Anda di halaman 1dari 280

TRADISI LISAN PASAMBAHAN MANJAPUIK MARAPULAI

DALAM KONTEKS UPACARA ADAT PERKAWINAN


MINANGKABAU DI SUNGAI GARINGGING, PARIAMAN

DISERTASI

OLEH

SRIMAHARANI TANJUNG
NIM: 138107006
PROGRAM DOKTOR (S3) LINGUISTIK

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


TRADISI LISAN PASAMBAHAN MANJAPUIK MARAPULAI
DALAM KONTEKS UPACARA ADAT PERKAWINAN
MINANGKABAU DI SUNGAI GARINGGING, PARIAMAN

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor dalam
Program Doktor Linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara di bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof.
Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. untuk dipertahankan di hadapan sidang
Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara

Oleh

SRIMAHARANI TANJUNG
NIM: 138107006
PROGRAM DOKTOR (S3) Linguistik

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Diuji pada Ujian Disertasi Terbuka (Promosi)
Tanggal: 25 Januari 2019

PANITIA PENGUJI DISERTASI


Pemimpin Sidang:
Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. (Rektor USU)
Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. (USU Medan)
Anggota : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. (USU Medan)
Dr. Muhammad Takari, M.Hum. (USU Medan)
Prof. Robert Sibarani, M.S. (USU Medan)
Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP. (USU Medan)
Dr. Mulyadi, M.Hum. (USU Medan)
Prof. Dr. Oktavianus, M.Hum. (UNAND)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TRADISI LISAN PASAMBAHAN MANJAPUIK MARAPULAI DALAM
KONTEKS UPACARA ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU DI
SUNGAI GARINGGING, PARIAMAN

ABSTRAK
Penelitian ini berkaitan dengan tradisi manjapuik marapulai pada adat
perkawinan Minangkabau. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan bentuk performansi, kearifan lokal, serta model revitalisasi
dari tradisi manjapuik marapulai. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Analisis Wacana Kritis yang dikemukan oleh Van Dijk
(1987),Semiotik oleh Charles Sanders Pierce 1982, fungsi oleh Malinowski
(1987) dan performansi yang dikemukan oleh Ruth Finnegan (1992). Metode
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Untuk mendapatkan informasi yang
diperlukan, peneliti mengumpulkan data lapangan yang berada di Kecamatan
Sungai Geringing, Kabupaten Pariaman dengan menggunakan teknik observasi
non parsipatori dan wawancara mendalam kepada 7 (tujuh) orang informan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa performansi tradisi lisan manjapuik
marapulai merupakan prosesi menjemput pengantin laki-laki yang umumnya
dilaksanakan setelah akad nikah yang dilakukan oleh utusan keluarga pengantin
perempuan yang datang secara adat. Kegiatan ini berlangsung dengan
melakukan sambah yang dilakukan oleh utusan atau juru bicara dari kedua
belah pihak keluarga yang tidak terlepas dari unsur teks, ko-teks dan konteks.
Makna tradisi manjapuik marapulai ini adalah penghargaan yang diberikan oleh
keluarga anak daro kepada keluarga marapulai. Fungsinya adalah (1) untuk
menaikkan harkat dan martabat urang sumando sebagai, (2) untuk menghibur
dalam rangka membesarkan hati keluarga marapulai yang ditinggalkan, (3)
untuk mempersatukan kedua keluarga, (4) sebagai bukti dari pengakuan
masyarakat terhadap status sosial, dan (5) bagi keluarga anak daro adalah
sebagai pembuktian gengsi sosial. Nilai yang terdapat dalam tradisi ini adalah:
nilai etika, estetika dan kepercayaan, dan norma yang terdapat adalah: agama,
kesopanan, kesusilaan dan hukum adat. Maksim kesantunan yang terdapat pada
tradisi ini adalah: kebijaksanaan, penerimaan, kemurahan, kerendahan hati,
kecocokan dan kesimpatian. Dalam rangka untuk merevitalisasi tradisi
pasambahan manjapuik marapulai ini dapat dilakukan melalui tiga (3) tahapan,
yakni: mengaktifkan, mengelola dan mewariskan. Mengaktifkan dilakukan
dengan cara mensosialisasikan budaya Minangkabau melalui pendidikan,
memfungsikan kembali proses tradisi, dan membentuk organisasi kepemudaan.
Mengelola dapat dilakukan dengan cara mengelola waktu pelatihan,
mempromosikan, dan mengikutsertakan pemuda dalam rangkaian acara.
Mewariskan dapat dilakukan melalui penyiaran radio, penayangan acara adat di
Televisi lokal, pemasangan iklan cinta budaya dan melakukan inventarisasi.

Kata kunci: Tradisi Lisan, Pasambahan, Manjapuik marapulai,


Minangkabau

i
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
THE ORAL TRADITION OF MANJAPUIK MARAPULAI IN CONTEXT
OF MINANGKABAU WEDDING CEREMONY IN SUNGAI
GARINGGING, PARIAMAN

ABSTRACT

The research pertains to the tradition of manjapuik marapulai in Minangkabau


wedding ceremonial. The purpose of this research is to describe the
performance, local wisdom and revitalization of manjapuik marapulai tradition.
Theories which are used in this research are: Critical discourse analysis by
Van Dijk (1987), Semiotics by Charles Sanders Pierce (1982), Fungsionalism
by Malinowski (1987) and Performance by Ruth Finnegan (1992). This
research is qualitative descriptive. To gather some information needed, the
researcher collects the field data which is found in Kecamatan Sungai
Geringging, Kabupaten Pariaman by using observation technique and in depth
interview to sevent (7) informants. The result of the research shows that the
oral tradition of manjapuik marapulai performance is a kind of prosession to
pick up the groom where generally held after the marriage contract (akad
nikah) has done. This performance takes place by doing sambah (speech) that
performed by the spokesman from each family. The pasambahan can not be
separated from three elements important point, such as: text, co-text, and
context. The meaning of manjapuik marapulai tradition is an awards given by
the bride‟s family to the groom‟s family. Meanwhile, the function of manjapuik
marapulai tradition are (1) as a way to increase the dignity of urang sumando
as a comer in their wife‟s family, (2) as a way to hearten the groom‟s family
left behind. (3) as a way to unite both family, (4) as an evidence of society
recognition of social status, and the last (5) to bride‟s family is as an evidence
social prestige. The value in this tradition are: ethic, esthetic, and belief, while
the norms are: religion, courtesy, decency, and customary law. In order to
revitalize of manjapuik marapulai tradition, it can be done by 3 stages, they
are: activating, managing, and in heritance. Activating can be done by socialize
the Minangkabau culture through education, to re-function the process of
tradition, and to create the youth organization. Managing can be done by
setting up the training schedule, promoting and to invite the youth in series of
custom event. Heritance can be done by using radio broadcasting, television
show: traditional event, framing the “love culture” ads, and inventory.

Keywords: oral tradition, pasambahan, manjapuik marapulai, Minangkabau.

ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Puji
dan syukur tiada terhingga penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua
rahmat, berkah dan kesehatan yang telah diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan disertasi ini. Untuk itu penulis ucapkan rasa syukur
Kehadirat-Nya seraya mengucapkan puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Dengan selesainya penulisan disertasi ini yang merupakan salah satu
persyaratan akademik guna memperoleh gelar Doktor dalam Program Studi
Lingusitik Universitas Sumatera Utara (USU). Adapun Judul yang diangkat
dalam disertasi ini adalah “Tradisi Lisan Pasambahan Manjapuik Marapulai
dalam Konteks Upacara Adat Perkawinan Minangkabau di Sungai Garingging,
Pariaman”.
Dengan selesainya penulisan disertasi ini, ucapan terimakasih dan
penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah
membantu baik dalam proses penelitian maupun selama proses penulisan.
Ucapan terimakasih ini penulis sampaikan kepada:
1. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., yang telah meluangkan
banyak waktu dan memberikan banyak masukan serta motivasi baik
dalam penyelesaian disertasi ini maupun dalam mendalami proses
keilmuan selama kuliah.
2. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., yang telah
memberikan motivasi dan arahan selama proses penyelesaian
disertasi.
3. Bapak Dr. Muhammad Takari, M.Hum., yang telah memberikan
motivasi dan arahan selama proses penyelesaian disertasi.
4. Bapak Prof. Runtung Sitepu, M.Hum., sebagai Rektor Universitas
sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S., sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Budaya Universitas sumatera Utara yang telah memberikan
persetujuan untuk melaksanakan siding disertasi terbuka (promosi).

iii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6. Bapak Prof. Robert Sibarani, M.S, sebagai Direktur Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Sumatera
Utara dan juga sebagai Penguji yang telah memberikan saran dan
kritikan dalam penulisan disertasi ini ke arah yang lebih baik.
7. Bapak Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP., sebagai Ketua Program Studi
Doktor Linguistik (S3) Fakultas Ilmu Budaya Universita Sumatera
Utara dan penguji yang telah memberikan motivasi dan saran dalam
penulisan disertasi ini.
8. Bapak Dr. Mulyadi, M.Hum., sebagai Sekretaris Program studi
Doktor Linguistik (S3) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara dan juga sebagai penguji yang telah memberikan banyak
masukan dan dorongan dalam penyelesaian disertasi ini.
9. Bapak Prof. Dr. Oktavianus, M.Hum. sebagai Penguji Luar Komisi
yang telah memberikan masukan dalam penyelesaian disertasi ini.
10. Bapak dan Ibu dosen pada Program Studi Doktor Lingusitik (S3)
Fakultas Ilmu Budaya Universitas sumatera Utara yang telah
memberikan ilmunya selama masa studi.
11. Seluruh staf administrasi dan perpustakaan Program Studi Doktor
Linguistik (S3) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
atas bantuan yang diberikan selama masa studi dan penulisan
disertasi.
12. Ayah (alm) H. Jamiuddin Tanjung, Ibu Hj. Syamsiar Marbun,
seluruh kakak dan abang; Rosmawar Tanjung, Rosliana Tanjung, Ida
Syafitri Tanjung, Lili Andriani Tanjung, Laila Novriyanti Tanjung,
Hasrat Syah Putra Tanjung, Elvi Ardiana Tanjung, dan Dian Puspita
Tanjung yang menjadi inspirator untuk tetap semangat dalam
menyelesaikan studi.
13. Suami tercinta Burt Reynold Khairil Ramadhan Harahap dan anak-
anak; Dio Rey Pratama Harahap, Nabila Aira Kireyni Harahap, dan
Dhika Prawira Harahap yang telah memotivasi dan mendampingi
selama proses penelitian, penyelesaian studi dan disertasi.

iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14. Seluruh teman-teman Angkatan 2013 yang telah memberikan
semangat dan motivasi selama masa perkuliahan dan penyelesaian
disertasi.
15. DIRJEN DIKTI Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi yang telah
memberikan beasiswa BPPS untuk masa studi 2013 sampai dengan
2016.
16. Bapak Prof. Dian Armanto, M.Pd., M.A., M.Sc., Ph.D., sebagai
Kordinator kopertis Wilayah I Sumatera Utara yang telah
memberikan izin dan tugas belajar pada Program Studi Doktor (S3)
Linguistik Universitas Sumatera Utara.
17. Bapak H. Syahrul Hadi Lubis, sebagai Pimpinan Yayasan Al-Iman
Padangsidimpuan yang telah memberikan izin dalam penyelesaian
studi.
18. Bapak Drs. H. Mhd. Nau Ritonga, M.M sebagai Rektor Institut
Pendidikan Tapanuli Selatan yang telah memberikan izin dalam
penyelesaian studi.
19. Seluruh Civitas Akademika Institut Pendidikan Tapanuli Selatan
yang senantiasa memberikan motivasi dalam penyelesaian masa
studi.
20. Kepada seluruh informan yang telah meluangkan waktu dan
memberikan banyak informasi yang diperlukan selama penelitian.
21. Ibu Prof. Dr. Pudentia MPSS, sebagai Ketua Asosiasi Tradisi Lisan
Pusat yang memberikan inspirasi penelitian di bidang tradisi lisan.

Medan, Januari 2019

Srimaharani Tanjung

v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS DIRI
Nama : Srimaharani Tanjung
Tempat dan Tanggal Lahir : Sibolga, 6 Desember 1984
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Perguruan Tinggi : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan
Alamat : Jl. Batang Ayumi Jae. Padangsidimpuan Kab.
Tapanuli Selatan
Unit Kerja : Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
Program Studi Bahasa Inggris
Jabatan Fungsional : Asisten Ahli
Alamat Rumah : Kalangan, Kecamatan Pandan. Kabupaten
Tapanuli Tengah.
Alamat Surel : nani_tanjung21@yahoo.com

PENDIDIKAN
Tahun Program Pendidikan Perguruan Tinggi Jurusan/ Program
Lulus Studi
1996 SD Negeri Pandan - -
1999 MTs Negeri - -
Sibolga
2002 SMK Nasional - -
Padang
2007 S1 Universitas Bung Pendidikan Bahasa
Hatta Padang Inggris
2010 S2 Universitas Negeri Linguistik Terapan
Medan Bahasa Inggris
2018 S3 Universitas Linguistik
Sumatera Utara

vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGAJARAN
2010 – 2011 Dosen Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Al-Wasliyah
Rantau Perapat
2011- sekarang Dosen Tetap Yayasan Institut Pendidikan Tapanuli
Selatan (IPTS) Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris.

PUBLIKASI
No Jurnal/ Prosiding Tahun

1 „Gender dalam Mengekspresikan Kesantunan‟ pada 2015


Prosiding Konferensi Nasional Pasca Sarjana Program
Linguistik ke-1, Universitas Sumatera Utara

2 „Manjapuik Marapulai sebagai Tradisi Minangkabau, 2016


Sumatera Barat‟ pada Prosiding Konferensi Nasional Pasca
Sarjana Program Linguistik ke-2, Universitas Sumatera
Utara

3 „The Tradition of Manjapuik Marapulai in Minangkabau


Culture‟ pada International Conference on Language and 2018
Literature (ICLL)

4 „The Tourismn Management Based Culture through the


Pasambahan show in Pariaman, West Sumatera‟ pada 2018
International Conference on Natural Resources and
Development Sustainable

5 „Revitalization of Manjapuik Marapulai Tradition in


Minangkabau Marriage Costums‟ pada International 2018
Journal

vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI

ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT ................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR BAGAN ......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 8
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................ 9
1.4 Manfaat Penelitian.......................................................................... 9
1.5 Penjelasan Istilah ............................................................................ 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 13


2.1 PendekatanAntropolinguistik ......................................................... 13
2.1.1 Performansi .......................................................................... 17
2.1.2 Teks ...................................................................................... 19
2.1.3 Ko-Teks ................................................................................ 20
2.1.4 Konteks ................................................................................. 22
2.2 Tradisi Lisan ................................................................................... 24
2.2.1 Falsafah Masyarakat Minangkabau ................................... 30
2.2.2 Perkawinan Adat Minangkabau ........................................ 36
2.2.3 Upacara Manjapuik Marapulai Adat Perkawinan
Minangkabau di Pariaman .............................................. 44
2.2.3.1 Makna dan Fungsi Tradisi Manjapuik Marapulai 46
2.2.3.2 Norma dan Nilai Tradisi Manjapuik Marapulai .. 48
2.2.4 Pasambahan (Pidato Adat) .............................................. 50
2.3 Kajian Teori .................................................................................. 52
2.3.1 Analisis Wacana Kritis ......................................................... 52
2.3.2 Semiotik ............................................................................... 56
2.3.3 Fungsi .................................................................................. 58
2.4 Kearifan Lokal .............................................................................. 59
2.5 Revitalisasi Tradisi lisan Manjapuik Marapulai pada Upacara
Perkawinan Adat Pariaman ........................................................... 62
2.6 Kajian yang Relevan 64
2.7 Kerangka Konsep ......................................................................... 68

viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 70
3.1 Metode Penelitian ............................................................................ 70
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian........................................................... 73
3.3 Sumber Data .................................................................................... 74
3.4 Metode Pengumpulan Data ............................................................. 76
3.5 Metode Analisis Data ...................................................................... 81
3.6 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ............................................ 83

BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAN


KEBUDAYAAN DI KECAMATAN SUNGAI
GERINGGING ................................................................................ 86
4.1. Deskripsi Latar penelitian ............................................................ 86
4.1.1 Provinsi Sumatera Barat ...................................................... 86
4.1.2 Kabupaten Pariaman ........................................................... 99
4.1.3 Kecamatan Sungai Geringging ............................................ 91
4.1.3.1 Penduduk dan Mata pencarian .................................. 93
4.1.3.2 Adat dan Agama ....................................................... 197
4.1.3.3 Struktur Sosial, Kekerabatan, dan Perkawinan ......... 100

BAB V PEMBAHASAN DAN TEMUAN PENELITIAN ........................ 108


5.1 Performansi .................................................................................. 108
5.1.1 Bentuk Komunikasi ............................................................ 109
5.1.2 Partisipan ............................................................................ 120
5.1.3 Bahan atau Alat yang digunakan ........................................ 126
5.1.4 Pelaksanaan Acara Manjapuik Marapulai .......................... 129
5.2 Analisis Teks, Koteks dan Konteks .............................................. 138
5.2.1 Analisis Teks pada Pasambahan Manjapuik Marapulai .... 138
5.2.1.1 Struktur Makro (Tema) ........................................... 138
5.2.1.2 Struktur Alur (Superstruktur) .................................. 139
5.2.1.3 Struktur Mikro ........................................................ 147
5.2.2 Analisis Koteks pada Pasambahan Manjapuik Marapulai 152
5.2.2.1 Paralinguistik atau Suprasegmental153
5.2.2.2 Penjagaan Jarak (Proksemik)……… ...................... 155
5.2.2.3 Unsur Material ....................................................... 155
5.2.3 Analisis Konteks ................................................................ 161
5.2.3.1 Konteks Budaya ..................................................... 161
5.2.3.2 Konteks Sosial ....................................................... 162
5.2.3.3 Konteks Situasi ...................................................... 164
5.2.3.4 Konteks Ideologi .................................................... 165

BAB VI KEARIFAN LOKAL DAN TRADISI MANJAPUIK


MARAPULAI ADAT PERKAWINAN ADAT
MINANGKABAU ......................................................................... 167
6.1 Makna dan Fungsi Tradisi Manjapuik Marapulai ...................... 167
6.1.1 Makna Tradisi Manjapuik Marapulai 167
6.1.2 Fungsi Tradisi Manjapuik Marapulai 172

ix
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6.2 Nilai dan Norma Tradisi Manjapuik Marapulai ......................... 179
6.2.1 Nilai Tradisi Manjapuik Marapulai ......................................... 179
6.2.1.1 Nilai Etika ....................................................................... 183
6.2.1.2 Nilai Estetika ................................................................... 186
6.2.1.3 Nilai Kepercayaan ........................................................... 191
6.3 Norma Tradisi Manjapuik Marapulai ........................................ 192
6.3.1 Norma Agama .................................................................... 198
6.3.2 Norma Kesopanan .............................................................. 201
6.3.3 Norma Kebiasaan ............................................................... 203
6.4 Kearifan Lokal Tradisi Manjapuik Marapulai ............................ 204
6.4.1 Kesopansantunan ………… ............................................... .206
6.4.2 Gotong Royong .................................................................. .211
6.4.3 Musyawarah dan Mufakat ................................................. .213
6.4.4 Kesetiakawanan Sosial ...................................................... .216
6.4.5 Rasa Syukur ....................................................................... .219

BAB VII MODEL REVITALISASI TRADISI MANJAPUIK


MARAPULAI ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU ..... 222

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 231


8.1 Simpulan ...................................................................................... 231
8.2 Saran ............................................................................................ 234

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 236


DAFTAR ISTILAH ..................................................................................... 243
LAMPIRAN ................................................................................................. 246

x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR BAGAN

No Judul Halaman

1 Kerangka Konsep 69
2 Sumber Data 76
3 Metode Pengumpulan Data 80
4 Alur Analisis Miles and Huberman 83
5 Triangulasi 85
6 Makna dan Fungsi Tradisi Manjapuik Marapulai di
Minangkabau 179
7 Nilai dan Norma Tradisi Manjapuik Marapulai di
Minangkabau 205
8 Model Revitalisasi Tradisi Manjapuik Marapulai Upacara
Adat Perkawinan Minangkabau 230

xi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1 Kearifan Lokal dalam Tradisi Manjapuik Marapulai Adat


Perkawinan Minangkabau 220

xii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR GAMBAR

NO Judul Halaman
1 Peta Administrasi Provinsi Sumatera Barat 89
2 Peta Administrasi Kabupaten Pariaman 90
3 PetaKecamatan Sungai Geringging 93
4 Marapulai 121
5 Juru Bicara Anak Daro 123
6 Juru Bicara Marapulai 123
7 Orangtua Marapulai 124
8 Mamak marapulai dan Anak Daro 125
9 Etek, Saudara, Kerabat dan Tetangga Marapulai 125
10 Dua orang Pasumandan 126
11 Makanan dalam Tradisi Manjapuik Marapulai 160
12 Sirih dalam Carano 188
13 Baju Sapatagak 189
14 Taplak 189
15 Tabir 190
16 Pasumandan 191

xiii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR LAMPIRAN

No JUDUL Halaman

1 Identitas Informan 246


2 Daftar Pertanyaan Wawancara 247
3 Alur Pasambahan Tradisi Manjapuik Marapulai 249

xiv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tradisi lisan merupakan warisan budaya nenek moyang yang merefleksikan

karakter masyarakat pendukung tradisi tersebut. Signifikansi tradisi lisan dalam

kehidupan manusia terbukti dari pemanfaatannya selama beberapa generasi

secara turun temurun untuk menata kehidupan social budayasecara arif. Tradisi

lisan tidak sekadar mencerminkan kehidupan budaya suatu kelompok

masyarakat, penggalian nilai-nilai moral dalam tradisi lisan membawa fungsi

sebagai pengendali perilaku manusia. Tataran ini menggambarkan fungsi tradisi

lisan sebagai sarana pendidikan karakter yang berbasis pengetahuan dan

kearifan lokal. Selain itu, masyarakat menjadikan tradisi lisan sebagai wadah

untuk menyampaikan pesan-pesan dan nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai

“hukum” tak tertulis dan sumber pengetahuan.

Masyarakat Minagkabau memiliki tradisi Pasambahan yang mengandung

muatan normatif yang dijadikan oleh masyarakat sebagai acuan dalam

melaksanakan beberapa kegiatan sosial sebagai masyarakat yang berbudaya.

Pasambahan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat

Minangkabau sejak ratusan tahun yang lalu.

Pasambahan memiliki perannya tersendiri dalam pelaksanaan prosesi

adat, khususnya upacara manjapuik marapulai. Hal ini sesuai dengan ciri yang

ada pada masyarakat Minangkabau dalam bertindak tutur dan berkomunikasi.

1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pemilihan kata-kata yang digunakan pada saat berkomunikasi bagi masyarakat

Minangkabau, mencerminkan perilaku, sudut pandang atau pemikiran, dan

keyakinan yang dianut oleh penuturnya. Selain itu, kata-kata yang digunakan

pada saat berkomunikasi juga mengacu pada objek, peristiwa, dan segala

sesuatu yang bersifat simbolik dan metaforik. Bahasa yang digunakan dalam

proses pasambahan manjapuik marapulai bukanlah bahasa yang dipakai sehari-

hari oleh masyarakat Minangkabau melainkan dengan menggunakan bahasa

kiasan atau metafora. Metafora merupakan ungkapan kebahasaan yang

membandingkan suatu benda dengan benda yang lainnya. Metafora sebagai

bentuk kreatif makna dalam bahasa berkaitan dengan tuturan manusia yang

memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi emosi penutur dan lawan

tuturnya. Dengan demikian, hal ini mencerminkan bahwa metafora tidak hanya

menyangkut dengan bahasa saja melainkan menyangkut juga dengan

kebudayaan dan cara berfikir manusia atau bahkan merupakan pandangan

seseorang dalam komunitas masyarakat.

Dalam melakukan pasambahan, setiap orang yang melakukan sambah

dituntut untuk saling menghargai dan menghormati pendapat atau maksud dari

mitra tuturnya. Hal ini dilakukan adalah untuk meminimalisir apabila terdapat

perbedaan pendapat antara kedua belah pihak yang bertutur. Dengan

menggunakan bahasa kiasan artinya seseorang tetap akan merasa dihargai

dalam prosesi acara yang berlangsung. Adapun bentuk kiasan atau metafora

dapat terlihat adalah seperti, “Maaf dimintak sapuluah jari, karano lah rasah

angku tagak mananti, maklumlah bajalan indak sadang salangkah, jalan

2
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
babelok bakeh lalu” (Maaf dengan sepuluh jari, karena tuan sudah berdiri

menanti, maklum saja perjalanan kami bukan selangkah, jalan berbelok yang

harus dilalui) hal ini berisi maksud permintaan maaf yang disampaikan oleh

juru bicara anak daro yang kedatangan rombongannya telah dinanti oleh

keluarga marapulai. Komunikasi seperti yang dikemukakan ini merupakan

contoh komunikasi yang diutarakan secara tidak langsung yang mengandung

unsur-unsur ungkapan dengan maksud permintaan maaf. Bentuk kiasan ini

dilakukan dalam rangka untuk menjaga kesopanan bertutur dalam

menyampaikan pikiran dan maksud kepada orang lain atau mitra tuturnya.

Hal ini sejalan dengan landasan bahasa Minangkabau yang memiliki

empat variasi tutur, disebut dengan kato nan ampek. Kato nan ampek menurut

Navis (1984: 101-102) merupakan bagian dari langgam kata, yaitu semacam

tata karma berbicara sehari-hari antara sesama masyarakat dalam melakukan

interaksi komunikasi sesuai dengan status sosial yang dimiliki oleh masing-

masing mereka. Kato nan ampek terdiri atas: (1) kato mandaki, (2) kato

manurun, (3) kato mandata, dan (4) kato malereang. Penggunaan tuturan

berdasarkan kato nan ampek sejalan dengan kesantunan. Penutur yang mampu

menggunakan bahasa sesuai dengan kondisi yang ada dikategorikan sebagai

orang yang paham akan tutur. Sebaliknya, orang yang tidak mampu

menggunakan kato nan ampek dengan tepat sesuai kondisi kebahasaan yang

umumnya digunakan oleh seorang Minangkabau dalam bertutur akan dianggap

sebagai orang yang tidak beradat.

3
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu masyarakat matrilineal

yang terbesar di dunia selain India, (Amir, 2011). Sistem matrilokal bagi

masyarakat Minangkabau artinya marapulai atau suami bermukim di daerah

sekitar pusat kediaman kaum istri. Sehingga suami tetap dianggap sebagai

pendatang atau tamu terhormat. Namun demikian suami dituntut untuk mampu

bergaul dengan kerabat istri.

Bagi perjaka Pariaman, perkawinan merupakan suatu prosesi yang

mengharukan, rasa sedih dan rasa gembira. Kondisi ini disebut dengan prosesi

turun janjang dalam rangka upacara manjapuik atau japuik. Dalam hal ini pihak

marapulai selalu yang dihantarkan pihak keluarganya ke rumah istri yang

sebelumnya keluarga pihak istri datang untuk menjemput marapulai secara adat

dan secara adat pula dihantar secara bersama-sama oleh pihak marapulai dan

keluarga istri untuk menetap di rumah istrinya. Suku Minangkabau wajib

memakai kekerabatan matrilineal yaitu mengambil pesukuan dari garis ibu dan

nasab keturunan dari ayah, oleh karena itu dikenal adanya dunsanak

(persaudaraan dari keluarga ibu) dan adanya bako (persaudaraan dari keluarga

ayah).

Menurut Amir (2011:9), sistem kekerabatan matrilineal memiliki tiga

unsur dominan yaitu: a) garis keturunan menurut garis ibu, b) perkawinan harus

dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan

istilah eksogami matrilineal, dan c) ibu memegang peranan sentral dalam

pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga. Eksogami

matrilineal merupakan istilah dari disiplin Antropologi. Eksogami atau

4
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
eksogamus adalah perkawinan yang mewajibkan seseorang kawin di luar klen

atau marganya.

Adat perkawinan manjapuik marapulai yang merupakan salah satu

bagian yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan adat

Minangkabau di daerah Pariaman. Acara manjapuik marapulai dilakukan

setelah akad nikah yang umumnya dilaksanakan di mesjid, tetapi setelah akad

nikah dilaksanakan marapulai tersebut tidak dapat mendatangi rumah istrinya

sebelum dijemput ke rumah marapulai untuk menetap di kediaman istri sesuai

dengan ketentuan adat yang berlaku.

Adat perkawinan manjapuik marapulai lazimnya dilaksanakan dengan

datangnya pihak keluarga anak daro dengan membawa bingkisan adat yang

menandakan datangnya secara beradat ke rumah marapulai. Rombongan utusan

dari keluarga anak daro datang untuk menjemput marapulai sambil membawa

perlengkapan. Setelah prosesi sambah manyambah dan mengutarakan maksud

kedatangan, barang-barang kemudian diserahkan, selanjutnya marapulai beserta

rombongan secara bersama-sama berangkat menuju ke kediaman anak daro.

Pada prosesi sambah manyambah inilah terjadi interaksi komunikasi

dari kedua belah pihak. Umumnya masyarakat Minangkabau cenderung

menyatakan maksud secara tidak langsung. Dalam komunikasi digunakan

ungkapan-ungkapan yang maksud dari ungkapan-ungkapan tersebut sama- sama

dapat dimengerti oleh penutur maupun oleh penerima.

Namun demikian seiring berjalannya waktu, tradisi manjapuik

marapulai seakan-akan tergerus oleh perkembangan arus zaman. Hal ini

5
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
disebabkan semakin banyak masyarakat yang tidak lagi menganggap bahwa

adat itu merupakan suatu keharusan. Kondisi ini ditandai dengan banyaknya

pemuda Minangkabau yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari

pekerjaan demi keberlangsungan hidupnya. Hal ini disebabkan oleh “budaya

merantau.” Budaya ini adalah salah satu budaya yang memang ada pada sifat

orang Minangkabau dan ini juga dilakukan oleh pemuda Minangkabau,

sehingga pemahaman terhadap adat bukan lagi dianggap penting dan menjadi

sebuah keharusan. Selain itu, berbaurnya masyarakat Minangkabau asli dengan

masyarakat di luar Minangkabau itu sendiri, seperti Melayu, Madailing,

Angkola, dan suku lainnya menjadikan adat tersebut bercampur ataupun

mengemasnya menjadi lebih sederhana sesuai dengan kesepakatan antara dua

keluarga yang melaksanakan acara. Situasi seperti ini akan menjadikan makna

adat dalam tradisi tersebut berkurang atau bahkan hilang sama sekali.

Berkurangnya nilai sebuah tradisi dalam manjapuik marapulai ditandai

dengan berkurangnya pelaksanaan prosesi adat tersebut khususnya pasambahan

karena masyarakat lebih mementingkan nilai nominal yang diberikan kepada

calon mempelai laki-laki atau disebut juga dengan uang japuik dibanding

dengan melaksanakan adat secara utuh . Hal ini dapat tergambar pada saat

mereka melakukan pasambahan. Jika dahulu yang melakukan pasambahan

dilaksanakan oleh beberapa orang dari masing-masing pihak dan dilangsungkan

dalam waktu yang relatif panjang, maka sekarang umumnya hanya dilaksanakan

oleh satu orang juru bicara saja perwakilan dari masing-masing pihak baik itu

dari pihak anak daro maupun marapulai dan juga dilaksanakan dengan waktu

6
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang relatif singkat. Apabila kondisi ini terus terlaksana, secara tidak langsung

pasambahan pada acara manjapuik marapulai akan hilang dan akan digantikan

dengan manghanta uang japuik saja. Apabila hal ini terus dibiarkan dan

terlaksana tentu akan memiliki dampak yang tidak baik terhadap pelaku-pelaku

adat dan masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu dari situasi yang penulis

jabarkan di atas perlu dicari solusinya sehingga pelaksanaan manjapuik

marapulai terlaksana sesuai dengan ketentuan adat yang telah ditetapkan

sebelumnya, karena pada dasarnya Minangkabau terkenal dengan adatnya yang

kuat dari zaman dahulu sampai sekarang, yaitu adat adaik basandi syarak,

syarak basandi kitabullah. Adaik yang berarti adat, kultur/ budaya, sandi yang

berarti asas/ landasan, syarak yang berarti syariat Islam atau agama Islam, dan

kitabullah yang berarti Al-Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW. Melalui

ajaran adat ini tumbuh kondisi kehidupan adat yang dinamis dan kreatif

sehingga dapat menangkap isyarat yang terkandung dari ajaran Islam.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk performansi, teks, ko-teks, dan konteks dari

tradisi pasambahan manjapuik marapulai pada upacara adat

perkawinan Minangkabau di Pariaman?

2. Bagaimanakah kearifan lokal tradisi pasambahan manjapuik marapulai

pada upacara perkawinan adat Pariaman?

7
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Bagaimanakah model revitalisasi tradisi manjapuik marapulai pada

upacara perkawinan adat Pariaman?

1.3 Tujuan Penelitian

Merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah penelitian,

maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan dan menganalisis bentuk performansi, teks, ko-teks,

dan konteks tradisi manjapuik marapulai pada upacara perkawinan adat

Pariaman.

2. Menemukan kearifan lokal tradisi pasambahan manjapuik marapulai

pada upacara perkawinan adat pariaman.

3. Membuat model revitalisasi prosesi tradisi manjapuik marapulai pada

upacara perkawinan adat Pariaman.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai upaya untuk memperkaya kajian tradisi lisan dan

memberikan sumbangan teoritis dan metodologis Kajian Tradisi

Lisan (KTL) bagi peneliti tradisi lisan.

2. Sebagai upaya untuk memperkaya kajian linguistik pada umumnya

dan kajian tradisi lisan yang terdapat pada tradisi manjapuik

marapulai.

3. Sebagai bahan acuan bagi para peneliti yang memokuskan pada

kajian tradisi lisan dan kajian linguistik pada sosiolinguistik

8
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Sebagai upaya lanjutan untuk melestarikan adat istiadat, budaya

yang mulai ditinggalkan komunitas pemakainya, sehingga dapat

terjaga nilai-nilai adat dan budaya.

5. Sebagai upaya pelestarian budaya Minangkabau yang dapat

digunakan oleh pemerintah Kabupaten Pariaman .

1.5 Penjelasan Istilah

Pada tulisan ini digunakan istilah-istilah yang memiliki makna yang

berbeda dengan ilmu di luar linguistik, oleh karena itu penjelasan istilah pada

peneltitian ini dimaksudkan agar ada persepsi yang sama mengenai istilah yang

digunakan. Penggunaan istilah tersebut sesuai dengan konsep istilah pada

bidang linguistik, istilah tersebut yaitu:

1) Tradisi Lisan adalah berbagai ilmu pengetahuan dan adat istiadat yang

secara turun temurun disampaikan secara lisan. Tradisi Lisan menurut

Sibarani (2012: 47) adalah kegiatan budaya tradisional yang terdapat pada

komunitas yang diwariskan secara turun temurun melalui media lisan dari

satu generasi ke generasi berikutnya berupa kata-kata lisan (verbal) maupun

bukan lisan (non-verbal).

2) Adat Minangkabau adalah kebiasaan yang berlaku menurut masyarakat adat

atau peraturan tentang tingkah laku menurut masyarakat Minangkabau biasa

dalam bertingkah laku. Jadi di dalamnya termuat peraturan-peraturan hukum

yang melingkupi dan mengatur hidup bersama (Amir, 2011:1).

3) Pasambahan adalah pidato adat yang dipergunakan dalam upacara adat

yang tersusun, teratur dan berirama, serta dikaitkan dengan tambo dan asal

9
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
usul dengan menyatakan maksud, rasa hormat, tanda kebesaran, dan tanda

kemuliaan (Djamaris, 2002: 51)

4) Manjapuik marapulai adalah prosesi menjemput pengantin laki-laki yang

umumnya dilakukan setelah akad nikah yang dilakukan oleh utusan

keluarga pengantin perempuan yang datang secara adat dengan membawa

bingkisan-bingkisan adat sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak

(Amir, 2011:16).

5) Performansi menurut Finnegan (1992:91) adalah suatu peristiwa

komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang bermuatan

sosial, budaya dan estetika. Selanjutnya, performansi dalam tradisi lisan

dibedakan atas dua, yaitu: (1) performansi yang ditampilkan dihadapan

audiens, sesuai dengan kondisi tertentu dengan maksud sebagai hiburan, dan

(2) dimanfaatkan untuk tujuan sakral. Performansi juga melibatkan unsur

performer atau orang yang melakukan pertunjukan, audiens dan partisipan

atau orang yang terlibat dalam pertunjukan, media atau sarana dan prasarana

yang digunakan, serta verbal dan material (Finnegan, 1992:91).

6) Teks adalah Teks merupakan suatu kesatuan bahasa yang memiliki bentuk

dan isi baik lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim

kepada penerima. Van Dijk (1985) menyebutkan bahwa ada tiga

kerangka struktur teks, yakni struktur makro, superstruktur, dan struktur

mikro. Struktur makro yaitu makna global atau umum dari suatu teks yang

dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari suatu teks.

Superstruktur atau struktur alur adalah kerangka suatu teks yang mencakup

10
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
struktur dan elemen teks dalam pembentukan teks secara utuh. Struktur

mikro adalah struktur teks secara linguistik teoretis, mencakup tataran

bunyi, kata, kalimat, wacana, makna, dan gaya bahasa.

7) Ko-teks adalah Tanda-tanda yang menyertai teks tersebut yang berfungsi

untuk memperjelas pesan atau makna dari sebuah teks. Ko-teks dapat dibagi

atas: paralinguistik, kinetik, proksemik, dan unsur material. (Sibarani, 2012:

312-331) Paralinguistik atau suprasegmental selalu berdampingan dengan

teks sebagai tanda verbal yang tidak dapat dipisahkan dari teks tradisi lisan.

Kinetik adalah Gerak isyarat tidak dapat terpisahkan dari teks verbal dalam

tindak komunikasi. Proksemik adalah Sikap dan penjagaan jarak antara

pembicara dan pendengar sebelum dan ketika sedang terjadi komunikasi

Selanjutnya, unsur material adalah unsur-unsur yang mendampingi teks

dalam sebuah komunikasi verbal .

8) Konteks adalah teks yang menyertai teks lain. Halliday dan Hasan (1977)

menyatakan bahwa ada dua jenis konteks, yaitu konteks budaya dan situasi.

Pertama, Konteks budaya melahirkan berbagai jenis teks yang digunakan

oleh masyarakat untuk berkomunikasi. Kedua, konteks situasi yaitu konteks

yang mempengaruhi pilihan penutur bahasa, seperti: bahan, hubungan

penyapa dengan yang disapa, dan komunikasi yang digunakan.

9) Antropolinguistik adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaan

secara menyeluruh. Di satu pihak manusia adalah pencipta kebudayaan,

dipihak lain kebudayaan yang menciptakan manusia sesuai dengan

lingkungannya. Dengan demikian terjalin hubungan timbal balik yang

11
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sangat erat dan padu antara manusia dan kebudayaan. Melalui pendekatan

antropologi linguistik, kita mencermati apa yang dilakukan orang dengan

bahasa dan ujaran-ujaran yang diproduksi; diam dan gesture dihubungkan

dengan konteks pemunculannya (Duranti, 2001:1). Jadi, dapat dikatakan

pendekatannya melalui performance, indexcality, dan participation.

“Antropological linguistics is that sub-field of linguistics which is concern

with the place of language in its wider social and cultural context, its role in

forging and sustaining cultural practices and social structures. As such, it

may be seen to overlap with another sub-field with a similar domain,

sociolinguistics, and in practice this may indeed be so (Foley, 1997:3).

10) Revitalisasi kebudayaan menurut Sibarani (2012: 292) merupakan sebuah

proses memberdayakan pelaku tradisi lisan dan pendukung tradisi lisan

dalam mengelola dan menghasilkan tradisi lisan yang baik. Sejalan dengan

pendapat di atas revitalisasi tradisi lisan pada upacara perkawinan adat

Pariaman dikonseptualisasikan telah terjadi pergeseran tradisi lisan tersebut

dalam kehidupan masyarakat. Maka, sebagai upaya revitalisasi perlu

dilakukan proses pemeliharaan tradisi lisan pada upacara perkawinan adat

Pariaman sehingga tidak terjadi kehilangan tradisi lisan.

12
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengantar

Bab ini diawali dengan kajian mengenai konsep yang digunakan dalam

penelitian. Konsep ini bertujuan agar dapat memberikan pemahaman bagi

penulis ataupun pembaca agar tidak muncul pemahaman yang salah dalam

menafsirkan tradisi manjapuik marapulai ini. Selanjutnya, kajian diarahkan

kepada landasan teori yang digunakan yang berkaitan dengan penelitian,

kemudian, penulis mengarahkan penelitian ini dengan kajian hasil penelitian

terdahulu yang relevan dengan penelitian penulis.

2.1.1 Pendekatan Antropolinguistik

Antropologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia dan

kebudayaan secara menyeluruh. Di satu sisi manusia adalah pencipta

kebudayaan, sementara dilain sisi kebudayaan yang “menciptakan” manusia

sesuai dengan lingkungannya. Dengan demikian, terjalin hubungan timbal balik

yang sangat erat antara manusia dan kebudayaannya. Dalam kebudayaan,

bahasa menduduki tempat yang unik. Selain sebagai unsur kebudayaan, bahasa

juga berfungsi sebagai sarana yang paling penting dalam proses pewarisan, dan

pengembangan kebudayaan.

Cakupan kajian yang berkaitan dengan bahasa sangat luas, karena

bahasa mencakup hampir diseluruh aspek kehidupan manusia. Dengan kata lain

linguistik dapat memperlihatkan adanya pergerakan menuju kajian yang bersifat

multidisplin, salah satunya adalah kajian antropologi linguistik.

13
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Antropologi linguistik adalah ilmu yang mengkaji pemakaian bahasa

dalam konteks sosial dan budaya yang luas serta adanya peran bahasa dalam

mengembangkan dan mempertahankan aktifitas budaya. Pada dasarnya terdapat

beberapa istilah untuk kajian ini, seperti: linguistik antropologi, linguistik

budaya, dan antropolinguistik yang keseluruhan istilah ini mengacu pada kajian

yang sama. Foley (1997:1) mendefenisikan linguistik antropologi sebagai

bidang bawahan linguistik yang berkaitan dengan tempat bahasa dalam konteks

sosial dan budaya yang lebih luas, serta perannya dalam membentuk dan

mempertahankan praktek budaya dan struktur sosial.

Fokus kajian Antropolinguistik, menurut Duranti (1997:15) terletak

pada tiga pembahasan utama yaitu performansi (performance), indeksikalitas

(indexicality), dan partisipasi (participation). Performansi merupakan bagian

dari sistem komunikasi yang selalu dipergunakan seiring komunikasi verbal

untuk menghasilkan bentuk retorika yang indah. Indeksikalitas merupakan suatu

mekanisme di dalam antropolinguistik yang berfungsi untuk mengindentifikasi

pemaknaan objek berdasarkan hubungan spasial dan temporal dari objek terkait.

Sedangkan partisipasi merupakan suatu konsep yang menyatakan bahwa

berbahasa atau berbicara merupakan suatu kegiatan yang mencakup berbagai

aspek yang saling terkait seperti kemampuan mempergunakan suara sehingga

dapat berpartisipasi dalam suatu interaksi sosial untuk menyentuk hal-hal yang

sebelumnya berada di luar jangkauan pemikiran, baik yang bersifat nyata

ataupun fiksi.

14
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dalam mengkaji penggunaan bahasa, Duranti (1977: 14) menyatakan

bahwa antropolinguistik memegang dan menerapkan tiga parameter, yakni (1)

keterhubungan (interconnection), (2) kebernilaian (valuability), dan (3)

keberlanjutan (continuity). Keterhubungan itu mungkin hubungan linier yang

secara vertikal atau hubungan formal yang secara horizontal. Hubungan formal

berkenaan dengan struktur bahasa atau teks dengan konteks (situasi, budaya,

sosial, ideologi) dan ko-teks (paralinguistik, gerak-isyarat, unsur-unsur

material) yang berkenaan dengan bahasa dan proses berbahasa, sedangkan

hubungan linier berkenaan dengan struktur alur seperti performansi.

Kebernilaian memperlihatkan makna atau fungsi, sampai ke nilai atau norma,

serta akhirnya sampai pada kearifan lokal aspek-aspek yang diteliti.

Keberlanjutan memperlihatkan keadaan objek yang diteliti termasuk nilai

budayanya dan pewarisannya pada generasi berikutnya (Sibarani, 2014: 319).

Sibarani (2012: 303) mendefenisikan antropolinguistik sebagai sebuah

studi bahasa dalam rangka kerja antropologi, studi kebudayaan dalam kerja

linguistik, dan studi aspek kehidupan manusia dalam kerangka kerja bersama

antropologi dan linguistik.

15
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Model Analisis Antropolinguistik dapat digambarkan sebagai berikut:

TRADISI LISAN

BENTUK ISI

TEKS, KO-TEKS DAN NILAI DAN NORMA


KONTEKS (Fungsi dan Makna)
(Struktur, Elemen, dan Kondisi)

REVITALISASI
(Menghidupkan kembali, Pengelolaan, Pewarisan)

PEMBANGUNAN KARAKTER IDENTITAS


KEDAMAIAN DAN KESEJAHTERAAN BANGSA

(Sibarani, 2012: 214)

Kajian antropolinguistik memiliki keterkaitan yang erat terhadap tradisi

lisan. Hal ini bermula dari unsur-unsur verbal yang didapati pada tradisi lisan

yang kemudian berlangsung pada unsur non-verbal. Kedua unsur tersebut dapat

dijelaskan melalui struktur teks, koteks, dan konteks dalam bentuk pemahaman

performansi tradisi lisan.

Ketiga unsur di atas merupakan sebuah keterikatan yang saling

berhubungan satu dengan yang lainnya dan juga menjadi karakteristik sebuah

wacana dalam tradisi lisan. Wacana dalam tradisi lisan tidak hanya membahas

mengenai teks, tetapi juga tentang ko-teks dan konteks. Sibarani (2012: 311).

16
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.1.1.1 Performansi

Performansi adalah kunci dasar dari sebuah aksi yang dilakukan oleh

manusia dan budayanya. Berbagai konsep dan gagasan mengenai performansi

timbul di kalangan komunitas antropolinguistik.

Performansi merupakan tindakan atau perilaku manusia yang

menggambarkan adanya pesan yang disampaikan sebagai sebuah bentuk

komunikasi. Roman Jakobson dalam Duranti (1977:15) menyatakan bahwa

perilaku manusia sebagai gambaran komunikasi juga disebut dengan fungsi

puitis sebuah komunikasi (poetic function of speech). Performansi menjadi

suatu sistem komunikasi dalam kehidupan manusia dan dapat ditemukan dalam

setiap perilaku. Maka dapat dinyatakan bahwa pesan yang disampaikan tidak

selamanya dilakukan melalui komunikasi verbal, namun juga non-verbal.

Performansi adalah bagian dari sistem komunikasi yang selalu dipergunakan

seiring komunikasi verbal untuk menghasilkan bentuk retorika yang indah.

Finnegan (1992: 91) menyatakan bahwa performansi adalah suatu

peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang

bermuatan sosial, budaya dan estetika. Selanjutnya, performansi dalam tradisi

lisan dibedakan atas dua, yaitu: (1) performansi yang ditampilkan dihadapan

audiens, sesuai dengan kondisi tertentu dengan maksud sebagai hiburan, dan (2)

dimanfaatkan untuk tujuan sakral. Performansi juga melibatkan unsur performer

atau orang-orang yang terlibat yang melakukan pertunjukan, audiens dan

partisipan atau orang yang terlibat dalam pertunjukan, media atau sarana dan

prasarana yang digunakan, serta verbal dan material.

17
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Selanjutnya, sejalan dengan konsep performansi yang dinyatakan oleh

Finnegan, Bauman (1986) juga menggambarkan bahwa performansi

merupakan suatu bentuk atau model bahasa, yaitu cara seseorang

menyampaikan perasaan, fikiran dan pandangan melalui media bahasa. Bauman

(1977) menyatakan bahwa untuk memaknai sebuah seni verbal di dalam

komunikasi, teks tulisan dengan segala komponen kebahasaan tidak begitu

diperlukan sebab performansi itu sendiri merupakan ranah seni verbal yang

valid yang dapat menggambarkan makna sebuah komunikasi melalui

pelakonan. Hal ini sejalan dengan pandangan para ahli antropolinguistik dan

folklore American yang menyatakan bahwa segala bentuk ekspresi lisan dan

juga seni verbal lebih mudah diwujudkan melalui performansi dibanding

melalui teks tulis.

Dalam kajian sastra dan tradisi lisan, struktur performansi mencakup

beberapa faktor situasi antara lain: 1. Lingkungan sosial, 2. Status dan identitas

masyarakat terkait, 3. Pola interaksi sosial, 4. Aspek ungkapan, 5. Konvensi

dalam pemaknaan konteks, 6. Peristiwa politis, dan 7. Latar belakang sejarah

terbentuknya peristiwa performansi tersebut (Bauman, 1977:87).

Dalam penelitian ini penulis mendiskripsikan performansi manjapuik

marapulai beserta komponen-komponen yang menyertai pada saat acara

manjapuik marapulai tersebut berlangsung. Finnegan (1992:97) menyatakan

bahwa komponen utama dalam sebuah performansi adalah partisipan, yaitu

pelaku dan audiens. Peneliti mendeskripsikan pelaksanaan acara manjapuik

marapulai yang diawali dengan mengumpulkan ninik mamak, sumando dan

18
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
urang mudo di rumah pengantin wanita untuk kemudian berangkat bersama-

sama ke kediaman pengantin laki-laki sampai kembali ke rumah anak daro.

2.1.1.2 Teks

Teks merupakan suatu kesatuan bahasa yang memiliki bentuk dan isi

baik lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada

penerima. Konsep teks yang digunakan untuk mengkaji tradisi manjapuik

marapulai ini adalah struktur wacana yang dikemukakan oleh Van Dijk

(1985) yang disesuaikan dengan teks tradisi lisan. Van Dijk (1985)

menyebutkan bahwa ada tiga kerangka struktur teks, yakni struktur makro,

superstruktur, dan struktur mikro. Struktur makro yaitu makna global atau

umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema

dari suatu teks. Tema teks bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu

peristiwa. Itulah alasannya teks tidak dapat dipisahkan dari konteks. Dengan

kata lain, analisis struktur makro dalam teks tradisi lisan merupakan analisis

teks yang dipadukan dengan koteks dan konteksnya untuk memperoleh

gagasan inti atau tema sentral. Superstruktur atau struktur alur adalah kerangka

suatu teks yang mencakup struktur dan elemen teks dalam pembentukan teks

secara utuh. Sebuah teks termasuk teks tradisi lisan secara garis besar tersusun

atas tiga elemen, yaitu pendahuluan, bagian tengah, dan penutup. Kajian

struktur alur tradisi lisan akan menghasikan skema tradisi lisan mulai dari

permulaan, bagian tengah, dan penutup. Struktur mikro adalah struktur teks

secara linguistik teoretis, mencakup tataran bunyi, kata, kalimat, wacana,

makna, dan gaya bahasa. Tataran tersebut dapat dipilih sesuai dengan

19
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kebutuhan analisis dan sesuai dengan karakteristik teks tradisi lisan yang dikaji

(Sibarani, 2012:3 16).

