang dapat menentukan tingkat keterpilihan seorang legislator

di dalam masyarakat. Sementara itu masyarakat yang hadir dalam lonto leok

(forum adat) dapat menentukan pilihannya berdasarkan interaksi baik kontak

maupun komunikasi selama lonto leok berlangsung. Sehingga, unsur yang paling

penting dalam lonto leok adalah bagaimana strategi komunikasi politik legislator

dalam meyakinkan tokoh adat dan masyarakat.

Biasanya ada banyak strategi yang dilakukan untuk meyakinkan masyarakat

dalam forum ini baik strategi komunikasi politik verbal maupun nonverbal.

Strategi komunikasi politik dinilai sangat penting untuk menciptakan kesan dan

membentuk kesamaan makna antara seorang caleg dengan forum lonto leok .

43
Gambar 2. Kerangka Berpikir

BUDAYA LONTO LEOK


DALAM MASYARAKAT ADAT
MANGGARAI

MBARU
GENDANG

TUA
ADAT

LONTO
MASYARAKAT LEOK CALEG

KESAMAAN
MAKNA

Sumber: Penulis, 2015

44
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Jenis Penelitian

3.1.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

Penelitian deskriptif adalah metode penelitian yang digunakan untuk menemukan

pengetahuan yang seluas-luasnya terhadap obyek pada suatu masa tertentu.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan suatu keadaan,

peristiwa, pengalaman, objek apakah orang, atau segala sesuatu yang terkait

dengan variable-variabel yang bisa dijelaskan baik dengan angka-angka maupun

dengan kata-kata.

3.1.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

penelitian kualitatif yaitu penelitian tentang data yang dikumpulkan dan

dinyatakan dalam bentuk kata-kata yang kemudian disusun dalam bentuk kalimat.

Deddy Mulyana dan Solatun (2007:5) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai

penelitian yang bersifat interpretative (menggunakan penafsiran) yang melibatkan

banyak metode dalam menelaah masalah penelitian.

3.1.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan lokasi geografis dimana peneliti melakukan

kegiatan penelitian. Lokasi yang menjadi tempat penelitian ini adalah Gedung

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi NTT, Kota Kupang, NTT.

45
3.1.4 Obyek Penelitian

Obyek penelitian adalah budaya lonto leok sebagai strategi komunikasi

politik yang pernah dilakukan anggota DPRD provinsi NTT dalam kampanye

pemilihan 46dministrat tahun 2014 dari dapil Manggarai khususnya dari

Manggarai Timur.

3.1.5 Informan

Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah legislator terpilih pada

pemilihan 46dministrat tahun 2014 dari DPRD NTT dari dapil Manggarai

khususnya dari Kabupaten Manggarai Timur. Selain itu, demi menyempurnakan

pemahaman tentang proses budaya lonto leok , penulis juga mewawancarai tokoh

adat yang mengetahui budaya lonto leok secara komperhensif.

Dalam menentukan informan penelitian, maka peneliti menetapkan

beberapa 46dminist untuk memilih informan yang menjadi fokus perhatian dalam

penelitian ini, yakni:

a. Bersedia menjadi informan dalam penelitian ini

b. Informan adalah caleg terpilih dari Kabupaten Manggarai Timur

c. Informan adalah masyarakat yang berasal dari daerah pemilihan anggota

DPRD dan mendapat suara terbanyak

d. Informan adalah tokoh adat yang mengetahui budaya lonto leok secara

mendalam.

3.2 Sumber Data

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari obyek

penelitian perorangan, kelompok dan organisasi. Data primer penelitian ini

46
bersumber dari hasil wawancara dan dokumentasi. Data hasil wawancara

dimaksud baik berkaitan dengan perilah budaya lonto leok . Data yang

berhasil dikumpulkan selanjutnya menjadi data primer yang dianalisis.

2. Data sekunder, yaitu data penunjuang penelitian yang diperoleh bukan dari

pihak informan, melainkan dari pihak lain seperti: pustaka, keterangan

lisan dari orang yang mengetahui pokok masalah

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti yaitu melalui:

1. Teknik Wawancara Mendalam

Wawancara merupakan alat pengumpulan data yang sangat penting

dalam penelitian komunikasi kualitatif yang melibatkan manusia sebagai

subyek sehubungan dengan realitas atau gejala yang dipilih untuk diteliti

(Pawito, 2007:132). Pada hakikatnya, wawancara merupakan kegiatan untuk

memperoleh informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau tema yang

diangkat dalam penelitian.

Dalam penelitian ini, wawancara mendalam dan terbuka yaitu data

yang diperoleh dari kutipan langsung dari orang-orang tentang pengalaman,

pendapat, pokok soal, perasaan dan pengetahuan. Pada saat mengambil data,

peneliti mendatangi rumah informan atau bisa dilakukan saat informan tidak

berada di rumah. Hal ini dilakukan dalam situasi yang rileks dan informal

sehingga informan merasa nyaman dan dapat memberikan keterangan

sejujur-jujurnya. Setiap informasi dan pengetahuan yang diberikan, peneliti

47
mencatatnya bila perlu merekam agar dapat dijadikan bahan

pertanggungjawaban.

2. Teknik Observasi Terlibat

Hamidi dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif (2010:56)

mengatakan bahwa dengan teknik observasi peneliti harus berusaha diterima

dalam masyarakat (Informan) karena teknik ini memerlukan hilangnya

kecurigaan terhadap kehadiran peneliti.

Dalam memahami budaya lonto leok , teknik obersvasi membantu

peneliti dalam mengkaji data yang tidak terkuak dalam proses wawancara

seperti situasi sosial-kemasyarakatan dan lingkungan setempat.

3. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan agar hasil wawancara dapat direkam dengan

baik dan peneliti memiliki bukti akademis yang dapat

dipertanggungjawabkan. Karena itu peneliti menggunakan perekam suara

untuk merekam pembicaraan dan kamera digital untuk memotret ketika

peneliti sedang melakukan pembicaraan dengan informan.

3.4 Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif

kualitatif dimana data yang terungkap dituangkan dalam bentuk kalimat

penjabaran dan penjelasan serta diambil kesimpulan terhadap masalah yang teliti

sesuai dengan kenyataan yang dijumpai di lokasi penelitian.

Proses analisis data kualitatif dimulai dengan menelaah data yang terkumpul

pada saat pengumpulan data. Kemudian melakukan reduksi data yang dilakukan

48
dengan jalan membuat abstraksi yaitu membuat rangkuman. Selanjutnya,

menyusunnya dalam satuan-satuan, kemudian dikategorisasikan dalam kelompok

tertentu.

3.5 Teknik Keabsahan Data

Teknik yang digunakan peneliti adalah triangulasi, yakni dengan

menganalisis jawaban subyek dengan meneliti kebenarannya dengan data empiris

atau sumber data yang lain yang tersedia. Melalui jawaban subyek, peneliti

melakukan cross-check dengan jawaban sumber.

Dalam penelitian ini, triangulasi dibagi menjadi dua yakni triangulasi

sumber dan triangulasi metode. Triangulasi sumber berkaitan dengan

memverifikasi jawaban informan dengan orang-orang yang mengetahui budaya

lonto leok dengan tokoh adat di Manggarai. Sementara triangulasi metode yakni

menganalisis jawaban informan dengan data empiris.

49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di kompeks Kantor DPRD provinsi NT, Jalan El Tari

No. 54, Kota Kupang.

4.1.1 Visi Misi DPRD Provinsi NTT

Sebagai pemerintah daerah dan sebagai 50dministrative masyarakat NTT

DPRD Provinsi NTT mempunyai Visi dan Misi sebagai berikut :

Visi DPRD yakni:

“Terwujudnya lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nusa Tengara

Timur yang 50dministr, 50dministra, dan akomodatif dalam memperjuangkan

kesejahteraan rakyat Nusa Tenggara Timur”

Untuk mencapai Visi tersebut DPRD Provinsi NTT mempunyai Misi :

a) Meningkatkan peran DPRD dalam melaksanakan Tugas dan Fungsi Legislasi,

Fungsi Anggaran dan Fungsi Pengawasan.

b) Meningkatkan hubungan kemitraan antara Legislatif dan Eksekutif sebagai

50dmini penyelenggaraan pemerintah daerah.

Tujuan dan Sasaran :

Tujuan :

Meningkatnya peran DPRD dalam melaksanakan Tugas dan Fungsinya secara

optimal dan berhasil guna.

Sasaran :

50
Terwujudnya kwalitas pelaksanaan Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran dan Fungsi

Pengawasan.

4.1.2 Kegiatan DPRD Provinsi NTT

Jenis-jenis kegiatan DPRD Provinsi NTT antara lain:

1) Persidangan/Rapat-rapat DPRD, terdapat 16 jenis rapat;

2) Kunjungan Kerja baik kedalam daerah maupun keluar daerah;

3) Hearing/Dialog dan Sosialisasi;

4) Reses;

5) Studi Banding keluar daerah;

6) Konsultasi Bidang Tugas.

Selain kegiatan tersebut diatas, DPRD Provinsi NTT 51dmini perhatian

terhadap penyampaiaan aspirasi masyarakat, kelompok masyarakat yang

disampaikan secara tertulis maupun melalui aksi unjukrasa/pernyataan sikap.

a. Persidangan/Rapat-rapat DPRD

Berdasarkan Pasal 77 Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi NTT nomor 1

tahun 2010 bahwa tahun sidang DPRD dibagi ke dalam tiga masa persidangan,

yakni Masa Sidang I tentang Perhitungan Anggaran tahun sebelumnya dan

penyampaian LKPJ Kepala Daerah, Masa Sidang II tentang Perubahan Anggaran

dan Masa Sidang III tentang Pembahasan dan Penetapan APBD tahun berikutnya.

Setiap masa sidang diisi dengan kegiatan rapat-rapat, kunjungan kerja,

peninjauan, studi banding dan reses.

Khusus Reses pada akhir masa sidang III, tahun akhir masa tugas DPRD

ditiadakan.

51
b. Kunjungan Kerja DPRD

Kunjungan kerja yang dilakukan oleh anggota DPRD ada dua jenis

kunjungan kerja, yaitu:

1) Kunjungan dalam daerah

Ada 3 jenis kunjungan didalam daerah yaitu:

a) Kunjungan Kerja

Kunjungan Kerja ini dilaksanakan oleh seluruh anggota DPRD yang dibagi

dalam bentuk Tim Kunjungan Kerja ke seluruh Kabupaten/Kota se-NTT.

b) Hearing/Dialog dan Sosialisasi

Kunjungan DPRD untuk Hearing/Dialog dilaksanakan dalam rangka

mendapat masukan dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh organisasi

kemasyarakatan dan pemerintah kabupaten/kota, untuk Penyusunan

Rancangan Peraturan Daerah, Inisiatif Dewan atau penyempurnaan

Rancangan Peraturan Daerah, Hearing/Dialog juga dapat dilaksanakan

bersama Pemerintah Daerah atau Instansi Pemerintah lainnya yang

memerlukan pikiran-pikiran dari Dewan; sedangkan sosialisasi dilaksanakan

dalam rangka penyebarluasan informasi tentang produk-produk yang telah

dihasilkan oleh DPRD Provinsi, baik berupa Undang-undang, Peraturan

Daerah maupun produk-produk lainnya yang dihasilkan agar dapat diketahui

oleh masyarakat. Sosialisasi telah dilaksanakan 2 kali. Hearing/Dialog

dilaksanakan 1 kali.

52
c) Reses

Reses adalah masa istirahat dari kegiatan persidangan. Masa Reses biasanya

digunakan oleh Anggota DPRD untuk melakukan kunjungan ke daerah

pemilihannya atau konstituennya.

2) Kunjungan luar daerah.

Kunjungan Keluar Daerah terdiri atas 2 (dua) macam kunjungan yakni

kunjungan dalam rangka Studi Banding ke daerah lain dan kunjungan dalam

rangka konsultasi Bidang Tugas.

4.1.3 Sekretariat DPRD Provinsi NTT

Pasal 134 peraturan DPRD Provinsi NTT nomor 1 tahun 2010 Sekretariat

DPRD Provinsi NTT mempunyai tugas penyelenggaraan administrasi

kesekretariatan dan administrasi keuangan DPRD Provinsi NTT, mendukung

pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD Provinsi NTT dan mengkoordinasikan serta

menyediakan tenaga ahli yang diperlukan DPRD Provinsi NTT sesuai

kemampuan Keuangan Daerah.

Sekretaris DPRD Provinsi NTT di angkat dan diberhentikan oleh Gubernur

NTT dengan persetujuan Pimpinan DPRD. Sekretaris DPRD Provinsi NTT dalam

melaksanakan tugas secara teknis operasional berada di bawah dan bertanggung

jawab kepada pimpinan DPRD dan secara 53dministrative bertanggung jawab

kepada Gubernur NTT melalui Sekretaris Daerah.

Selanjutnya mengenai Organisasi Sekretariat DPRD Provinsi NTT dan tata

kerjanya di atur dalam pasal 6 Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2008 dan

Keputusan Gubernur nomor 26 tahun 2008 sebagai berikut :

53
Sekretariat DPRD Provinsi NTT terdiri dari 1 orang Sekretaris, 4 Kepala

Bagian, dan 12 Kepala Sub Bagian yaitu :

1. Sekretaris DPRD Provinsi NTT sebagai Kepala Sekretariat

2. Kepala Bagian Umum membawahi Sub Bagian Tata Usaha, Sub Bagian

Kepegawaiaan dan Keanggotaan DPRD Provinsi NTT dan Sub Bagian

Rumah Tangga dan Perjalanan.

3. Kepala Bagian Persidangan dan Risalah membawahi Sub Bagian

Persidangan dan Risalah, Sub Bagian Perundang-Undangan dan Sub Bagian

Komisi.

4. Kepala Bagian Keuangan membawahi Sub Bagian Anggaran, Sub Bagian

Pembayaran dan Sub Bagian Evaluasi dan Pelaporan.

5. Kepala Bagian Humas dan Protokol membawahi Sub Bagian Humas, Sub

Bagian Publikasi dan Dokumentasi serta Sub Bagian Protokol.

54
Gambar 3. Struktur Sekwan Provinsi NTT

Sumber: Biro Humas Sekwan Provinsi NTT, 2015

4.1.4 Profil Gedung DPRD Provinsi NTT

Gedung DPRD Provinsi NTT diresmikan penggunaannya oleh Menteri

Dalam Negeri pada tanggal 19 september 1992.Gedung DPRD Provinsi NTT

terdiri dari 2 bagian yaitu :

1. Gedung Pertama yang menghadap Jln. Eltari

2. Gedung Kedua berada pada jln. Polisi militer

Gedung pertama terdiri dari 2 lantai yang dimanfaatkan untuk : Lantai

pertama dimanfaatkan untuk sekretariat DPRD Provinsi NTT dan lantai kedua

dimanfaatkan untuk :

55
 Ruang sidang utama

 Ruang Ketua DPRD

 Ruang Wakil Ketua DPRD (3 Ruangan)

 Ruang Badan Kehormatan

 Ruang Anggota DPRD

 Ruang Sub Bagian Protokol

Gedung kedua juga terdiri dari 2 lantai yang dimanfaatkan untuk :

1. Lantai Pertama: Ruang komisi 4 ruangan dan ruang Fraksi 4 Ruangan

2. Lantai kedua: Ruang Rapat Kelimutu, ruang Fraksi 3 ruangan, ruang

Anggota DPRD

4.2 Gambaran Umum Pemilihan Legislatif Tahun 2014 DPRD Propinsi NTT

Dalam penelitian ini penulis terlebih dahulu memaparkan gambaran umum

hasil pemilihan legislatif tahun 2014 untuk memperebutkan 65 kursi di DPRD

Propinsi NTT. Sistem proporsional memungkinkan keterwakilan calon legislatif

di DPRD di setiap wilayah. Nusa Tenggara Timur terbagi dalam 8 Daerah

Pemilihan. Berikut adalah data yang diperoleh penulis dari Komisi Pemilihan

Umum Daerah (KPUD) Propinsi NTT yang telah disajikan dalam bentuk tabel.

56
Tabel 1. Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi
NO DAERAH KABUPATEN/KOTA Jumlah JMLH
PEMILIHAN Penduduk KURSI
1. NTT 1 Kota Kupang 474.324 6
2. NTT 2 1. Kabupaten 330.322 7
Kupang
2. Rote Ndao 151.937

3. Sabu Raijua 85.321

3. NTT 3 1. Sumba Timur 330.322 10

2. Sumba Barat 151.937

3. Sumba Tengah 85.321

4. Sumba Barat 367.771


Daya
4 NTT 4 1. Manggarai Barat 314.224 10
2. Manggarai 255.277
3. Manggarai Timur 263.142
5 NTT 5  Sikka 315.582 11
 Ende 254.845
 Ngada 162.984
 Nagekeo 154.168
6 NTT 6  Alor 212.793 7
 Flotim 274.738
 Lembata 127.590
7 NTT 7  Belu 402.825 8
 Timor Tengah 264.108
Utara
8 NTT 8 Timor Tengah Selatan 461.555 6
Jumlah 65
Sumber: KPUD Provinsi NTT, 2015

Dalam tabel ini, tampak Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur

termasuk dalam Dapil NTT 4 dimana ada 10 kursi yang diperebutkan oleh calon

legislatif yang bertarung dalam pemilihan legilatif tahun 2014.

57
4.2.1 Perolehan Suara Partai DPRD Provinsi NTT Dapil 4 (Manggarai,

Manggarai Barat dan Manggarai Timur)

Di daerah pemilihan ini Gerindra unggul 54.550, disusul PAN 49.048,

Golkar 47.861, dan PDIP 46.048.

Tabel 2. Perolehan Suara Partai DPRD Provinsi NTT Dapil 4


KABUPATEN
No Partai Manggrai Manggarai JUMLAH
Manggarai
Barat Timur
1. NasDem 12.134 5.620 12.342 30.096
2. PKB 10.366 15.517 11.902 37.785
3. PKS 5.605 5.298 6.002 16.905
4. PDIP 17.062 16.237 12.749 46.048
5. Golkar 12.911 17.433 17.517 47.861
6. Gerindra 18.001 18.969 17.579 54.549
7. Demokrat 14.037 9.939 19.574 43.550
8. PAN 29.947 7.151 12.224 49.322
9. PPP 630 2.917 1.396 4.943
10. Hanura 12.312 7.181 7.640 27.133
11. PBB 4.286 8.291 3.290 15.867
12. PKPI 7.746 4.419 4.303 16.468
JUMLAH 145.037 118.972 126.518 390.527
Sumber: KPUD NTT, 2014

58
Dalam digram berikut ini terlihat 5 partai yang mendominasi yakni:
Gerindra 14%, PAN 13%, Golkar 12%, PDIP 12%, Demokrat 11%.

