Anda di halaman 1dari 6

BAB III

ARTI DAN NILAI MORAL-RELIGIUS WUAT WA’I

Istilah wuat wa’i merupakan istilah tradisi yang cukup dikenal luas dalam
kehidupan masyarakat Manggarai. Hal ini terjadi bukan terutama karena istilah ini
sering diucapkan atau digunakan dalam komunikasi bahasa Manggarai melainkan
karena hampir seluruh masyrakat Manggarai, baik di kota maupun di pedesaan
sudah mengalami dan mengambil bagian dalam upacara wuat wa’i. Dalam bab III
ini penulis akan berusaha untuk menggali nilai moral dan religius dalam upacara
wuat wa’i. Sebelum membahas khusus nilai moral dan religius tersebut, penulis
akan menjelaskan juga arti kata wuat wa’i.

3. 1. Arti Wuat Wa’i


Secara etimologis istilah wuat wa’i berasal dari bahasa Manggarai yaitu
dari kata wuat yang berarti mengutus dan wa’i yang berarti kaki. Jadi, secara
harafiah wuat wa’i berarti mengutus kaki. Kata kaki dalam pengertian tersebut
merupakan simbol perjalanan jauh. Hal ini merupakan gambaran atas usaha
seseorang untuk memperbaiki kualitas hidup (melalui pendidikan) dengan
menempuh perjalanan jauh (merantau untuk menempuh pendidikan tinggi).
Berhubung perjalanan ini menempuh jarak yang jauh (meninggalkan kampung
halaman) dan untuk jangka waktu yang cukup lama, maka individu yang
bersangkutan perlu dibekali (wuat) atau diberi pembekalan dengan memohon
restu dari Tuhan (Wujud Tertinggi) dan roh-roh leluhur serta doa restu dari ayah
dan ibu atau keluarga besar. Jadi arti budaya upacara wuat wa’i adalah upacara
meminta restu dari Tuhan sebagai Wujud Tertinggi, roh-roh leluhur atau
pembekalan/perutusan seseorang yang akan melakukan perjalanan jauh untuk
menempuh pendidikan tinggi dengan harapan yang bersangkutan kembali dengan
sukses.

7
Melalui upacara ini diharapkan Tuhan dan leluhur senantiasa menuntun,
menjaga, dan memberkati yang bersangkutan. Hal ini selaras dengan konsep
agama orang Manggarai yang bersifat monoteisme implisit. Artinya orang
Manggarai mengakui adanya satu roh tertinggi yang disebut Mori Kraeng, tetapi
mereka masih mengakui keberadaan roh-roh lainnya: roh nenek moyang; darat;
naga golo; naga tana, ata lami wae teku; dan ngongo de golo kaka de tana (roh-
roh dari hewan dan tumbuh-tumbuhan atau penjaga dari hutan atau pohon
tertentu, (Sutam,2012 dalam Iman, Budaya, dan Pergumulan Sosial: Refleksi
Yubileum 100 tahun Gereja Katolik Manggarai, hlm. 167).
Dalam mengekspresikan keyakinannya terhadap roh-roh tersebut, orang
Manggarai menggunakan instrumen tertentu sebagai simbol. Instrumen yang
digunakan dalam upacara wuat wa’i adalah lalong bakok (ayam jantan putih) dan
lalong sepang (ayam jantan yang berbulu kemerah-merahan). Lalong bakok
merupakan sarana yang digunakan dalam berkomunikasi dengan Tuhan (Wujud
Tertinggi) sebagai pemilik kehidupan ini (Mori agu Ngara’n). Lalong bakok
melambangkan ketulusan, niat yang bersih (te toto nai molor), kerendahan hati,
sesuatu yang suci (sifat yang ilahi).
Sementara itu, untuk menyampaikan maksud/berkomunikasi dengan roh-
roh leluhur atau yang sudah meninggal (ata pang be le), sarana atau simbol yang
digunakan adalah lalong sepang. Hal ini melambangkan keperkasaan, keberanian,
kepahlawanan, percaya diri, kewibawaan dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan
supaya yang bersangkutan berwibawa dimata orang lain, tampil percaya diri dan
disegani oleh orang lain (pande rang gala’n rantang anggap reme lata).
Instrumen-instrumen tersebut sebagai sarana sekaligus simbol yang mengesahkan
atau menegaskan masksud upacara tersebut.

3. 2. Prosesi Upacara Wuat Wa’i


Upacara wuat wa’i dilaksanakan pada malam sebelum keberangkatan yang
bersangkutan. Adapun pelaksanaanya sebagai berikut.
Pertama, keluarga beserta yang bersangkutan pergi berdoa di kuburan
keluarga yang telah meninggal untuk meminta restu dan mengajak mereka untuk
bersama-sama berkumpul di rumah acara, sekaligus mendoakan arwah mereka.