Dalam penelitian ini, yang merupakan teks adalah kata-kata dan

kalimat yang diucapkan oleh pelaku yang diteliti, dalam hal ini orang- orang

yang memberi kata-kata dalam pasambahan. Kata-kata dalam pasambahan ini

dilakukan bersahut-sahutan antara kedua belah pihak dengan menggunakan

bahasa daerah, yakni bahasa Minangkabau, karena acara itu merupakan acara

adat. Agar mudah dipahami, bahasa daerah tersebut harus diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu. Hal ini dilakukan karena bahasa daerah

tidak semuanya dapat diterjemahkan secara harfiah kedalam Bahasa Indonesia

apalagi mengingat kalimat yang diutarakan dalam pasambahan tersebut banyak

menggunakan kata-kata kiasan, seperti: pepatah, petitih, mamang, dan

sebagainya.

Hal ini sejalan dengan pendapat Navis (1984: 255-256) yang

menyatakan bahwa dalam pidato persembahan akan selalu diucapkan pepatah-

petitih. Bahasa daerah memiliki nilai-nilai yang luhur yang tidak dapat diartikan

sewenang-wenang. Disinilah perlunya teks lisan tersebut ditranskripkan ke

dalam bentuk tulisan terlebih dahulu agar dapat dianalisis dengan mudah.

2.1.1.3 Ko-teks

Dalam terjadinya sebuah komunikasi teks digunakan sebagai tanda

verbal yang pada umumnya teks tersebut didampingi oleh tanda lain yang

secara bersama-sama dengan teks itu. Begitu juga dalam teks tradisi lisan, ada

20
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tanda-tanda lain yang menyertinya secara bersama-sama yang memegang

peranan penting dalam praktek wacana tradisi lisan. Tanda-tanda yang

menyertai teks tersebut disebut sebagai ko-teks yang berfungsi untuk

memperjelas pesan atau makna dari sebuah teks. Ko-teks dapat dibagi atas:

paralinguistik, kinetik, proksemik, dan unsur material. (Sibarani, 2012: 312-

331)

Paralinguistik atau suprasegmental selalu berdampingan dengan teks

sebagai tanda verbal yang tidak dapat dipisahkan dari teks tradisi lisan. Unsur-

unsur paralinguistik ini adalah: intonasi, aksen, jeda dan tekanan. Selanjutnya,

dalam kajian lanjutan peranan paralinguistik ini akan semakin penting apabila

teks tersebut dinyanyikan atau memiliki irama sebagaimana tradisi lisan pada

umumnya. Dalam hal ini bantuan fonetik sangat penting untuk merumuskan

unsur-unsur paralinguistik dlam teks tradisi lisan.

Dalam tradisi lisan, gerak isyarat tidak dapat terpisahkan dari teks verbal

dalam tindak komunikasi. Gerak isyarat ini dikaji dalam bidang illmu Kinetik.

Dalam melakonkan tradisi lisan, gerak isyarat sangat berperan penting karena

ciri dari tradisi lisan adalah kegiatan, peristiwa, atau pertunjukan.

Lain halnya dengan kinetik, sikap dan penjagaan jarak antara pembicara

dan pendengar sebelum dan ketika sedang terjadi komunikasi diatur dalam

bidang proksemik. Dari penjagaan jarak para pelaku dengan penonton dapat

terlihat opisisi antar pelaku yang menggambarkan peran masing-masing,

seperti: raja-rakyat, pimpinan-bawahan, majikan-pembantu dan sebagainya.

21
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Proksemik ini memberikan kontribusi dan memperkaya makna dalam tradisi

lisan.

Selanjutnya, unsur material. Dalam sebuah komunikasi verbal seperti

dalam tradisi lisan unsur material juga selalu mendampingi teks. Unsur material

yang sering digunakan dalam tradisi lisan ini dapat berupa perangkat pakaian

dengan gayanya, penggunaan warna dengan ragam pilihannya, penataan lokasi

dengan dekorasinya, dan penggunaan berbagai properti dengan fungsinya.

Keseluruhan dari unsur material ini perlu dikaji secara semiotik untuk

menambah pemahaman makna tradisi lisan (Sibarani, 2012:322-323).

2.1.1.4 Konteks

Pemaknaan dari sebuah teks tradisi lisan sangat tergantung pada konteks

dan ko-teksnya. Dalam analsisis antropolinguistik beranggapan ada beberapa

jenis konteks yang perlu dipertimbangkan dalam pemahan ungkapan termasuk

teks tradisi lisan. Pemilihan konteks sangat tergantung pada ragam ungkapan

atau teks yang dikaji.

Halliday dan Hasan (1977) menyatakan bahwa ada dua jenis konteks,

yaitu konteks budaya dan situasi. Pertama, Konteks budaya melahirkan

berbagai jenis teks yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi.

Kedua, konteks situasi yaitu konteks yang mempengaruhi pilihan penutur

bahasa, seperti: bahan, hubungan penyapa dengan yang disapa, dan komunikasi

yang digunakan. Konteks budaya yaitu mengacu pada tujuan budaya yang

menggunakan sebuah teks, konteks sosial yaitu mengacu pada faktor-faktor

sosial yang memengaruhi sebuah teks, konteks situasi yaitu mengacu pada

22
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
waktu, tempat, dan cara penggunaan teks, dan konteks ideologi yaitu mengacu

pada kekuasaan atau kekuatan apa yang memengaruhi dan mendominasi sebuah

teks.

Sementara itu, sebuah teks tradisi lisan akan berbeda makna, maksud

dan fungsinya adalah tergantung pada perbedaan konteksnya. Ada beberapa

jenis konteks yang perlu dipertimbangkan dalam pemahaman ungkapan

termasuk teks tradisi lisan. Pemilihan konteks ini sangat bergantung pada ragam

ungkapan atau teks yang dikaji. Untuk memahami makna, maksud, pesan, dan

fungsi dalam kajian tradisi lisan, konteks budaya, konteks, sosial, konteks

situasi, dan konteks ideologi yang perlu dikaji. Konteks ini juga diperlukan

untuk memahami nilai dan norma budaya yang terdapat dalam tradisi lisan serta

memahami kearifan lokal yang diterapkan untuk menata kehidupan sosialnya

(Sibarani, 2012:324).

Keseluruhan dari jenis konteks yang telah dijelaskan sebelumnya perlu

dikaji untuk memahami makna, maksud, pesan, dan fungsi dari tradisi lisan

yang kemudian diperlukan untuk memahami nilai dan norma budaya yang

terdapat pada tradisi lisan serta memahami kearifan lokal yang digunakan untuk

menata kehidupan sosialnya.

Dalam penelitian ini dikaji tentang konteks budaya dan konteks situasi.

Dimana konteks budaya bertujuan untuk melihat tujuan budaya yang terdapat

dalam tradisi manjapuik marapulai, dan konteks situasi untuk melihat waktu,

tempat dan cara pelaksanaan tradisi manjapuik marapulai.

23
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.1.2 Tradisi Lisan

Tradisi budaya atau tradisi lisan termasuk kandungannya seperti makna

dan fungsi, nilai dan norma-norma budaya adalah dunia ingatan dan dunia

simpanan yang diwariskan secara turun temurun. Sibarani (2012:1)

menyebutkan tradisi lisan sebagai upaya mengingat masa lalu dengan menggali

tradisi masa lalu dan mempersiapkan masa kini untuk masa depan. Mengingat

masa lalu berarti menggali tradisi masa lalu, mengidentifikasi kehidupan masa

lalu, memilah-milah nilai tradisi masa lalu itu dan kemudian memetik hal-hal

yang bernilai dalam tradisi masa lalu.

Tradisi lisan merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat pada masa

lalu yang muncul dalam bentuk lisan. Sepanjang sejarahnya manusia selalu

berkomunikasi dan berekspresi sebagai salah satu manifestasi diri dan

kelompok sosialnya. Ekspresi lisan merupakan satu-satunya sarana yang paling

efektif untuk maksud-maksud tersebut, karena pada masa itu belum dikenal

tulisan. Cerita dan berbagai bentuk yang kini dikenal sebagai hasil kesusastraan

pun diekspresikan secara lisan, misalnya dengan cara diceritakan ataupun

dinyanyikan secara keras dihadapan sekolompok masyarakat pendukungnya

pada waktu-waktu tertentu yang dilakukan oleh tukang cerita (Nurgiyantoro,

2005: 163-164)

Djuweng dalam Pudentia (2008: 169-170) memandang tradisi lisan

sebagai tradisi yang memiliki filsafat, sejarah, nilai moral, etika, religius,

hukum adat, struktur dan organisasi sosial, sastra dan estetika. Lebih jauh

Djuweng memandang bahwa tradisi lisan yang diturunkan dari generasi ke

24
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
generasi dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran perkataan, dan perilaku secara

individu dan kelompok adalah implementasi senyatanya dari teks-teks lisan

tersebut.

Warisan budaya amat berharga dan penting dalam pembentukan

identitas dan karakter bangsa sebagai Intangible Cultural Heritage (ICH).

UNESCO yang dikukuhkan dalam konvensi tanggal 16 Oktober 2003

menyebutkan salah satu unsur penting dalam ICH adalah tradisi lisan (Pudentia

2010).

Finnegan (1992:6) menyatakan bahwa tradisi adalah tradisi yang lebih

spesifik lisan atau dari mulut yang ditandai dengan lisan, tidak ditulis, milik

orang atau rakyat, fundamental dan dihargai serta diwariskan dari generasi ke

generasi berikutnya. Finnegan (1992:5) mendefenisikan lisan sebagai kata-kata

yang diucapkan dengan mulut terucap secara verbal. Finnegan (1992) juga

mengkontraskan lisan dengan segala sesuatu yang tidak verbal atau tidak

didasarkan pada kata-kata, sehingga lisan dapat memenuhi syarat secara umum

yang menekankan perbedaan antara bentuk tertulis dan lisan.

25
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Selanjutnya Finnegan (1992:7) menjelaskan,

“Oral tradition conceals similar ambiguities, with


the apparently more specific „oral‟ infact complicating it
even further. The addition of oral often implies that the
tradition in question is in some way 1. Verbal or 2. Non-
written (not necessarily the same thing) sometimes also or
alternatively 3. Belonging to the „people‟ or the „folk‟
usually with the connotation of non- educated, non-elite,
and/or 4. Fundamental and valued, often supposedly
transmitted over generation, perhaps the community or
„folk‟ rather than conscious individual action.

Pendapat Finnegan ini menjelaskan tentang pengertian tradisi lisan yang

memiliki makna yang ambigu yang dapat dirumuskan kepada empat komponen,

yaitu verbal, tidak tertulis, dimiliki oleh kelompok masyarakat serta memiliki

nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Kemudian, untuk meluruskan makna yang ambigu dalam pengertian

tradisi lisan ini, Finnegan (1992:8) menuliskan beberapa pertanyaan yang

berkaitan dengan tradisi lisan tersebut, yaitu:

1. Apakah tradisi lisan tersebut merupakan sesuatu yang baru atau yang

lama?

2. Apakah tradisi lisan tersebut dibagikan oleh masyarakat atau kelompok,

dan, jika tidak, siapa yang mengkontrol dan menggunakannya dan dalam

situasi seperti apa?

3. Apakah istilah tradisi secara evaluative dikaji oleh semua orang,

kelompok tertentu, pemuka adat tertentu dan peneliti?

4. Apakah tradisi tersebut merupakan sebuah proses atau produk?

26
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5. Jika tradisi lisan adalah sebuah produk, apakah dilakukan melalui

generasi atau untuk waktu yang singkat, bagaimana ini dilakukan dan

oleh siapa dan mengapa?

6. Seberapa jauh tradisi lisan tersebut mengkristal dan seberapa jauh tradisi

lisan ini direkontruksi oleh peneliti?

7. Apakah tradisi dilakukan dalam bentuk yang berbeda melalui media,

versi atau genre? Apakah tradisi tersebut menjadi lebih baik

dibandingkan dengan tradisi secara umum?

Realitas di masyarakat, para penutur dan komunitas tradisi lisan

semakin berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak

berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan

berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang

penting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada

masa sekarang dan yang akan datang adalah perubahan dalam sistem

pewarisannya.

Sebagai sumber sistem pewarisan yang membentuk identitas etnik,

perlu dilakukan pengelolaan tradisi seperti: perlindungan, preservasi, dan

revitalisasi tradisi. Tradisi lisan janganlah dilihat sebagai barang antik yang

harus diawetkan, yang beku, yang berasal dari masa lalu dan tidak pernah

„boleh‟ berubah yang kemudian diagungkan dan diabadikan. Sudut pandang

seperti ini akan mengangkat tradisi, khususnya tradisi lisan seperti yang telah

diungkapkan, sehingga sejarah kegemilangan masa lalunya saja, tanpa dapat

mengaktualkannya dalam situasi masa kini.

27
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya

atau sebagai suatu bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali (invented

culture) untuk dimanfaatkan, dikembangkan, dan dilestarikan sebagai suatu

bentuk kebudayaan, yang karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dari

kepunahannya. Menggali dan mengembangkan potensi tradisi lisan, termasuk

perlindungan kekayaan intelektual budaya Indonesia, melalui penelitian yang

terstruktur dan berkelanjutan.

Sibarani (2012:214) menyatakan bahwa tradisi lisan sebagai sebuah

kajian yang berkaitan erat dengan bahasa memiliki bentuk dan isi. Dimana

bentuk sebuah tradisi lisan itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: teks, koteks,

dan konteks. Teks dalam hal ini berkaitan dengan objek penelitian berupa

bahasa yang mengarah kepada pelaksanaan tradisi lisan yang memiliki struktur

teks, yaitu struktur alur, makro, mikro. Teks dalam hal ini berhubungan dengan

unsur-unsur lain yang mendampingi teks tersebut dan ko-teks ini berbentuk,

proksemik, paralinguistik, dan kinetik. Konteks merupakan latar belakang

terjadinya suatu peristiwa budaya. Selain bentuk, sebuah tradisi lisan juga harus

memiliki isi yang di dalamnya mencakup

Vansina (1961:1) menyatakan bahwa tradisi lisan adalah, “oral

traditions are historical sources of special nature. Their special nature derives

from the fact that they are „unwritten‟ sources couched in a form suitable for

oral transmission and theor preservation depends on the powers of memory of

successive generations of human beings.” Pernyataan ini dapat diartikan bahwa

tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang bersifat khusus. Sifat khususnya

28
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berasal dari fakta bahwa sifat khusus itu adalah sumber „tidak tertulis‟ yang

ditulis dalam bentuk yang sesuai untuk transmisi lisan dan bahwa pelestarian

mereka tergantung pada kekuatan memori dari generasi mendatang.

Sumber utama kajiannya adalah penutur, pembawa atau nara sumber

pemilik tradisi lisan yang diteliti yang meliputi masyarakat pemilik atau

pendukung yang berkaitan. Di samping tradisi dan narasumber utamanya yang

masih hidup atau merupakan living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan

dalam masyarakat dan tradisi tersebut (memory traditions) juga dimasukkan

dalam kategori tradisi lisan.

Pada tradisi lisan tidak dapat dipisahkan antara produk budaya dan

masyarakat sebagai komunitasnya. Keduanya sangat tergantung satu sama lain.

Tanpa masyarakat pendukungnya, tradisi tidak akan pernah dapat dihadirkan

apalagi diteruskan. Sebaliknya, tanpa tradisi, masyarakat pemiliknya akan

kehilangan identitas kemanusiaannya dan kehilangan banyak hal penting,

khususnya pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang pernah

menghidupi dan sudah menyatu pada komunitas tersebut.

Memahami nilai-nilai tersebut dengan baik, maka perlu dilakukan

perbandingan dengan fakta pada konteks tradisi lisan agar unsur nilai tradisi

yang ada pada tradisi tersebut dapat diretas, sehingga nilai tradisi lisan dapat

diterima setiap orang, walaupun menurut apresiasi setiap orang nilai tersebut

dapat berbeda-beda. Hal ini sejalan dengan pendapat Sibarani (2012: 26) bahwa

tradisi lisan merupakan cerminan dari kebudayaan dan sejarah perkembangan

masyarakatnya. Hal ini ditandai oleh beragam informasi yang diperoleh dari

29
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tradisi lisan bukan hanya fungsi estetis, pragmatis, dan etisnya tetapi juga aspek

historisnya.

Penegasan pentingnya memahami bahasa tradisi lisan pada upacara

adat istiadat sebagai warisan budaya, disebabkan bahasa yang digunakan pada

tradisi lisan mengandung nilai-nilai filosofis adat yang tercermin pada budaya

adat, kekerabatan, norma-norma, nilai-nilai estetis serta nilai-nilai lainnya.

Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam

upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang

dan yang akan datang adalah dengan melakukan perubahan dalam sistem

pewarisannya. Sistem pewarisan pembentukan identitas, maka perlu dilakukan

pengelolaan tradisi seperti: pelindungan, preservasi, dan revitalisasi tradisi lisan.

2.1.2.1.Falsafah Masyarakat Minangkabau

Adat dalam masyarakat Minangkabau memiliki peran penting dalam

mengatur pola, tingkah laku yang menjadi kebiasaan mereka sehari-hari. Adat

dalam pengertiannya adalah pedoman atau patokan dalam bertingkah laku,

bersikap, berbicara, bergaul dan cara berpakaian masyarakat Minangkabau.

Adat Minangkabau yang dinamis menempatkan raso (hati) dan pareso (akal,

logika) sebagai hasil dari falsafah, alam takambang jadi guru. Sumber nilai dan

pandangan hidup masyarakat Minangkabau yang melandasi tatanan hidup

berinteraksi antar sesama, dan antar masyarakat dan alam sekitar.

Minangkabau yang terkenal dengan adatnya yang kuat dari zaman

dahulu sampai sekarang, yaitu adat adaik basandi syarak, syarak basandi

kitabullah. Adaik yang berarti adat, kultur/ budaya, sandi yang berarti asas/

30
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
landasan, Syarak yang berarti syariat atau ajaran Agama Islam, dan Kitabullah

yang berarti Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Melalui ajaran adat

ini tumbuh kondisi kehidupan adat yang dinamis dan kreatif sehingga dapat

menangkap isyarat yang terkandung dari ajaran Islam. Adat basandi syarak,

syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai, alam takambang

manjadi guru merupakan tiga unsur penting dalam menyelesaikan persoalan

dunia dan akhirat. Bila ketiga tolak ukur ini dijadikan sebagai ukuran, maka

barulah merupakan falsafah yang utuh.

Menurut Amir, (2011: 189-190) Adat Minangkabau terbagi kepada 4

bagian desebut adaik nan ampek (adat yang empat) yaitu adaik nan sabana

adaik, adaik nan diadaikkan (adat yang di adatkan), adaik nan taradaik (adat

yang teradat), adaik istiadaik (adat istiadat).

1. Adaik nan Sabana Adaik (Adat yang sebenarnya adat)

Adaik nan sabana adaik (adat yang sebenarnya adat) merupakan adat

yang paling utama yang tidak dapat dirubah sampai kapanpun dia merupakan

harga mati bagi seluruh masyarakat Minangkabau, tidaklah bisa dikatakan dia

orang Minangkabau apabila tidak melaksanakan Adat ini dan akan dikeluarkan

dia dari orang Minangkabau apabila meninggalkan adat ini, adat ini yang paling

perinsip adalah bahwa seorang Minangkabau wajib beragama Islam dan akan

hilang Minangkabaunya apabila keluar dari agama Islam.

Apa yang dikatakan dengan adat yang sebenar adat ini adalah segala

hikmah yang diterima dari Nabi Muhammad SAW berdasarkan pada firman-

firman Allah SWT dalam kitab sucinya, yaitu Al-qur‟an. Adapun salah satu

31
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
firman Allah SWT yang menjadi pedoman dalam adaik nan sabana adaik ini

adalah sebagai berikut:

Artinya:

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)


Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, sehingga
jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur‟an itu adalah benar. Dan apakah
Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia
menyaksikan segala sesuatu? (Q.S. Fushilat ayat 53)

Berdasarkan firman-firman Allah SWT yang terdapat dalam kitab suci

Al-Qur‟an inilah diperoleh sumber-sumber adat yang sebenar adat, seperti yang

tertulis dalam pepatah berikut ini:

Adat nan sabana adat adat yang sebenarnya adat


Indak lapuak dek hujan tidak lapuk kena hujan
Indak lakang dek paneh tidak lekang kena panas
Kok dicabuik indak nyo mati kalau dicabut tidak mati
Kok diasak indaknyo layua kalau digeser tidak layu

2. Adaik nan diadaikkan (adat yang di adatkan)

Adat ini adalah sebuah aturan yang telah disepakati dan diundangkan

dalam tatanan Adat Minangkabau dari zaman dulu melalui sebuah pengkajian

dan penelitian yang amat dalam dan sempurna oleh para nenek moyang orang

Minangkabau di zaman dulu, contohnya yang paling perinsip dalam adat ini

adalah adalah orang Minangkabau wajib memakai kekerabatan matrilineal yaitu

32
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mengambil pesukuan dari garis ibu dan nasab keturunan dari ayah, makanya ada

dunsanak (persaudaraan dari keluarga ibu) dan adanya bako (persaudaraan dari

keluarga ayah), memilih dan atau menetapkan Penghulu suku dan Ninik mamak

dari garis persaudaraan badunsanak berdasarkan dari ampek suku asal atau

empat suku asal, yaitu Koto, Piliang, Bodi, dan Caniago atau berdasarkan

pecahan suku nan ampek tersebut, menetapkan dan memelihara harta pusaka

tinggi yang tidak bisa diwariskan kepada siapa pun kecuali diambil manfaatnya

untuk anak kemenakan, seperti sawah, ladang, hutan, pandam pakuburan,

rumah gadang, dan lain-lain.

Adat yang diadatkan ini disusun berdasarkan adat yang sebenar adat

yang didukung oleh kesepakatan para pemuka adat pada zaman dulu. Pada

waktu itu pula ditetapkan bahwa susunan adat ini harus diterima oleh seluruh

anak kemenakan dan tidak boleh diubah. Kalaupun harus diubah, maka yang

berhak mengubahnya adalah pemuka adat yang menyusun dan menyepakati

pada pertama kali. dengan demikian, pada zaman sekarang ini adat yang

diadatkan harus diterima oleh generasi karena tidak mungkin untuk diubah lagi,

karena para pemuka adat yang menyusun dan yang berhak untuk mengubahnya

sudah tidak ada lagi, seperti yang tertulis pada pepatah berikut ini:

Adaik nan diadaikkan adat yang diadatkan


Kok dicabuik mati kalau dicabut mati
Kok diasak layua kalau digeser layu

Arti dari pepatah ini adalah jika ada pihak yang mencoba untuk

menghapus atau mengubahnya akan menimbulkan mudharat kepada orangnya.

33
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dan jika adat yang diadatkan ini dihapus atau diubah maka akan menghacurkan

adat Minangkabau.

Kedua adat di atas disebut adaik nan babuhua mati atau Adat yang

diikat mati dan inilah disebut dengan adat, adat yang sudah menjadi sebuah

ketetapan dan keputusan berdasarkan kajian dan musyawarah yang menjadi

kesepakatan bersama antara tokoh Agama, tokoh Adat dan cadiak pandai di

ranah Minang, adat ini tidak boleh diubah-ubah lagi oleh siapapun, sampai

kapanpun, sehingga ia disebut nan indak lakang dek paneh nan indak lapuak

dek hujan, dibubuik indaknyo layua dianjak indaknyo mati atau yang tidak

lekang kena panas dan tidak lapuk kena hujan, dipindah tidak layu dicabut tidak

mati.

Kedua adat ini juga sama di seluruh daerah dalam seluruh wilayah adat

Minangkabau tidak boleh ada perbedaan karena inilah yang mendasari adat

Minangkabau itu sendiri yang membuat keistimewaan dan perbedaannya dari

adat-adat lain yang ada di dunia.

3. Adaik nan Taradaik (adat yang teradat)

Adat ini adanya karena sudah teradat dari zaman dahulu. Adat ini adalah

ragam budaya di beberapa daerah di Minangkabau yang tidak sama masing

masing daerah, adat ini juga disebut dalam istilah adaik salingka nagari (adat

selingkar nagari). Adat ini mengatur tatanan hidup bermasyarakat dalam suatu

nagari dan interaksi antara satu suku dan suku lainnya dalam nagari itu yang

disesuaikan dengan kultur di daerah itu sendiri, namun tetap harus mengacu

kepada ajaran agama Islam. Dengan demikian adat yang teradat ini belum tentu

34
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sama pada nagari yang satu dengan nagari yang lainnya, seperti pada pepatah

berikut ini:

Adaik sapanjang jalan adat sepanjang jalan


Cupak sapanjang batuang cupak sepanjang bambu
Lain lubuak lain ikannyo lain lubuk lain ikannya
Lain padang lain bilalangnyo lain padang lain belalangnya
Lain nagari lain adaiknyo lain nagari lain adatnya

Adat ini merupakan kesepakatan bersama antara penguhulu ninik

mamak, alim ulama, cerdik pandai, bundo kanduang dan pemuda dalam suatu

nagari di Minangkabau, yang disesuaikan dengan perkembangan zaman yang

memakai etika-etika dasar adat Minangkabau namun tetap dilandasi dengan

ajaran Agama Islam.

4. Adaik Istiadaik (Adat istiadat)

Adat istiadat adalah kebiasaan yang berlaku di tengah komunitas

masyarakat umum atau setempat, seperti acara yang bersifat seremonial atau

tingkah laku pergaulan yang bila dilakukan akan dianggap baik dan bila tidak

dilakukan tidak apa-apa. Adat ini adalah merupakan ragam adat dalam

pelaksanaan silaturrahim, berkomunikasi, berintegrasi, bersosialisasi dalam

masyarakat suatu nagari di Minangkabau seperti acara pinang meminang, pesta

perkawinan dan lain-lain. Adat istiadat ini tidak sama dalam wilayah di

Minangkabau, disetiap daerah ada saja perbedaannya namun tetap harus

mengacu kepada ajaran Agama Islam.

35
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kedua adat yang terakhir ini disebut Adaik nan babuhua sintak atau adat

yang tidak diikat mati dan inilah yang disebut dengan istiadat, karena ia tidak

diikat mati maka ia boleh dirubah kapan saja diperlukan melalui kesepakatan

penghulu ninik mamak, alaim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan

pemuda yang disesuaikan dengan perkembangan zaman namun acuannya

adalah sepanjang tidak melanggar ajaran adat dan ajaran agama Islam, sehingga

disebut dalam pepatah adat maso batuka musim baganti, sakali aie gadang

sakali tapian baranjak.

2.1.2.2 Perkawinan Adat Minangkabau

Merujuk pada falsafah masyarakat Minangkabau antara adat dan agama

Islam di Minangkabau membawa konsekuensi tersendiri. Ajaran agama Islam

menjadi pedoman dasar dalam mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau

dalam berperilaku terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Manusia dalam perjalanan hidupnya melalui tingkat dan masa-masa

tertentu yang dapat disebut sebagai siklus kehidupan. Siklus kehidupan ini dapat

dibagi menjadi: masa anak-anak, masa remaja, masa perkawinan, dan masa usia

senja. Setiap peralihan dari satu masa ke masa lainnya merupakan masa kritis

dalam kehidupan manusia itu sendiri. Salah satu masa peralihan yang paling

penting dalam adat Minangkabau adalah saat memasuki masa perkawinan.

Dalam sebuah perkawinan masyarakat Minangkabau ajaran agama

Islam menjadi landasan utamanya. Perkawinan adalah sebuah perjanjian

perikatan antara seorang laki-laki dan perempuan, dalam hal ini perkawinan

merupakan perjanjian yang sakral untuk membentuk sebuah keluarga yang

36
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
rukun dan damai. Hal ini telah diisyaratkan dalam Al-Qur‟an dalam surat Ar-

Rum ayat 21, sebagai berikut:

Artinya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir [ QS. Ar Rum:
21]

Dengan demikian agama Islam memandang perkawinan sebagai hal

yang baik yang dilakukan oleh masyarakat, karena perkawinan

merupakan ikatan lahir dan batin yang sah menurut ajaran agama Islam.

Dalam melaksanakan perkawinan menurut ajaran agama Islam,

sebuah perkawinan akan dianggap sah apabila memenuhi rukun nikah.

Rukun nikah adalah hal-hal yang harus dipenuhi agar pernikahan yang

dilaksanakan menjadi sah. Adapun hal-hal yang harus dipenuhi dalam

rukun nikah ini adalah: adanya calon isteri, calon suami, wali nikah, dua

orang saksi dan sighat atau ijab kabul.

Pada masyarakat Minangkabau, masa perkawinan merupakan masa

awal bagi seseorang untuk melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok

keluarganya dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri yang

secara rohaniah tidak lepas dari pengaruh kelompok hidupnya semula. Dengan

37
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
demikian sebuah perkawinan dapat dikatakan sebagai proses awal dari

pemekaran sebuah kelompok.

Perkawinan memiliki fungsi sebagai berikut:

1. Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara seorang pria dengan

seorang wanita dipandang dari sudut adat, agama, dan hukum atau

undang-undang Negara.

2. Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami, isteri, dan

anak-anak.

3. Memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup dan status sosial

terutama untuk memperoleh ketentraman batin.

4. Memelihara kelangsungan hidup kekerabatan dan menghindari

kepunahan.

Ketentuan adat sejalan dengan ketentuan agama dalam mengatur hidup

dan kehidupan masyarakat Minangkabau tidak dapat diabaikan khususnya

dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua ketentuan tersebut harus dipelajari dan

dilaksanakan serasi, seiring, dan sejalan. Apabila terdapat ketimpangan ataupun

pelanggaran terhadap kedua ketentuan tersebut dalam perkawinan akan

membawa konsekuensi tersendiri secara berkelanjutan pada keturunan.

Masyarakat adat dan agama dapat memberikan sanksi sosial berupa pengucilan

dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu

masyarakat Minangkabau selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan

yang lazim di Minangkabau.

38
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Adapun syarat-syarat perkawinan masyarakat Minangkabau sesuai

dengan pernyataan Sukmasari (1983), yaitu:

1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam.

2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang

sama, kecuali apabila kesamaan suku berasal dari nagari yang berbeda.

3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang

tua dari kedua belah pihak.

4. Calon suami atau marapulai harus sudah mempunyai sumber

penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.

Menurut ahli antropologi pada abad ke-19, Wilken (dalam Amir,

2011:8) menyatakan bahwa manusia hidup dari keluarga batih yaitu keluarga

inti yang terdiri dari, ayah, ibu dan anak-anaknya yang menyadari bahwa

hubungan ibu dan anaknya adalah sebagai satu kelompok keluarga, sehingga

terjadilah adat eksogomi atau perkawinan dengan pihak luar. Hal tersebut untuk

menghindari terjadinya perkawinan dengan pihak dalam. Inilah yang

berkembang menjadi garis keturunan ibu yang disebut dengan matriarkat atau

matrilineal atau ibu yang berkuasa. Selanjutnya, menurut Amir (2011:9), sistem

kekerabatan matrilineal memiliki tiga unsur dominan yaitu: a) garis keturunan

menurut garis ibu, b) perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok

sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal, c) Ibu

memegang peranan sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan

kesejahteraan keluarga.

39
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sistem matrilokal bagi masyarakat Minangkabau bahwa marapulai

atau suami bermukim di daerah sekitar pusat kediaman kaum istri sehingga

suami tetap dianggap sebagai pendatang atau tamu terhormat. Oleh karena itu

suami dituntut untuk mampu bergaul dengan baik dengan keluarga istri.

Mengingat hal ini berdasarkan pada kemampuan suami untuk beradaptasi

dengan keluarga istri, posisinya cukup dramatis dan mudah untuk disingkirkan.

Pada dasarnya prosesi pernikahan adat Pariaman terdiri atas beberapa

tahapan. Secara garis besar dapat dilihat sebagai berikut: manyilau, maminang,

batimbang tando, akad nikah, manjapuik, baralek, dan manjalang.

1. Manyilau

Umumnya manyilau digagasi oleh kerabat pihak perempuan. Bila

seorang gadis dipandang telah tiba masanya untuk berumahtangga, mulailah

kerabatnya melihat-lihat atau mendengar jejaka yang sudah memasuki usia

dewasa dan siap untuk beristri dan kira-kira cocok dengan anak gadis mereka.

Manyilau merupakan penjajakan pertama sebagai permulaan dari rangkaian

tatacara pelaksanaan pernikahan. Sesuai dengan sistem kekerabatan di

Minangkabau, pihak keluarga wanita mendatangi pihak keluarga pria. Lazimnya

pihak keluarga yang datang membawa buah tangan berupa kue atau buah-

buahan sesuai dengan sopan santun budaya Timur. Pada awalnya beberapa

wanita yang berpengalaman diutus untuk mencari tahu apakah pemuda yang

dituju berminat untuk menikah dan cocok dengan si gadis. Prosesi bisa

berlangsung beberapa kali perundingan sampai tercapai sebuah kesepakatan dari

kedua belah pihak keluarga. Dalam hal perundingan ini juga dibahas salah

40
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
satunya yaitu mengenai uang jemputan yang harus disanggupi oleh pihak

keluarga calon anak daro.

2. Maminang

Keluarga calon mempelai wanita mendatangi keluarga calon mempelai

pria untuk meminang. Utusan diketuai oleh mamak si gadis. Namun, sebelum

acara pinangan resmi disampaikan, beberapa orang utusan telah pergi bolak-

balik ke rumah calon marapulai untuk merundingkan waktu dan cara pinangan

yang akan dilaksanakan nantinya. Mamak yang datang untuk meminang itu

ditemani oleh beberapa orang laki-laki dan perempuan. Sementara itu, pihak

yang menanti pinangan dalam hal ini pihak calon marapulai telah bersiap

melakukan pinangan dengan ditemani oleh mamak.

Kepastian hasil dalam meminang ini belum bisa diambil. Pihak laki-laki

harus merundingkannya kembali dengan semua kerabat. Beberapa hari

berikutnya pihak perempuan akan mengirimkan lagi utusan untuk menanyakan

kapan harinya pihak perempuan bisa diterima kembali untuk mendengar

keputusan. Pada hari yang telah disepakati sebelumnya, acara pinangan ini

pihak calon pengantin perempuan datang secara resmi ke rumah orang tua calon

marapulai lengkap dengan sirih dan pinang di dalam carano (wadah tempat

sirih). Membawa carano adalah persyaratan adat yang harus dilaksanakan

karena hal ini mengandung makna yang dalam menurut adat.

Acara maminang biasanya dilaksanakan pada malam hari. Mereka yang

datang diterima oleh para mamak dan urang tuo (orang tua yang paham adat)

dari pihak keluarga laki-laki. Acara maminang berlangsung dalam bentuk

41
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pasambahan atau pidato adat dalam rangka mengungkap ajaran adat yang

berkaitan dengan perkawinan.

3. Batimbang tando

Bila pinangan telah diterima, tahapan selanjutnya adalah menentukan

kapan waktunya pertunangan akan dilaksanakan. Hari pertunangan biasanya

disebut dengan batimbang tando, yaitu pertukaran tanda bahwa kedua belah

pihak telah berjanji untuk menjodohkan anak kemenakan mereka dan tidak

dapat diputuskan secara sepihak. Acara melibatkan orang tua dan mamak dari

kedua belah pihak. Rombongan keluarga calon mempelai wanita datang dengan

membawa sirih pinang lengkap disusun dalam carano. Menyuguhkan sirih

diawal pertemuan dengan harapan apabila ada kekurangan atau kejanggalan

tidak akan menjadi gunjingan. Sebaliknya, hal-hal yang manis dalam pertemuan

akan melekat dan diingat selamanya. Tata caranya diawali dengan juru bicara

keluarga wanita yang menyuguhkan sirih lengkap untuk dicicipi oleh keluarga

pihak laki-laki sebagai tanda persembahan. Juru bicara menyampaikan maksud

resmi. Jika diterima berlanjut dengan bertukar tanda ikatan masing-masing.

Selanjutnya berunding mengenai tata cara akad nikah dan penjemputan calon

marapulai.

4. Manjapuik marapulai

Manjapuik marapulai adalah salah satu acara adat yang penting dalam

seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat Minangkabau. Acara

manjapuik marapulai dilaksanakan setelah akad nikah, artinya marapulai

42
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
setelah melangsungkan akad nikah tidaklah langsung menetap di rumah istri

melainkan pulang ke rumah orangtuanya dan akan mendatangi rumah istri

setelah diadakan acara bajapuik. Acara manjapuik marapulai adakalanya

dilakukan pada malam hari dan adakalanya pada siang hari yakni sebelum acara

baralek. Tidak ada aturan khusus yang mengatur kapan sebaiknya waktu

penjemputan akan dilakukan, melainkan hal ini tergantung dari kesepakatan

anatara kedua belah pihak.

5. Baralek

Baralek merupakan acara puncak dari keseluruhan rangkaian upacara

perkawinan. Baralek ini boleh dilaksanakan boleh juga tidak, karena dengan

adanya batimbang tando, secara adat sudah diakui dan secara agama sudah

selesaikan dengan akad nikah. Namun demikian pada umumnya, baralek tetap

dilaksanakan walaupun dengan sederhana. Baralek dianggap sebagai

pemberitahuan secara resmi kepada masyarakat. Dimana masyarakat diundang

untuk menghadiri alek tersebut. Masyarakat akan dijamu dengan makanan dan

minuman serta dihibur dengan adanya musik tradisional maupun modern.

Marapulai dan anak daro disandingkan atau didudukkan di pelaminan yang

telah dihias dengan sedemikian rupa.

6. Manjalang

Manjalang atau Menjelang artinya berkunjung. Manjalang dilakukan

setelah baralek di rumah anak daro. Acara manjalang dilaksanakan secara

43
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bervariasi, ada yang dilaksanakan disore hari setelah baralek, ada yang sehari

dan dua hari setelah baralek, semua tergantung dari kesepakatan sebelumnya.

Manjalang ini dilakukan anak daro dan marapulai beserta

rombongannya lengkap dengan membawa makanan. Pihak keluarga marapulai

telah menanti di rumah. Diwaktu pamit kembali ke rumahnya, anak daro akan

menerima berbagai hadiah dari keluarga pihak suaminya, berupa perhiasan,

pakaian, dan sebagainya. Setelah acara pemberian hadiah selesai maka anak

daro kembali ke rumahnya beserta rombongannya.

2.1.2.3 Upacara Manjapuik Marapulai Adat Perkawinan Minangkabau di

Pariaman

Upacara manjapuik marapulai merupakan salah satu dari rangkaian

acara perkawinan yang harus dilalui masyarakat Pariaman selain manyilau,

maminang, batimbang tando, akad nikah, manjapuik, baralek, dan manjalang.

Tradisi manjapuik marapulai adat Minangkabau dari masa ke masa mengalami

transformasi perubahan sesuai dengan zaman. Kehidupan sebuah tradisi pada

dasarnya berada pada proses transformasi itu. Dalam hal ini kemampuan

penyesuaian tradisi budaya atau tradisi lisan dengan konteks modernisasi

merupakan kedinamisan dari sebuah tradisi.

Tradisi manjapuik marapulai adat Minangkabau pada upacara

perkawinan adat Pariaman menggunakan unsur-unsur kelisanan. Proses

kelisanan tercermin dalam aturan-aturan komposisi lisan yang bertahan teguh

dalam berbagai komposisi tertulis sepanjang zaman. Dalam lingkungan lisan

diperlukan pengekalan satuan-satuan rima, dan irama yang ditandai dalam

44
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ungkapan, peribahasa atau pepatah petitih sehingga warisan lisan itu tetap hidup

dalam ingatan masyarakat Minangkabau.

Manjapuik marapulai ini dilakukan oleh keluarga dari pihak istri yaitu

urang sumando dengan membawa bingkisan adat sebagai penjemput marapulai.

Bingkisan adat yang dibawa untuk menjemput marapulai umumnya berbeda

setiap nagari. Untuk daerah Pariaman bingkisan yang dibawa adalah: sirih

dalam carano, pakaian pengantin lengkap dari kepala sampai kaki, serta

makanan. Sementara itu, di rumah marapulai dilakukan persiapan untuk

menanti utusan yang akan menjemput marapulai.

Setibanya utusan pihak istri ke rumah marapulai terjadilah dialog atau

alur pasambahan mengenai maksud kedatangan mereka. Akan tetapi, pihak

marapulai belum memperpanjang pembicaraan ke tahap selanjutnya sebelum

tamu menyantap hidangan yang telah disajikan. Hal ini sesuai dengan pepatah

Minangkabau yaitu barundiang salapeh makan artinya berunding setelah

makan. Maka hidanganpun disajikan di tengah-tengah acara.

Selepas menyantap hidangan, secara resmi pihak utusan anak daro

menyampaikan maksudnya dengan pasambahan (pidato) yang disampaikan

melalui kiasan-kiasan. Pasambahan ini dilaksanakan secara bertahap. Diawali

dengan pasambahan mengenai menyatakan diri mereka sebagai utusan yang

membawa kiriman dan meminta agar kiriman itu diterima. Selanjutnya

pasambahan mengenai maksud kedatangan utusan itu sebenarnya.

Acara manjapuik marapulai ini sebenarnya memerlukan waktu yang

panjang karena pasambahan dilakukan secara sahut menyahut yang

45
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
disampaikan dari kedua belah pihak. Dalam hal ini, kedua belah pihak harus

menunjukkan bahwa pihak yang diwakilinya adalah bukan sembarang orang

tetapi yang mempunyai dan menyandang adat tinggi yang ditunjukkan melalui

pasambahan yang bermutu tinggi. Inti dari pasambahan itu adalah maksud

kedatangan utusan adalah untuk manjapuik marapulai agar dapat dibawa ke

rumah anak daro untuk disandingkan di pelaminan.

2.1.2.4 Pasambahan

Pasambahan dalam adat masyarakat Minangkabau sering juga disebut

sebagai pidato adat dalam bahasa Indonesia. Pasambahan merupakan

pernyataan hormat dan khidmat terhadap orang yang patut dihormati dan di

muliakan. Pasambahan ini umum terjadi di setiap acara masyarakat, seperti

upacara kematian, upacara pengangkatan atau pengukuhan penghulu, upacara

pemberian gelar, dan upacara perkawinan. Di dalam pasambahan digunakan

bahasa yang halus dan berkualitas tinggi yang syarat akan perumpamaan dan

nilai-nilai budaya. Pasambahan sebagai salah satu sastra lisan di Minangkabau,

kekhasan dan keindahannya akan tercermin pada pilihan kata, pengulangan

bunyi, ungkapan-ungkapan, kiasan-kiasan, dan peribahasa yang sering

diselipkan dalam melakukan pasambahan tersebut. Djamaris (2002:51)

menyatakan bahwa pasambahan atau pidato adat adalah pidato yang

dipergunakan dalam upacara adat yang tersusun, teratur dan berirama, serta

dikaitkan dengan tambo dan asal usul dengan menyatakan maksud, rasa hormat,

tanda kebesaran, dan tanda kemuliaan.

46
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pasambahan manjapuik marapulai adalah pidato adat yang disampaikan

dalam upacara perkawinan yaitu pada saat keluarga pengantin wanita

mendatangi keluarga pengantin laki-laki untuk menjemputnya dengan maksud

meminta izin kepada keluarga pengantin laki-laki agar pengantin tersebut

diizinkan tinggal di rumah keluarga pengantin perempuan. Pada situasi tersebut

terjadi dialog yang panjang antara juru bicara kedua belah pihak yang saling

bersahutan.

Selanjutnya, Djamaris (2002: 51) menyatakan struktur pasambahan

terdiri atas:

1. Struktur pasambahan si pangka (tuan rumah) terdiri atas:

pembukaan kata, pernyataan sembah, penyampaian maksud,

mengakhiri sembah, penegasan, dan penangguhan sementara.

2. Struktur pasambahan si alek (tamu) terdiri atas: pembukaan kata,

pernyataan sembah, penyampaian maksud, penegasan, jawaban

persembahan dan mengakhiri sembah, dan penyesuaian.

Pasambahan sebagai ciri masyarakat Minangkabau mencerminkan nilai

yang dijadikan sebagai panutan bagi kehidupan masyarakat yang dikenal

sebagai nilai budaya Minangkabau. Menurut Djamaris (2002: 64) nilai yang

menonjol dalam pasambahan, adalah sebagai berikut; (1) nilai kerendahan hati.

Ini terlihat dari awal pasambahan. Juru sambah tuan rumah menyapa tamu satu

persatu dengan menyebut gelar adatnya. Hal ini ditandai sebagai semua tamu

dihargai tuan rumah, (2) nilai musyawarah. Musyawarah digunakan untuk

47
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
memutuskan juru sambah yang akan menjadi juru bicara serta jawaban yang

akan disampaikan oleh juru sambah, (3) nilai ketelitian dan kecermatan. Dalam

hal ini, seorang juru sambah harus teliti dan cermat dalam mendengarkan yang

disampaikan oleh juru sambah lawan bicaranya, (4) nilai ketaatan dan

kepatuhan terhadap adat yang berlaku. Dalam pasambahan segala sesuatu yang

dilakukan harus sesuai dengan adat yang berlaku. Salah satu pokok permintaan

dapat disetujui apabila permintaan tersebut sesuai dengan adat yang berlaku.

2.1.3 Makna dan Fungsi

Makna dan fungsi memiliki tempatnya sendiri di dalam sebuah tradisi.

Dalam sebuah tradisi terkandung makna-makna yang dapat dimengerti secara

langsung maupun makna yang berupa simbolis yang memerlukan kesadaran

manusia untuk menafsirkannya, dan untuk mengetahui makna yang terdapat

dalam sebuah tradisi tersebut maka diperlukan analisis terhadap tanda yang

terdapat di dalamnya. Geertz (1992: 5) meyakini bahwa kebudayaan terdiri atas

simbol-simbol pembawa makna dan untuk menganalisisnya diperlukan semiotik

sebagai ilmu yang bersifat interpretatif.

Semiotik merupakan suatu kajian yang mengkaji tentang bagaimana

sebuah tanda-tanda memperesentasikan ide, keadaan, situasi, perasaan dan

kondisi diluar tanda itu sendiri. Semiotik juga bertujuan untuk mengetahui

makna yang terkandung dalam sebuah tanda ataupun dapat menafsirkan makna

tersebut sehingga diketahui bagaimana seorang komunikator mengkontruksi

pesan yang disampaikan.

48
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Konsep pemaknaan ini tidak terlepas dari nilai-nilai ideologis tertentu

serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat dimana simbol

tersebut diciptakan. Hal ini sejalan dengan teori segitiga makna atau triangle

meaning yang dikemukan oleh Pierce yang terdiri dari tiga elemen utama, yaitu:

sign, object dan interpretant. Sign atau tanda adalah suatu pesan yang menurut

fisik dapat ditangkap oleh panca indera, yang muncul dari kesepakatan dan

sebab akibat dari sebuah objek yang menjadi rujukan dari tanda tersebut.

sementara itu, interpretant atau pengguna tanda adalah konsep yang konsep

pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya kesuatu

makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah

tanda.

Sementara itu dalam mengkaji fungsi sebuah tradisi prinsip fungsional

yang dikembangkan oleh Teori fungsionalisme Malinowski (dalam Endraswara,

2008:124-125) menyatakan bahwa budaya itu berfungsi apabila dikaitkan

dengan kebutuhan dasar manusia. Malinowski juga beranggapan bahwa fungsi

dari unsur-unsur kebudayaan digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan

naluri manusia serta kebutuhan dari budaya itu sendiri. Kebutuhan akan naluri

manusia adalah seperti kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari, seperti: makan,

minum, kebutuhan akan hiburan dan lain sebagainya.

Berkaitan dengan makna dan fungsi yang telah dijelaskan sebelumnya

apabila dikaitkan dengan tradisi manjapuik maparulai dapat di tafsirkan bahwa

makna yang terdiri atas sign, objek dan interperetant dapat terlihat dari

beberapa persyaratan yang lazim dipenuhi oleh anak daro adalah dengan

49
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pemberian uang japuik. Uang japuik ini lah yang menjadi syarat utama dalam

melaksanakan sebuah acara penjemputan marapulai atau dikenal dengan istilah

manjapuik marapulai. Sementara itu tradisi manjapuik marapulai memiliki

fungsi yang penting dalam kehidupan sosial masyarakat sehingga fungsi-fungsi

tersebut dapat bertahan dalam kehidupan sosial masyarakat.

2.1.4 Nilai dan Norma

Nilai merupakan sesuatu yang berguna dan baik yang dicita-citakan dan

dianggap penting oleh setiap masyarakat. Sesuatu yang dikatakan dengan

memiliki sebuah nilai, apabila sesuatu tersebut mempunyai kegunaan,

kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Nilai merupakan suatu hal yang dianggap

baik atau buruk bagi kehidupan. Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, namun

sesuatu tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat.

Pandangan bahwa nilai subjektif sifatnya antara lain dianut oleh Bertens

(1993:140-141), yang menyatakan bahwa nilai berperanan dalam suasana

apresiasi atau penilaian dan akibatnya suatu objek akan dinilai secara berbeda

oleh berbagai orang. Adapun jenis-jenis nilai adalah sebagai berikut: nilai

budaya, nilai moral, nilai agama, nilai politik, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai

sosial, nilai sosial, nilai solidaritas dan lain sebagainya.

Norma dalam masyarakat merupakan perwujudan nilai, ukuran baik atau

buruk yang dipakai sebagai pengarah, pedoman, pendorong perbuatan manusia

di dalam kehidupan bersama. Norma dalam sebuah tradisi umumnya merupakan

sebuah kesepakatan yang mengatur sesuatu itu baik atau tidak untuk dilakukan.

Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Peursen (1988:44) bahwa

50
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
norma merupakan perwujudan aktif dari nilai. Kata norma berasal dari bahasa

belanda yaitu norm yang berarti patokan, atau pedoman, atau pokok kaidah.

Widjaja (1985: 168) menyatakan bahwa norma adalah petunjuk tingkah laku

yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari

berdasarkan alas an dan motivasi tertentu dengan disertai sanksi. Sanksi adalah

ancaman atau akibat yang akan diterima apabila norma tidak dilakukan.

Sehingga dapat disimpulkan pengertian norma adalah kaidah yang menjadi

sebuah petunjuk, pedoman bagi seseorang dalam melakukan sebuah tindakan

atau tidak melakukan sebuah tindakan, serta bertingkah laku dalam kehidupan

di lingkungan masyarakat, seperti: norma kesopanan, norma hukum, serta

norma agama.

Norma merupakan wujud nyata dari beberapa nilai-nilai sosial yang

berada dikehidupan bermasyarakat yang berbudaya, yang memiliki seperangkat

aturan, serta berbagai kaidah, baik itu secara tertulis maupun tidak. Norma-

norma tersebut berfungsi sebagai pengatur kehidupan setiap manusia dalam

kehidupan bermasyarakat. Norma merupakan alat agar dapat mengatur orang-

orang agar melakukan perbuatan yang diletakkan atas dasar keyakinan serta

pada beberapa sikap tertentu. Norma ada kaitannya dengan kerjasama yang

terjadi dalam sebuah kelompok atau untuk mengatur setiap perbuatan pada

masing-masing anggotanya agar dapat mencapai dan menjunjung nilai-nilai

yang telah diyakini secara bersama-sama.