Prosentase Suara Partai


Dapil NTT 4 PKPI
PBB 4% NasDem
PPP 8%
1% Hanura 4% PKB
7% 10%
PKS
4%
PAN
13%
PDIP
12%

Demokrat
11% Golkar
Gerindra
14% 12%

Sumber: KPUD NTT, 2014

4.2.2 Calon Terpilih Berdasarkan Asal Partai Seluruh Dapil

Tabel 3. Calon Terpilih Seluruh Dapil


JUMLAH
NAMA JUMLAH
NO DAPIL NAMA CALON TERPILIH SUARA
PARTAI KURSI
SAH
1 2 3 4 5 6
1 NTT 1 Drs. ALEXANDER ENA, MSi 9.635

2 NTT 2 WELLEM BANGNGU KALE, SE 8.722

KRISTIEN SAMIYATI PATI,


3 NTT 3
SP
8.331

4 NTT 4 INOSENSIUS FREDY MUI, ST 8.267


NASDEM 8 KURSI
5 NTT 5 Drs. JOHN E. PARERA 6.365

ALEXANDER TAKE OFONG,


6 NTT 6
S.Fil
7.686

7 NTT 7 Drs. KASIMIRUS KOLO, M.Si 7.533

8 NTT 8 JOHNY ARMY KONAY 14.949

59
9 NTT 2 Drs. JUNUS NAISUNIS 4.541
NOVIYANTO UMBU PATI
10 NTT 3
SANGU ATE LENDE
6.524

11 PKB 5 KURSI NTT 4 Drs. TOBIAS WANUS 8.844

12 NTT 5 Ir. YUCUNDIANUS LEPA , MSi 7.939

13 NTT 8 ALETA KORNELIA BAUN, SH 3.897

14 NTT 4 H. YUSUF M. TAHIR, SH 4.010


PKS 2 KURSI
15 NTT 6 ANWAR HAJRAL, ST 5.068

16 NTT 1 DR. BELE ANTONIUS, MSi. 9.084

NELSON OBED MATARA, S.IP.,


17 NTT 2
M.HUM
16.947

YUNUS HUHU TAKANDEWA,


18 NTT 3
S.Pd.
12.550

19 NTT 3 DAVID MELO WADU, ST 9.981

Dra. KRISTOFORA B.
20 NTT 4
BANTANG
10.922
PDIP 10 KURSI
21 NTT 5 KORNELIS SOI, SH 16.267
22 PATRIANUS LALI WOLO,
NTT 5
S.Pt., MM
13.371

GULIELMUS AGUSTINUS
23 NTT 6
DEMON BERIBE, SPd.
12.062

HIRONIMUS TANESIB
24 NTT 7
BANAFANU, SIp.
14.650

25 NTT 7 DOLVIANUS KOLO, SPd. 11.193

Ir. MOHAMMAD ANSOR


26 NTT 1
ORANG
8.348

27 NTT 2 SEMUEL VICTOR NITTI 9.192


GOLKAR 11 KURSI
Pdt. ADRIANA R. KAHI AWA
28 NTT 3
KOSSI, STh
14.207

Drs. HUGO REHI KALEMBU,


29 NTT 3
MSi
12.991

60
MAXIMILIANUS ADIPATI
30 NTT 4
PARI, SH
11.648

31 NTT 5 H. ANWAR PUA GENO, SH 17.824

32 NTT 5 THOMAS TIBA,S.Ag 16.149

33 NTT 6 Ir. ANSGERIUS TAKALAPETA 17.339

34 NTT 7 ALFRIDUS BRIA SERAN, ST 16.287

35 NTT 7 Drs. GABRIEL MANEK, MSi 14.366

36 NTT 8 ELDAT M.M. NENABU, SH 13.024

37 NTT 1 VIKTOR LERIK, SE 13.009

ANTONIO CESALTINO
38 NTT 2
OSORIO SOARES
6.103

39 NTT 3 Pdt. ABRAHAM LITINAU, STh. 6.958

40 NTT 4 YOHANES HALUT 11.810


GERIND-
8 KURSI
41 RA Drs. KASINTUS PROKLAMASI
NTT 5
EBU THO
6.907
42 GABRIEL ABDI KESUMA
NTT 6
BERI BINNA
12.572

43 NTT 7 AGUSTINUS BRIA SERAN 10.674

Drs. HERMAN HENDRIK


44 NTT 8
BANOET, MSi
9.047

KARDINAD LEONARD KALE


45 NTT 1
LENA, SH
7.365

46 NTT 2 WINSTON NEIL RONDO 13.127

47 NTT 3 JONATHAN KANA, SE 6.358


DEMOK
8 KURSI
RAT
48 NTT 4 BONIFASIUS JEBARUS, SE 10.064

49 NTT 5 LEONARDUS LELO, S.IP 8.228

GABRIEL SUKU KOTAN, SH,


50 NTT 6
MSi
7.581

61
51 NTT 7 ANSELMUS TALLO, SE 5.667

52 NTT 8 AMPERA SEKE SELAN, SH 7.984

53 NTT 3 Ir. CORNELIS WUNGO 3.481

54 NTT 4 YENI VERONIKA, SH 21.298

55 PAN 5 KURSI NTT 5 AGUSTINUS LOBO 10.700

56 NTT 6 ISMAIL J. SAMAU, SE., MM 5.721

ANGELINO BELO DA COSTA,


57 NTT 7
SH., M.Hum
8.125

58 1 JIMMY WILLBALDUS SIANTO 6.115

59 2 HAMDAN SALEH BATJO, SP 5.646

HANUR
60 A
5 KURSI 3 LAURENSIUS TARI WUNGO 6.022

61 4 TIMOTEUS TERANG 6.531

62 5 ANGELA M. PIWUNG, SH 7.047

JOSEP LEONARDY AHAS,


63 4
S.Fil., SH
5.234

64 PKPI 3 KURSI 5 Ir. OSWALDUS, MSi 6.913

65 8 JEFRI UNBANUNAEK 5.019

Sumber: KPUD NTT, 2014

Dari Data ini, perolehan kursi untuk daerah pemilihan Manggarai Raya

terdapat 10 kursi dari beberapa nama yang masuk dalam daftar caleg terpilih, dua

diantaranya berasal dari Kabupaten Manggarai Timur yang merupakan batasan

dalam penelitian ini. Nama tersebut yakni:

62
1. INOSENSIUS FREDY MUI, ST dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem)

dengan total suara sah sebanyak 8.267

2. HANS RUMAT, SE dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dalam tabel di

atas nama Hans Rumat memang tidak terlampir sebagai salah satu caleg

terpilih. Beliau merupakan anggota DPRD hasi Pergantian Antar Waktu

(PAW) pada bulan September 2015. Dia menggantikan Bapak Tobias

Wanus yang mengundurkan diri karena maju sebagai calon bupati

Manggarai Barat periode 2015-2019.

4.3 Penyajian Hasil Penelitian

4.3.1 Proses Lonto leok

Berdasarkan hasil wawancara dengan dengan Bapak Petrus Japi, salah satu

tokoh adat dari Desa Rana Masak, Manggarai Timur, pada tanggal 10 September

2015, dapat dirangkum bahwa lonto leok merupakan salah satu karakter dasar

orang Manggarai (perange data Manggarai) yang suka bergotong royong seperti

yang terungkap dalam go’et “gori cama-cama”(kerja sama). Bentuk-bentuk

konkret dari gotong royong ini, antara lain dalam hal mendirikan rumah,

teristimewa membangun mbaru gendang, membangun jalan raya, membiayai

pendidikan anak-anak, urusan perkawinan, pada peristiwa kematian, dll.

Orang Manggarai juga tidak ingin membuat keributan dalam relasi

soaialnya (toe ngoeng te karukak ka’eng tana). Untuk itu orang Manggarai

biasanya loyal atau ta’at pada perintah (lorong perintah) atasan, orang tua atau

yang dituakan.

63
Dalam setiap bentuk konkrit gotong royong di atas, biasanya masyarakat

Manggarai memulainya dengan sebuah pertemuan yang disebut Lonto leok .

Sebelum acara Lonto leok , tu’a gendang menabuh gendang/gong sebagai tanda

bahwa ada pertemuan yang akan dilaksanakan. Setelah semua warga atau yang

mewakili hadir, pemimpin rapat (tu’a golo atau orang yang dipercayakan)

menyapa undangan yang hair dengan kepok. Dalam kepok ini, tuan rumah

menyampaikan maksud pertemuan diadakan. Setelah itu pemimpin rapat

melemparkan tema pertemuan.

Tema pertemuan itu kemudian didiskusikan oleh semua warga yang

mengikuti pertemuan. Sudah barang tentu di sini terjadi pro dan kontra. Namun,

dari pro dan kontra ini akan menghasilkan sebuah keputusan final atau mufakat.

Keputusan final yang telah dicapai tentu merupakan keputusan yang satu dan

sama. Oleh karena itu semua warga harus bersatu melaksanakan keputusan itu

secara bersama pula. Hal nyata dalam go’et-go’et berikut ini; “Nai ca anggi tuka

ca leleng, bantang cama reje leleng; muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca

ambo neka woleng lako”. Makna dari pribahasa ini yakni menjaga persatuan dan

kesatuan untuk mencapai tujuan bersama. Setelah semua forum lonto leok

sepakat, maka diadakan pembagian tugas berdasarkan kebutuhan dan tujuan yang

ingin dicapai.

1. Proses Lonto leok sebagai Strategi Komunikasi Politik

Berdasarkan wawancara dengan Inosensius Fredi Mui pada tanggal 03

Oktober 2015 dan Hans Rumat pada tanggal 24 Oktober 2015, terdapat

beberapa tahapan dari persitiwalonto leok politik yang kurang lebih punya

64
kemiripan denganlonto leok pada umumnya. Namun ada beberapa tambahan

yang ditemukan dalam lonto leok konteks politik seperti yang terungkap dalam

beberapa tahap di bawah ini.

Setelah tim sukses dan keluarga mengundang serta menyiapkan tempat

pertemuan lonto leok , ada beberapa temuan dalam hasil wawancara berikut

mengungkapkan keunikan dalam lonto leok dalam konteks komunikasi politik.

1) Lu’u(Sapaan khusus untuk orang yang sudah meninggal)

Jadi, macam a mi ata cai hitu (kami yang datang), one mbaru cai
(datang ke rumah). Itu hari pertama. Sebelum berbicara, minum dan apa
segala macam itu lu’u. Istilah dalam adat Manggarai itu boto babang agu
bentang (teguran dari leluhur) . Jadi orang Manggarai punya kepercayaan
ata weru (orang baru) itu boto ris lise ata pang be le (awas kena teguran
dari penjaga kampung/leluhur). (Wawancara dengan Inosensius Fredi Mui,
03/10/2015).

Di sini, terungkap bahwa dalam lonto leok sebagai komunikasi

politik, ada ritual penting yang tidak dapat dilewatkan yakni lu’u. Ritual ini

dilakukan ketika ada orang asing (caleg) yang bertamu ke suatu rumah.

Orang asing yang dimaksud adalah seorang caleg yang berasal dari

kampung berbeda dan tidak memiliki ikatan darah dengan pemilik rumah.

Orang Manggarai percaya bahwa hubungan komunikasi antara manusia

dengan orang yang sudah meninggal/leluhur belum terputus. Mereka akan

menjadi penjaga sekaligus pengantara hubungan manusia dengan Tuhan.

Karena itu melalui lu’u, orang asing yang datang ke suatu rumah sebenarnya

sedang menyapa penjaga atau orang yang sudah meninggal dalam rumah

itu. Hal ini terungkap dalam ungkapan “boto ris lise ata pang be le” (awas

kena teguran dari penjaga kampung/leluhur).

65
Masyarakat adat Manggarai meyakini bahwa teguran yang dimaksud

tentunya berbeda dengan teguran biasa antar sesama manusia. Teguran dari

orang yang sudah meninggal akan berdampak pada munculnya petaka sosial

seperti kecelakaan, sakit penyakit atau kegagalan dalam suatu kegiatan

termasuk dalam budaya lonto leok .

2) Kepok

Dalam lonto leok biasa, tuak dan ayam merupakan symbol adat yang

dipakai dalam ritual kepok dalam budaya lonto leok sebagai bentuk

penghargaan terhadap tamu yang diundang. Dalam lonto leok biasa, tuak

dan ayam itu dipersiapkan oleh tuan rumah, namun dalam lonto leok

sebagai komunikasi politik yang menyiapkan tuak dan ayam itu adalah

caleg itu sendiri. Dalam upacara lonto leok tuak dan ayam itu dibuat

seakan-akan dipersiapkan oleh tuan rumah.

“Setelah itu, biasanya kan begini, jadi begitu datang, mereka kan yang
siapkan tuak dengan ayam to? Mereka pegang lalu ris (tanya), sebelum
jawab mereka punya pertanyaan kita kasih lu’u dan setelah itu baru kita
jawab mereka punya pertanyaan, maksud kedatangan, apa segala macam.
Kemudian itu kita, hargai tuak dan ayam itu dengan uang. Tapi dalam
pelaksanaan, mereka yang menerima ini tidak bisa siapkan apa-apa. Kita
yang siasati siap uangnya, mereka yang cari tuak dan ayam tapi uang dari
kita. Setelah itu kita lagi yang wali. Jadinya dobel (informan tertawa).”
(Wawancara dengan Inosensius Fredi Mui, 03/10/2015).

Pada ritual yang sebenarnya kepok itu merupakan bentuk penghargaan

terhadap tamu yang simbolkan dengan tuak dan ayam. Namun dalam

strategi komunikasi politik, tuak dan ayam itu dibeli oleh uang caleg dan

caleg itu juga harus wali (penghargaan atas sambutan baik dari tuan rumah)

yang juga dalam bentuk uang. Wali merupakan salah satu tahapan yang

66
sangat penting karena legislator menyampaikan ungkapan kesenangan

hatinya atas penyambutan dari tuan rumah.

3) Bahasa Adat

Pada setiap jenis lonto leok terdapat perbedaan ungkapan adat yang

dipakai dalam upacara tersebut. Ungkapan adat itu tidak hanya disampaikan

dalam ritual kepok dan lu’u tetapi juga bisa disusupkan dalam diskusi

seperti ungkapan berikut dari Hans Rumat:

“Ai bo selama hoo aram manga ata be olo mai aku, hitu tara nggon gereng
reci kat aku ta. Eme nuk aku lemeu teing aku lemeu reci situ. Ai toe nggtu
kraeng tua hoo ata tuungn melaju hoo.” (Wawancara dengan Hans Rumat,
24/10/2015)

Ungkapan ini mengandung makna yang sangat dalam khususnya

untuk melunakan hati pemilih. Ungkapan ini bermakna: Mungkin selama ini

sudah ada orang yang terlebih dahulu datang ke sini, itu makanya saya

datang ke sini untuk meminta remah-remah dari sisa yang telah diberikan.

Dalam penuturan ini Hans Rumat juga langsung mengungkapkan reaksi

masyarakat dalam menanggapi sikap rendah diri beliau yang tersampaikan

dalam ungkapan:

“Ole kraeng asi tombo nggitu ta, eme nggo bo ite mai joak, mai tombo
mese cee hoo weling tuung. Tapi eme nggo tombo reci ite apan keta dise ata
do ta, hoo kami. Toe teing reci e, oh…hang teneng muing latang ite.”
(Wawancara, 24/10/2015)

Makna dari ungkapan ini: Kraeng (Sapaan untuk orang yang lebih

tinggi), jangan omong seperti itu. Kalau Kraeng datang untuk menipu,

datang omong besar di sini, kami akan pulang semua. Tetapi, karena Kraeng

meminta suara sisa, siapa sih mereka yang datang duluan itu, ini semua

67
kami akan memilih Bapak. Kami tidak akan kasih nasi sisa, tetapi kami

akan berikan nasi jadi untuk Bapak.

Ungkapan adat ini disampaikan Hans Rumat sebelum menyampaikan

visi-misi dan materi sosialisasi kepada konstituennya. Tampak bahwa,

dalam setiap konteks dan jenis lonto leok memiliki ungkapan adat

tersendiri. Kemampuan komunikasi adat seorang caleg sangat menentukan

keberhasilan dalam lonto leok sebagai strategi komunikasi politik.

Komunikasi adat sangat ampuh dalam meluluhkan hati konstiten khususnya

dalam konteks masyarakat adat Manggarai.

4) Isi/Pesan

Selain tahapan yang telah disebutkan di atas, informan juga

menyebutkan tahapan pesan atau isi pembicaraan. Pada tahap ini, legislator

memaparkan beberapa isu penting seperti politik, pertanian, ekonomi,

perkebunan dan sosial-budaya. Bedanya, dalam lonto leok politik, pesan

yang disampaikan diarahkan untuk kepentingan kampanye jika seorang

caleg berhasil terpilih.

5) Diskusi Interaktif

Pada tahapan ini, berdasarkan dokumentasi video yang ditunjukan

Inosensius Fredi Mui, terjadi komunikasi interaktif antara legislator dan

komunikan dalam forum lonto leok . Komunikasi interaktif itu tampak

dalam saling tanya dan jawab antara legislator dan konstituen untuk

menjelaskan kembali materi-materi yang mungkin belum dimengerti oleh

konstituen dan legislator. Selain itu, dalam diskusi interaktif ini terjadi

68
kesepakatan antara legislator dengan masyarakat pemilih. Kesepakatan

merupakan hasil dari proses transaksi gagasan selama lonto leok

berlangsung. Kesepakatan itu berupa deal-deal politik yang harus dipenuhi

baik oleh legislator maupun oleh masyarakat pemilih seperti pernyataan

dukungan maupun komitmen caleg jika terpilih.

Secara keseluruhan proses lonto leok sebagai komunikasi politik

dapat dijabarkan dalam tahapan berikut ini:

Gambar 4. Tahapan Lonto leok

TIM SUKES/KELUARGA
MENGUNDANG CALON
PEMILIH

LU’U/SAPAAN UNTUK
LELUHUR

KEPOK/SAPAAN UNTUK
TAMU LONTO
LEOK

WALI/PENGHARGAAN
UNTUK TUAN RUMAH

ISI/PESAN

DISKUSI INTERAKTIF

Sumber: Penulis, 2015

69
2. Motivasi Komunikasi Politik Lonto leok

Kajian proses komunikasi politik dalam konteks lonto leok meniscayakan

sebuah penelusuran atas latar belakang dan motivasi. Hal tersebut dalam rangka

mengungkapkan kepentingan dan faktor-faktor yang mendorong seorang

legislator terjun ke dalam politik praktis dengan menggunakan strategi

komunikasi politik lonto leok . Komunikasi politik tersebut selanjutnya akan

memberikan gambaran yang lebih luas perihal interaksi antar legislator dan

konstituen, termasuk di dalamnya pemaknaan, biaya, serta hambatan dan peluang

dalam membangun komunikasi yang efektif melalui strategi lonto leok .