8
Kedua, setelah prosesi yang pertama maka selanjutnya adalah acara torok tae atau
tudak. Torok tae/tudak merupakan bagian terpenting (inti) dalam upacara wuat
wa’i. Torok tae dan tudak sebenarnya merupakan kedua istilah yang berbeda,
tetapi memiliki kesamaan/kemiripan sehingga sulit untuk membedakannya. Tetapi
dalam penjelasan ini, penulis akan menyinggung sedikit berkaitan dengan kedua
istilah tersebut.
Torok tae (torok=menyampaikan/mengemukakan/membeberkan; tae=
bicara, acara, pesta). Pengertian torok tae yang lebih lengkap ialah menyampaikan
pesan, berupa doa, permohonan, syukuran, pujian, sembah, hormat, terima kasih
kepada Allah dan leluhur, sesama, lingkungan, baik yang masih hidup maupun
yang sudah meninggal dunia atas segala pengalaman hidup manusia yang sifatnya
positif, dalam situasi formal, terbuka, di hadapan banyak orang dengan
menggunakan bahasa kiasan (bahasa tinggi budaya), dan dapat dilakukan dengan
disertai penyembelihan hewan dan bisa juga tanpa dengan penyembelihan hewan,
(Nggoro,2016: 134).
Tudak adalah menyampaikan maksud kepada leluhur, jin
(darat/poti/empo). Inti bahasa tudak berupa permohonan, syukur, pujian, hormat,
baik yang diucapakan dalam situasi formal (pribadi), baik yang bersifat positif
maupun yang negatif, dengan menggunakan bahasa kiasan, (Nggoro,2016: 139).
Dari penjelasan di atas kita menemukan perbedaan diantara kedua istilah
ini. Torok tae lebih digunakan untuk pengalaman manusia yang sifatnya positif.
Sedangkan tudak tidak hanya sisi positif, tetapi juga yang bersifat negatif. Dalam
upacara wuat wa’i, torok tae merupakan hal terpenting atau inti dari rangkaian
upacara secara keseluruhan. Pada saat torok tae ini, juru bicara (ata hoot tombo’n)
memegang lalong bakok. Sedangkan lalong sepang dipegang oleh orang yang
akan dibekali (wuat). Pembicaraan pertama selalu ditujukan kepada Wujud
Tertinggi (Tuhan), ini juga berlaku untuk semua upacara adat orang Manggarai.
Setelah torok tae itu selesai, ayam-ayam tadi disembelih untuk makan bersama.
Setelah itu, acara selanjutnya adalah acara bebas sambil menunggu hidangan
malam disajikan.

9
3. 3. Contoh Torok Tae dan Pede dalam Upacara Wuat Wa’i
3. 3. 1. Torok Tae
Yo Mori, Salang’n leok lonto dami, ase, kae, ame, anak one wie
hoo. Ai one wie hoo, kudut wuat wa’i ngo sekolah hia...lami ga.
One lonto hoo ami sermonggok lime nggelak mata kamping ite:
Mori agu Ngara’n.
Mori, Ite koe raes’n anak koe hoo. Tegi lami agu Ite, porong
gerak koe one nai diha api momang Dite, te hia jiri ata dia’y tai
: pondong du ngo’n, rombeng du kole’n. Te suan’n kole, ai kudut
ngo ro’ang one bangku sekola hia. Porong rang gala’n, nggelok
lelo’n. Wentang taong ata mena’d, mbati te pande nggaring.
Neka buta mata te baca surak, agu bongot tilu te tiba toing de
guru. Neho meu ata pang be le, ai meu de muu tungku laro jaong
dami kamping Mori. Ai poli tombo le bao ga, agu hoo peleng tite
ga, kope oles todo kongkol koe tite, kudut wuat sama laing anak,
empo dite. Eme manga ata pangga one salang, meu itu de ata
saka da. Porong hia o kali ga haeng bate kawe’n, dumpu bate
husur’n. Hitu salang’n lonto dami wie hoo
(Ya Tuhan, Maksud kami berkumpul pada malam ini, karena
pada malam ini kami hendak mengutus/memberi pembekalan
kepada saudara, anak,…………ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Dalam pertemuan ini kami memohon kepada-Mu: Tuhan,
sertailah anak ini. Biarkanlah api cinta-Mu bercahaya dalam
hatinya supaya ia menjadi orang yang berhasil: Pergi dengan
tangan hampa, pulang dengan sukses.
Yang kedua, berhubung ia hendak ke bangku sekolah, (kami
mohon) jadikanlah ia berwibawa, disegani dan patut diteladani.
Cabutlah (dari akar-akarnya) segala penghalang, babatlah segala
penghamabat, sehingga terbuka jalan baginya. Janganlah
matanya buta atau tuli telinganya untuk membaca dan
mendengarkan penjelasan guru. (dan) Untuk kalian yang ada di
alam sana (yang sudah meninggal), kalianlah perantara kami
dengan Tuhan Sang Empunya Kehidupan. Inilah kita, bersatulah
untuk bersama- sama mengutus anak/cucu kita ini. Kalau ada
yang menghalanginya selama dalam perjalanan, kalianlah yang
menangkalnya. Semoga dia ini menemukan dan mendapatkan
apa yang dicari dan diincarnya. Itulah maksud dan tujuan kami
berkumpul malam ini).