51
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.1.5 Kajian Teori

2.1.5.1 Analisis Wacana Kritis

Istilah analisis wacana merupakan istilah umum yang dipakai dalam

banyak disiplin ilmu dengan berbagai pengertian, meskipun pada dasarnya

analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian

bahasa. Wacana merupakan kesatuan makna antar bagian di dalam suatu

bangun bahasa. Dengan kesatuan makna, wacana dapat dilihat sebagai suatu

bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu

berhubungan secara padu.

Van Dijk (1987) menyatakan bahwa sebuah wacana dapat dikaji secara

kritis. Analisis yang dimaksud adalah analisis yang berkaitan dengan aspek-

aspek yang mempengaruhi wacana secara lebih dalam dan menyeluruh, baik

secara struktur maupun maknanya. Selanjutnya Van Dijk menjelaskan struktur

sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dapat

mempengaruhi sebuah teks.

Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan

pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi

yang harus juga diamati. Di sini harus dilihat juga bagaimana suatu teks

diproduksi. Proses produksi itu melibatkan suatu proses yang disebut sebagai

kognisi sosial. Teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktik

wacana. Di sini ada dua bagian, yaitu teks yang mikro yang merepresentasikan

suatu topik permasalahan dalam berita, dan elemen besar berupa struktur sosial.

52
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Van Dijk membuat suatu jembatan yang menghubungkan elemen besar berupa

struktur sosial tersebut dengan elemen wacana yang mikro dengan sebuah

dimensi yang dinamakan kognisi sosial.

Dalam buku Aims of Critical Discourse Analysis (1987), Van Dijk

memberikan pengertian analisis wacana sebagai:

“Critical discourse analysis has become the general label for a


study of text and talk, emerging from critical linguistics, critical
semiotics, and in general from socio-politically conscious and
oppositional way of investigating langusge, discourse, and
communication. And in the case of many fields, approaches, and
subdiciplines in languages and discourse studies, however, it is
not easy precisely delimit the special prinsciples, practices, aims,
theories of CDA.”

Dalam analisis wacana model Van Dijk melihat bagaimana struktur

sosial, dominasi dan kelompok kekuasan yang ada dalam masyarakat dan

bagaimana kognisi atau pikiran serta kesadaran dapat membentuk dan

berpengaruh terhadap teks tertentu. Wacana model Van Dijk digambarkan

memiliki tiga dimensi pokok, yaitu teks, kognisi sosial dan konteks sosial.

Dengan menggabungkan ketiga dimensi ini maka dapat diperoleh satu kesatuan

analisis.

Wacana digambarkan oleh Van Dijk sebagai sesuatu yang memiliki tiga

dimensi. Ketiga dimensi tersebut adalah teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.

Pada hakikatnya, analisis model Van Dijk ini adalah dengan menggabungkan ke

tiga dimensi wacana menjadi satu kesatuan analisis. Teks ditelaah secara aspek

53
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
strukturnya dan strategi wacana dipakai adalah untuk menyajikan tema. Kognisi

sosial ditelaah melalui proses produksi teks yang melibatkan kognisi individu.

Berkaitan dengan struktur wacana, Van Dijk (1985) membaginya

menjadi tiga bagian, yaitu struktur makro, struktur alur dan struktur mikro.

1. Struktur makro adalah tema global yang terdapat pada sebuah teks yang

dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat. Struktur makro ini

memberikan informasi penting dan memiliki peran yang penting pula

dalam membangun sebuah kesadaran sosial. Topik direpresentasikan ke

dalam suatu atau beberapa kalimat yang merupakan gagasan utama/ide

pokok wacana. Topik juga dikatakan sebagai “semantic

macrostructure”. Makrostruktur dikatakan sebagai semantik karena

topik atau tema yang terdapat pada sebuah teks akan berhadapan dengan

makna dan referensi.

2. Struktur alur adalah kerangka sebuah sebuah teks. Pada struktur alur ini

van Dijk menggambarkannya sebagai sebuah kesatuan yang koheren dan

padu. Artinya, apa yang diungkap dalam struktur alur yang pertama akan

diikuti dan didukung oleh bagian-bagian lain dalam sebuah wacana.

Struktur alur mengorganisasikan topik dengan cara menyusun kalimat

atau unit-unitnya berdasarkan urutan. Teks atau wacana umumnya

mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur

tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan

diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti.

54
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Struktur mikro adalah struktur pemaknaan wacana yang dapat diamati

dengan menganalisis kata, frasa, kalimat, proposisi, paragraph dan

makna sebuah wacana.

Meskipun terdiri atas berbagai elemen, semua elemen tersebut

merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama

lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks dan

baru kemudian pilihan kata dan kalimat yang dipakai.

2.1.5.2 Semiotik

Perkembangan pola pikir manusia merupakan suatu bentuk

perkembangan yang mendasari terbentuknya sebuah pemahaman yang merujuk

pada terbentuknya sebuah makna. Secara umum, semiotik merupakan ilmu yang

mengkaji bagaimana tanda-tanda dapat merepresentasikan benda, ide, keadaan,

situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri.

Bagi Charles Sanders Pierce (1982) prinsip mendasar sifat tanda adalah sifat

representatif atau interpretatif. Sifat representatif tanda memiliki arti bahwa

tanda merupakan sesuatu yang lain, sedangkan sifat interpretatif berarti bahwa

tanda tersebut memberikan peluang bagi interpretasi bergantung pada pemakai

dan penerimanya.

Semiotika memiliki tiga kategori kajian, yaitu:

a. Tanda itu sendiri, kajian tentang beberapa tanda yang berbeda, cara-cara

tanda yang berbeda tersebut dalam menyampaikan makna dan cara tanda

terkait dengan manusia yang menggunakannya.

55
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
b. Sistem atau kode, kajian yang mencakup cara berbagai kode yang

dikembangkan guna memenuhi kebutuhan masyarakat atau budaya

c. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja bergantung pada

penggunaan kode dan tanda.

Teori Semiotika yang dikemukan oleh Charles Sanders Pierce disebut

sebagai Ground Theory, hal ini disebabkan karena ide dan gagasannya yang

bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua penandaan. Teori semiotik

yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikembangkan oleh

Charles Sanders Pierce (1982). Pierce merumuskan teori segitiga makna yang

dikenal dengan triadic yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni:

1. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh

panca indera dan merupakan sesuatu yang merujuk atau

merepresentasikan hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut

Pierce terdiri dari simbol atau tanda yang muncul dari kesepakatan, ikon

atau tanda yang muncul dari perwakilan fisik, dan indeks atau tanda

yang muncul dari hubungan sebab akibat.

2. Objek atau acuan adalah merupakan konteks sosial yang menjadi

referensi dari sebuah tanda atau sesuatu yang dirujuk oleh tanda.

3. Interpretant atau pengguna tanda konsep pemikiran dari orang yang

menggunakan tanda dan menurunkannya kesuatu makna tertentu atau

makna yang ada dalam fikiran seseorang tentang objek yang dirujuk

oleh sebuah tanda.

56
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.1.5.3 Fungsi

Teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh Malinowski (1987)

menyatakan bahwa budaya itu berfungsi apabila dikaitkan dengan kebutuhan

dasar manusia. Malinowski juga beranggapan bahwa fungsi dari unsur-unsur

kebudayaan digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan naluri manusia

serta kebutuhan terhadap budaya itu sendiri. Kebutuhan akan naluri manusia

seperti kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari, seperti: makan, minum,

kebutuhan akan hiburan dan lain sebagainya.

Malinowski (1987) berpendapat bahwa pada dasarnya kebutuhan setiap

manusia itu sama, baik itu kebutuhan yang bersifat biologis maupun yang

bersifat psikologis dan kebudayaan pada dasarnya adalah untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kondisi pemenuhan kebutuhan tidak terlepas

dari sebuah proses ke arah kontruksi nilai-nilai yang terdapat dan telah

disepakati bersama dalam sebuah komunitas masyarakat dan dari nilai-nilai

tersebut pada akhirnya akan bermuara pada pembentukan tindakan yang

terlembagakan dan dapat dimaknai sendiri oleh masyarakat tersebut yang pada

akhirnya akan memunculkan sebuah tradisi.

Kebutuhan semua masyarakat merupakan kepentingan para anggota

masyarakatnya. Kebutuhan dasar inilah yang menuntut standarisasi tertentu dari

sebuah perilaku yang ada dalam suatu komunitas masyarakat, oleh karena itu

kebudayaan berperan untuk membentuk cara berfikir, bertindak, dan merasakan

yang mana semua itu diperoleh melalui pengalaman dan proses belajar.

57
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Selanjutnya Malinowski membagi konsep fungsi dalam melihat

kebudayaan, yaitu:

1. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan

akan pangan dan prokreasi,

2. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti

kebutuhan akan hukum dan pendidikan,

3. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama

dan kesenian.

Dalam konsep fungsionalisme yang dikemukakan oleh Malinowski

dijelaskan beberapa unsur kebutuhan pokok manusia yang terlembagakan dalam

kebudayaan dan berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok

manusia, seperti: kebutuhan akan gizi (nutrition), berkembang biak

(reproduction), kenyamanan (body comfort), keamanan (safety), rekreasi

(relaxation), pergerakan (movement), dan pertumbuhan (growth).

2.1.6 Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta

berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh

masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan

kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai

kebijakan setempat atau local wisdom atau pengetahuan setempat local

knowledge atau kecerdasan setempat local genious.

58
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kearifan (wisdom) dan lokal adalah dua kata yang sebenarnya memiliki

arti sendiri-sendiri. Kearifan adalah sebuah kata sifat yang melekat pada

karakter diri seseorang, yang memiliki arti sebagai pribadi yang arif dan

bijaksana. Sedangkan lokal adalah kondisi sebuah tempat atau sebuah daerah.

Kearifan lokal maknanya sangatlah luas, karena menyangkut hal-hal yang

berkaitan dengan tata nilai, kebiasaan, tradisi, budaya maupun agama, yang

menjadi aturan dan kesepakatan komunitas (lokalitas) yang harus dilaksanakan.

Oleh sebab itu, kearifan lokal bisa juga dimaknai sebagai gagasan-gagasan

setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, memiliki nilai baik dan

tertanam serta diikuti oleh setiap anggota masyarakatnya.

Sibarani (2012: 112-113) menyatakan bahwa kearifan lokal dapat

digolongkan menjadi dua pengertian, yaitu yang pertama, “kearifan lokal adalah

kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai-

nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat.”

Pada pengertian yang pertama ini dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal lebih

menekankan pada kebijaksanaan atau kearifan untuk menata kehidupan sosial

yang berasaskan pada nilai budaya yang luhur. Pengertian yang kedua,

“kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk

mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif maupun bijaksana.”

Pengertian yang kedua ini dapat diartikan bahwa kearifan lokal dipandang

sebagai nilai budaya yang digunakan untuk kehidupan sosial masyarakat.

Definisi kearifan lokal dapat diartikan sebagai nilai-nilai budaya yang

baik dalam suatu komunitas masyarakat. Untuk mengetahui suatu kearifan lokal

59
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang terdapat pada suatu wilayah maka kita harus memahami nilai-nilai budaya

yang baik yang terdapat pada daerah tersebut yang dilakukan secara turun

temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya gotong royong dan

saling menghormati adalah contoh kecil dari sebuah kearifan lokal. Kearifan

lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang

terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa petatah-petitih,

semboyan hidup, dan tradisi lisan manjapuik marapulai pada upacara

perkawinan adat Pariaman, sehingga pada tradisi lisan tersebut mengandung

unsur-unsur kearifan lokal.

Menghargai nilai-nilai kearifan lokal sesungguhnya merupakan suatu

upaya yang terstruktur dalam mengoptimalkan atau memaksimalkan cultural

identity, yaitu suatu identitas atau kepribadian budaya bangsa yang

menyebabkan sebuah bangsa mampu untuk menyerap dan mengolah

kebudayaan daerah sesuai dengan watak dan identitas budaya setempat yang

telah berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Kearifan lokal selalu dijadikan pedoman atau acuan oleh masyarakat

dalam bertindak atau berperilaku dalam praksis kehidupannya. Setiap

masyarakat diharapkan mampu untuk mengembangkan kearifan lokal sesuai

dengan kondisi lingkungan sosialnya maupun lingkungan alamnya serta sistem

pengetahuan adat istiadat yang dimilikinya. Kearifan lokal (local wisdom)

merupakan bagian dari sistem budaya yang biasanya yang mengatur hubungan

sosial kemasyarakatan.

60
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.1.7 Revitalisasi Tradisi Lisan Manjapuik marapulai pada Upacara
Perkawinan Adat Pariaman

Pergeseran tradisi lisan upacara perkawinan terjadi bila suatu komunitas

secara kolektif meninggalkan kebiasaan-kebiasan tradisi yang sebelumnya telah

berlangsung dari satu generasi dengan generasi lain. Tradisi yang mulai

ditinggalkan komunitasnya dalam kehidupan sehari-hari perlu dilakukan

tindakan dan upaya pencegahan agar tradisi lisan yang selama ini berlangsung

di masyarakat guyub tutur dalam bentuk merevitalisasi tradisi lisan tersebut.

Pentingnya merevitalisasi tradisi lisan sebagai upaya pentransmisian dari

satu generasi ke generasi lainnya dalam bentuk revitalisasi secara

berkesinambungan. Untuk mempertahankan kesinambungan tersebut peneliti

tradisi lisan perlu membuat model revitalisasi untuk menghidupkan kembali

tradisi tersebut serta memfungsikan nilai dan norma budaya dalam komunitas

tersebut Sibarani (2012: 292).

Sejalan dengan pendapat di atas revitalisasi tradisi lisan pada upacara

perkawinan Minangkabau dikonseptualisasikan telah terjadi pergeseran tradisi

lisan tersebut dalam kehidupan masyarakat. Maka, sebagai upaya revitalisasi

perlu dilakukan proses pemeliharaan tradisi lisan pada upacara perkawinan

Minangkabau sehingga tidak terjadi kehilangan tradisi lisan.

Romaine (1995:40) menyatakan bahwa perlunya dilakukan sebuah

revitalisasi adalah karena ada 10 faktor penyebabnya, seperti:

1. Kekuatan secara kuantitatif antara kelompok mayoritas dengan

kelompok minoritas;

2. Kelas sosial;

61
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Latar belakang agama dan pendidikan;

4. Pola perkampungan/ kemasyarakatan;

5. Kesetiaan terhadap tanah air atau tanah kelahiran;

6. Derajat kesamaan antara bahasa mayoritas dan bahasa minoritas;

7. Luas perkawinan campuran;

8. Sikap mayoritas dan minoritas;

9. Kebijakan pemerintah terhadap pengawasan bahasa dan pendidikan

bahasa;

10. Pola-pola penggunaan bahasa.

Faktor-faktor yang memenentukan vitalitas budaya dan adat mengalami

kepunahan, sebagai indikator keterancaman dalam proses revitalisasi menurut

Grenoble dan Whaley (2006:18) yang diadaptasi dari Whaley (2003), Kinkade

(1991), dan Wurm (1998) kategori keterancaman adalah:

1) Aman, suatu tradisi dianggap aman ketika generasi masih menggunakan

tradisi dalam kehidupan sehari-hari,

2) Beresiko, apabila suatu tradisi digunakan oleh orang yang jumlahnya

terbatas di wilayah yang sama,

3) Hilang, adat dan budaya yang pemakaiannya semakin menurun jumlah

guyub tutur, sehingga proses regenerasi komunitas pemakai adat dan

tradisi dari satu generasi ke generasi berikutnya semakin berkurang

bahkan hilang,

62
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4) Sekarat, dikatakan hampir mati apabila pengguna adat semakin

menurun jumlah penutur tradisi lisan, sehingga tidak lagi di turunkan ke

generasi berikutnya,

5) Hampir punah, bila pengguna guyub tutur hanya sebagian kecil yang

menggunakan, dan

6) Punah, bila suatu adat dan budaya, yang tidak lagi memiliki penutur

asli maka, adat dan budaya tersebut akan punah.

2.1.8 Kajian yang Relevan

Penelitian yang mengkaji tentang tradisi manjapuik marapulai

sebenarnya telah ada yang melakukannya namun, penelitian tersebut

berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan. Pada penelitian ini

penulis menggunakan pendekatan analisis teori Van Dijk (1985) untuk

melihat tradisi tersebut dari sudut pandang kajian tradisi lisan.

Pada sub-bab kajian yang relevan ini, penulis menemukan

beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan judul penelitian

penulis, diantaranya: (1) Penelitian yang berjudul Bundo Kanduang nan

Gadang Basa Batuah: Kajian talempong Bundo dalam Upacara Maanta

Padi Saratuih di Nagari Singkarak, Minangkabau oleh Wilma Sriwulan

(2014). penelitian mengkaji tentang upacara persembahan hasil panen

yang dilakukan oleh induak bako dan perempuan-perempuan bako

(saudara perempuan ayah) dalam rangkaian tradisi perkawinan anak

pisangnya (anak saudara laki-laki dari seorang perempuan). Dalam

acara ini induk bako menjemput anak pisang dengan membawanya ke

63
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
rumah bako dan kemudian mengantarkan kembali dengan arak-arakan

maanta padi saratuih dengan menggunakan talempong bundo yang

masih dijunjung tinggi oleh masyarakat sekitar. Relevansi penelitian

yang dikaji oleh Wilma dalam penelitian ini adalah sebagai informasi

yang berkaitan dengan wujud nyata seorang perempuan dalam acara

adat, salah sati diantaranya adalah tentang perkawinan.

Penelitian lain yang mengkaji tentang budaya Minangkabau

adalah penelitian yang dilakukan oleh Isman (2014) dengan judul

Tradisi Batagak Panghulu di Minangkabau. Penelitian ini memaparkan

dan menganalisis performansi acara batagak pangulu di Minangkabau

serta menemukan unsur-unsur yang terdapat pada tradisi tersebut

diantaranya, teks, ko-teks dan konteks serta menemukan nilai-nilai dan

norma-norma yang terdapat pada tradisi tersebut. Dalam hal ini

peneliti juga membuat model revitalisasi tradisi batagak pangulu yang

dilakukan melalalui musyawarah dan gotong royong yang dilakukan

secara bersama-sama. Penelitian Isman memberikan kontribusi

terhadap penelitian ini dalam kajian teori dan metode penelitian. Secara

teoritis penelitian ini menggunakan beberapa teori diantaranya

Performansi, dan secara metodologi menggunakan metode kualitatif.

Selanjutnya Kajian penelitian “Komunikasi Simbolik dalam Upacara

Pernikahan Manjapuik marapulai yang ditulis oleh Lubis (2017). Penilitian ini

mendeskripsikan simbol-simbol bahasa kiasan yang digunakan dalam upacara

pernikahan manjapuik marapulai di Kabupaten Tanah Datar. Ada bebepara hal

64
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang menarik dalam penelitian ini, yaitu simbol yang terdapat dalam bahasa

kiasan, makna yang terdapat dalam bahasa kiasan, makna yang mengandung

nilai agama, dan makna yang mengandung ideologi.

Kajian penelitian tentang “Perempuan dan Modernitas: Perubahan Adat

Perkawinan Minangkabau pada Abad ke 20” yang ditulis oleh Selvi Mahat Putri

(2015). Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh modernisasi terhadap

perempuan Minangkabau dalah hal perkawinan. Pada penelitian ini dikaji dua

poin penting, yang pertama: mengenai perempuan minangkabau yang

memandang modernisasi dapat merubah situasi khususnya dalam hal

perkawinan, artinya perempuan memiliki andil dalam perubahan yang terjadi

tersebut. Yang kedua, kemajuan era telah membuat perempuan memiliki posisi,

peran, dan kedudukan yang penting dalam hal perkawinan.

Selain disertasi dan tesis, penulis juga mengambil beberapa referensi

lainnya dari jurnal yang berkaitan dengan penelitian penulis, diantaranya: Jurnal

yang berjudul Konstruksi Makna bajapuik pada Pernikahan bagi Perempuan

Pariaman di Kecamatan Pasir Penyu yang ditulis oleh Bunga Moeleca. Pada

jurnal ini penulis mengkaji mengenai motif perempuan Pariaman menggunakan

adat bajapuik, pengetahuan dan pengalaman mereka, serta nilai yang

terkandung dalam tradisi pernikahan bagi perempuan Pariaman.

Selanjutnya Jurnal “Tindak Tutur Direktif dalam Pidato Pasambahan

Adat dalam Upacara Adat Manjapuik marapulai Kabupaten Solok Sumatera

Barat. Jurnal ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang tindak tutur direktif

yang terdapat dalam pasamabahan manjapuik marapulai. Hasil penelitian ini

65
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menunjukkan bahwa pasambahan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu

pihak si pangka dan pihak si alek. Pasambahan dilakukan secara berbalas

dengan menggunakan bahasa kiasan. Tuturan direktif digunakan dalam

pasambahan ini, diantaranya: permintaan, pertanyaan, perizinan, perintah dan

nasihat. Keseluruhan dari tuturan direktif ini disampaikan melalui bahasa kiasan

sebagai wujud dari budaya Minangkabau.

Selanjutnya jurnal yang ditulis oleh Bunga Moeleca (2012) dengan judul

Kontruksi Makna Bajapuik pada Pernikahan bagi Perempuan Pariaman di

Kecamatan Pasir Penyu. Jurnal ini mengkaji tentang motif perempuan Pariaman

dalam menggunakan adat manjapuik marapulai, pengetahuan dan pengalaman

mereka, serta nilai yang terkandung dalam tradisi pernikahan yang dilakukan

oleh perempuan Minang di Pariaman.

“Dualitas Praktik Perkawinan Minangkabau” ditulis oleh Zainal Arifin

(2009). Jurnal ini mengkaji tentang perkawinan Minangkabau yang dipandang

dari dua sisi. Dituliskan bahwa penikahan tidak hanya ditentukan oleh norma

adat tetapi juga dipengaruhi oleh adanya unsur politik perkawinan yang

dilakukan oleh aktor dan kelompok sosial yang akan menjalin perkawinan

tersebut dengan adat dan merekontruksi tekanan adat yang disebabkan oleh

beberapa faktor dengan memasukkan unsur-unsur politik perkawinan.

Penelitian-penelitian di atas memberikan sumbangan teoritis dan

metodologis pada penelitian tradisi manjapuik marapulai pada upacara

perkawinan adat Minangkabau di Kecamatan Sungai Geringging kabupaten

Pariaman serta memberikan wawasan dalam mengkaji nilai-nilai tradisi lisan

66
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang terkandung pada upacara adat perkawinan Minangkabau di Nagari Sungai

Geringging, Pariaman yang masih kental dengan adat dan tradisinya dan masih

berlangsung hingga pada masa sekarang ini.

2.1.9 Kerangka Konsep

Kerangka konsep ini diawali dengan mengkaji objek penelitian yaitu

tradisi manjapuik marapulai pada upacara perkawinan adat Minangkabau.

Penulis menganalisis tradisi manjapuik marapulai ini berdasarkan rumusan

masalah, yaitu: performansi tradisi manjapuik marapulai, kearifan lokal, dan

revitalisasi. Rumusan masalah yang telah ditentukan dan dianalisis dengan

menggunakan teori dan pendekatan yang relevan. Performansi tradisi manjapuik

marapulai diadopsi dan dianalisis berdasarkan teori dari Finnegan (1992). Teks

pasambahan dianalisis dengan Analisis Wacana Kritis dari Van Dijk (1987)

Kearifan lokal dianalisis berdasarkan pemikiran Robert sibarani (2012), dan

revitalisasi dianalisis berdasarkan pemikiran dari Romaine (1995) dan Robert

Sibarani (2012).

Untuk lebih jelasnya, kerangka konsep dapat dilihat pada bagan berikut

ini:

67
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tradisi Lisan Pasambahan Manjapuik marapulai
pada Upacara Perkawinan Adat Minangkabau

Analisis Wacana Tradisi Lisan


Kritis

Struktur Makro Bentuk Isi


Struktur Alur Performansi
Struktur Mikro
Teks, Ko-teks Nilai dan Norma
dan Konteks Makna dan Fungsi

Kearifan Lokal

Revitalisasi Tradisi Manjapuik Marapulai

Bagan 2.1
Kerangka Konsep

68
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pengantar

Bab ini mendeskripsikan metode yang digunakan dalam penelitian ini,

yang yang mencakup: metode penelitian, lokasi dan waktu penelitian, sumber

data penelitian, serta metode yang digunakan dalam mengumpulkan dan

menganalis data.

3.1.1 Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah

pendekatan deskriptif kualitatif model interaktif, dengan

menggunakan metode deskriptif yaitu data pengamatan secara

alamiah aktifitas tradisi lisan manjapuik marapulai pada upacara

perkawinan adat Pariaman, sehingga diperoleh pendeskripsian

tradisi manjapuik marapulai pada upacara perkawinan adat

Pariaman yang sebenarnya.

Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan untuk

mengumpulkan informasi mengenai gejala sosial, yaitu keadaan atau

fenomena secara alamiah dan apa adanya ketika penelitian dilakukan.

Pendekatan kualitatif yang dilakukan pada penelitian ini, bertujuan untuk

mendapatkan informasi dari informan kunci dengan menggunakan metode

wawancara dan pengamatan, mengumpulkan data primer dan data skunder.

Penggunaan metode kualitatif dan pemanfaatan teori tuturan lisan Held

(2005:136) menjelaskan, "The main focus of empirical methods is

69
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
beginning to move in a qualitative direction: together with the criteria of

speech-act theory this seems to guarantee the greatest success in

researching politeness.”

Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini secara

mendalam, penulis menggunakan pendekatan model analisis antropolinguistik

yang penulis sesuaikan dengan data penelitian, yaitu: tradisi manjapuik

marapulai di Nagari Sungai Geringging, Kabupaten Pariaman. Menurut

Sibarani (2012: 304-305) model analisis antropolinguistik ini sesuai untuk

penelitian yang mengkaji tentang tradisi, karena semua unsur baik unsur

verbal dan non-verbal sebuah tradisi itu dapat diwujudkan melalui teks, ko-

teks, dan konteks sehingga keseluruhan perwujudan tersebut dapat membentuk

sebuah pemahaman tradisi lisan.

Penelitian ini mendeskripsikan tradisi manjapuik marapulai pada

upacara perkawinan adat pariaman yang menjawab rumusan masalah pertama

yaitu: pelaksanaan tradisi lisan manjapuik marapulai pada upacara perkawinan

adat pariaman dilihat dari unsur yang ada yang ada didalamnya, yakni pada

teks, ko-teks, dan konteks. Unsur teks yang diteliti adalah teks pasambahan

yang meliputi struktur makro, superstruktur (struktur alur), struktur mikro

kognisi sosial, dan analisis sosial. Pada unsur ko-teks, penulis

mendeskripsikan intonasi dan benda material yang digunakan pada saat acara

berlangsung. Sementara itu, unsur konteksnya penulis mendeskripsikan

konteks budaya, sosial, situasi dan ideologi.

70
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hasil analisis data dijelaskan dengan menggunakan pendekatan kualitatif

yang dilakukan sejalan dengan pendapat Sudaryanto (1993) yang menyatakan

bahwa, dengan menggunakan teknik-teknik survey sosial seperti: wawancara

terstruktur dan wawancara tak terstruktur dan daftar pertanyaan yang tersusun,

observasi terstruktur, analisis isi, dan analisis data formal dan sebagainya.

Penelitian kualitatif juga berkaitan dengan pengamatan berpartisipasi,

wawancara terstruktur dan wawancara tak terstruktur, kelompok-kelompok

fokus, telaah teks-teks kualitatif, dan teknik analisis kegiatan tradisi lisan yang

dituliskan dalam bentuk teks.

Proses siklus pengumpulan data dan analisis data sampai kepada tahap

penyajian hasil penelitian serta penarikan kesimpulan dapat dilihat seperti pada

bagan berikut ini:

Pengumpulan Data Penyajian Data

Kondensasi Data Kesimpulan


data

Bagan 3.3
Analisis Data Model Interaktif Miles and Huberman (2014:14)

3.1.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sumatera Barat, tepatnya di daerah

Kecamatan Sungai Geringging Kabupaten Pariaman. Penelitian ini dilaksanakan

71
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pada masyarakat sungai geringging yang mendiami 4 (empat) nagari, yaitu:

Nagari Sungai Sirah Kuranji Hulu, Nagari Batu Gadang Kuranji Hulu, Nagari

Kuranji Hulu, dan Nagari Malai III Koto. Menurut pemuka masyarakat

setempat, ke empat Nagari tersebut memiliki dan masih mempertahankan adat

yang berlaku. Masing-masing Nagari juga memiliki latar adat yang sama dan

masyarakatnya juga masih memiliki hubungan keturunan dan kekerabatan yang

terpelihara dengan baik sampai sekarang ini. Dengan demikian peneliti dapat

memperoleh data yang diharapkan untuk menjawab permasalahan dalam

penelitian ini.

Pada tanggal 20-23 Oktober 2017, penulis melakukan survei awal yakni

mencari informasi mengenai tradisi manjapuik yang masih dipertahankan di

wilayah Kabupaten Pariaman. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 2-3

Desember 2017, yakni pada tanggal 2 Desember 2017 dilaksanakan akad nikah

dan pada tanggal 3 Desember 2017 dilaksanakan resepsi perkawinan. Tanggal

4-6 Desember 2017, penulis melakukan wawancara kepada informan dan orang-

orang yang terkait langsung pada proses acara manjapuik marapulai, serta ninik

mamak dari keluarga kedua belah pihak.

Pada 8-10 Desember 2017, penulis melakukan wawancara dengan

pemuka adat atau tokoh adat dan orang-orang yang berwenang untuk

memberikan informasi mengenai adat yang terdapat di Kecamatan Sungai

Geringging.

72
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.1.3 Sumber Data

Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini yaitu data primer dan data

sekunder. Menurut Indriantoro dan Supomo (2014: 146) menyatakan bahwa,

data primer merupakan data yang dikumpulkan oleh peneliti secara langsung

dari sumbernya. Data primer secara khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk

menjawab pertanyaan penelitian. Data primer dapat berupa opini subjek (orang)

secara individual atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda atau

kejadian atau peristiwa. Sumber data primer pada penelitian ini diperoleh

langsung ketika pelaksanaan upacara perkawinan adat yang dilakukan oleh

pasangan yang bernama Satria Perdana, S.Pd dan DR. Suci Nurul Hidayati pada

tanggal 3 Desember 2017 yang beralamat di Jalan Raya Sungai Geringging.

Dalam hal ini tradisi lisan manjapuik marapulai pada upacara perkawinan adat

Pariaman sebagai wadah berlangsungnya upacara adat perkawinan tersebut

dapat tergambar dengan jelas melalui rekaman video, sehingga gerakan dan

suara yang dihasilkan dapat diamati dengan seksama. Kemudian, Alur

pasambahan yang disampaikan secara lisan oleh juru bicara kedua belah pihak

juga dijadikan sebagai data primer. Data primer juga didapat dengan mengambil

data dari informan kunci yaitu pelaku adat seperti: panghulu, ninik mamak,

bundo kanduang, dan orang yang memahami adat manjapuik marapulai pada

upacara perkawinan adat Pariaman.

Informan dalam penelitian ini ditentukan dengan teknik snowball

sampling. Lee dan Berg (2003:5) menyatakan strategi dasar dalam snowball

dimulai dengan menetapkan informan kunci dan mengadakan interview secara

73
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bertahap atau berproses, kepada informan kunci tersebut diminta arahan, saran,

petunjuk tentang siapa sebaiknya informan berikutnya yang menurutnya

memiliki pengetahuan, pengalaman dan informasi yang dicari. Selanjutnya,

penentuan informan berikutnya dilakukan dengan tekhnik yang sama, sehingga

jumlah informan akan bertambah. Demikian pula hal yang sama dilakukan pada

penelitian ini, peneliti tidak menentukan informan melainkan tergantung dari

informasi yang diberikan oleh informan kunci dan tergantung dari data yang

tersedia dilapangan.

Data sekunder adalah data yang telah tersedia dalam bentuk teks,

gambar dan suara. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disebutkan oleh

Iskandar (2009:117) bahwa data sekunder merupakan data yang telah tersedia

dan dapat diperoleh oleh peneliti dengan cara membaca, melihat dan

mendengarkan. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata

dan tindakan dan selebihnya merupakan data tambahan seperti dokumen dan

lain-lain. Sejalan dengan pendapat di atas Heritage (1988) kajian analisis

percakapan memerlukan data yang muncul secara alamiah, dalam hal ini

sumber data utama adalah tradisi lisan upacara perkawinan adat pariaman yang

direkam dengan handycam dan dicatat. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan

oleh Hutchby dan Wooffitt (1994) data yang dianalisis adalah data yang

direkam dan ditranskripsikan, kemudian dilengkapi dengan pengambilan foto.

Sumber data primer penelitian ini terdiri dari dua jenis, yakni: data yang

diperoleh ketika upacara adat perkawinan berlangsung dalam bentuk tradisi

lisan dan wawancara dengan informan kunci yaitu dengan pemuka adat, pelaku

74
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
adat, dan tokoh masyarakat, sedangkan sumber data sekunder pada penelitian

ini adalah yang berkaitan dengan dokumen, informasi yang diperoleh dari

media lain seperti internet, koran dan majalah.

Sumber Data Penelitian

Data primer Data sekunder

Acara Wawancara Dokumen, Naskah (Teks


Manjapuik dengan 5 Orang Pasambahan), Internet, Data
Marapulai Informan Statistic dan Hasil-Hasil
Diskusi

Bagan 3.1
Sumber Data

3.1.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data, menurut Usman (2009:69) dikerjakan dengan

live dokumentasi, yakni pengambilan data yang diperoleh melalui rekaman

langsung meliputi tiga dimensi dasar yaitu ruang, pelaku, dan kegiatan dan dua

dimensi tambahan yaitu: objek dan perasaan. Ruang adalah tempat yang dapat

dilihat dari penampilan fisiknya, pelaku merujuk kepada semua orang yang

terlibat dalam acara yang berlangsung, dan kegiatan berlaku kepada apa yang

dilakukan orang-orang tersebut pada acara yang berlangsung. Objek terkait

dengan orang yang terdapat ditempat tersebut yang menjadi sasaran dari pelaku,

75
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan perasaan adalah emosi yang dirasakan dan dinyatakan oleh pelaku dan objek

yang hadir ditempat tersebut.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Observasi

Observasi yang dilakukan adalah untuk memperoleh atau melihat

secara sistematis mengenai gambaran kehidupan sosial masyarakat

Kecamatan Sungai Geringging dalam melaksanakan tradisi manjapuik

marapulai.

Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung.

Iskandar (2009:121) menyatakan bahwa kegiatan observasi meliputi

melakukan pengamatan, pencatatan secara sistemik kejadian-kejadian,

perilaku, objek-objek yang dilihat dan hal-hal lain yang sedang

dilakukan. Observasi bertujuan untuk mengumpulkan data dan bahan-

bahan dari upacara perkawinan adat yang berkaitan dengan objek yang

diteliti. Di dalam observasi, pengobservasian tidak memanipulasi data

dan juga menstimulasi subjeknya.

Dalam hal melakukan observasi, peneliti tradisi lisan juga harus

melihat dan mengamati tradisi yang dilaksanakan sebagai objek kajian

penelitiannya secara empiris dengan menggunakan pancaindera.

Penelitian pada tradisi manjapuik marapulai ini menggunakan

teknik observasi partisipatoris yang bersifat pasif atau observasi non

partisipatoris atau observasi non-intervensionism. Adapun hal-hal yang

penulis lakukan dalam observasi partisipatoris pasif dalam penelitian ini

76
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yaitu penulis tidak terlibat langsung dengan aktivitas sumber data

melainkan hanya sekedar melakukan pengamatan jalannya acara

manjapuik marapulai yang dilakukan mulai dari kediaman anak daro

sampai marapulai yang dijemput tiba di rumah anak daro.

Alat bantu yang digunakan dalam melakukan observasi ini

adalah handycam dan handphone. Kedua alat ini difungsikan sebagai

media perekam jalannya acara manjapuik marapulai, yang hasil datanya

dapat dilihat dan didengar dalam bentuk vidio dan gambar.

2. Wawancara

Wawancara merupakan tekhnik pengumpulan data kualitatif

dengan menggunakan instrument pedoman wawancara. Wawancara

yang dilakukan oleh penulis adalah dengan subjek penelitian yang

terbatas, yaitu dalam hal ini adalah informan penelitian. Pemilihan

informan dalam penelitian ini penulis lakukan sesuai dengan konsep

Spradley (1985) bahwa informan dalam sebuah penelitian hendaklah

memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Mereka yang menguasai atau memahami masalah yang diteliti

2. Mereka yang sedang terlibat pada kegiatan yang sedang diteliti

3. Mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil

kemasannya sendiri

4. Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai

informasi

77
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5. Mereka yang awalnya merasa asing dengan peneliti sehingga

menjadi tertarik untuk dijadikan sebagai guru atau narasumber.

Berdasarkan kriteria di atas, penulis menemukan dan

menentukan beberapa orang informan yang dapat memberikan informasi

yang penulis butuhkan dalam penelitian ini, yaitu: panghulu, ninik

mamak, bundo kanduang, dan orang yang memahami adat manjapuik

marapulai. (Data terlampir)

Moleong (2007) mendefinisikan wawancara sebagai suatu

percakapan dalam maksud tertentu dan dilakukan oleh dua pihak, yaitu

pewawancara (interview) yang mengajukan pertanyaan dan

terwawancara (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan

yang diajukan.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan wawancara yang

mendalam (depth interview) tak terstruktur dengan informan untuk

menggali informasi yang berhubungan dengan upacara perkawinan adat

pariaman, sehingga didapat upacara perkawinan adat Pariaman yang

cukup akurat dan jelas adanya. Untuk wawancara tidak terstruktur

penulis telah menyiapkan rangkaian pertanyaan sebanyak dua puluh (20)

item yang jawabannya diserahkan sepenuhnya kepada pengetahuan

orang yang diwawancarai, dalam hal ini ditujukan kepada tujuh (7)

orang informan.

78
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Studi Dokumentasi

Arikunto (2006:132) menyatakan bahwa teknik dokumentasi

merupakan pencarian data yang dilakukan mengenai hal yang berupa

catatan, traskrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,

agenda dan sebagainya. Dalam hal ini penulis menggali informasi yang

berhubungan dengan data penduduk dan hal-hal yang berkaitan dengan

masyarakat setempat. Dalam penelitian ini penulis mendapatkan data

statistik kependudukan yang dapat memberikan informasi mengenai

system kependudukan yang ada di lingkungan masyarakat Kabupaten

Padang Pariaman.

4. Metode penelusuran data online.

Menurut Bungin (2007:125), pengumpulan data secara online

memerlukan pemahaman teknologi informasi komunikasi. Hal ini

disebabkan data yang akan ditemukan harus dilacak dengan perangkat

teknologi informasi komunikasi. Berdasarkan kemampuan pengaksesan

perangkat teknologi ini dilakukan pencarian dari google ke berbagai

situs penyedia data online. Dari google pengaksesan diarahkan ke media

sosial penyedia data online yang dapat diunduh secara bebas yang

berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

79
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Metode Pengumpulan Data

Data primer Data sekunder

Observasi Wawancara Studi Penelusuran


Dokumentasi Data Online

Bagan 3.2
Metode Pengumpulan Data

3.1.5 Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum terjun

ke lapangan,selama pelaksanaan di lapangan dan setelah penelitian di lapangan.

Data peneltian ini diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Analisis data dilakukan dengan cara mengorganisasi data yang diperoleh

kedalam sebuah kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, menganalisis data

yang penting, menyusun atau menyajikan data yang sesuai dengan penelitian

dan membuat sebuah kesimpulan agar mudah untuk dipahami.

Dari data yang telah diperoleh penulis menggunakan tekhnik analisis

data oleh Miles dan Huberman (1992). Menurut Miles dan Huberman (1992)

aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan

berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh.

Aktivitas dalam menganalisis data kualitatif yaitu:

80
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1. Kondensasi Data

Kondensasi data merujuk pada proses menyeleksi, memfokuskan,

menyederhanakan, mengabtraksi, dan mentransformasi data yang

terdapat pada catatan lapangan maupun transkrip dalam penelitian. Hal

ini dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Selecting

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah semua kegiatan

yang terlaksana dalam acara manjapuik marapulai yang

didokumentasikan melalui handycam dan handphone sebagai data

primer serta hasil catatan alur pasambahan dan hasil rekaman

wawancara. Sementara itu untuk data sekunder penulis

mengumpulkan informasi dari data statistik, penelusuran data on-

line, naskah-naskah alur pasambahan yang penulis peroleh dari

salah informan, serta hasil-hasil diskusi yang telah dilaksanakan

sebelum dan sesudah pelaksanaan acara manjapuik marapulai.

b. Focusing

Data yang diperoleh peneliti di lapangan melalui wawancara,

observasi dan dokumentasi difokuskan dengan cara merangkum

dan memilih data pada hal-hal yang sesuai dengan tujuan

penelitian. Data yang telah dikumpulkan kemudian dipilih untuk

lebih spesifik untuk menjawab masalah yang terdapat dalam

penelitian ini, yaitu: data yang berhubungan dengan performansi,

data yang berhubungan dengan kearifan lokal, dan data yang

81
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berhubungan dengan model revitalisasi tradisi manjapuik

marapulai.

c. Abstracting

Pada tahap ini peneliti memfokuskan data dengan cara memilah-

milah, mengkategorikan, dan membuat catatan abtraksi dari

catatan lapangan, wawancara dan dokumentasi. Pada langkah ini

peneliti membuat rangkuman inti, proses, dan pernyataan-

pernyataan yang berkaitan dengan data penelitian. Pada tahap ini,

dapat diartikan bahwa data yang telah terkumpul dapat dievaluasi

dengan baik khususnya yang berkaitan dengan kualitas dan

kecukupan data. Dalam penelitian ini penulis mendengar dan

membaca keseluruhan rekaman data yaitu vidio tradisi manjapuik

marapulai, mencatat bagian-bagian penting yang dibutuhkan yang

memuat nilai budaya, kearifan lokal yang terdapat didalamnya

d. Transforming

Selanjutnya, tahap ini adalah proses penyederhanaan yang

dilakukan melalui ringkasan, uraian singkat yang dibuat dalam

bentuk tabel.

2. Penyajian data

Penyajian data dilakukan setelah data telah selesai dikondensasi. Data

yang disajikan adalah keseluruhan rangkaian acara manjapuik marapulai

dalam bentuk teks naratif yang disajikan secara sistematis atau simultan

82
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sehingga data yang telah diproleh dapat menjawab masalah yang diteliti.

Dalam hal ini penulis mengungkapkan dan menganalisis nilai budaya,

kearifan lokal yang terdapat di dalam tradisi manjapuik marapulai.

3. Penarikan kesimpulan atau verifikasi

Langkah terakhir dalam analisis data kualitatif adalah penarikan

kesimpulan dari verifikasi dalam bentuk deskriptif.

3.1.6 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari

konsep kesahihan dan keterandalan. Penelitian merupakan kerja ilmiah, untuk

melakukan penelitian ini dituntut untuk dilkakukan secara objektivitas. Untuk

memenuhi kriteria ini dalam penelitian kesahihan dan keterandalan harus

dipenuhi agar tidak dipertanyakan tingkat keilmiahannya.

Dalam hal ini triangulasi perlu dilakukan. Triangulasi adalah tekhnik

pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data

itu untuk keperluan pengecekan sebagai pembanding terhadap suatu data. Hal

ini dilakukan untuk mengecek ulang derajat kepercayaan atau informasi yang

diperoleh.

Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengecekan keabsahan hasil

penelitian yang dilakukan serta membahasnya dengan informan kunci. Dalam

hal ini penulis mendiskusikan kembali dengan informan kunci untuk

mendapatkan gambaran yang jelas sehingga penulis dapat mendeskripsikannya

sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Triangulasi adalah tekhnik

83
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data

itu untuk pengecekan ulang atau sebagai pembanding terhadap suatu data.

Moleong (2001) menyatakan bahwa penelitian yang menggunakan tekhnik

triangulasi dalam pemeriksaan melalui sumbernya artinya membandingkan atau

mengecek kembali derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui

waktu dan alat yang berbeda.

Dalam penelitian ini penulis cenderung menggunakan wawancara

mendalam kepada beberapa informan setelah acara manjapuik marapulai

berakhir dan setelah melaksanakan pesta perkawinan. Hal ini dilakukan karena

pertimbangan penulis terhadap kesiapan dari informan untuk memberikan

informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

Triangulasi Wawancara

Dokumentasi

Bagan 3.3
Triangulasi

84
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB IV

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN DI

KECAMATAN SUNGAI GERINGGING

4.1 Pengantar

Bab ini menguraikan gambaran umum masyarakat di Kecamatan Sungai

Geringging. Deskripsi latar penelitian di jelaskan agar dapat memberikan

pemaham bagi pembaca sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Lokasi

daerah penelitian difokuskan pada Kabupaten Pariaman Kecamatan Sungai

Geringging.

4.1.1 Provinsi Sumatera Barat

Secara geografis dan kultur historis wilayah Minangkabau dibagi

menjadi tiga (3) bagian, yaitu: daerah pasisia, darek, dan rantau. Daerah pasisia

meliputi daerah sepanjang pantai sebelah barat pulau Sumatera yang

memanjang dari barat laut ke tenggara. Jadi daerah ini dimulai dari daerah

perbatasan Minangkabau dengan daerah Bengkulu, yaitu Muko-muko, sampai

ke perbatasan Minangkabau yaitu daerah Tapanuli bagian selatan. Daerah

pasisia disebut juga sebagai kota dagang. Dalam sejarah dikatakan wilayah

pasisia adalah wilayah yang tidak subur, sehingga berdagang adalah mata

pencarian mayoritas penduduknya. Lebih jauh dijelaskan bahwa berdagang

keliling dimulai oleh masyarakat pasisia sejak terjadinya hubungan dengan luar

negeri terutama dengan saudagar dari Gujarat (India) dan Timur Tengah.

Hubungan ini berjalan tidak hanya sebatas perdagangan saja melainkan

85
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
terjadinya hubungan agama yang mana Gujarat yang mayoritas penganut agama

Hindu dan Timur tengah adalah penganut agama Islam. Dengan demikian

wilayah Sumatera Barat adalah kawasan peradaban Islam pertama.

Daerah darek disebut juga dengan luhak nan tigo, meliputi daerah luhak

Tanah Datar, yaitu: daerah Kabupaten Tanah Datar sekarang, meliputi: Sawah

Lunto Sijunjung dan Solok, Luhak Agam, yaitu terdiri dari Ampek-Ampek

Angkek, Lawang Nan Tigo Balai, dan nagari sekeliling Danau Maninjau, dan

luhak Limapuluh Kota adalah daerah yang terletak di sepanjang Batang

Sinamar, daerah sekitar Gunung Sago bagian utara dan barat, seiliran Batang

Lampasi dan Batang Agam, bahkan sampai ke Sipisak Pisau Anyuik

(Pekanbaru). Luhak nan tigo adalah kelompok Nagari yang dinaungi oleh satu

unit teritorial politik yang mandiri di bawah Dewan Panghulu Nagari dan tidak

mewakili kekuasaan raja. Masing-masing luhak mempunyai peraturan dan adat

kebiasaan tersendiri yang dapat membedakannya dengan luhak yang lain.

Daerah rantau merupakan tempat merantau orang-orang dahulu. Dari

luhak nan tigo mereka pergi ke daerah lain dan membuat nagari baru di sana.

Disana mereka memakai adat yang mereka pakai pada saat mereka berada di

daerah asalnya. Umumnya daerah ini berada di sepanjang aliran sungai dan

bermuara ketimur, ke Selat Malaka, bahkan termasuk Rantau Nan Sambilan

(Negeri Sembilan, Malaysia). Daerah rantau Minangkabau dikenal juga dengan

sebutan Rantau nan tujuah Jurai, yaitu: Rantau Kampar, Kuantan, Xii Koto,

Cati Nan Batigo, Negeri Sembilan, Tiku Pariaman, dan Pasaman. Namun,

daerah Tiku Pariaman dan Pasaman dikenal juga sebagai daerah pasisie.

86
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Secara administratif, provinsi sumatera barat mempunyai 14 (empat

belas) kabupaten dan kota, yaitu: Kabupaten Agam, Tanah datar, Pesisir

Selatan, Pasaman, Solok, Pariaman, Sawah Lunto Sijunjung, 50 Kota, dan

Padang Pariaman, Kota Padang, Solok, Sawah Lunto, Payakumbuh, Padang

Panjang, dan Bukit Tinggi. Batas-batas Provinsi yang berbatasan dengan

Provinsi Sumatera Barat adalah sebelah barat berbatasan dengan Samudra

Hindia, sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara, sebelah

selatan berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Jambi, dan sebelah timur

berbatasan dengan Provinsi Riau.

Minangkabau secara administratif adalah Provinsi Sumatera Barat.

Daerah ini terletak 1° Lintang Utara 3° Lintang selatan dan 98°-102° Bujur

Timur yang dilewati oleh garis khatulistiwa. Berikut peta Provinsi Sumatera

Barat.

Gambr 4.1
Peta Administratif Provinsi Sumatera Barat

87
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.1.2 Kabupaten Pariaman

Kabupaten Pariaman adalah salah satu Kabupaten yang terdapat di

Provinsi Sumatera Barat. Posisi astronomis Kabupaten Padang Pariaman yang

terletak antara 0°11' – 0°49' Lintang Selatan dan 98°36' – 100°28' Bujur Timur,

dengan luas wilayah sekitar 1.328,79 km² dan panjang garis pantai 60,50 km².

Luas daratan daerah ini setara dengan 3,15 persen dari luas daratan wilayah

Provinsi Sumatera Barat. Padang Pariaman merupakan Kabupaten dengan luas

wilayah terkecil di Provinsi Sumatera Barat. Berbanding terbalik dengan luas

wilayah Kabupaten Pariaman dahulunya, kabupaten ini pernah memiliki luas

wilayah terbesar di Sumatera Barat dikenal dengan istilah Piaman Laweh atau

Pariaman Luas, sebelum diperluasnya Kota Padang pada tahun 1980 dengan

memasukan sebagian wilayah dari kabupaten ini, serta dimekarkannya

Kabupaten Kepulauan Mentawai pada tahun 1999 dan Kota Pariaman pada

tahun 2002.

Dilihat dari topografi wilayah, Kabupaten Pariaman terdiri dari wilayah

daratan pada daratan Pulau Sumatera dan 6 pulau-pulau kecil, dengan 40 %

daratan rendah yaitu pada bagian barat yang mengarah ke pantai. Daerah

dataran rendah terdapat di sebelah barat yang terhampar sepanjang pantai

dengan ketinggian antara 0-10 meter di atas permukaan laut, serta 60% daerah

bagian timur yang merupakan daerah bergelombang sampai ke Bukit Barisan.

Daerah bukit bergelombang terdapat di sebelah timur dengan ketinggian 10-

1000 meter di atas permukaan laut.

88
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 4.2
Peta administratif Kabupaten Pariaman
Sumber https://www.google.com/

Kabupaten Padang Pariaman terdiri dari 17 kecamatan, yaitu:

Kecamatan Batang Anai, Kecamatan Lubuk Alung, Kecamatan Sintuk Toboh

Gadang, Kecamatan 2 x 11 Enam Lingkung, Kecamatan Enam Lingkung,

Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam, Kecamatan Nan Sabaris, Kecamatan Ulakan

Tapakis, Kecamatan VII Koto Sungai Sarik, Kecamatan Patamuan, Kecamatan

Padang Sago, Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kecamatan V Koto Timur,

Kecamatan Sungai Limau, Kecamatan Batang Gasan, Kecamatan Sungai

Geringging, Kecamatan IV Koto Aur Malintang, 103 Nagari, dan 593 Korong.

Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam merupakan wilayah kecamatan yang paling

luas, yakni 228,70 km², sedangkan Kecamatan Sintuk Toboh Gadang memiliki

luas wilayah kecamatan terkecil, yakni 25,56 km². Dari 17 kecamatan yang

terdapat di Kabupaten Pariaman jumlah penduduknya adalah sebanyak 408.612

yang terdiri dari 92.845 kepala rumah tangga. Adapun rata-rata mata pencarian

89
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
penduduk pariaman adalah sebagai nelayan, petani, PNS, pedagang, karyawan

kantor dan penyedia jasa layanan.

4.1.3 Kecamatan Sungai Geringging

Kecamatan Sungai Geringging merupakan salah satu diantara 17

Kecamatan yang ada di Padang Pariaman, posisi astronomi Kecamatan Sungai

Geringging terletak antara 1000 07' 00 Bujur Timur dan 00 33' 00" Lintang

Selatan, dengan luas wilayah sekitar 99,35 km2, luas daratan kecamatan ini

setara dengan 7,48 persen dari luar daratan wilayah Padang Pariaman.

Batas-batas wilayah Kecamatan Sungai Geringging adalah sebagai berikut:

- Sebelah Barat berbatas dengan Kecamatan Batang Gasan dan Kecamatan

Sungai Limau

- Sebelah Timur berbatas dengan Kecamatan V Koto Kampung Dalam

- Sebelah Utara berbatas dengan Kecamatan IV Koto Aur Malintang

- Sebelah Selatan berbatas dengan Kecamatan Sungai Limau

Kecamatan Sungai Geringging yang mempunyai luas wilayah sekitar

99.35 km2. Kecamatan Sungai Geringging terdiri dari 4 nagari. Dari 4 nagari

tersebut, Nagari Sungai Sirah Kuranji Hulu merupakan nagari yang memiliki

wilayah paling luas, yakni 35,70 km2 atau sekitar 36 persen dari total wilayah

Kecamatan Sungai Geringging. Sedangkan Nagari Batu Gadang Kuranji Hulu

memiliki luas nagari yang paling kecil dibandingkan nagari lainnya, yakni

17,08 km2 atau sekirat 17 persen dari total wilayah Kecamatan Sungai

Geringging. Nagari Kuranji Hulu yang memiliki luas wilayah sekitar 27,94

90
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
km2 merupakan wilayah yang memiliki wilayah terluas kedua setelah Nagari

Sungai Sirah Kuranji Hulu. Sedangkan Nagari Malai III Koto memiliki luas

wilayah terkecil kedua yakni sekitar 18,63 km2, setelah Nagari Batu Gadang.

Jumlah penduduk di Kecamatan Sungai Geringging adalah 27.871 yang terdiri

atas 7231 jumlah rumah tangga.

Gambar 4.3
Peta Kecamatan Sungai Geringging
(sumber https://www.google.com)

4.1.3.1 Penduduk dan Mata Pencarian Kecamatan Sungai Geringging

Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik

Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2017, penduduk Kecamatan Sungai

Geringging yang dipilih sebagai lokasi penelitian ini berjumlah lebih kurang

27.871 orang, berasal dari 7321 jumlah kepala keluarga. Dengan demikian

setiap keluarga rata-rata mempunyai anggota sebanyak 4 orang. Penduduk

Kecamatan Sungai Geringging masih bersifat homogen, terdiri dari orang-orang

91
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang masih berhubungan kekerabatan, satu suku bangsa, yaitu suku

Minangkabau.

Menurut informasi dari pemuka masyarakat yang ada di lapangan, tidak

satupun rumah atau keluarga yang ada di Kecamatan Sungai Geringging yang

jumlah anggotanya masih utuh menurut keadaan yang sesungguhnya, kecuali

keluarga-keluarga baru. Keluarga-keluarga baru yang dimaksud di sini adalah

keluarga yang masih berusia produktif yaitu usia antara 20-40 tahun. Dengan

demikian dapat dikatakan setiap rumah atau keluarga rata-rata ada 1-2 orang

yang merantau, dan jika diperkirakan jumlahnya terdapat paling sedikit 2000

orang yang berada di daerah perantauan, seperti: Padang, Pekanbaru, Jawa dan

bahkan sampai ke Malaysia.

Para perantau, terutama perantau bolak-balik juga membawa dampak

terhadap perubahan kebudayaan dalam arti luas. Perubahan yang dimaksud

terutama adalah perubahan wawasan atau pandangan anggota masyarakat dalam

melihat dunianya dan dunia sekitarnya. Hal itu disebabkan karena terjadinya

penularan pengetahuan dan pengalaman dari para perantau kepada anggota

masyarakat yang menetap dikampung. Interaksi sosial para perantau dengan

berbagai etnis di daerah lain menyebabkan terjadinya saling pengaruh, hal-hal

yang bersifat praktis dan efisien cenderung untuk diadopsi dan ditiru.

Dalam hal perkawinan misalnya, kesederhanaan prosedur dan tata cara

dalam perkawinan menjadi sesuatu yang wajar dan mudah untuk ditiru, karena

ditempat asalnya prosedur, tata cara, dan syarat perkawinan itu dapat dikatakan

sangat kompleks dan berbelit-belit. Pengadopsian ini berdampak pada

92
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
penyederhanaan dan bervariasinya tata cara, prosedur, dan persyaratan

perkawinan. Dampaknya secara praktis adalah bahwa pada masa sekarang tata

cara dan prosedur perkawinan menjadi bervariasi, tidak sama persis dengan tata

cara dan prosedur perkawinan pada masa lalu.

Dampak lain dari merantau terhadap perubahan kebudayaan adalah

semakin beragamnya mata pencarian penduduk. Mata pencarian hidup

penduduk Kecamatan Sungai Geringging yang menetap di kampung beraneka

ragam, tetapi mata pencarian hidup yang pokok dari sebagian besar penduduk

adalah bertani, terutama bertanam padi di sawah, jagung, papaya, dan pisang di

ladang, serta berkebun kelapa.

Karena bertambahnya jumlah penduduk, tuntutan kebutuhan hidup

sudah semakin tinggi dan kompleks, hasil pertanian sudah tidak mencukupi lagi

untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan

hidup, penduduk Masyarakat di Kecamatan Sungai Geringging pada umumnya

mempunyai mata pencarian hidup tambahan atau sebagai sampingan, tetapi

mata pencarian tambahan itu hasilnya tidak selalu lebih kecil dari mata

pencarian pokok, kadang kala jauh lebih besar dibanding dengan hasil dari

mata pencarian pokok. Namun demikian penduduk yang bertani tetap

mengatakan bahwa pekerjaan selain bertani adalah pencarian tambahan atau

sampingan. Mata pencarian hidup tambahan yang banyak menjadi pilihan bagi

penduduk adalah: 1) Berdagang mulai dari pedagang kecil-kecilan di depan

rumah, berjualan makanan, membuka warung nasi, sampai menjadi pedagang

kelas menegah di pasar tradisional dan di kota kabupaten, 2) Menjadi tukang

93
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mulai dari tukang bangunan, tukang jahit, tukang pangkas, sampai dengan

tukang beruk, 3) Menjadi pengrajin, mulai dari pembuat barang-barang

kerajinan dari bahan rerumputan, pandan, dan bambu, menyulam, membordir,

sampai pada pengrajin perak dan emas yang hasil kerajinan mereka selama ini

selalu dipasarkan di berbagai kota besar di Indonesia.

Selain mata pencarian hidup yang disebutkan sebelumnya, sebagian

kecil dari penduduk berprofesi sebagai pengusaha (bidang jasa, kontraktor),

sebagai pegawai (negeri, swasta, dan TNI-POLRI), sebagai supir, montir,

kondektur, dan buruh angkat. Penduduk Kecamatan Sungai Geringging

termasuk orang-orang yang rajin dan sabar, dan tahan dalam berusaha tidak

cepat putus asa.

Penduduk Kecamatan Sungai Geringging mempunyai tingkat mobilitas

yang tinggi, tidak suka memadakan atau hanya mencukupkan usaha pada satu

bidang tertentu saja, sehingga hampir tidak ditemui orang-orang miskin di

dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dari kondisi rumah tempat tinggal

penduduk yang umumnya berada dalam kondisi baik, kontruksi rumah pada

umumnya permanen dan semi permanen. Pondok dan gubuk hanya didapati di

daerah persawahan dan perladangan, namun pondok dan gubuk ini bukan

sebagai tempat tinggal melainkan sebagai tempat istirahat atau tempat

menyimpan alat pertanian saja.

94
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.1.3.2 Adat dan Agama di Kecamatan Sungai Geringging

Penduduk Kecamatan Sungai Geringging adalah pendukung

kebudayaan Minangkabau dan seperti orang Minangkabau lainnya penduduk

setempat adalah penganut ajaran agama Islam. Menurut mereka adat dan agama

itu adalah pedoman hidup yang selaras, sesuai dengan pepatah adat yang

mengatakan adaik basandi syarak syarak basandi adaik (adat bersendi syarak

dan syarak bersendi adat). yang dimaksud syarak adalah agama, yaitu agama

Islam. Maksud pepatah di atas adalah bahwa antara ajaran adat dan ajaran

agama saling melengkapi dan menyempurnakan.

Dalam perkembangan kemudian, dengan semakin mengakarnya

pengaruh ajaran agama Islam dalam pemikiran penduduk setempat, ajaran

agama Islam semakin berpengaruh dalam kehidupan masyarakat sehari-harinya

dibanding dengan ajaran adat. Ungkapan adat sebagian tertulis di atas juga ikut

mengalami perubahan, sehingga berbunyi: adaik basandi syarak, syarak

basandi kitabullah (adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah). Syarak

adalah agama Islam dan kitabullah adalah Al-Quran. Maksudnya adalah bahwa

segala sesuatu yang akan dilakukan berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat

harus mengacu pada ajaran agama yang bersumber pada kitab suci Al-Quran.

Dalam kehidupan sehari-hari, adat dan agama secara bersama-sama

sekaligus menjadi pedoman hidup. Ajaran agama adalah pedoman pokok.

Ajaran agama menjadi sumber dari sistem nilai budaya yang menjadi pedoman,

penentu arah, dan oreintasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kitab suci

Al-Quran merupakan sumber dari nilai-nilai, norma-norma, ataupun aturan-

95
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
aturan untuk berperilaku dan bertindak, dalam membina hubungan antar sesama

manusia, sedangkan adat melaksanakan apa yang telah diajarkan dan

difatwakan oleh ajaran agama yang seperti dikatakan pepatah berikut ini: syarak

mangato adaik mamakai (syarak mengatakan adat yang memakai), dengan arti

bahwa agama yang menyatakan atau menentukan dasar-dasar atau aturan yang

berdasarkan Al-Quran, sedangkan adat mengaplikasikannya, melaksanakan atau

memakainya.

Pada masa sekarang, dalam menghadapi segala sesuatu yang ditemui

dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari penduduk Kecamatan Sungai

Geringging utamanya berpedoman kepada aturan agama, dan pelaksanaannya

jatuh secara adat. Dalam konteks perkawinan ajaran agama dijadikan pedoman

utama tanpa mengabaikan aturan-aturan adat, misalnya tentang syarat

perkawinan, pemberian atau pembayaran mahar dari laki-laki kepada

perempuan adalah sesuatu yang utama dan wajib hukumnya, dan secara adat

berlaku pula uang japutan dari pihak keluarga calon pengantin perempuan

kepada laki-laki. Adapun syarat dalam perkawinan masyarakat Minangkabau

yang dipedomani dari kitab suci Al-Quran adalah aturan mengenai mahar, hal

ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat An-nisa Ayat 4:

ْ َ ‫َوآٓتُوا ال ِن ّ َس َاء َصدُ قَاِتِ ِ َّن ِ ِْن َ ًَل فَا ْن ِط ْ َْب لَ ُ ُْك َع ْن‬
)٤( ‫َش ٍء ِمنْ ُو ن َ ْف ًسا فَ ُ ُُكو ُه َىنِيئًا َم ِريئًا‬
ِ
Artinya:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)


sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

96
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Selain itu, penduduk Kecamatan Sungai Geringging, sebagaimana

orang-orang Minangkabau lainnya juga menyebut kebudayaan mereka sebagai

adat. Menurut masyarakat setempat bahwa adat adalah aturan yang dijadikan

pedoman dalam berbuat, berperilaku, bertindak, bahkan juga sebagai sebuah

pedoman bagi mereka untuk tidak berbuat dan tidak bertindak.

Jika disimak segala sesuatu yang mereka ungkapkan, semuanya adalah

gambaran mengenai pengertian dan pemahaman mereka mengenai adat, semua

yang dikemukakan itu adalah hal-hal yang berkaitan dengan aturan-aturan

tentang sopan santun dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mengetahui dan

memahami bahwa segala sesuatu yang akan diperbuat ada pedomannya yang

mereka sebut sebagai aturan, yaitu: nilai-nilai, norma-norma, dan hukum-

hukum yang bersumber dari ajaran Al-Quran.

4.1.3.3 Struktur Sosial, Kekerabatan, dan Perkawinan di Kecamatan

Sungai Geringging

Struktur sosial masyarakat Kecamatan Sungai Geringging terutama

sebelum terjadinya proses akulturasi dengan kebudayaan Islam, pada dasarnya

sama dengan struktur sosial masyarakat di tempat asalnya, yaitu darek (pusat

kebudayaan Minangkabau) karena orang Kecamatan Sungai Geringging adalah

sebagian masyarakat minangkabau yang pindah dari wilayah darek ke wilayah

pasisie dalam rangka mencari lahan pertanian pada masa yang lalu.

Setelah berlangsungnya proses akulturasi kebudayaan Islam dengan

kebudayaan setempat terjadilah perubahan sosial dan kondisi. Hal ini

97
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berdampak pada munculnya perbedaan struktur sosial antara masyarakat

setempat dengan masyarakat ditempat asal yaitu darek. Perbedaan masyarakat

Kecamatan Sungai Geringging dengan masyarakat nagari-nagari lain di

Minangkabau pada masa sekarang adalah seperti uraian berikut ini.

Pertama, dalam masyarakat Kecamatan Sungai Geringging dikenal

adanya golongan bangsawan dan bukan bangsawan meskipun pada masa

sekarang sudah mengalami perubahan artinya golongan bangsawan itu tidak

mengemuka lagi karena peran sosialnya yang menurun. Kedua, di samping

adanya pewarisan gelar dari mamak kepada kemenakan sebagaimana yang

berlaku pada masyarakat Minangkabau pada umumnya. Pada masyarakat

Kecamatan Sungai Geringging dikenal sistem pewarisan gelar (kebangsawanan)

dari bapak kepada putranya. Sistem pewarisan gelar dari bapak kepada anak

laki-lakinya adalah pengaruh kebudayaan Islam. Gelar-gelar kebangsawanan itu

adalah: sidi, bagindo, dan sutan. Ketiga, dalam masyarakat Kecamatan Sungai

Geringging berlaku manjapuik dengan uang japutan dalam perkawinan,

sementara adat itu tidak berlaku pada masyarakat Minangkabau lainnya diluar

Kabupaten Pariaman. Ketiga perbedaan yang disebutkan sebelumnya muncul

setelah terjadinya proses akulturasi antara kebudayaan Islam dengan

kebudayaan setempat.

Susunan masyarakat Kecamatan Sungai Geringging pada dasarnya

sama dengan susunan masyarakat di nagari-nagari lain di Minangkabau pada

umumnya, yakni berdasarkan pada pembagian penduduk dalam suku-suku.

Pembagian dalam suku-suku itu sangat berpengaruh dan menentukan terhadap

98
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sistem sosial hubungan-hubungan sosial karena suku merupakan satu kesatuan

geneologis yang diagungkan oleh orang masyarakat Minangkabau.

Dengan munculnya golongan sosial baru atas pengaruh kebudayaan

Islam, yaitu golongan sosial yang kemudian dikenal dengan gelar sidi, bagindo,

dan sutan, dan dalam perkembangan selanjutnya dianggap sebagai golongan

bangsawan, struktur sosial masyarakat Kecamatan Sungai Geringging

mengalami perubahan. Golongan sosial baru ini mendapat kedudukan terhormat

dalam masyarakat setempat. Bahkan pada masa tertentu setelah semakin

besarnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan masyarakat, golongan sosial

ini menempati status sosial yang sejajar, bahkan dalam perkembangan terakhir

lebih tinggi dari pada keturunan raja dan pimpinan suku-suku atau para

penghulu (datuk).

Golongan sosial baru ini dihormati dalam masyarakat adalah karena

mereka dianggap sebagai orang-orang yang memiliki pengetahuan yang luas

dibidang agama dan juga orang-orang kaya yang menguasai sebagian besar

sistem ekonomi dalam masyarakat.

Golongan sosial baru yang disebutkan di atas tidak muncul dengan

tiba-tiba, melainkan melalui proses yang panjang. Mereka bukan orang asing

atau para pendatang, tetapi sebagian dari penduduk setempat yang dapat dengan

cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan, yaitu melalui interaksi dengan

para pendatang yang pada umumnya adalah pedagang dari luar, khususnya dari

aceh. Perlu ditegaskan disini, bahwa golongan sosial baru itu adalah orang-

orang setempat yang dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan cepat

99
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dengan perubahan yang terjadi. Artinya, mereka adalah orang-orang yang hidup

bersuku-suku, berkampung-kampung, berdatuk, dan bermamak seperti anggota

masyarakat Kecamatan Sungai Geringging lainnya.

Setelah agama Islam semakin berpengaruh dalam kehidupan

bermasyarakat, maka terjadi perubahan atau lebih tepatnya penambahan unsur-

unsur baru dalam kebudayaan tetapi tanpa menghilangkan unsur-unsur yang

telah hadir sebelumnya (inkrepentasi). Keseluruhan dari situasi ini berdampak

pada perubahan sosial pada masyarakat. Jika sebelumnya hanya ada sistem

pewarisan gelar dari mamak kepada kemakan yaitu gelar datuk, maka setelah

pengaruh Islam semakin besar muncul, sistem pewarisan gelar menjadi dari

bapak kepada anak laki-lakinya tanpa menghilangkan sistem yang telah ada

jauh sebelumnya. Artinya, kedua sistem gelar ini berjalan secara bersama-sama

tanpa menimbulkan dampak sosial apapun yang dapat merugikan penganut dari

masing-masing sistem yang ada.

Golongan sosial baru yang dijelaskan di atas lama kelamaan dianggap

sebagai golongan bangsawan dalam masyarakat. Dalam konteks perkawinan

dalam rangka peningkatan status sosial bagi orang-orang biasa atau bukan dari

kalangan bangsawan, orang dari golongan bangsawan ini diperlakukan sebagai

orang-orang jemputan. Situasi ini bermakna dalam perkawinan mereka yang

berasal dari golongan bangsawan ini dijemput dengan uang jeputan sebagai

penghargaan atas status sosial yang lebih tinggi yang dimilikinya.

Kondisi yang demikian ini terjadi dalam usaha orang-orang biasa

meningkatkan status sosialnya, dengan jemputan orang bangsawan tersebut

100
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
status sosial keluarga mereka diharapkan akan terangkat, dan anak-anak yang

lahir dari perkawinan tersebut akan mendapatkan gelar kebangsawanan seperti

gelar yang dimiliki oleh bapaknya, yaitu gelar sidi, bagindo atau sutan, sehingga

menjemput orang yang berasal dari golongan bangsawan dalam perkawinan

menjadi suatu kebiasaan dalam masyarakat setempat. Dengan adanya kondisi

yang demikian ini maka lahirlah istilah manjapuik marapulai.

Masyarakat Kecamatan Sungai Geringging hidup dengan bersuku,

berkampung dan berkaum. Setiap suku terdiri atas beberapa kampung (kaum),

setiap kampung terdiri atas beberapa paruik, dan setiap paruik terdiri atas

beberapa keluarga inti. Setiap kelompok sosial, mulai dari suku sampai kepada

keluarga inti masing-masing mempunyai pimpinan, sama dengan halnya pada

masyarakat Minangkabau pada umumnya di wilayah Sumatera Barat.

Di Kecamatan Sungai Geringging terdapat beberapa suku, dengan

demikian ada pula beberapa penghulu suku atau datuk suku. Keberadaan suku

tersebut berkaitan erat dengan proses kedatangan penduduk setempat dari

daerah asalnya di wilayah darek pada masa lalu, artinya mereka bukan

menciptakan nama suku baru melainkan membawa suku mereka di waktu

mereka pindah ke wilayah pasisie.

Menurut beberapa sumber baik sumber lisan dan tertulis, didapati bahwa

pada awalnya terdapat empat jenis suku saja, yaitu: koto, piliang, bodi, dan

caniago. Setiap suku dikepalai oleh seorang penghulu atau datuk yang disebut

dengan penghulu suku. Di nagari-nagari tertentu, misalnya di Kecamatan

Sungai Geringging penghulu suku disebut dengan penghulu pucuak.

101
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pembagian dalam suku-suku pada awalnya dimaksudkan untuk mengatur

masalah perkawinan, agar keturunan-keturunan mereka dapat saling mengawini

dan melarang berlakunya endogami yaitu perkawinan antar laki-laki dan

perempuan yang sesuku. Hidup bersuku sekaligus merupakan dasar dari

ketentuan tentang eksogami dan tabuincest, yaitu setiap orang seharusnya

kawin dengan orang yang berada di luar sukunya dan tidak dibenarkan kawin

sesuku. Hal ini dapat dipercaya sebagai orang yang bertalian darah atau

memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat.Sebuah kampung terdiri dari

beberapa paruik, dan setiap paruik dikepalai oleh seorang laki-laki tertua pada

paruik tersebut yang disebut sebagai tungganai. Paruik adalah orang-orang

yang tinggal dalam satu rumah gadang yang terdiri atas nenek, anak-anak

perempuannya, anak laki-lakinya yang belum menikah dan cucu-cucunya yang

berasal dari anak-anak perempuannya. Kesatuan kelompok kecil ini disebut

dengan samandeh. Adapun urutan geneologis dalam suku Minangkabau adalah:

samandeh, saparuik, sakampuang, dan sasuku.

Pada masa sekarang ini seorang ayah dalam sebuah keluarga bertanggung

jawab penuh terhadap anak-anak dan isterinya, terhadap pendidikan dan masa

depan keluarganya. Dualisme kepemimpinan (antara ayah dan mamak) pada

sebuah keluarga hampir sudah tidak ada lagi, meskipun seorang ayah sesuai

dengan sistem matrilineal yang dianut masih tetap bersuku menurut suku ibunya

masih dan tetap menjadi anggota suku ibunya, dan anak-anaknya tidak termasuk

kedalam suku ayahnya.

102
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Ayah, ibu dan anak-anak pada masa sekarang adalah merupakan kesatuan

keluarga inti. Seorang ayah dimasa sekarang adalah pimpinan penuh atau kepala

keluarga. Kenyataan yang ditemui di lapangan menunjukkan bahwa perbedaan

suku antara ayah, isteri dan anak-anaknya tidak merupakan faktor terbentuknya

keluarga batih, yaitu anak-anaknya harus menjadi anggota suku dari suaminya.

Jika pada masa lampau kepentingan suatu keluarga diurus oleh seorang laki-laki

dewasa dari pihak isteri (mamak), maka pada masa sekarang kondisi itu

mengalami perubahan. Seperti terbukti dalam masyarakat Kecamatan Sungai

Geringging bahwa kepentingan sebuah keluarga dewasa ini diurus oleh seorang

ayah. Hal ini terjadi adalah karena semakin kuatnya ikatan emosional antara

ayah, ibu dan anak dalam keluarga.

Prinsip utama dalam perkawinan di Kecamatan Sungai Geringging

adalah eksogami atau perkawinan di luar suku. Perkawinan dengan orang

sesuku dianggap sebagai perkawinan yang melanggar adat atau tabu. Orang

yang melakukannya akan mendapatkan sanksi secara adat yaitu dibuang secara

sepanjang adat, diusir, tidak dibenarkan lagi tinggal di nagarinya. Hal itu

disebabkan karena orang-orang sesuku dipercaya berasal dari nenek yang sama.

Prinsip utama dalam perkawinan eksogami pada masyarakat setempat

sebetulnya merupakan suatu kondisi yang berpotensi dalam hal terjadinya

perubahan pada adat perkawinan manjapuik dengan uang jemputan. Dengan

aturan eksogami membuka peluang untuk kawin dengan orang-orang yang

bukan hanya di luar suku saja melainkan juga bisa juga kawin dengan orang

yang berlainan desa, nagari, daerah, bahkan dengan etnis dan suku bangsa lain.

103
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Perkawinan antara dua orang yang berbeda daerah, etnis, dan bangsa

tentu akan melibatkan dua kebudayaan yang berbeda dalam arti akan terjadi

kesepakatan antara kedua belah pihak berkenaan dengan adat perkawinan yang

akan dilaksanakan. Dalam kenyataan sosial yang terjadi di Kecamatan Sungai

Geringging, kondisi yang dikemukakan di atas sudah sering terjadi. Jika pihak

laki-laki berasal dari daerah lain yang berbeda adat, maka keluarga perempuan

yang berasal dari Kecamatan Sungai Geringging biasanya akan melakukan

pendekatan kepada pihak laki-laki apakah akan memakai adat manjapuik atau

tidak. Adat perkawinan dalam masyarakat pihak calon pengantin laiki-laki tidak

mengenal adat manjapuik maka pihak keluarga perempuan biasanya akan

menyesuaikan dengan adat yang berlaku di tempat asal laki-laki. Sebaliknya,

jika pihak laki-laki yang berasal dari Kecamatan Sungai Geringging dan calon

pengantin wanita berasal dari daerah lain, masyarakat setempat cenderung

menawarkan adat mereka terlebih dahulu pada pihak keluarga perempuan.

104
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB V

PERFORMANSI TRADISI MANJAPUIK MARAPULAI ADAT

PERKAWINAN MINANGKABAU

5.1 Pengantar

Bab ini diawali dengan menguaraikan performasi yang terdapat dalam

tradisi manjapuik marapulai yang dapat dideskripsikan menjadi empat (4)

bagian utama, yaitu: bentuk komunikasi, partisipan, alat atau bahan yang

digunakan serta pelaksanaan upacara manjapuik marapulai. Selanjutnya,

bahasan dilanjutkan dengan menguraikan teks, ko-teks dan konteks

5.1.1 Performansi

Performansi merupakan suatu proses komunikasi yang bermuatan sosial,

budaya dan estetika. Sesuai dengan pernyataan Finnegan (1992: 91) bahwa

performansi dapat dibedakan atas dua (2) jenis, yaitu: performansi yang

ditampilkan dihadapan audiens dengan maksud sebagai hiburan, dan

performansi yang ditampilkan dan dimanfaatkan untuk tujuan sakral.

Performansi manjapuik marapulai ini dapat dikategorikan kepada jenis

performansi yang kedua yakni, performansi yang dimanfaatkan untuk tujuan

yang sakral dengan melibatkan audiens dan partisipan, media atau sarana yang

digunakan, serta verbal dan material yang terdapat di dalam acara tersebut.

Performansi sakral manjapuik marapulai dalam upacara adat

perkawinan Minangkabau di Sungai Garingging Pariaman dideskripsikan ke

dalam empat (4) bagian, yaitu: (1) Bentuk komunikasi, (2) Partisipan; Pelaku

105
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan audiens, (3) Bahan atau alat yang digunakan, dan (4) Pelaksanaan acara

manjapuik marapulai. Berikut ini dijelaskan uraian masing-masing unsur yang

terdapat dalam performansi pada acara manjapuik marapaulai.

5.1.1.1 Bentuk Komunikasi

Unsur terpenting dalam sebuah performansi adalah komunikasi. Pada

tradisi manjapuik marapulai ini tidak terlepas dari peristiwa komunikasi yang

terjadi antara seseorang dengan orang yang lain. Dalam hal ini proses

komunikasi yang terjadi dilakukan oleh juru bicara dari masing-masing

perwakilan baik itu dari keluarga anak daro maupun marapulai. Bentuk

komunikasi yang disampaikan pada acara manjapuik marapulai ini bukanlah

bentuk komunikasi sebagaimana dilakukan sehari-hari, melainkan disampaikan

dalam bentuk komunikasi yang estetik dan bernilai kultural.

Proses komunikasi yang terjadi diwujudkan dalam bentuk pasambahan

yang dilakukan yaitu melalui komunikasi dua arah, antara juru bicara anak daro

dan juru bicara marapulai yang dilakukan secara sambung menyambung.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa pasambahan

adalah pidato adat yang digunakan dalam acara adat yang tersusun, teratur dan

berirama serta isinya dikaitkan dengan tambo dan asal-usul dengan menyatakan

maksud, rasa hormat, tanda kebesaran, dan tanda kemuliaan. Pasambahan juga

merupakan pernyataan hormat dan khidmat kepada orang-orang dimuliakan dan

dihormati. Umumnya juru bicara yang melakukan dialog pasambahan ini

menyampaikan kata-katanya dengan penuh hormat dan dijawab dengan cara

yang hormat pula. Untuk melakukan pasambahan ini digunakan suatu varian

106
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bahasa Minang tertentu yang mempunyai format yang baku. Format

pasambahan ini penuh dengan kata-kata bijak dan klasik, pepatah petitih,

mamang, dan dapat pula berupa pantun. Bahasa pasambahan ini dapat berbeda

dalam variasi dan penggunaan kata-katanya, namun secara umum dapat

dikatakan ada suatu format yang standar bagi seluruh Minangkabau.

Bentuk komunikasi pasambahan manjapuik marapulai ini, digariskan

penentuan peran dari masing-masing pihak dalam setiap pembicaraannya

dengan alur yang dilakukan oleh dua orang juru bicara yaitu juru bicara utusan

anak daro atau si alek dan juru bicara utusan marapulai atau si pangka. Si alek

adalah tamu atau sebagai pemohon, dalam hal ini si alek yang mengajukan

maksud dan tujuan kedatangannya. Sementara itu, si pangka adalah sebagai

tuan rumah yang menerima permohonan dan memiliki kewenangan dalam

legalitas pelaksanaan acara tersebut.

Adapun struktur pasambahan yang terjadi dalam acara manjapuik

marapulai adalah sebagai berikut:

1. Struktur Pasambahan si alek

a. Pembukaan Kata

(1) Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh.

(U)da Nang, kok sungguahpun da Nang


Abang , jika sungguhpun abang

maimbau, artie sagalo salam mamilih jo mananti.


memanggil,artinya segala salam memilih dan menanti

Sungguah di ambo tarabiak parundiangan ko,

107
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sungguh di saya terbit perundingan ini,

lah saiyo samufakek lo kami yang datang dari


sudah seiya semufakat pula kami

Parawik tadi.
nama tempat

„Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh. Segala salam


kami sampaikan kepada abang yang telah menanti kami. Walaupun
perundingan ini datangnya dari saya, kami telah sepakat untuk
menghadiri undangan yang telah disampaikan.‟

Maksud dari pembukaan kata dalam pasambahan manjapuik

marapulai dimulai oleh juru bicara anak daro (si alek) dengan

mengucapkan salam. Selanjutnya juru bicara menyatakan

kedatangan mereka adalah sesuai dengan panggilan yang di

sampaikan oleh keluarga marapulai, dan adapun sesampainya

mereka di kediaman marapulai adalah merupakan kesepakatan

yang telah mereka rundingkan sebelumnya di kediaman anak daro.

b. Pernyataan Sembah

(2) Rila jo maaf ambo mintak , salam dek dimuliakan.


Rela dan maaf saya minta, karena

Sungguhpun da Nang surang nan dihadang


Sungguhpun abang seorang yang

jo sambah, disabuik namo bapujikan gala.


Dengan sembah, disebut nama berpujikan gelar.

Sambah ambo sambah data.

108
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sembah saya sembah datar.

Dari ujuang tarui ka pangka, dari tangah tarui ka tapi.


ujung terus ke pangkal, tengah terus ke tepi.

Maantakan sambah kabakeh da Nang.


Mengantarkan sembah kepada abang

Kok sambah manyambah ka disabuik ambo


Jika sembah menyembah akan disebut saya

lah bakiro urang.


sudah seperti orang.

Baa tata siriah jo pinang, siriah sakapuah


Bagaimana sirih dan pinang, sirih sekapur

nan alun masak.


yang belum

Dek karano labiah capek kaki lah ringan tangan,


Oleh karena lebih cepat lah

anak mudo matah nan di mudiak manganta siriah ka


muda mentah yang mudik mengantar sirih ke

gagang nyo, mangukua pinang ka tampuanyo


nya, mengukur ke tampuknya

mancukia nan lai.


Mencungkil yang ada.

Ka pasa nan rami lalu dibalian kampia sirih.


Ke pasar yang ramai lalu dibelikan kampil sirih.

Kampiah siriah di tapi dianta ka tangah,


Kampil sirih tepi diantar ke tengah,

ka hadapan angku-angku, ninik mamak, iman katik,


ke orang tua, pemuka adat, tokoh agama

109
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pegawai-pegawai, urang sumando, sarato jo
Pegawai, ipar, serta dengan

pemuda.

„Saya memohon maaf dan menyampaikan salam kepada seluruh


yang hadir di sini. Walaupun abang saja yang akan disembah, yang saya
sebutkan nama dan gelarnya. Sembah saya ini sembah datar, artinya dari
ujung terus ke pangkal, dari tengah terus ke tepi, mengantarkan sembah
kepada abang. Jika sembah menyembah yang ingin di sampaikan,
selayaknya sirih dan pinang yang ditata, sekapur sirih yang belum
masak. Dengan maksud anak muda seperti saya yang belum memiliki
pengalaman mengantarkan kampil sirih yang ada di tepi diantar ke
tengah kehadapan orang tua, pemuka adat, pemuka agama, pegawai-
pegawai dan pemuda.‟

Maksud dari pernyataan sembah ini adalah juru bicara anak daro

menyampaikan rasa hormatnya kepada keluarga besar marapulai yang

telah hadir di dalam ruangan tersebut. Rasa hormat tersebut disampaikan

dengan memberikan seperangkat sirih yang telah ditata pada carano

kemudian carano tersebut diberikan kepada orang-orang yang patut

diberikan sembah, dalam hal ini diberikan kepada angku-angku, ninik

mamak, imam katik, pegawai-pegawai dan pemuda.

c. Penyampaian Maksud

(3) Umumnya sigalo silang sipangka karajo nan bapokok


Umumnya segala sipangkal kerja yang berpokok

khususnya kapado sanak famili nan mananti,


kepada keluarga yang menanti,

melalui permintaan malah kami da Yon


bahkan abang

110
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kok siriah di cabiak pinang digatok sada dibaliak
jika sirih sobek diketok kapur sirih dioles

gambia di putuih santuang di jujuik dimasaan siriah


gambir putus penuh di jujut dimasakkan sirih

kami sakapua.
sekapur.

Surang lah habih sakapuih elok bana.


Seorang sudah habis sekapur baik benar.

Dima ado angek sinan api padam dee.


Dimana ada hangat disitu api padam olehnya.

Kini ko da Yon, ambo taaway loh


ini abang , saya terpegang pula

rancana nan ka ampek,


rencana yang ke empat,

artie dek nan ka ampek ko tujuan jo mukasuik,


artinya karena yang ke empat ini tujuan dan maksud,

tujuan jo mukasuik kami nan datang dari


dan maksud yang

Padang bibiriak tadi kamari artie tuk manapeki


Nama tempat kemari artinya untuk menepati

padang nan diukua janji nan diarek


tanah yang diukur yang diikat

baa kato-kato urang, rimbun rampak karambia


seperti kata-kata orang, berdahan kelapa

Pagai, ditanam sutan di ateh munggu,


nama daerah, gelar orang minang atas bukit kecil

bulan tampak janji, lah sampai kami


, sudah

manapeki janji nan dulu.


menepati janji yang dahulu.

111
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kalau janji nan dulu artie manjapuik marapulai
yang dahulu artinya menjemput pengantin (lk)

nan banamo Satria Perdana, nak kami nikahkan beko


yang bernama Satria Perdana, hendak kami nanti

jo sanak kamanakan kami nan di mudiak banamo


dengan kemenakan yang di mudik bernama

Suci Nurul Hidayati.

Sagalo pajanjian karam buatan kito nan dulu


Segala perjanjian kita yang dulu

tu lah dibantang.
Itu telah

„Umumnya pekerjaan yang memerlukan musyawarah, khususnya


kepada keluarga yang telah menunggu. Dengan permintaan inilah kami
bang, kalau sirih dikoyak, pinang dipecahkan, kapur sirih dioles
hendaknya diterima. Walaupun hanya satu orang yang memakannya, bagi
kami tidak masalah. Sekarang ini bang, saya sudah berencana ingin
menyampaikan rencana yang ke empat, artinya karena yang keempat ini
adalah tujuan dan maksud, maka tujuan dan maksud kami yang datang
dari Padang Babirik tadi kemari adalah untuk menepati janji. Seperti kata-
kata orang, rimbun dahan kelapa Pagai, ditanam sutan di atas bukit, bulan
telah nampak, janji telah sampai, maka kami menepati janji yang dahulu.
Kalau janji yang dahulu adalah untuk menjemput marapulai yang
bernama Satria Perdana yang kemudian nantinya akan kami nikahkan
dengan keponakan kami yang bernama Suci Nurul Hidayati. Menurut saya
janji kita yang duhulu sudah jelas adanya.‟

Dari pasambahan untuk menyatakan maksud ini, juru bicara anak

daro menyampaikan maksud kedatangan mereka adalah untuk menepati

janji yang telah disepakati jauh hari sebelumnya, dalam hal ini adalah

untuk menjemput marapulai dan nantinya akan disandingkan dengan

anak kemenakan mereka pada pesta perkawinan mereka yang diadakan

di kediaman anak daro. Dalam pasambahan menyatakan maksud ini

112
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
juru bicara anak daro menguatkan maksud kedatangan mereka dengan

menyebutkan nama marapulai yang mereka jemput.

d. Penegasan

(4) Kok dicaliak tampak, diesek taraso,


Jika dilihat , diraba terasa,

tulah bantuake da Nang.


Itulah bentuknya bang

Kok pintak buliah kandak balaku,


Jika pintak boleh kehendak berlaku,

sungguahpun marapulai nan ambo japuik


sungguhpun pengantin (lk) yang saya jemput

cukuik jo urang mudo jo urang mampu


cukup dengan orang muda dengan orang mampu

lai samo sekali jo sumandane.


ada sama dengan sumandannya (pendamping).

„Sesuatu yang berwujud akan nampak jika dilihat, akan terasa


jika diraba, begitulah bentuknya bang. Jika diizinkan untuk meminta dan
berkehendak, marapulai yang saya jemput ini cukup hanya dengan
orang muda dan orang mampu serta sumandannya saja.‟

Dalam penegasan ini juru bicara anak daro menyampaikan

keinginan mereka adalah unutuk menjemput marapulai cukup dengan

mereka yang hadir di ruangan tersebut.

e. Mengakhiri Sembah

(5) Tulah da Nang sapanjang kito tadi


Begitulah bang sepanjang kita

barundiang, ambo mungkin mudo matah,


berunding, saya muda mentah,

113
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mungkin ado giweh jo hilafah salah ambo jo sanggah.
ada sikap dan perbuatan saya juga

Maklumlah awak nan hidup ko dak ado nan


kita yang ini tidak ada yang

tapapuronoh.
Sempurna.

Indak ado gadiang nan dak ratak.


Tidak ada gading yang tidak retak.

Baa kecek-kecek urang, kami ateh namo rombongan


Seperti kata-kata orang, kami atas nama

nan datang dari Padang Babiriak tadi,


yang datang dari nama tempat

mamintak badunsanak di siko rila jo maaf yang


meminta keluarga sini rela juga

sabasar basarnyo tantang giwah jo gaweh


sebesar-besarnya tentang sikap dan perbuatan

jo kato nan ampek,


juga kata yang empat,

banang nan limo tadorong gading dek gajah.


Benang yang lima terdorong gading karena

Tantu maaf ambo bapilar ka nan satu.


Tentu saya berpilar kepada yang

Nan ka duo kito enjeng babuhua aia.

Yang ke dua kita bawa berikat air.

114
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
„Sepanjang kita berunding tadi bang, saya mungkin belum
memiliki banyak pengalaman, mungkin ada sikap dan perbuatan saya
yang tidak berkenan, maklumlah kita yang hidup ini tidak ada yang
sempurna. Tak ada gading yang tak retak, seperti kata-kata orang. Kami
atas nama rombongan yang datang dari Padang Babirik tadi, meminta
maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga di sini apabila kami
berkata tidak sesuai dengan kata yang empat kepada seluruh yang hadir
di sini. Tentu saja dalam hal ini maaf saya hanya berpilar kepada yang
satu, yaitu kepada Allah SWT dengan tujuan agar silaturahim tetap
terjalin.‟

Maksud dari pasambahan mengakhiri sembah ini adalah untuk

meminta maaf apabila ada kata dan perbuatan yang tidak berkenan oleh

tuan rumah. Permintaan maaf ini didasari kepada kato nan ampek,

artinya dalam melakukan komunikasi seseorang harus mengetahui latar

belakang lawan bicaranya dalam hal ini banang nan limo, yaitu ninik

mamak, imam katik, urang sumando, pegawai dan pemuda.

f. Penyesuaian

(6) Tarimo kasih banyak da Nang lah


Terima kasih bang sudah

samo–samo balapangan.
Sama-sama dilapangkan.

Di situ dek banyak karajo, tantu kami


Di situ karena pekerjaan, tentu

mungkin ka pai ka mudiak lai,


akan pergi ke mudik lagi,

tuak maagih kaba dusanak yang di mudiak,


untuk memberi kabar keluarga yang mudik,

115
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ka urang nan tibo jo rombongan.

Kepada orang yang tiba dengan

„Terima kasih banyak bang. Karena di sana banyak pekerjaan,


oleh karena itu kami mungkin akan kembali ke pulang, untuk
menyampaikan kabar kepada keluarga yang ada di sana, serta kepada
orang-orang yang datang.‟

Maksud pasambahan penyesuaian ini adalah untuk mengakhiri

sembah dengan mengucapkan terima kasih karena pihak tuan rumah

yang telah mengabulkan permintaan mereka untuk membawa

marapulai menuju ke kediaman anak daro. Dalam hal ini juru bicara

anak daro menyampaikan bahwa mereka ingin kembali ke kediaman

anak daro untuk menyampaikan kabar, agar keluarga yang mereka yang

telah menunggu dapat mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan

penyambutan marapulai.

2. Struktur Pasambahan Si Pangka

Pasambahan si pangka adalah pasambahan yang dilakukan oleh

tuan rumah dalam menyambut dan membalas kata-kata pasambahan

yang dilakukan oleh juru bicara anak daro. Adapun struktur

pasambahan si pangka adalaah sebagai berikut:

a. Pembukaan oleh Tuan Rumah

116
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(7) Artie dimulai baitu, di partamo dak?
Artinya begitu, di pertama kan?

Lakuang ka batinjau, kalam ka basigi,


Lekung akan ditinjau, gelap akan dilihat,

tantang silang sipangka.


Tentang sipangkal.

Baa tadi lah tabaokan dek si Jon tapak itiak.


Sebagaimana telah dibawakan oleh nama sembah

Tapak itiak tantu yo bateh nagari bapaga.


Sembah tentulah batas daerah berpagar.

Bapaga langsuang bajam gadang.


Berpagar langsung berjam gadang.

Dalam barek jo balabiah cupak jo gantang


Dalam berat juga berlebih takaran beras oleh gantang

tantu di lingkung adaik jo pasuko.


Tentu di lingkungan adat dan pusaka.

Anao jo sigai, siriah basusun yang ka dikambuik.


Enau dan tangga, sirih bersusun akan dianyam
menjadi tas.

Nan tungga kete, kato ka bajawek indak ka


Yang tunggal kecil, kata akan dijawab tidak akan.

babalikan.
Dikembalikan.

„Artinya dimulai dari yang pertama kan? tikungan yang dilihat,


gelap yang dilihat, semua adalah tentang pekerjaan yang memerlukan
musyawarah. Seperti sembah yang telah disampaikan oleh si Jon.
Sembah artinya tentang batas negeri yang berpagar. Berpagar langsung
ada jam besarnya. Berat dan lebhnya takaran beras tentu hanya sebatas
lingkungan adat dan pusaka saja yang mengetahuinya. Sirih yang telah
disusun, tentu kata yang telah disampaikan tidak akan ditarik kembali.‟

117
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dalam pasambahan ini juru bicara marapulai akan membuka

sembah dengan menjawab sembah yang sebelumnya telah dibuka oleh

juru bicara anak daro.

b. Pernyataan Sembah

(8) Tantang jo sambah Jon di ciek kaduo,


Tentang dengan sembah di satu kedua,

lah baduo duduak basimpuah baselo kala barundiang,


sudah berdua duduk bersimpuh bersila berunding,

waktupun tasusun, jadi tarenjeang tangan siko


taangkek
waktupun tersusun, terangkat tangan disini
terangkat

sambah.
sembah.

„sembah yang dilakukan si Jon tadi sudah saya diterima.


Sekarang saya yang kan memberikan sembah kembali kepada si Jon.
Selanjutnya kita duduk bersila untuk berunding.‟

Pernyataan sembah dilakukan oleh juru bicara marapulai untuk

membalas sembah yang telah dilakukan sebelumnya oleh juru bicara

anak daro. Dengan mengangkat tangan duduk bersimpuh, sembah

ditujukan kepada keluarga besar anak daro yang datang ke kediaman

marapulai.

c. Penyampaian Maksud

(9) Baa kecek urang pasia badanga tantu ombak


Seperti kata orang pantai terdengar tentu

ka bacaliak atau carito dikamukokan dulu Jon


akan dilihat cerita dikemukakan

118
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
atau rundiang kito baok dulu?
runding kita bawa

Kito tadi taruian se bajalan bacapek


Kita teruskan saja berjalan dengan cepat

kaki se kini.
Kaki saja

Yang partamo tantu masak bamakan.


pertama tentu dimakan.

Nan kaduo masak dimangka masak jo


parundiangan.
yang kedua mengkal dengan perundingan.

Kok dari ambo bantuik itu Jon, siriah dicabik,


Jika saya bentuk sirih disobek

pinang digatok sadah dipalih tantu santuang


Pinang diketok, kapur sirih dioles tentu penuh

dijujuik.
Dijujut.

Siriah dak ka mungkin ka hijau lai do Jon.


Sirih tidak akan akan lagi kan

Nan pinang dak ka kuniang do, sadah dak


Yang tidak akan kuning kan, kapur sirih tidak

rupo coklat.
seperti

Dak ka coklat lai sadah, tak lupo jo


Tidak akan lagi kapur sirih, tidak lupa dengan

putiahe.
putihnya.

tantu di dalam ko kandak ka baagian,


tentu di ini kehendak akan diberikan,

pintak tantu iyo bapalakuan.


Pinta tentu iya dilakukan.

119
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Nan bana lah mambaok banang bana,
Yang benarlah membawa benang benar,

bandiang luruih nan ka bapiliah.


Berbanding lurus yang akan dipilih.

„Seperti kata orang, pasir yang di dengar tentu ombak yang


harus dilihat. Apakah cerita kita dulu Jon atau runding ini yang kita
dahulukan? Kita teruskan sajalah runding kita ini. Yang pertama
tentu kalau masak di makan. Yang ke dua masak karena
perundingan. Kalau pendapat saya begini Jon, sirih di koyak,
pinang di hancurkan, kapur sirih di oles, tentu saja sirih akan
dimakan. Sirih tidak mungkin akan hijau lagi, yang pinang tidak
akan mungkin kuning lagi, karena kapur sirih sudah berwarna
coklat. Tentu saja dalam hal ini keinginan akan saya kabulkan. Hal
yang benar tentu saja akan membawa yang benar juga tentu karena
kita berpilar kepada yang satu.‟

Dalam hal ini juru bicara marapulai menyampaikan maksudnya

adalah dalam rangka permintaan yang telah diajukan sebelumnya oleh

utusan atau juru bicara anak daro, yaitu bermaksud ingin membawa

marapulai ke kediaman anak daro. Pada pasambahan ini terlihat bahwa

sirih merupakan media yang dijadikan sebagai penyampai maksud oleh

kedua orang juru bicara.

d. Mengakhiri Sembah

(10) Tinggi batang anao kok lareh,


pohon enau jika condong,

jauah jalan lamo kok sampai.


Jauh lama akan sampai.

Agak talalai ambo mamulangan kato,


lalai saya memulangkan kata,

rila jo maaf ambo mohonkan.


Rela dan saya mohonkan.

120
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
„Pohon enau yang tinggi akan tumbang juga, jauh berjalan
akan lama sampainya. Untuk itu apabila ada kata yang tidak
berkenan, saya mohon dimaafkan.‟

Dalam pasambahan mengakhiri sembah juru bicara

marapulai menyampaikan permintaan permintaan maafnya apabila

dalam penyampaian kata atau dalam menjawab kata ada hal-hal yang

kurang berkenan dari lawan bicaranya.

e. Penegasan dan Penangguhan Sementara

(11) Lah masak kue si Jon,


Sudah

sado yang simpel jelah kandak,


semua sederhana sajalah kehendak,

karano kito dak banyakkan?


karena kita tidak

Minumlah aia tu dulu diak, beko kito sambuang.


air itu dik, nanti kita sambung.

Di ciek ka duo lah baku nan tigo tantu


Dari satu ke dua sudah yang tiga tentu

ado mukasuk.
Ada maksud.

Baa kecek urang bukan daun taleh sajo


Seperti kata orang, daun talas saja

daun bacampua jo daun talang,


daun bercampur dengan daun talang,

121
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bukan dusanak ambo yang bisa kami sajo
bukan keluarga saja saja

basuo bajalanglah Jon.


bertemu disalamkan

„Kami sudah mengerti maksudnya, semua yang sederhana


saja yang kita lakukan, karena kita yang hadir di sini tidak banyak.
Minumlah air itu dulu dik, nanti runding ini akan kita sambung
kembali. Kalau satu ke dua sudah beku, yang ke tiga tentu ada
maksud. Seperti kata orang, bukan daun talas saja yang bercampur
dengan daun talang, artinya saya juga ingin memberitahukan kabar
baik ini kepada keluarga besar saya.‟

Dalam pasambahan mengakhiri sembah ini, juru bicara

marapulai menegaskan bahwa mereka sudah bersedia apabila

marapulai dibawa oleh utusan anak daro. Dalam hal ini ditegaskan

dengan kalimat lah masak kue si Jon, artinya permintaan oleh juru

bicara anak daro telah dikabulkan. Selanjutnya kalimat “Ba a kecek

urang bukan daun kanan sajo daun bacampua jo daun talang

bukan dusanak ambo yang bisa kami sajo gadang basuo bajalang”

bermakna bahwa juru bicara marapulai harus menyampaikan kabar

ini kepada keluarga besar mereka. Dalam hal ini adalah untuk

bersama-sama pergi mengantarkan marapulai ke kediaman anak

daro.