Secara umum motivasi dapat diartikan sebagai alasan yang mendasari

sebuah perbuatan, meskipun motivasi juga dapat dilihat dari sudut pandang

kepentingan yang suatu tindakan dilakukan. Sebelum merangkai berbagai macam

motivasi tersebut, terlebih dahulu penulis menyampaikan hasil wawancara dengan

Inosensius Fredi Mui, salah satu legislator asal Manggarai Timur yang bertarung

dalam pemilihan legislatif (pileg) tahun 2014:

“Lonto leok itu lebih cenderung kepada strategi budaya. Dia lebih dialogis.
Karena setelah kita menyampaikan visi-misi, tujuan, apa segala macam nanti,
itu pasti ada session tanya jawab. Jadi penting itu dalam suatu peristiwa lonto
leok harus ada seorang sekertaris yang catat apa yang kita janjikan, kita
inginkan dan kita cita-citakan. Karena memori kita sangat terbatas. Jadi
sebenarnya kalau omong motivasi, lonto leok itu lebih komunikatif dan
membentuk kedekatan dengan masyarakat.” (Wawancara dengan Inosensius
Fredi Mui, tanggal 03/10/2015)

Dari jawaban di atas, dapat dipetakan macam-macam motivasi legislator

memilih budaya lonto leok sebagai strategi komunikasi politik. Sejumlah motif

itu dapat digolongkan sebagai berikut:

70
1. Kekuasaan politik: Motif ini dicirikan dengan tujuan untuk

memperjuangkan, memperoleh dan melanggengkan kekuasaan dalam

sebuah forum lonto leok . Dalam konteks ini, legislator menjadikan medium

budaya sebagai ruang untuk mendapatkan kekuasaan yang dilegitimisasi

dengan suara rakyat. Jadi singkatnya, motif untuk mendapatkan suara demi

sebuah kekuasaan politik.

2. Kepentingan komunikatif: Dicirikan dengan tujuan untuk mendapatkan

ruang komunikasi yang efektif. Dalam hal ini, legislator melihat forum lonto

leok sebagai ruang komunikasi yang lebih dialogis dan interaktif

dibandingkan dengan strategi kampanye lain. Proses tanya jawab dalam

lonto leok membuka ruang interaktif dalam transaksi gagasan. Tujuannya

jelas, bahwa semakin interaktif maka transaksi gagasan, ide dan kepentingan

semakin mudah untuk mendapatkan kesamaan makna sehingga berdampak

pada dukungan suara.

3. Kepentingan pendidikan politik: Hal ini dicirikan dengan tujuan legislator

untuk menyampaikan visi-misi pribadi maupun partai dalam rangka

menjalankan sosialisasi politik yang dapat meningkatkan pengetahuan

masyarakat dalam mengetahui visi-misi masing-masing caleg dan partai

yang mengusungnya. Motif ini lebih kepada upaya legislator untuk

menyampaikan pendidikan politik kepada masyarakat.

4. Kepentingan emosional: Motif ini dicirikan dengan tujuan legislator

menggunakan budaya lonto leok untuk mempererat tali kekeluargaan

melalui interaksi dan kontak langsung selama lonto leok berlangsung.

71
Selanjutnya motivasi lain yang tidak kalah penting adalah motif revitalisasi

budaya lonto leok itu sendiri dimana legislator memberikan pencerahan terhadap

konstituen tentang makna dan isi budaya lonto leok itu sendiri khususnya dalam

konteks politik. Hal ini terkuak dalam wawancara berikut dengan Hans Rumat:

“Saya sedikit, sebenarnya berlawanan dengan suara hati saya e, ketika lonto
leok konteks politik masuk di rumah gendang. Karena terjadi kontaminasi-
kontaminasi kepentingan, lalu ada bahasa-bahasa yang lebih banyak
menjanjikan. Nah, kalau itu dibiasakan, para politisi masuk gendang untuk
mempromosikan dirinya, saya pikir citra lonto leok ke depan turun, nilai isinya
sudah tidak mencerminkan orang Manggarai” (Wawancara dengan Hans
Rumat, tanggal 24 Oktober 2015)

Di sini, legislator berusaha menerangkan kembali kepada masyarakat

maksud dan tujuan budayalonto leok dilakukan dalam konteks politik. Salah satu

unsur yang dipersoalkan oleh legislator adalah keberadaan mbaru gendang

sebagai tempat lonto leok . Menurutnya, kontiminasi kepentingan dalam budaya

lonto leok akan berpotensi mereduksi makna hakiki lonto leok sebagai forum

adat yang harus dijaga kelestarian isi dan bentuknya. Walaupun hal yang sama

juga dilakukan oleh legislator namun dia mengakui akan masuk ke rumah adat

kalau diundang dan dalam forum itu juga dia terlebih dahulu menyampaikan

masukan terhadap upaya revitalisasi budaya lonto leok .

Dari beragam motivasi di atas dapat disimpulkan bahwa budaya lonto leok

merupakan ruang musyawarah dimana berbagai macam kepentingan antara

legislator dan konstituen dipertemukan. Dari berbagai macam motivasi ini, kita

dapat memahami alasan mendasar mengapa budaya lonto leok ini harus dilakukan

di setiap kali perhelatan politik di Manggarai.

72
Politik dan budaya politik meruapakan merupakan suatu unsur yang tidak

bisa dilepaskan. Di sini, terkuak dua proyeksi sifat dasar manusia sebagai

makhluk politik (homo politicus) dan makhluk berbudaya. Pendekatan

komunikasi politik dalam budaya lonto leok tidak dapat dipisahkan dari telaahan

filosofis-antropologis di atas. Maka, dalam kontek budaya lonto leok sebagai

strategi komunikasi politik, politisi sebenarnya berusaha untuk menghidupkan

kembali budaya lonto leok itu sendiri sebagai jati diri orang Manggarai. Dalam

kaca mata politik, kekuatan budaya ini dapat mendekatkan seorang legislator

dengan konstituennya. Kedekatan emosional yang berbasis nilai kekeluargaan

dalam lonto leok diharapkan mampu menimbulkan kesan positif bagi seorang

legislator untuk mendapatkan legitimasi politik dari rakyat.

3. Syarat Lonto leok

Selain motivasi, proses lonto leok yang terjadi juga tidak berjalan begitu

saja. Dalam upacara ini ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar lonto leok

tersebut dapat berlangsung efektif dan efisien. Pada kenyataannya, tidak semua

daerah, waktu dan tempat bisa diadakan lonto leok sebagai strategi komunikasi

politik. Ada beberapa faktor yang dapat menentukan apakah suatu lonto leok bisa

dilakukan atau tidak yakni:

a. Berdasarkan Waktu

Lonto leok merupakan suatu proses adat yang cukup memakan waktu.

Dari penelitian ini terkuak bahwa waktu yang tepat untuk melakukan lonto leok

dalam kontek komunikasi politik adalah pada malam hari ini. Hal ini

disebabkan oleh periode bulan Januari-April waktu untuk memanen hasil

73
komoditas di wilayah Manggarai raya, seperti kopi, cengkeh, vanili, coklat dan

beragam komoditas lainnya. Perlu diketahui bahwa mayoritas mata

pencaharian orang Manggarai adalah petani.

Karena itu, dari pagi sampai sore kebanyakan pada musim ini,

masyarakat berada di kebun untuk memetik hasil. Jika dilakukan pada siang

hari atau sore hari, maka kemungkinan besar hanya sebagian kecil orang saja

yang bisa mengikuti lonto leok . Selain pada malam hari, waktu yang tepat

untuk melakukan kegiatan lonto leok juga pada hari Minggu setelah

masyarakat pulang dari Gereja. Masyarakat Manggarai pada umumnya

menghayati hari Minggu sebagai ‘hari Tuhan’, maka momentum ini dipakai

oleh legislator untuk melakukan lonto leok . Berikut petikan wawancara

dengan Fredi Mui:

“Karena efektif hanya satu hari satu lonto leok kecuali pada hari libur atau
hari Minggu. Yang bisa dilakukan dua kali itu pada hari Minggu setelah
gereja dan malam. Dan yang biasa efektif itu malam karena hari kerja
banyak orang di kebun. Apalagi, proses-proses ini kan pada saat-saat orang
musim kerja misalnya mulai Januari-April. Mereka bisa mengikuti itu pada
jam tujuh ke atas. Kendalanya Cuma di waktu saja. Jadi satu hari itu cuma
bisa satu kali saja. Apalagi pada bulan Januari-bulan April itu kan cuaca
juga tidak mendukung”. (Wawancara, 03/10/2015)

b. Berdasarkan Tokoh

Lonto leok sebagai strategi komunikasi politik juga membutuhkan

kepekaan dari seorang caleg untuk membaca situasi khususnya siapa-siapa

yang hadir dalam suatu lonto leok politik. Kepekaan ini sangat penting karena

ada beberapa caleg yang menilai efektif dan tidaknya sebuah lonto leok

tergantung dari siapa yang hadir dalam suatu forum lonto leok . Jika yang hadir

adalah kebanyakan tokoh akademis seperti guru dan pelajar maka

74
kemungkinan lonto leok secara formal tidak bisa dijalankan. Tetapi jika yang

hadir kebanyakan tokoh adat atau orang-orang yang mengerti adat, maka lonto

leok itu dapat efektif dalam memberikan kesan positif kepada seorang caleg.

Wawancara dengan Hans Rumat adalah salah satu contohnya:

“Eee kita lihat yang duduk itu siapa. Dari 30, 20 atau 10 orang itu, tokoh
sentral siapa? Toko sentral ini, dia menguasai adat tidak? Kalau tokoh
sentralnya itu berlatar belakang pendidikan di atas ini juga tidak bisa
digunakan. Lebih teori politik yang kita pakai.” (Wawancara, 24/10/2015)

Dari sini, dapat disimpulkan bahwa efektifitas sebuah lonto leok

tergantung pada kepekaan caleg untuk mempelajari persepsi masyarakat

pemilih. Tokoh akademis misalnya cenderung menyukai model sosialisasi

yang lebih teoritis-ilmiah dibandingkan dengan menggunakan pendekatan

budaya. Kepentingannya jelas bahwa kesan positif terhadap caleg sangat

ditentukan oleh penguasaan teori-teori yang dibawakan dalam materi lonto leok

. Semakin menguasai sebuah teori dan konsep serta dapat dijelaskan dengan

logis dan sistematis, maka pencitraan dirinya juga semakin kuat di mata

konstituen. Di sini, dapat disumpulkan bahwa lonto leok kurang efektif jika

berhadapan dengan pemilih cerdas yang memilih berdasarkan basis

pengetahuan akademik seorang caleg.

c. Berdasarkan wilayah

Syarat lonto leok berdasarkan wilayah yang dimaksud adalah wilayah

perkotaan dan wilayah pedesaan yang masih kental dengan adat-istiadat. Ada

suatu fakta menarik terkait ini, dimana wilayah perkotaan yang diasumsikan

dengan pemilih cerdas justru menjadi pusaran politik transaksional. Menurut

Fredi Mui, di wilayah perkotaan sangat kental dengan aroma politik uang

75
ketika transaksi politik dimaknai sebagai transaksi jual beli suara. Selain itu,

wilayah perkotaan memiliki karakteristik pemilih yang sukar ditebak.

Rasionalitas yang dipakai oleh masyarakat perkotaan bukan rasionalitas yang

diukur dari integritas diri seorang legislator, tetapi rasionalitas ekonomi yang

ditandai dengan cara berpikir untung-rugi.

“Karena yang bermain ini (informan mengocokan jari telunjuk dan ibu jari).
Sehingga akhirnya saya mengusulkan kepada teman yang rebut kursi di
Kota, jangan pake lonto leok . Tentukan tim saja di satu titik. Dan lonto leok
tidak bisa pukul rata semua titik harus ada klasifikasinya. Terutama di
daerah perkotaan, macam di Ruteng atau di kota-kota kecamatan.”
(Wawancara dengan Inosensius Fredi Mui, 03/10/2015).

d. Berdasarkan Tim Kampanye

Salah satu syarat keberhasilan lonto leok adalah pemilihan tim

kampanye di suatu wilayah. Asumsinya, tim merupakan proyeksi wajah

legislator dalam suatu kelompok masyarakat. Jika salah memilih orang-orang

yang direkrut menjadi tim sukses maka akan sangat berpengaruh pada lonto

leok itu sendiri. Karena itu tim harus memiliki integritas yang baik di dalam

suatu kelompok masyarakat. Walaupun seorang caleg memiliki citra positif,

namun jika salah satu atau sebagian anggota tim sukses adalah orang yang

tidak diterima dalam masyarakat maka akan berpengaruh terhadap animo

masyarakat dalam mengikuti upacara lonto leok .

4.3.2 Kekuatan Unsur-Unsur Lonto leok Sebagai Strategi Komunikasi

Politik

1. Kelebihan dan Kekuarangan Lonto leok

Sebelum memaparkan kekuatan unsur-unsur lonto leok , peneliti terlebih

dahulu menggali kelebihan dan kekurangannya agar mudah memahami kekuatan

76
lonto leok sebagaimana yang diungkapkan informan. Kelebihan dan kekurangan

itu dirangkum peneliti berdasarkan wawancara dengan kedua informan, yakni

dengan Hans Rumat pada tanggal 24/10/2015 dan Inosensius Fredi Mui pada

tanggal 03/10/2015.

Dalam konteks lonto leok sebagai strategi komunikasi politik terdapat

kelebihan dan kekurangan sebagaimana strategi kampanye terbuka, kampanye

dialogis, kampanye media massa maupun kampanye door to door. Dengan

mengurai kelebihan dan kekurangan lonto leok sebagai strategi komunikasi

politik, peneliti dapat menemukan kekuatan sekaligus kelemahan dalam

mendapatkan suara dari konstituen.

Kelebihan manakala lonto leok sebagai strategi komunikasi politik dapat

membentuk kesamaan makna antara legislator dan konstituen sehingga

berdampak pada perilaku memilih atau mendukung seorang calon legislator.

Sementara kekurangan mana kala lonto leok gagal dalam membentuk perilaku

memilih.

1) Kelebihan Lonto leok

Sebagai warisan budaya yang telah hidup dari generasi ke generasi lonto

leok telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat adat Manggarai. Dalam

berbagai hal, budaya ini telah terbukti ampuh dalam menyelesaikan berbagai

macam masalah sosial dalam masyarakat, tidak terkecuali dalam konteks

komunikasi politik. Dalam konteks komunikasi politik, berdasarkan

rangkuman hasil wawancara dengan Inosensius Fredi Mui dan Hans Rumat

terdapat kelebihan yang dimaksud, antara lain:

77
a. Lonto leok lebih efektif dari pada kampanye terbuka: Pola komunikasi

dua arah (interaktif) dalam forum lonto leok memungkinkan terjadi

pertukaran pesan intens antara legislator dan konstituennya. Dengan

demikian antara calon dan masyarakat dapat membentuk kesamaan

makna;

b. Semangat kekeluargaan: Sebagai forum adat lonto leok tidak terlepas

dari unsur kekelurgaan dimana sikap duduk dengan posisi melingkar

merupakan simbol persaudaraan dan persatuan sebagai sesama saudara.

Suatu komunikasi akan lebih efektif jika ada kedekatan emosional antara

komunikator dan komunikan.;

c. Komunikasi dari hati ke hati: Melalui forum ini, keterbukaan dan

kejujuran dalam berkomunikasi lebih dalam dibandingkan dengan gaya

kampanye lain;

d. Komunikasi non-verbal: Melalui interaksi langsung, komunikator politik

dengan komunikan politik dapat menilai kejujuran dan konsistensi

masing-masing melalui komunikasi non-verbal;

e. Biaya politiknya murah: Semua informan menilai bahwa lonto leok

ternyata lebih murah dibandingkan kampanye terbuka, door to door dan

kampanye dialogis. Biaya yang dikeluarkan dalam lonto leok berkisar 1-

2 juta rupiah.

Selain mewawancarai kedua legislator diatas, peneliti juga

mewawancarai Bapak Petrus Japi, salah satu tua adat dari Desa Rana Masak,

Manggarai Timur pada tanggal 10/08/2015. Beliau menerangkan bahwa

78
kelebihan lonto leok adalah menyelesaikan masalah dengan pendekatan

kekeluargaan.

“Jika dalam lonto leok itu seorang caleg berhasil membangun kedekatan

secara keluarga, maka kedekatan itu yang menjadi kekuatan dalam mengikat

suara. Semakin dekat ya mese kole peluang kudu pilih lata to” (Wawancara,

dengan Bapak Petrus Japi, 10/08/2015).

2) Kekurangan Lonto leok

Adapun kekurangan lonto dari rangkuman wawancara dengan Hans

Rumat dan Inosensius Fredi Mui antara lain:

a. Waktu: Dalam suatu hari hanya bisa melakukan satu kali lonto leok , kecuali

pada hari Minggu;

b. Keterlibatan perempuan: Budaya patriarki yang menempatkan perempuan

pada urusan rumah tangga semata sangat berpengaruh pada tingkat

keaktifan perempuan dalam lonto leok . Saat lonto leok berlangsung,

perempuan lebih memilih untuk berada di dapur dibandingkan turut terlibat

dalam pemaparan materi dan diskusi. Padahal antara perempuan dan laki-

laki sama-sama memiliki satu suara. Ketidakaktifan perempuan sangat

berpengaruh pada benar-salahnya saat pencoblosan;

c. Penurunan makna rumah adat (mbaru gendang): Rumah adat bagi orang

Manggarai adalah simbol persatuan. Di dalam rumah adat pula berbagai

macam masalah dimusyawarakan. Karena itu rumah adat adalah rumah

bersama. Dalam prakteknya, memakai rumah adat untuk tujuan politik

sebenarnya mereduksi makna hakiki rumah adat sebagai simbol persatuan

79
dan rumah bersama apalagi dalam persepsi masyarakat yang menganggap

caleg sebagai ‘pembawa berkat’. Maka timbul kecemburuan sosial antara

warga kampung dengan tua adat yang mendiami rumah adat.

Sebagai sebuah budaya, lonto leok tentunya memiliki unsur-unsur yang

membentuk budaya tersebut. Unsur-unsur itu terdiri dari rumah adat, tokoh

adat, bahasa adat, simbol adat, isi pesan dan forum adat. Dalam penelitian ini,

penulis menemukan kekuatan dari beberapa unsur yang ditemukan dalam

budaya lonto leok sebagai strategi komunikasi politik.

2. Kekuatan Unsur-Unsur Lonto leok

Adapun kekuatan unsur-unsur dalam budaya lonto leok

berdasarkanrangkuman hasil wawancara dengan informan adalah sebagai berikut:

1) Tokoh Adat

Era globalisasi telah banyak berperan dalam perubahan sosial dan budaya

dalam suatu masyarakat adat lewat pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan,

teknologi dan informasi. Salah satu perubahan yang paling signifikan adalah

perubahan struktur, peran dan status sosial dalam masyarakat. Tidak terkecuali

terjadi perubahan dalam peran dan status tua adat yang diyakini sebagai

pengambil kebijakan maupun kebajikan dalam setiap fenomena sosial. Dalam

penelitian ini, peneliti menemukan penurunan kredibilitas tua/tokoh adat dalam

forum lonto leok . Tua adat tidak lagi dinilai sebagai orang yang punya

kebajikan khusus dalam menyelesaikan suatu musyawarah adat. Hal ini

terbukti dari wawancara bersama Inosensius Fredi Mui sebagai salah satu

80
legislator dari kabupaten Manggarai Timur, dimana dia merasakan pergeseran

status dan peran tua adat dalam masyarakat adat Manggarai.