3. 3. 2. Pede
Pede berarti pesan atau nasihat. Nasihat ini berupa toing atau titong. Kata
toing ini berasal dari kata dasar (kata kerja, kata tugas) toi, yang berarti memberi

10
tahu, mengajarkan, to teach, to-inform. Titong artinya nasihat yang dimaksudkan
untuk menghindarkan orang dari tatong. Tatong mengandung arti dasariah,
godaan atau cobaan. Berikut ini adalah contoh pede dalam upacara wuat wa’i.
1. Hoo’s seng’m. Hau ga ngo sekola. Neka lelo toe do da, le hau’s de pande do
da. Riko-riko mose. Ini uang. Sekarang kamu pergi(lah) sekolah. Jangan
melihat jumlahnya yang sedikit, tetapi tugasmulah yang menggandakannya.
Jangan boros.
2. Dia-dia agu hae ata. Ata eta mai hau sama neho lelo kae agu ema le hau. Neka
pande rangkat nai da, bom pande tawa kali. Ai eme pande rangkat le hau nai
da, ngong’n ga ngoeng kaeng hanang koe’m hau. Toe inggo lata hae, ngoo
jaong da; kali nggon ata koe hoo. Jagalah relasi dengan orang lain. Pandanglah
orang yang lebih tua darimu seperti kakak atau ayah (orang tua)mu sendiri.
Janganlah membangkitkan kebencian dalam hati mereka, tetapi hiburlah
mereka. Sebab, kalau kamu menyakiiti hati mereka, itu artinya kamu ingin
hidup menyendiri dan orang tidak lagi peduli denganmu. Mereka akan
berpikir/berkata: “Ternyata dia seperti ini”.
3. Neka rodo eng tombo data. Olo pikir dia-dia’y, am daat laing’n. Eme daat
laing’n, nggo kaut ngo :“Ta ke’ot mek aku e”. Jangan cepat mengiakan
(setuju) dengan ajakan orang. Pertimbangkan secara matang apakah merugikan
atau tidak. Jika merugikan (menimbulkan masalah), maka kamu harus menolak
ajakan itu dengan menjawab: “Maaf saya sedang sibuk”.
4. Neka nggulak le hau ndesi wulang, rantang percuma de hau berjuang. Neka
tanda le hau timung taa, rantang batal de hau rencana. Janganlah engkau
melirik ketela yang sedang muda itu supaya tidak sia-sia perjuanganmu.
Janganlah pula engkau mencoba (makan) mentimun muda itu supaya tidak
batal apa yang telah engkau rencanakan. Ungkapan ini merupakan kiasan.
“Ketela/mentimun muda” itu merupakan kiasan untuk menyebut gadis
cantik/perawan. Maksudnya adalah supaya menjaga diri dari berbagai
pengaruh pergaulan yang bisa menjerumuskan kita ke dalam dosa, seperti seks
bebas/hamil di luar nikah. Sebab jika sudah demikian, sekolah/kuliah kita akan
terganggu. Jadi intinya adalah sekolah dahulu, setelah itu baru berpikir tentang
jodoh.

11
5. Pio-pio wale io, koe-koe wale oe Pelan/lembut dalam menjawab io/oe (santun
dalam berkomunikasi)
6. Jinggok wale io, komet wale oe Sigap menjawab ia dan cepat menjawab oe
(responsif, peka, cepat dalam menjawab sapaan atau panggilan orang.

3. 4. Menganalisis Nilai Moral dan Religius dalam Upacara Wuat Wa’i


3. 4. 1. Nilai Moral
 Mengharga orang yang lebih tua, atau memandang orang lain seperti
saudara atau orang tua sendiri yang harus dihormati.
 Tidak mudah percaya dengan orang atau tidak mudah setuju dengan
ajakan orang.
 Menjaga diri dari pergaulan bebas, menjaga relasi yang sehat dengan
lawan jenis.
 Santun, responsif, peka atau cepat tanggap terhadap sapaan atau panggilan
orang atau terhadap apa yang disampaikan lawan bicara dalam
berkomunikasi.
 Kebersamaan, solidaritas dan kekompakan.

3. 4. 2. Nilai Religius
 Jangan lupa melibatkan Tuhan dalam segala niat dan rencana kita
 Segala keberhasilan kita berkat campur tangan Tuhan yang senantiasa
membimbing dan menyertai manusia.
 Yang Maha Tinggi atau Wujud Tertinggi adalah pemilik atau asal-usul
segala kehidupan yang ada di bumi ini.
 Roh-roh leluhur dihormati sebagai perantara manusia dengan Yang
Maha Tinggi.
 Keyakinan akan adanya kehidupan lain atau kehidupan baru di dunia
yang lain setelah kematian.

12

Anda mungkin juga menyukai