5.1.2 Partisipan

Komponen utama yang terdapat dalam performansi adalah partisipan,

yang di dalamnya terdapat unsur pelaku dan audiens. Begitu juga halnya dengan

122
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
upacara manjapuik marapulai ini, kedua unsur tersebut, yaitu pelaku dan

audiens juga ditemukan. Pelaku adalah orang yang melakukan pertunjukan dan

audiens adalah orang yang terlibat dalam pertunjukan tersebut.

Pada upacara manjapuik marapulai terdapat tiga (3) orang pelaku yang

terlibat langsung dalam acara manjapuik marapulai, diantaranya adalah: (1)

Marapulai (2) Juru bicara Anak daro, dan (3) Juru bicara marapulai.

1. Marapulai

Pengantin laki-laki atau marapulai dalam hal ini adalah orang yang di

jemput secara adat oleh rombongan keluarga anak daro untuk

dinikahkan dan disandingkan di pesta perkawinan yang diadakan di

kediaman anak daro. Marapulai nanti akan tinggal dengan istrinya

dikediaman anak daro dan dia tetap dipandang sebagai seorang

pendatang. Istilah seorang pendatang dalam bahasa Minangkabau

disebut dengan urang sumando.

123
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 5.1
Marapulai

2. Juru Bicara

Peranan seorang juru bicara dalam acara manjapuik marapulai sangat

penting. Juru bicara adalah orang yang dipercayakan dan dianggap

memiliki kemampuan dan wawasan yang luas dalam adat. seorang juru

bicara juga harus cakap dan mahir dalam berkata-kata untuk

menyampaikan maksud yang dilakukan melalui bahasa kiasan, seperti:

mamang, pepatah, pantun, dan peribahasa. Juru bicara yang diutus oleh

masing-masing pihak bukanlah berasal dari masyarakat biasa.

Umumnya, mereka yang menjadi juru bicara utusan keluarga adalah

mereka yang memiliki kualitas bahasa yang baik, karena semakin mahir

mereka dalam menggunakan bahasa berarti menunjukkan kualitas

utusan keluarga yang diwakilinya juga baik.

124
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Seorang juru bicara masing-masing utusan keluarga adalah mereka

yang menjadi pendatang pada keluarga yang diwakilinya, istilah ini

disebut sebagai urang sumando.

a. Juru bicara Anak daro

Juru bicara anak daro merupakan utusan dari pihak keluarga anak

daro atau pengantin wanita. Dalam melakukan pasambahan, juru

bicara anak daro akan memulai pasambahannya dengan salam,

menyatakan kedatangan mereka, menyatakan maksud kedatangan

mereka dan meminta izin untuk membawa marapulai.

Gambar 5.2
Juru Bicara Anak daro

b. Juru Bicara Marapulai

Peran dari seorang juru bicara marapulai tidak kalah pentingnya

dengan peran seorang juru bicara anak daro. Juru bicara marapulai

akan menyambut kedatangan rombongan utusan anak daro dan akan

membalas pasambahan yang dilakukan oleh juru bicara anak daro.

125
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 5.3
Juru Bicara Marapulai

Tradisi manjapuik marapulai tidak hanya melibatkan marapulai dan dua

orang juru bicara sebagai pelaku, namun juga memerlukan audiens utama, yaitu:

1. Kedua orang tua marapulai

Gambar 5.4
Orangtua Marapulai

2. Mamak marapulai

126
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Etek marapulai

4. Saudara laki-laki dan saudara perempuan marapulai

5. Kerabat keluarga marapulai

6. Teman-teman marapulai

7. Tetangga keluarga marapulai

8. Mamak anak daro

9. Etek anak daro

10. Kerabat keluarga anak daro

11. Tetangga keluarga anak daro

12. dua orang pasumandan.

Gambar 5.5.
Mamak Marapulai dan Anak daro

127
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 5.6
Etek, Saudara, Kerabat dan Tetangga Marapulai

Gambar 5.7
Dua orang Pasumandan

5.1.3 Bahan atau Alat yang Digunakan

Finnegan (1992) menyatakan bahwa dalam penelitian tradisi lisan satu

hal yang harus diperhatikan oleh seorang peneliti dalam performansi adalah

128
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
aspek bahan atau alat yang digunakan selama pelaksanaan acara berlangsung.

Dengan demikian, maka dalam melaksanakan upacara adat manjapuik

marapulai dibutuhkan beberapa alat atau bahan yang wajib untuk di bawa dan

ada selama proses acara tersebut. adapun alat yang digunakan adalah: sirih

dalam carano, ameh dan uang japuik, baju sapatagak, dan makanan serta

minuman.

1. Sirih dalam carano

Carano sebagai wadah yang diisi dengan kelengkapan sirih,

pinang, gambir, kapur sirih dan dulamak atau kain penutup carano.

Keberadaan carano dalam acara manjapuik marapulai ini menandakan

kedatangan rombongan utusan anak daro adalah secara adat. Carano

juga melambangkan kemuliaan bagi kaum wanita dan juga sebagai

lambang kekerabatan di Minangkabau. Sirih dan pinang langkok adalah

sebagai sebuah media komunikasi yang memiliki nilai tersendiri. Hal ini

terlihat dari fungsinya dimana sirih langkok ini adalah sebagai cara

penyampaian keinginan sehingga secara halus komunikasi tersebut dapat

berjalan dengan baik. Dalam acara manjapuik marapulai ketika sirih

sudah diketengahkan berarti perundingan ataupun keinginan dari utusan

anak daro akan disampaikan.

2. Baju Sapatagak

Pada umumnya baju sapatagak dibawa menggunakan baki. Baju

sapatagak adalah seperangkat pakaian yang akan digunakan marapulai

mulai dari tutup kepala sampai alas kakinya, yaitu: kopiah atau peci

129
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berwarna hitam, baju jas berwarna hitam, kemeja berwarna putih, ikat

pinggang, celana berwarna hitam dan sepatu berwarna hitam. Arti warna

hitam dalam adat Minangkabau adalah sebagai lambang kepemimpinan

dan tahan tempa atau kuat dengan ujian apapun, dalam hal ini warna

hitam melambangkan jiwa kepemimpinan marapulai dalam membentuk

sebuah keluarga baru yang nantinya marapulai tersebut akan menjadi

kepala keluarga di keluarga kecilnya. (baca Amir: 2011:xxii)

3. Uang

Uang yang dibawa dalam manjapuik marapulai ini disebut

dengan uang japuik atau uang jemput. Uang japuik adalah sejumlah

uang tertentu yang diberikan oleh orang tua anak daro kepada orang tua

marapulai. Uang japuik selain berfungsi sebagai persyaratan

perkawinan juga merupakan wujud sebuah penghargaan yang

ditunjukkan oleh keluarga anak daro kepada seluruh keluarga besar

marapulai.

4. Emas atau ameh

Emas yang dibawa oleh rombongan anak daro pada saat

manjapuik marapulai merupakan benda yang dibawa untuk

mendampingi jumlah uang japuik yang sudah di rundingkan

sebelumnya.

5. Makanan

Untuk melakukan penyambutan sialek atau rombongan untusan

anak daro, tuan rumah sudah menyiapkan hidangan dan menyajikan

130
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berbagai macam makanan di tengah-tengah ruang tamu dimana

rombongan utusan anak daro dan keluarga marapulai telah duduk

membentuk persegi mengikut sesuai dengan bentuk ruangan. Hidangan

ini disajikan ketika pihak sipangka atau keluarga marapulai akan

menjawab permintaan dari utusan anak daro.

5.1.4 Pelaksanaan Acara Manjapuik Marapulai

Acara Manjapuik marapulai dilaksanakan pada hari Senin, 3 Desember

2018, tetapi pada malam sebelumnya pihak keluarga anak daro telah

memberitahu kepada keluarga marapulai bahwa utusan anak daro akan datang

pada pukul 9.00 WIB pagi hari. Pada hari itu seluruh anggota keluarga

berkumpul dan duduk bersama di ruang tamu untuk berunding mengenai apa

yang harus dilakukan dalam melaksanakan proses manjapuik marapulai

tersebut. Anggota keluarga yang berkumpul dalam acara persiapan ini adalah

seluruh keluarga besar dan orang- orang yang pantas secara adat, seperti:

mamak, ninik mamak, kapalo mudo, urang sumando, dan pasumandan.

Sebelum pelaksanaan dilakukan, seluruh anggota keluarga dihidangkan

berbagai macam makanan untuk disantap oleh keluarga sebelum berangkat ke

rumah marapulai. Setelah menyantap hidangan yang disajikan, Pada saat yang

bersamaan ibu anak daro mengeluarkan benda-benda yang akan dibawa oleh

utusan di hadapan seluruh anggota keluarga, dan menjelaskan kepada utusan

bahwa barang- barang tersebut merupakan kesepakatan dari kedua belah pihak

keluarga pengantin.

131
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Benda-benda yang harus dibawa adalah sejumlah uang, emas, carano

yang berisi seperangkat sirih yang ditempatkan dalam carano, baki atau talam

yang di dalamnya terdapat baju sapatagak yang terdiri dari kopiah, jas, ikat

pinggang, dan sepatu. Kemudian salah satu utusan memeriksa kembali benda

yang akan dibawa, dan menghitung ulang jumlah uang dan emas. Setelah

dilakukan penghitungan uang yang dibawa adalah sejumlah dua puluh lima juta

rupiah (Rp. 25.000.000) dan emas seberat 10 ameh atau setara dengan 25 gram

yang kemudian uang dan emas ini dibungkus rapi dengan sapu tangan.

Setelah semua benda-benda tersebut tertata dengan rapi, barulah anggota

keluarga berembuk untuk memutuskan siapa-siapa saja yang akan menjadi juru

bicara pada pelaksanaan manjapuik marapulai. Dalam mengutus suatu

rombongan untuk berkunjung kepada keluarga lain untuk menyampaikan hajat

keluarga, dalam hal ini adalah untuk menjemput marapulai harus ada yang

ditunjuk atau dituakan untuk memimpin rombongan sebagai kepala rombongan

atau sebagai kepala pimpinan. Pimpinan inilah yang akan menjadi juru bicara

dan menjadi pemandu bagi keseluruhan pengikutnya atau rombongannya

tersebut. Orang yang menjadi juru bicara adalah orang yang dianggap layak dan

paham mengenai adat istiadat serta memiliki kedudukan yang hampir sejajar

dengan pimpinan dari keluarga yang hendak dikunjungi.

Menjadi seorang juru bicara bukanlah perkara mudah. Tidak semua

orang dalam sebuah keluarga tersebut mampu untuk menjadi seorang juru

bicara. Untuk menjadi seorang juru bicara, dibutuhkan keahlian khusus dalam

melakukannya. Setelah melalui perundingan, didapatlah kesepakatan bahwa

132
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang menjadi juru bicara pada rombongan yang akan menjemput marapulai

adalah katuo mudo yang bernama Bapak John Hendri.

Setelah kesepakan diperoleh, selanjutnya mereka secara bersama-sama

memanjatkan doa kepada Allah SWT agar mereka selamat sampai tujuan dan

diberikan kemudahan dalam melaksanakan proses manjapuik marapulai sampai

mereka kembali ke tempat asal. Seluruh anggota keluarga yang menjadi utusan

kemudian bersiap untuk berangkat ke kediaman marapulai. Mobil digunakan

sebagai transportasi yang mengangkut rombongan utusan manjapuik marapulai.

Beberapa orang utusan membawa benda yang harus dibawa ke dalam mobil dan

beberapa orang lainnya langsung masuk ke dalam mobil yang lainnya.

Setibanya rombongan di depan pintu rumah, rombongan tidak langsung

masuk ke dalam rumah, melainkan harus menunggu keluarga yang lain tiba

untuk berkumpul di halaman rumah marapulai. Setelah semua utusan

berkumpul di halaman rumah marapulai, tuan rumah (sipangka) juga telah

bersiap dan menunggu untuk mempersilahkan seluruh utusan anak daro yang

datang untuk masuk ke dalam rumah. Ketika utusan memasuki rumah

marapulai, salam diucapkan kepada seluruh orang yang berada di dalam rumah

tersebut. Utusan yang membawa baki yang berisi baju sapatagak langsung

memberikannya kepada keluarga yang berhak menerima baki tersebut.

Bersamaan dengan proses tersebut, pihak keluarga marapulai mempersilahkan

rombongan utusan untuk duduk dipermadani yang telah dibentangkan

sebelumnya. Setelah beberapa saat, dan dirasa semua rombongan utusan anak

daro telah memasuki rumah dan duduk di dalam acara tersebut, yang menjadi

133
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
juru bicara kemudian berbisik kepada salah satu keluarga marapulai untuk

bertanya, kepada siapa dia seharusnya menghaturkan sambah, agar tidak ada

yang terlewatkan. Pertanyaan berbisik ini merupakan tata tertib yang harus

dilaksanakan, agar sambah yang akan ditujukan itu jatuh kepada orang yang

tepat, artinya mereka adalah orang yang memang memiliki keahlian yang

sepadan untuk menjawab kata secara alur pasambahan. Sebab jika tidak

dihaturkan kepada orang yang tepat, maka ini secara tidak langsung akan

membuat malu dan canggung orang yang dituju dan bahkan dapat menimbulkan

perasaan kurang nyaman dihati tuan rumah. Sambah yang dihaturkan

seharusnya ditujukan kepada orang tua marapulai, urang sumando, kapalo

mudo dan sanak famili yang hadir pada acara tersebut.

Selanjutnya utusan anak daro melakukan sambah pembuka kato. Dalam

sambah pambuka kato ini utusan menyampaikan rasa terimakasih atas

penyambutan yang baik dan ramah dalam menyambut kedatangan mereka dan

dilanjutkan dengan sambah yang menyatakan bahwa mereka yang datang

adalah utusan keluarga anak daro yang datang secara beradat dan mereka

datang sesuai dengan janji yang telah disepakati jauh hari sebelumnya.

Kemudian utusan akan bertanya apakah dia sudah dibenarkan untuk

menyampaikan maksud sebenarnya dari kedatangan mereka. Yang dapat terlihat

dari sepenggal pasambahan berikut:

(12) Jikok ado yang takana di hati, nan tailan-ilan di mato,


Jika ada teringat yang terlintas mata,

alah kok buliah kami katangahan?


Sudah boleh ketengahkan?

134
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
„jika ada maksud kami, apakah kami sudah boleh
menyampaikannya?‟

Maksud dari pernyataan di atas bermakna meminta persetujuan untuk

mengutarakan atau menyampaikan maksud kedatangan mereka ke kediaman

marapulai.

Adapun tujuan mereka datang adalah untuk menepati janji yaitu

menjemput marapulai dan menyerahkan uang japuik kepada keluarga

marapulai. Hal ini terlihat dari sepenggal pasambahan yang dilakukan, yaitu:

(13) Kampia siriah di tapi dianta ka tangah kahadapan


Kampi sirih tepi diantar ke tengah kehadapan

angku-angku, ninik mamak, imam katik, pegawai pegawai,


orang tua, pemuka adat, pemuka agama,

urang sumando, sarato jo pemuda.


ipar, serta dengan pemuda.

„Kampi sirih yang ada di tepi kami antar ke tengah kehadapan orang tua,
pemuka adat, pemuka agama, pegawai ipar serta pemuda.‟

Pernyataan diatas ditandai dengan kampi sirih yang memiliki makna

untuk menyampaikan sembah kepada keluarga besar marapulai yang hadir di

ruangan tersebut. Selain untuk menyapaikan sembah sirih juga digunakan

sebagai media untuk menyatakan maksud kedatangan mereka.

Bersamaan dengan pasambahan ini, uang japuik yang di tempatkan

dalam saputangan yang disusun rapi diberikan kepada utusan marapulai untuk

diperiksa atau dihitung ulang kembali jumlah uang yang diberikan. Setelah

135
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
jumlah uang dan emas yang dihitung sesuai dengan kesepakatan, kemudian

uang dan emas tersebut diperlihatkan kepada angku-angku dan ninik mamak

yang berada di sekitar juru bicara marapulai untuk diperiksa kembali. Setelah

mereka memeriksanya barulah sejumlah uang dan emas tersebut diberikan

kembali kepada juru bicara untuk disimpan dan ditempatkan berdekatan dengan

baki yang berisi baju sapatak. Pasambahan ini akan terus berlangsung sampai

kesepakatan diperoleh.

Selanjutnya, Setelah sambah pembuka kato dari utusan anak daro, maka

sambah dari marapulai juga dilakukan, hal ini dilakukan adalah untuk

membalas sambah yang dilakukan utusan anak daro yang menyatakan maksud

dan tujuan mereka datang ke kediaman marapulai. Tetapi sebelum pihak

marapulai menjawab permintaan dari utusan anak daro, sebelumnya tuan

rumah menyiapkan hidangan dan menyajikan berbagai macam makanan di

tengah-tengah ruang tamu dimana rombongan utusan anak daro dan keluarga

marapulai telah duduk membentuk persegi mengikut berdasarkan bentuk

ruangan. Adapun hidangan yang disajikan adalah: nasi, rendang, gulai ayam,

sayur-sayuran, kue bolu, lepat inti, kerupuk, buah semangka dan air putih.

Semua hidangan tersebut ditata dengan rapi di atas taplak yang dibentang

panjang di tengah. Taplak ini terbuat dari kain berwarna putih yang setiap

sisinya terdapat bordiran panjang berwarna yang tidak terputus. Selanjutnya

utusan pihak marapulai mempersilahkan rombongan utusan anak daro untuk

menyantap hidangan yang telah disajikan dihadapan mereka. Hal ini terlihat

136
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dari pasambahan yang dilakukan oleh juru bicara marapulai seperti dibawah

ini:

(14) Minumlah aia sagalo nan talatak karano kito istirahat.


Minumlah air segala yang terletak, karena kita

Beko kandak ambo agiah, pintak bapalakuan sagalo


Nanti kehendak saya berikan, pinta dilakukan segala

nan dapek.
yang dapat.

„Minumlah air dan semua yang sudah disajikan, karena kita istirahat sebentar.
Nanti keinginan dan permintaan yang disampaikan akan saya kabulkan.‟
Setelah rombongan kedua belah pihak menyantap hidangan, utusan pihak

keluarga marapulai membersihkan taplak yang dibentang tadi dari piring dan

semua yang tidak digunakan lagi untuk dibawa ke dapur untuk dibersihkan.

Setelah taplak dibersihkan yang tersisa adalah kue dan buah serta air putih.

Bersamaan dengan itu sebagian yang menghadiri acara manjapuik marapulai

tersebut bercengkrama dengan orang-orang yang ada sisi kiri dan kanannya

karena acara pasambahan belum dilanjutkan.

Selang beberapa saat kemudian acara sambah manyambah kembali

dilanjutkan. Sambah ini di awali oleh juru bicara anak daro. Pasambahan kali

ini disampaikan adalah untuk menegaskan bahwa kedatangan mereka adalah

untuk menjemput marapulai dan berniat untuk membawa marapulai agar dapat

disandingkan di perhelatan pesta perkawinan di rumah anak daro. Hal ini

terlihat dari pasambahan yang disampaikan sebagai berikut:

137
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(15) Tujuan jo mukasuik kami nan datang dari
Tujuan dan maksud yang

padang bibiriak tadi kamari artie tuk manapeki


Nama tempat kemari artinya untuk menepati

padang nan diukua janji nan diarek


tanah yang diukur janji yang diikat

baa kato-kato urang, rimbun rampak karambia


seperti kata-kata orang, rimbun berdahan kelapa

Pagai, ditanam sutan di ateh munggu,


nama daerah, ditanam gelar orang Minang atas bukit kecil

bulan tampak janji, lah sampai kami


bulan tampak janji, sudah sampai kami

manapeki janji nan dulu.


menepati yang dulu.

Kalau janji nan dulu artie manjapuik marapulai


yang artinya menjemput pengantin (lk)

nan banamo Satria Perdana, nak kami nikahkan beko


yang bernama Satria Perdana, hendak nanti

jo sanak kamanakan kami nan di mudiak banamo


dengan sanak kemenakan yang mudik bernama

Suci Nurul Hidayati.


.

„Tujuan dan maksud kami yang datang dari Padang Babirik tadi kemari
adalah untuk menepati janji. Seperti kata-kata orang, rimbun dahan kelapa
pagai, ditanam sutan di atas bukit, bulan telah nampak, janji telah sampai. Kami
menepati janji yang dulu yaitu untuk menjemput marapulai yang bernama
Satria Perdana yang kemudian nantinya akan kami nikahkan dengan keponakan
kami yang bernama Suci Nurul Hidayati.‟

Setelah pasambahan yang menegaskan keinginan utusan anak daro

untuk membawa marapulai disampaikan, juru bicara marapulai kemudian

138
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berembuk dengan angku-angku dan ninik mamak yang ada di sebelahnya untuk

dapat memberikan keputusan. Setelah keputusan diperoleh barulah sambah

kemudian disampaikan, diantaranya sebagai berikut:

(16) Namoe kandak ka baagiah, pintak ka balakuan.


Namanya kehendak akan diberikan, pinta akan dilakukan.

Janji nan babuek, padang nan maukua.


Janji yang dibuat, tanah yang mengukur.

„kami akan mengabulkan permintaan yang telah disampaikan


sebelumnya.‟

Dari sepenggal pasambahan itu dapat disimpulkan bahwa juru bicara

marapulai memberikan izin untuk membawa marapulai ke kediaman anak daro

untuk disandingkan di pesta perkawinan mereka.

Setelah itu baki yang berisi baju sapatagak dibawa ke kamar marapulai

untuk dipakaikan kepada marapulai. Pada saat yang bersamaan, juru bicara

marapulai menyampaikan agar rombongan anak daro menunggu marapulai

untuk dipakaikan baju sapatagak. Hal itu dapat tergambar dari sepenggal

pasambahan yang disampaikan oleh juru bicara marapulai.

(17) Pitih nan babilang, ameh nan babongkah. Mananti si jon


Uang yang berjumlah, emas yang berbongkah. Menanti

sabanta lu Jon.
sebentar dulu

„tunggu sebentar dulu Jon.‟

Setelah marapulai selesai memakai baju sapatagaknya dan telah selesai

mempersiapkan hal-hal yang dianggap penting lainnya, maka marapulai

diantarkan ke ruang tamu untuk bertemu dengan rombongan utusan anak daro

139
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
agar bersama-sama melangkahkan kaki ke pintu dan berdiri bersama di halaman

rumah.

Selanjutnya ketika seluruh rombongan dari kedua belah pihak berdiri

dan berkumpul bersama di teras rumah, salah seorang utusan pihak marapulai

berdiri di belakang untuk membacakan doa selamat dan bersalawat

menggunakan microphone. Setelah doa selamat dan salawat diucapkan,

kemudian marapulai bersalaman dan berpelukan dengan kedua orangtuanya

sambil meminta maaf dan restu agar kehidupannya kelak tidak ada masalah

apapun nantinya. Setelah bersalaman dengan kedua orang tua, selanjutnya

marapulai bersalaman dengan saudara-saudaranya dan dilanjutkan dengan

seluruh keluarga besarnya. Setelah acara melepas marapulai dengan salawat

dan doa barulah marapulai beserta rombongan keluarganya berangkat menuju

kediaman anak daro untuk melaksanakan pesta perkawinannya.

5.1.2 Analisis Teks, Ko-teks dan Konteks

5.1.2.1 Analisis Teks pada Pasambahan Manjapuik Marapulai

Dalam acara manjapuik marapulai pada upacara adat perkawinan

Minangkabau, digunakan pasambahan atau pidato adat. Peneliti menggunakan

teori analisis wacana Van Dijk (1985), yaitu berkaitan dengan analisis struktur

makro, superstruktur dan struktur mikro.

5.1.2.1.1 Struktur Makro (Tema)

Struktur makro merupakan teks yang berhubungan dengan tema-tema

pada sebuah teks. Pasambahan ini merupakan pidato adat yang disampaikan

melalui ungkapan-ungkapan yang dilakukan secara santun untuk menyatakan

140
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
maksud dan keinginan secara tidak langsung kepada keluarga marapulai. Pada

bahasa Minangkabau kesantunan itu akan muncul apabila penyampaian maksud

dan keinginan disampaikan secara tidak langsung dan dengan menggunakan

ungkapan-ungkapan yang mengandung peribahasa dan ungkapan lainnya.

Apalagi acara manjapuik marapulai ini merupakan acara adat yang pelaku

pasambahannya bukanlah sembarang orang, melainkan orang-orang yang

beradat dan memahami adat Minangkabau. Sehingga sudah seharusnya

penyampaian pasambahan ini dilakukan juga secara adat. Tema dari

pasambahan ini adalah mengenai perundingan atau kesepakatan untuk

menjemput marapulai dan kesepakatan dalam menunaikan janji yang telah

dirundingkan jauh hari sebelumnya. Namun, dari keseluruhan isi teks

pasambahan itu berakhir dengan sebuah keputusan untuk membawa marapulai

ke kediaman anak daro untuk disandingkan di pesta perkawinannya. Seperti:

(18) tujuan jo mukasuik kami nan datang dari


tujuan dan maksud kami yang datang dari

Padang bibiriak tadi kamari artie tuk manapeki


Nama tempat tadi kemari artinya untuk menepati

padang nan diukua janji nan diarek


tanah yang diukur janji yang diikat

baa kato-kato urang, rimbun rampak karambia


seperti kata-kata orang, rimbun berdahan kelapa

pagai, ditanam sutan di ateh munggu,


nama daerah, ditanam gelar orang Minang di atas bukit kecil

bulan tampak janji, lah sampai kami


bulan tampak janji, sudah sampai kami

141
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
manapeki janji nan dulu.
menepati janji yang dahulu.

Kalau janji nan dulu artie manjapuik marapulai


Kalau janji yang dahulu artinya menjemput pengantin (lk)

nan banamo Satria Perdana, nak kami nikahkan beko


yang bernama Satria Perdana, hendak kami nikahkan nanti

jo sanak kamanakan kami nan dimudiak banamo


dengan anak kemenakan kami yang di mudik bernama

Suci Nurul Hidayati.


Suci Nurul Hidayati.

„Tujuan dan maksud kami yang datang dari Padang Babirik tadi
kemari artinya adalah untuk menepati janji. Seperti kata-kata orang,
rimbun dahan kelapa pagai, ditanam sutan di atas bukit, bulan telah
nampak, janji telah sampai. Kami menepati janji yang dahulu. Kalau janji
yang dahulu adalah untuk menjemput marapulai yang bernama Satria
Perdana yang kemudian nantinya akan kami nikahkan dengan keluarga
keponakan kami yang di mudik yang bernama Suci Nurul Hidayati.‟

5.1.2.1.2 Superstruktur (Struktur Alur)

Berdasarkan teori Van Dijk (1985) menyatakan bahwa superstruktur

yang terdapat dalam teks secara garis besar terbagi atas tiga elemen, yaitu:

pendahuluan, bagian tengah, dan penutup. Dalam penelitian ini penulis

membagi struktur alur pasambahan dalam acara manjapuik marapulai dibagi

atas 3 bagian, yaitu: pembuka, isi dan penutup.

a. Pendahuluan

Pada bagian pembuka ini, teks disampaikan oleh juru bicara anak

daro diawali dengan mengucapkan salam dan berdoa mengucapkan

142
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
syukur kehadirat Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai

junjungan umat Islam. Serta mengucapkan puji syukur karena telah

diberikan kesehatan dan kemudahan untuk melaksanakan acara

manjapuik marapulai.

Selanjutnya, salam dan hormat juga disampaikan kepada kedua

orang tua marapulai, urang sumando, kapalo mudo, dan sanak famili

karena telah bersedia menunggu dan menyambut kedatangan rombongan

dengan baik dan ramah.

(19) Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh.

Da Nang, kok sungguahpun da Nang


Abang jika sungguhpun

maimbau, artie sagalo salam mamilih jo mananti.


memanggil,artinya segala salam memilih dan menanti

Sungguah di ambo tarabiak parundiangan ko,


Sungguh saya muncul perundingan ini,

lah saiyo samufakek lo kami yang datang dari


sudah seiya semufakat pula kami yang datang dari

Parawik tadi.
nama tempat tadi

Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh. Segala salam kami


sampaikan kepada abang yang telah menanti kami. Walaupun
perundingan ini datangnya dari saya, kami telah sepakat untuk
menghadiri undangan yang telah disampaikan.‟

143
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Selanjutnya adalah pasambahan untuk menyuguhkan sirih adat

sebagai pembuka kata.

(20) Kok sirieh mintak dicabiak, kok pinang mintak digatok,


Jika sirih minta di sobek, jika pinang minta di ketok

kok gambia mintak dikupia, kok sada mintak dipalik.


Jika gambir minta dicuil, jika kapur sirih minta dioles

Karajo nan bapokok, silang nan bapangka.


Kerja yang bermodal, silang yang berpangkal.

„kami memberikan sirih ini dengan tujuan agar dapat


menyampaikan maksud kedatangan kami.‟

Sepenggal pasambahan di atas disampaikan pada saat ingin

menyatakan maksud bahwa mereka datang secara beradat. Sirih yang di

tempatkan dalam carano memiliki fungsi sebagai simbol komunikasi

dalam masyarakat Minangkabau yang sesuai dengan ajaran adat dan

berlandaskan syariat agama Islam. Komunikasi yang baik disimbolkan

melalui sirih untuk menghormati semua orang-orang yang terlibat dalam

acara tersebut.

Selanjutnya adalah Pasambahan menyatakan bahwa mereka

adalah utusan resmi mewakili pihak keluarga anak daro yang diutus

untuk menjemput marapulai. Hal ini tergambar pada sepenggal

pasambahan berikut:

(21) Kami ateh namo disuruah disarayo dek urang sumando


Kami atas nama disuruh diminta oleh ipar

suku tanjuang, manjapuik anak kamanakan baliau


suku nama suku, menjemput anak kemenakan beliau

nan banamo Satria Perdana.

144
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang bernama Satria Perdana (nama).

„Kami atas nama yang disuruh oleh keluarga kami suku Tanjung adalah
untuk menjemput anak kemanakan beliau yang bernama Satria Perdana.‟

b. Isi

Pada bagian isi, teks juga disampaikan oleh juru bicara anak daro.

Dalam hal ini juru bicara anak daro menyampaikan maksud dan tujuan

kedatangan mereka adalah untuk menyerahkan uang japuik dan ameh

yang sudah diminta. Sebelumnya penyerahan dari uang japuik dan

ameh ini dirundingkan pada saat acara batimbang tando yang sudah

dilakukan jauh hari sebelumnya. Hal ini Nampak pada sepenggal

pasambahan seperti dibawah ini:

(22) Sapanjang parundiangan ka tangah, dari satu sampe ka duo,


Sepanjang perundingan ke tengah, dari satu sampai ke dua,

duo sampe ka tigo.


Dua sampai ke tiga.

Ibarek urang naik janjang, tantu satingkek ka satingke.


Ibarat orang naik tangga, tentu setingkat ke setingkat.

Kini ko ambo tapak tingkek nan ka tigo.


Sekarang ini saya pijak tingkat yang ke tiga.

Artie tantang duo perkaro tadi, kok nan partamo tantang


Artinya tentang dua perkara tadi, jika yang pertama tentang

pambuka kato, da yon lah balapangan.


pembuka kata, sebutan (lk) nama sudah dilapangkan.

145
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kok ka hilie tantu rimboe, ka mudiak tantu hulue.
Jika ke hilir tentu rimbanya, ke mudik tentu hulunya.

Nan ka duo tantang saracik sambah lah bakarilahan


yang ke dua tentang sebuah sembah sudah rela

Pulo tarimo baliak.

Pula terima kembali.

„Sepanjang perundingan ini, dari satu sampai ke dua, dua sampai


ke tiga. Ibarat orang naik tangga tentulah setingkat demi setingkat.
Sekarang ini saya melangkah ke tingkat yang ketiga. Artinya tentang
tentang dua perkara tadi, jika yang pertama tentang pembuka kata, abang
sudah melapangkan. Jika ke hilir tentu rimbanya, ke mudik tentu
hulunya. Dalam hal ini tentang sembah yang disampaikan hendaknya kita
sama-sama saling mengikhlaskan ‟

Setelah uang dan ameh diserahkan dan diperiksa oleh utusan

marapulai, dan sesuai dengan jumlah yang diinginkan, barulah sambah

berikutnya adalah untuk menyampaikan maksud bahwa kedatangan

mereka dilakukan secara adat karena mereka adalah orang yang

menjunjung tinggi nilai adat dan akan menjemput marapulai juga dengan

menggunakan adat. Hal ini dapat dilihat melalui sepenggal teks

pasambahan berikut ini:

(23) Kok talatak putiak dulu di bawah kumpulan tali,


Jika terletak putik dulu

takalo maso nan dulu, tigo limbago nan tajadi.


Ketika masa yang tiga lembaga yang terjadi.

Jiko yang partamo basa jo basi, ka duo sambah, ka tigo


jika pertama dan ke dua sembah, ke tiga

siriah jo pinang.

146
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sirih dan pinang.

„Dalam hal ini adalah yang pertama basa dan basi, ke dua
sembah menyembah, ke tiga sirih dan pinang.‟

(24) Pasia badanga, ombak batele.


Pasir didengar, dilihat.

Mamak urang mamintak awak mangecek, awak lapangan


Paman orang meminta saya berbicara, saya beri

Jalan kapatang iko.


kemarin ini

„Pasir didengar ombak yang dilihat. Paman orang meminta


saya sebagai juru bicara dan saya menyetujuinya.‟

(25) Kilek baliung lah ka kaki, kilek camin lah ka muko.


Kilat beliung sudah ke kilat cermin sudah ke wajah.

Adat lah kami isi, limbago lah kami tuang.


Adat sudah kami isi, lembaga sudah

Tapi kami ateh namo disuruah disarayo.


atas nama disuruh diminta.

dek urang sumando suku tanjuang manjapuik anak


Oleh ipar suku tanjung menjemput

kamanakan beliau untuak ka jadi urang sumando


kemenakan beliau untuk akan jadi ipar

disuku tanjuang
disuku tanjung.

„Kilat beliung sudah ke kaki, kilat cermin sudah ke wajah.


Kami atas nama yang disuruh oleh orang sumando suku
tanjung untuk menjemput anak kemanakan mereka agar
dapat menjadi orang sumando disuku tanjung.‟

147
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Setelah pasambahan permintaan itu disampaikan oleh juru bicara

anak daro, kemudian sambah berbalas yang disampaikan oleh juru bicara

marapulai. Pihak sipangka atau pihak marapulai yang dalam hal ini

diwakili oleh juru bicaranya, tidak serta merta memberikan jawaban

secara langsung melainkan mempersilahkan untuk menyantap hidangan

yang telah disajikan dihadapan orang yang terlibat dari kedua belah

pihak, seperti yang terdapat dalam penggalan pasambahan berikut ini:

(26) Baa kecek urang Babiriak, di Sipendi merah


Seperti kata orang nama tempat, nama tempat merah

sago, baiak budi yo baso.


sagu, baik budi ya sikap.

Dek sagalo yang nampak namoe tantu kilek baliung


Karena segala namanya tentu kilat beliung

lah ka kaki, kilek camin lah ka muko.


Sudah ke kaki, kilat cermin sudah ke wajah.

Nan diambo baitu pulo minumlah aia sagalo nan talatak,


yang saya begitu pula, air segala yang terletak,

karano kito istirahat.


karena kita istirahat.

Beko kandak nan ambo agiah, pintak bapalakuan sagalo


Nanti kehendak yang saya beri, pinta dilakukan segala

nan dapek.
yang dapat.

„Seperti kata orang Babirik di Sipendi merah sagu, baik budi


adalah sikap. Karena segala yang nampak namanya, tentu kilat
beliung sudah ke kaki, kilat cermin sudah ke wajah. Minumlah
air dan segala yang terhidang, karena kita akan istirahat.‟

148
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
c. Penutup

Bagian teks penutup ini lazimnya disampaikan setelah keluarga dari

kedua belah pihak menyantap hidangan yang disajikan sebelumnya.

Selanjutnya juru bicara anak daro mengawali sambah dengan maksud

untuk menegaskan kembali kepada keluarga marapulai bahwa

kedatangan mereka adalah untuk menjemput marapulai untuk kemudian

disandingkan nanti di perhelatan pesta perkawinan mereka di rumah

anak daro.

Adapun sepenggal sambah tersebut adalah sebagai berikut:

(27) Tujuan jo mukasuik kami nan datang dari


tujuan dan maksud kami yang datang dari

Padang bibiriak tadi kamari artie tuk manapeki


Nama tempat kemari artinya untuk menepati

padang nan diukua janji nan diarek


tanah yang diukur janji yang diikat

baa kato-kato urang, rimbun rampak karambia


seperti kata-kata orang, rimbun berdahan kelapa

pagai, ditanam sutan di ateh munggu,


nama daerah, ditanam gelar orang Minang di atas bukit kecil

bulan tampak janji, lah sampai kami


bulan tampak sudah sampai kami

manapeki janji nan dulu.


menepati yang

Kalau janji nan dulu artie manjapuik marapulai


Kalau janji yang dahulu artinya menjemput pengantin (lk)

nan banamo Satria Perdana, nak kami nikahkan beko


yang bernama Satria Perdana, hendak nanti

149
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
jo sanak kamanakan kami nan di mudiak banamo
dengan sanak kemenakan yang di mudik bernama

Suci Nurul Hidayati.

Sagalo pajanjian karam buatan kito nan dulu tu lah


Segala perjanjian karam buatan kita yang dulu itu telah

dibantang, kok dicaliak tampak diesek taraso tulah


dibentang, jika dilihat tampak, diraba terasa itulah

bantuaknyo, kok pintak buliah kandak balaku.


bentuknya, Jika pinta boleh kehendak berlaku.

„Tujuan dan maksud kami yang datang dari Padang Babirik


tadi kemari artinya adalah untuk menepati janji. Seperti kata-kata
orang, rimbun dahan kelapa pagai, ditanam sutan di atas bukit,
bulan telah nampak, janji telah sampai. Kami menepati janji yang
dahulu. Kalau janji yang dahulu adalah untuk menjemput marapulai
yang bernama Satria Perdana yang kemudian nantinya akan kami
nikahkan dengan keluarga keponakan kami yang di mudik yang
bernama Suci Nurul Hidayati. Segala perjanjian karam buatan kita
yang dulu itu sudah dikedepankan, jika di lihat Nampak diraba
terasa, seperti itulah bentuknya.‟

Dalam hal memberikan jawaban atas permintaan oleh pihak anak

daro, juru bicara marapulai selanjutnya berembuk untuk memberi

keputusan dan menyampaikannya melalui sambah berikut ini:

(28) Kok dek ciek, kaduo lah baku bantuak nan tigo.
Jika karena satu, ke dua sudah beku bentuk yang ke tiga

Kito pacik arek taguah kajang nan kito buek.


Kita pegang kuat teguh tegang yang kita buat.

Nan ka duo tantu daun kanari sajo nan sarupo jo


Yang ke dua tentu daun kenari saja yang sama dengan

150
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
daun talang, bukan si jon kamari sajo sadang
daun talang, bukan sebutan nama kemari saja sedang

mukasuik ka manjalang.
bermaksud akan mengunjungi.

A nan kini ko anak awak ka bajapuik, nan ambo


apa yang sekarang ini anak saya akan dijemput, yang saya

kito jo ayah induak lapeh anak tantu lapeh bana indak


kita dengan ayah ibu lepas anak tentu lepas benar tidak.

nan ambo sangaik.


yang saya sangat.

Namoe kandak ka baagiah pintak ka bapalakuan.


Namanya kehendak akan diberikan pinta akan dilakukan.

janji babue, padang nan maukua.


Janji dibuat, padang yang mengukur.

Lah tabaok di si Jon kini, tantu diliek tampak,


Sudah terbawa oleh sebutan nama, tentu dilihat tampak,

diesek taraso.
Diraba terasa.

„Jika bentuk pertama dan kedua sudah baku, maka bentuk yang
ke tiga harus kita pegang kuat dan teguh. Yang kedua, tentu
daun kenari saja yang sama dengan daun talang. Artinya, bukan
si Jon saja yang berniat ingin datang kemari. Sekarang ini
terjadi adalah anak saya akan dijemput dan tentu saja kami
selaku ayah dan ibu akan melepasnya, tetapi tidak lepas
sepenuhnya. Tentu saja saya akan menepati janji, anak saya
sudah boleh dibawa.‟

Selanjutnya mempersilahkan utusan anak daro untuk menunggu,

karena marapulai bersiap untuk memakai baju sapatagak yang

diberikan sebelumnya dan menyiapkan hal-hal lainnya yang ingin

dibawa. Situasi ini disampaikan melalui sambah sebagai berikut:

151
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(29) Pitih nan babilang
Uang yang berjumlah

Ameh nan babongkah


Emas yang berbongkah

Mananti si jon sabanta lu Jon.


Menanti sebentar dulu

Selanjutnya sambah permintaan maaf yang disampaikan oleh

juru bicara anak daro atas perkataan ataupun perbuatan tingkah laku

yang ada apabila ada yang tidak berkenan oleh tuan rumah, sebagai

berikut:

(30) ambo mungkin mudo matah,


saya mungkin muda mentah,

mungkin ado giweh jo hilafah salah ambo jo sanggah.


ada sikap dan perbuatan salah saya juga sanggah.

Maklumlah awak nan hidup ko dak ado nan


kita yang hidup ini tidak ada yang

tapapuronoh.
Sempurna.

Indak ado gadiang nan dak ratak.


Tidak ada yang tidak retak.

Baa kecek-kecek urang, kami ateh namo rombongan


Seperti kata-kata orang, atas nama

nan datang dari Padang Babiriak tadi,


yang nama tempat

mamintak badunsanak di siko rila jo maaf yang

152
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
meminta keluarga di sini rela juga maaf yang

sabasar basarnyo tantang giwah jo gaweh


sebesar-besarnya tentang sikap dan perbuatan

jo kato nan ampek,


juga kata yang empat,

banang nan limo tadorong gading dek gajah.


Benang yang lima terdorong gading oleh gajah.

Tantu maaf ambo bapilar ka nan satu.


Tentu maaf saya berpilar kepada yang satu.

Nan ka duo kito enjeng babuhua aia.

Yang ke dua kita bawa berikat air.

„Sepanjang kita berunding tadi bang, saya mungkin belum


memiliki banyak pengalaman, mungkin ada sikap dan perbuatan
saya yang tidak berkenan, maklumlah kita yang hidup ini tidak ada
yang sempurna. Tak ada gading yang tak retak, seperti kata-kata
orang. Kami atas nama rombongan yang datang dari Padang Babirik
tadi, meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga yang
disini apabila terdapat kata yang tidak sesuai dengan kata yang
empat kepada seluruh yang hadir di sini. Tentu maaf saya berpilar
kepada yang satu agar silaturahim tetap terjalin.‟

Selanjutnya, pasambahan ditutup oleh juru bicara anak daro memohon

untuk kembali ke rumah anak daro, sebagai berikut:

(31) Di situ dek banyak karajo, tantu kami


Di situ karena banyak pekerjaan, tentu kami

mungkin ka pai ka mudiak lai,


akan pergi ke mudik lagi,

tuak maagih kaba dusanak yang di mudiak,


untuk memberi kabar keluarg a yang di mudik,

153
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ka urang nan tibo jo rombongan.

Kepada orang yang tiba dengan rombongan.

„Terima kasih banyak bang, karena di sana banyak pekerjaan,


tentu kami mungkin akan pulang, untuk menyampaikan kabar
kepada keluarga yang ada di sana, serta kepada orang yang datang
dengan rombongan.‟

5.1.2.1.3 Struktur Mikro

Struktur mikro adalah struktur teks secara linguistik, hal ini

mencakup tataran bahasa seperti: bunyi, kata, kalimat, wacana, makna, maksud,

gaya bahasa dan bahasa kiasan. Adapun dalam penelitian ini, penulis membahas

dari unsur bahasa kiasan yang digunakan dalam pasambahan manjapuik

marapulai. Unsur bahasa kiasan yang ditemukan dalam pasambahan manjapuik

marapulai adalah: pantun, peribahasa, mamang dan pepatah.

a. Pantun

Pantun adalah senandung atau puisi rakyat yang terdiri dari empat baris

dan diberi nada. Menurut Almudra (2005) untuk memberikan defenisi

pantun secara verbal sangat sulit, karena dapat menyebabkan pantun

terbatas dan mengalami pereduksian. Oleh karena itu, untuk memberikan

defenisi pantun yang sebenarnya adalah dengan mempertimbangkan lima

(5) hal, yakni sebagai berikut: aspek fisik, nilai yang dikandung, fungsi

atau kegunaannya, keluasan penggunaannya, dan konteks sosial

budayanya. Dengan mempertimbangkan kelima hal tersebut, maka dapat

memunculkan kesadaran bahwa pantun bukan hanya sekedar bait saja

154
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
melainkan juga merupakan hasil dari tradisi oral masyarakat yang

mengandung nilai-nilai luhur.

Pantun dikatakan berasal dari bahasa Minangkabau yang artinya sebagai

pembimbing atau penasihat yang berasaskan pada sastra lisan dalam

pengucapan pepatah yang marak digunakan dalam masyarakat tersebut.

Sehingga pada saat sekarang ini pantun sering digunakan dalam acara

perkawinan ataupun sebagai pembuka dan penutup bicara dalam acara adat.

Menurut Sinar (2011), pantun didefinisikan bukan hanya secara fisiki

tetapi juga maknawinya. Pantun merupakan seni berkomunikasi bahasa

lisan dan tulis yang mengungkapkan fikiran maupun perasaan yang

tertuang dalam rangkaian kata yang singkat dan padat dengan rima yang

tetap antara sampiran dan isi, sebagai pengalaman konkret masyarakat akan

dunia mereka, cermin keluhuran nilai-nilai, sikap, karakter, fungsi, makna

aspek sosio kultural, dan ilmu pengetahuan alam yang mengandung

nasihat, petuah, pesan, dakwah, falsafah hidup, norma, tunjuk ajar,

panduan, dan penuntun untuk memberi pencerahan dan pendidikan kepada

masyarakat.

Adapun ciri-ciri sebuah pantun adalah: (1) setiap barisnya dibentuk

dengan jumlah kata minimal 4 buah, (2) jumlah baris dalam satu baitnya

minimal dua baris untuk pantun kilat dan 4 baris untuk pantun biasa dan

pantun berkait, (3) pola pantun merujuk kepada sajak akhir vertikal, dengan

pola a-a, a-a-a-a, a-a-b-b, dan a-b-a-b (4) untuk pantun kilat baris pertama

sebagai sampiran dan baris kedua sebagai isi, (5) untuk pantun biasa baris

155
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pertama dan kedua sebagai sampiran dan baris ketiga dan keempat sebagai

isi.

Dalam buku redaksi Balai Pustaka dijelaskan bahwa pantun dapat

digolongkan sebagai berikut: (1) Pantun anak-anak, (2) pantun orang muda

(3) pantun orang tua. Dari ketiga jenis pantun yang disebutkan sebelumnya,

pantun yang terdapat dalam pasambahan manjapuik marapulai dapat

digolongkan ke dalam pantun orang tua. Karena dalam pantun orang tua

dibagi lagi ke dalam tiga jenis yaitu: pantun nasihat, pantun adat, dan

pantun agama.

Dalam teks pasambahan manjapuik marapulai, ditemukan dua buah

pantun, yaitu:

(32) Kampuang paneh kampuang takuruang


Dibaliak kampuang sungai rotan
Hujan paneh dapek balinduang
Sukar dak kama kiro-kiro dihadokkan.‟

Kampung panas kampung terkurung


Dibalik kampung sungai rotan
Hujan panas dapat berlindung

Sulit hendak kemana dihadapkan

Pantun ini ditemukan dalam pasambahan pada saat juru bicara

anak daro untuk mengutarakan maksud agar dapat memulai

perundingan mengenai kedatangan mereka adalah untuk menjemput

156
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
marapulai. Dilihat dari fisiknya. Pantun ini berciri 4 baris dan

dikategorikan sebagai pantun biasa dengan pola a-b-a-b.

(32) „Tantang padi merah Tantang padi putiah


Tantang disambah Jo kampiah siriah.‟

Tentang padi merah tentang padi putih


Tentang disembah dengan kampih sirih

Selanjutnya pada pantun ini, hanya terdiri dari dua baris dan

pantun ini disebut sebagai pantun kilat dengan pola a-a. Pantun ini

ditemukan pada saat juru bicara anak daro bermaksud untuk menjemput

marapulai dengan mengetengahkan adat sesuai dengan bait kedua yaitu

tantang disambah jo kampia sirih. Sirih disimbolkan sebagai adat,

sehingga maksud dari isi pantun ini adalah untuk menjemput marapulai

yang dilakukan secara adat.

b. Mamang

Mamang adalah kias yang mengandung arti sebagai pegangan hidup,

sebagai suruhan, anjuran dan larangan. Navis (1984:259) menjelaskan

bahwa mamangan yang lazim juga disebut sebagai mamang adalah kalimat

yang mengandung arti sebagai pegangan hidup, sebagai suruhan, anjuran,

dan larangan. Bentuk kalimat mamang adalah berupa dua bagian yang

masing-masing terdiri dari dua sampai empat buah suku kata.

(33) Panjang nan bakarek, singkek nan kito pakai


yang dipotong, pendek yang kita

„sebuah pekerjaan yang dapat dilakukan secara singkat.‟

157
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(34) Silang bapangka, karajo bapokok
berpangkal, kerja bermodal

„Setiap pekerjaan itu pasti ada alasan yang mendasarinya.‟

(35) Japuik tabaok, anta sampai


Jemput terbawa, mengantar

„apa yang telah diminta seharus diberikan.‟

c. Pepatah

Bentuk pokok kalimat pepatah terdiri dari dua buah kalimat. Navis

(1984:256) menyatakan bahwa tiap-tiap kalimat terdiri dari dua buah kata.

Kalimat pertama sebenarnya telah selesai tetapi didampingi anak kalimat

kedua sebagai penyempurna, sehingga kedua bagian kalimat tersebut

menjadi sebuah kalimat yang utuh. Dilihat dari sifatnya, bagian kedua

sebagai kalimat penyempurna itu dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

penyempurna yang sejajar, penyempurna yang menyilang, dan

penyempurna yang berlawanan.

(36) Padang nan baukua, janji nan diarek


Tanah yang diukur, yang diikat

„tanah yang diukur,janji yang diikat.‟

Dari pepatah ini, dapat dilihat dua kata yang disandingkan yaitu antara

baukua dan diarek. Baukua atau diukur dan diarek atau diikat. Jika dapat

diartikan kedua kata yang terdapat dalam pasambahan manjapuik ini

seperti direntangkan dan dirapatkan. Jika dilihat dari sifat pepatahnya,

penyempurnaan ini masuk kepada jenis penyempurna yang berlawanan.

(37) Diliek tampak diesek taraso


Dilihat diraba terasa

158
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
„Dilihat nampak diraba terasa.‟

Makna yang terkandung dalam pepatah ini adalah sebuah pekerjaan

harus ada hasilnya. Dilihat dari sifat pepatahnya, penyempurnaan ini masuk

kepada jenis penyempurna yang sejajar. Jika dianalogikan antara tampak

dan taraso. Kedua kata ini sama-sama memiliki fungsi untuk mendampingi

panca indra yang digunakan dalam pepatah ini.