“Kehadiran tokoh adat itu tidak terlalu berpengaruh lagi dalam memberikan
suara. Itu hanya terjadi pada tahun 70-an ke bawah. Sekarang sudah terjadi
transisi yang luar biasa. Sebetulnya di masyarakat pedesaan terjadi krisis
kepercayaan kepada tokoh adat. Baik tokoh adat, tokoh agama, apa segala
macam. Jadi belum tentu kalau kita memegang si A kita bisa berhasil. Tidak
semua tokoh di situ juga disukai banyak orang.”(Wawancara, 03/10/2015)

Harus diakui bahwa pergeseran nilai ini merupakan realitas sosial

sekarang terjadi di Manggarai. Penghormatan terhadap orang yang lebih tua

semakin mengalami degradasi. Hal ini sangat disayangkan mengingat

kehadiran tokoh adat yang dikenal sebagai sumber kebajikan dalam

menyelesaikan masalah sosial semakin tergerus oleh perkembangan zaman.

Faktor yang memungkinkan degradasi kepercayaan ini bisa karena faktor

internal (tua adat yang tidak punya integritas) dan faktor eksternal (persepsi

masyarakat terhadap tua adat). Padahal, dalam lonto leok , kehadiran tokoh

adat merupakan unsur yang paling penting dalam memberikan masukan dan

kebijaksanaan dalam suatu musyawarah lonto leok .

2) Bahasa Adat

Kekuatan bahasa adat dalam lonto leok sebagai strategi komunikasi

politik ternyata sangat berpengaruh dalam menarik dukungan masyarakat.

Bahasa adat yang dimaksud bukan bahasa Manggarai dalam komunikasi

sehari-hari, melainkan ungkapan kiasan dimana maknanya sangat tersirat dan

hanya dapat dimengerti jika memahami konteks dan situasi saat itu. Kekuatan

bahasa adat ini juga yang mendorong legislator untuk mempelajari ungkapan

adat sebelum bertemu langsung dengan masyarakat dalam upacara lonto leok .

81
Kekuatan bahasa adat ini tidak hanya memberi kesan bahwa seorang caleg

menghormati budaya, tetapi juga ketajaman bahasa tersebut dalam

melumpuhkan hati pemilih. Seperti pepatah, bahasa ibarat pedang bermata dua,

begitu pula fungsi bahasa adat dalam budaya lonto leok . Jika seorang caleg

mampu menuturkan dengan baik maka bisa mendapatkan kesan positif, tetapi

jika tidak, maka akan berdampak pada pencitraan negative terhadap caleg

tersebut.

“Karena saya tidak pernah tinggal di kampung. Terpaksa saya pelajari


sendiri. Pertamanya saya pake orang untuk tiba kepok (tanggapan atas sapaan
adat) itu to. Setelah dua tiga kali, oh ternyata cara jawabnya seperti ini.
Memang harus dilatih itu (informan tertawa). Yang mereka tanya itu kan reis
(Tanya): Apa rajan teti tuak agu manuk, ai liba mane, cala manga tombo?
Setelah itu tiba lite manuk, wale. Walen ne nggo’o: “Tara mangan tuke rupe
agu wedan mbaru dite cee, ali manga get kudut a maju jadi calon DPR
propinsi. Hitu tara mangan a mai see ite ngasang ende, ema, agu ase kae do,
kudut tombo agu ite, wewa sangged ase eme aku ca ata maju lewat partai hoo,
nomor urut berapa”. Setelah itu teing kole ngger sina tuak, teing agu seng.”
(Wawancara dengan Inosensius Fredi Mui, 03/10/2015)

Dari kutipan wawancaran di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa adat

memiliki kekuatan dalam menggalang dukungan masyarakat. Bahkan ada

keharusan bagi seorang legislator untuk menuturkan bahasa adat dalam forum

lonto leok . Keharusan itu terletak pada persepsi legislator bahwa bahasa adat

merupakan media pembentuk citra sekaligus pembentuk makna.

Selain itu, bahasa adat juga dapat membentuk kesan tertentu terhadap

serorang legislator. Misalnya seperti yang dialami oleh Hans Rumat, dimana

beliau adalah pengusaha yang berdomisili di Kota Kupang. Dengan menguasai

bahasa adat dia bisa meyakinkan konstiten di dapil Manggarai bahwa walaupun

sudah lama berdomisili di Kota Kupang, masyarakat percaya akan

82
konsistensinya untuk membangun Manggarai melalui kelihaiannya dalam

menguasai bahasa adat.

Bahasa Manggarai merupakan jati diri dan budaya yang sudah melekat

pada orang Manggarai. Dengan menggunakan bahasa Manggarai formal dan

informan, masyarakat percaya bahwa ke-Manggarai-an seseorang belum luntur

walaupun sudah lama berdiam di luar Manggarai. Peran bahasa adat sangat

pentig bagi calon legislator yang berdomisili di luar Manggarai karena ada isu

yang berkembang di masyarakat kalau mereka datang ke masyarakat hanya

pada saat momentum pileg, setelah itu, lupa dengan konstituennya di

Manggarai. Maka dari itu, bahasa adat sebenarnya media pendekatan politik

yang sangat efektif untuk menumbuhkan keyakinan, citra positif, dan

kedekatan emosional antara legislator dan konstituennya. Kekuatan bahasa adat

ini, dapat ditemukan dalam petikan wawancara berikut bersama Hans Rumat:

“Memang kita sendiri harus berilmu, beriilmu dalam arti kita harus paham
bahasa Manggarai yang membuat orang itu oleh ata ngo mbeot ata hoo,
tetapi bae kin tombo Manggarai. Maut ite kat tong lawan ite te lami beo hoo,
mengingkari bahasa ini. Jadi eme nggtu melaju demeu, apa kole ta com pilih
kraeng hoo.” (Wawancara, tanggal 24 Oktober 2015)

Dalam wawancara ini, Hans Rumat menceritakan kembali kesan

masyarakat atas penguasaan bahasa adat oleh seorang legislator khususnya

yang berdomisili di luar Manggarai. Menurut Hans, kesan masyarakat dari

wawancara di atas bermakna demikian: “Walaupun orang ini sudah lama

merantau tetapi masih fasih berbahasa Manggarai. Apakah kita harus memilih

orang di kampung yang kemudian hari akan mengkhianati kita? Jadi kalau

begitu, apanya lagi yang diragukan, lebih baik kita pilih dia”

83
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahasa merupakan jati diri orang

Manggarai yang sangat kental bahkan jika orang Manggarai bertemu di tanah

rantuan, mereka tetap menggunakan bahasa Manggarai walaupun dia seorang

professor, pejabat politik, elit birokrasi, dan status besar lainnya. Di sini sangat

jelas bahwa dengan menguasai bahasa Manggarai sebenarnya seseorang telah

terlebih dahulu meruntuhkan jarak dan mendekatkan emosional yang selama

ini jauh menjadi lebih intim dalam semangat kekeluargaan.

3) Simbol Adat

Setiap kebudayaan pasti memiliki simbol-simbol tertentu yang memiliki

makna tertentu pula. Dalam suatu masyarakat adat, simbol-simbol ini

diproduksi berdasarkan keyakinan, nilai dan kebiasaan yang telah diwariskan

secara turun menurun dalam suatu masyarakat. Dalam budaya lonto leok ,

simbol adat yang dipakai adalah ayam jantan dan tuak. Ayam jantan dalam

budaya Manggarai diyakini sebagai simbol kekuatan dan tuak sebagai simbol

persatuan. Namun dalam lonto leok politik, kehadiran simbol ayam dan tuak

saja belum cukup dalam mengikat tali hubungan dalam konteks politik. Salah

satu kekuatan yang juga tidak kala penting adalah bagaimana seorang legislator

memaknai ayam dan tuak itu melalui simbol bahasa adat. Ayam dan tuak

adalah sarana yang dapat mendekatkan orang kepada makna dibalik suatu

acara. Ini berarti makna yang terkandung dalam simbol ini memiliki arti

berdasarkan konteks tertentu. Kalau dalam konteks lonto leok sekolah, makna

persatuan dan kekompakan dalam simbol ini selalu dihubungkan dengan

urusan bersama atau gotong royong dalam membiayai sekolah. Dalam konteks

84
adat, makna persatuan berhubungan dengan gotong royong dalam

menyukseskan suatu upacara adat. Sementara dalam konteks politik, kekuatan

simbol ayam dan tuak bisa diartikan sebagai simbol persatuan dan kekompakan

untuk memenangkan kandidat tertentu.

Namun sekali lagi, ayam dan tuak saja belum cukup. Salah satu unsur

yang makin menguatkan simbol ini dalam mengikat dukungan masyarakat

adalah cara penuturan atau kemampuan seorang legislator untuk

menghantarkan orang pada makna tertentu dari suatu lonto leok politik. Hal ini

terungkap dalam wawancara berikut dengan Inosensius Fredi Mui:

“Kemarin itu, simbol adat dalam lonto leok itu ada tuak dan manuk (ayam).
Simbol ini sudah biasa dalam setiap lonto leok , namun yang paling penting
adalah bahasa yang kita gunakan untuk menyentuh mereka.”(Wawancara,
03/10/2015)

Di sini Fredi Mui, memakai frasa ‘menyentuh mereka’, bukan menarik

mereka atau mengesankan mereka. Itu berarti bahasa yang dipakai selain

menggunakan bahasa yang logis dan sistematis, tetapi juga harus menyentuh

perasaan masyarakat pemilih agar memberikan dukungan kepada seorang

legislator. Komunikasi dari hati ke hati lewat bahasa adat yang didukung

dengan simbol ayam dan tuak adalah kesatuan kekuatan yang tidak bisa

dilepaskan dalam lonto leok sebagai strategi komunikasi politik.

Hal yang sama juga dialami oleh Hans Rumat dalam mengungkapkan

kekuatan simbol adat (ayam dan tuak). Kesalahan dalam menggunakan bahasa

dan memilih diksi dalam bahasa adat dapat mengaburkan makna sebenarnya.

Bahkan Hans Rumat mengakui kesalahan itu dapat menimbulkan

ketersinggungan di tengah masyarakat yang peka dengan simbol adat. Jika

85
bahasa yang dipakai legislator telah menyinggung dan mengusik hati

masyarakat maka dampak secara politiknya sangat kuat. Seorang legislator bisa

saja dicap sebagai orang yang tidak tahu adat dan akan berpengaruh pada

pencitraan diri seorang legislator di tengah suatu kelompok masyarakat adat.

“Jadi hati-hati dengan symbol adat ini misalkan tuak dan manuk itu. Hati-
hatinya itu waktu ungkapan adatnya jangan sampai salah kata yang bisa
buat mereka tersinggung. “(Wawancara, tanggal 24 Oktober 2015)

Dari wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa kekuatan simbol adat

sangat berpengaruh dalam suatu lonto leok sebagai strategi komunikasi politik.

Kolaborasi simbol adat seperti ayam, tuak dan bahasa adat adalah kekuatan

yang bisa dipakai untuk menimbulkan perilaku memilih/mendukung seorang

legislator dalam lonto leok .

4) Mbaru Gendang (Rumah Adat)

Mbaru gendang dalam masyarakat adat Manggarai adalah rumah

bersama dan simbol persatuan. Segala macam acara adat dan masalah sosial

dalam kehidupan orang Manggarai dibahas dalam rumah adat. Keyakinan ini

terbentuk dalam filosofis dalam interaksi sosial orang Manggarai “Gendang

onen, lingo peang”, rumah adat di dalamnya (sebagai sentral) dan kebun adat

di luarnya (kebun sebagai ladang bekerja). Selain itu, kehidupan orang

Manggarai juga tidak terlepas dari lima unsure yang saling berhubungan seperti

mbaru bate kaeng (rumah sebagai tempat tinggal), wae bate teku (air sumber

kehidupan), natas bate labar (ruang publik untuk bermain), uma bate duat

(kebun untuk bertani), dan compang (tempat leluhur kampung disemayamkan).

86
Dalam konteks lonto leok sebagai strategi komunikasi politik, legislator

cendrung melihat rumah adat ini sebagai titik sentrum interaksi sosial

masyarakat. Karena itu, tua adat yang mendiami rumah adat adalah pusat

perhatian sekaligus tokoh sentral yang harus dikunjungi dalam suatu misi

politik tertentu. Namun, legislator yang diwawancari dalam penelitian ini justru

melihat eksistensi rumah adat ini sebagai kekuatan politik yang dapat

melemahkan dukungan masyarakat. Anggapan ini disebabkan oleh

kecemburuan sosial yang muncul ketika seorang legislator membawa misi

politik dalam mbaru gendang.

Masyarakat terlanjur berpandangan bahwa, seorang politisi yang masuk

ke dalam rumah adat dalam pemilihan legislatif pasti membawa uang,

sembako, hewan, dan lain-lain. Walaupun seorang legislator hanya meminta

restu atau meminta izin kepada tua adat untuk melakukan sosialisasi politik

kepada masyarakat kampung, persepsi politik yang kental dengan aroma politik

uang sangat tertanam dalam benak masyarakat. Belum lagi jika tua adat dalam

rumah adat tersebut tidak disukai oleh segelintir masyarakat. Hal ini tentunya

berbeda dengan kredibilitas tua adat dalam masyarakat adat Timor, dimana

seorang usif atau amaf sangat berpengaruh untuk menggerakan dukungan

politik. Jika usif dan amaf sudah dipegang maka hampir pasti seluruh atau

sebagian masyarakat akan mengikuti usif dan amaf tersebut. Petikan

wawancara berikut dengan Inosensius Fredi Mui adalah salah satu contohnya:

“Rumah gendang selama ini kan jadi simbol. Tapi kemudian ada
kecemburuan sosial di kampung, dianggap semua caleg yang datang ke
rumah gendang ini bawah uang. Sehingga kesannya yang dapat uang itu
hanya orang-orang yang ada dalam rumah gendang itu. Lalu kemudian

87
timbul kecemburuan di antara rumah-rumah lain. Sehingga saya lebih
condong jangan di rumah gendang. Di rumah tim itu saya
masuk.”(Wawancara, 03/10/2015)

5) Isi/ Pesan

Pesan yang dimaksudkan adalah isu atau materi yang dipaparkan seorang

legislator dalam meyakinkan masyarakat. Hans Rumat misalnya lebih memilih

isu ekonomi untuk dalam setiap lonto leok . Menurutnya, isu ekonomi yang

langsung berkaitan dengan kehidupan riil masyarakat. Isu ekonomi yang

dimaksud adalah bagaimana cara berkebun yang baik dan bagaimana

meningkatkan potensi pertanian jika nanti dia terpilih menjadi legislator. Selain

itu harga komoditas yang sering kali dimonopoli oleh para tengkulak juga

menjadi isu penting dalam setiap pemaparan Hans Rumat.

“Saya punya kebanyakan isu ekonomi. Karena itu yang langsung


bersentuhan dengan mereka. Ya paling sekitar pertanian, komoditas, dan
lain-lain.”(Wawancara, tanggal 24 Oktober 2015).

Selain itu, Fredi Mui menyampaikan materi yang lebih luas, tidak hanya

isu ekonomi yang dia sampaikan tetapi juga tentang pekebunan, pertanian,

pendidikan, pengetahuan politik serta pemaparan materi soal bagaimana

memilih yang benar pada waktu hari pemilihan.

“Masyarakat sudah cerdas dan kalau caleg yang mencoba menjelekkan caleg
lain pasti mereka tidak pilih. Lebih baik banyak menjelaskan tentang
program, pengetahuan tentang pileg itu sendiri, bagaimana strategi untuk
menang.”

6) Masyarakat

Salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu lonto leok sebagai

strategi komunikasi politik adalah masyarakat. Masyarakat adalah target yang

diincar legislator dalam lonto leok . Karena itu, pemetaan masyarakat yang

88
hadir dalam suatu peristiwa lonto leok sangat penting dilakukan sebelum lonto

leok dimulai. Pemetaan yang dimaksud adalah latar belakang audiens, baik

pendidikan, suku, agama, dan dukungan politik. Identifikasi latar belakang ini

sangat penting dalam menyesuaikan bahasa, tingkah laku, cara bicara dan

pakaian yang digunakan. Dalam penggunaan bahasa misalnya terungkap dalam

wawancara berikut dengan Hans Rumat.

“Bahasa e…jadi bahasa itu sangat penting ai kudut cirri mu’u curup larong
jaong de roeng pe ite. Jadi kita harus gunakan bahasa yang bisa dimengerti,
tutur kata, tindakan yang baik supaya mereka yakin dengan kita.”
(Wawancara, tanggal 24 Oktober 2015)

Penggunaan bahasa sangat penting dalam meyakinakan masyarakat.

Bahasa adalah simbolisasi atas makna yang ada di dalam pikiran. Oleh karena

itu, penggunaan bahasa harus sesuai dengan latar belakang pendidikan dan

budaya masyarakat.

Legislator sangat menyadari bahwa latar belakang seseorang sangat

berpengaruh pada persepsi ideal yang dia inginkan dari seorang legislator.

Persepsi ini pada bagiannya akan menentukan citra ideal yang harus

dimunculkan oleh seorang legislator. Namun menurut Inosensius Fredi Mui,

selain penguasaan latar belakang pemilih, hal yang tidak kalah penting dalam

suatu lonto leok politik adalah kapasitas diri seorang legislator. Dia harus

menguasai multi-informasi yang bisa menjawabi pertanyaan masyarakat.

“Itu makanya saya bilang penting itu, caleg punya kapasitas. Dia harus bisa
menguasai multi-informasi dan pengetahuan seperti politik, ekonomi dan
pemberdayaan. Jangan hanya asal pe. Karena kadang-kadang pertanyaan
itu di luar materi yang kita bawa dan kita harus mampu menjawab.
Pencitraan dan kesan itu lahir dari cara kita menjawab dan kepuasan atas
jawabannya kita.” (Wawancara, 03/10/2015)

89
7) Media

Ada satu fakta menarik yang ditemukan dalam penelitian ini, khususnya

dalam lonto leok sebagai strategi politik, yakni penggunaan media. Dalam

pandangan kebanyakan orang, lonto leok adalah ruang komunikasi langsung

antara caleg dan masyarakat pemilih dimana komunikasi yang terjadi interaktif

dan langsung. Namun ada legislator yang menggunakan media seperti

proyektor dan layar untuk menjelaskan materi. Proyektor juga dipakai tidak

hanya untuk pemaparan materi, tetapi juga untuk menonton film layar lebar.

Namun menurut, Fredi Mui, film dapat diputar khusus di daerah-daerah yang

punya sumber daya listrik. Melalui film situasi dikusi yang tegang dan serius

dapat menjadi cair. Selain itu, film juga dipakai untuk menghibur masyarkat di

kampung yang kurang memiliki sarana rekreasi.

“Saya selalu bawa proyektor, laptop dan layar lebar. Setelah menjelaskan
cara coblos, setelah itu nanti putar film sudah. Film yang saya putar itu yang
saya download dari KPU soal tata cara pencoblosan juga film-film action.
Dan ini saya buat di daerah-daerah yang punya listrik saja kalau tidak, ya
tidak usa saja. Cara seperti ini yang membuat masyarakat juga senang dan
simpatik dengan kita. Sehingga, selain ada seriusnya juga ada rekreasinya.
Ini yang hanya saya saja dari semua caleg yang ada.” (Wawancara,
03/10/2015)

Dari rangkuman wawancara dan ulasan di atas maka kekuatan unsure-

unsur yang membentuk lonto leok dalam komunikasi politik dapat

digambarkan sebagai berikut:

90
Gambar 5. Kekuatan Unsur-Unsur Lonto leok

Tokoh
adat

Simbol
Mbaru
Adat
Gendang
Kekuatan
Unsur
Lonto leok
Bahasa
Isi
Adat

Masyarakat Media

Sumber: Penulis, 2015

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian

4.4.1 Proses Lonto leok Sebagai Komunikasi Politik

Berdasarkan hasil analisis data yang telah disajikan dalam proses lonto leok

, ditemukan fakta bahwa budaya lonto leok merupakan karakter dasar orang

Manggarai yang tidak bisa dilepaskan dalam realitas kehidupan mereka sehari-

hari. Sebagai budaya lonto leok telah memenuhi tujuh unsur universal budaya

seperti yang diungkapkan Malinowski dalam Soleman (2005:23), seperti: bahasa,

sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan,

religi dan kesenian. Dalam konteks kesenian, lonto leok sebenarnya seni memilih

dan menyampaikan pendapat agar terjadi kesamaan makna.

91
Dalam konteks komunikasi, lonto leok telah menjadi ruang pertemuan dan

pertukaran gagasan dalam merumuskan sebuah kebijakan. Hal ini terbukti dari

interaksi yang terjadi melalui komunikasi antara legislator dan masyarakat untuk

saling mempertemukan gagasan, ide dan kepentingan. Dari hasil wawancara yang

telah dilakukan peneliti, lonto leok tidak hanya mengandung unsur-unsur

komunikasi seperti sumber, channel, isi dan penerima, tetapi juga ada efek

komunikasi yang dihasilkan dari proses komunikasi lonto leok . Efek ini tampak

dalam perubahan sikap, perubahan pendapat, perubahan perlaku dan perubahan

sosial.

Selain itu, dalam proses lonto leok , ditemukan dimensi komunikasi

(Liliweri,2004: 46) seperti simbol, media untuk mengalihkan simbol-simbol,

proses kognitif dan norma-norma sosial. Salah satu simbol yang paling nyata

adalah bahasa adat. Informan mengakui bahwa penggunaan bahasa adat

merupakan salah satu kekuatan unsur yang sangat menentukan. Bahasa tidak

hanya menunjukan jati diri tetapi bahasa juga dapat mendekatkan emosional

dimana sebelumnya legislator dan komunikan tidak pernah bertemu, namun

dipersatukan oleh bahasa adat yang mengandung makna tertentu.

Karena itu, bahasa adat dalam konteks ini adalah simbol penghubung antara

legislator dan konstituennya. Bahasa adat mampu meruntuhkan tembok pemisah

baik jarak, ruang dan waktu yang selama ini jarang mempertemukan kedua pihak.

Selain itu dimensi lain yang tidak kalah penting adalah norma-norma sosial yang

harus dipatuhi misalnya menjunjung tinggi sikap saling menghargai dalam

persaudaraan dan kekeluargaan misalnya dalam ritual kepok dan lu’u.

92
Dalam ritual ini, dapat disimpulkan bahwa tahapan kepok adalah bagian dari

penghargaan yang tinggi terhadap tamu yang berkunjung ke suatu rumah atau

kampung. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepok adalah sarana atau

media perekat persaudaraan antara sesama manusia. Kepok juga menjadi ritual

pemersatu antara tamu (caleg) dan tuan rumah dalam tali kekeluargaan.

Sementara dalam ritual lu’u, juga ada penghargaan yang mau disampaikan.

Perbedaanya, kepok adalah penghargaan terhadap sesama dan lu’u adalah media

penghargaan terhadap orang yang sudah meninggal (ata pa’ang be le). Setelah

kedua ritual ini dilakukan baru bisa diadakan sosialisasi dan diskusi interaktif

antara caleg dan konstituennya.

Dari kedua proses, dapat dikatakan bahwa proses komunikasi yang terjadi

dalam lonto leok , telah melampaui rumusan komunikasi yang disampaikan

Harold Laswell bahwa komunikasi adalah soal siapa yang menyampaikan apa, apa

yang disampaiakan, melalui saluran apa, kepada siapa dan pengaruhnya apa.

Dalam lonto leok , selain unsur-unsur yang disampaiakan Laswell terpenuhi, juga

mengandung nilai persatuan, kekeluargaan dan penghargaan antara sesame

bahkan dengan orang yang sudah meninggal. Di sini, ada suatu nilai yang tidak

sekadar masalah siapa, mendapatkan apa, tetapi juga soal bagaimana cara untuk

mendapatkan sesuatu melalui cara yang humanis dan etis.

Lonto leok juga tidak sekadar proses sosial dimana individu-individu

menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan makna (West dan Turner,

2009:5), tetapi juga soal makna dibalik simbol itu. Hal ini sangat penting karena

dalam masyarakat modern sekarang ini, masalah simbol seakan terlepas dari

93
makna. Dalam masyarakat simbol, atribut sosial menjadi kebutuhan yang harus

dipenuhi tanpa memandang makna dibaliknya.

Simbol tanpa nilai dan makna pada akhirnya menjerumuskan masyarakat

(termasuk masyarat adat Manggarai) ke dalam ruang pragmatisme sosial dimana

masyarakat menjadi candu dengan simbol-simbol (uang, pakaian, teknologi

terbaru, perhiasan, dan lain-lain) dan mulai melupakan nilai-nilai persaudaraan,

kekeluargaan dan gotong royong. Masyarakat seperti ini pun terjebak dalam

persaingan yang melahirkan individualisme dan hedonisme.

4.4.2 Kekuatan Unsur-Unsur Lonto leok

Melalui hasil penelitian, terungkap bahwa dalam komunikasi politik lonto

leok terdapat dua unsur baru yang ditemukan selain mbaru gendang, tua adat,

bahasa adat, warga kampung dan simbol adat. Kedua unsur itu adalah isi dan

media. Di sini, melalui unsur isi, informan memanfaatkannya untuk

menyampaikan visi-misi dan sosialiasi diri dan melalui unsur media, informan

sebenarnya sedang menjadikan media sebagai pesan itu sendiri. Maksudnya,

penggunaan media proyektor dan LCD untuk menyampaikan materi sebenarnya

member pesan bahwa informan (dalam hal ini Inosensius Fredi Mui) mau

mengatakan bahwa dia berbeda dengan calon legislator lain yang berkomunikasi

secara langsung dengan audiens.

Menurut Fredi Mui, penggunaan media LCD dan proyektor dalam

masyarakat tradisional seperti di kampung-kampung di Manggarai adalah sesuatu

yang baru dan menarik. Media ini bisa menjadi magnet untuk menarik banyak

orang mengikuti sosialisasi diri dari informan. Di sini terungkap bahwa pemilihan

94
media komunikasi menjadi unsur yang sangat penting dalam lonto leok sekaligus

menjadi kekuatan dari unsur tersebut.

Namun yang patut disayangkan adalah kehadiran unsur baru ini justru

mendegradasikan unsure lain yang juga tidak kala penting dalam lonto leok seperti

mbaru gendang dan tua adat. Fenomena ini terungkap dalam wawancara dengan

Inosensius Fredi Mui:

“Kehadiran tokoh adat itu tidak terlalu berpengaruh lagi dalam memberikan
suara. Itu hanya terjadi pada tahun 70-an ke bawah” (Wawancara,
03/10/2015)

Selain itu, dalam wawancara dengan Hans Rumat, terungkap bahwa mbaru

gendang sebagai simbol persatuan tidak dipakai sebagai rumah tempat lonto leok

dilaksanakan. Informan beralasan bahwa rumah adat sangat sakral untuk

melakukan transaksi politik dan secara politis, lonto leok di rumah adat tidak

menguntungkan karena menimbulkan kecemburuan sosial bagi warga kampung

lain yang tidak termasuk tokoh adat.

Dalam konteks komunikasi politik, sinergi antara unsur-unsur komunikasi

adalah kekuatan yang bisa memudahkan proses pencapaian kesamaan makna.

Menurunya fungsi dan peran tua adat dan rumah adat memang secara cultural

adalah sebuah prahara yang dapat merusak sistem budaya tersebut, namun

kekuataan lain justru muncul ketika ada unsur baru yang dikembangkan.

Selain itu, kekuatan lain yang tidak kalah penting adalah kekuatan pada

bahasa adat, simbol adat dan masyarakat itu sendiri. Masyarakat tidak bisa

dilepaskan dari simbol adat (tuak dan ayam) dan bahasanya. Ketiga unsur ini

menjadi kesatuan integral yang memudahkan informan untuk melakukan

95
pendekatan politik. Jika salah satunya tidak dikuasai seperti bahasa adat, maka

akan menurunkan kredibilitas informan dalam menyampaikan pesan. Begitu pula

bahasa adat dan simbol adat, keduanya saling menopang dan melengkapi. Bahasa

yang keluar dari mulut informan untuk menyatakan maksud harus disertai dengan

simbol yang menegaskan maksud itu.

Dengan demikian, makna dan simbol adalah kekuatan yang tidak bisa

dilepas-pisahkan dalam konteks komunikasi politik lonto leok . Kekuatan ini akan

menjadi kelemahan jika salah satunya mengalami ketimpangan.

4.4.3 Strategi Komunikasi Lonto leok

1. Bahasa Adat Sebagai Pendekatan Persuasif

Bahasa adat yang dimaksud adalah ungkapan-ungkapan adat (goet) dimana

makna dari ungkapan itu sangat tersirat dan hanya bisa dimengerti pada konteks

mana ungkapan itu diucapkan. Dalam forum lonto leok sebagaimana yang

diungkapkan informan, terjadi interaksi komunikasi yang cukup dalam antara

caleg, tua adat, dan masyarakat. Di sini, kemampuan persuasi caleg dapat

dilakukan melalui ungkapan adat dan simbol adat. Caleg menggunakan ungkapan

kiasan agar merenggut simpati dari masyarakat. Hal ini sangat tampak dalam

ungkapan adat yang disampaikan Hans Rumat seperti:

“Kudu jadi mendi anak demeu ta, tukang jera e. coo jera demeu kudut pandet
laku ngger lau, rongket laku ngger lau agu iset nggara salang” (Wawancara,
21/11/2014)

Ungkapan di atas bermakna: Biarlah saya menjadi hamba untuk kamu

semua (mendi), saya akan menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan

jalan. Hans Rumat dalam hal ini berusaha merendahkan dirinya di hadapan

96
masyarakat dengan memposisikan dirinya sebagai hamba atau dengan kata lain

jika terpilih dia akan menjadi pelayan masyarakat. Dengan memposisikan diri

sebagai hamba maka pada saat itu Hans Rumat melepaskan status dan peran

sosialnya menjadi sama dengan rakyat jelata. Kesamaan kedudukan ini yang

membuat masyarakat dalam forum lonto leok memilih Hans Rumat sebagai caleg

dari latar belakang yang sama dengan masyarakat umumnya.

Selain itu, Inosensius Fredi Mui juga mengunkapkan hal yang sama. Bahasa

yang disampaikan informan, demikian:

“Hitu tara mangan a mai see ite ngasang ende, ema, agu ase kae do, kudut
tombo agu ite, wewa sangged ase eme aku ca ata maju lewat partai hoo”
(Wawancara, 03/10/2015)

Ungkapan ini bermakna: Saya datang ke sini bertemu dengan mama, bapak,

dan saudara sekalian untuk menyampaikan bahwa saya akan maju melalui partai

ini (partai Nasdem). Fredi Mui dalam ungkapan ini memposisikan dirinya sebagai

anak dan saudara dari masyarakat yang dia kunjungi. Memposisikan diri sebagai

bagian dari keluarga merupakan bahasa persuasif yang dilakukan Fredi Mui agar

masyarakat dalam forum lonto leok memiliki kedekatan emosional dengannya.

Kedua informan ini menggunakan pendekatan persuasif yang berbeda.

Pendekatan yang pertama adalah pendekatan persuasif dengan merendahkan diri

dan bentuk persuasif yang kedua adalah memposisikan diri sebagai bagian dari

keluarga. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa strategi komunikasi lonto leok

merupakan seni persuasi untuk mempengaruhi pilihan politik.

97
2. Pendekatan Masyarakat (Hati dan Gagasan) dalam Lonto leok

Pramono Anung Wibowo (2013:147) membagi stategi komunikasi politik

menjadi dua yakni: strategi komunikasi antarpribadi dan strategi komunikasi

kelompok. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan bahwa dalam lonto

leok kedua strategi ini mendapat tempat dalam proses dan pada saat lonto leok

berlangsung.

Strategi komunikasi antarpribadi terdapat pada proses sebelum lonto leok

diadakan khususnya pada saat informan menyampaikan maksud untuk

mengundang tua adat dan warga kampung untuk mengadakan lonto leok .

Pendekatan antarpribadi, menurut informan sangat penting karena untuk

menghadirkan audiens dalam forum di tengah perbedaan pilihan adalah tahap

yang sangat sulit. Seorang caleg atau tim suksesnya harus mampu meyakinkan

undangan untuk menghadiri suatu lonto leok . Dalam kenyataannya, ada

masyarakat yang tidak hadir karena sudah memiliki pilihan.

Seperti yang disampaikan Wibowo bahwa salah satu pendekatan ini

sebenarnya pendekatan yang dilakukan dengan memunculkan kemampuan diri

yang dimiliki seperti ketenaran dan keterampilan. Namun dalam prakteknya,

seorang caleg yang terkenal belum tentu mendapat simpati dari masyarakat. Salah

satu faktor adalah pemilihan tim sukses untuk mendukung seorang caleg. Jika tim

suskes adalah orang yang disukai masyarakat maka dengan sendirinya caleg

tersebut juga mendapat simpatik dari masyarakat. Demikan pula halnya dengan

tokoh adat, jika seorang tokoh adat tidak disukai maka dengan sendirinya caleg

yang mendekati tokoh adat itu juga tidak mendapat simpatik dari masyarakat.

98
Karena itu, pemilihan tim adalah penentu dalam menumbuhkan rasa suka

terhadap seorang caleg. Dapat dikatakan bahwa tim adalah gambaran diri caleg itu

sendiri.

Sementara dalam pendekatan komunikasi kelompok dapat ditemukan dalam

keberlangsungan lonto leok, dimana seorang caleg hadir dalam suatu kelompok

masyarakat untuk menyampaikan visi-misi dan sosialisasi.

Dalam kenyataanya, terungkap bahwa setiap unsur budaya lonto leok

dipakai informan untuk menyusupkan kepentingannya. Melalui tokoh adat

seorang caleg memiliki kepentingan untuk merangkul kekuasaan adat yang

dimiliki sebagai alat menyebarkan dukungan. Bahasa adat dapat dipakai sebagai

media pembentukan identitas diri sebagai seorang Manggarai yang tahu adat

selain fungsi bahasa adat sebagai perekat tali persaudaraan. Sementara melalui

unsur isi dan diskusi, caleg mau mengeksplorasikan kemampuan dan

keterampilannya dalam meyakinkan audiens bahwa dia adalah seorang yang

compatable.

Strategi komunikasi yang ada dalam lonto leok juga sebenarnya strategi

merebut hati pemilih. Dalam hal ini, lonto leok bukan hanya sebagai media

transaksi gagasan, tetapi juga media transkasi perasaan. Dalam kenyataannya,

ruang perasaan adalah yang paling dominan muncul mengingat tipikal pemilih di

kampung yang masih emosional. Sehingga komunikasi yang dipakai dalam lonto

leok adalah komunikasi dari hati ke hati.

Kepekaan rasa budaya (sens of culture) menjadi ruang komunikasi yang

menarik dalam lonto leok . Ruang ini bisa mendatangkan berkat ketika seorang

99
caleg mampu menyentuh perasaan audiens namun akan melahirkan prahara ketika

dalam komunikasi ini, forum adat merasa dilukai.

Karena itu, penggunaan budaya lonto leok sebagai strategi komunikasi

politik sebenarnya merupakan bentuk baru dalam komunikasi politik. Dapat

dirumuskan bahwa strategi komunikasi politik lonto leok adalah pendekatan

persuasif yang dipakai aktor politik untuk mengkomunikasikan kepentingannya

melalui kekuatan unsur-unsur budaya (Bahasa adat, masyarakat dan media)

sehingga terciptanya proses transaksi gagasan dan perasaan untuk memperoleh

kesamaan makna. Dalam ruang transaksi itu ada ritual adat kepok sebagai

penghargaan terhadap sesama dan lu’u sebagai penghargaan terhadap orang yang

sudah meninggal. Dengan kata lain, lonto leok merupakan seni persuasi untuk

mempengaruhi pilihan politik.

Pola komunikasi yang dimaksud dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 6. Pola Komunikasi Lonto leok

Sumber: Penulis, 2015

Dalam gambar ini, caleg memanfaatkan unsur-unsur lonto leok sebagai

media transaksi gagasan dan perasaan (komunikasi hati) agar mendapatkan

kesamaan makna atau perilaku memilih terhadap caleg tersebut.

100
3. Pendekatan Media Dalam Lonto leok

Menurut Inosensius Fredi Mui, penggunaan media LCD dan proyektor

dalam masyarakat tradisional seperti di kampung-kampung di Manggarai

merupakan sesuatu yang baru dan menarik. Media ini bisa menjadi magnet untuk

menarik banyak orang mengikuti sosialisasi diri dari informan. Di sini terungkap

bahwa strategi pemilihan media komunikasi menjadi unsur yang sangat penting

dalam lonto leok sekaligus menjadi kekuatan dari unsur tersebut.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa media (Laptop dan LCD) selain

menjadi penyalur ide dan gagasan yang disampaikan informan, juga sebagai pesan

itu sendiri. Media adalah pesan itu sendiri. Laptop dan LCD secara tidak langsung

mau menyampaikan pesan bahwa informan berbeda dengan caleg lain yang

bertarung dalam pemilihan legislatif tahun 2014.