(38) Kalam disigi, lakuang ditinjau


Gelap dilihat, lekung

„gelap yang dilihat, lenkung yang dilihat.‟

Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia adalah gelap disigi (melihat

dengan hati-hati) lekung ditinjau. Maksud dari pepatah ini adalah keadaan

tempat yang gelap berarti tidak bisa melihat dengan jelas dan lekung berarti

seseorang tidak bisa untuk melihat apa yang ada setelah lekung itu

berakhir. Sementara disigi dan ditinjau adalah dua buah kata yang

mengartikan cara melihat yang sama cermatnya. Jadi, jika dilihat dari sifat

pepatahnya, penyempurnaan ini masuk kepada jenis penyempurna sejajar.

5.1.2.2 Analisis Ko-teks pada Pasambahan Manjapuik Marapulai

Ko-teks merupakan bagian penting dalam memberikan pemaknaan

dalam teks tradisi lisan. Ko-teks terdiri atas paralinguistic (suprasegmental),

kinetic (gerak isyarat), proksemik (penjagaan jarak), dan unsur material atau

benda yang digunakan. Berikut adalah unsur-unsur ko-teks yang terdapat pada

tradisi manjapuik marapulai.

159
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5.1.2.2.1 Paralinguistik atau Suprasegmental

Unsur paralinguistik dalam pasambahan ini terlihat pada intonasi,

jeda dan penekanan yang muncul saat pasambahan ini dilakukan. Penekanan

vokal terlihat pada saat adanya penegasan untuk memastikan atau memberikan

kesempatan kepada salah satu pihak untuk berfikir. Intonasi adalah kerjasama

antara nada, tekanan, durasi dan perhentian-perhentian yang menyertai suatu

tutur dari awal hingga perhentian yang terakhir (Gorys Keraf, 1991). Jadi unsur

yang terpenting dalam intonasi adalah tekanan, nada, durasi dan perhentian

yang masuk ke dalam unsur suprasegmental.

Intonasi yang ditemukan dalam pasambahan manjapuik marapulai

adalah sebagai berikut:

a. Tekanan

Tekanan adalah unsur suprasegmental yang ditandai dengan

keras atau lembutnya sebuah ujaran. Tekanan yang terdapat dalam

pasambahan manjapuik marapulai ini umumnya terdapat di akhir

kalimat sehingga di akhir kalimat yang disampaikan suara menjadi lebih

tinggi, sebagai berikut:

A yang diparundiangan dek ambo


Kiniko dek karano dari jauah kami lah datang
Dakeklah bajawek salam
Lah babaok kajorong kadudukan
Kok arah kajaleh lapeh
Paluah dikaniangpun alah kariang
Rokok sabatanglah habih pulo

160
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
b. Durasi
Jenis unsur suprasegmental yang satu ini berkaitan dengan

panjang pendeknya waktu yang deperlukan untuk mengucapkan sebuah

segmen. Pada pasambahan manjapuik marapulai ini dapat ditemukan

bahwa ketika juru bicara mengucapkan hal yang dirasa biasa saja atau

bukan sebuah penegasan, maka durasi yang digunakan dalam

penyampaian dilakukan dengan cepat, sementara ketika mereka

berusaha untuk menegaskan maksud, mereka berusaha untuk

menyampaikannya dengan lambat dan tegas.

Dek karano disitu banyak karajo… tantu kami mungkin ka pai ka


mudiak lai..
c. Perhentian atau jeda

Perhentian atau jeda berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus

ujar. Jeda dapat bersifat penuh atau sementara. Jeda dapat ditandai

dengan: (1) jeda antar kata dalam frase diberi tanda (/), (2) jeda antar

frase dalam klausa diberi tanda (//), (3) jeda antar kalimat dalam wacana

diberi tanda (#). Dalam pasambahan manjapuik marapulai, ditemukan

beberapa jeda yang mewakili dari:

Baru ka ado nan takana dihati// takilek-kilek difikiran//dak nampak


manyabuik kato nan bana//manampuah jalan nan luruih//malaba tujuan
jo mukasuik//satu lah bulek kato //ka disabuik ganok// ka duo balun//
sakian rundiang dulu dayon a#

5.1.2.2.2 Penjagaan Jarak (Proksemic)

161
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Unsur lain yang terdapat dalam acara manjapuik marapulai adalah

proksemik atau penjagaan jarak. Dalam proses tersebut, sialek ataupun

rombongan untusan anak daro mengambil posisi duduk bersila di tempat yang

telah disediakan oleh pihak sipangka, Begitu juga keluarga besar marapulai

menempati posisi duduk yang telah disediakan. Seluruh mereka yang ada di

sana duduk bersama dan membentuk persegi sesuai dengan bentuk ruangan

dimana acara manjapuik marapulai dilaksanakan. Utusan pihak sipangka dan

pihak sialek duduk saling berhadapan, dengan posisi jarak yang tidak terlalu

jauh, agar kedua utusan ini secara lebih lugas dapat menyampaikan maksud dan

tujuannya melalui pasambahan dan masing-masing mereka dapat mendengar isi

sambah yang disampaikan dengan baik dan jelas agar tidak ada yang tersilap.

5.1.2.2.3 Unsur Material

Material yang mendampingi teks pada saat manjapuik marapulai

berlangsung adalah: Baju Sapatagak (pakaian marapulai lengkap dari tutup

kepala sampai alas kaki), uang, emas, sirih dalam carano, kain pembungkus

uang dan emas, makanan. Keseluruhan unsur yang telah disebutkan sebelumnya

dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Baju Sapatagak

Pada umumnya baju sapatagak dibawa menggunakan baki. Baju

sapatagak adalah seperangkat pakaian yang akan digunakan marapulai

mulai dari tutup kepala sampai alas kakinya, yaitu: kopiah atau peci

berwarna hitam, baju jas berwarna hitam, kemeja berwarna putih, ikat

pinggang, celana berwarna hitam dan sepatu berwarna hitam. Amir

162
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2011:xxii) menyatakan bahwa arti dan warna dalam adat Minangkabau

khususnya untuk warna hitam adalah sebagai lambang kepemimpinan

dan tahan tempa atau kuat dengan ujian apapun, dalam hal ini warna

hitam melambangkan jiwa kepemimpinan marapulai dalam membentuk

sebuah keluarga baru yang nantinya marapulai tersebut akan menjadi

kepala keluarga di keluarga kecilnya.

Navis mengatakan (1984:205), ”apabila pakaian marapulai yang

dibawa itu adalah pinjaman atau sewaan, maka pendampingnya adalah

sepasang sepatu.” Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan

sebelumnya, yang pada saat ini sering terjadi adalah pakaian marapulai

umumnya adalah pakaian sewaan yang nantinya tentu akan

dikembalikan lagi kepada pemiliknya. Hal ini tidak akan mengurangi

nilai yang terkandung di dalamnya. Intinya adalah di dalam baki tersebut

harus ada benda yang akan menjadi milik marapulai dan akan

digunakan olehnya untuk seumur hidup, bisa saja benda tersebut seperti:

sepatu, kopiah ataupun kemeja yang berwarna putih.

2. Uang

Uang yang dibawa dalam manjapuik marapulai ini disebut

dengan uang japuik atau uang jemput. Uang japuik adalah sejumlah

uang tertentu yang diberikan oleh orang tua anak daro kepada orang tua

marapulai. Uang japuik selain berfungsi sebagai persyaratan

perkawinan juga merupakan wujud sebuah penghargaan yang

163
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ditunjukkan oleh keluarga anak daro kepada seluruh keluarga besar

marapulai.

Umumnya mengenai uang japuik tidak ada ketentuan khusus

untuk menentukan jumlah nominal yang akan diberikan, semua

tergantung dari kesepakatan dari keluarga kedua belah pihak. Namun

demikian lazimnya sekarang ini, besar atau kecilnya uang japuik yang

diberikan itu tergantung dari status sosial, gelar kesarjanaan dan

pekerjaan yang dimiliki marapulai yang akan dijemput tersebut.

Dalam acara manjapuik marapulai ini, utusan rombongan anak

daro membawa sejumlah uang yaitu sejumlah dua puluh lima juta

rupiah (Rp. 25.000.000). Uang tersebut dibungkus dengan rapi

menggunakan kain atau saputangan. Jumlah nominal yang diberikan ini

adalah berdasarkan kesepakatan yang telah dirundingkan sebelumnya

dengan segala pertimbangan-pertimbangan yang menyertai pemikiran

dari kedua belah pihak. Perundingan ini telah dilakukan dengan keluarga

marapulai pada saat acara batimbang tando.

3. Emas atau ameh

Emas yang dibawa pada saat manjapuik marapulai merupakan

benda yang dibawa untuk mendampingi jumlah uang japuik yang sudah

di rundingkan sebelumnya. Pada acara manjapuik marapulai ini emas

yang dibawa adalah seberat 10 ameh atau setara dengan 25 gram.

Fungsinya sama juga halnya dengan jumlah uang yang diberikan yaitu

164
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sebagai syarat perkawinan menurut adat juga sebagai wujud

penghargaan yang ditunjukkan oleh keluarga anak daro.

4. Sirih dalam carano

Carano merupakan sebuah wadah yang diisi dengan

kelengkapan sirih, pinang, gambir, kapur sirih dan dulamak atau kain

penutup carano. Keberadaan carano dalam acara manjapuik marapulai

ini menandakan kedatangan rombongan utusan anak daro adalah secara

adat. Carano juga melambangkan kemuliaan bagi kaum wanita dan juga

sebagai lambang kekerabatan di Minangkabau. Sirih dan pinang langkok

adalah sebagai sebuah media komunikasi yang memiliki nilai tersendiri.

Hal ini terlihat dari fungsinya dimana sirih langkok ini adalah sebagai

cara penyampaian keinginan sehingga secara halus komunikasi tersebut

dapat berjalan dengan baik.

Dalam acara manjapuik marapulai ketika sirih sudah

diketengahkan berarti perundingan ataupun keinginan dari utusan anak

daro akan disampaikan. Dalam hal ini, maksud kedatangan mereka

adalah datang secara adat untuk menjemput marapulai untuk nantinya

disandingkan di pesta perkawinan mereka yang dilaksanakan di

kediaman anak daro.

5. Makanan

Untuk melakukan penyambutan sialek atau rombongan untusan

anak daro, tuan rumah sebelumnya telah menyiapkan hidangan dan

akan menyajikan berbagai macam makanan di tengah-tengah ruang tamu

165
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dimana rombongan utusan anak daro dan keluarga marapulai telah

duduk membentuk persegi mengikut sesuai dengan bentuk ruangan.

Hidangan ini akan disajikan ketika pihak sipangka atau keluarga

marapulai akan menjawab permintaan dari utusan anak daro. Adapun

hidangan yang di sajikan adalah: nasi, rendang, gulai ayam, sayur-

sayuran, kue bolu, lepat inti, kerupuk, buah semangka dan air putih.

Semua hidangan tersebut ditata dengan rapi diatas taplak yang dibentang

panjang ditengah. Taplak ini terbuat dari kain berwarna putih yang

setiap sisinya terdapat bordiran panjang yang tidak terputus.

Gambar 5.8
Makanan pada Tradisi Manjapuik Marapulai

Makna dari menyantap hidangan ini adalah sebagai bentuk rasa

suka cita dengan kedatangan rombongan anak daro, juga sebagai sebuah

bentuk penyambutan dan perwujudan rasa hormat atas kedatangan tamu,

serta sebagai wujud dari cara untuk mencairkan suasana yang

sebelumnya terlaksana dengan formal dan beku. Selain ketiga fungsi

yang telah disebutkan sebelumnya, fungsi yang keempat adalah sebagai

166
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
salah satu cara untuk memberikan kesempatan kepada sipangka atau

keluarga marapulai untuk berfikir dan berunding dalam hal memberikan

jawaban kepada utusan anak daro, apakah keinginan utusan anak daro

dikabulkan atau tidak.

5.1.2.3 Analisis Konteks

Analisis konteks difokuskan kepada konteks budaya, sosial, situasi, dan

ideologi. Keempat konteks tersebut dianalisis berdasarkan interpretasi oleh

peneliti dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan keterangan dan

informasi yang diberikan oleh para informan. Konteks budaya mengacu pada

tujuan budaya yang menggunakan sebuah teks. Konteks sosial mengacu kepada

faktor sosial yang memengaruhi atau menggunakan teks. Konteks situasi

mengacu pada waktu, tempat dan cara penggunaan teks. Konteks yang terakhir

adalah konteks ideologi yang mengacu kepada kekuatan apa yang memengaruhi

dan mendominasi sebuah teks.

5.1.2.3.1 Konteks Budaya

Konteks budaya dalam tradisi manjapuik marapulai ini merupakan

tradisi yang memang sudah berjalan dari dahulu sampai sekarang. Pasambahan

ini dilakukan untuk mengutarakan maksud dan tujuan yang dilakukan secara

adat dan disampaikan dengan santun melalui bahasa secara tidak langsung

dalam bentuk kiasan-kiasan. kiasan ini dapat berupa, pantun, pepatah, dan

mamang.

167
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hal ini sejalan dengan falsafah orang Minangkabau yang tujuan

utamanya adalah untuk mengatur pola hidup, tingkah laku orang Minangkabau

sesuai dengan adat yang berlaku dan sesuai dengan ajaran agama Islam. Hal ini

dikatakan adalah karena syarat utama untuk menjadi orang minangkabau adalah

dengan beragama Islam. Hal ini juga sesuai dengan falsafah adat Minangkabau

yang pertama yaitu: Adaik nan sabana Adaik atau Adat yang sebenarnya adat.

Adat ini merupakan adat yang paling utama yang tidak dapat diubah sampai

kapanpun dan merupakan harga mati bagi seluruh masyarakat Minangkabau,

seseorang bukanlah orang Minangkabau apabila tidak melaksanakan adat ini

dan akan dikeluarkan dari orang Minangkabau apabila meninggalkan adat ini.

Adat ini adalah adat yang paling prinsip, prinsip dalam artian mengatur

hubungan manusia dengan tuhannya, yaitu bahwa orang Minangkabau wajib

beragama Islam dan akan hilang Minangkabaunya apabila keluar dari agama

Islam.

5.1.2.3.2 Konteks Sosial

Sebuah perkawinan akan menimbulkan sebuah hubungan yang baru

tidak saja antara pribadi yang bersangkutan yaitu antara marapulai dan anak

daro, tetapi juga antara keluarga besar kedua belah pihak. Tujuan diadakannya

acara manjapuik marapulai ini adalah untuk memenuhi tuntutan adat, karena

dalam perkawinan adat Minangkabau, antara agama, adat dan hukum harus

sejalan, selaras dan serasi.

168
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Perkawinan yang dilakukan secara agama adalah dengan melaksanakan

akad nikah dan memenuhi segala rukun nikah yang diwajibkan berdasarkan

agama Islam, yaitu: mempelai wanita, mempelai pria, wali, dua orang saksi dan

shighat atau ijab Kabul. Perkawinan yang dilakukan secara hukum adalah

dengan memenuhi segala peryaratan administrasi yang dilaksanakan di kantor

Urusan Agama (KUA). Perkawinan yang dilakukan secara adat adalah dengan

memenuhi segala tahapan-tahapan adat perkawinan, mulai dari manyilau,

meminang, batimbang tando, akad nikah, manjapuik, baralek dan manjalang.

Manjapuik marapulai, adalah salah satu yang wajib harus dilaksanakan dalam

kehidupan sosial masyarakat pariaman, khususnya di Kecamatan Sungai

Geringging.

Dengan adanya pelaksanaan tradisi manjapuik marapulai ini berarti

bahwa kedua pengantin, yaitu anak daro dan marapulai tersebut dapat

berterima dan dapat diakui di dalam kehidupan bermasyarakat Kabupaten

Pariaman, karena mereka telah melaksanakan akad nikah dan juga telah

menjalankan persyaratan adat yang semestinya, yang sesuai dengan ajaran

agama Islam dan sah di mata hukum.

Makna manjapuik marapulai itu sendiri memberi kesan kepada

masyarakat yang berada di sekitar keluarga kedua belah pihak. Hal ini

bermaksud bahwa dengan dijemputnya seorang marapulai yang ditandai

dengan nilai nominal rupiah dan emas menandakan bahwa mereka adalah orang

yang bermartabat dan memiliki status sosialnya tersendiri. Bagi masyarakat

Minangkabau di Pariaman, pandangan mengenai besar kecilnya persyaratan

169
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
manjapuik marapulai ini mengisyaratkan status sosialnya. Semakin tinggi uang

jemputan yang diberikan bermakna bagi marapulai bahwa mereka adalah orang

yang memiliki status sosial yang tinggi, yang ditandai dengan harta yang

dimiliki, pekerjaan yang dimiliki, gelar pendidikan, dan gelar adat yang

diperoleh. Bagi keluarga anak daro itu sendiri bermakna bahwa mereka juga

memiliki status sosial yang tinggi dengan menyanggupi persyaratan yang

diajukan oleh marapulai. Begitu juga halnya dengan, semakin rendah uang

jemputan berarti mereka yang menikah ini adalah orang yang memiliki status

sosial rendah.

5.1.2.3.3 Konteks Situasi

Konteks situasi berkenaan dengan kondisi dan pelaksanaan acara

manjapuik marapulai di Kecamatan Sungai Geringging, Pariaman ini

dilaksanakan setelah akad nikah, namun begitu tidak ada aturan khusus

mengenai pelaksanaan perkawinan, semua adalah tergantung dari kesepakatan

antara kedua belah pihak yang telah berunding ditahapan-tahapan sebelumnya.

Di Kecamatan Sungai Geringging-Pariaman, ada beberapa kasus dimana

sebagian masyarakat melaksanakan acara manjapuik marapulai itu sebelum

akad nikah. Kedua situasi ini sama-sama dapat diterima di masyarakat

tergantung atas kesepakatan bersama yang dilakukan oleh kedua belah pihak

yang melaksanakan perkawinan.

Pelaksanaan manjapuik marapulai dilaksanakan di kediaman marapulai.

yaitu pada hari senin tanggal 3 Desember 2017. Sebelumnya pada hari Minggu,

tanggal 2 Desember 2017 telah dilaksanakan akad nikah di Musholla di dekat

170
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kediaman anak daro. Pelaksanaan ini terjadi karena sudah ada kesepakatan

dirundingkan jauh hari sebelumnya, yaitu pada saat acara batimbang tando.

Tempat penyelenggaraan acara manjapuik marapulai tidak memerlukan

dekorasi yang rumit untuk menyambut tamu dan melakukan pasambahan.

Semua di tata dengan sederhana tanpa menghilangkan unsur tradisi yang

terdapat di dalam acara tersebut. hanya terdapat permadani sebagai alas duduk

dan tabir sebagai penutup dinding.

Rombongan anak daro dan tuan rumah duduk bersila membetuk segi

empat mengikuti bentuk ruangan yang ada. Masing-masing juru bicara

perwakilan dari kedua pihak keluarga duduk berhadapan satu sama lainnya. Hal

ini bertujuan agar kedua rang juru bicara dapat dengan leluasa menyampaikan

pasambahannya dengan ekspresif dan langsung menatap kepada lawan

bicaranya.

Setelah proses pasambahan berlangsung, selanjutnya diadakan jamuan

makan kepada para rombongan utusan anak daro. Makanan disajikan di tengah-

tengah ruangan dengan aneka pilihan lauk pauk yang diletakkan di atas piring.

Kemudian mereka akan memakan makanannya apabila tuan rumah sudah

mempersilahkan hidangannya untuk disantap, seperti berikut ini:

(39) Nak ilia ka batang aia, mudiak ka Paua


Hendak ilir ke sungai, mudik ke nama tempat

kamba, basimpang jalan ka Pariaman.


Kembar, bersimpang ke

Minumlah aia nan diisi, santoklah nasi nan ka


tangah,
Air yang diisi,makanlah yang ke
tengah,

171
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
nak sanang hati si pokok si pangkalan.
Biar senang

„Minum dan makanlah hidangan yang telah disajikan, agar hati menjadi
kami senang.‟

5.1.2.3.4 Konteks ideologi

Secara ideologis acara manjapuik marapulai ini telah dilaksanakan

secara turun temurun sejak dari zaman nenek moyang dahulunya dan memang

diwajibkan bagi anak daro untuk menjemput marapulainya dengan sejumlah

uang dan emas. Uang jemputan ini tidak sama halnya dengan mahar yang

diberikan. Karena mahar tetap diberikan oleh marapulai kepada anak daro

untuk memenuhi syarat nikah yang diwajibkan dalam ajaran agama Islam.

Dalam perkawinan adat Minangkabau khususnya pada perkawinan yang ada di

Kecamatan Sungai Geringging, anak daro diwajibkan memberikan uang

jemputan atau uang japuik yaitu berupa uang dan emas sebagai syarat

perkawinan menurut adat yang harus ditunaikan. Ideologi dalam sejarah

Minangkabau di Kabupaten Pariaman ini sedikit banyaknya telah mengalami

disfusi kebudayaan yang berasal dari wilayah Gujarat, India. Hal ini ditandai

dengan banyaknya tradisi India yang diadopsi yang pelaksanaannya sama persis

dengan tradisi yang ada di Minangkabau salah satu di antaranya adalah tradisi

manjapuik marapulai.

172
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB VI

KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI MANJAPUIK MARAPULAI

ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU

6.1 Pengantar

Bab ini menjawab rumusan masalah penelitian yang kedua yaitu

“Bagaimanakah isi tradisi yang terdapat pada tradisi pasambahan manjapuik

marapulai pada upacara perkawinan adat pariaman?” Lapisan isi tradisi

manjapuik marapulai dalam upacara adat perkawinan Minangkabau di

Kecamatan Sungai Geringging, Pariaman. Bab ini mendeskripsikan unsur-unsur

yang berkaitan dengan kearifan lokal, dimulai dari makna dan fungsi, nilai dan

norma, yang terdapat pada tradisi manjapuik marapulai di Kecamatan Sungai

Geringging, Pariaman.

6.1.1 Makna dan Fungsi Tradisi Manjapuik Marapulai

6.1.1.1 Makna Tradisi Manjapuik Marapulai

Acara manjapuik marapulai menurut informan yang penulis

wawancarai sebelumnya mengatakan bahwa dilakukan sesuai dengan falsafah

masyarakat Minangkabau yang masuk ke dalam kategori adaik nan taradaik.

Adat ini juga disebut dengan istilah adaik salingka nagari atau adat selingkar

daerah. Adat ini mengatur tatanan hidup bermasyarakat dalam suatu nagari dan

mengatur interaksinya antara satu suku dan suku yang lain dalam nagari

tersebut yang disesuaikan dengan kultur didaerah itu sendiri. Namun demikian

adat ini tetap harus mengacu kepada pedoman ajaran agama Islam. Adat ini

173
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
merupakan hasil kesepakatan bersama antara penguhulu, ninik mamak, alim

ulama, cerdik pandai, bundo kanduang dan rang mudo dalam suatu nagari yang

terdapat di Minangkabau. Adat ini juga disesuaikan dengan perkembangan

zaman serta memakai etika-etika dasar adat Minangkabau namun acuannya

tetap dilandasi atas ajaran agama Islam.

Mengacu kepada pengertian adaik nan taradaik, yaitu adat yang

dirumuskan berdasarkan musyawarah dan mufakat oleh para panghulu dalam

suatu nagari pada masa lalu, maka adat manjapuik marapulai berarti juga

merupakan hasil rumusan pemuka adat pada masa lalu.

Adat ini tidak berlaku di seluruh wilayah kebudayaan Minangkabau

yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat. Hanya saja, berbeda dengan adaik

nan taradaik lain yang hanya berlaku pada suatu nagari saja atau selingkar

nagari tertentu saja di luar nagari yang bersangkutan tidak berlaku lagi. Adat

manjapuik marapulai ini berlaku umum di nagari-nagari dalam Kabupaten

Pariaman. Hampir semua nagari melaksanakan adat ini, hanya ada beberapa

nagari saja yang tidak melaksanakannya dengan kuat, yaitu nagari-nagari yang

berdekatan dengan wilayah Luhak yang meliputi sebagian nagari dalam

kecamatan 2 x 11 VI Lingkung yang letaknya berbatasan dengan Luhak Tanah

Datar yang terletak di wilayah Kabupaten Tanah Datar.

Sebagai adat yang tergolong ke dalam adaik nan taradaik atau

termasuk ke dalam kategori adat yang bisa dan dapat diubah atau adaik nan

babuhua sintak (adat yang tidak diikat mati) artinya karena ia tidak diikat mati

maka ia boleh diubah kapan saja diperlukan melalui kesepakatan penghulu,

174
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, bundo kanduang dan rang mudo yang

disesuaikan dengan perkembangan zaman, namun acuannya adalah sepanjang

tidak melanggar ajaran adat dan ajaran agama Islam. Adat ini disebutkan dalam

pepatah adat, yaitu maso batuka musim baganti, sakali aie gadang sakali tapian

baranjak (masa bertukar musim berganti, sekali air besar sekali tepian berubah).

Maksud dari istilah adaik nan babuhua sintak dalam perubahan adat manjapuik

marapulai adalah sesuatu hal yang sangat dimungkinkan terjadi menurut adat

Minangkabau.

Upacara adat manjapuik marapulai merupakan salah satu acara yang

terdapat dalam rangkaian perkawinan adat Minangkabau selain banyak

rangkaian lainnya yang harus dilakukan dalam proses perkawinan. Manjapuik

marapulai merupakan acara dimana marapulai dijemput secara adat oleh

rombongan utusan anak daro dengan membawa segala persyaratan yang telah

dirundingkan dan disepakati jauh hari sebelumnya, yaitu pada saat acara

batimbang tando. Adapun persyaratan yang lazim dipenuhi oleh anak daro

adalah pemberian uang japuik dan ameh.

Uang japuik adalah sejumlah uang tertentu yang diberikan oleh pihak

orang tua anak daro kepada marapulai dan keluarganya dalam rangka

melaksanakan perkawinan. Uang japuik ini selain bermakna sebagai

persyaratan perkawinan juga sebagai penghargaan yang diberikan oleh keluarga

anak daro kepada keluarga marapulai.

Putiah kapeh buliah diliek


Putiah hati bakaadaan

175
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Artinya adalah putih kapas dapat dilihat, putih hati berkeadaan. Makna

dalam peribahasa tersebut adalah pemberian uang jemputan yang diberi oleh

keluarga anak daro harus dilihat sebagai bukti dari keikhlasan, kejernihan, dan

bersihnya hati dari sebuah kesungguhan dan penghargaan yang tulus yang

diwujudkan melalui benda yang diberikan.

Dalam praktiknya, uang japuik tidaklah ditentukan berapa banyak

jumlahnya atau tidak ada ketentuan khusus yang mengatur mengenai hal

tersebut karena semua terserah kepada kesanggupan pihak anak daro dengan

segala pertimbangannya. Namun yang lazim di masyarakat adalah besar atau

kecilnya uang japuik tersebut sering dikaitkan dengan tinggi rendahnya

penghargaan kepada marapulai dan keluarganya dan sekaligus juga sebagai alat

ukur yang dipakai oleh anggota masyarakat lainnya untuk melihat dan menilai

tingkat kemampuan keluarga anak daro secara ekonomis.

Seorang marapulai dan keluarganya akan merasa sangat bangga apabila

uang japuik yang diberikan kepadanya dengan jumlah relatif yang cukup besar.

Kondisi yang demikian dianggap sebagai suatu pertanda bahwa marapulai dan

keluarga mereka sangat dihargai, dan keluarga mereka adalah keluarga yang

bermartabat, baik dari sisi ekonominya maupun dari derajat yang dimiliki. Oleh

karena itu, pendidikan, pekerjaan, dan gelar yang dimiliki seorang marapulai

akan menentukan tinggi atau rendah uang jemputan yang akan diberikan oleh

anak daro. Semakin tinggi tingkat pendidikan, pekerjaan, dan gelar yang

dimiliki maka akan semakin tinggi pula nilai uang jemputan yang akan

diterimanya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan, pekerjaan dan

176
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
gelar yang dimiliki juga akan menentukan rendahnya uang jemputan yang akan

diterimanya. Pada zaman sekarang ini, nilai uang jemputan memiliki standarnya

masing-masing. Apabila calon marapulai adalah orang yang berasal dari

kalangan biasa, biasanya dia dijemput dengan uang senilai 5.000.000 Rupiah,

sedangkan bila calon marapulai memiliki gelar pendidikan dan pekerjaan

seperti: sarjana, guru, dokter, maka calon marapulai ini akan dijemput dengan

uang senilai 25.000.000 rupiah sampai dengan 55.000.000 Rupiah. Sedangkan

untuk gelar yang dimilikinya seperti sidi, bagindo atau sutan akan menambah

lagi jumlah nominal yang akan diterimanya.

Demikian juga halnya dengan pihak keluarga anak daro, mereka juga

akan merasa bangga jika mereka mampu untuk memberikan sejumlah uang

japuik yang relatif cukup besar, karena mereka percaya bahwa kenyataan itu

akan dianggap oleh anggota masyarakat yang lainnya sebagai salah satu

indikator bahwa keluarga mereka adalah keluarga bermartabat dan mampu

secara ekonomi, dan bukanlah keluarga yang berasal dari ekonomi sedang

ataupun rendah.

6.1.1.2 Fungsi Tradisi Manjapuik Marapulai

Berdasarkan teori fungsionalisme yang di kemukakan oleh Malinowski

(dalam Endraswara, 2008:124-125) dalam penelitian yang penulis lakukan ini

yaitu mengenai tradisi manjapuik marapulai, penulis menemukan fungsi yang

terdapat pada tradisi manjapuik marapulai.

Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhannya masing-masing,

baik itu kebutuhan biologis maupun kebutuhan psikologis dan di sinilah peran

177
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kebudayaan yang pada dasarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan

manusia tersebut. Dalam tradisi manjapuik marapulai, fungsi utamanya adalah

untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang dilandasi atas dua kategori yaitu

biologis dan psikologis, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Sebagai cara untuk menaikkan harkat urang sumando sebagai pendatang

di kediaman kaum isteri.

Di samping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, adat

Minangkabau juga menganut paham yang dalam istilah antropologi

disebut dengan sistem matrilokal, yaitu menetapkan bahwa marapulai

atau suami bermukim atau menetap di sekitar pusat kediaman kaum

kerabat isteri, atau di dalam lingkungan kekerabatan isteri. Namun

demikian status persukuan marapulai atau suami tidak akan berubah

menjadi status pesukuan isterinya tetapi tetap memakai pesukuan dari

ibunya. Status marapulai dalam lingkungan kekerabatan isterinya

adalah dianggap sebagai tamu terhormat, dan tetap dianggap sebagai

pendatang.

Sebagai pendatang kedudukannya sering digambarkan secara

dramatis ibarat “abu diateh tungku” yang memiliki makna sangat lemah

dan sangat mudah untuk disingkirkan. Namun sebaliknya dapat juga

diartikan bahwa suami haruslah sangat berhati-hati dalam menempatkan

dirinya di lingkungan kerabat isterinya, sehingga suami dituntut untuk

dapat dengan mudah bergaul dengan isteri dan keluarga isterinya dengan

sebaik-baiknya.

178
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut:

Sigai mancari anau, anau tatap sigai baranjak


datang dek bajapuik pai jo baanta
ayam putiah tabang,
siang basuluah matohari bagalanggang mato rang banyak

Artinya, Tangga mencari enau, enau tetap tangga berpindah.

Datang karena dijemput, pergi dengan diantar. Bagai ayam putih

terbang. Siang bersuluh matahari bergelanggang disaksikan mata orang

banyak.

Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap

perkawinan adat Minangkabau, semua laki-laki yang diantar ke rumah

isterinya, dengan dijemput oleh keluarga isterinya secara adat dan

diantar pula bersama-sama oleh keluarga marapulai secara adat pula.

Maka sejak itu suami yang menetap dirumah atau di kampung halaman

isterinya disebut sebagai urang sumando.

2. Sebagai cara untuk menghibur dalam rangka membesarkan hati keluarga

marapulai yang akan ditinggalkan.

Orang tua dan saudara marapulai umumnya melepas marapulai

dengan perasaan bahagia dan sedih yang bercampur menjadi satu.

Namun perasaan sedih adalah perasaan yang paling tidak bisa mereka

hindarkan dan sembunyikan. Perasaan ini selalu mereka ungkapkan

dengan tangisan atau bahkan ratapan yang mereka tujukan kepada

marapulai karena takut akan kehilangan. Bagi jejaka Minangkabau

perkawinan adalah sesuatu yang sangat menyedihkan bagi keluarga

179
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mereka, karena perkawinan dalam fikiran mereka ibarat seperti melepas

orang yang sudah mati untuk dibawa ke perkuburan atau seperti melepas

keluarga yang akan pergi merantau atau melaksanakan haji ke Mekah.

Melepas seseorang yang telah mati memiliki arti bahwa orang yang

pergi tersebut tidak akan penah kembali lagi dan nantinya keluarga yang

ditinggalkan tidak akan pernah melihat kembali orang yang telah pergi

tersebut. Orang yang pergi meninggalkan kampung halaman untuk pergi

merantau diartikan sebagai orang yang akan pergi jauh dan belum tentu

kembali dalam waktu yang dekat, sehingga situasi ini dapat diartikan

sebagai orang yang pergi jauh untuk waktu yang lama. Begitu juga

halnya dengan orang yang melaksanakan ibadah haji adalah orang yang

pergi jauh untuk waktu yang cukup lama dan takut tidak akan kembali

dalam waktu dekat karena sesuatu hal, sehingga pergi menunaikan

ibadah haji adalah peristiwa yang sangat mengharukan. Dari ketiga

situasi yang disebutkan sebelumnya, perkawinan menurut adat

Minangkabau adalah kondisi yang menyedihkan dan mengharukan bagi

keluarga marapulai, karena ketika anak dan saudara mereka akan

menikah seolah-olah marapulai mungkin akan melupakan orang tua dan

saudaranya sendiri setelah menikah. Menurut keluarga yang

ditinggalkan setelah menikah marapulai akan menjadi hak milik

isterinya serta keluarga besar isterinya dan sudah seharusnya suami lebih

mementingkan hal-hal yang berhubungan dengan isteri dan keluarga

besarnya dibanding dengan keluarga kandung marapulai itu sendiri.

180
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Sebagai cara untuk mempersatukan keluarga yang berbeda dari kedua

belah pihak.

Pernikahan menjadi hal yang paling penting dalam fase

kehidupan manusia. Tahapan ini adalah bagian dari jenjang kebutuhan

hidup seorang manusia. Bukan saja hanya dilihat dari sisi biologisnya,

tetapi dilihat juga dari aspek lainnya seperti tujuan untuk meneruskan

keturunan serta aspek ekonomi dan lain sebagainya. Perkawinan adalah

suatu bentuk penyatuan antara seorang pria dan wanita yang masing-

masing mereka memiliki perbedaan baik yang berasal dari diri sendiri

maupun pengaruh lingkungan sekitar saat belum menikah, salah satu

diantaranya adalah dengan berbeda latar belakang kehidupan.

Marapulai dan anak daro adalah merupakan dua orang manusia

yang berasal dari keluarga yang berbeda apabila dilihat dari asal usul

mereka. Artinya, mereka tumbuh dan dibesarkan dari pengajaran dan

lingkungan yang berbeda pula. Di sinilah fungsi acara manjapuik

marapulai ini sebagai wadah untuk menyatukan dua keluarga yang

berbeda tadi. Artinya, masing-masing keluarga sedikit banyaknya akan

mengetahui keluarga besar dari kedua belah pihak.

4. Bagi keluarga marapulai, sebagai bukti dari pengakuan atau

pembenaran masyarakat terhadap status sosial.

Masyarakat Sungai Geringging merupakan masyarakat yang

masih kuat memegang teguh aturan adat dalam setiap aspek

kehidupannya termasuk mengenai adat manjapuik marapulai. Tanpa

181
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mengenal status sosial mampu atau tidak mampu, seorang wanita yang

akan menikah pasti akan menjalankan adat manjapuik ini tanpa

terkecuali. Manjapuik marapulai bukan hanya sekedar menjemput saja

untuk dibawa, melainkan juga ada beberapa syarat yang harus

dipenuhinya, diantaranya adalah uang japuik.

Bagi keluarga marapulai pemberian uang japuik merupakan hak

yang memang harus mereka terima. Semakin tinggi gelar ataupun

pekerjaan yang dimiliki seorang marapulai, maka akan semakin tinggi

juga nilai nominal yang akan diterimanya. Begitu juga, semakin rendah

gelar ataupun pekerjaan yang dimiliki marapulai, maka akan semakin

rendah juga nilai nominal yang akan diterimanya. Pada dasarnya tidak

ada aturan khusus yang mengatur mengenai hal yang berkaitan dengan

uang japuik tersebut. Situasi ini merupakan hal yang lazim dan

berkembang di tengah-tengah komunitas masyarakat. Sehingga, dengan

adanya uang japuik serta tata cara manjapuik marapulai tersebut

merupakan sebuah bukti pembenaran bahwa marapulai yang dijemput

adalah marapulai yang memiliki status sosialnya tersendiri, baik itu

yang berstatus sosial tinggi ataupun berstatus sosial rendah.

5. Bagi keluarga anak daro, adalah sebagai pembuktian gengsi sosial.

Dalam praktiknya, uang japuik tidaklah ditentukan jumlahnya

atau tidak ada ketentuan khusus yang mengatur mengenai jumlah

pemberian uang japuik tersebut. Besar kecilnya uang japuik yang

diberikan semuanya akan diserahkan atas kesanggupan dari pihak anak

182
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
daro dengan segala pertimbangan yang ada pada mereka dan keluarga

marapulai. Namun yang lazim pada pandangan masyarakat yaitu

mengenai besar atau kecilnya uang japuik tersebut sering sekali mereka

kaitkan dengan tinggi rendahnya penghargaan kepada marapulai dan

keluarganya serta sekaligus juga sebagai alat ukur yang dipakai oleh

anggota masyarakat untuk melihat dan menilai tingkat kemampuan

keluarga anak daro dilihat dari sisi ekonomis keluarganya.

Seorang marapulai dan keluarganya akan merasa bangga jika

uang japuik yang diberikan kepadanya adalah dengan jumlah yang

relatif cukup besar. Kondisi yang demikian ini dianggap sebagai suatu

pertanda di masyarakat bahwa marapulai dan keluarga mereka adalah

keluarga yang terpandang dan bermartabat sehingga mereka akan sangat

dihargai. Demikian juga pihak keluarga anak daro, mereka juga akan

merasa sangat bangga jika mampu untuk memberikan uang japuik yang

relatif besar, karena dengan memberikan jumlah uang japuik yang relatif

besar menandakan kesanggupan mereka secara finansial. Kenyataan itu

akan dianggap oleh anggota masyarakat yang lain sebagai salah satu

indikator bahwa keluarga mereka adalah keluarga yang bermartabat,

mampu secara ekonomi, dan bukan keluarga yang berasal dari ekonomi

rendah.

183
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Makna dan Fungsi Tradisi Manjapuik
marapulai
di Minangkabau

Makna Tradisi Manjapuik marapulai Fungsi Tradisi Manjapuik


di Minangkabau marapulai di Minangkabau
1. Sebagai cara untuk menaikkan
harkat urang sumando sebagai
pendatang di kediaman isteri
Perwujudan penghargaan yang
diberikan oleh keluarga anak daro 2. Sebagai cara untuk menghibur
kepada keluarga marapulai. dalam rangka membesarkan hati
keluarga marapulai yang akan
ditinggalkan
3. Sebagai cara untuk mempersatukan
keluarga yang berbeda dari kedua
belah pihak.
4. Bagi keluarga marapulai, sebagai
bukti dari pengakuan atau
pembenaran masyarakat terhadap
status sosial
5. Bagi keluarga anak daro, adalah
sebagai pembuktian gengsi sosial.

Bagan 6.1
Makna dan Fungsi Tradisi Manjapuik Marapulai Di Minangkabau

6.1.2 Nilai dan Norma Tradisi Manjapuik marapulai

6.1.2.1 Nilai Tradisi Manjapuik marapulai

Nilai merupakan sesuatu yang berguna dan baik yang dicita-citakan dan

dianggap penting oleh setiap masyarakat. Sesuatu yang dikatakan dengan

memiliki sebuah nilai, apabila sesuatu tersebut mempunyai kegunaan,

kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Nilai merupakan suatu hal yang dianggap

baik atau buruk bagi kehidupan. Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, namun

sesuatu tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat.

184
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Setiap manusia yang sadar akan kehidupannya dapat dipastikan dia

adalah orang yang memiliki keyakinan dan pengharapan terhadap sesuatu dalam

kehidupannya. Seberapa kuatnya keyakinan dan pengharapan itu akan menyatu

dalam kehidupannya. Apa yang diyakini olehnya dan apa yang dicita-

citakannya sebagai sesuatu yang hal yang memiliki nilai. Sesuatu itu akan

bernilai, karena di dalamnya telah mengandung unsur-unsur yang memiliki

kemampuan sebuah kualitas. Kemampuan atau kualitas tersebut ada bukan

karena persetujuan, ataupun tanggapan dari subjek lain yang menilainya.

Kemampuan atau kualitas itu akan mengakibatkan seseorang menyakini dan

berpengharapan atasnya. Berpengharapan, dimaksudkan sebagai usaha untuk

memiliki, mencapai, dan menghayati, misalnya sebuah kebenaran, keindahan,

dan kebaikan.

Menilai berarti menimbang yaitu kegiatan yang menghubungkan sesuatu

dengan sesuatu yang lain (sebagai standar), untuk selanjutnya mengambil

keputusan. Keputusan itu dapat menyatakan: berguna atau tidak berguna, benar

atau tidak benar, indah atau tidak indah, baik atau tidak baik dan seterusnya.

Menurut Moehadjir dan Cholisin (1989:25), nilai pada dasarnya disebut sebagai

standar penuntun dalam menentukan sesuatu itu baik, indah, berharga atau

tidak.

Frondizi (1963:1-2) mengemukakan bahwa aksiologi adalah cabang

filsafat yang berusaha menjawab pertanyaan, apakah sesuatu itu dikatakan

bernilai karena memang benar-benar bernilai, atau apakah sesuatu itu karena

dinilai maka menjadi bernilai? Di antara para ahli terdapat perbedaan pendapat

185
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sifat nilai dari sesuatu, yaitu pendapat yang mengatakan nilai itu bersifat

subjekstif dan nilai itu bersifat objektif.

Pengertian nilai itu bersifat subjektif artinya bahwa nilai dari suatu objek

itu tergantung dari subjek yang menilainya. Sebagai contoh, pohon kelapa yang

batangnya condong disuatu pantai, sangat mungkin memiliki nilai bagi seorang

seniman, tetapi tidak akan bernilai sama sekali bagi seorang pedagang kayu

bangunan. Contoh lainnya adalah, sebuah bangunan tua warisan zaman Belanda

yang sudah keropos sangat mungkin memiliki nilai bagi sejarawan, tapi tidak

demikian halnya bagi orang lain.

Pandangan bahwa nilai subjektif sifatnya antara lain dianut oleh Bertens

(1993:140-141), yang menyatakan bahwa nilai berperanan dalam suasana

apresiasi atau penilaian dan akibatnya suatu objek akan dinilai secara berbeda

oleh berbagai orang. Untuk memahami tentang nilai, ia membandingkan dengan

fakta. Bertens (1993) mengilustrasikan dengan objek peristiwa letusan sebuah

gunung pada suatu saat tertentu. Hal ini dapat dipandang sabagai sebuah fakta,

yang oleh para ahli dapat digambarkan secara objektif. Misalnya para ahli dapat

mengukur tingginya awan panas yang keluar dari kawah, kekuatan gempa yang

menyertai letusan itu, jangka waktu antara setiap letusan dan sebagainya.

Selanjutnya bersamaan dengan itu, objek peristiwa letusan tersebut dapat

dipandang sebagai nilai. Sedangkan, bagi wartawan, foto dari sebuah peristiwa

letusan gunung tersebut merupakan sebuah kesempatan emas untuk

mengabadikan kejadian yang langka dan tidak mudah disaksikan oleh setiap

orang. Sementara bagi petani disekitarnya, letusan gunung dan debu panasnya

186
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menerjang tanaman petani yang hasilnya hampir dipanen, dan peristiwa itu

dipandang sebagai sebuah musibah.

Berdasarkan dari penjelasan dan ilustrasi di atas dapat penulis simpulkan

bahwa nilai adalah sebuah kondisi atau kualitas dari sebuah benda atau suatu

kegiatan yang membuat eksistensinya, kepemilikannya, atau upaya untuk

mengejarnya menjadi sesuatu yang didambakan oleh setiap individu di

masyarakat. Nilai tidak terlalu bersifat subjektif, karena nilai tersebut tetap

mengacu kepada konteks sosial yang membentuk sebuah individu dan akan

dipengaruhi oleh nilai tersebut.

Sejalan dengan beberapa pendapat yang penulis ungkapkan sebelumnya,

sangat penting bagi penulis untuk menguraikan nilai-nilai yang terdapat dalam

tradisi manjapuik marapulai pada perkawinan adat Minangkabau di Sungai

Geringging, Pariaman. Adapun nilai-nilai yang penulis temukan diantaranya

adalah: nilai etika, nilai estetika dan nilai kepercayaan.

6.1.2.1.1 Nilai Etika

Nilai etika adalah nilai yang mengkaji tentang sikap seorang

manusia dalam bertindak dan berperilaku dengan mempertimbangkan

segala akibat mengenai baik dan buruknya atas perilaku manusia

tersebut.

Etika dalam bahasa Yunani kuno “ethos” yang berarti timbul

kebiasaan, perasaan batin serta kecenderungan batin untuk melakukan

187
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sesuatu. Secara umum biasanya etika disebut juga sebagai tindakan,

perilaku, ataupun tingkah laku. Etika menjadi sesuatu yang sangat

penting dalam kehidupan manusia, baik pada diri seorang individu,

keluarga, masyarakat, agama maupun bangsa. Etika pada dasarnya

merupakan penerapan nilai tetang baik atau buruk yang berfungsi kaidah

tingkah laku yang berhubungan dengan individu lainnya, sebagai

ekspektasi oleh masyarakat terhadap seorang individu sesuai dengan

status dan peranannya dan etika berfungsi sebagai pedoman bagi setiap

individu dalam melaksanakan proses sosialnya. Dengan kata lain, etika

berhubungan dengan upaya untuk menentukan tingkah laku seorang

individu.

Penulis menemukan beberapa nilai etika yang muncul dalam

tradisi manjapuik marapulai ini yang mereka ataupun individu yang

terlibat dalam acara tersebut tunjukkan dari sikap dan perilaku mereka

pada saat acara berlangsung, diantaranya:

1. Rombongan anak daro menunggu di halaman rumah dan tidak

akan masuk ke dalam rumah marapulai sebelum tuan rumah

(sipangka) mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam

rumah. Adapun nilai yang dapat diambil dari sikap ini adalah

kesopanan. Seseorang akan dianggap tidak sopan apabila masuk

kerumah orang lain tanpa izin. Lazimnya dimasyarakat,

seseorang yang masuk ke rumah orang lain tanpa izin sama

188
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
seperti seorang pencuri yang diartikan sebagai orang yang tidak

bermartabat.

2. Rombongan anak daro sebelum melewati pintu rumah

marapulai selalu mengucapkan salam. Salam sangat dianjurkan

dalam agama Islam, hal ini dilakukan agar dapat mendoakan dan

mendapatkan kebaikan dalam salam tersebut serta dapat saling

mencintai sesama muslim. Salam diartikan sebagai sebuah

keselamatan, dan keselamatan ini ditujukan kepada orang yang

punya rumah dan seluruh keluarga yang hadir di ruangan

tersebut, agar mereka selalu hidup dalam keberkahan dan selalu

di rahmati oleh Allah SWT.

3. Menyampaikan rasa hormat kepada tuan rumah.

Rasa hormat ini ditunjukkan melalui panggilan hormat yaitu

dengan menyebutkan gelar orang-orang yang patut diberikan

rasa hormat, seperti: sidi, bagindo atau sutan.

4. Menyampaikan maksud dengan santun

Dalam hal ini, utusan anak daro menyampaikan maksud

kedatangan mereka melalui pasambahan. Pasambahan ini

disampaikan melalui kiasan-kiasan (kieh). Menurut orang

Minangkabau bahasa itu akan dinilai santun apabila dia

menyatakan maksud dan tujuannya melalui bahasa secara tidak

langsung, dalam hal ini yaitu melalui kiasan, dan ini terbukti

189
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dalam acara manjapuik marapulai. Penulis tidak menemukan

satu kalimatpun yang tidak menggunakan kiasan, semua alur

pasambahan disampaikan melalui kiasan-kiasan, baik itu dari

pihak sipangka maupun sialek.

5. Tidak memberikan keputusan atas pemikiran sendiri

Hal ini tercermin pada saat juru bicara marapulai memberikan

keputusan mengenai boleh atau tidaknya marapulai dibawa. Juru

bicara tersebut tidak serta merta memberikan izin berdasarkan

hasil pemikirannya sendiri, melainkan melalui hasil rundingan

dengan seluruh keluarga besar marapulai yang hadir pada acara

tersebut.

6. Menggunakan Variasi tutur yaitu kato nan ampek

Penggunaan tuturan berdasarkan kato nan ampek yaitu kato

mandaki, kato manurun, kato mandata dan kato malereang

sejalan dengan kesantunan. Seseorang yang mampu memenuhi

kondisi yang telah tertulis dalam kato nan ampek dikategorikan

sebagai orang yang tau di nan ampek atau dianggap sebagai

orang yang memiliki perilaku yang santun, karena dalam kato

nan ampek sudah jelas tergambar pilihan-pilihan kebahasaan

bagaimana seorang Minangkabau itu idealnya dalam bertutur dan

tau di nan ampek mengkondisikan seseorang untuk dapat

berperilaku santun sesuai dengan norma masyarakat yang ada.

190
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6.12.1.2 Nilai Estetika

Estetika dapat diartikan sebagai teori tentang keindahan atau

seni. Estetika berkaitan dengan nilai-nilai jelek (tidak indah). Nilai

estetika berarti nilai tentang keindahan. Keindahan dapat diberi makna

secara luas, sempit dan estetik murni, yaitu: (a) Secara luas, keindahan

mengandung nilai kebaikan. Bahwa segala sesuatu yang baik termasuk

yang abstrak maupun nyata yang mengandung ide kebaikan adalah

indah. Keindahan dalam arti luas meliputi banyak hal, seperti watak

yang indah, hukum yang indah, ilmu yang indah dan kebajikan yang

indah. Indah dalam arti luas mencakup hampir seluruh yang ada. Apakah

merupakan hasil seni, alam moral, dan intelektual, (b) Secara sempit,

yaitu indah yang terbatas pada lingkup persepsi penglihatan (bentuk dan

warna), (c) Secara estetik murni, menyangkut pengalaman estetik

seseorang dalam hubungannya dan segala sesuatu yang diresapinya

melalui penglihatan, pendengaran, perasaan, yang semuanya dapat

menimbulkan anggapan indah.

Jika estetika dibandingkan dengan etika, maka etika berkaitan

dengan nilai yang berkaitan dengan baik dan buruk, sedangkan estetika

adalah hal yang berkaitan dengan indah dan jelek. Sesuatu estetik berarti

memenuhi unsur keindahan (secara estetik murni maupun secara sempit,

baik dalam bentuk warna, garis kata, ataupun nada). Budaya estetik

berarti budaya itu mengandung unsur keindahan.