Menurut pengamatan informan, dari semua calon yang berkampanye hanya

dia yang menggunakan media sebagai penyalur ide dan gagasannya. Dengan kata

lain, informan menyuguhkan sesuatu yang baru dimana penyampaian gagasan

secara langsung dalam waktu yang lama akan melahirkan kejenuhan bagi

masyarakat pemilih. Berdasarkan pengamatan seperti itu maka di sela-sela

sosialisasi diri dan pendidikan politik seperti cara mencoblos, informan juga

menayangkan video-video yang sifatnya menghibur untuk mengatasi kejenuhan.

Dapat dikatakan bahwa daya tarik visual media adalah magnet yang dapat

menarik masyarakat pemilih untuk mengikuti suatu upacara lonto leok.

Selain itu, dalam dokumentasi video lonto leok , Petrus Japi, secara tidak

langsung menyampaikan tuak dan ayam adalah media pengantar pesan di akhir

101
ungkapannya: “Hitu tombo agu tura agu hau manuk...” (Dokumentasi,

10/09/2014) yang bermakna: Itu pesan dan doa yang kami sampaikan kepadamu

ayam. Dalam pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa ayam adalah media

pengantar pesan kepada Tuhan dan leluhur.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa simbol ayam merupakan media

tradisional pengantar pesan dimana ayam putih bermakna kesucian atau

kesakralan dan tuak bermakna kejernihan hati. Kedua simbol ini sangat penting

dalam lonto leok sebagai komunikasi politik karena bahasa, ungkapan, tutur kata

dan janji-janji politik terikat dalam kesakralan dan kesucian simbol.

Oleh karena itu, dari ketujuh kekuatan unsur-unsur lonto leok sebagai

strategi komunikasi politik, unsur bahasa adat, masyarakat dan media menjadi

kekuatan utama yang dipakai seorang caleg sebagai media persuasi politiknya.

4.4.4 Degradasi Unsur Budaya Lonto leok

Dalam konteks demokrasi modern sesungguhnya lonto leok bisa

mendatangkan peluang seklaigus tantangan. Dewasa ini, konsep lonto leok ini

dipahami secara baru. Lonto leok tak lagi semata-mata pertemuan adat dan mbaru

gendang tak otomatis lagi menjadi tempat berlangsungnya acara tersebut. Lebih

dari itu, lonto leok berarti pertemuan apa saja yang berkaitan dengan

kesejahteraan bersama. Bahkan dalam konteks politik, lonto leok telah dijadikan

sebagai strategi komunikasi politik para kandidat baik DPR/D maupun pejabat

eksekutif untuk mendapatkan kekuasaan.

Salah satu bentuk degradasi dalam budaya lonto leok adalah hilangnya

kepercayaan terhadap tokoh adat yang sebenarnya menjadi sumber kebajikan dan

102
kebijaksanaan dalam musyawarah untuk mencapai mufakat. Kehilangan

kredibilitas toko adat seperti tua teno dan tua golo tersebut dapat ditemukan

dalam pengakuan berikut dari Inosensius Fredi Mui:

“Itu hanya terjadi pada tahun 70-an ke bawah. Sekarang sudah terjadi
transisi yang luar biasa. Sebetulnya di masyarakat pedesaan terjadi krisis
kepercayaan kepada tokoh adat. Baik tokoh adat, tokoh agama, apa segala
macam. Jadi belum tentu kalau kita memegang si A kita bisa berhasil. Tidak
semua tokoh di situ juga disukai banyak orang.”

Menurut informan, kehilangan kepercayaan pada tokoh adat salah satunya

disebabkan oleh modernitas yang menawarkan rasionalitas seperti yang dipelajari

oleh kaum intelektual. Kebanyakan masyarakat di kampung beranggapan bahwa

dengan sekolah, derajat seseorang menjadi lebih tinggi dari yang tidak

bersekolah. Anggapan tersebut yang menyebabkan tokoh-tokoh adat di kampung

yang kebanyakan tidak bersekolah dipandang subordinat dibandingkan yang

bersekolah. Seperti yang dikatakan informan di atas, transisi nilai itu terutama

disebabkan oleh globalisasi dengan senjatanya modernitas (rasionalitas). Padahal

dalam prakteknya, seorang yang bersekolah malah membuat banyak patologi

sosial dalam masyarakat maupun dalam ranah politik. Korupsi, tawuran, miras,

narkoba, dan kriminalitas lainnya justru kebanyakan dilakukan oleh orang yang

bersekolah.

Realitas ini sebenarnya sedang menegaskan bahwa budaya lokal dengan

kebajikannya sedang berada di ambang kehancuran. Memudarnya nilai

penghargaan terhadap orang tua adalah salah satu bentuk dominasi kebudayaan

global yang menawarkan individualisme dan hedonisme.

103
Selain itu, rangkuman wawancara dengan informan menegaskan unsur

mbaru gendang (rumah adat) juga mengalami degradasi ketika Lonto leok pada

akhir-akhir ini tidak lagi memanfaatkan rumah adat sebagai tempat

terselenggaranya upacara tersebut.

Tantangan lain selain perkembangan tekonologi dan informasi adalah virus

pragmatisme yang menyerang masyarakat dan aktor politik dalam budaya lonto

leok . Motivasi politisi dan masyarakat untuk berlonto-leok bukan lagi disebabkan

oleh dorongan kekeluargaan dan musyawara-mufakat tetapi karena dorongan

politik transaksional yang dapat merusak esensi dasar lonto leok .

Karena motivasinya sudah seperti itu maka tidak heran kalau dari lonto leok

justru muncul rasa kecemburuan sosial, permusuhan dan konflik horizontal yang

dapat merusak tatanan masyarakat. Budaya yang telah diwariskan dari generasi ke

generasi ini pada akhirnya menjadi arena pertarungan kekuasaan untuk

kepentingan pragmatisme politik.

4.4.5 Benih Demokrasi Lonto leok

Seperti dalam kekayaan budaya di seantero Nusantara, rumah adat

Manggarai juga kaya nilai. Nilai-nilai ini mendasari kehidupan bersama serta

mewarnai seluruh aktivitas sosial orang Manggarai. Salah satunya adalah nilai

demokrasi. Rumah adat jika disandingkan dengan demokrasi modern adalah

rumah legislatif lokal tempat segala aspirasi dan masalah dimusyawarahkan.

Tradisi ini menegaskan bahwa ternyata demokrasi sudah dihayati oleh

masyarakat Manggarai jauh sebelum sistem pemerintahan ini dipilih menjadi

sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia. Dengan kata lain, karakter

104
demokrasi sudah dihayati oleh orang-orang Manggarai sebelum universalitas

demokrasi tiba di Manggarai. Warisan budaya yang diturunkan dari nenek

moyang hingga terpatri dalam benak orang Manggarai modern mencermikan

nilai-nilai demokrasi seperti yang kita pahami sekarang ini.

Budaya lonto leok yang sering dilaksanakan dalam Mbaru Gendang (rumah

adat) merupakan salah satu bukti bahwa demokrasi bukanlah hal yang asing di

tanah Manggarai. Mbaru gendang itu sendiri sesungguhnya menyimbolkan

demokrasi. Dua prinsip utama arsitekturnya adalah reje leleng bantang cama

(permusyawarahan) dan kope oles todo kongkol (kesejahteraan).

Secara kasat mata mungkin kita dapat menemukan benih-benih demokrasi

dalam budaya lonto leok . Sebagai contoh, hadirnya semua warga kampung (pa’an

olo, ngaung musi), proses lonto leok yang demokratis dan proses pengambilan

kebijakan yang melibatkan semua unsur masyarakat (demokrasi partisipatif).

Selain itu, jika kita telisik lebih jauh ternyata benih demokrasi terimplisit dalam

go’et-go’et (ungakapan adat) yang menjadi prinsip dari lonto leok itu sendiri

(Terkait prinsip-prinsip lonto leok ini telah disajikan pada Bab II).

Lonto leok merupakan salah satu karakter dasar orang Manggarai (perange

data Manggarai ) suka bergotong royong seperti yang terungkap dalam go’et

“gori cama-cama”. Bentuk-bentuk konkrit dari gotong royong ini, antara lain

dalam hal mendirikan rumah, teristimewa membangun mbaru gendang,

membangun jalan raya, membiayai pendidikan anak-anak, pada urusan nikah,

pada peristiwa kematian, dll. Karena itu dalam forum lonto leok nilai gotong

royong itu dapa ditemukan dalam keterlibatan dan keaktifan seluruh warga

105
kampung dalam mefasilitasi kegiatan lonto leok maupun dalam mengeksekusi

hasil kesepakatan dalam lonto leok tersebut. Selain itu, salah satu nilai yang

sampai sekarang masih hidup adalah nilai kekeluargaan dalam lonto leok . Hal ini

terungkap dalam sikap duduk melingkar dari semua forum yang hadir. Lingkaran

diibaratkan dengan tali persaudaraan yang tidak pernah putus dalam suatu lonto

leok . Karena itu, dinamika yang terjadi dalam lonto leok sebenarnya dinamika

yang berbasis kekeluargaan untuk mencapai tujuan-tujuan bersama (bonum

commune).

Secara keseluruhan nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam budaya

lonto leok digambarkan sebagai berikut:

Gambar 7. Nilai Demokrasi Lonto leok

1. Nilai Musyawarah-
mufakat
Nilai
2. Nilai Gotong-royong
Demokrasi
Lonto leok 3. Nilai Kekeluargaan

4. Nilai Persatuan

Sumber: Penulis, 2015

106
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Budaya lonto leok merupakan bentuk musyawarah mufakat dalam konteks

masyarakat adat Manggarai dan simbol persatuan, persaudaraan dan kekeluargaan

dalam menyelesaikan masalah.

Spirit lonto leok sebagai sebuah budaya dapat dikaji melalui pribahasa adat

Manggarai seperti: Muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambo neka woleng

lako (Pisang serumpun jangan berbeda kata, tebu serumpun jangan berbeda jalan),

ipung ca tiwu-neka woleng wintuk, nakeng ca wae-neka woleng tae (ikan ipun

sekolam jangan beda tindakan, ikan sekali jangan beda bicara), ema agu anak

neka woleng curup, weta agu nara-neka woleng bantang (Ayah dan anak jangan

beda kata, saudara dan saudari jangan berbeda mufakat).

5.1.1 Proses Lonto leok

Dalam ritual ini, dapat disimpulkan bahwa tahapan kepok adalah bagian dari

penghargaan yang tinggi terhadap tamu yang berkunjung ke suatu rumah atau

kampung. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepok adalah sarana atau

media perekat persaudaraan antara sesama manusia. Kepok juga menjadi ritual

pemersatu antara tamu (caleg) dan tuan rumah dalam tali kekeluargaan.

Sementara dalam ritual lu’u, juga ada penghargaan yang mau disampaikan.

Perbedaanya, kepok adalah penghargaan terhadap sesama dan lu’u adalah media

penghargaan terhadap orang yang sudah meninggal (ata pa’ang be le). Setelah

107
kedua ritual ini dilakukan baru bisa diadakan sosialisasi dan diskusi interaktif

antara caleg dan konstituennya.

Dalam lonto leok , selain unsur-unsur yang disampaiakan Laswell terpenuhi,

juga mengandung nilai persatuan, kekeluargaan dan penghargaan antara sesame

bahkan dengan orang yang sudah meninggal. Di sini, ada suatu nilai yang tidak

sekadar masalah siapa, mendapatkan apa, tetapi juga soal bagaimana cara untuk

mendapatkan sesuatu melalui cara yang humanis dan etis.

5.1.2 Kekuatan Unsur-Unsur Lonto leok

Kekuatan ini meliputi bahasa adat, masyarakat dan media. Masyarakat tidak

bisa dilepaskan dari bahasa adat dan media. Ketiga unsur ini menjadi kesatuan

integral yang memudahkan informan untuk melakukan pendekatan politik. Jika

salah satunya tidak dikuasai seperti bahasa adat, maka akan menurunkan

kredibilitas informan dalam menyampaikan pesan. Begitu pula media dan

masyarakat. Bahasa yang keluar dari mulut informan untuk menyatakan maksud

disalurkan melalui media yang tepat agar dapat tersampaikan kepada masyarakat.

5.1.3 Strategi Komunikasi Lonto leok

Strategi komunikasi politik lonto leok adalah pendekatan, cara, metode

yang dipakai seorang aktor politik untuk mengkomunikasikan kepentingannya

melalui kekuatan unsur-unsur budaya (masyarakat, media dan bahasa adat)

sehingga terciptanya proses transaksi gagasan dan perasaan untuk memperoleh

kesamaan makna. Dalam ruang transaksi itu ada ritual adat kepok sebagai

penghargaan terhadap sesama dan lu’u sebagai penghargaan terhadap orang yang

108
sudah meninggal. Lonto leok juga merupakan seni persuasi untuk mempengaruhi

pilihan politik.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Akademis

Penulis mengakui bahwa penelitian tentang Lonto leok sebagai strategi

komunikasi politik tentunya mencakup banyak aspek tidak hanya anggota

legislatif tetapi juga berbagai unsur masyarakat. Dari penelitian ini terkuak bahwa

tiga unsur budaya (bahasa adat, masyarakat dan media) adalah kekuatan yang

dipakai legislator sebagai instrument strategi politik.

Peneliti belum berani berasumsi bahwa keterpilihan kedua legislator dan

legislator lain dari dapil Manggarai karena memaksimalkan ketiga kekuatan unsur

budaya ini. Peneliti menyadari bahwa pendekatan yang dilakukan penulis adalah

pendekatan fenomenologi dimana peneliti merekam dan menganalisis pengalaman

subyektif informan pada pemilihan legislatif tahun 2014. Oleh karena itu untuk

para peneliti selanjutnya, perlu ada pendekatan lain seperti etnografi budaya agar

bisa memahami keterpilihan caleg dalam konteks lonto leok.

Selain itu, fakta bahwa budaya lonto leok sedang mengalami kemunduran

adalah fenomena yang sedang terjadi sekarang ini. Karena itu penulis, mengajak

mahasiswa sebagai kaum intelektual untuk ikut menjaga dan melestarikan budaya

lonto leok dalam bentuk penelitian sekaligus menggali kembali nilai-nilai yang

terkandung dalam budaya ini agar tidak luntur ditelan arus global.

Peneliti menyadari bahwa belum banyak kekayaan dalam budaya lonto leok

yang terkuak dalam penelitian ini. Dengan penelitian dan pendekatan yang lebih

109
komperhensif, mahasiswa atau peneliti selanjutnya akan menemukan kekakayaan

lain yang mungkin belum terungkap melalui penelitian ini seperti pertanyaan:

Apakah simbol adat (ayam dan tuak) adalah media pembawa pesan? Kalau itu

adalah media pembawa pesan, apakah media itu juga adalah pesan? Kalau media

itu adalah pesan, pesan apa yang mau disampaikan?

Karena itu peneliti menyaranakan agar penelitian adalah lembaran awal

untuk peneliti selanjutnya untuk kemudian bisa menjawab pertanyaan di atas

maupun pertanyaan yang tidak sempat ditanyakan dalam penelitian ini.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi Masyarakat Manggarai

Agar tetap menjaga kearifan budaya lonto leok dalam ruang interaksi

sosial. Lonto leok adalah media yang sangat solutif dalam menyelesaikan

masalah. Dengan semangat kekeluargaan dan musyawarah segala macam

persoalan yang sedang dan akan terjadi di Bumi Manggarai bisa

menemukan jalan keluar yang baik bagi perkembangan masyarakat.

Selain itu memudarnya unsur budaya seperti tua adat dan mbaru gendang

adalah sinyal bagi masyarakat untuk melakukan reposisi unsure budaya

tersebut dalam ranah sosial dan politik.

2. Bagi Legislator

Sebagai perwakilan rakyat dari daerah pemilihan Manggarai, DPRD

Provinsi NTT juga harus terlibat dalam usaha melestarikan budaya lonto

leok . Bila perlu budaya ini diusulkan ke pemerintah provinsi sebagai

salah satu aset lokal yang perlu jaga dan dilestarikan. Selain itu, DPRD

110
sebagai perwakilan rakyat harus mampu membedakan ruang politik dan

ruang budaya agar tidak terjadi silang sengkarut kepentingan politik yang

menyebabkan lunturnya nilai-nilai dalam lonto leok . DPRD Provinsi

khususnya dari dapil Manggarai harus berperan aktif dalam melakukan

reposisi unsur budaya lonto leok dengan menggunakan unsur tua adat

dan rumah adat sebagai komponen yang penting dalam lonto leok . Oleh

karena itu, dalam masa reses sebaiknya angggota DPRD provinsi dari

dapil Manggarai memanfaatkan rumah adat dan melibatkan tua adat

dalam sosialisasi anggaran maupaun rencana alokasi anggaran.

3. Bagi Pemerintah Manggarai (Manggarai Barat, Manggarai dan

Manggarai Timur)

Agar membuat peraturan daerah tentang perlindungan budaya lokal

sebagai bentuk pelestarian budaya di tengah gempuran pengaruh

globalisasi yang kian marak terjadi di Manggarai. Selain membuat perda,

pemerintah daerah di tiga kabupaten di Manggarai Raya harus

melibatkan masyarakat adat dalam upacara lonto leok sebagai media

untuk mengkomunikasikan kebijakan politik. Dengan kata lain, lonto

leok merupakan modal sosial dan budaya dalam masyarakat adat

Manggarai yang perlu diberdayakan dalam setiap pembangunan di

Manggarai.

111
DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. 2009. Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Hamidi. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press
Janggur, Petrus. 2010. Butir-Butir Adat Manggarai. Ruteng: Siri Bongkok
Kleden, Ignas. 1988. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta: Jakarta
Liliweri, Alo. 1997. Komunikasi Antarpribadi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Liliweri, Alo. 2004. Wacana Komunikasi Organisasi. Bandung: CV. Mandar
Maju
Madung, Otto. 2013. Filsafat Politik. Maumere: Ledalero
Mulyana, Deddy, dkk. 1990. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Mulyana, Deddy. 2010. Ilmu Komunikasi. PT Rosda Karya: Bandung
Nggoro, Adi. 2006. Budaya Manggarai Selayang Pandang. Surabaya: Sylvia
Nimmo, Dan. 1993. Komunikasi Politik Komunikator Pesan Media. Remaja
Rosdakarya: Bandung
Rakmat, Jalaluddin. 2001. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Regus, Max. 2011. Gereja Menyapa Manggarai. Jakarta: Parrhesia
Ritzer, George. 2012. Handbook Teori Sosial. Bandung: PT Nusa Media
Rudy, Teuku. 2005. Komunikasi dan Humas Internasional. Refika Aditama:
Bandung
Soelaeman, Munandar.2005. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT Refika Aditama
Sukmono, Filosa, dkk. 2014. Komunikasi Multikultural. Yogyakarta: Buku Litera
Sutrisno, Mudji. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Wibowo, Prabowo Anung. 2013. Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi.
Jakarta: PT Gramedia.

112
LAMPIRAN

DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA

1. Selama masa kampanye menjelang pemilihan legilatif tahun 2014


kemarin, strategi kampanye apa saja yang Bapak lakukukan?

2. Apa motivasi Bapak sehingga memilih strategi komunikasi politik lonto


leok ?