191
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dalam tradisi manjapuik marapulai ini, penulis menemukan

beberapa hal yang berkaitan dengan nilai estetika, diantaranya:

1. Penataan sirih dalam carano

Carano adalah sebuah wadah yang umumnya digunakan dalam

setiap acara adat. carano memiliki bentuk yang khas yang

terbuat dari logam yang memiliki warna keemasan dan memiliki

motif hiasan di sekelilingnya. Pemakaian carano dan

kelengkapannya berfungsi sebagai lambang persembahan untuk

menunjukkan rasa hormat dalam upacara adat. seperangkat sirih

akan disusun dengan rapi di dalam carano dan kemudian carano

akan ditutup dengan dulamak. Dulamak adalah alas penutup

carano yang umumnya berwarna merah maupun hitam yang

memiliki bordir dari benang emas. Seperti pada gambar dibawah

ini:

Gambar 6.1
Sirih dalam Carano

192
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Penataan uang japuik dan emas

Uang japuik adalah sejumlah uang yang diberikan kepada

marapulai berikut syarat lainnya. Uang japuik dan emas ini

dibungkus dalam saputangan atau kain berwarna merah sehingga

jumlah uang tersebut tidak langsung ditunjukkan kepada

keluarga marapulai.

3. Penataan baju sapatagak dalam baki

Baju sapatagak yakni pakaian lengkap marapulai yang diberikan

oleh anak daro dari tutup kepala sampai alas kaki. Seperangkat

pakaian ini disusun dengan rapi diatas baki yang memiliki

diameter lebar sehingga dapat menampung seperangkat pakaian

ini.

Gambar 6.2
Baju Sapatagak

4. Makanan yang disajikan

Makanan yang disajikan dihadapan tamu dari kedua belah pihak

bukanlah disusun hanya sekedar saja, tetapi di susun dengan rapi

193
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
di atas taplak, yaitu kain yang berwarna putih yang setiap sisinya

terdapat bordiran berbentuk bunga dengan tidak terputus.

Gambar 6.3
Taplak

5. Penataan Ruangan

Ruangan tempat menyambut rombongan utusan anak daro

dibuat dengan selapang mungkin, sehingga benda-benda yang

dulunya ada di ruangan tersebut disingkarkan untuk sementara

waktu agar ruangan terlihat kosong, sehingga ruangan tersebut

dapat diduduki oleh banyak orang. Dinding pada ruangan

tersebut ditutup dengan menggunakan kain berwarna warni yang

bermotif. Umumnya warna yang digunakan adalah warna hijau,

kuning, dan merah yang disulam dengan menggunakan benang

emas yang disebut dengan tabir.

194
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 6.4
Tabir

6. Pakaian Pasumandan

Pasumandan adalah perempuan muda yang sudah menikah yang

akan mendampingi marapulai dari sisi kiri dan kanannya sampai

ke kediaman anak daro. Kedua pasumandan ini akan

menggunakan pakaian baju kuruang bersulam benang emas dan

mengenakan kain belapak dan juga suntiang kecil atau tanduak

yang menghiasi kepalanya. Namun karena sekarang perempuan

Minangkabau yang telah menikah sudah seharusnya memakai

jilbab, sehingga pemakaian sunting ini dapat diganti dengan

jilbab saja. Baju kuruang adalah pakaian perempuan

Minangkabau yang bentuknya longgar. Dapat dilihat seperti

gambar yang ada dibawah ini:

195
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 6.5
Pasumandan

6.1.2.1.3 Nilai Kepercayaan

Manusia memerlukan suatu untuk kepercayaan. Kepercayaan

itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya.

Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat

terjadi. Namun demikian, selain kepercayaan itu dianut karena

kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran.

Demikian pula cara kepercayaan itu harus pula benar. Menganut

kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan

berbahaya. Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam

kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam

di kalangan masyarakat. Di samping itu masing-masing bentuk

kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan

kepalsuan yang bercampur baur.

Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa

kepercayaan itulah yang melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai yang lahir

tersebut kemudian melembaga dalam tradisi-tradisi yang diwariskan

196
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
secara turun temurun dan mengikat setiap anggota masyarakat yang

mendukungnya. Tidak terlepas dari tradisi manjapuik marapulai yang

ada di Pariaman, nilai kepercayaan juga terdapat di dalamnya. Nilai

kepercayaan ini diwujudkan dengan adanya dan tetap berlangsungnya

tradisi manjapuik marapulai ini di Kecamatan Sungai Garingging,

Pariaman sampai sekarang. Tradisi ini tetap dipertahankan dengan

segala nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

6.1.2.2 Norma Tradisi Manjapuik marapulai

Pada dasarnya norma ada, muncul, berkembang dan bertahan dalam

setiap kehidupan bermasyarakat. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu

memerlukan kehadiran orang lain untuk keberlangsungan dan kebertahanan

hidup mereka. Agar kehidupan dapat berjalan dengan teratur dan terarah, maka

setiap manusia membutuhkan berbagai aturan tertentu yang belum tentu semua

orang mampu untuk melakukan setiap perbuatan dengan sesuka hatinya.

Apabila keinginan yang dimiliki oleh seseorang dipaksakan kepada orang yang

lain, maka secara tidak langsung akan mengakibatkan benturan dengan

keinginan dari pihak lain. Agar mendapatkan kenyamanan dan keteraturan

dalam hidup bersama-sama, maka manusia memerlukan sebuah kesepakatan

mengenai hal yang boleh untuk dilakukan, hal-hal yang berhubungan dengan

sebaiknya yang harus dilakukan, serta hal-hal yang tidak boleh sama sekali

untuk dilakukan kepada orang lain. Kesepakatan tersebut yang menjadi cikal

bakal yang menjadi lahirnya sebuah norma.

197
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kata norma berasal dari bahasa belanda yaitu norm yang berarti

patokan, atau pedoman, atau pokok kaidah. Sehingga dapat disimpulkan

pengertian norma adalah kaidah yang menjadi sebuah petunjuk, pedoman bagi

seseorang dalam melakukan sebuah tindakan atau tidak melakukan sebuah

tindakan, serta bertingkah laku dalam kehidupan di lingkungan masyarakat,

seperti: norma kesopanan, norma hukum, serta norma agama.

Norma merupakan wujud nyata dari beberapa nilai-nilai sosial yang

berada dikehidupan bermasyarakat yang berbudaya, yang memiliki seperangkat

aturan, serta berbagai kaidah, baik itu secara tertulis maupun tidak. Norma-

norma tersebut berfungsi sebagai pengatur kehidupan setiap manusia dalam

kehidupan bermasyarakat. Di dalam fungsi norma tersebut terkandung beberapa

petunjuk dan aturan kehidupan tentang sebuah tindakan itu benar atau salah,

yang harus dipatuhi dan dipedomani setiap warga sebagai anggota dalam sebuah

masyarakat. Apabila norma-norma tersebut dilanggar, orang yang melakukan

tindakan tersebut akan diberikan sanksi oleh masyarakat yang lainnya.

Norma merupakan alat agar dapat mengatur orang-orang agar

melakukan perbuatan yang diletakkan atas dasar keyakinan serta pada beberapa

sikap tertentu. Norma ada kaitannya dengan kerjasama yang terjadi dalam

sebuah kelompok atau untuk mengatur setiap perbuatan pada masing-masing

anggotanya agar dapat mencapai dan menjunjung nilai-nilai yang telah diyakini

secara bersama-sama.

Ada beberapa macam norma yang berlaku di lingkungan masyarakat,

antara lain:

198
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1. Norma Agama

Norma agama adalah peraturan atau pedoman hidup yang berisi

perintah-perintah, larangan-larangan, dan anjuran-anjuran yang berasal

dari Tuhan yang Maha Esa. Norma agama bersumber dari Tuhan yang

dimuat dalam kitab suci agama tertentu dan dalam kelisanan yang

diwariskan. Dalam norma agama diwajibkan untuk menjunjung tinggi

nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan dalam kehidupan sehari-hari

sesuai dengan perintah dan menjauhi segala larangannya untuk

mencapai kebahagiaan baik yang ada di dunia maupun yang ada di

akhirat nanti. Apabila dalam melanggar norma agama maka akan diberi

sanksi dan hukuman yang bersifat dunia atau di akhirat nanti. Sanksi dan

hukuman yang diterima di dunia adalah depresi, goncangan jiwa

maupun perang batin hati nurani. Sedangkan sanksi dan hukuman di

akhirat kelak adalah berupa siksaan, jika terdapat banyak dosa dari

pelanggaran-pelanggaran yang diperbuat melampaui dari amalan

perbuatan selama didunia. Hal hal yang berkaitan dengan perbuatan dosa

dan sanksinya di akhirat semua dijelaskan dalam kitab suci masing-

masing agama.

2. Norma Kesusilaan

Norma kesusilaan adalah peraturan sosial yang berasal dari hati nurani

yang menciptakan perilaku serta akhlak, sehingga seseorang dapat

membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Norma

kesusilaan adalah norma yang hadir dalam wujud tidak tertulis

199
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dikarenakan pelaksanaannya dikerjakan berdasarkan hati nurani. Setiap

orang harus memiliki norma kesusilaan yang dibawanya sejak lahir dan

setiap orang yang melakukan pelanggaran atas norma kesusilaan

tersebut, maka orang tersebut dapat digolongkan sebagai orang yang

tidak memiliki moral atau asusila. Norma kesusilaan tersebut harus

diimplementasikan dalam berinteraksi dengan anggota masyarakat yang

lainnya. Setiap orang diwajibkan untuk berperilaku baik agar tidak

melakukan kesalahan yang dapat merusak sifat baik seseorang. Jika

dalam norma agama ditemukan istilah dosa, maka di dalam norma

kesusilaan akan ada penyesalan atas pelanggaran norma kesusilaan yang

diperbuatnya, selain sanksi yang diberikan oleh masyarakat dalam

lingkungannya seperti: pengucilan dan sanksi sosial lainnya.

3. Norma Kesopanan

Pengertian norma kesopanan atau norma sopan santun, tata karma, adat

istiadat yaitu peraturan yang muncul dari hasil pergaulan. Norma

kesopanan bersifat relatif yang artinya apa yang dianggap sebagai norma

kesopanan berbeda di berbagai tempat, lingkungan, atau waktu. Secara

umum, kesopanan yaitu peraturan sosial yang mengarah pada hal yang

berhubungan dengan cara seseorang bertingkah laku wajar dalam

kehidupan bermasyarakat. Norma kesopanan merupakan norma yang

muncul dan diwujudkan oleh masyarakat itu sendiri dalam mengatur

pergaulan menjadi masing-masing anggota masyarakat untuk saling

hormat menghormati. Dasar dari sebuah norma kesopanan yaitu

200
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kepantasan, kepatutan, atau kebiasaan yang berlaku dalam sebuah

masyarakat. Sumber norma kesopanan muncul dari pergaulan atau

pelaku adat yang berlaku dalam masyarakat, namun norma kesopanan

ini tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan masyarakat

lainnya. Norma kesopanan berkaitan dengan adat-adat ketimuran yang

menjadi dasar kehidupan, tetapi sayangnya karena hanya sekedar norma

maka pelanggarannya tidak berdampak hukum, melainkan hanya

sekedar sanksi sosial saja yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

4. Norma Hukum

Norma hukum merupakan salah satu dari beberapa norma dalam

kehidupan bermasyarakat. Norma ini wujudnya berbeda dengan norma

lainnya, seperti norma kesopanan, kesusilaan, dan norma agama.

Perbedaan terletak pada sifatnya yang memaksa setiap anggota

masyarakat. Norma hukum adalah peraturan yang dibuat oleh negara

dan berlakunya dipertahankan dengan paksaan oleh alat-alat negara

seperti: polisi, jaksa, hakim, dan sebagainya yang memiliki kewenangan

dalam hukum. Tanpa adanya norma hukum, norma yang lainnya tidak

akan berjalan dengan efektif. Sifat norma hukum yang tidak dimiliki

oleh norma yang lain adalah sifatnya yang memaksa dan memiliki

sanksi yang tegas dalam bentuk hukuman. Norma hukum bersifat

lahiriah tidak bersifat batiniah, artinya kondisi batin seseorang tidak

akan dikenai tindakan hukum.

5. Norma Kebiasaan

201
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Norma kebiasaan adalah suatu bentuk perbuatan yang dilakukan secara

terus menerus dan berulang-ulang dengan bentuk yang sama, secara

sadar dengan tujuan yang jelas dan dianggap baik dan benar. Norma

kebiasaan dapat juga diartikan sebagai norma yang keberadaannya

dalam masyarakat dapat berterima sebagai sebuah bentuk aturan yang

mengikat setiap anggotanya walaupun tidak ditetapkan dalam peraturan

pemerintah. Umumnya kebiasaan ini sering disetarakan dengan adat

istiadat. Adat istiadat merupakan kebiasaan-kebiasaan sosial yang telah

lama ada dan berkembang dalam sebuah masyarakat. Adapun sanksi

yang diperoleh apabila seorang anggota masyarakat tidak melaksanakan

norma kebiasaan ini adalah bentuk pengucilan, dikeluarkan sebagai

anggota masyarakat, atau harus memenuhi persyaratan tertentu sesuai

dengan keputusan pemuka adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

Dari penjelasan mengenai norma yang telah penulis paparkan

sebelumnya, penulis menemukan beberapa macam norma dalam tradisi

manjapuik marapulai, diantaranya sebagai berikut: norma agama, norma

kesopanan, dan norma kebiasaan.

6.1.2.1Norma Agama

Sekalipun tradisi manjapuik marapulai ini tidak ada dalam aturan ajaran

agama Islam, tetapi tradisi ini tetap hidup dan berkembang secara umum di

Kabupaten Pariaman khususnya Kecamatan Sungai Geringging yang mayoritas

masyarakatnya adalah penganut ajaran agama Islam. Hal ini disebabkan karena

budaya yang telah mereka jalankan dari tahun ketahun merupakan warisan dari

202
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
nenek moyang mereka sejak dari zaman dahulu kala. Adapun yang dapat

penulis jelaskan mengenai norma agama yang terdapat dalam tradisi manjapuik

marapulai ini adalah sebagai berikut:

1. Pengucapan salam

Salam diucapkan oleh rombongan utusan anak daro ketika hendak

masuk ke dalam rumah marapulai. Salam diartikan sebagai sebuah

keselamatan dan kesejahteraan. Keselamatan dan kesejahteraan ini

ditujukan kepada keluarga marapulai dan seluruh orang yang berada di

rumah tersebut sebagai bentuk ucapan yang disertai dengan doa kepada

yang maha kuasa, yaitu Allah SWT.

Adapun salam yang diucapkan adalah ucapan seperti:

Assalamuailaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Terjemahan:

Semoga kedamaian, rahmat, dan juga berkat dari Allah dilimpahkan


kepadamu.

2. Berdoa

Hal yang tidak boleh terlewatkan dalam setiap acara apapun adalah doa,

karena doa merupakan salah satu media penyampaian keinginan kepada

Allah SWT agar mendapat rahmat dan hidayah-Nya sebagai umat-Nya.

Dalam tradisi manjapuik marapulai ini doa juga dipanjatkan kepada

Allah SWT agar pekerjaan yang mereka lakukan mendapat berkah dan

pahala dari Allah SWT, serta keinginan agar marapulai dan anak daro

203
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah, yaitu

menjadi keluarga yang berbahagia dunia dan akhirat. Keluarga yang

sakinah adalah keluarga yang membina atau membangun sebuah rumah

tangga yang penuh kedamaian, ketentraman, ketenangan, dan selalu

berbahagia. Sementara itu, keluarga yang mawaddah memiliki arti

keluarga yang saling mencintai baik di saat suka maupun duka. Yang

terakhir adalah keluarga yang warrahmah, yaitu keluarga yang selalu

diberikan kedamaian, ketentraman, selalu penuh dengan cinta dan kasih

sayang.

3. Bersalawat

Salawat merupakan pujian atau kemuliaan yang ditujukan kepada Nabi

Muhammad SAW seperti halnya doa ataupun dzikir kepada Allah SWT.

Salawat, jika datangnya dari Allah kepada-Nya, maka bermakna rahmat

dan keridhaan. Jika dari malaikat berarti permohonan ampun. Apabila

dari ummatnya berarti bermakna sebagai sanjungan dan pengharapan

agar rahmat dan keridhaan Allah dikekalkan. Adapun salawat yang

diucapkan pada acara manjapuik marapulai ini adalah dengan tujuan

agar kedua pengantin tersebut senantiasa mendapatkan cinta dari

Rasullullah SAW, sehingga di dalam hatinya hadir segala kebaikan-

kebaikan yang melahirkan cinta, maka dengan hadirnya cinta dari

Rasulullah ini bermakna akan semakin bertambahrasa cinta dan rasa

rindu kepada Allah SWT yang akan menguasai seluruh hatinya untuk

menjalankan segala perintah Allah dengan sebaik-baiknya.

204
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6.1.2.2 Norma Kesopanan

Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang masih menjunjung

tinggi nilai-nilai kesopanan. Interaksi akan terjadi antara individu satu dengan

individu lainnya, individu satu dengan masyarakatnya. Untuk memperoleh

sebuah keharmonisan dalam berinteraksi ini perlu adanya tata karma, etika,

sopan santun yang menjadi pegangan bersama dan sudah merupakan norma-

norma yang harus dipatuhi dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Sejalan dengan pengertian norma kesopanan yaitu peraturan yang muncul dari

hasil pergaulan yang mengarah pada hal yang berhubungan dengan cara

seseorang bertingkah laku wajar dalam kehidupan bermasyarakat, maka dalam

tradisi manjapuik marapulai ini penulis juga menemukan norma kesopanan di

dalamnya, yaitu:

1. Adanya permintaan maaf

Permintaan maaf ini muncul pada saat juru bicara anak daro akan

memulai pasambahannya dihadapan seluruh orang yang terlibat dari

kedua belah pihak. Hal ini disampaikan kepada keluarga marapulai

apabila dalam memulai pasambahannya, ada orang-orang yang

berpengaruh dalam keluarga tersebut, seperti: ninik-mamak yang tidak

disebutkan secara tidak sengaja. Sehingga permintaan maaf yang

disampaikan di awal pasambahan akan dapat meminimalisir rasa

ketidaksopanan.

205
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Berkata dengan santun

Sudah seharusnya maksud dan keinginan disampaikan dengan cara yang

santun agar komunikasi dua arah dapat terjalin dengan harmonis. Begitu

juga halnya yang terdapat dalam acara manjapuik marapulai ini, juru

bicara dari kedua belah pihak menyampaikan maksud dan keinginannya

dengan santun, agar tidak ada pihak yang merasa tersinggung ataupun

merasa terancam dengan penyampaian maksud dan keinginan yang telah

disampaikan tadi.

3. Penjagaan sikap dan perilaku.

Tradisi Manjapuik marapulai merupakan acara adat yang memerlukan

pelaku adat dan orang-orang tertentu saja yang didalamnya, seperti Ninik

mamak, urang sumando dan kapalo mudo. Ninik mamak, urang

sumando dan kapalo mudo ini adalah orang orang yang dihormati

dikeluarganya, sehingga untuk terciptanya sebuah keharmonisan dalam

acara tersebut perlu dilakukan penjagaan sikap dan perilaku yang baik

dan wajar, seperti: tidak berkata sembarangan, tidak keluar masuk

ruangan, tidak mengambil makanan sebelum dipersilahkan oleh yang

punya rumah serta mengetahui kapan kesempatan giliran berbicara

dalam penyampaian pasambahan.

206
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6.1.2.3Norma Kebiasaan

Norma kebiasaan dapat disetarakan dengan adat istiadat. Adat istiadat

merupakan kebiasaan-kebiasaan sosial yang telah lama ada dan berkembang

dalam sebuah masyarakat. Dari pengertian norma istiadat yang telah penulis

jelaskan sebelumnya, dalam acara manjapuik ini, penulis menemukan beberapa

perilaku yang masuk pada kategori norma kebiasaan, di antaranya:

1. Perundingan dalam memutuskan sesuatu.

Hal ini terlihat pada saat persiapan manjapuik marapulai yang ditandai

dengan adanya (a) musyawarah dalam keluarga anak daro untuk

berunding mengenai apa yang harus dilakukan dalam acara manjapuik

marapulai serta memutuskan siapa-siapa saja yang akan menjadi juru

bicara anak daro, (b) ketika alur pasambahan terjadi untuk menjawab

permintaan utusan anak daro yaitu membawa marapulai, juru bicara

marapulai tidak memutuskannya sendiri, melainkan berunding dengan

keluarganya sebelum memberi keputusan.

2. Memenuhi persyaratan yang diinginkan

Dalam perkawinan adat Minangkabau, persyaratan menjadi hal mutlak

yang harus dipenuhi oleh anak daro. Persyaratan ini sudah dibicarakan

jauh hari sebelumnya, yaitu pada saat tahapan maminang atau

batimbang tando. Adapun hal yang wajib untuk diberikan oleh anak

daro kepada marapulai adalah uang japuik dan persyaratan lainnya.

Berkaitan dengan hal ini, pemberian uang japuik dan persyaratan

lainnya ini adalah hal yang sudah menjadi kebiasaan di tengah-tengah

207
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
masyarakat Minangkabau di Sungai Geringging, Pariaman dari zaman

dahulu sampai sekarang masih ada dan terlaksana dengan baik.

3. Gotong Royong

Di Kabupaten Pariaman dan sekitarnya, masih terlihat aktivitas royong

yang dilakukan oleh masyarakat, apabila ada salah satu anggota

masyarakatnya yang mengadakan acara, misalnya acara perkawinan.

Aktivitas gotong royong juga penulis temukan dalam acara manjapuik

marapulai ini, diantaranya terlihat di kediaman marapulai. Disana

tampak aktivitas memasak yang dilakukan oleh keluarga marapulai

dibantu dengan tetangga yang berada di sekitar kediaman marapulai.

Hal lainnya yang penulis temukan adalah pada saat mengantarkan

marapulai ke kediaman anak daro, disana terlihat banyaknya warga

tetangga di sekitar rumah yang turut mengantarkan marapulai ke pesta

perkawinan yang dilaksanakan di rumah anak daro. Dari banyaknya

jumlah orang yang mengantarkan marapulai, ada anggapan bahwa

marapulai berasal dari keluarga yang berbaur baik dengan masyarakat

lain di lingkungannya.

Dalam tradisi manjapuik marapulai pada adat perkawinan Minangkabau

di Kecamatan Sungai Geringging, Kabupaten Pariaman, ditemukan nilai yang

terdapat pada tradisi tersebut diantaranya: nilai etika, nilai estetika dan nilai

kepercayaan. Sedangkan norma yang terdapat pada tradisi tersebut adalah

norma agama, norma kesopanan dan norma kebiasaan. Nilai dan norma tersebut

dapat dilihat pada bagan berikut ini:

208
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Nilai dan Norma pada Tradisi Manjapuik
marapulai Adat Perkawinan
Minangkabau di Sungai Garingging

Nilai Tradisi Manjapuik Norma Tradisi Manjapuik


marapulai marapulai

1. Nilai Etika, 1. Norma Agama


2. Nilai Estetika , 2. Norma Kesopanan
3. Nilai Kepercayaan 3. Norma Kebiasaan

Bagan 6.2

Nilai dan Norma Tradisi Manjapuik marapulai Adat Perkawinan


Minangkabau

6.1.3 Kearifan Lokal Tradisi Manjapuik Marapulai

Setelah penulis menganalisis tentang makna dan fungsi serta nilai dan

norma, selanjutnya penulis akan menganalisis mengenai kearifan lokal yang

terdapat pada tradisi manjapuik marapulai. Kearifan lokal (local wisdom)

merupakan bagian dari sebuah sistem budaya yang biasanya mengatur

hubungan sosial dalam kemasyarakatan. Adapun kearifan lokal dari tradisi

manjapuik marapulai adat perkawinan Minangkabau di Kecamatan Sungai

Garingging, Kabupaten Pariaman adalah kesantunan, gotong royong,

209
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
musyawarah dan mufakat, kesetiakawanan sosial dan rasa syukur. Gambaran

kearifan lokal ini dapat dilihat pada bagan berikut ini:

Kearifan Lokal Tradisi Manjapuik


marapulai

Kesopansantunan Gotong Musyawarah Kesetiakawanan Rasa syukur


royong dan mufakat sosial

Bagan 6.3
Kearifan Lokal Tradisi Manjapuik marapulai

6.1.3.1 Kesopansantunan

Kesopansantunan merupakan sebuah tingkah laku yang mencerminkan

sikap diri seseorang atau diri sendiri terhadap orang lain dengan tujuan untuk

menghargai dan menghormati orang lain dalam bersikap dan berperilaku.

Kesopansantunan sangat erat hubungannya dengan norma-norma yang berlaku

di lingkungan masyarakat.

Kesopansantunan sering juga disebut sebagai etika yang telah menjadi

bagian dalam kehidupan manusia. Kesopansantunan dalam masyarakat

minangkabau sudah merupakan sebuah persyaratan dalam menjalankan

kehidupan sehari-hari, dimanapun dan dalam waktu apapun juga. Dalam proses

sosialisasi, masyarakat Minangkabau dari kecil sudah diajarkan

kesopansantunan seperti jika sesorang memberikan sesuatu hendaklah diterima

dengan tangan kanan dengan mengucapkan kata terima kasih. Orang tua sejak

210
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kecil telah mengajarkan cara minum, menyapa, memberi hormat, berbicara,

berpakaian, bersikap dan lain sebagainya. Akhirnya perilaku orang

Minangkabau terbentuk menjadi sebuah kebiasaan, tanpa disadari mengapa

harus berbuat yang demikian itu. Adapun kesopansantunan lahir karena adanya

interaksi antara individu maupun dengan masyarakat.

Kesopansantunan dalam masyarakat Minangkabau yang semula berlaku

dalam lingkungan terbatas, kemudian akan merambat kelingkungan masyarakat

yang lebih luas dan akhirnya diterima sebagai suatu kesapakatan bersama dalam

masyarakat tanpa tertulis. Sesuai dengan perkembangan waktu tanpa disadari

muncul kesepakatan yang tersaring dalam lingkungan masyarakat setempat dan

masyarakat pada wilayah tertentu. Orang Minangkabau sebagai suatu

lingkungan masyarakat tertentu dan mempunyai wilayah adat tersendiri, maka

tata karma atau kesopansantunan yang memiliki ciri-ciri tersendiri yang dapat

membedakan dengan tata karma pada masyarakat daerah lainnya.

Kesopansantunan yang berlaku pada masyarakat tertentu belum tentu berterima

oleh masyarakat lainnya, karena kesopansantunan tersebut didukung oleh

masyarakat yang saling berbeda kondisi dan latar belakang kehidupan sosial

budayanya. Oleh karena itu, harus disadari suatu sikap yang mengatakan orang

lain atau adat lain tidak sopan adalah hal yang keliru.

Kesopansantunan sangat diperlukan dalam hal berinteraksi dan bergaul

di lingkungan sosial bermasyarakat dengan berbagai karakter yang berbeda-

beda agar tercipta sebuah kerukunan dalam berperilaku. Untuk bersosialisasi

antar individu perlu adanya aturan dan dengan melihat kesopansantunan

211
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
seseorang, seseorang dapat mengetahui baik atau buruknya perilaku orang

tersebut.

Seorang individu dalam masyarakat Minangkabau tidak terlepas dari

penilaian masyarakat Minangkabau lainnya. Baiknya penilaian seorang individu

dari masyarakat lainnya tidak terlepas dari tingkah laku dan perbuatan yang

dilakukannya. Oleh sebab itu seseorang harus berbuat dan berperilaku sesuai

dengan ketentuan yang telah disepakati bersama. Apabila menyimpang dari

kesepakatan yang menjadi panutan bersama dianggap tidak memiliki

kesopansantunan bahkan dapat dikatakan tidak beradat.

Adat Minangkabau mengutamakan kesopansantunan dalam setiap

pergaulan. Budi pekerti yang tinggi menjadi salah satu ukuran martabat bagi

seseorang dalam bersikap dan berperilaku. Etika menjadi salah satu sifat yang

harus dimiliki oleh setiap individu Minangkabau. Adat Minangkabau sejak

berabad-abad yang lalu telah memastikan bahwa bila moralitas suatu bangsa

sudah rusak, maka dapat dipastikan suatu waktu yang akan datang bangsa itu

akan binasa, akan hancur lebur ditelan sejarah. Adat Minangkabau telah

mengatur dengan jelas mengenai kesopansantunan dalam setiap pergaulan dan

masyarakat Minangkabau hanya tinggal mengamalkannya sesuai dengan apa

yang telah ditetapkan sebelumnya. Budi pekerti merupakan salah satu sifat yang

dinilai sangat tinggi oleh adat Minangkabau. Selain budi pekerti, rasa malu dan

sopan santun juga termasuk kedalam sifat-sifat yang diwajibkan yang harus

dimiliki oleh masyarakat Minangkabau. Sebuah pepatah Minang

menyebutkannya sebagai berikut:

212
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dek ribuik rabahlah padi Karena ribut rebahlah padi
Di cupak Datuak Tumangguang Di cupak Datuk
Tumenggung
Hiduik kok tak babudi Hidup jika tak berbudi
Duduak tagak kamari cangguang Duduk berdiri serba
canggung
Rarak kaliki dek binalu Gugur pepaya karena
benalu
Tumbuah sarumpun ditapi tabek Tumbuh serumpun di tepi
tebat (kolam)
Kalau habih raso jo malu Kalau habis rasa dan malu
Bak kayu lungga pangabek Bagaikan kayu longgar
pengikat

Kehidupan yang aman dan damai merupakan sebuah situasi yang

menjadi idaman adat Minangkabau. Untuk menciptakan sebuah kondisi yang

aman dan damai, maka selalu diupayakan untuk menghindari kemungkinan

timbulnya perselisihan dalam pergaulan. Budi pekerti yang baik, sopan santun,

basa basi dalam pergaulan sehari-hari diyakini akan menjauhkan seseorang dari

kemungkinan timbulnya sengketa dan selisih paham antar individu.

Untuk menciptakan hubungan yang baik antar individu Minangkabau,

perlu bagi seseorang untuk memperhatikan adab dalam berbicara. Salah satu

acuan yang dapat dipedomani adalah adab dalam berbicara di Minangkabau

yang dikenal dengan “kato nan ampek” yaitu adab berbicara dibedakan atas

empat (ampek) jenis lawan komunikasi kita, sebagai berikut:(1) kato mandaki:

Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan orang yang lebih

tua atau dituakan dan lebih dihormati karena jabatan dan kedudukannya, (2)

213
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kato mandata: Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan

teman sebaya atau rekan kerja, (3) kato malereang: Kata dan adab yang

digunakan bila kita berkomunikasi dengan orang yang memiliki hubungan

kekerabatan dengan kita dan keluarga seperti ipar, besan, sumando, mamak

rumah, dan (4) kato manurun: Kata dan adab yang digunakan bila kita

berkomunikasi dengan orang yang lebih muda ataupun kepada bawahan, hal ini

tergambar dari pepatah Minangkabau sebagai berikut:

Nan tuo dihormati yang tua dihormati


Samo gadang ajak bakawan seusia ajak berkawan
Nan ketek disayangi yang kecil disayangi
Salah ka manusia minta maaf salah kepada manusia minta maaf
Salah ka Tuhan minta ampun salah kepada Tuhan minta ampun

Pada tradisi manjapuik marapulai, kesopansantunan jelas terlihat dan

diwujudkan oleh kedua belah pihak. Salah satu di antaranya adalah mengenai

adab dalam berbicara. Hal ini jelas diwujudkan oleh kedua belah pihak, karena

masing-masing juru bicara berbicara dengan santun sesuai dengan adab

berbicara kato nan ampek yang mereka pedomani dalam hal ini. Maksud dan

keinginan disampaikan dengan cara yang santun agar komunikasi dua arah

dapat terjalin dengan harmonis, agar tidak ada pihak yang merasa tersinggung,

merasa tidak enak hati ataupun merasa terancam dengan penyampaian maksud

dan keinginan yang disampaikan sebelumnya.

Selain memperhatikan adab dalam berbicara, mereka juga

memperhatikan dan menjaga sikap selama pelaksanaan acara manjapuik

marapulai berlangsung, seperti: tidak berkata sembarangan, tidak keluar masuk

214
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ruangan, tidak mengambil makanan sebelum dipersilahkan oleh yang punya

rumah serta mengetahui giliran berbicara dalam penyampaian pasambahan.

6.1.3.2 Gotong Royong

Gotong royong adalah wujud dari sebuah proses dalam hal berinteraksi

sesama manusia. Sudah menjadi kodratnya, manusia tidak dapat hidup sendiri

melainkan manusia membutuhkan bantuan orang lain, oleh karena itu manusia

disebut sebagai makhluk sosial. Masyarakat Minangkabau juga mengenal istilah

gotong royong. Dalam masyarakat Minangkabau semua tugas menjadi tanggung

jawab bersama, sifat gotong royong menjadi sebuah keharusan, saling

menunjang dan saling membantu merupakan sebuah kewajiban. Kehidupan

antara anggota kaum saling membantu dan saling dukung mendukung dalam hal

kebaikan. Hal ini tertulis dalam pepatah minangkabau, sebagai berikut:

Nan barek samo dipikue yang berat sama dipikul


Nan ringan samo dijinjiang yang ringan sama dijinjing
Ka bukik samo mandaki ke bukit sama mendaki
Ka lurah samo manurun ke lurah sama menurun
Nan ado samo dimakan yang ada sama dimakan

Keikutsertaan masyarakat Minangkabau dalam kehidupan sosial

bermasyarakat terlihat dari ada dan terciptanya sebuah keakraban dengan para

tetangga. Apabila diantara tetangga ada yang mengalami musibah tetangga

lainnya tidak segan-segan untuk datang membantu seperti melayat apabila ada

peristiwa kematian, membesuk apabila ada tetangga yang sedang sakit, ataupun

mengunjungi tetangga yang sedang ditimpa musibah oleh sebab yang lainnya.

Begitu juga hal nya apabila ada tetangga yang sedang melaksanakan hajat

215
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ataupun alek, seperti membantu dan menghadiri acara pernikahan, ataupun

acara hajat yang lainnya.

Di Kabupaten Pariaman dan sekitarnya, aktivitas gotong royong masih

jelas terlihat dan diwujudkan oleh masyarakat. Aktivitas gotong royong juga

penulis temukan dalam pesta perkawinan adat Minangkabau. Hal ini penulis

temukan sebelum acara manjapuik marapulai dilangsungkan. Di kediaman anak

daro telah terlihat aktivitas masak-memasak yang dilakukan oleh ibu-ibu yang

ada di sekitar kediaman anak daro. Masing-masing ibu-ibu tersebut datang dan

saling bantu-membantu untuk memasak hidangan pada saat acara alek

berlangsung. Kegiatan ini dilakukan secara bersama-sama dalam porsi yang

besar dan membutuhkan tenaga yang cukup besar pula, sehingga dengan

dikerjakan secara bersama-sama dapat diselesaikan dengan waktu yang relatif

singkat.

Selanjutnya, kegiatan gotong royong juga terlihat di kediaman

marapulai. Di sana tampak aktivitas memasak yang dilakukan oleh keluarga

marapulai dibantu dengan tetangga yang berada di sekitar kediaman marapulai.

Hal lainnya yang penulis temukan adalah pada saat mengantarkan marapulai ke

kediaman anak daro, di sana juga terlihat banyaknya warga tetangga di sekitar

rumah yang turut mengantarkan marapulai ke pesta perkawinan yang

dilaksanakan di rumah anak daro.

6.1.3.3 Musyawarah dan Mufakat

Menghadapi suatu masalah atau suatu pekerjaan akan selalu didapati

perbedaan pandangan dan pendirian antara orang yang satu dengan orang yang

216
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
lainnya, seperti pepatah berikut ini kapalo samo hitam pikiran ba lain-lain atau

kepala sama hitam pikiran berbeda-beda. Perbedaan pendapat semacam ini

adalah sangat lumrah dan demokratis, namun jika hal ini dibiarkan

berkelanjutan maka akan berakibat masalah itu tidak pernah akan selesai dan

pekerjaan akan terkatung-katung. Oleh karena itu harus dicari jalan keluar dari

tiap-tiap masalah yang ditemui. Jalan keluar yang ditunjukkan oleh adat

Minangkabau adalah dengan melakukan musyawarah untuk mufakat, bukan

musyawarah untuk melanjutkan pertengkaran dan perselisihan. Musyawarah

adalah proses pembahasan suatu persoalan dengan maksud mencapai keputusan

bersama. Mufakat adalah kesepakatan yang dihasilkan setelah melakukan

proses pembahasan dan perundingan bersama. Jadi musyawarah mufakat dapat

diartikan sebagai sebuah proses membahas persoalan secara bersama demi

mencapai kesepakatan bersama. Musyawarah mufakat dilakukan sebagai cara

untuk menghindari pemungutan suara yang menghasilkan kelompok minoritas

dan mayoritas. Pepatah adat menggambarkan proses pengambilan keputusan

sebagai berikut ini:

Bulek aie dek pambuluah bulat air karena pembuluh


Bulek kato dek mufakat bulat kata karena mufakat
Bulek nak bulieh digolongkan bulat agar dapat digelindingkan
Picak nak bulieh dilayangkan pipih agar dapat dilayangkan

Setiap individu Minangkabau disarankan untuk selalu menjaga

hubungan dengan lingkungannya. Adat minang tidak terlalu memuja

kemandirian (privacy) sesuai dengan ajaran individualism dari negara luar. Adat

Minangkabau mengajarkan supaya membiasakan untuk selalu berembuk dengan

217
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
lingkungan kendatipun menyangkut masalah pribadi. Dengan demikian adat

mendorong orang Minangkabau lebih mengutamakan “kebersamaan”

kendatipun menyangkut urusan pribadi. Sekalipun seorang Minangkabau

menduduki posisi sebagai penguasa seperti dalam kedudukan mamak rumah atau

pun Penghulu tetapi keputusan tidak bisa diambil secara sepihak saja melainkan

harus berdasarkan perundingan yang melibatkan beberapa orang lain. Adat

Minangkabau akan selalu mencoba untuk memelihara komunikasi dengan cara

berdialog, karena dengan cara itu segala masalah akan selalu dapat dipecahkan

melalui musyawarah.

Dalam hal musyawarah dan mufakat yang terdapat dalam acara

manjapuik marapulai jelas tergambar dari kedua belah pihak, baik pihak anak

daro maupun marapulai. Pada keluarga anak daro proses musyawarah dan

mufakat terlihat pada saat mereka berunding pada saat melakukan persiapan

menjemput marapulai dan menentukan orang-orang yang akan menjadi juru

bicara pada saat melakukan pasambahan nantinya di kediaman marapulai.

Oleh karena itu orang yang ditunjuk sebagai juru bicara adalah orang yang

berwenang mewakili keluarga dan orang yang arif dan bijaksana sepanjang

dalam pengertian adat, seperti tergambar dari pepatah berikut ini:

Nan tau condong kamaimpok Orang yang tahu pohon condong


akan menimpa
Nan tau lantiang ka mangana i Yang tahu lentur yang akan
mengena
Nan tau jo baso basi Yang tahu basa basi
Tau dibayang jo kato sampai Tahu dengan wujud kata
Alun bakilek lah bakalam Belum terlihat sudah maklum
Salayang ikan dalam aie Selayang ikan dalam air

218
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lah jaleh jantan batinonyo Yang sudah tahu jenis jantan atau
betinanya

Pada keluarga marapulai, musyawarah dan mufakat jelas terlihat pada

saat juru bicara marapulai memutuskan boleh atau tidaknya marapulai dibawa

ke kediaman anak daro. Juru bicara berunding dengan beberapa orang yang

dianggap pantas dalam keluarga marapulai tersebut.

6.1.3.4 Kesetiakawanan Sosial

Rasa kebersamaan timbul dari dalam diri seseorang yang saling

membutuhkan orang lain. Dengan kebersamaan yang terjaga, akan muncul

perasaan saling memahami antara satu dengan yang lainnya. Jika hal tersebut

berlangsung secara terus menerus akan memunculkan adanya perasaan

berhubungan secara erat kepada seseorang tersebut atau disebut dengan

kesetiakawanan. Kesetiakawanan sosial adalah nilai, sikap dan perilaku suatu

masyarakat yang dilandasi atas pengertian, kesadaran, tanggung jawab,

kesetaraan, dan partisipasi sosial untuk mengatasi dan menanggulangi berbagai

macam masalah sosial yang ada dimasyarakat sesuai dengan kemampuan

masing-masing atas rasa kebersamaaan, kegotongroyongan, kekeluargaan dan

kerelaan berkorban tanpa balas jasa.

Kesetiakawanan sosial (solidaritas sosial) adalah perasaan seseorang

yang bersumber dari dalam diri seseorang dimulai dengan adanya rasa cinta

kepada kehidupan bersama sehingga diwujudkan dengan amal nyata berupa

pengorbanan dan kesediaan menjaga, membela, maupun melindungi terhadap

kehidupan bersama. Kesetiakawanan sosial adalah ciri atau sifat yang berangkat

219
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dari sikap dan perilaku untuk bersimpati dan berempati kepada orang lain. Rasa

simpati dapat terjalin dengan baik apabila setiap individu saling mengenal dan

mendalami. Jika seseorang memiliki rasa simpati kepada orang lain, maka rasa

simpati itupun akan diperolehnya dari orang lain. Sebaliknya, rasa empati dapat

terjalin dari seseorang, tanpa harus orang lain berempati kepada orang tersebut.

Rasa kekeluargaan masyarakat Minangkabau yang muncul antar

tetangga menjadikan rasa kesetiakawanan sosial ini sebagai sebuah sarana untuk

membantu antara satu keluarga dengan kelurga yang lain dalam satu lingukngan

msyarakat. Kekeluargaan berarti suatu kondisi yang berhubungan dengan

Keluarga. Kekeluargaan dalam berbagai istilah dapat disamakan sebagai

persaudaraan, kolektifisme, dan komunalisme. Masyarakat Minangkabau

menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan di lingkungan masyarakat sosial. Hal

ini diwujudkan melalui suasana kehidupan sosial yang terjalin antara anggota-

anggota suatu kelompok sosial, dimana setiap orang merasa berkerabat dengan

yang lain, mempunyai hubungan persaudaraan, hubungan kekerabatan (kinship).

Polanya melebihi pertemanan dengan berazaskan prinsip solidaritas, dan nilai

kesetiakawanan. Kesetiakwanan adalah rasa yang sifatnya dianjurkan dalam

adat, seperti pepatah berikut ini:

Bajalan paliharo kaki Berjalan pelihara kaki


Bakato peliharo lidah Berkata pelihara lidah
Kaki tataruang inai padahannya Kaki tertarung inai imbuhannya
Lidah tataruang ameh padanannyo Lidah tertarung emas imbuhannya
Bajalan salangkah madok suruik Berjalan selangkah lihat
kebelakang
Kato sepatah dipikiri Kata sepatah dipikirkan
Nan elok diawak katuju diurang Yang baik menurut kita juga
disukai oranglain

220
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lamak dek awak lamak dek urang Yang enak menurut kita juga enak
menurut orang lain
Sakik dek awak sakik dek urang Jika sakit bagi kita juga sakit bagi
orang lain

Dalam tradisi manjapauik marapulai di Kecamatan Sungai Geringging,

Kabupaten Pariaman terlihat jelas rasa kesetiakawanan sosial yang terjalin di

antara masyarakatnya. Rasa kekeluargaan yang tinggi di antara mereka terlihat

pada uang japuik yang diberikan. Uang japuik yang diberikan kepada keluarga

marapulai bukanlah uang dari kedua orang tua anak daro saja melainkan disana

juga ada uang yang dikumpulkan dari saudara-saudara dekat kedua orang tua

anak daro. Artinya, uang japuik tersebut dikumpulkan dari sumbangan keluarga

besar baik.

Selanjutnya, dalam hal manjapuik marapulai, keluarga yang ikut

sebagai bagian dari rombongan penjemput marapulai juga dapat dinilai sebagai

bagian dari rasa kesetiakawanan karena mereka telah bersedia untuk

meninggalkan urusan pribadi mereka seperti pekerjaan ataupun urusan lainnya

serta meminjamkan kendaraannya untuk digunakan sebagai transportasi untuk

menjemput marapulai.

6.1.3.5 Rasa Syukur

Rasa syukur merupakan suatu wujud dari perasaan yang bahagia yang

muncul ketika seseorang sedang membutuhkan sesuatu atau bahkan sedang

dalam keadaan cukup menerima pemberian atau perolehan dari orang lain

sehingga orang tersebut merasa tercukupi atau memperoleh kelebihan. Dampak

221
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dari rasa syukur dapat berkembang menjadi sebuah reaksi ataupun tanggapan

yang berwujud menjadi sebuah sikap, oleh karena itu rasa syukur yang muncul

pada diri seseorang akan dapat memberikan motivasi ataupun mendorong

seseorang dalam berperilaku.

Rasa syukur masyarakat Minangkabau merupakan sebuah wujud dari

pengakuan seseorang terhadap adanya pihak lain ataupun sumber yang turut

andil atas nikmat dan kebahagiaan yang diterima dan oleh sebab itu rasa syukur

tersebut dapat mendorong seseorang untuk memberikan pujian atau

memberikan ucapan rasa terimakasih kepada pihak yang telah berbuat baik.

Adapun rasa syukur yang ditujukan kepada Allah SWT adalah sebagai

bentuk sebuah pengakuan atas kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT.

Sebagai balasan atas nikmat yang diberikan maka manusia diharapkan untuk

taat kepada Allah SWT. Adapun perwujudan dari bentuk rasa syukur itu dapat

dilakukan melalui beberapa cara, yaitu dengan hati, lidah dan anggota tubuh.

Bersyukur dengan hati akan membuat seseorang merasakan keberadaan

nikmat itu ada pada dirinya sehingga dia tidak akan lupa kepada Allah SWT

sebagai pemberi nikmat tersebut. Bersyukur dengan lidah dapat diwujudkan

dengan menyanjung dan memuji Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan

dengan penuh rasa cinta serta menyebut-nyebut nikmat tersebut sebagai bentuk

pengakuan atas karuniaNya. Bersyukur dengan anggota tubuh yaitu dengan

sujud dihadapan Allah dengan meletakkan anggota tubuhnya diringi dengan

berbagai macam dzikir seperti bersyukur, tasbih, doa dan mohon ampunan.

222
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pada tradisi manjapuik marapulai ini wujud rasa syukur dapat terlihat

dari bentuk-bentuk yang muncul dengan mengatasnamakan Allah SWT sebagai

pemberi nikmat kepada umat manusia. Hal ini dapat terlihat yaitu pada saat

pengucapan salam, do‟a dan salawat yang dilakukan. Semua ini merupakan

perwujudan rasa syukur yang tiada terhingga dari mereka kepada Allah SWT

sebagai Maha Pencipta dalam melaksanakan acara manjapuik marapulai.

Berdasarkan analisis data yang telah dipaparkan sebelumnya, kearifan

lokal pada tradisi manjapuik marapulai dalam upacara adat perkawinan

Minangkabau dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 6.2
Kearifan Lokal Tradisi Manjapuik Marapulai

Makna dan Fungsi Makna Fungsi


Penghargaan yang diberikan 1. Sebagai cara untuk
oleh keluarga anak daro menaikkan harkat urang
kepada keluarga marapulai. sumando sebagai pendatang
di kediaman isteri
2. Sebagai cara untuk penghibur
dalam rangka membesarkan
hati keluarga marapulai yang
akan ditinggalkan
3. Sebagai cara untuk
mempersatukan keluarga yang
berbeda dari kedua belah
pihak.
4. Bagi keluarga marapulai,
sebagai bukti dari pengakuan
atau pembenaran masyarakat

223
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
terhadap status sosial
5. Bagi keluarga anak daro,
adalah sebagai pembuktian
gengsi sosial.

Nilai dan Norma Nilai Norma


1. Etika 1. Agama
2. Estetika 2. Kesopanan
3. kepercayaan 3. Kebiasaan

Kearifan Lokal 1. Kesantunan


2. Gotong royong
3. Musyawarah dan Mufakat
4. Kesetiakawanan sosial
5. Rasa syukur

224
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB VII
MODEL REVITALISASI TRADISI MANJAPUIK MARAPULAI ADAT

PERKAWINAN MINANGKABAU

Revitalisasi merupakan sebuah proses, cara, ataupun perbuatan untuk

menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program kegiatan apapun

pada suatu komunitas masyarakat yang sebelumnya kurang berdaya.

Revitalisasi juga dapat diartikan sebagai cara untuk membangkitkan kembali

vitalitas. Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan suatu atau perbuatan

menjadi vital, sedangkan kata vital mempunyai arti yang sangat penting bagi

kehidupan manusia.

Dalam hal merevitalisasi budaya langkah-langkah yang nyata harus

ditempuh untuk mempertahankan kebudayaan itu agar tetap hidup ditengah-

tengah komunitas masyarakat sekalipun harus menentang perkembangan arus

zaman yang semakin lama akan semakin meninggalkan identitas aslinya. Tidak

menutup kemungkinan dengan adanya pengaruh budaya barat atau budaya luar

yang semakin lama semakin sering dijumpai pada acara-acara kemasyarakatan,

salah satu diantaranya adalah dalam hal perkawinan.

Kemerosotan budaya lokal dapat dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat

yang beranggapan bahwa budaya barat atau budaya luar adalah budaya modern

yang harus diikuti agar masyarakat tersebut dapat dianggap menjadi orang yang

memiliki perilaku modern dan tidak berperilaku kuno. Namun apabila pola pikir

semacam ini terus dibiarkan maka secara tidak langsung akan menutup

225
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kemungkinan adanya kemunduran atau bahkan kepunahan budaya lokal itu

sendiri.

Di sinilah pentingnya peran revitalisasi dalam membangkitkan gairah

budaya agar budaya tersebut dapat bertahan dari satu generasi kegenerasi

selanjutnya. Selama budaya tersebut dapat dipertahankan oleh masyarakat maka

seberapa besarpun pengaruh budaya luar akan sulit merubah bahkan untuk

mempengaruhi budaya lokal itu sendiri.

Revitalisasi yang diajukan dalam penelitian tradisi manjapuik

marapulai berkaitan erat merevitalisasi pemahaman nilai-nilai moral yang telah

lama diselenggarakan berdasarkan aturan-aturan yang bersumber dari ajaran-

ajaran adat masyarakat setempat. Pemahaman nilai moral manjapuik marapulai

terhadap falsafah masyarakat Minangkabau menjadi acuan dasar dan pedoman

untuk mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau dalam berperilaku sehari-

harinya pada masa yang akan datang. Untuk mengajukan revitalisasi diperlukan

pengetahuan secara jelas apakah sifat dasar dari adat orang Minang itu sudah

sesuai dengan pepatah adat sebagai berikut:

Adat babuhue sintak


Adat berbuhul sentak

Syarak babuhue mati


syariat berbuhul mati

Buhue artinya simpul atau ikatan, sedangkan sintak artinya mudah

dilonggarkan atau dikencangkan. Buhue sintak artinya ikatan adat merupakan

suatu ikatan yang dapat dibuka untuk menerima perkembangan baru yang sesuai

226
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dengan pertimbangan ataupun logika orang Minangkabau berdasarakan

musyawarah dan mufakat pemuka adat, seperti: ninik mamak, panghulu, cerdik

pandai, budo kanduang dan pemuda. Sebaliknya dapat pula dikencangkan atau

diketatkan terhadap sesuatu aturan adat yang mulai longgar.