3. Apakah setiap titik itu menggunakan pendekatan lonto leok?

4. Apa waktu itu semua kampung di Dapil Manggarai dikunjungi?

5. Siapa-siapa yang didekati untuk mengumpul orang dalam lonto leok?

6. Bagaimana proses lonto leok dalam konteks komunikasi politik?

7. Apa kelebihan lonto leok dengan gaya kampanye lain?


Jawaban:

8. Apa kekuatan yang membuat strategi komunikasi lonto leok dapat menarik
suara/ dukungan?

9. Siapa-siapa yang hadir ?

10. Masyarakat dari segmen mana saja yang bisa garap suaranya dalam suatu
lonto leok?

11. Dalam komunikasi politik lonto leok, segmen mana yang paling banyak
hadir?

12. Bagaimana Bapak memanfaatkan budaya lonto leok ini dalam


mendapatkan suara?

13. Salah satu unsur lonto leok itu adalah tokoh adat. Bagaimana
pengaruh/peran seorang tokoh adat dalam strategi lonto leok sehingga
dapat mempengaruhi dukungan?

14. Salah satu unsur lonto leok adalah bahasa adat. Apakah kekuatan
komunikasi adat seorang caleg dalam memberikan kesan positif dalam
suatu lonto leok?
15. Kalau unsur mbaru gendang, apa kekuatan mbaru gendang sebagai simbol
persatuan khususnya dalam konteks komunikasi politik?

16. Selain itu, ada juga simbol adat yang dipakai dalam suatu lonto leok,
bagaiamana kekuatan symbol adat ini dalam mendapatkan dukungan?

17. Unsur lain adalah masyarakat yang hadir dalam lonto leok, bagaiamana
cara bapak meyakinkan mereka untuk memilih Bapak?

18. Media apa yang Bapak pakai dalam forum lonto leok?

19. Selain faktor internal di atas, apa saja faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi lonto leok?

20. Isu apa yang bapak bawah dalam forum lonto leok sebagai bahan diskusi?

21. Berapa jumlah suara yang bapak dapat dari dapil Manggarai ?

22. Apa saja kendala dari Bapak selama adakan lonto leok ,?
LAMPIRAN
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN HANS RUMAT
(21/10/2015)

23. Selama masa kampanye menjelang pemilihan legilatif tahun 2014


kemarin, strategi kampanye apa saja yang Bapak lakukan?
Jawaban: Lebih banyak lonto leok. Kumpul lima sepuluh orang di rumah-
rumah tokoh, kita menceritakan, itu juga tidak cerita tentang politik, cerita
tentang bagaimana berkebun yang baik, bagiamana untuk merubahnya
anak-anak kita itu mulai dari mana, katakanlah salah satunya adalah
sekolah. Di manggarai, untuk perubahan ke arah ekonomi itu salah satunya
wajib sekolah. Kemudian juga bertani yang baik, dan lain sebagainya.

24. Apa motivasi Bapak sehingga memilih strategi komunikasi politik lonto
leok ?
Jawaban: Yah, mau bilang kita di Manggarai ini kan masih suku, adek
kaka, masih lihat orang tua, masih lihat nenek moyang, dan segala macam
to. Sehingga dalam kontek lonto leok politik, ini sebenarnya berubah
fungsi. Dari dulu lonto leok yang lebih kepada budaya, katakanlah buka
kebun baru, co caran kudu ngo emi wina (persiapan ambil istri), atau
pande mbaru. Tapi karena demokrasi politik langsung ini, orang akan
lebih memanfaatkan lonto leok itu, sebagai komunikasi politik. Ini
memang trend baru ada baik dan ada tidak baiknya. Kalau baiknya yang
pasti warisan-warisan budaya pendahulu, itu kita pertahankan, tapi
masalah isinya ini yang sudah bergeser. Saya sedikit, sebenarnya
berlawanan dengan suara hati saya e, ketika lonto leok konteks politik
masuk di rumah gendang. Karena terjadi kontaminasi-kontaminasi
kepentingan, lalu ada bahasa-bahasa yang lebih banyak menjanjikan. Nah,
kalau itu dibiasakan, para politisi masuk gendang untuk mempromosikan
dirinya, saya pikir citra lonto leok ke depan turun, nilai isinya sudah tidak
mencerminkan orang Manggarai. Tapi kalau lonto leok konteks politik,
bupati, DPR, gubernur, presiden sekalipun, bawa hasilnya dalam lonto
leok bisa karena itu cerita baik yang membawa perubahan,
memberitahukan hasil yang baik, apa segala macam. Tapi kalau dalam
konteksnya mengkampanye diri, saya tidak setuju. Apalagi iming-iming
bawa babi, apa segala macam. Kita memberikan pelajar bodoh terhadap
tua adat dan masyarakat.

25. Apakah setiap titik itu menggunakan pendekatan lonto leok?


Jawaban: eee kita lihat yang duduk itu siapa. Dari 30, 20 atau 10 orang itu,
tokoh sentral siapa? Toko sentral ini, dia menguasai adat tidak? Kalau
tokoh sentralnya itu berlatar belakang pendidikan di atas ini juga tidak bisa
digunakan. Lebih teori politik yang kita pakai.
26. Apa waktu itu semua kampung di Dapil Manggarai Bapak kunjungi?
Jawaban: Tidak semua titik kita bisa ketemui karena juga banyak kendala,
seperti waktu, tenaga dan modal.

27. Siapa-siapa yang didekati untuk mengumpul orang dalam lonto leok?
Jawaban: Saya punya kemarin itu pake tim. Bisa juga pake keluarga dalam
kampung yang ditargetkan.

28. Bagaimana proses lonto leok dalam konteks komunikasi politik?


Jawaban: Eeee, ya kita lakukan pendekatan, ada tim ke sana. Asa me rei
koe ise inang, amang, eme ngo lejong le kami tanggal sekian, cala manga
ata, atau mungkin mereka sibuk. Kirim kurir ga. Karna kalau kita datang,
ole lejong le ami tong ta, bahaya juga situasi politik ini kan, bisa ada
ketakutan, bisa ada keluarga mereka sendiri ada yang maju, bisa….Kita
hargai itu, jangan karna jadwal kampanye di wilayah itu kita labrak saja.
Itu juga akan membuat ketersinggungan-ketersinggungan lokal to? Tapi
kita selalu kirim kurir duluan, kalau oke baru kita buat. Kalau proses
masuk rumahnya tergantung suku masing-masing e. Ada yang terima di
pa’ang, ada yang terima setelah duduk di rumah, ada yang di pintu.
Setelah itu dilanjutkan dengan kepok sebagai sapaan orang manggarai.
Dalam ritual kepok itu symbol adatnya kan lu’u dulu, lu’u ini istilahnya
permisi kepada nenk moyang yang sudah meninggal to. Kemudian itu kan
ada tradisi masing-masing to, ada yang asi di masuk mbaru, olong ngo le
boa di. Sangat tergantung struktur kampung. Baru dari sana nanti kita
permisi, kita datang dalam rangka a, b, c, d, to semua itu dalam bentuk
pengakuan, penghargaan kita, wali kan? Setiap ungkapan/kata kita wali
(informan memperagakan sedang memberikan sesuatu) itu pengakuan
mereka dan kita bahwa sudah bersabar bahwa kita ada tujuan baik dari
semua pertemuan itu sampai pada kita pamit. Saya kira itu budaya yang
baik. Tidak diterjemahkan kita membeli suara mereka melalui wali-wali
itu.
Jadi istilahnya weda rewa, tuke mbaru, tegi nai nggalis, tuka
ngengga, ai kudut a ikut wagal kaba, cikat pina. Wagal kaba, cikat pina di
Manggarai itu kan pesta besar karena ada yang mau ditargetkan katakana
mau buka kebun baru. Wagal kaba cikat pina dalam kontek politik, ai a
kudu pesta demokrasi, muu curu, larong jaong, istilah kudu jadi mendi
anak demeu ta, tukang jera e. coo jera demeu kudut pandet laku ngger lau,
rongket laku ngger lau a iset ngara salang, apa segala macam. Bukan kita
mau rebut kekuasaan, jadi wagal kaba cikat pina karena pesta demokrasi.
Maka tugas kita sebenarnya sebagai jarang tekek, ya tukang pikul beban
lah. Bahasa-bahasa sederhana itu mereka paham. Ai eme jarang rie maka
tujuan kemenangan.
29. Apa kelebihan lonto leok dengan gaya kampanye lain?
Jawaban: Kekeluargaan. Kemudian head to head juga muncul dalam
menyampaikan isi hati antara caleg dan masyarakat. Ekspresinya tanpa
pura-pura, tanpa palsu. Karena dia akan malu sendiri kalau
mengekspresikan kalau di antara sepuluh orang itu, pasti akan terbaca.
Maka yang hadir di situ adalah orang yang tulus tanpa kepentingan.
Karena dia ada tamu ta kraeng hoo lau e, ada rencana begini-begini e, coo
ta eme reci one piring poli teing ata, aku koe toran lemeu ta. Itu dapat
menggugah mereka, ole kraeng asi tombo nggitu ta, eme nggo bo ite mai
joak, mai tombo mese cee hoo weling tuung. Tapi eme nggo tombo reci ite
apan keta dise ata do ta, hoo kami. Toe teing reci e, oh…hang teneng
muing latang ite. Bahasa begini kan sudah kena. Ai bo selama hoo aram
manga ata be olo mai aku, hitu tara nggon gereng reci kat aku ta. Eme
nuk aku lemeu teing aku lemeu reci situ. Ai toe nggtu kraeng tua hoo ata
tuungn melaju hoo.
30. Apa kekuatan yang membuat strategi komunikasi lonto leok dapat menarik
suara/ dukungan?
Jawaban: Jadi kekeluargaan itu sangat tinggi dalam forum lonto leok ini.
Kita bisa tahu siapa yang hadir untuk memilih kita siapa yang sekedar
hadir untuk dengar saja. Jadi kita bisa tahu dengan interaksi langsung
dengan mereka.
31. Siapa-siapa yang hadir ?
Jawaban: Ada guru, ada kepala desa, ada tua adat, ada mama, anak-anak,
warna-warni. Jadi ini kan hak mendengar. Kalau duduk model lonto leok
tidak masalah
32. Masyarakat dari segmen mana saja yang bisa garap suaranya dalam suatu
lonto leok?
Jawaban: semua ada orang tua, anak-anak, muda-mudi, guru, PNS, dll.
Jadi tidak membatasi siapa saja untuk hadir. Karena ini kan bagian dari
sosialisasi. Mereka pilih dan tidaknya urusan kemudian. Yang penting kita
sudah kasi tahu begitu.
33. Bagaimana Bapak memanfaatkan budaya lonto leok ini dalam
mendapatkan suara?
Jawaban: Yang hadir itu kan bisa sepuluh, dua puluh, tiga puluh. Semua
yang hadir lonto leok itu semua memilih karena mungkin faktor kedekatan
komunikasi, faktor kita menyampaikan pikiran yang tidak juga
mengawang-awang lah, cerita sesuai dengan situasi mereka saja.
Ketimbang kampanye terbuka. Dari sekitar 700-an yang hadir mungkin
seratus saja yang memilih.

34. Salah satu unsur lonto leok itu adalah tokoh adat. Bagaimana
pengaruh/peran seorang tokoh adat dalam strategi lonto leok sehingga
dapat mempengaruhi dukungan?
Jawaban: eee itu wajib. Sebelum kita masuk satu kampung, memang
mereka duluan, lalu kalau, mungkin di antara mereka rembuk. Biasanya
mereka atur strategi. Mereka tau petanya. Eme nggitu hau-hau be le. Kita
tau yang datang, ini memang, yang tidak datang tidak usah cemburu
walaupun kita punya keluarga, walaupun sahabat kenalan. Ini pilihan dan
kita hargai pilihan itu. Tombo kole lise ole neka rabo hia hoo nggoo-
nggoo. Jadi ata nggitu muing neka pande raha tau cee beo gara-gara mai
lehong dami. Jadi kita sudah sangat paham.

35. Salah satu unsur lonto leok adalah bahasa adat. Apakah kekuatan
komunikasi adat seorang caleg dalam memberikan kesan positif dalam
suatu lonto leok?
Jawaban: Memang kita sendiri harus berilmu, beriilmu dalam arti kita
harus paham bahasa Manggarai yang membuat orang itu oleh ata ngo
mbeot ata hoo, tetapi bae kin tombo Manggarai. Maut ite kat tong lawan
ite te lami beo hoo, mengingkari bahasa ini. Jadi eme nggtu melaju demeu,
apa kole ta com pilih kraeng hoo. Dan ternyata bahasa adat itu bisa
melumpuhkan semua idealism orang. Kecuali kalau tidak mengerti sama
sekali bahasa Manggarai e, dia besar di luar. Tapi kalau dia lama di luar
terus sampai di manggarai kata-kata itu muncul, di situlah dia merasa oleh
komen ngo mbeot tapi nuk kin beon. Bagi kita kan tah itu kat bo melaju
daku e, ai bom hanang koe aku bo ta, katakanlah dari PKB sendiri saja, 10
ini rebut 10 kursi nganceng ne mai. Sedangkan bahasa seperti tidak bisa
kita ungkap di panggung. Itu logika politiknya juga aew ata wedol hia hoo
eta e. karena ini tadi judulnya lonto leok jadi kita gunakan bahasa-bahasa
yang menyentuh mereka.

36. Kalau unsur mbaru gendang, apa kekuatan mbaru gendang sebagai simbol
persatuan khususnya dalam konteks komunikasi politik?
Jawaban: Ketika saya diundang, saya menghargai tapi saya menjelaskan
kalau sebenarnya lonto leok konteks politik dalam rumah gendang
sebenarnya tidak baik dan berdampak negatif. Memang bagus kalau lonto
leok ini dibuat untuk mendapatkan suara tapi sebenarnya banyak yang
maki kita, contoh: benta de le tua gendang ge, nana co de tara toe cenggo
le apa ta mabaru gendang, jadi a lebih dia tombo hoo com le. Coo syarat?
Tema syarat, kadang-kadang suruh bawah kopi, gula, segala macam-segala
macam to. Jadi represntatif gendang ini kan tu’a adat. Kalau orang politik
masuk ke sana diundang oleh tua adat, belum tentu orang di dalam rumah
adat sendiri apalagi di luar setuju dengan orang yang datang dengan misi
politik ini. Maka ketika orang politik keluar dari sana, biasanya kan
imagenya ba ela, pasti ba seng, pasti ba dea. Eme tapa pe manuk hoo tong
e pasti satu kampung tercium. Dari ayam ini, belum tentu semua orang
dalam rumah rangko kole, apalagi orang satu kampung. Itu konteks
dagingnya, belum kontek uang, belum konteks sumbangan, dll. Nah cerita
ini, iya kalau iya, kalau tidak maka perpecahan itu, muncul dan disinilah
dosanya orang politisi.

37. Selain itu, ada juga symbol adat yang dipakai dalam suatu lonto leok,
bagaiamana kekuatan symbol adat ini dalam mendapatkan dukungan?
Jawaban: Jadi hati-hati dengan symbol adat ini misalkan tuak dan manuk
itu. Hati-hatinya itu waktu ungkapan adatnya jangan sampai salah kata
yang bisa buat mereka tersinggung.
38. Unsur lain adalah masyarakat yang hadir dalam lonto leok, bagaiamana
cara Bapak meyakinkan mereka untuk memilih Bapak?
Jawaban: bahasa e…jadi bahasa itu sangat penting ai kudut cirri mu’u
curup larong jaong de roeng pe ite. Jadi kita harus gunakan bahasa yang
bisa dimengerti, tutur kata, tindakan yang baik supaya mereka yakin
dengan kita.
39. Media apa yang Bapak pakai dalam forum lonto leok?
Jawaban: saya pake omong langsung saja dengan masyarakat. Yang
penting kita pake bahasa yang dapat menggugah mereka saja.

40. Selain faktor internal di atas, apa saja faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi lonto leok?
Jawaban: jadi setelah lonto leok itu, supaya kita bisa mengikat suaranya itu
harus gunakan tim sudah. Jadi tim akan datang kembali buat laporan. Jadi
berdasarkan pertemua tadi malam mereka butuh a, b, c, d. Kalau yang
mereka isyaratkan kita mampu kita buat, yang menueut kita rasional, ole
neka rabo ta yang ini toe nganceng lami e. sepertinya di luar konteks
sudah. Tapi me hoo cama-cama, asa nganceng ko? Nganceng. Aew…me
nggitu kudu wero kin lami le. Asal nuk e sampe le tanggal apa hitu. Dan
hampir jarang mereka minta jalan, minta rumah sakit, ole kraeng eme
manga sekolah anak kami cama-cama lonto hoo sale. Eme manga bowo
wae ta kraeng neka rabo eme manga ganggu ite kami eme a ai bo be bae
lami. Wajar sekali to itu manusiawi sekali
41. Isu apa yang bapak bawah dalam forum lonto leok sebagai bahan diskusi?
Jawaban: saya punya kebanyakan isu ekonomi. Karena itu yang langsung
bersentuhan dengan mereka. Ya paling sekitar pertanian, komoditas, dll.
42. Apa saja kendala dari Bapak selama adakan lonto leok sebagai strategi
komunikasi politik?
Jawaban: Saya sedikit, sebenarnya berlawanan dengan suara hati saya e,
lonto leok konteks politik tapi pake rumah gendang. Itu makanya saya
bilang lebih baik kita di rumah keluarga atau tim saja. Kendala lain itu
misalnya waktu yang tidak memungkinkan untuk mencapai semua titik
dengan menggunakan lonto leok.
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN FREDI MUI
(01/10/2015)

1. Selama masa kampanye menjelang pemilihan legilatif tahun 2014


kemarin, strategi kampanye apa saja yang Bapak lakukukan?
Jawaban: Saya lebih banyak menggunakan lonto leok di beberapa titik
desa yang saya kunjungi dari pada menggunakan door to door atau
kampanye terbuka. Dia (budaya lonto leok) lebih hemat dan efektif.

2. Apa motivasi Bapak sehingga memilih strategi komunikasi politik lonto


leok ?
Jawaban:
Lonto leok itu lebih cenderung kepada strategi budaya. Dia lebih
dialogis. Karena setelah kita menyampaikan visi-misi, tujuan, apa segala
macam nanti, itu pasti ada session tanya jawab. Jadi penting itu dalam
suatu peristiwa lonto leok harus ada seorang sekertaris yang catat apa yang
kita janjikan, kita inginkan dan kita cita-citakan. Karena memori kita
sangat terbatas. Jadi sebenarnya kalau omong motivasi, lonto leok itu lebih
komunikatif dan membentuk kedekatan dengan masyarakat.

3. Apakah setiap titik itu menggunakan pendekatan lonto leok?


Jawaban:
Semua saya punya pake lonto leok. Tapi biasanya saya perjanjian dulu,
hari apa, jam berapa. Yang lebih parah itu di kecamatan Ruteng. Mereka
bilang “olee kraeng tua kalau pemilihan hari ini one ite taungs suara”.
Tapi cek nanti hari H mungkin hanya dua orang saja. Karena yang bermain
ini (informan mengocokan jari telunjuk dan ibu jari). Sehingga akhirnya
saya mengusulkan kepada teman yang rebut kursi di Kota, jangan pake
lonto leok. Tentukan tim saja di satu titik. Dan lonto leok tidak bisa pukul
rata semua titik harus ada klasifikasinya. Terutama di daerah perkotaan,
macam di Ruteng atau di kota-kota kecamatan.
4. Apa waktu itu semua kampung di Dapil Manggarai dikunjungi?
Jawaban:
Waktu itu, saya punya keterbatasan to? Karena harus sambil kerja. Di
Manggarai Timur, sekitar belasan saja. Kalau di kecamatan Pocoranaka,
saya di Ngkiong, Mawe, Rejo. Kalau di kecamatan Sambi Rampas, itu
titiknya di Wea satu, di Paleng satu, Watunggong, Kalo, Menda, Golo
Waso, Kilit, Lada Mese, Pulung Baras. Jadi ada 10 titik tambah di Baras.
Sebaran suara yang paling banyak juga dari Sambi Rampas yakni 1.300
suara. Di Lamba Leda 7 titik, Kecamatan Rana Mese 1 titik, Wae Lengga
1 titik, Elar Barat 1 titik,

5. Siapa-siapa yang didekati untuk mengumpul orang dalam lonto leok?


Jawaban:
Itu biasanya tim. Kita kan punya tim di setiap titik tertentu to. Nanti tim itu
yang atur termasuk konsumsi, mengundang orang. Jadi tim yang
mempersiapkan.

6. Bagaimana proses lonto leok dalam konteks komunikasi politik?


Jawaban:
Jadi, macam ami ata cai hitu (kami yang datang), one mbaru cai
(datang ke rumah). Itu hari pertama. Sebelum berbicara, minum dan apa
segala macam itu lu’u. Istilah dalam adat Manggarai itu boto babang agu
bentang (teguran dari leluhur) . Jadi orang Manggarai punya kepercayaan
ata weru (orang baru) itu boto ris lise ata pang be le (awas kena teguran
dari penjaga kampung/leluhur). Sehingga nanti tidak ada halangan pada
acara selanjutnya. Jadi makna yang sebenarnya dari lu’u itu adalah kita
ikut berduka mungkin ada keluarga, orang tua, saudaranya di rumah
tersebut. Karena orang Manggarai menganggap bahwa mereka punya
keluarga itu masih ada di rumah itu. Lu’u yang sebenarnya itu dilakukan di
rumah-rumah yang hubungan kekerabatannya jauh. Setelah itu, biasanya
kan begini, jadi begitu datang, mereka kan yang siapkan tuak dengan ayam
to? Mereka pegang lalu ris (tanya), sebelum jawab mereka punya
pertanyaan kita kasih lu’u dan setelah itu baru kita jawab mereka punya
pertanyaan, maksud kedatangan, apa segala macam. Kemudian itu kita,
hargai tuak dan ayam itu dengan uang. Tapi dalam pelaksanaan, mereka
yang menerima ini tidak bisa siapkan apa-apa. Kita yang siasati siap
uangnya, mereka yang cari tuak dan ayam tapi uang dari kita. Setelah itu
kita lagi yang bayar. Jadinya dobel (informan tertawa).
Setelah kita menyampaikan maksud dan tujuan, jelaskan visi-misi,
visi-misi partai, terus jelaskan tentang dapil, berapa orang calon per
dapil/per partai, berapa kursi yang diperebutkan, probabilitasnya berapa,
dan bagaimana strateginya. Itu saya kasih tau semua. Setelah itu semua
ada proses tanya jawab dan saya jelaskan semua dengan langsung
perankan langsung depan mereka warna kertas suara, kalau DPR pusat
misalnya kuning, DPR propinsi biru, DPR kabupaten hijo, DPD merah.
Saya jelaskan semua jadi mereka hafal betul. Karena kesulitan waktu di
tempat suara mereka kebingungan mana, DPR pusat, propinsi dan
kabupaten. Dan saya langsung jelaskan siapa yang kamu pilih DPR pusat.
7. Apa kelebihan lonto leok dengan gaya kampanye lain?
Jawaban:
Menurut saya itu dia lebih kekeluargaanya lebih tinggi. Terus yang
kedua komunikasinya lebih efektif. Pertama, ruangan yang dipakai juga
tidak terlalu besar. Yang kedua juga interaksinya lebih efektif misalnya
ada tanya jawab dengan duduk yang melingkar. Hanya ada satu kendala di
Manggarai, lonto leok ini lebih banyak ada laki-laki. Perempuan lebih
banyak ada di dapur. pada hari H mereka tidak terlibat, contoh misalnya
sosialisasi pencoblosan, bagaimana hitung DPT, bagaimana menghitung
suara yang masuk, bagaiman kalau tusuk di partai, hitungan suara antara
calon. Yang lebih banyak mendengar itu laki-laki. Itu kelemahannya.
8. Apa kekuatan yang membuat strategi komunikasi lonto leok dapat menarik
suara/ dukungan?
Jawaban:
Untuk bisa meyakinkan orang, itu harus punya kemampuan untuk
bisa menjelaskan materi yang dibawakan. Sehingga begitu ada pertanyaan,
bisa dijawab dengan baik. Paling tidak materi tentang pemilu itu, kita
harus tahu betul. Bagaiman menghitung suara terbanyak, bagaiaman cara
pencoblosan, bagaiman cara mencoblos yang benar, terus bagaimana
strategi. Saya kadang-kadang itu bukan mempengaruhi supaya jangan
pilih siapa, tapi saya saran mereka juga belajar tentang orang lain. Maka
saya suruh mereka pelajari saingannya saya seperti apa. Kalau mereka rasa
saingan saya terlalu kuat, jangan pilih saya. Karena mubazir suaranya. Dan
itu berarti kursi bukan saya yang dapat tapi orang lain. Itu yang saya selalu
sampaikan pada masyarakat. Jangan sampai suara yang kamu kasih itu
tidak berdampak pada si A jadi, tapi berdampak pada orang lain yang
kamu support lewat si B misalnya. Itu yang tidak boleh.

9. Siapa-siapa yang hadir ?


Jawaban:
Itu kebanyakan orang-orang tua, orang-orang muda. Tokoh adat juga ada.

10. Masyarakat dari segmen mana saja yang bisa garap suaranya dalam suatu
lonto leok?
Jawaban: Yang efektif itu pendekatan keluarga, anak muda, dan
pertemanan. Saya itu banyak dibantu itu bukan karena keluarga tapi juga
jaringan. Saya kerja kemarin itu kerja hanya karna jaringan bukan karena
keluarga. Sambi Rampas (daerah nara sumber) yang saya harap bisa di
atas 5000 itu tidak sampe. Jaringan yang saya pake itu adalah jaringa
alumni Seminari Kisol, kedua alumni Surabaya, ketiga jaringan
pelanggan-pelanggan motor (informan adalah direktur Yamaha Ruteng).
Yang datang servis sambil tunggu, saya ajak minum kopi, sambil ngobrol.
Begitu saja.

11. Dalam komunikasi politik lonto leok, segmen mana yang paling banyak
hadir?
Jawaban:
Saya punya kemarin, campur-campur, orang tua sedikit banyak yang
muda.

12. Bagaimana Bapak memanfaatkan budaya lonto leok ini dalam


mendapatkan suara?
Jawaban:
Lonto leok itu lebih efektif dari kampanye terbuka. Kampanye
terbuka itu mubazir. Lonto leok saja kita tidak bisa pastikan bahwa yang
hadir dalam peristiwa lonto leok itu semua orang pilih kita. Itu belum
tentu. Dari pengalaman saya kemarin itu, dari 50-60 orang yang hadir
saya bisa dapat satu titik itu sekitar 15-20 suara. Selain itu dari segi biaya
lonto leok lebih murah dibandingan dengan gaya kampanye lain.
Sementara lonto leok yang penting kita rajin dari kampung ke kampung.
Kalau lonto leok paling sekitar dua jutaan satu titik.
Selain itu untuk mengikat suara dalam lonto leok, itu memang
sangat bergantung dengan tim. Maka tim yang dipilih juga adalah mereka
yang bisa diterima dalam lingkungan. Jadi tim itu adalah gambaran dirinya
kita sebenarnya. Sehingga cari tim itu orang yang baik, bukan orang yang
bermasalah di kampung. Juga tingkat keyakinan dan penguasaan materi
waktu berbicara di dalam lonto leok itu juga sangat penting agar
masyarakat memberikan kesan yang baik kepada kita.

13. Salah satu unsur lonto leok itu adalah tokoh adat. Bagaimana
pengaruh/peran seorang tokoh adat dalam strategi lonto leok sehingga
dapat mempengaruhi dukungan?
Jawaban: Kehadiran tokoh adat itu tidak terlalu berpengaruh lagi dalam
memberikan suara. Itu hanya terjadi pada tahun 70-an ke bawah. Sekarang
sudah terjadi transisi yang luar biasa. Sebetulnya di masyarakat pedesaan
terjadi krisis kepercayaan kepada tokoh adat. Baik tokoh adat, tokoh
agama, apa segala macam. Jadi belum tentu kalau kita memegang si A kita
bisa berhasil. Tidak semua tokoh di situ juga disukai banyak orang.. Selain
itu, sudah beda cara memilihnya orang muda dengan orang tua. Tapi kalau
soal komitmen lebih bagus orang tua komitmennya. Tapi kendalanya pada
hari H pasti banyak yang salah coblos. Itu harus hati-hati betul itu pilah
segmen pemilih. Bagi orang tua perbedaan kertas suara jadi masalah buat
mereka, belum persoalan mereka tidak bisa baca. Sehingga menurut saya
ke depan cari pemilih-pemilih muda itu.

14. Salah satu unsur lonto leok adalah bahasa adat. Apakah kekuatan
komunikasi adat seorang caleg dalam memberikan kesan positif dalam
suatu lonto leok?
Jawaban: Saya ini terus terang punya kelemahan di situ. Karena saya tidak
pernah tinggal di kampung. Terpaksa saya pelajari sendiri. Pertamanya
saya pake orang untuk tiba kepok (tanggapan atas sapaan adat) itu to.
Setelah dua tiga kali, oh ternyata cara jawabnya seperti ini. Memang harus
dilatih itu (informan tertawa). Yang mereka tanya itu kan reis (Tanya):
Apa rajan teti tuak agu manuk, ai liba mane, cala manga tombo? Setelah
itu tiba lite manuk, wale. Walen ne nggo’o: “Tara mangan tuke rupe agu
wedan mbaru dite cee, ali manga get kudut a maju jadi calon DPR
propinsi. Hitu tara mangan a mai see ite ngasang ende, ema, agu ase kae
do, kudut tombo agu ite, wewa sangged ase eme aku ca ata maju lewat
partai hoo, nomor urut berapa”. Setelah itu teing kole ngger sina tuak,
teing agu seng.

15. Kalau unsur mbaru gendang, apa kekuatan mbaru gendang sebagai simbol
persatuan khususnya dalam konteks komunikasi politik?
Jawaban: Cuma saya terus terang, selama saya jalan, saya tidak pernah
menggunakan rumah gendang (mbaru gendang). Rumah gendang selama
ini kan jadi simbol. Tapi kemudian ada kecemburuan sosial di kampung,
dianggap semua caleg yang datang ke rumah gendang ini bawah uang.
Sehingga kesannya yang dapat uang itu hanya orang-orang yang ada
dalam rumah gendang itu. Lalu kemudian timbul kecemburuan di antara
rumah-rumah lain. Sehingga saya lebih condong jangan di rumah gendang.
Di rumah tim itu saya masuk. Itu jauh lebih efektif karena gendang ini dia
tidak bisa menolak siapapun. Siapa saja yang datang dia bisa terima, tapi
kalau rumah keluarga dia punya hak untuk menolak.
16. Selain itu, ada juga simbol adat yang dipakai dalam suatu lonto leok,
bagaiamana kekuatan symbol adat ini dalam mendapatkan dukungan?
Jawaban: Kemarin itu, symbol adat dalam lonto leok itu ada tuak dan
manuk (ayam). Symbol ini sudah biasa dalam setiap lonto leok, namun
yang paling penting adalah bahasa yang kita gunakan untuk menyentuh
mereka.
17. Unsur lain adalah masyarakat yang hadir dalam lonto leok, bagaiamana
cara bapak meyakinkan mereka untuk memilih Bapak?
Jawaban: Kalau yang saya lihat mereka senang. Itu makanya saya bilang
penting itu, caleg punya kapasitas. Dia harus bisa menguasai multi-
informasi dan pengetahuan seperti politik, ekonomi dan pemberdayaan.
Jangan hanya asal pe. Karena kadang-kadang pertanyaan itu di luar materi
yang kita bawa dan kita harus mampu menjawab. Pencitraan dan kesan itu
lahir dari cara kita menjawab dan kepuasan atas jawabannya kita.

18. Media apa yang Bapak pakai dalam forum lonto leok?
Jawaban: Saya selalu bawa proyektor, laptop dan layar lebar. Setelah
menjelaskan cara coblos, setelah itu nanti putar film sudah. Film yang saya
putar itu yang saya download dari KPU soal tata cara pencoblosan juga
film-film action. Dan ini saya buat di daerah-daerah yang punya listrik saja
kalau tidak, ya tidak usa saja. Cara seperti ini yang membuat masyarakat
juga senang dan simpatik dengan kita. Sehingga, selain ada seriusnya juga
ada rekreasinya. Ini yang hanya saya saja dari semua caleg yang ada.

19. Selain faktor internal di atas, apa saja faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi lonto leok?
Jawaban: Kalau di Manggarai yang saya perhatikan, mereka susah untuk
menerima orang baru. Artinya, tiba-tiba ada orang pada saat caleg baru
muncul dan buat lonto leok. Itu selalu gagal semua. Yang mereka terima
adalah orang-orang yang sudah lama hidup di Manggarai. Paling tidak ada
interaksi sosial sebelumnya. Apakah pernah ketemu, pernah ikut kegiatan
apa, sehingga mengikat suara dalam lonto leok itu butuh waktu. Yang dari
Kupang itu walaupun mereka buat lonto leok juga belum tentu mengikat.
Jadi lonto leok itu tidak bisa lepas dia dengan investasi sosial selama lima
tahun.
20. Isu apa yang bapak bawah dalam forum lonto leok sebagai bahan diskusi?
Jawaban: Isu yang paling banyak saya punya kemarin, isu ekonomi. Jadi
itu juga yang mereka banyak tanya. Tentang hasil, harga hasil bumi.
Sehingga kita harus tahu juga pola penentuan harga. Saya juga tidak
pernah menjelekan orang lain dalam diskusi. Tapi saya menawarkan
masyarakat untuk melihat juga keunggulan pesaingnya saya. Jadi, saya
tidak pernah menjelakan siapapun. Masyarakat sudah cerdas dan kalau
caleg yang mencoba menjelekkan caleg lain pasti mereka tidak pilih.
Lebih baik banyak menjelaskan tentang program, pengetahuan tentang
pileg itu sendiri, bagaimana strategi untuk menang.
21. Berapa jumlah suara yang bapak dapat dari dapil Manggarai ?
Jawaban: Emmmm…total secara keseluruhan saya punya itu berjumlah
8.267 suara. Yang paling banyak dari Kabupaten Manggarai Timur,
khususnya di Sambi Rampas. Selain itu, suaranya saya itu menyebar di
berbagai titik. Kedua dibawah saya itu Pa Epi Plate. Dia punya kayaknya
tidak sampe 6.000 suara begitu.
22. Kalau kendala dari Bapak selama adakan lonto leok itu, apa?
Jawaban:
Kalau macam kami yang pernah alami, waktu. Karena efektif hanya satu
hari satu lonto leok kecuali pada hari libur atau hari Minggu. Yang bisa
dilakukan dua kali itu pada hari Minggu setelah gereja dan malam. Dan
yang biasa efektif itu malam karena hari kerja banyak orang di kebun.
Apalagi, proses-proses ini kan pada saat-saat orang musim kerja misalnya
mulai Januari-Maret. Mereka bisa mengikuti itu pada jam tujuh ke atas.
kendalanya Cuma di waktu saja. Jadi satu hari itu cuma bisa satu kali saja.
Apalagi pada bulan Januari-bulan Maret itu kan cuaca juga tidak
mendukung.
Hambatan kalau selama ini yang saya alami itu juga, hanya soal
pemahaman saja. Soal materi yang dibawa. Itu saja. Tapi menurut saya itu
bagus sebagai proses pencerdasan karena sosialisasi dari KPU juga kadang
tidak sampai ke masyarakat. Karena media yang dipakai juga Koran, TV,
tidak semua juga rumah-rumah di Manggarai punya TV.
LAMPIRAN GAMBAR

Foto: Lonto leok Inosensius Fredi Mui dengan masyarakat adat Lamba Leda, Manggarai
Timur pada tanggal 11/03/2014

Foto: Saat wawancara dengan Bapak Petrus Japi, tua adat desa Rana Masak, Manggarai
Timur
FOTO: Wawancara dengan Bapak Fredi Mui, 03/10/2015

Foto: Saat wawancara dengan Hans Rumat, pada tanggal 24/10/2015


LAMPIRAN

ORGANISASI PENELITIAN

1. Pembimbing 1

Nama : Prof. Dr. Aloysius Liliweri, MS

NIP : 19570619 198103 1 001

Alamat : FISIP, Universitas Nusa Cendana

2. Pembimbing II

Nama : Drs. Umrah Kamahi, M.Si

NIP : 19620930 198901 1 001

Alamat : FISIP, Universitas Nusa Cendana

3. Peneliti

Nama : Fransiskus X. Kurniawan

NIM : 1103051031

Alamat : Penfui, Kota Kupang


RIWAYAT HIDUP

Fransiskus Xaverius lahir di Biting, Desa

Uluwae, Kecamatan Pocoranaka Timur,

Kabupaten Manggarai Timur, NTT pada

tanggal 03 Desember 1991. Penulis

merupakan anak pertama dari lima

bersaudara. Penulis menamatkan sekolah

dasar (SD) di SDK Colol I pada tahun 2004 dan melanjutkan SMP-SMA di

Seminari Pius XII-Kisol hingga tamat pada tahun 2010. Kemudian penulis

sempat mengalami kehidupan membiara selama satu tahun di biara Novisiat Sang

Sabda, Kuwu. Pada tahun 2011 penulis melanjutkan kuliah di Universitas Nusa

Cendana, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), jurusan Ilmu Komunikasi.

Mulai semester III, penulis sudah terbiasa menulis di koran-koran lokal di NTT.

Saat ini penulis sedang menyelesaikan tugas akhir pada semester IX di jurusan

Ilmu Komunikasi, Undana konsentrasi Komunikasi Antar Budaya

Anda mungkin juga menyukai