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa adat Minangkabau mempunyai

sifat fleksibel yang mengatur segala perilaku adat di masyarakatnya. Syarak

dapat diartikan sebagai ajaran agama Islam atau syariat Islam. Babuhue mati

artinya ikatan dengan simpul mati. Dalam hal syarak nan bubuhue mati ini

adalah ajaran agama Islam merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh

setiap warga Minangkabau dan dilakukan revitalisasi untuk menghidupkan dan

mengaktifkan penguatan landasan agama.

Empat tingkatan adat dalam falsfah masyarakat Minangkabau, yaitu (1)

adat nan sabana adat, (2) adat nan diadatkan. Kedua adat ini memiliki sifat

mutlak tidak boleh diubah sampai kapanpun. (3) adat nan taradat, dan (4) adat

istiadat. Kedua adat ini memiliki sifat dapat diubah, ditambah ataupun

dikurangi oleh pemuka adat berdasarkan hasil musyawarah. Tradisi manjapuik

marapulai ini dapat digolongkan kepada jenis adat adat nan taradat, karena

adat nan taradat ini mengenai aturan yang disusun berdasarkan hasil

musyawarah mufakat pemuka adat di tiap-tiap nagari di wilayah Sumatera

Barat. Artinya, aturan pelaksanaan perkawinan di setiap nagari akan berbeda

dari satu nagari dengan nagari lainnya. Tradisi manjapuik marapulai ini dapat

dilihat di Kabupaten Pariaman, belum tentu dapat ditemukan di Kabupaten

227
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pasaman, karena tradisi ini bersifat adat salingkar nagari maka tidak seluruh

wilayah nagari di Provinsi Sumatera Barat melaksanakan tradisi atau

mempertahankan tradisi ini sesuai dengan kesepakatan pemuka adat yang

dilakukan melalui musyawarah dan mufakat.

Dari hasil penelitian ini diajukan revitalisasi untuk kemajuan masa

depan tradisi manjapuik marapulai yang mencakup tiga hal penting, yaitu:

penghidupan atau pengaktifan kembali tradisi manjapuik marapulai,

pengelolaan tradisi manjapuik marapulai, dan sistem pewarisan tradisi

manjapuik marapulai.

Keseluruhan cara dari model revitalisasi yang diajukan pada tradisi

manjapuik marapulai adat perkawinan Minangkabau, dapat dilihat pada bagan

berikut ini:

228
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Model Revitalisasi Tradisi Manjapuik
marapulai Adat Perkawinan
Minangkabau

Menghidupkan / Mengelola Mewariskan


mengaktifkan

1. Mensosialisasikan 1. Mengelola waktu 1. Penyiaran radio


budaya Minangkabau pelatihan bagi anggota mengenai adat dan
melalui pendidikan organisasi kepemudaan budaya Minangkabau
2. Memfungsikan 2. Mempromosikan kepada 2. Penayangan acara adat
kembali proses tradisi masyarakat mengenai melalui
manjapuik marapulai 3. Mengikutsertakan pemuda media televisi lokal
3. Membentuk organisasi dalam acara perkawinan 3. Pemasangan iklan-
kepemudaan khususnya acara iklan cinta budaya
manjapuik marapulai Minangkabau
4. Melakukan
Bagan 7.1 inventarisasi

Model Revitalisasi Tradisi Manjapuik marapulai Upacara


Adat Perkawinan Minangkabau

7.1 Penghidupan atau Pengaktifan Kembali.

Komponen yang pertama ini diperuntukkan bagi tradisi lisan yang telah

punah atau sudah tidak berfungsi sama sekali di komunitas masyarakat untuk

dihidupkan kembali, sedangkan pengaktifan diartikan sebagai tradisi lisan yang

masih hidup tetapi tidak difungsikan lagi sebagai bagian dari kehidupan

masyarakat untuk diaktifkan kembali. Dalam hal merevitalisasi tradisi

manjapuik marapulai di Kecamatan Sungai Garingging, tradisi ini masih tetap

229
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
hidup dan dilangsungkan dari sejak dulu sampai sekarang, hanya saja ada

terdapat sedikit perbedaan dalam proses menjalankan tradisi tersebut tidak

seperti dulu, yaitu memakan waktu yang cukup panjang sedangkan sekarang

lebih mengutamakan keefisienan waktu yang relatif singkat.

Untuk merevitalisasi tradisi manjapuik marapulai, berkaitan dengan

komponen yang pertama ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, di

antaranya:

1. Mensosialisasikan budaya Minangkabau melalui pendidikan

Pendidikan adalah salah satu cara untuk mengenalkan budaya

Minangkabau kepada masyarakatnya sedari dini, yaitu dimulai pada

tingkatan Sekolah Dasar. Salah satu mata pelajaran di tingkat Sekolah

Dasar berbasis muatan lokal, yaitu “Budaya Alam Minangkabau” atau

disingkat dengan BAM. Pada tingkat pendidikan ini dapat dimasukkan

sedikit mengenai kebudayaan yang terdapat pada Minangkabau, di

antaranya mengenai pepatah, ajaran moral Minangkabau dan lain

sebagainya.

2. Memfungsikan kembali proses tradisi manjapuik marapulai

Pada beberapa kasus di beberapa wilayah pariaman adanya perubahan

pandangan dimasyarakat yang lebih mementingkan uang japuik

dibanding proses penjemputan marapulai secara adat. Perubahan

pandangan ini menjadikan proses manjapuik marapulai itu hanya

sekedar mengantarkan uang japuik serta persyaratan lain, tanpa

230
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menjadikan pasambahan menjadi suatu keharusan. Disinilah peran

pemuka adat stempat untuk meluruskan dan memfungsikan kembali

pandangan yang seharusnya tentang tradisi manjapuik marapulai ini.

3. Membentuk organisasi kepemudaan

Organisasi kepemudaan ini dimaksudkan untuk menanamkan jiwa cinta

budaya Minangkabau, salah satu diantaranya adalah mengenai

pasambahan dan tata caranya. Banyak pemuda Minangkabau yang tidak

mengerti kebudayaannya, mereka hanya berfokus kepada pendidikan

dan pekerjaan saja. Sulit dibayangkan apabila ini dilakukan oleh setiap

pemuda, tentu tidak akan ada lagi pewarisan tradisi, khususnya

pasambahan. Padahal pasambahan ini perlu dilakukan dalam acara-

acara adat. Di sinilah peran penting organisasi kepemudaan, yang

memberikan pelatihan salah satunya tentang pasambahan adat, karena

pada dasarnya pasambahan ini tidak akan datang sendiri tanpa harus

dipelajari, melainkan harus dipelajari dan dibiasakan.

8.2 Pengelolaan

Komponen yang kedua ini berkaitan dengan kebutuhan masyarakat

khususnya yang mengatur tentang tradisi lisan dalam sebuah komunitas

masyarakat pada saat sekarang ini. Untuk merevitalisasi tradisi manjapuik

marapulai, berkaitan dengan komponen yang kedua ini dapat dilakukan dengan

beberapa cara, di antaranya:

231
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1. Mengelola waktu pelatihan untuk anggota organisasi kepemudaan

Untuk menanamkan jiwa yang disiplin memang sulit untuk dilakukan,

tetapi apabila ada kerjasama antara pemuda, orang tua, dan pembina

maka akan dapat menumbuhkan pribadi yang disiplin pada diri pemuda

anggota organisasi. Pengelolaan waktu yang tepat sehingga tidak

mengganggu aktivitas belajar ataupun bekerja menjadi sebuah prioritas

sehingga tujuan organisasi tersebut dapat berjalan sebagaimana

mestinya.

2. Mempromosikan kepada masyarakat

Masyarakat adalah orang yang membutuhkan agar tradisi tersebut tetap

hidup ditengah-tengah komunitas masyarakat. Untuk mempromosikan

budaya, khususnya mengenai pasambahan ini dapat dilakukan dengan

mengadakan lomba-lomba yang berkaitan dengan adat, diantaranya

mengenai pasambahan. Serta mengikut sertakan organisasi pemuda

dalam acara adat di lingkungan masyarakat. Dengan memberdayakan

organisasi kepemudaan ini diharapkan mampu untuk mengenalkan dan

mempertahankan keberlangsungan adat di tengah-tengah masyarakat.

3. Mengikutsertakan pemuda dalam acara perkawinan, khususnya dalam

acara manjapuik marapulai.

Umumnya yang terjadi dalam acara manjapuik marapulai adalah bahwa

yang berada di dalam ruangan acara tersebut adalah orang-orang tua,

sementara anak-anak muda (pemuda) lebih memilih untuk duduk di luar

232
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ruangan. Kondisi semacam ini harus diubah, karena dengan

mengikutsertakan mereka di dalam ruangan, maka secara tidak langsung

akan berpengaruh kepada pengetahuan mereka. Sedikit banyaknya

mereka akan tahu mengenai tata cara proses pelaksanaan manjapuik

marapulai serta melihat dan menyaksikan alur pasambahan yang terjadi

pada acara tersebut.

7.3 Sistem Pewarisan Tradisi Lisan.

Komponen yang ketiga ini berkaitan dengan sistem pewarisan terhadap

tradisi lisan dalam lingkungan masyarakat sosial. Untuk merevitalisasi tradisi

manjapuik marapulai, berkaitan dengan komponen yang ketiga ini dapat

dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya:

1. Penyiaran radio mengenai adat dan budaya Minangkabau.

2. Penanyangan acara adat melalui media televisi lokal.

3. Pemasangan iklan-iklan cinta budaya Minangkabau.

Ketiga cara yang penulis sebutkan di atas berkaitan dengan cara

pewarisan yang dapat dilihat oleh khalayak ramai sebagai pemakai

budaya dalam suatu komunitas masyarakat dalam hal ini adalah

masyarakat Minangkabau yang dilakukan secara konsisten atau

berkesinambungan.

4. Melakukan inventarisasi.

Cara pewarisan tradisi lisan bagian ke empat ini berkaitan dengan

pencatatan atau pengumpulan data tentang proses melaksanakan tradisi

233
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
manjapauik marapulai, sehingga data tersebut dapat dikumpulkan dan

disimpan dengan baik sebagai arsip budaya.

234
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan
Dari paparan data mengenai tradisi manjapuik marapulai upacara adat

perkawinan Minangkabau di Kecamatan Sungai Geringging, Kabupaten Padang

Pariaman yang telah penulis uraikan pada bab sebelumnya, maka diperoleh

kesimpulan sebagai berikut:

1. Performansi upacara Manjapuik marapulai yang dilaksanakan di

Kecamatan Sungai Gerinngging secara teks menggunakan pasambahan

atau pidato adat yang dilakukan oleh dua orang utusan masing-masing

keluarga. Pada pasambahan yang dilakukan dapat dilihat struktur teks,

yaitu struktur makro, struktur alur dan struktur mikro. Dalam

memberikan pemaknaan dalam teks tradisi lisan, unsur ko-teks juga

ditemukan, seperti: unsur supra segmental, proksemik, dan unsur

material. Sementara itu, secara konteks tradisi manjapuik marapulai di

Pariaman dilakukan sesuai dengan konteks budaya, social, situasi dan

ideologi.

2. Tradisi manjapuik marapulai merupakan warisan budaya yang

mempunyai nilai-nilai budaya yang harus dipertahankan di antaranya

adalah kearifan lokal. Kearifan lokal (local wisdom) merupakan bagian

dari sebuah sistem budaya yang biasanya mengatur hubungan sosial

dalam kemasyarakatan. Adapun kearifan lokal dari tradisi manjapuik

marapulai adat perkawinan Minangkabau di Kecamatan Sungai

Geringging, Kabupaten Padang Pariaman adalah kesantunan, gotong

235
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
royong, musyawarah dan mufakat, kesetiakawanan sosial dan rasa

syukur. Masyarakat Minangkabau dalam berkomunikasi selalu

menggunakan variasi tutur yang umum dijadikan sebagai landasan

bertutur. Kearifan dan kepandaian seseorang dalam memilih dan

memilah bahasa yang digunakan berdasarkan landasan yaitu kato nan

ampek menjadi sebuah tolak ukur dari tingkat kedewasaan, kearifan dan

kematangan seseorang.

3. Tradisi manjapuik marapulai berkaitan erat dengan pemahaman nilai-

nilai moral yang diselenggarakan berdasarkan aturan-aturan yang

bersumber dari ajaran-ajaran adat masyarakat setempat. Sesuai dengan

falsafah masyarakat Minangkabau yang menjadi acuan dasar dan

pedoman yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau dalam

berperilaku sehari-harinya. Model revitalisasi pada tradisi manjapuik

marapulai dapat digolongkan kepada tiga komponen, yaitu:

mengaktifkan, mengelola, dan mewariskan. Berkaitan dengan komponen

pertama dapat dilakukan dengan cara: mensosialisasikan budaya

Minangkabau melalui pendidikan, Memfungsikan kembali proses tradisi

manjapuik marapulai, dan membentuk organisasi kepemudaan.

Selanjutnya untuk komponen kedua dapat dilakukan dengan cara:

Mengelola waktu pelatihan untuk anggota organisasi kepemudaan,

Mempromosikan kepada masyarakat, dan Mengikutsertakan pemuda

dalam acara perkawinan, khususnya dalam acara manjapuik marapulai.

Komponen yang terakhir dapat dilakukan yaitu dengan cara: melalui

236
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
penyiaran radio mengenai adat dan budaya Minangkabau, melalui

penanyangan acara adat melalui media televisi lokal, melakukan

pemasangan iklan-iklan cinta budaya Minangkabau dan melakukan

inventarisasi. Dengan catatan demi keberlangsungan pewarisan budaya

minangkabau tersebut harus selalu dilakukan secara konsisten dan

berkesinambungan atau berkelanjutan.

8.2 Saran

Melihat derasnya arus perkembangan zaman yang banyak terpengaruh

oleh arus kebarat-baratan bukan tidak menutup kemungkinan budaya lokal akan

hilang sedikit demi sedikit. Pola pikir masyarakat yang menjadikan budaya luar

adalah budaya yang modern dan budaya lokal adalah budaya kuno semakin

meninggalkan identitas budaya tersebut. Peran dan upaya peneliti mengungkap

penelitian ini dilakukan dengan harapan agar kehidupan dan keberlangsungan

budaya tradisi manjapuik marapulai pada adat perkawinan Minangkabau dapat

bertahan dan berlangsung dari masa ke masa.

Setelah melakukan penelitian diperlukan saran demi keberlangsungan

tradisi ini, di antaranya:

1. Fungsi dasar tradisi manjapuik marapulai sebaiknya harus dilaksanakan

dengan sesuai tahapan-tahapan yang ada, seperti pasambahan, bukan

hanya mementingkan nilai nominal yang diberikan.

2. Pemuda selaku pewaris budaya harus lebih digiatkan lagi dalam

mempelajari dan melaksanakan budaya manjapuik marapulai agar

tradisi tetap berlanjut sampai ke generasi selanjutnya.

237
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Pemuka adat hendaknya menyalurkan ilmu dan kemampuan yang

mereka miliki untuk memberikan pelatihan kepada pemuda selaku

pewaris budaya

4. Pemerintah dapat melestarikan kebudayaan melalui pengusulan Hak

Kekayaan Intelektual (HAKI) kepada Menteri Hukum dan HAM agar

dapat memberikan motivasi kepada masyarakat untuk dapat terus

berkarya dan memberikan perlindungan atas intelektual yang dimiliki

oleh masyarakat.

5. Peneliti selanjutnya diharapkan agar dapat memperdalam hasil

penelitian ini untuk melakukan penelitian yang lebih sempurna.

238
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR PUSTAKA

Almudra, Mahyudin dan Efendi Tenas. 2005. Pantun Melayu. Yogyakarta:


Adicita Karya Nusa,
Amir, M.S, 2011. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang
Minang. Jakarta: Citra Harta Prima.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Balai Pustaka. 2005. Pantun Melayu (Cetakan XV). Jakarta.
Bayraktaroglu, Arm dan Sifianou, Maria. Linguistic Politeness Across
Boundaries: The Case of Greek and Turkish.
Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.

Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Brown, P. and Levinson, S.C. 1978. Universal in Language Usage: Politeness


Phenomenon. Cambridge: Cambridge University Press.
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif (Komunikasi, Ekonomi,
kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya). Jakarta: Predana Media
Grup.
Diradjo, Ibrahim Dt. Sanggoeno. 2014. Tambo Alam Minangkabau:
Tatanan Warisan Nenek Moyang Orang Minang. Bukit Tinggi: Buku
Alam Minangkabau.
Djamaris, Edwar. 2002. Pengantar Sastra Lisan Minangkabau. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. New York: Cambridge


University Press.

Duranti, Alessandro. 2001. Linguistic Anthropology, A Reader. Blackwell


Publisher.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta:


Media Persindo.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:


PT. LKiS Pelangi Aksara.
Finnegan, Ruth. 1992. Oral Tradition and Verbal Arts: a Guide to Research
Practices. London and New York: Routledge.

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. UK:


Blackwell Publisher

Frondizi, Risieri. 1963. What is Value?. New Haven: Open Court Publishing.
Grenoble, L. A. & Whaley, L. J. 2006. Saving Languages: An Introduction
to Language Revitalization. New York: Cambridge University Press.
Halliday, Max & Ruqaiya Hasan. 1977. Language, Text, and Context.
Melbourne: Deakin University Press.

239
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Held, Gudrun. 2005. Politeness in Linguistic research: Politeness in Language.
Richard Watts, Sachiko Ide, Konrad Ehlich (ed). New York: Mouton de
Gruyter.
Heritage, J. 1988. Current Development in Conversation Analysis dalam D.
Roger & P. Bull (Eds.), Conversation (21-47). Clevedon, England:
Multylingual Matters.

Husaini, Usman. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara

Ian Hutchby and RobinWooffitt. 1998. Conversation Analysis: Principles,


Practices, & Application.USA: Polite Press
Iskandar. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada
Press.

Keraf, Gorys. 1991. Linguistik Bandingan. Gramedia:Jakarta.

Lofland, John and lyn H. Lofland. 1984. Analyzing Social Setting: A guide to
Qualitative Observation And Analysis. Belmen Cal: Wadsworth
Publishing Company.

Miles, Matthew B and Michael A. Huberman.1992. Analisis Data Kualitatif:


Buku Sumber tentang Metode-metode Terbaru (Tjetjep Rohendi Rohidi
Penerjemah) Jakarta: Universitas Indonesia Press
Moleong, Lexy J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.
Bandung: Remaja Rosda Karya.

Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosda Karya.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang jadi Guru: Adat dan Kebudayaan
Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia
Anak. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Pudentia. 2008. Ketika Peneliti Harus “Bercerita” tentang Tradisi Lisan.
Dalam Pudentia (Ed) Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta:
Asosiasi Tradisi Lisan.
Reiter, Rosina Marquez. 2000. Linguistic Politeness in Britain and Uruguay: A
contrastive Study of Request and Apologies. Philadelphia: John
Benjamins Pub. Co.
Romaine, Suzanne. 1995, Bilingualism (Second Edition) Oxford: Blackwell.

Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.


Schriffin, D. 1994. Approaches to Discourse. Cambridge, MA: Blackwell
Publishers.
Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi
Lisan. Jakarta: ATL .

240
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sinar, Tengku Silvana. 2011. Kearifan Lokal Pantun Perkawinan Melayu
Batubara. Medan USU Press.

Soenardjati, M. dan Cholisin. 1989. Konsep Dasar pendidikan Moral


Pancasila. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Spradley, James P. 1980. Doing Participants Observation. Participants
Observation. New York: Holt Rinehart and Winston.
Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta
Wacana.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sukmasari, Fiony. 1983. Perkawinan Adat Minangkabau. Jakarta: Karya Indah.


Van Dijk, T. 1961. Introduction: The Role of Discourse Analysis of Society.
London: Academic Press.
Vansina, Jan. 1961. De La Tradition Orale. Terjemahan oleh H.M. Wright.
Oral Tradition: A stuy in Hostirical Methodology. London:
Routledge& Kegan Paul.
Watts, Richard J., Sachiko Ide, dan Konrad Ehlich. 2005. Introduction
Politeness in Language. Richard Watts, Sachiko Ide, Konrad Ehlich
(ed). New York: Mouton de Gruyter.

241
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sumber Hasil Penelitian
Isman, Muhammad. 2017. Tradisi Batagak Pangulu di Minangkabau:
Studi di Nagari Piobang, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten
Lima Puluh Kota. Disertasi.
Napitupulu, Selviana. 2013. Marhata dalam Upacara Adat Perkawinan
Batak Toba. Disertasi.
Sibarani, Tomson. 2008. Tindak Tutur dalam Upacara Perkawinan
Masyarakat Batak Toba. Tesis.
Sriwulan, Wilma. 2014. Bundo Kanduang nan Gadang Basa Batuah:
Kajian Talempong Bundo dalam Upacara Maanta Padi Saratuih di
Nagari Singkarak, Minangkabau. Disertasi

242
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sumber Jurnal
Arifin, Zainal. 2009. Dualitas Praktik Perkawinan Minangkabau.
Humaniora Vol.21 hal. 150-161
Arifin, Zainal. 2013. Bundo Kanduang; (Hanya) Pemimpin di Rumah
(Gadang). Antropologi Indonesia Vol. 34. No.2 hal 124-134.
Moeleca, Bunga. 2015. Konstruksi Makna “Bajapuik” pada Pernikahan
bagi Perempuan Pariaman di kecamatan Pasir Penyu. Jom FISIP
Vol.2 No. 1 hal 1-14.
Rozelin, Diana. 2011. Nilai Budaya dalam Ungkapan Minangkabau;
Kajian Persfektif Antropologi Linguistik Karya Oktavianus.
Nazharat Vol. X No. 21 hal. 105-124
Sibarani, Robert. 2015. Pendekatan Antropinguistik Terhadap kajian
Tradisi Lisan. Ditulis oleh Robert Sibarani. RETORIKA: Jurnal
Ilmu Bahasa, Vol. 1 No. 1.

243
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sumber Daring

https://www.google.co.id Peta Provinsi Sumatera Barat


https://www.google.co.id Peta Kabupaten Pariaman
https://www.google.co.id Peta Kecamatan Sungai Geringging

244
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISTILAH

NO KATA ARTI

1 Adaik Adat
2 Aie air
3 Alek Pesta
4 Alim ulama Orang yang pandai dan memiliki pengetahuan
yang luas dalam agama islam
5 Anak daro Pengantin perempuan
6 Baganti Berganti
7 Baju sapatagak Seperangkat pakaian yang digunakan marapulai
dari kepala sampai ujung kaki
8 Baranjak Bergeser
9 Batuka Bertukar
10 Batimbang tando Acara tunangan, dalam hal ini adalah pertukaran
tanda bahwa kedua belah pihak keluarga telah
sepakat untuk meneruskan ketahapan selanjutnya.
11 Bundo kanduang Perempuan yang menjadi pimpinan dalam suatu
keluarga
12 Bubuik Pindah
13 Buhua Ikatan
14 Cadiak pandai Orang yang dianggap pandai dan berwawasan
luas
15 Carano Wadah tempat seperangkat sirih yang terbuat dari
logam berwarna emas
16 Cupak Takaran beras
17 Darek Darat atau daerah asli Minangkabau
18 Dek Karena
19 Dianjak Dibuang
20 Dulamak Alas yang terbuat dari kain yang digunakan
sebagai penutup sirih dalam carano
21 Eksogami matrilineal Perkawinan yang mewajibkan seseorang untuk
kawin di luar klen atau sukunya.
22 Gadang Besar
23 Indak Tidak
24 Kato nan ampek Kata yang empat
25 Kato mandaki Kata mendaki: bertutur kepada orang yang lebih
tua atau memiliki status sosial yang lebih tinggi
26 Kato malereang Kata melereng: bertutur kepada orang yang
disegani, dalam hal ini adalah orang-orang yang
memiliki hubungan kekerabatan karena
perkawinan
27 Kato manurun Kata menurun: bertutur kepada orang yang lebih
muda atau memiliki status sosial yang lebih
rendah

245
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28 Kato mandata Kata mendatar: bertutur kepada orang yang
seusia.
29 Kapalo mudo Orang yang ditunjuk sebagai kepala rombongan
untuk menjemput marapulai
30 Kinship Kekerabatan
31 Kolektifisme Paham yang lebih mementingkankebersamaan di
dalam kelompok
32 Komunalisme Paham yang lebih mementingkan kelompok
33 Mamak rumah Laki-laki yang dituakan dalam rumah.
34 Mamakai Memakai
35 Maminang Meminang, dalam hal ini pihak keluarga
perempuan akan datang kepada keluarga jejaka
untuk meminta apakah bersedia menikah dengan
anak kemanakannya (perempuan).
36 Mangato Berkata
37 Manjadi Menjadi
38 Manghanta Menghantar
39 Manjalang Berkunjung, dalam hal ini pengantin yang telah
sah menjadi suami isteri akan berkunjung ke
rumah orang tua marapulai dengan membawa
makanan.
40 Manjapuik Menjemput
41 Marapulai Pengantin laki-laki
42 Maso Masa
43 Matrilineal Mengambil aris keturunan dari ibu
44 Matrilokal Suami bermukin di kediaman isteri
45 Manyilau Mencari tahu, dalam hal ini dengan melakukan
penjajakan kepada jejaka yang sudah memasuki
usia pernikahan
46 Musim Musim
47 Nagari Desa
48 Nan Yang
49 Ninik mamak Beberapa orang panghulu yang berasal dari
bebarapa kaum atau klan yang ada dalam suku-
suku Minangkabau
50 Pandam pakuburan Tanah kuburan (area pemakaman)
51 Paneh Panas
52 Panghulu Pemangku adat yang memiliki gelar
53 Pasambahan Pidato adat
54 Pasisia Pesisir atau daerah sepanjang pantai
55 Pasumandan Perempuan yang mendampingi marapulai ketika
mendatangi kediaman anak daro
56 Performansi Bentuk suatu kegiatan
57 Rantau Perantauan
58 Rumah gadang Rumah besar
59 Sakali Sekali

246
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60 Sambah Pernyataan hormat yang disampaikan dlam
sebuah upacara adat
61 Sandi Asas
62 Si alek Tamu yang datang dalam acara
63 Si pangka Tuan rumah yang menyambut tamu
64 Sintak Mati
65 Sirih Daun yang digunakan sebagai pembuka kata
66 Solidaritas Perasaan setia kawan
67 Suku Pembagian kelompok pada masyarakat
Minangkabau yang diambil dari garis keturunan
ibu.
68 Syarak Syariat
69 Tabir Kain bermotif dan bersulam emas yang memiliki
variasi warna yang digunakan untuk menutup
dinding.
70 Takambang Terkembang
71 Tapian Tepian (tempat mandi di sungai)
72 Taplak Alas yang terbuat dari kain yang dibentangkan
untuk menempatkan makanan
73 Turun janjang Turun tangga, artinya seseorang yang keluar dari
rumah untuk tinggal di rumah orang lain (isteri)
74 Uang japuik Uang yang diberikan oleh keluarga pengantin
perempuan kepada pengantin laki-laki

247
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 1
IDENTITAS INFORMAN

1. Nama : Zaimansyur Anis


Umur : 51 Tahun
Pekerjaan : PNS
Alamat : Jalan Durian Lilin

2. Nama : Syarif Abdullah


Umur : 61 Tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Jalan Raya Sungai Geringging

3. Nama : Jon Hendri


Umur : 47 Tahun
Pekerjaan : Petani (Kepala Lingkungan)
Alamat : Jalan Raya Sungai Geringging

4. Nama : Julius
Umur : 47 Tahun
Pekerjaan : Guru SMP
Alamat : Durian Lilin

5. Nama : Maihizarni Jambak


Umur : 50 Tahun
Perkerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Raya Malai

248
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 2

Daftar Pertanyaan Wawancara

1. Mengapa masyarakat di Sungai Geringging ini melaksanakan tradisi


manjapuik marapulai?
2. Apa yang dilakukan jika tradisi ini tidak dilaksanakan?
3. Bagaimana bentuk tradisi manjapuik marapulai dulu nya dan
sekarang? Apakah terdapat banyak perbedaan?
4. Bagaimana jika yang menikah ini adalah pasangan yang berbeda
suku, daerah? Apakah tradisi ini masih dilakukan?
5. Apabila warga minang yang menikah tidak berada di Pariaman,
apakah tradisi manjapuik marapulai ini tetap diberlakukan?
6. Kapan tradisi manjapuik marapulai ini umumnya dilakukan?
7. Biasanya manjapuik marapulai ini dilakukan oleh siapa saja? Dan
apa peran masing-masing yang datang?
8. Apakah manjapuik marapulai ini dapat dilakukan hanya dengan
membawa uang saja? Bagaimana dengan bingkisan yang lainnya?
9. Apakah pasambahan ini hanya dilakukan di acara manjapuik
marapulai saja? Bagaimana dengan tahapan acara perkawinan
lainnya?
10. Apakah tradisi manjapuik marapulai ini telah mengalami
perubahan? Jika iya, di bagian mananya?
11. Siapakah yang berhak untuk melakukan pasambahan ini?
12. Apakah pasambahan yang dilakukan selalu sama dalam setiap acara
manjapuik marapulai?
13. Apakah anak muda diikut sertakan dalam acara manjapuik
marapulai ini? Apa fungsi mereka?
14. Bagaimana sikap mereka (anak muda) dalam menyaksikan acara
manjapuik marapulai tersebut?
15. Apakah setiap pemuda Minangkabau mampu untuk melakukan
pasambahan ini?

249
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16. Bagaimana cara menarik minat pemuda untuk mampu melakukan
pasambahan ini?
17. Menurut bapak/ ibu apakah yang seharusnya dilakukan agar tradisi
ini tidak mengalami perubahan?
18. Apakah pemuka adat memiliki peran dalam sistem pewarisan tradisi
ini? Apa yang telah dilakukan oleh mereka?
19. Menurut bapak/ ibu sebaiknya apa yang harus kita lakukan agar
tradisi manjapuik marapulai ini tidak mengalami perubahan kearah
yang lebih instan dan praktis?
20. Apakah langkah-langkah yang harus dilakukan agar tradisi ini tetap
terus berjalan?

250
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 3
Alur Pasambahan Tradisi Manjapuik Marapulai

Si alek Jadilah da nang, Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh,


Si pangka sungguah pun da nang,
Si alek Da yon, da yon..
Danang.. kok sungguah pun da nang nan maimbau artie sagalo salam
mamilih jo mananti sungguah diambo tarabiak parundiangan kolah
saiyo samufakek lo kami yang datang dari parawak tadi
Si pangka Bana
Si alek Iyo ambo maanta sampai kokindak tabilang pano galak pabilang
sagalo ko parundingan, rila jomaaf ambo mintak salam dek
Si pangka dimuliakan.
Si alek Iyo…
Manuruik pasa nan biaso da yon biaso bukik tumpuan kabuik, lurah
tumpuan aia, pantai labuhan ombak, kato dibanakan parundiangan
diikuikkan. Di Parundiangan rundiang ka dakek da yon yang di
parundiangan di ambo kini ko dek karena dari jauah kami lah datang,
dakek lah bajawek salam, lah babaok ka jorong ka dudukan. kok arah
ka jelah lapeh paluah dikaniang pun lah kariang, rokok sabatanglah
habih pulo. Ba a kiniko dayon di gisi-gisi nan basamuik dek iyo
pasediti dek jauh balampiah, barek ka nan ringan sampe karajo nan
barangsua.
Si pangka Bana
Si alek Baru ka ado yang takana dihati takilek-kilek dipikiran, dek manyabuik
kato nan bana manampuah jalan nan luruih malaba tujuan jo
makasuik. Satulah bulek kato ka disabuik ganok kaduo balun, sakian
rundiang dulu dayon ah….
Si pangka Baitu..?
Si alek Yo… da yon
Si pangka Artie dimulai baitu, di partamo dak…?
Si alek Iyo..
Si pangka Lakuang ko batinju kalam ka basigi, tantang silang si pangka
Si alek Iyo..
Si pangka Ba a tadilah tabaokan dek si jon tapak itiak,
Si alek Iyo
Si pangka Tapak itiak
Si alek Yo
Si pangka Tantu yo bateh nagari bapaga
Si alek Batuah
Si pangka Bapaga langsuang ba jam gadang
Si alek Iyo
Si pangka Dalam barek jo balabiah cupak jo gantang tantu di lingkung adaik jo
pasuko
Si alek Iyo
Si pangka Anao jo komerek siriah basusun yang ka di kambuik nan tungga ketek

251
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kato kabajawek indak ka babalikan.
Si alek Iyo
Si pangka Diambo bantuak itu lo, tantang jo lakuang sahinggo kato dak cukuik
kito cukuikan jo dek karano lah jaleh bapicik di ambo
Si alek Batuah
Si pangka Gunuang tutuik dek kabuik
Si alek Iyo
Si pangka sungguah pun dek itu tantang lakuang ko batinjau kalam basigi. nan
ambo memutuihan di dalam ko kan bantuak itu saikua kan panjang,
sakarekkan panjang jon?
Si alek Iyo
Si pangka dak ka ambo tinjau di dalam ko do kato dak cukuik yo dek e cu
Si alek iyo
Si pangka Ko namo e matilah tantu kubua e, hilang tantu muaro lah e lah ah..ah
lah jaleh muaro e hilang tantu kubua e, sampelah tantang yang kaduo
Si alek Yo
Si pangka Yang kaduo, saikua kan panjang, sakarek kan banyak
Si alek Yo
Si pangka Alah sampai hati, lah sanang hati si jon?
Si alek Sampai da nang
Si pangka Bana
Si alek ba a rupoe dek pintak lah buliah kandak laku sajuah hati sanang juo
loh bakato lah ha
Si pangka yo
Si alek da yon ah.. kok ado dak ambo tambah lo baliak.. da yon
Si pangka yo
Si alek dayon jo ambo imbau artie ko tadi tantang tabukak kato dek dayon
alah balapangan baa rupo kini da yon, ado jo yang takana dihati
takilek-kilek difikiran, takkalo kito ka barundiang da yon diparapek di
pasamo di muko medan basijilih di lingkung adaik jo pusako jikok
manuruik sarancaknyo kan yo dak tabaokan sapanjang taratik manjilid
baleh lo.. nak
Si pangka bana
Si alek kok taratik kalo samo kito pakai ko malah rupoe tantang itu dibuek.
Lah manlucuik nan duo taangkuik palo sapuluah di angkek tangan
sambah manyambah, di namuahan di sinan rundiang mako kelok, baa
kini da yon sarik batenggang dek nan indak suko bagalisau lah sampai
kato dari kami ka baitu basuo juo dek undang-undang mangatuon
kampuang paneh, kampuang takuruang di baliak kampung sungai
rotan, hujan paneh dapek balinduang sukar dak kama kiro-kiro di
adokkan. nan kini da yon kato sajo nan ka ambo anta sampai
parundingan sajo yang ka ambo sabuik ba a tahantak di ringan tangan
wakato kito barundiang barek sumbayang kok waktu kok makan ko,
katiko dima kiniko dima kini kok lai ka balaluan. Sakian dulu da jon
a.
Si pangka yo jon.. baciek kaduo laluan, kadua lalu batu e

252
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Si alek iyo
Si pangka dek bajalan nan salakuang sampe mancancang sapokok putuih
Si alek yo
Si pangka di dalam tu tantu dak basurang, ado mamak urang ciek lai yang
tabaok di ambo siko ncu
Si alek yo
Si pangka di ciek kaduo ko kaduo ncu tantang sambah bana ncu, ba a pandapek
ncu, ncu?
(………….tidak jelas) ambo pulang ka pangka e ncu, jon? main
Si alek capek se kito jon ?
Si pangka Yo da yon
tantang jo sambah jon di ciek kaduo, lah baduo duduak basimpuah
baselo katak barundiang waktu pun ta susun jadi tarenjeang tangan
siko taangkek sambah
Si alek yo
Si pangka siko rundiang mangko bahelo
Si alek yo
Si pangka mahelo dek nan salasai manyuruak di nan tanang aia janiah.. landai
Si alek yo
Si pangka barabuik..rundiang kaja manutuik kapalo siko bana mangko tanang
Si alek yo
Si pangka kito baok bana ko kito kabek jo lah jon?
Si alek Yo
Si pangka tantang kampuang parek kampuang takuruang ka tigo kampuang
sabananyo
Si alek yo
Si pangka hujan jo paneh dek si jon tampek balinduang suko nan kamano suku
kito simpan babaik sumbayang waktu makan wak katiko
Si alek yo
Si pangka sagitu jon
Si alek yo
Si pangka sinan kito baokkan
Si alek yo.. sampai da nang
Si pangka sampai
Si alek artie alah baagiah kandek ambo yoh ?
Si pangka bana
Si alek samo-samo kito pulangan ka nan tau dek karano iyo bana
dayon...lapeh...lapa sato dimintak sado dapek sato bakandak sado
buliah, artie diambo dak pakai sambah di da yon dak lo basambah
samo-samo kito pulangan se ka nan tau da yon ah., barundiang ambo
sabanta da yon ah (….berunding…..)
Si pangka (menyiapkan makanan)
Si alek ee da yon
yo jon
sapanjang barundiangan batangah da yon ah dari satu sampe kaduo,
duo sampe katigo ibarek urang naik janjang tantu satingkek ka

253
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
satingkek kiniko ambo tapak tingkek nan katigo artie tantang duo
perkaro tadi ko nan partama tantang pambuka kato ka dayon lah
balapangan kok ka hilie tantu rimboe, kamudiak tantu hulue, yang
kaduo tantang saracik sambah lah bakarilahan pulo tarimo baliak, ba a
lai kini da yon kok talakak putiang dulu di bawah kumpulan kali
takalok maso nan dulu tigo timbago nan tajadi
Si pangka bana
Si alek kok nan partamo baso jo basi, kaduo sambah manyambah , katigo
siriah jo pinang
Si pangka bana
Si alek basa jo basi kabasabuik dari jauah kami lah datang, dakek lah bajawek
salam lah tabaok ka jorong ka duduakan
Si pangka bana
Si alek kok sambah manyambah ka disabuik ambo lah bakiro urang... baa tata
siriah jo pinang siriah sakapuah nan alun masak. dek karano labiah
capek kakilah ringan tangan anak mudo matah na di mudiak manganta
siriah ka gagang nyo mangukua pinang ka tampuanyo mancukia nan
lai. ka pasa nan rami lalu dibalian kampia sirih. Kampiah siriah di
tapi dianta katangah, kahadapan angku-angku ninik mamak, iman
katik, pegawai-pegawai, urang sumando, sarato jo pemuda. Umumnya
sigalo silang sipangka karajo nan bapokok khususnya kapado sanak
famili nan mananti, melalui permintaan malah kami da yon kok siriah
di cabiak pinang digatok sada di baliah gambia di putuih santuang di
jujuih dimasaan siriah kami sakapua. Surang lah habih sakapuih elok
bana dima ela angek sinan api padam de e sakian rundiang dulu dayon
Si pangka jon
Si alek yo dayon
Si pangka ba a kecek urang pasia badanga tantu ombak ka bacaliak atau carito
dikamukokan dulu jon atau rundiang kito baok dulu?
Si alek artie... diambo batarimo suko jo nyo da yon
Si pangka bantuak itu batarimo suku?
Si alek Yo
Si pangka kito tadi taruian se bajalan bacapek kaki sekini
Si alek yo
Si pangka artie tantang padi merah tadi tantang padi putuih tadi
Si alek yo
Si pangka tantang di sambah jo kampiah siriah
Si alek yo
Si pangka ba a disanak tasurulah nan mudo matah dek si jon
Si alek yo
Si pangka pai anak ambiak sirih ka gagang malapeh pinang ka tampuak siriah
dapek pinang tabaok mangko dilimo jo dunsanak nan mudo menbanta
mamutiah lai bantiang masuk kalamuan... manuju pulau kasan siriah
baguluang baguntiang talatak jalan ka ranun batadah batetampah
balingka jo air dek pinang
Si alek yo

254
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Si pangka barek iliah kan sawah dihilia mudiakkan sawah balolong maniti di
pamatang panjang
Si alek yo
Si pangka aia mangganang dalam peti manantang nan tampak nan yang tajadi
Si alek iyo
Si pangka ba a dek si jon bajalan ba buah hati malenggang babuah tangan
mambaok siriah salangkok kok dah cukuik beko..... salasai jon
Si alek yo
Si pangka nan kadua tantu tantang siriah masak tigo parkaro
Si alek yo
Si pangka yang partamo tantu masak bamakan nan kaduo masak dimangka
masak jo parundiangan kok dari ambo bantuik itu jon
Si alek yo
Si pangka siriah dicabik pinang digatok sadah di palih tantu sentu di jujuik.
siriah dah ka mungkin ka hijau lai do jon
Si alek yo
Si pangka nan pinang da ka kuniang do
Si alek bana
Si pangka sadah dak rupo coklat
Si alek yo
Si pangka dak ka coklat lai sadah tak lupo jo putiah e yo tantu didalam ko
kandak ka ba agian pintak tantu iyo bapalakuan
Si alek bana
Si pangka nan bana ah mambaok banang bana, bandiang luruih nan kabapiliah
Si alek yo
Si pangka kito kabek lah bana ko tapi nan istirahat kito sabanta nak baiyo ambo
jo apak surang lai ko a
Si alek sampai da yon a
Si pangka bana…. di ambo buliah pintak buliah kandak ka balaku insya allah
kabalapangan
(…… memeriksa……)
ncu.... pasia badanga ombak batele ncu.... mamak urang mamintah
awak mangecek awak lapangan jalan kapatang iko. Iko dek tantu dek
karano ado adiak-adiak urang nan turun ka itu. Baa jon?
Si alek yo da yon
Si pangka dek karana pasia longah sumbah... ateh ombak lah bacaliak tantu
tantang dek siriah tadi
Si alek yo
Si pangka a kato awak tadi, koq siriah bacabiak, pinang digatok, sentul dijujuik,
tantang masak siriah tantu iyo tigo perkaro. Tasuruah nan tadulu tadi.
Si alek Yo
Si pangka Diambo ateh lah bacalik jon, baa diulang kato tadi tantang jo sambah
kandak ka ambo agia pintak bapalakuan
Si alek Hmmm
Si pangka kok balakuan di ambo tantu lah ambo caliak
Si alek yo

255
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Si pangka di ambo dak bajadi tanjuang babalik jalan dak baliku do jon
Si alek yo
Si pangka dek karano lah sagalo, artie ibaraik tabang buruang kama dek si jon.
kok tabang dek sanjo bakambang baiyo tabang bagaluah dek siko
tantu si jon di ambo maraso lalu sarempah sarimbun sacukuik
salangkok e kok santiang tantu kito bileh lamak kito tau e
Si alek yo
Si pangka kok dah cukuip lah umpamo cukuik
Si alek bana
Si pangka kalau manuruik ambo taimbau si jon sekali di ambo sifek kapalo
mudo namoe
Si alek yo
Si pangka gunuang tumpuan dek kabuik tagak batanang gadang bakalambuak
muko pase kelo p nilian? Tapi kok gadang namoe dek sinan basuluh
dek batinggi ka kelo batambak banyak
Si alek iyo
Si pangka yo helo pusek jalo dek si jon namo e
Si alek yo
Si pangka nan taimbo diambo siko si jon tantu sipek raso mudo lalu nan datang
tantu pa ibo mananti
Si alek yo
Si pangka kasiah datang, sayang nan mananti
Si alek yo
Si pangka kok datang dek siriah si jon, diambo dak ado siriah do. Nan ado
diambo kok rokok ambo agak sabatang. Kok alah habiy nan sabatang
elok bana. Nan kato beko kandak ka baagiah. Pintak tu balakuan.
Tantang jo siriah tadi. Masak tigo perkaro. Pinang….. saincek, saikua,
sabuah, kan bantuak itu nak nyo?
Si alek Yo
Si pangka Alah masak siriah si jon ko mah.
Si alek Alah masak
Si pangka bana
Si alek artie dek siriah alah masak tantang parkaro kok siriah lah tibo siriah
mananti dek kini dek dayon siriah tibo rokok mananti siriah kami lah
siriah da yon, rokok da yon rokok kami
Si pangka yo tu jon
Si alek yo kito pulang artie dek lah masak parundiangan ko ah tarimo kasih
banyak da
Si pangka yo kok namo e marengek kito palih manitih kito tuai
Si alek a yo a
Si pangka kok dah bisa jo talapak tangan tantu jo ......jon
Si alek yo tu, tarimo kasih banyak da
Si pangka lah masak kue si jon, sado yang simpel je lah kandek karano kito dak
banyakkan. Minumlah aia tu dulu diak
Si alek yo
Si pangka beko kito sambuang diciek kaduo lah baku nan tigo tantu ado

256
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mukasuk ba a kecek urang bukan daun kanan sajo daun bacampua jo
daun talang bukan dusanah ambo yang bisa kami sajo gadang basuo
bajalang lah jon
Si alek yo da yon
Si pangka ba a kecek urang buriah disipendi merah sajo baiak budi yo basi dek
sagalo yang nampak namoe tantu kilek galiung lah bakaki, kilek
caminlah kamuko. Nan diambo baitu pulo minumlah aia sagalo nan
talatah dek karano kito istirahat beko kan ambo agiah pintak
bapalakuan sagalo nan dapek.
(……Makan…….)
(….. selepas makan)
Si alek Mati tantu rimboe hilang tantu mati tantu kubue hilang tantu rimboe
Si pangka Bana
Si alek kiniko dayon ambo tawiah loh rancana nan ka ampek artie dek na ka
ampek ho tujuan jo mukasuik, tujuan jo mukasuik kami nan datang
dari padang bibiriak tadi kamari artie tuk manapeki padang nan di
ukua janji nan diarek baa lato-kato urang rimbun rampak karambiak
pagai ditanam sutan diateh munggu, bulan tampak janji lah sampai
kami manapeki janji nan dulu
Si pangka bana
Si alek kalau kalau janji nan dulu artie manjapuik marapulai nan banamo
sudarno
Si pangka Satria Perdana
Si alek Satria Perdana nak kami nikahkan beko jo sanak kamanakan kami nan
dimudiak banamo suci nurul hidayati sagalo pajanjian karam buatan
kito nan dulu tu lah dibantang kok di caliak tampak diesek taraso tulah
bantuaknyo e danang kok pintakbuliah kandak balaku sungguah pun
marapulai nan ambo japuk cukuik jo urang mudo jo urang mampu lai
samo sekali jo sumandan e, sakian dulu danang.
Si pangka baitu jon
Si alek Yo
Si pangka Kok dek ciek ka duo lah baku bantuak nan tigo kito pacik arek taguah
kajang nan kito buek.
Si alek Yo
Si pangka nan kaduo tantu bahkan daun kanari sajo dek sarupo jo daun talang
Si alek yo
Si pangka Bukan si jon kamari sajo sadang mukasuik ka manjalang (menangis).
A nan kiniko yo anak awak kabajapuik jon nan ambo kito jo ayah
induak lapeh anak tantu lapeh bana indak nan ambo sangaik. Namoe
kandak ka baagiah pintak kabalakuan janji buek padang na maukua
jon
Si alek Yo
Si pangka sayang jo anak sapanjang jalan jon mungkin anak si jon kabantuak itu
lo nantinyo nan kaduo sagala nan tabuek wakatu itu janji nan
dipadang padang nan bakua, lah tabaok di sijon kini tantu diliek
tampak di esek taraso jon

257
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Si alek yo
Si pangka kok panjang gadang jo pendek e dari kalam lah tabuek dari kini lah
ambo caliak. Ka sia ambo ka baiyo, siapo nan ikuik alun tibo lai. Jadi
kok balapangan kini namoe jon den sijon la tabaok hari kini tabaok
marapulai jo induak – induak sakali hari kini.
Si alek Yo
Si pangka Diambo bantuak itu lo jon sagalo dak bapanjang etong lambek namoe
karajo si jon banyak disitu ambo pasingke se lah kiniko ambo caliakan
ka induak e tantang jo nan tabuek buatan sewa sagalo macam jo jas
sipatu ala di dalam ko jon?
Si alek Yo
Si pangka tapi dek karajo ko anu dek induak silahkan caliak dulu ba a kecek
urang tantu ameh babilang
Si alek yo
Si pangka pitih nan babilang ameh han ba bongkah mananti si jon sabanta tu jon.
insyaallah pintak kok buliah kandak kabalaku
Taruiahan jo lai ef. Yo bantuak itu lo jon lambek lago lai ka manang
dek karano sakali dayung di angkuah duo tigo pulau talampaui
Si alek Yo
Si pangka hari kini la tibo urang sumando
Si alek yo
Si pangka kato urang sumandan, mananti agak beko sabanta dek karano kito
barek bajalan bantuak samuik bairiang
Si alek yo
Si pangka nak tau lo disitu jo panjang pendek e lai ba mamak lai ba apak nyo ka
mananti lah si jon tantang jo kiro bataguah janji batapek yo lah
batapeki kini sagalo kandak ba agiah pintak ka bapalakuan lah cocok
kito ko mah alah ambo caliak jatuah perasaan jo nan lun bacaliak lah
cukuik mah
Si alek artie
Si pangka Lah buliah kito baok marapulai tapi manunggu si jon sagalo andan jo
sumandan mungkin manueh dak sakali ameh mancancang dak sakali
putih
nan namoe awak pakai sumandan tantu bakal bakameh nyo dulu
artie jo sumandan kok balun lakek bana bapakaian tak nan lakoh
ujuang karatan simpang hari kini taak tabaok
Si alek bana
Si pangka Anak ambo turun jo salawek kini ko jon dek karano tukang salawek
lah di siko. alah ba panuah yo han ampek kandak si jon mah lah
sanang hati si jon tu?
Si alek yo lah artie lah balapangan kandak labuliah pintak balaku. Tu lah da
nang sapanjang kito tadi barundiang, ambo mungkin mudo matah
mungkin ado giweh jo hilafah salah ambo jo sanggah maklumlah
awak nan hidupko dak ado nan taparonoh indak ado gadiang han dak
ratak, baa kecek-kecek urang kami ateh namoe rombongan nan datang
dari padang babiriak tadi, mamintak badunsanak disisko kira jo maaf

258
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang sabasar basarnyo tantang giwah jo gaweh jon kato nan ampek
banang nan limo tadorong gading dek gajah. Tantu maaf ambo bapilar
ka nan satu. Nan ka duo kito enjeng babuhua aia
Si pangka yo
Si alek tantu kito tabang jo angin lalu. Diambo bantuak itu lo, datang dak ta
sonsong duduak dak duduak pado tampek e indak tasalam dek sanak
nan lain hari kini kito putih hati baka dan putuih kapek bacaliakan
tantu kito pulangan ka nan satu. Dek kalau manuruik ambo mukasuik
sampai jama lah pacah jon lah sabana pacah. tarimokasih banyak
danang ak lah samo – samo balapangan.
Si pangka Tu lah dek karano sinan karajo banyak ka di awai
Si alek di situ dek banyak karajo tantu kami ka ma...mungkin ka pai ka
mudiak lai tuak maagih kaba dusanak yang dimudiak
Si pangka jadi
Si alek ka urang nan tibo jo rombongan
Si pangka bantuak itu lah jon sagalo nan talatak kilek baliung kaki kurek kini
marasago bayok unde indak baso kinyamlah caguik lah aia agak
sadaguak surang, sagalo nan talatak. Kilek baliung nan ka kaki kulek
camin nan ka muko. Awal e dek sijon dek karano rancak bongka lah
sauah, kalo tambuak ka mampan ambo capek jao ambo bueknyo.
Pacik nahkudo di awak mato ambo kini ko dek si jon paciek
kok dipaciakan kini ko kito dah manunggu halabai do.
Si alek
dan si Bismillahirrahmanirrahim
pangka

259
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai