Anda di halaman 1dari 375

TRADISI LISAN MALAM BERINAI PADA MASYARAKAT

MELAYU TANJUNG BALAI

DISERTASI

Oleh
LELA ERWANY
NIM: 108107015
PROGRAM DOKTOR (S3) LINGUISTIK

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


TRADISI LISAN MALAM BERINAI PADA MASYARAKAT
MELAYU TANJUNG BALAI

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam
Program Doktor Linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
di bawah pimpinan Rektor Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum.
untuk dipertahankan dihadapan sidang Terbuka Senat
Universitas Sumatera Utara

Oleh

LELA ERWANY
NIM: 108107015
Program Doktor (S3) Linguistik

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Judul Disertasi : TRADISI LISAN MALAM BERINAI PADA
MASYARAKAT MELAYU TANJUNG BALAI

Nama Mahasiswa : Lela Erwany


Nomor Pokok : 108107015
Program Studi : Doktor (S3) Linguistik

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.)


Promotor

(Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.) (Dr. Muhammad Takari, M.Hum.)


Co-Promotor Co-Promotor

Ketua Program Studi Dekan

(Prof.T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D.) (Dr. Budi Agustono, M.S.)

Tanggal Lulus:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Diuji pada Ujian Disertasi Terbuka (Promosi)
Tanggal:

PANITIA PENGUJI DISERTASI


Pemimpin Sidang:
Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum. (Rektor USU)
Ketua : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. (USU Medan)
Anggota : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. (USU Medan)
Dr. Muhammad Takari, M.Hum. (USU Medan)
Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. (USU Medan)
Dr. Rahimah, M.Ag. (USU Medan)
Dr. Asmyta Surbakti, M.Si. (USU Medan)
Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. (USU Medan)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


TIM PROMOTOR

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.

Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.

Dr. Muhammad Takari, M.Hum.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


TIM PENGUJI LUAR KOMISI

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.

Dr. Rahimah, M.Ag.

Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.

Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PERNYATAAN

Judul Disertasi

TRADISI LISAN MALAM BERINAI PADA MASYARAKAT


MELAYU TANJUNG BALAI

Dengan ini penulis nyatakan bahwa disertasi ini disusun sebagai syarat

untuk memperoleh gelar Doktor Linguistik pada Program Studi Linguistik

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil

karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian

tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis

cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika

penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian

disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-

bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik

yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Medan, April 2016

Penulis,

Lela Erwany

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


TRADISI LISAN MALAM BERINAI PADA
MASYARAKAT MELAYU TANJUNG BALAI

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul ―Tradisi Lisan Malam Berinai pada Masyarakat Melayu
Tanjung Balai‖. Penelitian ini mengkaji performansi, kearifan lokal, dan model
revitalisasi upacara malam berinai, serta citra arketipe Melayu dalam sinandong.
Tradisi malam berinai di Tanjung Balai merupakan upacara pemberian inai
kepada calon pengantin yang dilakukan sebelum pengantin disandingkan di
pelaminan pada keesokan harinya. Malam berinai biasanya dilaksanakan pada
malam hari setelah selesai sholat Isya. Malam berinai menjadi bagian yang sangat
penting dalam acara memberi tanda kepada pengantin yang digunakan oleh
masyarakat tanjung balai sebagai bagian dari upacara adat istiadat perkawinan
Melayu. Penelitian ini penting dilakukan karena masyarakat sudah jarang
melakukan upacara malam berinai sehingga banyak orang yang tidak
mengetahuinya lagi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
performansi, kearifan lokal, model revitalisasi malam berinai dan
mendeskripsikan citra arketipe masyarakat Melayu dalam sinandong. Penelitian
ini menggunakan paradigma konstruktivisme dengan metode deskriptif analitik.
Penelitian ini menggunakan pendekatan performansi pemikiran Finnegan dan
Vansina, pendekatan kearifan lokal dengan teori kulit bawang, pendekatan model
revitalisasi dari pemikiran Vansina dan RUU 3 April 2013, teori Semiotik C.S.
Pierce dan teori arketipe C.G. Jung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Performansi tradisi malam berinai adalah serangkaian upacara yang dilaksanakan
pada malam hari sebelum pengantin duduk bersading. Rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan adalah barzanzi, marhaban, tari gubang, tepung tawar, berinai besar,
kasidah, dan sinandong. Kegiatan ini berlangsung sampai tengah malam. Tradisi
upacara malam berinai ini tidak terlepas dari teks, konteks, dan ko-teks. Teks
dalam tradisi ini difokuskan pada teks Sinandong Didong yang diiringi oleh tari
Gubang yang berfungsi sebagai penanda malam berinai. Sedangkan konteks
dalam tradisi ini berhubungan dengan konteks budaya, sosial, situasi, dan idiologi.
Analisis ko-teks tradisi ini meliputi gerak dan peralatan yang digunakan dalam
tradisi ini. Kearifan lokal tradisi malam berinai meliputi lapisan makna dan fungsi,
lapisan nilai dan norma, dan kearifan lokal. Kearifan lokal yang terdapat dalam
tradisi malam berinai ini meliputi rasa syukur, sopan santun, gotong royong,
kesetiakawanan sosial, dan peduli lingkungan. Model revitalisasi tradisi malam
berinai pada masyarakat Melayu Tanjung Balai dapat dikelompokkan menjadi tiga
komponen yaitu, mengaktifkan, mengelolah, dan mewariskan. Mengaktifkan
tradisi malam berinai dapat dilakukan dengan mensosialisasikan kepada
masyarakat, memungsikan kembali malam berinai sebagai ajang untuk
bersilaturrahmi, dan membentuk arisan keluarga untuk menanggulangi biaya
penyelenggaraan upacara tersebut. Mengelolah tradisi malam berinai berkaitan
dengan mengelolah waktu pelaksanaan, mengadakan pelatihan untuk pewara, dan
mempromosikan tradisi tersebut. Mewariskan tradisi Malam berinai ini bukan
hanya menyangkut masalah penyederhanaan acara, tetapi juga menginventarisasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dan memuplikasikan tradisi ini. Sedangkan Model revitalisasi sinandong dapat
dilakukan dengan refungsionalisasi, representas, reformasi, reinterpretasi, dan
reorientasi. Melalui sinandong dapat dilihat citra arketipe antara lain, makanan
tradisional Melayu, asal-usul Melayu, mendoakan orang yang sudah meninggal
dunia, dan kampung halaman.

Kata kunci: Tradisi Malam Berinai, Masyarakat Melayu Tanjungbalai, Sinandong,


Kearifan Lokal, Revitalisasi, dan Citra Arketipe.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ORAL TRADITION IN MALAM BERINAI CEREMONY
IN TANJUNG BALAI MALAY SOCIETY

ABSTRACT

The title of this study is ―Oral Tradition in Malam Berinai Ceremony in


TanjungBalai Malay Society‖. This study discusses performances, local wisdom,
revitalization model in Malam Berinai, and symbols of Malay archetype in
Sinandong. Malam berinai tradition is the ceremony performed on night before
the wedding ceremony by putting henna to the brides and grooms. Malam berinai
is usually performed at night after Isya prayer. This becomes an important part in
giving symbol to the brides by the Malay society as one part of Malay Wedding
ceremonies. This is a significant study since nowadays many Malay people don‘t
perform it anymore so it is not popular among them. The purposes of this study
are to describe the performances, local wisdom, revitalization model of Malam
Berinai, and symbols of Malay archetype in Sinandong. This study applies
constructivism pardigm. The method in this study is descriptive analytic. This
study also applies some approaches like performances by Finnegan and Vansina,
local wisdom, revitalization model by Vansina and RUU 3 April 2013, semiotic by
C.S. Pierce, and archetype by C.G. Jung. The results of the study show that
performances in malam berinai are the series of ceremonies performed at night
before the wedding ceremony. The activities are barzanzi, marhaban, gubang
dance, tepung tawar, main berinai, kasidah, and sinandong. These activities are
performed until midnight. This ceremony s included in text, context, and co-text.
Text in this tradition is focused on Sinandong Didong and followed by Gubang
dance which functions as the sign of malam berinai. The context in this tradition
related to culture, situation, and ideology. The co-text analysis in this tradition
includes the movement and tools used in the ceremony. Local wisdom in malam
berinai includes the meaning and function layer, and norms and values. The local
wisdoms found in this ceremony are thankfulness, politeness, working together,
loyalty, and neighborhood careness. The revitalization model can be grouped into
three components, they are reactivating, managing, and inheriting. Reactivating
malam berinai can be done by making this tradition familiar to the society,
refunctioning this tradition as the time for meeting up among the family, and
collecting fund for performing this tradition. Managing this tradition is related to
the time management, training for the master ceremony, and promoting ths
tradition. Inheriting this tradition is not about simplifying the ceremony, but also
making list and publishing this tradition. Revitalization model of sinandong can
be done by refunctioning, representing, reforming, reinterprating, and
reorientating. Archetype symbol can be seen through sinandong like malay
traditional food, the origin of Malay, praying the spirits of the deaths, and going
hometown.

Keywords: Malam Berinai tradition, Tanjung Balai Malay society, Sinandong,


Local wisdom, revitalization, and archetype symbols.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang mengatur dunia seorang


diri. Dia yang dalam kegelapan hatiku menyinarkan cahaya yang tiada terlihat.
Dia yang menganugerahi manusia keteguhan hati untuk berdoa dan beribadah
kepada-Nya. Dia juga yang menganugerahi kepada diriku ilmu, kemudahan dan
kemurahan, sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Selawat
beriring salam, Penulis sampaikan ke hadirat nabi Muhammad SAW beserta
keluarganya yang syafa‘atnya kelak sangat diharapkan. Kepada Imam Pemilik
Zaman, penulis bertawassul agar senantiasa dalam penjagaannya.
Selama dalam masa perkuliahan dan melakukan penelitian serta penulisan
disertasi ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara.
3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., selaku Ketua Program Studi
Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, sekaligus
sebagai dosen penguji yang sangat besar perhatiannya memotivasi penulis
hingga sampai pada penulisan disertasi ini maupun dalam kapasitas beliau
sebagai sebagai dosen pengajar atau penguji.
4. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., selaku Promotor yang telah
mengajarkan banyak hal tentang sastra, mitra berdiskusi selama perkuliahan
dan selama penyusunan disertasi ini.
5. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., selaku Co-Promotor I yang telah
membimbing, mengarahkan, dan memberi semangat kepada penulis.
6. Bapak Dr. Muhammad Takari, M. Hum., selaku Co-Promotor II yang telah
begitu tulus membimbing dan memberikan masukan yang berharga terhadap
disertasi ini. Beliau juga memberikan buku-buku karyanya kepada penulis,
untuk itu penulis ucapkan terima kasih.
7. Prof. Hamzon Situmorang M.S., Ph.D., Dr. Asmyta Surbakti, M.Si., Dr. T.
Thyrhaya Zein, M.Si., selaku penguji sekaligus staf pengajar yang banyak
memberikan masukan untuk kesempurnaan disertasi ini.
8. Seluruh staff administrasi dan perpustakaan yang begitu ramah dan ringan
tangan membantu penulis selama dalam masa perkuliahan.
9. Prof. Dr. Pudentia MPSS, selaku ketua ATL (Asosiasi Tradisi Lisan) Pusat
yang telah bekerja sama dengan Dikti dengan program Kajian Langka Kajian
Tradisi Lisan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10. Prof. Dian Armanto, Ph.D., selaku koordinator Kopertis Wilayah I yang telah
memberikan izin tugas belajar kepada penulis. Juga kepada seluruh staf
administrasi yang telah memberikan kemudahan urusan kepada penulis.
11. Dr. Tarmizi, S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas Amir Hamzah yang
telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan studi.
12. Seluruh sivitas akademika Universitas Amir Hamzah yang telah memberikan
bantuan dan motivasi kepada penulis
13. Rektor UMSU dan seluruh sivitas akademika, terutama rekan sejawat FKIP
yang telah memberikan masukan dan motivasi yang besar kepada penulis.
14. Dekan FKIP Univa dan seluruh sivitas akademika, serta Rektor Universitas
Sutomo dan seluruh sivitas akademika yang telah menerima penulis untuk
mengabdikan ilmu pengetahuan yang penulis miliki.
15. Para Informan, terutama kepada Ayahanda H. Hasanuddin Yus beserta
keluarga yang dengan tulus telah membantu penulis dalam mencari data
penelitian. Beliau juga telah menganggap penulis sebagai anak, untuk itu
penulis mengaturkan rasa terima kasih yang tiada terhingga.
16. Dewan Pembina Yayasan Sakinah Az-zahra, yang telah banyak memberikan
bantuan moral dan materi, sehingga memberikan kemudahan kepada penulis
dalam penyelesaian studi ini.
17. Secara khusus, penulis sampaikan rasa terima kasih yang tiada terhingga
kepada orang tua penulis Ayahanda Alm. H. Lobai dan Ibunda Almh Hj.
Dewi, Ayahanda Alm. Abdul Tambunan dan Ibunda Almh. Soun Munthe,
yang telah memberikan spirit dan doa yang tulus buat kelangsungan hidup
dan studi penulis. Dari mereka, penulis dapat lebih mengerti akan makna
kehidupan dan dapat melihat sisi kehidupan dalam berbagai atmorfir baik
konsep maupun kenyataan. Semoga Allah senantiasa mencurahkan kasih dan
rahmad-Nya kepada mereka dan menjauhkan mereka dari siksa kubur dan api
neraka.
18. Kakanda Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., yang selama ini telah berperan
sebagai pengganti ayah bagi kehidupan penulis. Kakanda Alm. O.K. muchtar,
Dahliah, Alm. O.K. Syahril, Nurhayati, dan Nuraini yang selalu mengayomi
penulis. Juga kepada Kakanda Asli, Bonar, Siti Awan, Drs. Mara Muda,
M.Pd., Briga Ruslan, Almh. Siti Aslan, Nurbina, Sahrudin, M.T, dan
Khairudin Ependi, M.Si., serta pihak ipar yang tidak dapat disebutkan satu
persatu dan seluruh kemenakan.
19. Lebih dari itu, penulis juga secara khusus berterima kasih kepada suami
tercinta Mara Laut Tambunan, S.H., dan Ananda terkasih Syafriani Tio Sari,
S.Pd. Oesman Bahari Abdullah Tambunan, Fadlan Saripuddin Tambunan,
Fatimah Raudhatul Fadilah, Zainab Alia Aqila, dan Maryam Syarbanu
Azzakia yang telah memberikan motivasi yang besar dan kekuatan mental

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Untuk merekalah penulis
melanjutkan studi ini dan kepada mereka pulalah disertasi ini penulis
persembahkan.
20. Teman-teman mahasiswa Program Studi Doktor Linguistik Angkatan 2010,
khususnya buat kajian konsentrasi wacana sastra M. Isman, Martina Girsang,
Fauziah Khairani, Widya Andayani. Juga mahasiswa Kajian Tradisi Lisan M.
Ali Pawiro dan T. Winona Emelia yang telah banyak memberi warna dalam
kehidupan penulis.

Medan, Juni 2016


Penulis

Lela Erwany

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


RIWAYAT HIDUP
A. Data Pribadi

Nama Lengkap : Lela Erwany


Tempat Tanggal Lahir : Empat Negeri, 8 Juni 1971
Agama : Islam
Alamat : Jln. Utomo Dusun III Desa Bakaran Batu,
Kec. Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang

Nama Ayah : Alm. H. Lobai


Nama Ibu : Alm. Hj. Dewi
Suami : Mara Laut Tambunan, SH.
Anak : Syafriani Tio Sari, S.Pd., Oesman Bahari Abdullah Tambunan,
Fadlan Saripuddin Tambunan, Fatimah Raudhatul Fadilah,
Zainab Alia Aqila, Maryam Syarbanu Azzakia

B. Riwayat Pendidikan
1. SD Inpres No. 014721 Empat negeri, Batubara (tamat tahun 1984).
2. SMP Negeri Simpang Dolok, Batubara (tamat tahun 1987).
3. SMA Negeri Indrapura, Batubara (tamat tahun 1990).
4. Universitas Sumatera Utara, Fakultas Sastra Program Studi Bahasa dan
Sastra Melayu (tamat tahun 1995).
5. Sekolah Pascasarjana USU Program Studi Linguistik (tamat tahun 2009).

C. Pengamalan Pekerjaan
1. Dosen Kopertis Wilayah I Dpk. Unham
2. Ketua Yayasan Sakinah Az-Zahra Periode 2015-2020
3. Dosen Tidak Tetap di UMSU, UNIVA dan Universitas Sutomo.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Disertasi ini saya persembahkan untuk Universitas

Sumatera Utara, Kopertis Wilayah I, Bangsa dan

Negara Republik Indonesia, serta Keluarga tercinta

Orang tua tersayang

Ayahanda Alm. H. Lobai

Ibunda Almh. Hj. Dewi

Mertua tercinta

Ayahanda Alm. Abdul Tambunan

Ibunda Almh. Soun Munthe

Suami tersayang

Mara Laut Tambunan, S.H

Anak-anak terkasih dan tersayang

Syafriani Tio Sari, S.Pd.

Oesman Bahari Abdullah Tambunan

Fadlan Saripuddin Tambunan

Fatimah Raudhatul Fadhilah

Zainab Alia Aqila

Maryam Syarbanu Az-Zakia

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

ABSTRAK…………………………………………………………………….... i
ABSTRACT…………………………………………………………………...... iii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP………………………………………………... vii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………..... viii
DAFTAR TABEL………………………………………………………………. xi
DAFTAR BAGAN………………………………………………………………. xii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………… xiii
BAB I: PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………….. 25
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………….. 25
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………... 26
1.4.1 Manfaat Teoretis……………………………………… 26
1.4.2 Manfaat Praktis……………………………… 26
BAB II: KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN TEORI …………………… 28
2.1 Kajian Pustaka………………………………………… 28
2.2 Konsep……………………………………………... 31
2.2.1 Tradisi Lisan…………………………………… 31
2.2.2 Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai… 36
2.2.3 Sinandong………………………………… 40
2.2.4 Adat Perkawinan Melayu di Tanjungbalai………………… 43
2.3 Landasan Teori…………………………………………………. 70
2.3.1 Pendekatan Performansi………………………………… 70
2.3.1.1 Performansi.....................................……… 70
2.3.1.2 Teks, Koteks dan Konteks.............................……… 74
2.3.1.2.1 Teks...................................……… 74
2.3.1.2.2 Koteks............................ 78
2.3.1.2.3 Konteks.....................................……… 81
2.3.2 Pendekatan Kearifan Lokal……………………………… 85
2.3.3 Model Revitalisasi……………………………… 95
2.3.4 Teori Arletipe……………………………… 112

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.3.5 Teori Semiotik……………………………… 121
2.4 Kerangka Berpikir…………………………………………………. 124

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN……………………………………... 126


3.1 Paradigma dan Metode Penelitian………………………………... 126
3.2 Lokasi Penelitian……………………………………………….. 127
3.3 Sumber Data……………………………………………. 128
3.4 Metode Pengumpulan Data…………………………………... 129
3.5 Metode Analisis Data……………………………………... 134
BAB IV: PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN………………. 136
4.1 Paparan Data…………………………... 136
4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian............................. 137
4.1.2 Paparan Data Prosesi Malam Berinai............................. 146
4.1.3 Paparan Data Kearifan Lokal Tradisi Malam Berinai ......... 147
4.1.4 Paparan Data Revitalisasi............................. 150
4.1.5 Paparan Data Citra Arketipe dan Jati Diri Melayu dalam
150
Senandung............................
BAB V: PERFORMANSI TRADISI LISAN MALAM BERINAI………… 158
5.1 Performansi Malam Berinai…………………………………….. 158
5.2 Analisis Teks, Konteks, dan Koteks……………………………….. 163
5.2.1 Analisis Teks………………………… 163
5.2.1.1 Struktur Makro…………………………… 164
5.2.1.2 Superstruktur…………………………………… 165
5.2.1.3 Struktur Mikro…………………………………… 166
5.2.2 Analisis Konteks.............................................……… 167
5.2.3 Analisis Koteks..........................................................…… 171
BAB VI: KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI MALAM BERINAI…… 199
6.1 Makna dan Fungsi Tradisi Malam Berinai…………….. 200
6.1.1 Makna Berinai……………… 200
6.1.2 Fungsi Tradisi Malam Berinai………………… 203
6.1.2.1 Magis……………………………… 204
6.1.2.2 Kesehatan…………………………………… 209
6.1.2.3 Doa dan Harapan………………………………… 212
6.2 Nilai dan Norma Tradisi Malam Berinai…………….. 215
6.2.1 Nilai Tradisi Malam Berinai.................……… 217
6.2.1.1 Nilai Estetis……………………………… 217

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6.2.1.2 Nilai Kesabaran…………………………………… 219
6.2.2 Norma Malam Berinai.................……… 226
6.2.2.1 Norma Kesopanan……………………………… 226
6.2.2.2 Norma Ekspresi Ajaran Agama Islam…………… 229
6.3 Kearifan Lokal Malam Berinai……………………… 241
6.3.1 Rasa Syukur.................……… 242
6.3.2 Kesopansantunan.................……… 247
6.3.3 Kesetiakawanan Sosial.................……… 250
6.3.4 Gotong Royong.................……… 253
6.3.5 Peduli Lingkungan.................……… 261
BAB VII: MODEL REVITALISASI…………………………............................. 269
7.1 Model Revitalisasi Malam Berinai……………… 269
7.2 Model Revitalisasi Sinandong………………………………… 277
BAB VIII: CITRA ARKETIPE DAN JATI DIRI MELAYU……………….. 293
8.1 Analisis Bentuk Sinandong…………………………………... 293
8.2 Citra Arketipe…………………………………………………… 301
8.2.1 Makanan Tradisional Melayu…………………………… 302
8.2.2 Asal-Usul Orang Melayu……………… 304
8.2.3 Mendoakan Orang yang Sudah Meninggal Dunia……… 306
8.2.4 Kampung Halaman……………………………………… 307
8.3 Jati Diri Orang Melayu………………………………………… 308
8.3.1 Adat…………………………… 309
8.3.2 Sistem Kekerabatan……………… 316
8.3.3 Sistem Religi……… 319
8.3.4 Sistem Bahasa……………………………………… 323
BAB IX: TEMUAN HASIL PENELITIAN……………………………………. 325
9.1 Kemajuan Jaman dan Kepraktisan Menfikis Tradisi……………. 327
9.2 Filosofi Malam Beranai………………………………………... 328
BAB X: SIMPULAN DAN SARAN……………………………………. 329
10.1 Simpulan……………. 329
10.2 Saran………………………………………... 331
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………... 333
LAMPIRAN I: DAFTAR INFORMAN……………………………………... 339
LAMPIRAN II: DAFTAR PANDUAN WAWANCARA……………………... 342
LAMPIRAN III: TEKS SINANDONG……………………………………... 344

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1 Penduduk Kota Tanjungbalai Per Kecamatan Tahun 2010.......................... 142


4.2 Nama-Nama Kelurahan di Tanjungbalai…………... 142
4.3 Paparan Data Kearifan Lokal Malam Berinai……………………………... 147
4.4 Paparan Data Citra Arketipe dalam Sinandong Asahan pada Upacara
Malam Berinai……………………………………………………............ 155
4.5 Paparan Data Jati Diri Melayu dalam Sinandong Asahan pada Upacara
Malam Berinai…………………………………........ 156
5.1 Performansi Malam Berinai pada Masyarakat Melayu Tanjungbalai… 198
6.1 Kearifan Lokal Tradisi Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu
Tanjungbalai…………………………………………………………….. 199
8.1 Kata-Kata Denotatif dalam Teks Senandung…………………………… 296

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR BAGAN

Nomor Judul Halaman

2.1 Teori Lapisan Pemaknaan Tradisi Lisan/Tradisi Budaya.......................... 94


2.2 Jenis Kearifan Lokal…………... 95
2.3 Kerangka Berpikir Penelitian Tradisi Lisan Malam Berinai dan Sinandong
dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai……………………………... 124
3.1 Sumber Data Penelitian Tradisi Lisan Malam Berinai dan Sinandong
dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai………………………............ 129
3.2 Metode Pengumpulan Data Tradisi Lisan Malam Berinai dan Sinandong
dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai……………………………........ 133
5.1 Properti Berinai pada Upacara Malam Berinai dan Sinandong dalam
Masyarakat Melayu Tanjungbalai… 183
5.2 Perlengkapan Alat Musik Pertunjukan Sinandong……………………….. 184
6.2 Fungsi Tradisi Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu
Tanjungbalai…………………………… 204
6.3 Nilai dan Norma Tradisi Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu
Tanjungbalai…………………………… 216
6.5 Kearifan Lokal Tradisi Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu
Tanjungbalai…………………………… 242
7.1 Model Revitalisasi Tradisi Malam Berinai pada Masyarakat Melayu
Tanjungbalai…………………………… 276
7.2 Model Revitalisasi Sinandong pada Masyarakat Melayu
Tanjungbalai…………………………… 292
8.1 Citra Arketipe Masyarakat Melayu Tanjungbalai dalam Sinandong
Asahan…………………………… 301
8.2 Jati Diri Masyarakat Melayu Tanjungbalai dalam Sinandong Asahan…… 308

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

4.1 Peta Kota Madya Tanjungbalai.......................... 139


4.2 Foto Tanjungbalai dari Udara pada Tahun 1930-an…………... 139
4.3 Pelabuhan Tanjungbalai pada Masa Hindia Belanda…………………... 139
5.1 Ekspresi Wajah Pesenandung Ketika Melantunkan Sinandong............ 172
5.2 Tata Cara Tepung Tawar……………………………........ 174
5.3 Motif Inai Mauliza pada Malam Berinai di Rumahnya… 174
5.4 Pelengkapan Tepung Tawar untuk Malam Berinai……………………….. 178
5.5 Tari Gubang oleh Sanggar Tari ―Ayu…………………………… 182
5.6 Inai yang akan Digiling…………………………… 185
5.7 Stiker untuk Berinai…………………………… 186
5.8 Inai yang Berbentuk Odol…………………………… 186
5.9 Group Aljamiatul Kasidah Tanjungbalai…………………………… 189
5.10 Makanan Ringan untuk Group Kasidah…………………………… 197

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia dalam rangka menjalani hidupnya, selalu terikat dengan fase-

fase kehidupan, yang pada setiap perubahan fase tersebut selalu dilakukan

upacara.1 Sejak janin masih berada dalam kandungan, kemudian selepas

melahirkan, memberikan nama, masa pubertas, menikah, menjadi warga

masyarakatnya, upacara sebagai pemimpin, sampai kematian, dan juga

pascakematian. Dalam siklus hidup tersebut, perkawinan merupakan fase

kehidupan manusia yang bernilai sakral dan sangat penting. Dibandingkan

dengan fase kehidupan lainnya, fase perkawinan sangat khusus. Perhatian pihak-

pihak yang berkepentingan dengan acara tersebut banyak tertuju kepadanya,

mulai dari memikirkan proses akan menikah, persiapannya, upacara pada hari

perkawinan, hingga setelah upacara usai dilaksanakan. Tidak saja calon

pengantin laki-laki dan perempuan saja yang merencanakan, memikirkan, dan

menjalankannya, tetapi juga termasuk orang tua dan keluarganya,2 karena

1
Rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau
agama. Dalam konteks penelitian ini, upacara tersebut berkaitan dengan upacara adat, yaitu
upacara yang berhubungan dengan adat suatu masyarakat, misalnya upacara adat perkawinan,
upacara adat kematian, atau upacara adat menabalkan nama, dan lain-lain.
2
Dalam kebudayaan masyarakat di dunia ini, keluarga biasanya dapat dikelompokkan
berdasarkan kuantitas kekerabatannya. Unit keluarga yang paling kecil disebut dengan keluarga
inti (nucleus family), yang terdiri dari unsur ayah, ibu, dan anak-anaknya. Kemudian dikenal pula
keluarga luas (extended family), yang terdiri dari keluarga inti ditambah dengan kerabat-
kerabatnya seperti kakek, nenek, paman, bibi, kemenakan, dan lain-lainnya. Di dalam, beberapa
kelompok masyarakat di dunia ini, pola perumahan dan pemukiman juga mencerminkan bentuk
keluarga ini. Ada yang membangun rumah dengan fungsi utama untuk keluarga inti. Tidak jarang
pula yang mendasarkan perumahan berdasarkan keluarga batih, misalnya rumah lamin pada
masyarakat Dayak di Kalimantan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


perkawinan mau tidak mau pasti melibatkan mereka sebagai orang-orang tua

yang harus dihormati.

Manusia sebagai makhluk berbudaya mengenal adat istiadat3 perkawinan

yang harus dipatuhi dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengannya. Adat

istiadat perkawinan dalam suatu masyarakat berfungsi sebagai pedoman tingkah

laku dalam melaksanakan upacara perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu

tahap dalam keseluruhan daur kehidupan manusia yang sangat penting. Melalui

perkawinan seseorang akan mengalami perubahan status, yakni dari status

bujangan menjadi berkeluarga (dengan status suami atau istri), dengan demikian

pasangan tersebut diakui dan diperlakukan sebagai anggota penuh dalam

masyarakat.

Dalam sistem kekerabatan, perkawinan seseorang juga akan

mempengaruhi sifat hubungan kekeluargaan, bahkan dapat pula menggeser hak

serta kewajiban untuk sementara anggota kerabat lainnya. Misalnya seorang

abang yang tadinya bertanggung jawab atas adiknya seorang gadis, tetapi dengan

terjadinya ikatan tali perkawinan maka hak dan kewajiban seorang abang sudah

berpindah kepada suami sang adik. Setiap upacara perkawinan itu begitu penting

baik bagi yang bersangkutan maupun bagi anggota kekerabatan kedua belah

pihak pengantin. Sehingga dalam proses pelaksanaannya harus memperhatikan

3
Istilah adat istiadat ini, peneliti gunakan dalam konteks pemahaman adat dalam
kebudayaan Melayu secara umum.Adat istiadat adalah salah satu dari empat kategori adat Melayu,
yang terdiri dari: (a) ada yang sebenar adat, yaitu hukum alam yang ditentukan Tuhan Yang Maha
Kuasa; (b) adat yang diadatkan, yaitu sistem sosial yang dibangun orang Melayu, termasuk di
dalamnya kepemimpinan, (c) adat yang teradat, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang lama-lama
menjadi adat, di dalamnya terkandung makna adat dalam konteks perubahan ruang dan waktu; dan
(d) adat istiadat, yang biasanya dimaknakan sebagai upacara-upacara di dalam kebudayaan
Melayu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


serangkaian aturan atau tata cara biasanya sudah ditentukan secara adat yang

berdasarkan kepada hukum-hukum agama.

Dalam kebudayaan Melayu, termasuk di Tanjungbalai, konsep adat yang

digunakan mengacu kepada adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan

kitabullah, syarak mengata, adat memakai.4 Artinya apa yang ditetapkan oleh

4
Syarak atau syariat dalam konsep Islam artinya jalan yang sesuai dengan undang-undang
(peraturan) Allah SWT. Allah menurunkan agama Islam kepada Nabi Muhammad SAW. secara
lengkap dan sempurna, jelas dan mudah dimengerti, praktis untuk diamalkan, selaras dengan
kepentingan dan hajat manusia, dalam dimensi ruang dan waktu yang tidak terbatas. Syariat
berlaku untuk hamba-Nya yang berakal, sehat, dan telah menginjak usia dewasa. Bagi setiap umat
Islam, keharusan mematuhi peraturan ini diterangkan dalam firman Allah SWT. "kemudian Kami
jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah syariat
itu, dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui." (Q.S. 45/211-
Jatsiyah: 18). Syariat Islam ini, secara garis besar, mencakup tiga hal: (1) Petunjuk dan bimbingan
untuk mengenal Allah SWT dan alam gaib yang tidak terjangkau oleh indera manusia (ahkam
syar'iyyah i'tiqodiyyah) yang menjadi pokok bahasan ilmu tauhid; (2) petunjuk untuk
mengembangkan potensi kebaikan yang ada dalam diri manusia agar menjadi makhluk terhormat
yang sesungguhnya (ihkam syar'iyyah khuluqiyyah) yang menjadi bidang bahasan ilmu tasawuf
(ahlak); dan (3) ketentuan-ketentuan yang mengatur tata cara beribadah kepada Allah SWT atau
hubungan manusia dengan Allah (vretikal), serta ketentuan yang mengatur pergaulan/hubungan
antara manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungannya. Dewasa ini, umat Islam selalu
mengidentikkan syariat dengan fiqih, oleh karena sedemikian erat hubungan keduanya. Akan tetapi
antara syariat dan fiqih, sesungguhnya ada perbedaan yang mendasar. Syariat Islam merupakan
ketetapan Allah SWT tentang ketentuan-ketentuan hukum dasar yang bersifat global dan kekal,
sehingga tidak mungkin diganti dan dirombak oleh siapapun sampai kapanpun. Sedangkan fiqih
adalah penjabaran syariat dari hasil ijtihad para mujtahid, sehingga dalam perkara-perkara tertentu
bersifat lokal dan temporal. Itulah sebabnya ada sebutan fiqih Irak, Mesir, Arab Saudi, dan lain-
lainnya. Selain itu, karena fiqih hasil dari pemikiran mujtahid, maka ada fiqih Syafi'ie, fiqih Maliki,
fiqih Hambali, fiqih Hanafi. Oleh karena syariat Islam adalah ketetapan Allah SWT, maka
memiliki sifat-sifat: 1. Umum, maksudnya syariat Islam berlaku bagi segenap umat Islam di
seluruh penjuru dunia, tanpa memandang tempat, ras, dan warna kulit. Berbeda dengan hukum
perbuatan manusia yang memberlakukannya terbatas pada suatu tempat karena perbuatannya
berdasarkan faktor kondisional dan memihak pada kepentingan penciptanya. 2. Universal,
maksudnya syariat Islam mencakup segala aspek kehidupan umat manusia. Ditegaskan oleh Allah
SWT. "Tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan di dalam Kitab (Al-Qur'an)." (Q.S. 6/An-
An'am: 38). Maksudnya di dalam Al-Qur'an itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma,
hukum-hukum, hikmah-hikmah, dan tuntunan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.
3. Orisinil dan abadi, maksudnya syariat ini benar-benar diturunkan oleh Allah SWT, dan tidak
akan tercemar oleh usaha-usaha pemalsuan sampai akhir zaman. "Sesungguhnya Kamilah yang
menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya." (Q.S. 151 Al-Hijr: 9).
Firman Allah tersebut telah terbukti. Beberapa kali umat lain gagal memalsukan ayat-ayat Al-
Qur'an. 4. Mudah dan tidak memberatkan. Kalau kita mau merenungkan syariat Islam dengan
seksama dan jujur, akan kita dapati bahwa syariat Islam sama sekali tidak memberatkan dan tidak
pula menyulitkan. "Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
[Q.S. 2/Al-Baqoroh: 286). 5. Seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat. Islam tidak
memerintahkan umatnya untuk mencari kesenangan dunia semata, sebaliknya juga tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


syarak itulah yang harus digunakan dalam adat. Dengan demikian, upacara

perkawinan berdasarkan kepada adat dan adat berdasarkan kepada hukum Islam.

Dengan demikian dasar utamanya adalah Islam. Jadi semua konsep,

aktivitas, maupun koteks upacara ini harus berdasar kepada ajaran agama Islam.

Namun demikian, sebagai sebuah kebudayaan yang terdapat di dalam peradaban

Islam, maka kebudayaan Melayu juga memiliki ciri-ciri khusus yang

membedakannya dengan kebudayaan Islam di tempat lain, misalnya India,

Pakistan, Arab, Turki, dan lainnya, termasuk di dalam upacara perkawinan ini.

Salah satu konsep mengenai perkawinan di dalam agama Islam adalah

seperti yang termaktub di dalam Al-Qur‘an surat Ar-Ruum 21:

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia


menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.

Sebenarnya jika mengikuti ajaran Islam yang mendasar saja, terutama

syarat dan rukun nikah, maka tahapan upacara perkawinan cukup dilakukan secara

ringkas dan mudah. Dalam ajaran Islam, perkawinan itu sudah dapat dikatakan

sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Ajaran Islam perlu

memerintahkan pemeluknya mencari kebahagiaan akhirat belaka. Akan tetapi Islam mengajarkan
kepada pemeluknya agar mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat kelak.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


diterapkan di berbagai daerah dengan menyertakan adat istiadat yang telah

menjadi pegangan hidup masyarakat tempatan.

Rangkaian penyelenggaraan proses perkawinan masyarakat Melayu

khususnya masyarakat Melayu Tanjungbalai terdiri dari beberapa tahap, mulai

dari meminang hingga pernikahan berlangsung. Sebuah perkawinan yang normal

biasanya didahului dengan masa pertunangan/ikat janji antara pihak pria dengan

pihak wanita yang lamanya sekitar satu tahun. Kemudian dilanjutkan dengan

pernikahan atau peresmian. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan yang direstui

kedua orang tua ataupun keluarga masing-masing pihak, biasanya dilaksanakan

menurut tata cara atau adat istiadat perkawianan masyarakat Melayu yang

belandaskan kepada kaidah-kaidah ajaran agama Islam serta unsur budaya

tradisional.

Adat perkawinan dalam budaya Melayu terkesan rumit karena banyak

tahapan yang harus dilalui. Kerumitan tersebut muncul karena perkawinan dalam

pandangan Melayu harus mendapat restu dari kedua orang tua serta harus

mendapat pengakuan yang resmi dari tentangga maupun masyarakat. Pada

dasarnya, Islam juga mengajarkan hal yang sama. Meski tidak masuk dalam rukun

perkawinan Islam, upacara-upacara yang berhubungan dengan aspek sosial-

kemasyarakatan menjadi penting karena di dalamnya juga terkandung makna

bagaimana mewartakan berita perkawinan tersebut kepada masyarakat secara

umum. Dalam adat perkawinan Melayu, rangkaian upacara perkawinan dilakukan

secara rinci dan tersusun rapi, yang keseluruhannya wajib dilaksanakan oleh

pasangan calon pengantin beserta keluarganya. Hanya saja, ada sejumlah tradisi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


atau upacara yang dipraktikkan secara berbeda-beda di sejumlah daerah dalam

wilayah geo-budaya Melayu.

Dalam pandangan budaya Melayu, kehadiran keluarga, saudara, tetangga,

dan masyarakat kepada majelis perkawinan tujuannya tiada lain adalah untuk

mempererat hubungan kemasyarakatan dan memberikan kesaksian dan doa restu

atas perkawinan yang dilangsungkan. Perkawinan yang dilakukan tidak

berdasarkan pada adat Melayu setempat akan menyebabkan masyarakat tidak

merestuinya. Bahkan, perkawinan yang dilakukan secara singkat akan

menimbulkan desas-desus tidak sedap di masyarakat, mulai dari dugaan kumpul

kebo, perzinaan, seks pranikah, dan sebagainya.

Perkawinan dalam pandangan orang Melayu merupakan sejarah dalam

kehidupan seseorang. Rasa kejujuran dan kasih sayang yang terbangun antara

suami-istri merupakan nilai penting yang terkandung dalam makna perkawinan

Melayu. Untuk itulah, perkawinan perlu dilakukan menurut adat yang berlaku

dalam masyarakat, sehingga perkawinan tersebut mendapat pengakuan dan restu

dari seluruh pihak dan masyarakat.

Pembagian upacara perkawinan Melayu yang merupakan salah satu bagian

penting yang menyertai serangkaian upacara pernikahan menurut adat budaya

Melayu. Menurut Zainul (hasil wawancara 24 Mei 2015) rangkaian upacara dan

adat-istiadat perkawinan Melayu di Tanjungbalai biasanya dilalui oleh sepasang

mempelai pengantin sebelum, selama, dan setelah pernikahan meliputi:

1. Merisik melalui penghulu telangkai (disebut merisik kecil dan merisik resmi)

2. Jamu sukut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3. Meminang (ikat janji dan tukar tanda)

4. Mengantar bunga sirih

5. Malam berinai: berinai curi; berinai kecil; dan berinai besar

6. Akad nikah

7. Berandam dan mandi berhias

8. Bersanding

9. Nasi hadap-hadapan.

10. Serah terima pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan

11. Meminjam pengantin.

Upacara adat perkawinan biasanya memerlukan tiga masa proses, yaitu

(a) pendekatan terhadap calon pasangan hidup dan persiapan, (b) upacara

perkawinan itu sendiri, (c) berbagai aktivitas selepas upacara perkawinan. Dalam

bahasa yang singkat, ketiga proses itu adalah praupacara perkawinan, upacara

perkawinan, dan pascaupacara perkawinan (Takari, et al., 2015:107) .

Dari pendapat Takari et al. di atas, maka dapat dideskripsikan bahwa

terdapat tiga tahapan dalam upacara adat perkawinan Melayu. Tahap praupacara

perkawinan meliputi merisik, jamu sukut, meminang, dan mengantar bunga sirih.

Tahap perkawinan meliputi malam berinai, akad nikah, berandam dan mandi

berhias, bersanding dan nasi hadap-hadapan. Sedangkan tahap pascaupacara

perkawinan adalah serah terima pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin

perempuan dan meminjam pengantin.

Upacara malam berinai merupakan tahap dari upacara perkawinan yang

dilaksanakan sebelum acara bersanding dilaksanakan. Dalam realitasnya,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


penggunaan inai termasuk di dalam upacara perkawinan adalah sebuah institusi

budaya yang berusia relatif tua di dunia ini.

Dari penelusuran (http://patch.com/connecticut/greenwich/bp--history-of-

mehndi-history-of-henna) ditemukan seni berinai di India adalah

The art of applying henna in hands and feet is known as Mehndi


and it is a very old custom and ancient art form of the Asian subcontinent.
The propagators were the Mughals. The Mughals taught us all about the
history of Mehndi and introduced it to India during 12th century AD.
During that period the royal and rich use to decorate themselves with it.
The patterns were intricately made by the artists or the beauticians.
Indian weddings are incomplete without the mehndi ceremony. The
ritual of mehndi ceremony is followed in every part of the country where
the hands of the bride are adorned with the lovely red color of the mehndi.
On these festive or wedding occasions mostly traditional Indian designs
are made on the hands of the bride.
The origin can be from Egypt because it was one of the art forms in
Egypt. Henna has the power of medicine was also used as a cosmetic and
for its healing power for ages. The beautiful patterning prevalent in India
today has emerged only in the 20th century. India, most of the women from
that time in India is depicted with their hands and feet with red stain
designs. The art of Mehndi has existed for centuries. No exact place of its
origin is identified because of people in different cultures moving through
the continents and taking their art forms with them and therefore sharing
their art with everyone along the way.
(Seni yang menerapkan henna di tangan dan kaki dikenal sebagai
Mehndi dan itu adalah bentuk kostum dan seni kuno yang sangat tua dari
benua Asia, Dai, dan Mughal. Mughal mengajarkan tentang sejarah
Mehndi dan memperkenalkannya ke India sejak abad ke-12 M. Selama
periode tersebut, anggota kerajaan menghias diri dengan itu. Pola yang
rumit dibuat oleh seniman atau ahli kecantikan.
Pernikahan India tidak lengkap tanpa upacara mehndi. Ritual
upacara mehndi diikuti di setiap bagian dari negara di mana tangan
mempelai wanita dihiasi dengan warna merah yang indah dari mehndi
tersebut. Pada kesempatan ini, sebagian besar pernikahan tradisional India
dimeriahkan oleh desain henna ini, yang dibuat pada tangan pengantin
wanita.
Diperkirakan henna berasal dari Mesir karena itu salah satu bentuk
seni di Mesir. Henna memiliki kekuatan obat juga digunakan sebagai
kosmetik dan untuk daya penyembuhan selama berabad-abad. Pola-pola
indah (desain) di India saat ini telah muncul pada abad ke-20. Sebagian
besar wanita India digambarkan dengan tangan dan kaki mereka dengan
desain noda merah. Seni Mehndi telah ada selama berabad-abad. Tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ada tempat yang tepat dari asal-usulnya diidentifikasi karena orang-orang
dalam budaya yang berbeda bergerak melalui benua dan mengambil
bentuk seni mereka dan karena itu mereka berbagi seni dengan semua
orang di sepanjang jalan).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dinasti Mughal atau Mogul5

mengajarkan dan memperkenalkan inai ke India pada abad ke-12 M. Inai ini

merupakan salah satu bahan untuk mempercantik diri. Inai memegang peran

penting dalam acara khusus seperti upacara pernikahan, kehamilan pada usia tujuh

bulan. Di India, dua atau tiga hari sebelum pernikahan dilangsungkan, mempelai

wanita akan menghadiri pesta inai biasanya malam, yang diselenggarakan

bersama keluarga dan teman. Tangan mempelai wanita akan dihias inai dari ujung

jari sampai siku, dan di kaki dari ujung kaki sampai lutut. Nama mempelai laki

laki akan ditulis secara tersembunyi di sela-sela ukiran cantik inai yang dipasang

dan akan dijadikan kuis permainan pencarian nama calonnya. Pada saat sebelum

pernikahan dimulai diadakan permainan, dimana mempelai laki laki harus

menemukan lebih dulu dimana tulisan namanya disembunyikan sambil bernyanyi

dan menari.

5
Kesultanan Mughal atau Moghul (bahasa Persia: ‫ هّغم ىاٍاش‬Shāhān-e Moġul; sebutan
diri: ‫ ٓىاكزّگ‬- Gūrkānī) adalah sebuah negara yang pada masa jayanya memerintah Afghanistan,
Balokhistan, dan sebagian besar anak benua India antara 1526 dan 1857. Kesultanan ini didirikan
oleh pemimpin Mongol, Barbur, pada tahun 1526, ketika dia mengalahkan Ibrahim Lodi, Sultan
Delhi terakhir dalam Pertempuran Panipat I. Kata mughal adalah versi Indo-Aryan dari Mongol.
Agama rakyat Mughal adalah Islam. Kesultanan ini sebagian besar ditaklukkan oleh Sher Shah
pada masa Humayun. Namun demikian di bawah pemerintahan Akbar, kerajaan ini tumbuh pesat,
dan terus berkembang sampai akhir pemerintahan Aurangzeb. Jahangir, anak Akbar, memerintah
kerajaan ini antara 1605-1627. Pada Oktober 1627 Shah Jahan, anak dari Jahangir mewariskan
takhta dan kerajaan yang luas dan kaya di India. Pada abad tersebut, kerajaan ini merupakan
kerajaan terbesar di dunia. Kaisar Mughal Shah Jahan, memerintahkan pembangunan Taj Mahal
antara 1630-1653 di Agra, India. Setelah kematian Aurangzeb pada tahun 1707, kesultanan ini
mulai mengalami kemunduran, meskipun tetap berkuasa selama 150 tahun berikutnya. Pada 1739
dia dikalahkan oleh pasukan dari Persia dipimpin oleh Nadir Shah. Pada 1756 pasukan Ahmad
Shah merampok Delhi lagi. Kerajaan Britania Raya akhirnya membubarkannya pada 1857
(https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Mughal).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Selain itu, Cartwright-Jones (2008:5-6) menjelaskan tentang sejarah

berinai di Afrika Utara sebagai berikut,

Archaeological evidence in Egypt shows henna use during the


Bronze Age, though not as body art during the early dynasties. Old
Kingdom and Middle Kingdom Egyptians used henna on the fingernails of
the dead, to mask graying hair, and to treat skin diseases. The Minoan,
Cycladic, Ugaritic, Mycenaean, Canaanite and Punic cultures used henna
in an early form of the Night of the Henna between 3500 BCE and the
Roman period1. The Minoan2 and Phoenician diasporas carried the
practice of celebrational henna body art across the Mediterranean coast
into the North African Punic civilization as a part of the fertility religion
of Baal and Tanit. There is evidence of cosmetic, tattooing and
scarification body adornment in North Africa prior to the Bronze Age, but
at present I have found no absolute confirmation of henna body art other
than in connection with the early Tunisian, Phoenician, and Punic
cultures. North African women used henna during the Roman period in North
Africa, and henna was used in Italy as a remedy for gray hair during the
Roman Empire. The spread of Islam across North Africa reinforced the Night
of the Henna traditions, and henna use in other social celebrations.
(Bukti arkeologi di Mesir menunjukkan bahwa inai sudah
digunakan sejak Zaman Perunggu, meskipun tidak untuk seni tubuh
selama dinasti awal. Kerajaan Lama dan Mesir Raya Tengah
menggunakan henna pada kuku orang mati, untuk menutupi rambut
beruban, dan untuk mengobati penyakit kulit. Minoa, Cycladic, Ugarit,
Mycenaean, Kanaan dan Punisia telah menggunakan inai dalam budaya
Night of the Henna antara 3500 SM dan periode awal Romawi. Minoan
dan Phoenician melakukan praktik seni henna tubuh di pantai Mediterania
dalam peradaban Punisia Afrika Utara sebagai bagian dari kesuburan
agama Baal dan Tanit. Ada bukti dari kosmetik, tato, dan skarifikasi
perhiasan tubuh di Afrika Utara sebelum Zaman Perunggu, tetapi saat ini
telah ditemukan ada konfirmasi mutlak henna seni tubuh selain
sehubungan dengan budaya awal Tunisia, Phoenician, dan Punisia.
Perempuan Afrika Utara menggunakan henna selama periode Romawi di
Afrika Utara, dan henna digunakan di Italia sebagai obat untuk rambut
putih selama Kekaisaran Romawi. Penyebaran Islam di Afrika Utara
memperkuat Malam tradisi Henna, dan henna digunakan dalam
seremonial sosial lainnya).

Di dalam kebudayaan Arab, tradisi malam berinai atau henna adalah

tradisi pesta calon pengantin. Dalam malam ini, seluruh keluarga, sahabat, dan

kerabat berkumpul di rumah masing-masing mempelai untuk berpesta sehari

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sebelum pernikahan berlangsung. Corak inai dalam pernikahan juga tergantung

dengan kondisi, ada inai malam dan siang, bagi para peserta perkawinan

menggunakan inai sebagai simbol lahiriah dari partisipasi mereka dalam perayaan.

Biasanya pada hari Jumat mereka mewarnai rambutnya dengan inai dan tradisi ini

juga dilakukan pada saat Idul Fitri.

Inai juga digunakan wanita di Afrika, Asia, bahkan Amerika. Di beberapa

negara, inai digunakan di hari pernikahan, baik itu untuk mewarnai kuku, lengan

dan kaki para calon pengantin wanita. Selain untuk mempercantik penampilan,

penggunaan inai juga diyakini dapat melindungi pemakainya dari berbagai

gangguan. Di antaranya adalah tradisi memakai inai yang disebut henna belly,

yaitu melukis perut wanita yang sedang hamil tua.

Di Indonesia sebagian besar prosesi pernikahan tradisional di beberapa

daerah memasukkan pemakaian inai sebagai bagian dari ritual adat pernikahan,

yang masing masing daerah memiliki arti dan makna tersendiri. Sebagian besar

prosesi pernikahan tradisional di beberapa daerah yang ada di Indonesia

memasukan ritual pemakaian inai, sebagai salah satu ritual pernikahan. Masing-

masing daerah memiliki arti dan makna tersendiri untuk ritual tersebut.

Malam bohgaca dari Aceh adalah malam berinai yaitu mengenakan inai

dan dilakukan sebelum akad nikah dilangsungkan. Daun inai melambangkan isteri

sebagai obat pelipur lara sekaligus sebagai perhiasan rumah tangga. Daun inai

yang sudah di lepas dari tangkainya, ditempatkan dalam piring besar kemudian

ditumbuk. Daun inai ini akan dipakaikan beberapa kali sampai menghasilkan

warna merah yang terlihat alami.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Di Minangkabau dalam konteks upacara perkawinan ini, dilakukan pula

malam bainai yang lazim disebut juga malam seribu harapan, seribu doa bagi

kebahagiaan rumah tangga anak daro (calon mempelai wanita) yang akan

melangsungkan pernikahan esok harinya. Hasil tumbukkan daun inai, ditorehkan

pada kuku calon mempelai oleh orang tua, ninik mamak, saudara, handai taulan

dan orang-orang terkasih lainnya.

Selanjutnya terdapat upacara berpacar pada masyarakat Melayu di

Palembang. Upacara berpacar adalah mewarnai seluruh kuku tangan dan kaki,

juga telapak tangan dan telapak kaki yang disebut pelipit menggunakan daun inai.

Kesan merah pada pacar berguna untuk mengusir segala jenis makhluk halus, dan

daun pacar sendiri dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk memberi

kesuburan bagi pengantin perempuan.

Di tempat lain di Lampung, ada pula upacara pasang pacar biasanya

dilakukan satu hari, usai acara betanges (mandi uap) dan berparas

(menghilangkan bulu-bulu halus dan membentuk alis mata agar sang gadis terlihat

cantik menarik). Hal ini juga akan mempermudah sang juru rias untuk membentuk

cintok pada dahi dan pelipis calon pengantin wanita. Kemudian dilanjutkan

dengan acara pasang pacar (inai) pada kuku-kuku agar penampilan calon

pengantin semakin menarik pada keesokan harinya.

Seterusnya, dalam masyarakat Melayu Betawi di Jakarta, ditemui upacara

malem pacar, yang dilakukan usai prosesi ngerik atau mencukur bulu kalong dan

membuatkan centung pada rambut di kedua sisi pipi di depan telinga. Acara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


malem pacar adalah malam mempelai wanita memerahkan kuku kaki dan

tangannya dengan inai.

Seterusnya di Nusantara ini dijumpai upacara wenny mapacci dari Bugis

dan upacara akkorontigi dari Makasar. Upacara ini merupakan ritual pemakaian

inai ke tangan si calon mempelai. Inai ini memiliki fungsi magis dan

melambangkan kesucian. Menjelang pernikahan biasanya diadakan malam inai

atau wenni mappaci (Bugis) dan akkorontigi (Makasar).

Dari uraian di atas tergambar dengan jelas bahwa inai menyebar di

berbagai tempat di dunia dalam masa yang begitu panjang. Diperkirakan telah

wujud selama 5000 tahun, yang menyebar di kawasan-kawasan Mongol,

Balukhistan, Afghanistan, India, Arab, Afrika Utara, dan Asia Tenggara.

Fungsinya adalah untuk kecantikan dan estetika, kesehatan, pengawetan, bahkan

mencegah gangguan makhluk gaib secara supernatural, dan lain-lainnya. Dengan

demikian, inai dalam kebudayaan Melayu, memiliki hubungan dengan inai di

dalam kebudayaan masyarakat dunia dan Nusantara. Termasuk inai yang

difungsikan di dalam upacara perkawinan adat Melayu yang menjadi fokus kajian

penulis dalam disertasi ini.

Selain itu, penggunaan inai ini di dalam peradaban Islam juga dapat dilihat

dari hadits-hadits. Di antaranya adalah sebagai berikut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


―Dari Abdillah bin Umar secara marfu‘ dengan lafazh: ―Wahai
wanita-wanita Anshor warnailah kuku-kuku kamu (dengan inai
dan lainnya) dan berkhifadohlah (berkhitanlah) kamu semua, tetapi
janganlah berlebih-lebihan dalam berkhitan itu, mudah-mudahan
dengan khitan itu kamu mendapat kenikmatan.‖ (Imam Syaukani,
dalam Kitab NailulAuthor).

―Sesungguhnya alat terbaik yang dapat kamu gunakan untuk


merubah warna uban ini adalah inai dan katam.‖

Katam adalah sejenis tumbuhan yang mengeluarkan warna hitam

kemerah-merahan. Dalam konteks mewarnai uban, Islam mengajarkan jauhilah

warna hitam. Dalilnya adalah hadits Jabir berikut: ―Abu Quhaafah (bapak Abu

Bakar Sidik) pernah dibawa pada saat penaklukkan Mekah. Ketika itu, rambut dan

jenggotnya putih seperti kapas. Maka Rasulullah bersabda: ―Rubahlah warnanya

dengan sesuatu, dan hindarilah warna hitam.‖ (H.R. Muslim). Hadits-hadits

tersebut menjelaskan tentang inai dapat digunakan untuk berbagai fungsi di dalam

ajaran agama Islam, seperti fungsi estetika, mewarnai rambut (tetapi selain warna

hitam), dan lainnya.

Selain itu, dalam konteks Dunia Islam. inai ditanam secara komersial di

negara-negara Uni Emirat Arab, Maghribi, Algeria (Aljazair), Yaman, Tunisia,

Libya, Arab Saudi, Mesir, India, Irak, Iran, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan,

Turki, Somalia, Sudan, dan lain-lainnya (www.wikipedia.org). Dengan demikian,

inai adalah salah satu identitas budaya masyarakat Islam di dunia ini.

Orang Islam menggunakan inai untuk mewarnai rambut dan janggut

(jenggot) sepertimana yang diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Aktivitas ini

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


merupakan amalan sunah dan sangat disarankan. Diriwayatkan bahwa Nabi

Muhammad juga menganjurkan kaum wanita agar menggunakan inai ke kuku

tangan dan kaki, karena akan mudah membedakan antara tangan seorang

perempuan dengan tangan laki-laki.

Dengan melihat keberadaan inai dalam kebudayaan dunia secara umum,

dan Dunia Islam secara khusus, maka orang-orang Melayu melihat inai sebagai

sebuah kebudayaan yang dipandang baik dan kemudian diamalkan di dalam

konteks upacara perkawinan khususnya pada malam berinai. Penggunaan inai ini

memiliki nilai-nilai dan kearifannya sendiri di dalam kebudayaan Melayu,

termasuk kearifannya dalam konteks malam berinai. Di antara kearifan itu adalah

sebagai unsur kesantunan, kesetiakawanan sosial, rasa syukur, gotong royong, dan

peduli lingkungan.

Selanjutnya, dalam kebudayaan Melayu, makna dan tujuan dari perhelatan

upacara malam berinai adalah untuk menjauhkan diri dari bencana, membersihkan

diri dari hal-hal yang kotor, dan menjaga diri segala hal yang tidak baik. Di

samping itu tujuannya juga untuk memperindah calon pengantin agar terlihat lebih

tampak bercahaya, menarik, dan cerah. Upacara ini merupakan lambang kesiapan

pasangan calon pengantin untuk meninggalkan hidup menyendiri dan kemudian

menuju kehidupan rumah tangga. Berinai bukan sekadar memerahkan kuku,

namun mempersiapkan pengantin agar dapat menjalani pernikahan tanpa aral

rintangan. Dalam ungkapan adat disebutkan:

Malam berinai disebut orang

Membuang sial muka belakang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Memagar diri dari jembalang

Supaya hajat tidak terhalang

Supaya niat tidak tergalang

Supaya sejuk mata memandang

Muka bagai bulan mengambang

Serinya naik tuah pun datang

Bentuk kegiatannya bermacam-macam asalkan bertujuan mempersiapkan

pengantin agar tidak menemui masalah di kemudian hari. Dalam upacara ini yang

terkenal biasanya adalah kegiatan memerahkan kuku, tetapi sebenarnya masih

banyak hal lain yang perlu dilakukan. Upacara ini dilakukan oleh Mak Andam

dibantu oleh sanak famili dan kerabat dekat. Upacara berinai bagi pasangan calon

pengantin dilakukan dalam waktu yang bersama-sama. Hanya saja, secara teknis

tempat kegiatan ini dilakukan secara terpisah, bagi pengantin perempuan

dilakukan di rumahnya sendiri dan bagi pengantin laki-laki dilakukan di

rumahnya sendiri atau tempat yang disinggahinya.

Dalam upacara pernikahan masyarakat Melayu, pada umumnya malam

berinai digunakan untuk berkumpul dengan semua keluarga dan teman-teman

terdekatnya sebagai tanda melepas masa lajangnya untuk terakhir kalinya. Dahulu

malam berinai dapat dilakukan selama tiga malam yakni: malam pertama disebut

malam inai curi, dimana pengantin diberi inai oleh teman-temannya sewaktu ia

tidur sehingga tidak ketahuan. Malam kedua disebut malam inai kecil, pengantin

wanita dihiasi, didandani dan didudukkan di atas pelaminan yang dihadiri oleh

sanak keluarga, tetangga, dan kerabat untuk ditepungtawari. Lalu dilanjutkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dengan inai besar, terlebih dahulu tari inai ditampilkan dan tarian Melayu lainnya,

kemudian pengantin wanita dipasangkan inai pada kuku jari-jari tangan dan

kakinya oleh kedua orangtuanya, keluarga, dan teman-teman dekatnya. Setelah

semua acara selesai, selanjutnya pengantin wanita dipasangkan inai yang

sebenarnya yang disebut berinai besar. Dalam proses perkembangannya, kini

malam berinai hanya dilakukan satu malam saja karena faktor dan waktu yang

kurang mendukung. Sehingga, malam berinai yang dilakukan hanya malam

berinai besar saja. Kegiatan upacara berinai ini biasanya disertai dengan tari inai

dan musik iringannya.

Tari inai merupakan salah satu adat masyarakat Melayu di Tanjungbalai

yang bisa dikatakan sebagai pelengkap upacara adat, yang dilakukan oleh

golongan masyarakat yang tingkat perekonomiannya relatif baik. Di Tanjungbalai,

tari inai ini diberi nama tari gubang, yang pada dasar gerakannya berbeda dengan

tari inai yang ada di Melayu pesisir Sumatera Timur, Riau, dan Jambi. Jika tari

inai atau upacara malam berinai tidak diadakan, upacara pernikahan keesokan

harinya tetap berlangsung. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, malam

berinai sekarang dilakukan satu malam saja karena faktor waktu dan dana yang

terkadang menjadi kendala, sehingga malam berinai hanya dilakukan satu malam

sebelum keesokan harinya melakukan akad nikah. Kesenian inai adalah

merupakan seni pertunjukan yang melibatkan tari dan musik. Tarian ini biasanya

hanya dilakukan di rumah pengantin wanita saja, sedangkan di rumah pengantin

pria tidak dilakukan upacara malam berinai. Hanya saja inai dihantar dari rumah

pengantin wanita ke rumah si calon pengantin pria dan menurut adat diadakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tepung tawar kemudian dilanjutkan pemasangan inai ke kuku jari-jari tangan dan

kakinya oleh keluarga dan teman-teman dekatnya.

Dalam konteks Sumatera Utara, orang Melayu di Tanjungbalai memiliki

berbagai genre kesenian, yang difungsikan di dalam kehidupan mereka. Di antara

genre seni-seni Melayu adalah: marhaban, barzanji, syair, pantun, tari

Serampang dua belas, tari inang, tari zapin, tari inai, dan lain-lain. Di antara

kesenian tersebut, ada yang difungsikan di dalam upacara pernikahan

(perkawinan), terutama tari inai, persembahan, barzanzi, marhaban, kasidah, dan

sinandong.

Sinandong6 di Tanjungbalai merupakan warisan budaya Melayu dan

mempunyai nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk masa

kini dan masa yang akan datang. Tradisi ini sudah lama berperan sebagai wahana

pemahaman gagasan warisan tata nilai yang tumbuh di masyarakat. Tradisi

bersinandong ini juga berperan sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan

masyarakat.

Bersinandong ini sudah dilakukan masyarakat Tanjungbalai sejak dahulu.

Tradisi ini merupakan suatu sarana penting untuk mempertahankan eksistensi diri.

bersinandong tidak saja dipergunakan untuk memahami dunia dan

mengekspresikan gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai tersebut dari generasi ke

6
Kata sinandong adalah kata dalam bahasa Melayu Tanjungbalai, dalam teknik penulisan
karena dipandang sebagai istilah peneliti menulisnya dengan huruf miring, namun supaya efektif
hanya ditulis miring sekali saja dalam setiap bab disertasi ini. Istilah ini mengandung makna
sebagai satu genre seni pertunjukan musikal terutama vokal (yang selalu diiringi oleh instrumen
musik tradisi Melayu). Dalam dunia seni pertunjukan Melayu, ada perbedaan antara kata
sinandong dengan senandung. Sinandong adalah genre musik vokal yang terdapat di kawasan
Batubara, Asahan, dan Labuhanbatu (kesemuanya di Sumatera Utara). Di sisi lain, senandung
adalah salah satu rentak (irama) khas dalam musik Melayu yang relatif bertempo lambat (60
ketukan dasar per menit)—di samping rentak mak inang, zapin, lagu dua (joget), dan lain-lainnya.
Bisa juga dimaknai dengan dendangan musik vokal secara umum.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


generasi berikutnya, tetapi juga dipergunakan untuk menyampaikan pesan dan

petuah kepada masyarakat pendengarnya.

Masyarakat Melayu Tanjungbalai yang hidup di pinggir pantai sebagian

besar bekerja sebagai nelayan. Pada umumnya sinandong ini hidup pada

masyarakat nelayan. Masyarakat Tanjungbalai dikenal memiliki peradaban tinggi

dan budi bahasa yang halus dan kecerdasan emosional di antaranya tercermin

melalui karya-karya sastra tradisi lisannya. Karya sastra lisan ini berfungsi sebagai

medium untuk menyampaikan nilai-nilai peradaban Melayu berupa pantun,

mantra, jampi, dan sebagainya yang dapat disinandongkan atau dinyanyikan.

Kedudukan dan fungsi sinandong dalam dekade terakhir semakin tergeser

akibat kemajuan teknologi informasi, sistem budaya, sistem sosial, dan sistem

politik yang berkembang saat ini. Apalagi dalam kondisi masyarakat Indonesia

yang sedang membangun. Berbagai bentuk kebudayaan lama termasuk sinandong,

bukan mustahil akan terabaikan di tengah-tengah kesibukan pembangunan dan

pembaharuan yang makin meningkat, sehingga dikhawatirkan sinandong yang

penuh dengan nilai-nilai, norma-norma, dan adat istiadat, lama kelamaan akan

hilang tanpa bekas (Erwany, 2012 : 68).

Masyarakat terutama muda-mudi sudah tidak tertarik lagi dengan

sinandong, mereka lebih suka mendengarkan musik melalui media elektronik. Hal

ini dapat dibuktikan dengan hanya sedikit masyarakatnya yang mengetahui

tentang sinandong ini. Masyarakat yang mengetahuinya pun hanya tergolong

kepada masyarakat golongan tua dan itu pun tidak semua mengetahuinya, hanya

orang-orang tertentu saja.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Mengingat kedudukan dan peranan sinandong yang cukup penting sebagai

aset budaya, maka penelitian mengenai sinandong perlu dilakukan sesegera

mungkin. Terlebih lagi bila diingat terjadi senantiasa perubahan dalam

masyarakat, seperti adanya kemajuan-kemajuan dalam bidang teknologi, televisi,

dan internet yang dapat menyebabkan hilangnya sinandong di Asahan. Dengan

adanya penelitian sinandong berarti melakukan penyelamatan sinandong dari

kepunahan, yang dengan sendirinya merupakan usaha pewarisan nilai budaya

suatu suku atau bangsa.

Sinandong sebagai penafsiran tentang kehidupan masyarakat sudah tentu

bisa dikaji dari berbagai sudut dengan teori yang beragam. Pada kesempatan ini,

penulis akan menganalisisnya dengan menggunakan kajian arketipe. Sinandong

bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat. Akan

tetapi, sinandong bukanlah hanya mengungkapkan kenyataan itu saja, di dalamnya

diungkapkan pula nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung dari sekedar

kenyaan hidup itu.

Jati diri suatu bangsa, dalam berbagai kemungkinan skala, adalah sesuatu

yang sekaligus ditentukan oleh dua hal, yaitu: (a) warisan budaya yang berupa

hasil-hasil penciptaan di masa lalu, dan (b) hasi-hasil daya cipta di masa kini yang

didorong, dipacu, ataupun dimungkinkan oleh tantangan dan kondisi aktual dari

jaman sekarang (Sedyawati, 2010:379).

Satuan etnik pada dasarnya adalah suatu satuan kebangsaan jika dipahami

bahwa suatu bangsa ditandai oleh kebudayaannya. Sebagai tanda jati diri maupun

sebagai tanda pembeda dengan bangsa lain. Namun, dalam penggunaan istilah itu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


perlu diingat bahwa setidaknya ada tiga varian pengertiannya. Pertama, dalam arti

sama dengan satuan etnik. Kedua, dalam penggunaannya dalam teks-teks Melayu

didapatkan pengertian bahwa ‗bangsa‘ adalah suatu golongan dalam masyarakat

yang diperbedakan oleh status. Contoh, penggunaan kata ‗bangsawan‘ dalam arti

golongan kalangan atas dalam masyarakat, yang keturunan raja-raja. Ketiga,

dalam wacana modern, kata ―bangsa‖ itu dipakai dalam arti nation yaitu satuan

warga dari suatu negara. Jadi, melalui sebuah karya dapat dilihat jati diri sebuah

bangsa, misalnya melalui sinandong ini, penulis akan melihat jati diri masyarakat

pendukungnya.

Kearifan lokal hendaknya diartikan sebagai kearifan dalam kebudayaan

tradisional. Dengan catatan bahwa yang dimaksud dalam hal ini adalah

kebudayaan tradisional suku-suku bangsa. Kata ―kearifan‖ hendaknya dimengerti

dalam arti luas, yaitu tidak hanya berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya,

melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi,

penanganan kesehatan, dan estetika. Dengan pengertian tersebut, maka yang

termasuk penjabaran ‗kearifan lokal‘ itu, di samping peribahasa dan segala

ungkapan kebahasaan yang lain, adalah juga berbagai pola tindakan dan hasil

budaya materialnya. Dalam arti yang luas itu, maka diartikan bahwa kearifan lokal

itu terjabar ke dalam seluruh warisan budaya, baik yang tangible (warisan benda)

maupun yang intangible (warisan tak benda).

Seluruh hasil budaya suatu (suku) bangsa adalah sosok dari jati diri

pemiliknya. Namun, jadi diri bangsa itu bukanlah sesuatu yang harus statis.

Ungkapan-ungkapan budaya dapat mengalami perubahan, fungsi-fungsi dalam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


berbagai pranata dapat pula mengalami perubahan. Perubahan itu dapat terjadi

oleh rangsangan atau tarikan dari gagasan-gagasan baru yang datang dari luar

masyarakat yang bersangkutan. Pada suatu titik, rangsangan dan tarikan dari luar

itu bisa amat besar tekanannya sehingga yang terjadi bisa bukan saja pengayaan

budaya, melainkan justru mencabut akar budaya untuk diganti dengan isi budaya

yang sama sekali baru dan tidak terkait dengan aspek tradisi yang manapun.

Jika itu yang terjadi, warisan budaya sudah tidak mempunyai kekuatan lagi

untuk membentuk jati diri bangsa. Situasi yang lebih lunak dapat terjadi, yaitu jati

diri budaya lama berubah oleh pengambilalihan unsur-unsur budaya lain secara

agak besar-besaran (akulturasi), yang pada gilirannya membentuk suatu sosok

baru, namun masih membawa serta sebagian warisan budaya lama yang dapat

berfungsi sebagai ciri identitas yang berlanjut.

Salah satu aspek kebudayaan yang menarik minat para pemerhati

antropologi sastra adalah citra arketipe dan atau citra primordial. Secara historis,

ciri-ciri arketipe masuk dalam analisis karya sastra melalui dua jalur. Pertama,

melalui psikologi analitik Jung, kedua antropologi kultural Frazer. Tradisi pertama

menelusuri jejak-jejak psikologis, tipologi pengalaman yang tampil secara

berulang, sebagai ketaksadaran rasial, seperti: mitos, mimpi, fantasi, dan agama,

termasuk karya sastra. Tradisi yang kedua menelusuri pola-pola elemental mitos

dan ritual yang pada umumnya terkandung dalam legenda dan seremoni. Dalam

karya sastra gejala ini tampak melalui deskripsi pola-pola naratif, tipologi tokoh-

tokoh.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Wilber Skott menjelaskan arketipe menjurus kepada pencarian makna

simbol, ritual, dan unsur-unsur tradisi dalam karya sastra. Arketipe lebih tertumpu

kepada analisis yang bersifat mengkaji manusia, dengan tindak tanduknya

daripada mengkaji unsur intrinsik dan estetik karya sastra. Manusia dalam setiap

zaman tidak akan terlepas dari nilai budaya yang dibentuknya yang dapat

memberi arti pada bangsa itu sendiri. Begitu juga dengan nilai budaya itu sendiri

mempunyai hubungan dengan kejiwaan manusia. Sebagaimana menghormati dan

bangga terhadap amalan-amalan tradisi nenek moyang, begitu juga dalam tradisi

penulisan. Sepanjang hayat manusia ada aspek-aspek yang masih mendapat

tempat pada jaman modern ini, meskipun sudah diciptakan berpuluh-puluh abad

lamanya. Cerita yang telah dihasilkan pada jaman sebelum manusia mengenal

tulisan, di jaman Yunani kuno telah dihidupkan kembali dan mendapat tempat

yang besar di kalangan pembaca. Bentuk penulisan yang sudah klasik seperti yang

dicipta oleh Shakespeare, sepanjang jaman terus ditulis dan mendapat menggemar

yang baru (Sikana, 2009:138).

Kajian arketipe menekankan analisisnya pada aspek-aspek pengulangan

naluri dalam penciptaan sebuah karya sastra. Archetipe bermakna ―bentuk yang

bersejarah‖ atau ―bentuk asli yang digunakan berulang kali oleh pengarang.‖ Oleh

karena itu, kajian ini mencoba menguraikan aspek bentuk yang bersejarah atau

masa lampau dari sinandong Asahan.

Kajian arketipe ini bermula dari teori C.G. Jung, yang membahas tentang

simbol-simbol, pengalaman-pengalaman asli, mitos, legenda, unsur tradisi, dan

psikologi pembaca. Kajian ini memperkenalkan bawah sadar kelompok (collective

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


unconscious) yang dimiliki secara naluriah oleh pembaca. Rangsangan bawah

sadar ini diistilahkan sebagai imej dasar atau primodial images yang terbentuk

melalui pengalaman nenek moyang dan diwarisi dari satu generasi ke generasi

(Sikana, 2009:140).

Relevansi kritik arketipe terutama berfungsi sebagai energi kreativitas.

Sebagai kualitas ketaksadaran, citra arketipe tidak mesti dianggap sebagai gejala

yang statis. Benar, citra arketipe merupakan pemahaman apriori, tetapi

manifestasinya baik sebagai representasi mimpi dan fantasi, kreasi dan imajinasi,

maupun sebagai cerita rakyat dan fiksi modern, secara keseluruhan

dienergisasikan oleh ketaksadaran, berfungsi dalam proses produksi dan

kreativitas.

Citra arketipe dengan demikian melibatkan tiga disiplin yang berbeda,

sejarah, psikologi, dan antropologi. Atas dasar struktur historis, dengan

mempertimbangkan otoritas ras, suku, keluarga, dan kelompok-kelompok sosial

lainnya, arketipe tampil sebagai salah satu kecenderungan dasar manusia untuk

mempertahankan kualitas survivalnya. Atas dasar struktur psikologisnya, dengan

mempertimbangkan evolusi struktur biologis, khususnya otoritas genetika,

arketipe tampil sebagai salah satu kecenderungan manusia untuk mempertahankan

jejak masa lampau, khususnya insting. Jelas citra arketipe juga memiliki kaitan

erat dengan antropologi sosial, termasuk ketaksadaran Levi-Strauss.

Sastra adalah bagian integral kebudayaan, menciptakan berbagai aspek

kehidupan dengan cara imajinatif kreatif, sekaligus masuk akal. Antropologi

mempermasalahkan karya sastra dalam hubungannya dengan manusia sebagai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


penghasil kebudayaan. Manusia yang dimaksudkan adalah manusia dalam karya,

khususnya sebagai tokoh-tokoh. Dalam hubungan inilah karya sastra merupakan

sebagai studi multikultural, sebab melalui karya sastra dapat dipahami

keberagaman manusia dengan kebudayaannya.

Dengan demikian, penelitian ini membahas tentang bentuk tradisi, simbol,

jati diri orang Melayu, kearifan lokal, revitalisasi, dan kebudayaan yang

terkandung dalam tradisi malam berinai dan teks sinandong di Tanjungbalai yang

akan dianalisis dengan menggunakan teori arketipe dan semiotik.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang terarah, maka diperlukan suatu

fokus penelitian atau rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah performansi tradisi malam berinai dalam masyarakat

Melayu Tanjungbalai?

2. Bagaimanakah kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi malam berinai

dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai?

3. Bagaimanakah model revitalisasi tradisi malam berinai dalam masyarakat

Melayu Tanjungbalai?

4. Bagaimanakah citra arketipe orang Melayu Tanjungbalai dalam

sinandong?

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang dan rumusan masalah

penelitian, maka tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan performansi tradisi malam berinai dalam masyarakat

Melayu Tanjungbalai.

2. Menganalisis kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi malam berinai

dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai.

3. Menganalisis model revitalisasi tradisi malam berinai dalam masyarakat

Melayu Tanjungbalai.

4. Menganalisis citra arketipe orang Melayu Tanjungbalai dalam sinandong.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yakni manfaat teoretis dan

manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, temuan penelitian diharapkan bermanfaat untuk:

1. Memperkaya khasanah penerapan teori arketipe dalam kajian sastra.

2. Dijadikan model penelitian arketipe sastra terhadap kajian karya sastra

yang lain.

3. Sumber acuan bagi penelitian-penelitian berikutnya terhadap sinandong

Melayu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1.4.2 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini dapat memberi informasi tentang performansi malam

berinai dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai

2. Hasil penelitian ini dapat memberi infomasi kepada penikmat dan

pembaca tentang citra arketipe dan jati diri orang Melayu.

3. Karya sastra sebagai salah satu produk budaya juga sangat berperan dalam

membentuk kepribadian masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini

diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia khususnya

kabupaten kota terkait untuk mengambil kebijakan dalam bidang

kebudayaan.

4. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan oleh pemerintah kabupaten kota

untuk dijadikan sebagai khazanah pelestarian budaya daerah.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Pengkajian terhadap malam berinai dan sinandong Melayu ini sudah mulai

banyak dilakukan orang. Dari pengamatan penulis terdapat beberapa kajian

tentang malam berinai dan sinandong Asahan ini. Pertama, penelitian yang

dilakukan oleh Lela Erwany (FIB USU dan Balai Bahasa Medan, 2014) yang

dimuat dalam Proceedings International Conference, yang berjudul ―The

Revitalization of Bersinandong Tradition at Night Nail Decorating in

Tanjungbalai Weeding Ceremony.‖ Hasil menelitian ini menunjukkan bahwa

terdapat beberapa model revitalisasi yang bisa dilakukan agar sinandong ini tetap

eksis di tengah-tengah masyarakat.

Kedua, penelitian lain yang dilakukan oleh Lela Erwany (UMSU, 2013)

meneliti citra arketipe dalam sinandong yang dimuat dalam Bahtera, Jurnal

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Volume IV, Edisi Januari, yang

berjudul ―Citra Arketipe Sinandong Hiburan dalam Sinandong Asahan Melayu

Batubara‖. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa citra

arketipe dalam sinandong Asahan di Batubara. Penelitian ini berguna untuk

menganalisis citra arketipe yang terdapat dalam sinandong di Tanjungbalai,

karena pada dasarnya Sinandong Asahan yang ada di Tanjungbalai sama dengan

yang ada di Batubara.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Ketiga, penelitian lain juga dilakukan oleh Lela Erwany (UMSU, 2012)

meneliti sinandong Melayu yang dimuat dalam Bahtera, Jurnal Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia, Volume IV, Edisi Januari, yang berjudul

―Strukturalisme Dadong Sinandong Asahan Tanjung Balai‖. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa terdapat kepaduan dan koherensi antara penggunaan diksi,

tipografi, pencitraan, dan kelugasan pengungkapan dalam sinandong tersebut yang

bisa penulis pergunakan sebagai data awal untuk kajian intrinsik dalam penulisan

disetasi ini.

Keempat, Sahril (Balai Bahasa Medan, 2007) meneliti sinandong Melayu

yang dimuat dalam Medan Makna Volume 4 yang berjudul ―Sinandong dan

Estetika Melayu‖. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap kebudayaan

memiliki ekspresi-ekspresi estetik yang berkaitan dengan karakteristik masing-

masing masyarakat. Kesamaan yang diperoleh dari penelitian ini dengan

penelitian yang akan peneliti lakukan terhadap sinandong Asahan ini adalah

ekspresi estetik yang terdapat dalam sinandong tersebut bisa penulis jadikan

sebagai dasar untuk mengkaji unsur intrinsik yang dapat dalam sinandong

tersebut.

Kelima, Rospita Sari Dewi (UMN, 2015) dalam tesisnya yang berjudul

―Representasi Nilai-nilai Sosial dan Budaya dalam Sinandong Asahan di

Batubara‖. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai sosial dan budaya

yang terdapat dalam sinandong Asahan di Batubara adalah kepemimpinan,

stratifikasi sosial, bersyukur, nilai hedonik, nilai etis, moral dan religius, dan nilai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


praktis. Penelitian ini bisa peneliti manfaatkan sebagai bahan perbandingan untuk

mengkaji sinandong di Tanjungbalai.

Keenam, penelitian lain dilakukan oleh Tomi Vimika Putra (USU, 2015)

dalam tesisnya yang berjudul ―Struktur Dan Fungsi Seni Gubang Dalam

Kebudayaan Masyarakat Melayu Tanjung Balai‖. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa struktur seni gubang yang terdiri beberapa bentuk struktur

musik dan tari gubang, hubungan antara musik dan tari pada seni gubang, pola

lantai dan busana pada tari gubang. Gubang mempunyai empat fungsi hasil

penelitian lapangan. Dari sepuluh fungsi yang dikemukakan oleh Merriam, tidak

semua fungsi sesuai dengan gubang ini. Fungsi-fungsinya adalah fungsi

penghayatan estetis, fungsi sebagai hiburan, sebagai fungsi kesinambungan

budaya, dan fungsi ritual. Penelitian itu peneliti manfaatkan untuk mengkaji tari

gubang yang digunakan sebagai pelengkap dalam upacara malam berinai.

Ketujuh, Penelitian dilakukan oleh Miko Siregar (UI, 1996) dalam tesisnya

yang berjudul ―Tabuik Piaman, Kajian Antropologis terhadap Mitos dan Ritual‖.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem mitos berfungsi sebagai kode

kultural bagi pelaksanaan ritual di satu pihak, akan tetapi struktur ritual itu sendiri

terwujud dalam satu kekhasan struktur ritual yang merupakan manifestasi

masyarakat terhadap sistem tradisi. Hasil penelitian ini bisa penulis manfaatkan

untuk menganalisis sistem ritual dalam masyarakat Melayu Batubara dan

Tanjungbalai.

Kedelapan, Kajian yang dilakukan oleh Eprison (USU, 2009) dalam

tesisnya yang berjudul ―Jati Diri Masyarakat Kerinci dan Sastra Lisan Kerinci,‖

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


hanya membahas tentang jati diri masyarakat Kerinci dan nilai budaya yang

terkandung dalam sastra lisannya saja. Hasil penelitian ini akan penulis

manfaatkan sebagai perbandingan untuk melihat jadi diri masyarakat Melayu di

Kabupaten Batu Bara dan Kodya Tanjung Balai melalui Sinandong Asahan.

Kesembilan, Penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Erni Yunita

(USU, 2011) dalam tesisnya yang berjudul ―Analisis Semiotik Tradisi Bermantra

Pagar Diri di Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi

Sumatera Utara‖. Penelitian ini menggunakan teori Semiotik C.S. Peirce dan

analisis kearifan lokal teks mantra Pagar Diri, yang dapat penulis jadikan sebagai

perbandingan dalam menganalisis teks Sinandong Asahan.

Jadi, kajian terdahulu hanya membahas antropologi sastra terpisah dengan

kajian psikologi sastra. Sedangkan kajian arketipe adalah gabungan antara kajian

antropologi sastra dengan psikologi sastra. Dari uraian tentang hasil penelitian

terdahulu, maka dapat dilihat bahwa orisinilitas penelitian dengan judul ―Tradisi

Lisan Malam Berinai dan sinandong pada Masyarakat Melayu Tanjung Balai:

Kajian Arketipe‖ dapat dipertanggungjawabkan.

2.2 Konsep

2.2.1 Tradisi Lisan

Di tengah kemajuan peradaban umat manusia, yang ditandai dengan

pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan ilmu komunikasi

modern, tradisi lisan sebagai kekuatan kultural merupakan sumber pembentukan

peradaban dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini penting, karena tradisi lisan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dalam berbagai bentuknya sangat kompleks, mengandung tidak hanya cerita,

mitos, legenda, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang

menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya kearifan lokal

(local wisdom), sistem nilai, pengetahuan tradisional (local knowladge), sejarah,

hukum, adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi, dan berbagai

hasil seni.

Sesungguhnya membicarakan suatu tradisi baik lisan maupun tulisan

adalah suatu pembicaraan yang amat sukar dibatasi. Sebab tradisi dalam arti

serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai, yang diwariskan dari satu generasi ke

generasi berikutnya, boleh dikatakan hampir meliputi semua segi kehidupan suatu

masyarakat tertentu. Pada segi lain kesulitan tampak bagaimana tradisi itu

bergeser dan berubah mendapatkan semacam erosi dalam faktor-faktor yang

sangat kompleks dan sukar dibatasi batas waktunya.

Tradisi lisan merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu

yang muncul dalam bentuk lisan. Sepanjang sejarahnya manusia selalu perlu

berkomunikasi dan berekspresi sebagai salah satu manifestasi diri dan kelompok

sosialnya. Ekspresi lisan merupakan satu-satunya sarana paling efektif untuk

maksud-maksud tersebut, karena pada saat itu belum dikenal tulisan. Cerita dan

berbagai bentuk yang kini dikenal sebagai hasil kesusastraan pun diekspresikan

secara lisan, misalnya dengan cara diceritakan atau dinyanyikan secara keras di

hadapan sekelompok masyarakat pendukungnya pada waktu-waktu tertentu yang

dilakukan oleh tukang cerita (Nurgiyantoro, 2005:163-164).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Hal demikian terjadi secara universal dan dapat disaksikan adanya

berbagai cerita lama, atau yang dikenal sebagai sastra tradisional dari berbagai

belahan dunia. Cerita-cerita tradisional ini dapat berupa legenda, mitos, fabel, dan

berbagai cerita rakyat yang lain yang disebut folklore atau folklor. Bruchac

(Nurgiyantoro, 2005:164) mengemukakan bahwa, folklore merupakan jenis

pengetahuan tradisional yang disampaikan dari lisan ke lisan dalam sebuah

komunitas masyarakat kecil yang terisolasi. Berbagai pengetahuan tersebut dapat

disampaikan lewat nyanyian, permainan, cara berbicara, dan adat istiadat

sebagaimana halnya sebuah mitos atau legenda.

Vansina (1961:1) menjelaskan bahwa tradisi lisan adalah,

Oral traditions are historical sources of a special nature. Their special


nature derives from the fact that they are 'unwritten' sources couched in a
form suitable for oral transmission, and that their preservation depends on
the powers of memory of successive generations of human beings.
(Tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang bersifat khusus. Sifat
khususnya berasal dari fakta bahwa sifat khusus itu adalah sumber 'tidak
tertulis' yang ditulis dalam bentuk yang sesuai untuk transmisi oral, dan
bahwa pelestarian mereka tergantung pada kekuatan memori dari generasi
mendatang).

Berkenaan dengan hubungan antara tradisi lisan dan sejarah tertulis

(written history) Vansina(1961:1-7) memulai pembahasannya dengan mencatat

beberapa nama7 yang telah mengabdikan diri mereka pada beberapa penelitian

terdahulu tentang tradisi lisan terutama tradisi lisan yang dikaitkan dengan

nilainya sebagai sumber material sejarah (historical source material). Vansina

7
Nama-nama tersebut adalah E. Bernheim (1908), A. Feder (1924), dan W. Bauer (1928). Karya
Bernheim adalah Lehrbuch der historischen Methode und der Geschichtsphilosophie(Buku Teks
tentang Metode Sejarah dan Filsafat Sejarah) dan diterbitkan di Leipzig; Feder menulis buku
dengan judul Lehrbuch der geschichtlichen Methodik (Buku Teks tentang Metodologi Sejarah)
yang diterbitkan di Regensburg, dan Bauer menelurkan sebuah karya dengan judul Einfuhrung in
das Studium der Geschichte (Pengantar Studi Sejarah) dan diterbitkan di Tubingen.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menerima pendapat Bernheim tentang unsur-unsur tradisi lisan: narasi

(narratives), legenda, anekdot, peribahasa, dan syair atau lagu pendek yang

berkenaan dengan sejarah (historical lays) dan khusus tentang narasi ia

membedakan narasi dari pihak pertama (first-hand), laporan saksi mata

(eyewitness report), dan sumber-sumber lainnya, misalnya, pihak kedua (second-

hand) dan laporan kejadian berdasarkan desas-desus (hearsay reports of events).

Sementara itu, Finnegan (1992: 5) mendefinisikan ―lisan‖ (oral) sebagai

‗uttered in spoken words; transacted by word of mouth; spoken, verbal‘ (kata-kata

yang diucapkan; kata-kata yang diucapkan dengan mulut; terucap, verbal).

Finnegan berpendapat bahwa ‗lisan‘ (oral) ―sering dikontraskan dengan ‗tertulis‘

(written) atau ―lisan juga dikontraskan dengan segala sesuatu yang tidak verbal

atau tidak didasarkan atas kata-kata ...‖ Dengan demikian, maka ―'lisan' juga

memenuhi syarat secara umum seperti 'teks', 'puisi', atau 'narasi' baik menekankan

perbedaan antara bentuk tertulis dan lisan atau menggambar mereka dalam

perspektif komparatif yang sama‖ (Finnegan, 1992: 5).

Sementara tentang kelisanan (orality) Finnegan (1992: 6) menyatakan

pendapatnya sebagai berikut:

This [orality] implies a general contrast with ‗literacy‘, sometimes


associated with assumptions about the social and cognitive characteristics
of oral communication or the significance of oral culture witihin broad
stages of historical development‖
(Ini [kelisanan] memiliki perbedaan umum dengan
‗keberaksaraan‘, kadang-kadang diasosiasikan dengan asumsi-asumsi
tentang ciri-ciri sosial dan kognitif dari komunikasi lisan atau [tentang]
kepentingan dari budaya lisan [dimana asumsi-asumsi itu hidup] di dalam
tahapan-tahapan luas dari perkembangan sejarah).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Finnegan membuat beberapa batasan definisi tentang ‗tradisi‘ dan

pandangannya tentang ‗tradisi‘ ini banyak dipengaruhi oleh beberapa pakar,

misalnya, Vansina, Henige, Ben-Amos, Shils dan lain-lain. Pandangannya tentang

tradisi adalah

It [tradition] is used, variously, of: ‗culture‘ as a whole; any


established way of doing things whether or not of any antiquity; the
process of handing down practices, ideas or values; the products so
handed down, sometimes with the connotation of being ‗old‘ or having
arisen in some ‗natural‘ and non-polemical way (Finnegan, 1992: 7)
(Ini [tradisi] bagaimanapun memiliki banyak arti yang berbeda. Ia
digunakan, dalam berbagai variasi, misalnya: 'budaya' secara keseluruhan;
cara yang btelah ditetapkan untuk melakukan sesuatu atau tidak kuno;
proses penanganan tentang praktik, ide-ide atau nilai-nilai; produk yang
diturunkan (diwariskan), kadang-kadang dengan konotasi menjadi 'tua'
atau telah muncul dalam beberapa cara 'alami' dan non-polemik).

Ketika kata ini bertemu dengan kata ‗lisan‘ maka terbentuklah istilah

‗tradisi lisan‘ (oral tradition) yang dipandang penting untuk diperjelas dan oleh

karena itu, Finnegan berusaha keras untuk mendudukkan pengertian istilah ‗tradisi

lisan‘ seperti yang terlihat di bawah ini,

[Oral tradition] implies the tradition in questions is in some way 1)


verbal or 2) non-written (not necessarily the same thing), sometimes also
or alternatively 3) belonging to the ‗people‘ or the ‗folk‘, usually with the
connotation of non-educated, non-elite, and/or 4) fundamental and valued,
often supposedly transmitted over generations, perhaps by the community
or ‗folk‘ rather than conscious individual action (Finnegan, 1992: 7)
[Tradisi lisan] menyiratkan tradisi dalam beberapa cara 1) lisan
atau 2) tidak tertulis (tidak harus hal yang sama), kadang-kadang juga atau
pilihan lainnya 3) milik 'orang' atau 'rakyat', biasanya berkonotasi dengan
non-pendidikan, non-elit, dan / atau 4) yang mendasar dan dihargai, sering
diduga menular dari generasi ke generasi, mungkin oleh masyarakat atau
'rakyat' daripada aksi individu secara sadar).

Finnegan menganggap bahwa istilah ini tumpang tindih dengan

tradisi lisan, misalnya, dua implikasi dari kesusasteraan lisan adalah untuk

memberi penekanan pada aspek ‗literatur‘ atau ‗seni‘ dan juga memberi ruang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


bagi tindakan kreatif oleh individu-individu dan bagi bentuk-bentuk baru dan juga

lama.

Menurut Tim Peneliti Kajian Tradisi Lisan (2005:13) di dalam Pedoman

Kajan Tradisi Lisan, Penyusunan rancangan penelitian dalam Kajian Tradisi

Lisan pada dasarnya merujuk pada: RPJPN (Rancangan Pembangunan Jangka

Panjang Nasional) 2005-2025, yang diturunkan pada RPJMN (Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2010-2014. Semua ini diharapkan agar

dapat menghasilkan kajian yang dapat digunakan untuk menjawab masalah

persiapan menghadapi berbagai perubahan di Indonesia. Pada RPJMN 2010-2014,

mencakup kegiatan memantapkan kembali NKRI, membangun kemampuan

IPTEK, dan memperkuat daya saing nasional. RPJMN tersebut secara tidak

langsung mengandung arti pentingnya transformasi sekaligus inovasi bidang

sosial budaya menjadi fokus dalam kajian-kajian yang diperlukan.

2.2.2 Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai

Malam berinai adalah upacara pemberian inai kepada calon pengantin

yang dilakukan sebelum pengantin disandingkan di pelaminan esok harinya.

Malam Berinai biasanya dilaksanakan pada malam hari setelah selesai sholat Isya.

Malam berinai menjadi bagian yang sangat penting dalam acara memberi tanda

kepada pengantin. Acara memberi tanda kepada pengantin sudah dikenal

masyarakat Melayu sejak berabad silam. Acara ini kemudian dikenal sampai

sekarang dan lazim disebut malam berinai. Malam berinai hanya dilaksanakan di

rumah calon mempelai wanita. Sedangkan di rumah calon mempelai laki-laki

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tidak diadakan upacara malam berinai. Pengantin laki-laki mendapatkan inai dari

calon pengantin wanita, yang diantarkan oleh utusan dari calon pengantin wanita.

Pengantin laki-laki diinai oleh pihak keluarganya.

Pemberian inai kepada pengantin wanita adalah upaya memberi tanda

kepada pengantin sekaligus sebagai restu keluarga untuk mengizinkan calon

pengantin mendirikan rumah tangga baru. Di samping itu, malam berinai adalah

sebagai ucapan syukur dan meminta doa kepada Allah SWT agar pelaksanaan

perkawinan keesokan harinya berjalan dengan lancar, dijauhkan dari segala

halangan dan rintangan.

Tata cara berinai ada tiga, yaitu:

a. berinai curi,

Berinai curi dilakukan oleh keluarga tanpa mengundang tamu dan

tidak dilakukan di pelaminan. Berinai ditafsirkan untuk menambah

semangat calon pengantin dan mengusir setan dan roh ghaib. Setelah

menikah, inai adalah ikon untuk pengantin baru.

b. berinai kecil

Berinai kecil dilakukan calon pengantin dengan memakai pakaian

tengkuluk untuk laki-laki dan untuk perempuan memakai kebaya dan

selendang (jilbab). Berinai ini dilakukan di rumah calon pengantin

masing-masing di atas pelaminan yang dihadap oleh sanak keluarga.

Setiap orang menepungtawari dan melekatkan inai di telapak tangan

calon pengantin. Yang diinai adalah jari kaki dan pinggir tapak kaki

serta jari tangan dan telapak tangan. Hiasan inai di telapak tangan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


bermacam-macam bentuknya tergantung kepada keahlian si penginai

dan permintaan calon pengantin.

Berinai kecil maksudnya adalah menginai calon pengantin laki-laki

dan perempuan sebelum waktu diinaikan. Sedangkan waktu berinai

yang sebenarnya adalah setelah acara tepuk tepung tawar

dilaksanakan. Biasanya pelaksanaan berinai kecil dilakukan sehari

sebelum prosesi akad nikah. Pelaksanaannya dilakukan oleh satu

orang atau beberapa orang saudara mara calon pengantin baik laki-laki

maupun perempuan.

Maksud berinai kecil ( inai curi atau inai sendi ) adalah sebagai

pertanda bahwa calon penganti telah siap memasuki gerbang

pernikahan dan karena itulah yang diinai hanya pada ujung jari jemari

saja dan tidak sampai pada telapak tangan dan telapak kaki.

c. berinai besar.

Sebelum berinai besar, pihak perempuan mengantar inai kepada pihak

pengantin laki-laki. Dalam upacara ini, calon penantin diinai di rumah

masing-masing. Ditepungtawari dan diinai secara bergantian oleh

kaum keluarga terutama kaum perempuan. Biasanya pesta berinai

besar ini dilakukan pada malam sehari sebelum pesta perkawinan

dilakukan. Malam pesta berinai besar ini dimeriahkan oleh bunyi-

bunyian dan di depan calon pengantin dipersembahkan ―Tari Gubang‖.

Dahulu, malam berinai dilaksanakan tiga malam berturut-turut untuk

menghasilkan warna inai yang sempurna. Selaras dengan perkembangan zaman,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sekarang hanya dilakukan satu malam saja, yaitu malam berinai besar yang

dilaksanakan pada malam sehari sebelum duduk bersanding dilaksanakan.

Apalagi sekarang sudah ada inai yang berbentuk gel yang sangat praktis dalam

pemakaiannya dan menghasilkan warna yang sempurna. Sebelum upacara

pemberian inai, biasanya dipersembahkan beberapa pertunjukan dan dimeriahkan

dengan tari-taian, kasidah, dan sinandong. Tari Gubang ditarikan didepan

pengantin. Tari Gubang adalah tarian khusus yang dipersembahkan kepada calon

pengantin pada malam berinai yang dilaksanakan di Tanjungbalai.

Upacara atau acara pemberian inai kepada pengantin ini lazim disebut

"malam berinai." Upacara pemberian inai yang didahulukan oleh Tari Gubang ini

sangat khusus. Sebab acara ini hanya ada dalam malam berinai dan tidak

ditemukan dalam acara lain dalam persembahan seni kepada masyarakat luas.

Karena keistimewaan acara itu, maka penyajian Tari Gubang tidak seperti

penyajian tari-tari Melayu lainnya yang dapat ditampilkan dimana saja dan kapan

saja. Tari Gubang memiliki ruang dan alamnya sendiri yang kemudian

mengkhususkan kedudukannya.

Di daerah Melayu lainnya, tari ini disebut tari inai. Tari inai adalah tari

yang nyaris ada di semua daerah Melayu di Sumatera Utara seperti Langkat, Deli,

Serdang, Asahan, maupun Labuhan Batu. Masing-masing masyarakat Melayu di

daerah-daerah tersebut membentuk Tari Inai sesuai dengan alam, ungkapan dan

falsafah yang dimilikinya. Oleh karena itu Tari Inai bisa sangat beragam. Antara

daerah Melayu yang satu dengan daerah Melayu lainnya memiliki persamaan dan

perbedaan. Baik penamaan ragamnya, istilah geraknya, garis edar pola lantainya,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sampai kepada properti yang digunakannya. Meski demikian keberadaan Tari Inai

dimanapun tetap sama, yaitu sebagai bagian dari prosesi pemberian tanda kepada

pengantin wanita.

2.2.3 Sinandong

Sinandong merupakan produk sastra lisan yang masih hidup dan

berkembang dalam masyarakat Melayu tradisional. Sinandong dianggap sebagai

ciptaan orang Melayu, walaupun pada awalnya mendapat pengaruh dari Arab.

Sinandong yang berkembang dalam masyarakat Melayu sudah disesuaikan

dengan bentuk puisi orang Melayu.

Sinandong adalah sebuah ragam tradisi lisan berupa syair nyanyian yang

isinya menceritakan tentang perihal kehidupan masyarakat. Di dalam

pengucapannya memakai pantun dan mantra disertai kata-kata interjeksi dan suku

kata tanpa arti (non-meaning syllables). Berdasarkan asal usulnya sinandong

mengandung foklor dengan berbagai versinya.

Dalam konteks budaya Melayu Asahan, sinandong ini dibagi ke dalam

beberapa jenis yaitu:

1. Sinandong mengenang nasib, sinandong yang dinyanyikan oleh seorang

ibu yang mengenang nasibnya akibat kesusahan.

2. Sinandong anak atau dadong, sinandong yang dinyanyikan oleh seorang

ibu pada saat menidurkan anak.

3. Sinandong nelayan atau didong, nyanyian nelayan untuk memanggil

(memuja) angin.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4. Sinandong pengobatan atau gubang, nyanyian yang berfungsi untuk

memanggil roh-roh untuk memanggil orang sakit.

5. Sinandong muda mudi, jenis nyanyian yang dinyanyikan bersama-sama

dalam suatu permainan nek gobek pada saat bulan purnama.

6. Sinandong dobus, sinandong yang dinyanyikan sehabis bermain dobus

oleh salah seorang anggota dobus.

7. Sinandong hiburan, sinandong yang dinyanyikan pada waktu-waktu

tertentu dalam acara perkawinan, mencukur anak, dan lain-lain (Sahril,

2007:79-82).

Dari hasil pelacakan maka ditemukan asal mula sinandong dalam

sinandongmanca.blogspot.com. Asal mula sinandong ini berkaitan erat dengan

asal mula lagu Aloban Condong, Tari Gubang, dan Tari Patam-patam. Folklor ini

dibagi dua bagian. Bagian I menceritakan peristiwa di laut dan Bagian II

menceritakan peristiwa di darat sebagaimana tertera berikut ini:

Konon menurut cerita yang mempunyai kisah, ada 3 orang nelayan yang

mencari nafkah hidupnya menangkap ikan ke laut. Mereka bertiga menggunakan

sebuah sampan berwarna hitam dengan memakai layar putih yang terbuat dari

kain belacu, mengadu nasib dengan pertarungan sengit, dibuai ombak dan

hempasan badai. Mereka duduk di dalam sampan, seorang duduk di buritan

(diberi nama si buritan), seorang duduk ditengah (diberi nama si timba ruang), dan

seorang lagi duduk di muka (diberi nama si haluan).

Perahu mereka terombang-ambing oleh angin kencang yang tiada

mengenal belas-kasihan terhadap sang nelayan yang hampir kehabisan bekal. Dari

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kejauhan terdengar suara berisik, dahan kayu yang bergerak dipukul angin dan

suara air yang tak henti-hentinya berdebur di timba ruang perahu. Dengan rasa

kecut, mereka berpikir tidak akan sampai lagi ke laut. Kalaulah diteruskan mereka

akan mati kelaparan.

Di dalam rasa gundah-gulana mencekam diri mereka, Si Haluan duduk

memegang bangsi (seruling yang dibuat yang dibuat dari bambu). Ia mulai

meniup bangsinya, menirukan suara angin dan suara gesekan kayu dari kejauhan.

(Kata bagese akhirnya berubah menjadi bangsi) sedangkan si Timba Ruang terus

saja menimba air yang hampir saja memenuhi sampan itu. Seorang lagi yang

duduk di buritan mulai putus asa karena kemudi sampan itu hampir-hampir tidak

dapat lagi dikendalikannya. Tiba-tiba angin kencang itu mulai reda dan berhenti

berhembus. Mereka terkatung-katung dibuai oleh ombak yang sekali-sekali

mengangkat sampan mereka itu setinggi-tingginya dan menghempas kembali

dengan tiada ampunnya. Si Buritan memekik sekuat-kuatnya memanggil dan

memuja angin meminta pertolongan. Lagu ini akhirnya dinamai lagu Didong

seperti contoh berikut ini:

Oooooiiii... Batolurlah engkau Sinangin


Oooooiiii Batolurlah engkau sepanjang pantai
Oooooiiii Bahombuslah hai engkau angin
Oooooiiii Bahombuslah engkau angin
Supayo lokas kamilah sampai...

Lagu Didong adalah lagu memanggil angin. Sekonyong-konyong angin

mulai berhembus lemah, dan mereka mulailah mengembangkan layarnya untuk

kembali ke darat. Pulanglah mereka kembali dengan bekal yang hampir habis.

Dalam perjalanan pulang Si Buritan pun menyenandungkan akan nasib

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


peruntungnan yang menimpa diri mereka bertiga. Sedangkan Si Haluan seolah-

olah tidak memperdulikan lagi tentang nasib mereka itu, dan ia telah dihanyutkan

oleh angin tiupan bangsinya, yang mengalun-alun mengimbangi sinandong Si

Buritan, Si Timba Ruang terus saja melaksanakan tugasnya meimba air air yang

masuk kedalam sampan, karena pakal (tali penyumbat) sampannya ada yang

tanggal, yang menyebabkan air masuk ke dalam sampan, karena begitu kerasnya

ia menimba air itu, tak ubahnya seperti bunyi pukulan gendang. Tingkah

perbuatan mereka merupakan suara musik yang sangat merdu didengar dan sangat

memilukan hati bagi yang mendengarnya. Kekuatan daya tarik yang membuat

lagu ini sangat terkesan dihati disebut pitunang yakni orang dapat terpukau dan

tidak sadarkan diri jika mendengarkan lagu itu. Sinandong ini terdengar sampai

jauh sekali dibawa angin.

2.2.4 Adat Perkawinan Melayu di Tanjungbalai

Adat perkawinan Melayu yang dilaksanakan di Tanjungbalai pada

umumnya sama dengan upacara menurut adat istiadat masyarakat budaya Melayu

yang ada di Pesisir Timur Sumatera. Terdapat beberapa variasi yang tidak menjadi

dasar perbedaan yang berarti. Orang Melayu itu adalah mereka yang beragama

Islam, yang berbahasa sehari-hari berbahasa Melayu dan yang melaksanakan adat

budaya Melayu. Masyarakat budaya Melayu adalah kesatuan etnis8 berdasarkan

8
Etnik, kelompok etnik (ethnic group) atau dalam bahasa Indonesia suku bangsa atau
suku menurut disiplin ilmu antropologi (misalnya Narroll, 1964), adalah sebagai populasi yang:
(1) secara bilogis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang
sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan
komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh
kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Dalam konteks menganalisis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kultural bukan berdasarkan geneologis serta memakai hukum kekerabatan

parental. Adat-istiadat atau budaya yang diterima di jaman animisme, Hinduisme,

dan Budhaisme, sedikit demi sedikit disesuaikan dengan hal-hal yang tidak

dilarang oleh ajaran Islam, sehingga budaya Melayu ini menjadi sebagian dari

peradaban atau civilisation Islam (Basarshah-II, 2007:1).

Masyarakat Melayu begitu berpegang teguh dengan adat resam kerana ia

dipercayai mempunyai kesan dalam kehidupan. Bagi masyarakat Melayu, adat

resam perkawinan begitu dititikberatkan. Sesuatu upacara dalam peringkat

perkahwinan itu akan dijalankan dengan meriah dan penuh adat istiadat. Sanak

keluarga, handai dan tolan akan memeriahkan adat perkawinan tersebut.

Sebuah keluarga yang ideal terdiri dari orangtua dan anak-anak. Jika di

dalam keluarga tersebut seorang anak perempuan atau pemuda yang sudah akhil

balihg, maka tibalah saatnya untuk mempercepat agar mereka berumah tangga.

Apalagi jika ada anak perempuan yang sudah berumur dua puluh tahun, karena

umumnya gadis-gadis Melayu jaman dahulu kawin sebelum mereka berumur dua

puluh tahun.

Perkawinan bagi masyarakat pesisir bukan hanya sekedar untuk memenuhi

kebutuhan biologis manusia, tetapi juga merupakan pelaksanaan ajaran Islam dan

kegiatan sosial yang besar. Dalam ajaran Islam, perkawinan merupakan perbuatan

kelompok etnik ini adalah pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting,
karena hal ini akan terjadi dengan sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti:
perbedaan ras, budaya, sosial, dan bahasa. Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor
yang membentuk keragaman budaya. Ini mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesimpulan
bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi
terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya
kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menghasilkan
suku bangsa dan bangsa yang berbeda-beda di dunia. Tiap bangsa memiliki budaya dan
masyarakat pendukung tersendiri.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang sangat dianjurkan, bahkan nabi Muhammad SAW bersabda, "jika di antara

kamu melangsungkan pernikahan berarti kamu telah melaksanakan separuh dari

ajaran Islam.‖ Selain untuk mencegah perbuatan dosa, menikah juga bisa

menambah keluasan rezeki.

Beberapa hari sebelum peristiwa perkawinan ini berlangsung, semua

handai tolah dan sanak keluarga telah berkumpul di tempat pesta adat akan

berlangsung. Karena peristiwa perkawinan juga merupakan bersatunya dua

keluarga menjadi satu keluarga yang lebih besar dan terkadang juga merupakan

perwujudan satu peristiwa politik (mengenai perkawinan putra-putri raja-raja),

maka berbagai kegiatan seni (seni hias, seni ukir, sulaman, dan lain-lain)

diperagakan di sini oleh orang yang tua dan kemudian menjadi pedoman bagi

generasi yang muda (Basarshah-II, 2007:5).

Upacara perkawinan pihak bangsawan (raja-raja) tentu sedikit berbeda

dengan orang biasa tetapi hanya di dalam semaraknya upacara, dalam busana,

hiasan aksesoris emas dan berlian yang serba gemerlapan, dan berlangsungnya

hari-hari pesta. Di zaman sebelum Perang Dunia Ke-2, wanita golongan

bangsawan Melayu haruslah kawin dengan sesama golongan bangsawan juga.

Jika wanita bangsawan kawin dengan taraf masyarakat yang lebih rendah,

berlakulah istilah ―tidak kufu‖ dalam Islam, sehingga merupakan suatu

pelanggaran dalam adat dan perkawinan itu dipisah oleh mahkamah kerajaan

(Kerapatan Adat) dan mereka diceraikan serta yang laki-laki dihukum penjara.

Tetapi perkawinan seperti itu menjadi legal jika dengan ijin raja, karena status pria

tersebut dinaikkan menjadi bangsawan karena sebab-sebab pengabdiannya yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


luar biasa terhadap kerajaan. Anak yang lahir dari perkawinan ini diberi gelar

―Wan‖ atau ―Megat‖ sampai kepada anak cucunya (Basarshah-II, 2007:5).

Adapun fungsi raja dalam kerajaan Melayu adalah sebagai kepala

pemerintahan, sebagai kepala agama Islam, dan sebagai kepala adat. Untuk urusan

pemerintahan sehari-hari raja dibantu oelh Dewan Diraja, terdiri dari Raja

Muda/Putera Raja, Bendahara, Temenggung, Sri Maharaja, dan para Datuk/Wazir

lainnya. Sebagai kepala agama Islam, maka raja dibantu oleh Mufti Besar dan

para Kadhi atau Majelis Syar‘i.

Adapun adat-istiadat perkawinan menurut budaya Melayu yang terdapat di

pesisir Sumatera Timur adalah sebagai berikut:

1. Merisik dan Penghulu Telangkai

2. Jamu Sukut

3. Meminang

4. Ikat janji

5. Mengantar bunga sirih

6. Berinai:

a. Berinai curi

b. Berinai tengah

c. Berinai besar

7. Akad Nikah

8. Berandam dan mandi berhias

9. Bersanding

10. Nasi hadap-hadapan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11. Serah Terima Pengantin Laki-laki

12. Mandi berdimbar

13. Lepas Halangan

14. Meminjam Pengantin

15. Memulangkan Pengantin

16. Pengantin pindah ke rumah sendiri

Berikut ini akan dijelaskan satu persatu

1. Merisik dan Penghulu Telangkai

Jika sebuah keluarga mempunyai seorang gadis yang sudah dewasa dan

dikehandaki seorang pemuda, maka si pemuda mengabarkan secara tidak

langsung kepada kedua orang tuanya. Jika mereka setuju akan mempelai

perempuan itu, maka ditugaskanlah secara diam-diam seorang atau beberapa

orang wanita tua mendatangi wanita yang dikenal baik oleh keluarga si

perempuan untuk merisik (menyelidiki atau menyiasati) apakah baik kelakuan

dan rupa si gadis, dan pihak orang tua si gadis setuju akan kemungkinan pinangan

dari pihak mereka.

Adat ini juga dipanggil meninjau atau menengok. Tujuan adat ini

dilakukan adalah untuk memastikan bahawa gadis yang dihajati oleh seorang

lelaki itu masih belum berpunya. Ini penting, karena dalam Islam seseorang itu

dilarang meminang tunangan orang. Di samping itu, adat ini juga bertujuan untuk

menyelidik latar belakang si gadis berkaitan kemahiran rumahtangga, adab sopan,

tingkah laku, paras rupa serta pengetahuan agamanya. Lazimnya adat ini akan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dijalankan oleh saudara mara terdekat pihak lelaki seperti ibu atau bapa

saudaranya.

Dahulu, biasanya tugas ini tidak langsung diurus oleh penghulu

telangkai, tetapi melalui beberapa proses merisik oleh orang-orang lain terlebih

dahulu. Oleh karena fungsi penghulu telangkai adalah resmi diangkat dan ditunjuk

oleh kerajaan Melayu di tempat itu, maka umumnya proses telah sampai kepada

penghulu telangkai jika kira-kira kemungkinan besar pinangan yang akan diajukan

telah diterima.

Telangkai artinya penghubung. Dia melaksanakan tugasnya baik melalui

famili terdekat pihak si gadis ataupun langsung kepada ibu si gadis, dengan cara

diplomasi yang unggul. Umumnya dia memuji pula akan kebaikan pekerti dan

masa depan si anak lajang. Biasanya pada pertemuan risikan itu, tidaklah diterima

secara begitu saja karena masih perlu diselidiki lebih lanjut oleh pihak si gadis

tentang keluarga pihak si laki-laki. Jika pihak perempuan tidak setuju akan pihak

laki-laki, biasa tidak langsung ditolak di hadapan penghulu telangkai, karena

dikhawatirkan pihak laki-laki merasa terhina.

Pada pertemuan yang kedua atau setelah beberapa kali dan setelah pihak

orang tua si gadis telah pula mengirimkan ―mata-matanya‖ untuk menyrlidiki

asal-usul, tingkah laku, dan tampang si pemuda berkenan di hati mereka, barulah

hal tersebut dinyatakan setuju kepada penghulu telangkai. Biasaya tanda

persetujuan itu tidak dinyatakan terus terang tetapi dengan kiasan dengan

mengatakan bahwa, ―anak kami masih sangat muda dan masih serba kekurangan‖

atau ―anak kami tak tahu memasak, tak tahu menjahit.‖ Hal itu segera

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


disampaikan oleh penghulu telangkai sebagai kabar baik akan berhasilnya misi

tersebut. Setelah selesai tugas penghulu telangkai, maka kepadanya diberikan

sejumlah upah jerih payah oleh pihak laki-laki. Lalu kedua belah pihak masing-

masing memanggil ahli famili akrab dan anak beru masing-masing untuk

melakukan upacara jamu sukut (Basarshah-II, 2007:6-7).

2. Jamu Sukut

Setelah orang tua si gadis menerima jaminan penuh dari Penghulu

telangkai akan pinangan dari pihak si pemuda, lalu pihak si gadis mulai

mengundang puang-puang yaitu aluran tuturan saudara dan kakek dan nenek si

gadis, ahli kerabat lainnya yang rapat, dan anak-anak berunya. Anak beru adalah

menantu baik perempuan ataupun laki-laki. Ada juga anak beru condong, yaitu

menantu dari pihak ayah atau ibu.

Setelah berkumpul semuanya, diadakanlah jamuan makan. Setelah selesai,

orang tua si gadis mengatakan bahwa mereka telah menerima pinangan dari pihak

tertentu. Kemudian, disebutkanlah orangnya dan orang tua si peminang.

Kemudian diceritakan pula keinginan pihak si pemuda akan hari-hari datang

meminang dan sebagainya. Lalu ditentukan oleh puanglah kerja dari para anak

beru karena si tuan rumah dengan terus terang menyatakan apa-apa

kesanggupannya dan menyerahkan tugas selanjutnya kepada puang dan anak beru.

Jika buruk baiknya sama-sama baiknya dipikul.

Pelaksanaan dan tanggung jawab atas lancarnya pekerjaan terserah di atas

pundak anak beru. Tuan rumah berserta puang dan ahli famili semua bergotong

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


royong menyediakan segala sesuatu bahan dan benda yang diperlukan. Sebelum

upacara peminangan dilakukan maka masing-masing anak beru (baik wanita

maupun laki-laki) mengabari serta mengundang segenap ahli famili yang masih

dekat hubungan kekerabatannya dengan menyerahkan sirih dalam tepak yang

dibungkus kain ke rumah yang diundang.

Kepada Sultan atau Orang Besar dilakukan oleh saudara atau kerabat

terdekat atau puang dari orang tua si gadis untuk memberitahukannya. Setelah itu

bersiap-siaplah kedua belah pihak membuat pelaminan dan makanan serta

menghiasi rumah untuk dapat menampung tamu-tamu dari jauh dan dekat dari

kedua belah pihak.

3. Meminang

Pada hari dan jam yang telah ditentukan berkumpullah segenap puang,

anak beru dan ahli famili yang diundang di rumah orang tua si gadis menunggu

kedatangan rombongan utusan dari pihak pemuda. Maka sampailah pihak calon

pengantin pria yang dipimpin oleh orang-orang tua yang berpengalaman yang

semuanya telah berumah tangga (anak gadis ataupun janda muda tidak dibenarkan

ikut). Pihak calon pengantin laki-laki membawa beberapa rapa tepak sirih yaitu:

(a) 1 Tepak Pembuka Kata,

(b)1 Tepak Sirih Perisik,

(c) 1 Tepak Sirih Peminang,

(d)1 Tepak Sirih Ikat Janji, dan

(e) 4 Tepak Sirih Pengiring

Semua tepak sirih tersebut terbungkus rapi dengan kain bertabur.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dari pihak calon pengantin perempuan telah menanti pula:

(1) 1 Tepak Sirih Menanti,

(2) 1 Tepak Sirih Ikat Janji,

(3) 1 Tepak Sirih Tukar Tanda.

Orang tua dari kedua belah pihak tidak boleh hadir, hanya famili kedua belah

phak saja yang berhadapan, terutama anak beru, yaitu menantu pihak laki-laki dan

perempuan. Anak beru atau orang semenda (semando) mengetuai tiap-tiap

peralatan adat sesuatu keluarga. Biasanya yang tertua ataupun yang terpandai di

antara mereka. Kalau anak beru kurang pandai berkata-kata di dalam majelis ini,

diangkatlah juru bicara profesional pada kedua belah pihak yang pandai berpantun

dan ahli dalam upacara perkawinan.

Golongan perempuan dihadapi oleh perempuan dan ke ruangan dalam.

Golongan laki-laki dari kedua belah pihak duduk bersila berhadap-hadapan di

ruang depan atau ruang tengah yang disaksikan oleh penghulu telangkai sebagai

wasit atau orang tengah jika terjadi sesuatu kesalahtafsiran nanti. Biasanya selain

anak beru, masing-masing pihak menyediakan seorang ―ahli dan jagoan‖ dalam

soal ―bersilat lidah‖ mengenai merisik itu. Bersilat lidah yang itu kadang-kadang

memakan waktu berjam-jam lamanya, malahan ada pihak laki-laki yang terpaksa

kembali untuk diulangi lagi di lain waktu disebabkan tidak dapat memaparkan

kehendak secara teratur. Hal ini sangatlah memalukan jika itu terjadi.

Seperti telah dikatakan di bagian lain, suku Melayu itu untuk mencapai

atau memberitahukan kehendaknya tidaklah langsung tetapi selalu dengan jalan

kiasan atau sindiran. Kemudian rombongan pihak laki-lakipun membalas

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pertanyaan pihak tuan rumah mengenai apa gerangan maksud kedatangan sambil

menyorongkan Tepak Pembuka Kata, dengan hulu (gagang) sirih terlebih dahulu

menuju ke pihak tuan rumah.

Umumnya pihak laki-laki yang kebanyakan menerima sindiran, tetapi

mereka bersedia ―mengalah‖ asal menang mendapat apa yang dicita-citakan.

Tepak sirih pihak laki-laki diedarkan oleh pihak tuan rumah ke pihak mereka agar

masing-masing dapat mengecap sirih sekapur pinang sekacip. Lalu oleh pihak

laki-laki disorongkan pula lagi Tepak Merisik dengan diiringi tepak sirih

pengiring lainnya. Sambil makan sirih itulah sering timbul pantun-memantun,

ajuk-mengajuk, sindir menyindir dan keluarlah segala pepatah petitih pusaka

budaya yang tinggi dari adat istiadat Melayu. Memang didalam periode risikan

melalui Penghulu Terangkai dahulu telah ditentukan segala sesuatunya encer-

encer perjanjian tetapi dalam upacar resmi peminangan itu, pihak tuan rumah

berbuat seolah-olah ia bertahan dan tidak mudah meluluskan permintaan pihak

laki-laki begitu saja.

Setelah berbeka-beka sekian lamanya akhirnya tentu ada penyelesaian

sesuatu, terutama tatkala pihak laki-laki mengutarakan kehendak kedatangannya,

maka seluruh hadirin mendengarkan dengan penuh perhatian dan sopan santun.

Secara resmi pihak perempuan bertanya kira-kira siapa calon yang meminang,

siapa gadisnya yang hendak dipinang, apakah calon mempelai laki-laki sehat dan

tiada cacat.

Hal itu perlu diutarakan sekali lagi di depan orang banyak, agar jangan

terjadi salah paham di belakang hari karena pa yang dihajat lain yang diperoleh.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Menyalahi jawaban berarti pada waktu pernikahan kelak pihak perempuan atau

masing-masing pihak dapat menolak jika tidak sesuai dengan apa yang dinyatakan

dan diuraikan. Akhirnya segala sesuatu diterima oleh pihak perempuan.

Merekapun mulailah memakan Sirih Risik yang dari tadi belum diusik-usik lalu

diedarkan ke ruangan dalam untuk dimakan oleh wanita-wanita di sana.

Perlu dicatat bahwa di dalam upacara meminang itu baik orang tua si gadis

maupun para puang yang tepat tidaklah hadir dalam perundingan. Setelah risik

diterima, maka pihak laki-laki menyodorkan kepada pihak perempuan ―Sirih

Peminang‖ dan pihak perempuan setelah mendengar ikrar janji laki-laki lalu

menerima sirih peminang tersebut dan disodorkan pula ke ruangan belakang agar

dicicipi oleh kaum wanita.

4. Ikat janji

Dalam upacara Peminangan itu diambillah keputusan yang dibuat ikat janji

yang isinya :

a) Berapa besar (uang antaran)

b) Besarnya ―Uang Hangus‖ (Uang Cuci Kaki) untuk biaya peralatan

pengantin perempuan.

c) Ikat tanda (biasanya rantai atau cincin).

d) Bila hari nikah berlangsung

e) Kelangkahan.

Setelah disetujui masalah di atas, maka kedua belah pihakpun

menyorongkan tanda ikat janji. Misalnya pihak laki-laki mengeluarkan sebentuk

cincin yang berada dalam tempat yang indah disertai tepak ke pihak perempuan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dan demikian pula sebaliknya dari pihak perempuan ke pihak laki-laki sebagai

tanda mereka telah bertunangan dan pinangan telah diterima dan diikat.

Bila nanti pernikahan telah selesai berlangsung, tanda itu dikembalikan

lagi oleh masing-masing pihak (kalau cincin tidak) demikian pula jika kawin tak

jadi oleh sebab kematian salah satu pihak, bila cacat dan sebagainya. Jika pihak

pengantin perempuan mungkir janji, tanda harus dikembalikan berganda yang

disebut ―Terpijak Tanda.‖

Setelah segala sesuatu pembicaraan selesai dengan baik, maka ―Sirih

Ikat Janji‖ pun dipertukarkanlah dan dimakan bersama-sama dan sirih pengiring

diberikan kepada pihak perempuan. Kemudian diadakanlah jamuan makan oleh

tuan rumah dan dibacakan doa selamat. Segala tepak sirih yang dibawa untuk

sementara ditinggalkan di rumah pihak perempuan dan beberapa hari kemudian

barulah dikembalikan agar ada kesempatan membagi-bagikan sirih tersebut

kepada famili dekat maupun jauh. Biasanya uang antaran (mahar) dibayar separuh

pada waktu nikah dan separuh lagi pada waktu ―Naik Badan‖ (bersanding).

Setelah selesai semuanya maka pihak laki-lakipun bermohonlah untuk pulang.

Para anak beru pihak perempuan kemudian melaporkan semua dari hasil

perundingan tadi kepada orang tua si gadis dan para puang. Jika pada waktu itu

kebetulan pada Hari Raya Islam, maka kedua belah pihak saling mengirim

daging/makanan/kue.

5. Mengantar bunga sirih

Orang tua pengantin laki-laki meminta kepada para puang, anak-anak beru

dan ahli kerabat yang diundang untuk bersedia membuat ―Tepak Bunga Sirih‖

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


untuk diantarkan nanti ke rumah pengantin perempuan. Dengan sendirinya famili

yang diundang jamu sukut sudah harus menyediakan tepak bunga sirih tersebut.

Semakin banyak tepak bunga sirih yang diantar, semakin menunjukkan besarnya

famili dan kerabat pihak laki-laki. Tepak bunga sirih itu dibuat bermacam-macam

bentuk, ada bentuk buah-buahan, rumah-rumahan, binatang dan lain-lain lagi yang

indah serta beraneka warna, masing-masing berlomba-lomba melebihi kecantikan

yang lain. Biasanya juga di masing-masing tepak bunga sirih ada diselipkan

pantun untuk kedua mempelai. Tepak Bunga Sirih ada pula kepalanya, yaitu

Tepak Bunga Sirih dari salah seorang ahli famili yang tertua. Tepak sirih ini harus

diantar ke rumah pihak perempuan sebelum upacara bersanding dimulai.

6. Berinai

Sebelum menikah kedua pengantin diinai di rumah masing-masing. Untuk

mengambil restu, maka beberapa famili yang tua-tua menepungtawari mereka

masing-masing terlebih dahulu. Jadi, sebelum acara bersanding diadakan, maka

dilakukan tiga kali upacara berinai, yaitu:

a. Berinai curi

Malam sebelum akad nikah dilakukan, maka diadakanlah malam berinai.

Berinai adalah memberi inai atau daun pacar di kuku serta ujung jari tangan dan

kaki. Inai adalah sebangsa tumbuh-tumbuhan jika ditumbuk halus dan

dilengketkan di tangan atau bagian tubuh akan meninggalkan warnah merah.

Berinai curi adalah pengantin diinai oleh orang serumah saja tanpa mengundang

tamu atau naik di pelaminan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


b. Berinai Tengah

Di dalam berinai tengah ini, calon pengantin dihiasi sesuai menurut

pakaian perkawinan, yaitu laki-laki pakai baju tengkuluk dan pengantin

perempuan memakai kebaya dan memakai tudung, semuanya dilakukan di atas

pelaminan di rumah masing-masing dan di hadiri oleh tetangga dan sanak famili

yang dekat. Setiap orang menepungtawari dan mencolekkan sedikit inai ke telapak

tangan calon pengantin dan nanti jika di kamar barulah diadakan inai yang

sebenarnya. Yang diinai adalah ujung jari tangan dan kaki, pinggir telapak tangan

dan kaki, dan telapak tangan. Sekarang sudah ada seni berinai dengan motif yang

indah dan menarik.

c. Berinai Besar

Sebelum berinai besar, pihak perempuan mengantar inai kepada pihak calon

pengantin laki-laki. Di dalam berinai besar ini, kedua pihak calon pengantin

memanggil seluruh famili dan handai tolan (undangan). Biasanya, malam persta

berinai besar ini dimeriahkan oleh bunyi-bunyian dan ditarikan di depan

pengantin tari inai. Sekarang ini, untuk menghemat biaya dan efisien waktu,

hanya berinai besar saja yang dilakukan, itupun hanya mengundang sanak saudara

dan kerabat dekat saja.

7. Akad Nikah

Pada waktu hari dan jam yang sudah ditentukan maka pengantin laki-laki

dengan pakaian yang dijanjikan pula (biasanya berpakaian haji, serban tegang dan

jubah panjang) diantar oleh rombongannya diketuai oleh anak beru. Jumlah

anggota rombongan tidak banyak dan suami istri. Jika seandainya pengantin laki-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


laki tidak berpakaian sebagaimana yang dijanjikan maka pihak pengantin

perempuan berhak untuk menolaknya. Hal itu sering terjadi.

Pada waktu itulah separuh uang mahar dibayar. Uang mahar itu

dibungkus dengan kain tujuh lapis dengan aneka warna ditambah sedikit bertih,

kunyit, bunga rampai, dan beras kuning yang semuanya diikat dengan benang

simpul hidup. Lalu ―dilipat sela‖, kemudian ―dibuku bemban‖ dan dimasukkan ke

dalam sebuah batil perak, dibungkus baik-baik dalam sehelai kain panjang dan

setelah itu baru diletakkan di atas sebuah dulang kecil yang dinamakan

―semberib‖. Kemudian diberi semuanya bertutup dan diletakkan bunga-bunga di

atasnya. Di samping itu pula, diletakkan ―tepak sirih‖ yang berisi uang yang akan

diberikan untuk tuan kadi. Kemudian dibawa perlengkapan tempat tidur (ini bisa

hanya disebutkan saja, karena biasanya sudah diserahkan sebelum akad nikah).

Akhirnya, dibawalah kembali ―tanda‖ yang nanti setelah selesai akad nikah akan

dikembalikan oleh masing-masing pihak.

Pada suatu tempat yang khusus, didudukkanlah pengantin laki-laki di

atas tilam yang agak tinggi dengan dialas seprai yang berwarna putih atau untuk

para bangsawan di alas dengan ―tikar ciau‖. Kemudian, diletakkan tepak nikah si

gadis di sebelah kanan menghadap tempat duduk dan tepak nikah si pemuda di

sebelah kiri. Didekat tilam itu tersedia segelas air putih, gunanya untuk pengantin

dan wali nikah, jika tidak lancar mengucapkan akad nikah. Rombongan pihal

pengantin laki-laki yang pria dipersilahkan duduk di ruangan muka tempat

upacara dan yang wanita di ruangan dalam.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tepak nikah, bungkusan uang mahar, dan tepak janji diletakkan di

tengah-tengah majlis. Setelah diadakan upacara ucapan selamat datang dari pihak

tuan rumah, maka anak beru pengantin perempuan mempersilahkan calon

pengantin laki-laki dan tuan kadi untuk memulai upacara akad nikah menurut

hukum Islam, setelah terlebi dahulu tuan kadi mendapat izin dari calon pengantin

perempuan dan orang tuanya.

Setelah akad nikah selesai, maka tuan kadi membacakan doa selamat.

Kemudian anak beru pihak pengantin perempuan barulah mulai memeriksa uang

antaran dan menghitung jumlahnya sesuai dengan perjanjian. Jika jumlahnya

sudah cukup, maka uang itu dibungkus kembali dan disorongkanlah ke ruangan

dalam agar diterima oleh orang tua pengantin perempuan untuk kemudian

diserahkan kepada pengantin perempuan. Selanjutnya pihak pengantin laki-laki

dan perempuan masing-masing mengembalikan tanda ikat janji. Jika tanda ikat

janji tersebut berupa cincin sering tidak dipulangkan lagi oleh kedua belah pihak

sebab dianggap tukar cincin.

Kemudian diedarkanlah jamuan makan ala kadarnya. Untuk pengantin

laki-laki dibuat santapan khusus. Biasanya dia makan ditemani oleh anak-anak

muda yang belum kawin dari kalangan pihak pengantin perempuan, seperti

saudara sewalinya, kemenakan, dan sebagainya.

8. Berandam dan Mandi Berhias

Di rumah pengantin perempuan, dilakukan upacara ―berandam‘ untuk

mempelai perempuan. Ini dilaksanakan di pagi hari. ―Berandam‖ adalah

mencukur anak rambut dibagian kening dengan pisau cukur. Pengantin

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


didudukkan di tempat berandam, lalu dibentangkan kain putih dipangkuannya.

Lalu benang dililitkan dan dikalungkan di lehernya seperti rantai. Bidan mulai

mengambil rambut dan mulai menggunting sedikit demi sedikit agar cantik di

dandan dan dengan pisau cukur lalu pengantin diandam. Pengantin laki-laki juga

diandam yang dikerjakan oleh tukang pangkas.

Mandi berhias dilakukan pada pagi hari setelah berandam dan sebelum

bersanding. Mandi berhias adalah mandi dengan air wangi-wangian dan air ukup.

Setelah itu pengantin perempuan bersiap-siap untuk hari bersanding. Di dalam

berhias menjelang hendak naik bersanding perempuan biasa menggunakan dua

macam jenis sanggul, yaitu sanggul ―lipat pandan‖ (sanggul ala Palembang) atau

―sanggul tegang‖. Sebagai perhiasan, di sekelilingnya diberi bunga warna emas.

Kadang-kadang sanggul ini sangat tegang, sehingga tidak jarang mengakibatkan

luka di kepala atau pingsan. Pengantin laki-laki memakai destar.

9. Bersanding

Bersanding adalah acara dimana pengantin laki-laki dan perempuan duduk

bersanding di pelaminan. Pada acara ini kedua pengantin duduk di pelaminan

ibarat seorang pangeran dan permaisuri sehari. Kedua pengantin dihias sehingga

tampak gagah dan cantik mempesona.

Pengantin perempuan sudah siap diapit oleh anak beru dan diapit pula di

kiri kanan oleh ―gading‖ (dua orang gadis kecil membawa kipas) naik ke

pelaminan. Lalu tabir pun ditutuplah. Di dekat pelaminan telah tersedia alat-alat

tepung tawar, balai tingkat tiga. Lilin pun dipasang, berkat-berkat telah tersedia.

Sementara itu pengantin dengan didampingi oleh bidan, memejamkan mata

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sambil menggenggam sirih genggaman. Di depan tabir berdiri di kiri kanan anak-

anak beru golongan wanita. Para ahli famili pihak pengantin perempuan dan

handai tolan serta para undangan sudah penuh berdatangan dan mengambil tempat

masing-masing. Pasukan pemukul rebana telah menunggu dan demikian pula

tukang penjulang pengantin laki-laki.

Di rumah pengantin laki-laki, pengantin telah siap memakai destar dan

menggenggam ―Sirih Genggaman‖ serta diapit oleh gading-gading (dua orang

anak laki-laki kecil). ―Sirih Genggam‖ ialah sebuah kelongsong dari tembaga atau

kaleng tempat mencacakkan beberapa tangkai ―Bunga Goyang‖ dari perak atau

sepuhan di sela oleh daun sirih yang ditebuk. Segenap undangan yang terdiri dari

anak-anak beru baik laki-laki maupun wanita, para puang dan famili-famili rapat

maupun yang termasuk rombongan ikut mengantar telah berkumpul semuanya.

Pengantin pun lalu menghadap dan menyembah serta mencium tangan kedua

orang tuanya meminta doa restu. Balaipun telah tersedia untuk dibawa. Demikian

pula payung tepak sirih penyongsong, bidan, pembawa sirih pengantin, sisa uang,

uang ampang pintu dan uang buka kipas yang dipegang di dalam uncang kuning

oleh ketua anak beru pria dan ketua anak beru wanita masing-masing. Segala

sesuatunya jangan ketinggalan menurut perjanjian dan sesuai dengan adat.

Balai diiringi ―bunga sirih‖, serenteng rantang yang berisi hidangan nasi

dengan lauk pauknya (disebut ―Nasi Besan‖), sebaki tabur-taburan (beras putih,

beras kuning, bertih, bunga rampai). Jika ada biaya, di depan rombongan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


disiapkan juga pemusik rebana (kompang)9 ataupun seperangkatan orang yang

bersilat. Tibalah waktunya rombongan untuk berangkat menuju rumah pengantin

perempuan dengan pasukan barisan penabuh rebana dan pencak silat mengiringi

rombongan pengantin laki-laki menuju pintu rumah sambil ditaburi bertih dan

beras kuning. Dahulu, pengantin dijulang sampai ke ambang pintu, tetapi sekarang

pengantin berjalan kaki.

Rombongan pengantin laki-laki didahului oleh kelompok anak baru laki-

laki maupun perempuan. Sesampainya di halaman rumah pengantin perempuan,

pengantin laki-laki dinaikkan di atas bahu seorang pejulang (sekarang, disambut

oleh ibu si perempuan dan diikat dengan kain panjang, berjalan di belakang

seperti menggendong). Sebuah talam berisi sepotong kaki kambing/kerbau,

sebuah anak batu giling cabai (lingga), sedikit beras putih dan beras kuning,

sedikit garam dan asam gelugur sudah siap diletakkan di pintu masuk pengantin

laki-laki. Pada waktu hendak masuk ke pintu rumah arak-arakan terhenti karena

pintu masuk dihempang dengan sehelai kain dan dijaga oleh para anak beru pria

pihak pengantin perempuan.

Sementara itu, pihak perempuan menaburkan bertih dan beras kunyit

kepada rombongan mempelai laki-laki. Di zaman dahulu dalam perkawinan raja-

raja sebagai ganti beras kunyit ialah ―ambor-ambor‖ (guntingan tipis yang terbuat

dari perak dan emas). Penahan itu bernama ―Batang‖ yaitu hak adat anak beru.

9
Rebana atau kompang adalah satu jenis alat musik gendang berbingkai (frame drum)
yang biasa terdapat di wilayah peradaban masyarakat Islam di seluruh dunia. Alat musik ini
memiliki berbagai sebutan seperti duf, tar, bendair, rabano, rapano, repana, dan lain-lainnya. Alat
musik ini bisanya disajikan dalam bentuk ensambel dengan teknik ritme interloking mengiringi
penyanyi yang kadangkala juga sekaligus sebagai pemain rebana. Penyajian bisa dilakukan secara
prosesi, dan juga bisa sambil duduk di atas panggung pertunjukan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Terjadilah perdebatan yang dibuat-buat dan tawar-menawar tentang penyelesaian

adat. Akhirnya anak beru pihak laki-laki mengalah dan membayar uang yang

dinamakan ―Uang Hempang Pintu‖ (ada yang besarnya ¼ uang mahar).

Setelah itu dipenuhi, lalu balai dan arak-arak pun dapatlah menerobos

masuk tetapi sampai dekat pelaminan terhalang lagi karena adanya hempangan

yang kedua oleh anak beru wanita dari pihak pengantin perempuan. Sebelum

pengantin laki-laki dibenarkan masuk, haruslah terlebih dahulu kaki kanannya

dicecahkan ke atas anak batu gilingan cabai yang ada dalam talam dibendul pintu

itu yang berarti ia akan membela dan bertanggung jawab tas kehidupan rumah

tangganya kelak.

Dalam hal ―Buka Kipas‖ ini dihadapi oleh anak beru wanita dari pihak

laki-laki. Disini terjadi lagi perdebatan yang dibuat-buat seperti di muka tadi.

Akhirnya uang adat ―Buka Kipas‖ dibayar (kadang-kadang besarnya 1/8 mahar),

kemudian tabirpun dibukalah dan pengantin laki-lakipun naik ke pelaminan duduk

di sebelah kanan pengantin perempuan. Pelaminan ini terbagi dalam beberapa

tingkat :

a. Sultan, pelaminannya bertingkat 9

b. Anak-anak Sultan, pelaminannya bertingkat 7

c. Para Tengku-tengku lainnya, pelaminannya bertingkat 5

d. Yang lain daripada itu, pelaminannya bertingkat 3

Sementara itu rombongan pengantin laki-lakipun dipersilahkan mengambil

tempat masing-masing. Setelah buka kipas, maka sirih genggaman pun

dipertukarkanlah antara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan, dan 7 butir

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


―Telur Aluan‖ diserahkan pada pihak perempuan. Sementara itu berlangsung,

pada anak beru pria, pihak pengantin laki-laki menyerahkan semua alat-alat tepak

penyongsong beserta uang mahar dan semua balai-balai kepada anak beru pria

pihak pengantin perempuan. Lalu kepada handai taulan dan ahli famili yang akrab

dimintakan untuk menepungtawari kedua pengantin baru itu.

Tepung tawar telah tersedia dan yang menepungtawari harus jumlahnya

ganjil. Paling pertama adalah dari pihak pengantin perempuan yaitu didahulukan

kaum laki-laki kemudian baru disusul oleh wanita, lalu disusul oleh rombongan

pengantin laki-laki dan akhirnya ditutup dengan pembacaan doa. Setelah semua

selesai, maka kedua pengantin diturunkan bersama-sama dari pelaminan dengan

pengantin perempuan yang menuntun pengantin laki-laki sambil jari kelingking

kedua mempelai berkaitan menuju ke tempat ―Nasi Hadap-hadapan‖.

10. Nasi Hadap-hadapan

Upacara makan nasi hadap-hadapan dihadiri oleh perempuan saja dari

pihak keluarga pengantin laki-laki, sedangkan laki-laki tidak boleh ikut serta. Jika

dipestakan di rumah pihak laki-laki, maka yang hadir di dalam upacara ―nasi

hadap-hadapan‖ adalah kaum perempuan dari pengantin perempuan. Kedua

pengantin dibawa ke suatu ruangan atau di depan pelaminan yang sudah terhidang

nasi hadap-hadapan lengkap dengan lauk-pauk, dan kue.

Di hadapan pengantin diletakkan sebaskom nasi lemak yang dihiasi

dengan bunga yang terbuat dari gula-gula, coklat, dan halua (manisan khas

Melayu). Di dalamnya ada potongan ayam. Kedua pengantin harus merebut

sebanyak mungkin bunga yang ada di atas nasi tersebut. Barang siapa yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mendapat paling banyak dipercayai dia akan lebih berkuasa di dalam rumah

tangganya. Setelah berebut bunga, lalu kedua pengantin berebutan mengambil

kepala ayam dari dalam nasi lemak tersebut. Konon, siapa duluan mendapat, dia

yang akan lebih kuasa memerintah dalam rumah tangga. Apabila suami mendapat

kepala ayam panggang melambangkan seorang pemimpin yang bertanggung

jawab dan apabila istrinya mendapat paha ayam melambangkan sebagai seorang

ibu yang akan memberikan keturunan. Acara makan ―nasi hadap-hadapan‖

mengandung arti cinta kasih murni antara istri.

Setelah selesai memperebutkan ayam, lalu pengantin perempuan mencuci

tangan pengantin laki-laki. Setelah itu, pengantin perempuan menyulangi sesuap

nasi ke mulut pengantin laki-laki, kemudian mereka bergantian. Setelah itu,

pengantin perempuan menuangkan air minum ke dalam gelas, lalu mereka minum

bersulangan. Kemudian, kedua pengantin dan beberapa orang yang menemaninya

itu dipersilahkan makan bersama. Biasanya, pengantin perempuan menanyakan

kepada suaminya makanan apa yang disukainya. Kemudian, si perempuan

mengambilkan makanan tersebut. Sebaliknya, si laki-laki juga bertanya makanan

apa yang ingin dimakan oleh istrinya, lalu si suami mengambilkannya, lalu

mereka makan bersama-sama.

11. Serah Terima Pengantin Laki-laki Kepada Keluarga Pengantin

Perempuan

Serah terima pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan

adalah acara yang diadakan untuk melepaskan pengantin laki-laki dari

keluarganya sendiri dan diantar untuk menjadi bagian dari keluarga pengantin

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


perempuan. Acara ini biasanya juga diisi dengan nasehat- nasehat kepada kedua

pengantin, dan sekaligus menyampaikan harapan kepada keluarga pengantin

perempuan agar dapat menerima si pengantin laki-laki dengan baik.

12. Mandi Berdimbar

Mandi berdimbar atau juga dikenal dengan mandi berhias adalah mandi

yang dilakukan pengantin dengan menggunakan campuran air, bunga, dan

beberapa bahan lainnya. Mandi berdimbar ini diperoleh dari sisa-sisa agama

Hindu karena sebelum negeri Malaka menjadi pemeluk agama Islam, dapatlah

dipastikan bahwa kepercayaan orang-orang Melayu adalah campuran Hindu dan

Buhda bagi golongan terpelajar dan bangsawan. Sedangkan animesme dan

dinamisme untuk golongan rakyat rendahan.

Tempat upacara mandi berdimbar ini dilakukan di halaman rumah di

dalam suatu tempat yang dibuat dan hiasi gaba-gaba. Jika di istana raja-raja,

tempat itu dinamai ―panca persada‖ yang permanen dan indah pembuatannya.

Dengan dituntun oleh bidan, kedua pengantin baru dibawa ke tempat mandi

berdimbar tersebut. Di dalam tempat itu telah tersedia:

a. Dua gebuk tembikar berisi air bunga rampai, mayang pinang muda, daun

pandan wangi, dan irisan limau mungkur atau jeruk purut, yang dinamai

―air ukup‖ karena dimasukkan bau setanggi di dalamnya dan leher gebuk

dihiasi pandan dengan anyaman ‖jari kaki lipan‖.

b. Satu gebuk air doa selamat

c. Satu gebuk air untuk tolak bala

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


d. Dua atau empat buah kelapa yang sangat muda yang telah dikupas habis

kulitnya hingga tinggal tempurungnya yang bulat (kelongkong)

e. Dua butir telur ayam mentah

f. Dua batang lilin dalam sebuah baki

g. Pahar yang berisi tepung tawar

h. Satu pedupaan

i. Satu pasu atau ember dihiasi dan berisi air bunga rampai dinamai ―air

taman‖

j. Dua ember air biasa untuk dimandikan

k. Satu baki memuat bahan-bahan berhias seperti bedak, dan lain-lain

l. Sebuah cermin

m. Satu tepak sirih

n. Benang gudang tiga untai untuk masing-masing pengantin.

Setelah pengantin sampai ke tempat pemandian, mereka pun ditepung

tawari oleh beberapa keluarga yang tua-tua, kemudian bersalin dengan memakai

kain basahan. Lalu dilingkupi kedua pengantin itu dengan sehelai kain panjang,

dililitkan benang, dan dipasangkan lilin. Maka bidan menyuruh kedua pengantin

itu untuk memutus benang dan menghembus lilin. Lalu kedua pengantin diberi

minuman dan disuruh bersembur-semburan.

Kemudian, bidan pun menunutun mereka agar pukul-memukul mayang

muda di atas masing-masing kepala pengantin. Kadang-kadang ada juga mayang

tidak pecah, meskipun pelepahnya lunak. Ini berarti bahwa salah seorang

pengantin keras hatinya. Lalu arai pinang dikeluarkan dari pelepahnya. Bidan-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


bidan bertukar arai lalu dijuraikan dari kepala sampai ke kaki pengantin. Arai-arai

pinang itu dilagakan, lalu dicampakkan keluar untuk membuang sial.

Kini, dimulai pula acara memecahkan kelongkong kelapa muda. Setelah

itu, kedua mempelai memijak telur ayam yang berada di dekat kaki masing-

masing. Siapa yang dahulu dialah yang menang, kelak dipercayai tidak dapat

ditipu di dalam kehidupan sehari-hari dalam berumah tangga.

Setelah itu, mereka dimandikan dengan air ukup, kemudian dengan

diiringi doa dan jampi, dimandikan pula dengan air taman dan baru dengan air

biasa. Kemudian disiram dengan air tolak bala sambil membaca doa, lalu ditutup

dengan menyiramkan air doa di atas kepala pengantin masing-masing. Sementara

itu,Orang-orang ramai juga ikut serta bersembur semburan dan bersiram-siraman.

Bila terkena siraman air mandi berdibar/berhias, bagi para pemuda atau gadis,

dipercaya akan cepat mendapat jodoh.

Sementara itu, bertukar pakaian dengan pakaian yan dihiasi dan memasuki

kamar pengantin yang sudah dihiasi. Kedua mempelai lalu dibawa menghadap

mertua (orang tua pengantin perempuan) dan famili kerabat yang rapat-rapat dari

mempelai perempuan. Pada waktu itu diberilah bermacam-macam hadiah

cemetuk. Lalu, mereka melakukan upacara menghadap beraturan menurut tutur

dari yang tertua sampai yang usianya muda, kecuali tutur adik dan kemenakan di

bawah dari pengantin perempuan.

13. Lepas Halangan

Beberapa hari kemudian, terdapatlah apa yang dinamakan ―halangan‖

telah lepas. Pada waktu itu, diedarkanlah dalam kain putih bersih ―tanda

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kegadisan‖(perawan) sang istri kepada mertua perempuan sang istri dan famili

terdekat wanita-wanita lain sebagai bukti. Bidan menyerahkan tepak sirih kepada

orang tua pengantin perempuan. Jika tepaknya kosong dan cembulnya telungkup,

itu tandanya pengantin perempuan sudah tidak perawan lagi.

Jaman sekarang, upacara adat ―mandi berdimbar‖ dan ―lepas halangan‖

sudah tidak dilaksanakan orang lagi, mengingat pesta perkawinan hanya diadakan

satu hari dan untuk menghemat biaya. Namun, untuk kalangan bangsawan masih

ada yang membuat adat tersebut, tetapi tuan rumah tempat peneliti mengadakan

penelitian tidak melakukan ―mandi berdimbar‖ dan ―lepas halangan‖ ini.

14. Meminjam Pengantin

Meminjam kedua pengantin oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak

keluarga perempuan adalah upacara ditentukannya hari dimana kedua pengantin

dipinjamkan kepada keluarga anak beru laki-laki untuk diadakan perayaan di

rumah keluarga laki-laki. Pada hari yang telah ditentukan, maka oleh orang tua

pengantin laki-laki dipinjamlah kedua mempelai untuk dipestakan di rumahnya.

Kedua pengantin dijemput oleh anak beru (baik pria maupun wanita) dari pihak

laki-laki dan dengan diiringi oleh anak beru (perempuan dan laki-laki) dari pihak

pengantin perempuan ke rumah orang tua pengantin laki-laki.

Rombongan yang datang dan mendampingi jumlahnya harus ganjil. Jika

rombongan sudah sampai di rumah laki-laki, maka kedua pengantin mencuci

kakinya di dalam talam dekat pintu masuk hendak naik ke rumah dan membawa

kue-kue untuk mertua. Secara simbolik, tuan rumah menyerahkan kepada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menantunya asam, garam, beras, lesung, dan lain-lain alat memasak. Dengan

pengertian, agar sang pengantin jangan segan-segan datang dan memasak sendiri.

Kemudian, pengantin dipakaikan pakaian yang indah-indah dan dinaikkan

di atas pelaminan. Dilakukanlah kembali upacara ―bersanding dan tepung tawar‖.

Setelah itu, pengantin dipimpin oleh bidan pengantin masuk ke kamar. Lalu,

keduanya bersiap dan diadakanlah menghadap dan sembah keliling kepada para

ibu bapak, puang-puang dan ahli kerabat lainnya. Kedua pengantin menerima

hadiah cemetuk dan nasehat-nasehat dari mereka.

15. Memulangkan Pengantin

Memulangkan Kedua Pengantin Kembali Oleh Pihak Keluarga Laki-laki

Kepada Pihak Keluarga Pengantin Perempuan adalah setelah tiga malam atau

lamanya sesuai menurut perjanjian, maka kedua mempelai, baru diantarkan

kembali ke rumah orang tua pengantin perempuan, diiringi para anak beru sebagai

mana mereka menjemput dahulu. Pengantin perempuan biasanya menerima

hadiah dari mertua berupa pakaian lengkap, piring, dan mangkuk.

16. Pengantin Pindah Ke Rumah Sendiri

Pengantin Pindah Ke Rumah Sendiri adalah acara dimana seorang laki-laki

atau seorang suami membawa istri atau keluarganya ke rumah mereka sendiri.

Menurut adat dahulu, pengantin laki-laki berdiam diri atau tinggal menetap di

rumah mertuanya kira-kira selama dua tahun lamanya. Setelah itu baru laki-laki

tersebut dapat membawa istrinya pindah ke rumahnya sendiri.

Jaman sekarang, tidak harus menunggu dua tahun baru boleh pindah

rumah. Jika mereka memang sudah punya rumah sendiri atau sanggup untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menyewa, mereka sudah boleh pindah dengan diantar oleh para keluarga kedua

belah pihak. Biasanya diadakan kenduri dengan memanggil jiran tetangga untuk

meminta doa selamat agar mereka aman dan tenteram tinggal di rumah tersebut.

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Pendekatan Performansi

2.3.1.1 Performansi

One influentail approach is to take the idea of ‗performance‘ as a

fundamental key the human action and culture, often centerd round the concept of

‗drama‘ (Turner 1982, Burke 1966, see also Hare and Blumberg 1988 and

references below). This particular social theory—or metaphor—is not essential

for the direct observation and analysis of specific performances, but sometimes

forms the background to it. Another viewpoint picks out performance as one

specific (rather than general) mode of human communication and action,

distinguishing this from ‗merely‘ describing in a ‗normal or everyday‘ manner.

Thus particular acts of communication are somehow marked out as ‗performance‘

by a heightened and framed quality. It is performance(s) in this—admittedly

elusive—sense that many students of verbal arts take as their focus. (Salah satu

pendekatan yang berpengaruh terhadap gagasan tentang performansi sebagai

kunci dasar bagi tindakan manusia dan budaya, sering kali berpusat pada konsep

'drama' (Turner 1982, Burke 1966, lihat juga Hare dan Blumberg 1988 dan

referensi di bawah). Ini adalah bagian dari teori sosial - atau metafor-, tidaklah

penting bagi pengamatan langsung dan analisis tertentu tentang performansi,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sebagai salah satu bentuk khusus maupun umum dari model komunikasi dan

tindakan manusia, hal ini berbeda dengan kehidupan sehari-hari atau tindak

komunikasi formal, dimana ‗performansi‘ dibingkai. Performansi ini banyak

diminati oleh mahasiswa jurusan seni lisan yang menjadi fokus kajian mereka)

(Finnegan, 1992:91)..

Selanjutnya Finnegan (1992:92) menjelaskan,

‗Performance‘ is also used to refer to a concrete event in time: another


sphere for investigation, which in recent years has extended beyond just a general
look at performance attributes and settings to focus more directly on the
communicative event itself. Questions for investigation thus include how or where
performances take place as actual events; how they are organised and prepared
for; who is there, how they behave and what their expectations are; how the
performers deliver the specifie genre and the audience react to it; how it is framed
within and/or separate from the flow of everyday life.
‗Performance‘ is, furthermore, often used to refer to the actual execution
or practice of communication (as distinct from its potential, or its abstract
formulation in knowledge or grammar)—a usage which fits with current interests
among anthropologists, folklorists, sociolinguists and others in ‗practice‘ and
‗processes‘, or in ‗speech acts‘. While this distinction is in principle applicable to
all forms of verbal communication it has a particular relevance—and set of
problematics—in the study of oral forms. Performance seems essential for oral
forms to be actualised at all— a significant contrast, on the face of it anyway,
with the permanent and autonomous existence of a written text independent of its
(merely contingent) performances.

Pendapat yang dkemukan oleh Finnegan tersebut adalah performansi lebih

lanjut sering digunakan untuk merujuk pada hasil akhir yang aktual atau praktik

komunikasi, performasi sering digunakan para ahli antropolog, folklor,

sosiolinguistik, dan lainnya dalam bentuk praktik dan proses, atau dalam bentuk

tindak tutur. Prinsip ini dapat diterapkan ke dalam berbagai masalah kajian.

Performansi penting untuk diaktualisasikan dalam bentuk-bentuk lisan yang

bertolak belakang dengan teks tertulis.

Finnegan (1992: 94-95) juga mengatakan,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Chief among the components of any performance are the human
participant. These must therefore be among the prime targets of the
enquirer‘s attention. Though often starting with performers (the familiar
westen focus), the investigation must also embrace those other
participants whose roles supplement or overlap with those of the apparent
leaders. (Komponen yang utama dari performansi adalah partisipan. Oleh
karena itu, ini harus menjadi salah satu target utama dari masalah ini.
Meskipun sering dimulai dengan pemain, penyelidikan juga harus
tertumpuh pada peserta (partisipan) yang berperan ganda atau tumpang
tindih dengan pemain).

Sementara itu, Vansina (1985:40-41) berpendapat bahwa ada tiga unsur

dalam performansi, yaitu frekuensi, waktu, dan tempat. Pertunjukan tidak

dilakukan secara acak, namun dapat diamati. Dalam kebanyakan kasus, hanya

sedikit orang yang masih ingin mempertahankan ide atau pesan dari performansi.

Mereka bukan terinspirasi oleh penggunaan praktis tradisi. Dengan demikian,

pembacaan daftar kerajaan penerus tahta atau silsilah kerajaan adalah tepat pada

penobatan, dan silsilah mungkin dibacakan setahun sekali ketika raja diarak di

ibukota. Banyak ritual yang mengandung pesan sejarah, seperti kava dari Tikopia

(dan pulau-pulau Polinesia lainnya), dilakukan saat yang tepat. "Kerja Dewa" di

Tikopia dilakukan hanya dua kali setahun sementara Kava biasa sering dilakukan.

Di negara bagian Afrika dan tempat lain, bercerita dilakukan tidak pada

siang hari. Hal ini disebabkan karena mereka semua sibuk melakukan hal-hal lain

dan sering tidak di rumah. Lokasi performansi harus sesuai dengan tujuan

performansi tersebut. Lokasi tersebut harus diperhatikan, agar tidak terjadi

masalah. Misalnya, cerita di Benin City harus terpusat di rumah dan tempat lain.

Di desa-desa, desa Square adalah desa yang tepat. Di desa Kuba, alun-alun tidak

tepat; bercerita harus dilakukan di rumah atau di pekarangan mereka, atau

mungkin hanya di depan mereka, tetapi tidak pernah di tengah lapangan. Setiap

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tradisi memiliki kesempatan yang tepat untuk dipertunjukkan dan juga

menentukan frekuensi performansi.

Di antara Dogon (Mali), konon, ritual Sigui dilakukan, hanya sekali

setiap enam puluh tahun. Satu keajaiban, jika selama selang waktu tersebut masih

akan mengingat rincian dan urutan ritual yang kompleks dan memang, dalam

ketiadaan kalender bagaimana seseorang tahu persis kapan harus melakukan ritual

tersebut. Frekuensi pengulangan membantu untuk memerangi kelupaan. Tetapi

pengulangan yang sering juga tidak menjamin pelaksanaan ritual dilakukan

dengan baik.

Tales mengatakan banyak malam di bulan Mei dalam perubahan fakta

lebih cepat dari kisah yang diceritakan lebih jarang. Dengan demikian, untuk

mengetahui kesempatan dan frekuensi dari kinerja yang tidak dengan sendirinya

cukup untuk mengevaluasi kesetiaan reproduksi.

((1) Reproduction of Performance. (a) Frequency, Time, and Place. Performances


are not produced at random times. The occasions for performances are limited
and can be observed in the field. In most cases the rules relating to this have little
to do with a desire to maintain the faithfulness of the message. They are rather
inspired by the practical use of traditions. Thus, a formal recitation of a royal list
of successors to the throne or a royal genealogy is appropriate at a coronation,
and perhaps the genealogy may be recited once a year when the chiefs are
assembled at the capital. Many rituals containing historical messages, like the
kava of Tikopia (and other Polynesian islands), are performed when appropriate.
The "Work of the Gods" in Tikopia is performed only twice a year while ordinary
kava occur much more often. n Legal precedents and proverbs are often cited
during litigation, clan slogans at funerals or, as among the Kuba, in eulogy to
praise star dancers.
In many parts of Africa and elsewhere tales are not to be fold during daytime. No
good reasons are given for this, and unlike the previous examples we do not see
an evident link between use, purpose, or situation and this rule here. Economic
factors often are said to be the cause of such a constraint. The rule was not made
with economic uses of time in mind, but probably grew out of the observation that
people do not tell tales during the day, because they are all busy doing other
things and often not at home.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


The location of a performance is to be appropriate to its use and purpose. Such a
location is often prescribed where it would not seem to matter. Thus tales in Benin
City should be told in the itun or central place of the house and nowhere else. In
the villages, the village square is the proper setting. Z3 In Kuba villages, the
square is not appropriate; tales should be told in the houses or in their yards, or
perhaps just in front of them, but never in the middle of the yardl.
Each sort of tradition has its appropriate occasions for performance, and that
also determines the frequency of a performance. Among the Dogon (Mali), the
Sigui ritual was performed, it is said, only once every sixty years. One wonders
who after such a lapse of time would still remember the details and order of the
complex rituals and, indeed, in the absence of a calendar how one knew exactly
when to perform them. Frequency of repetition helps to combat forgetfulness. But
frequent repetition does not itself guarantee fidelity of reproduction.
Tales told many nights in the month may in fact change faster than tales which
are told more infrequently. Thus, to know the occasion and the frequency of the
performance is not by itself enough for evaluating the faithfulness of a
reproduction).

Dalam penelitian ini, untuk menganalisis performansi peneliti

menggunakan pemikiran Fennigan dan Vansina. Finnegan mengatakan bahwa

komponen yang utama dari performansi adalah partisipan, yaitu pelaku dan

audiens. Sedangkan Vansina berpendapat bahwa ada tiga unsur dalam

performansi, yaitu frekuensi, waktu, dan tempat. Peneliti menggabungkan kedua

pemikiran ini yang sejalan dengan teks, koteks, dan konteks dalam tradisi lisan.

2.3.1.2 Teks, Koteks, dan Konteks

2.3.1.2.1 Teks

Fairclough (1995:4) menyatakan bahwa: ‖A text is traditionally

understood to be a piece of written language a whole 'work' such as a poem or a

novel, or a relatively discrete part of a work such as a chapter. A rather broader

conception has become common within discourse analysis, where a text may be

either written or spoken discourse, so that, for example, the words used in a

conversation (or their written transcription) constitute a text.‖

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pendapat yang dikemukakan oleh Fairclough di atas menunjukkan bahwa

sebuah teks itu, secara tradisional merupakan bagian dari bahasa tertulis yang

secara keseluruhan 'bekerja' seperti puisi atau novel, atau bagian yang relatif

diskrit pekerjaan seperti sebuah bab. Kemudian, secara konsepsi yang agak lebih

luas dan telah menjadi umum dalam analisis wacana, di mana teks mungkin baik

tertulis atau lisan, seperti kata-kata yang digunakan dalam percakapan juga dapat

dikatkan sebagai suatu teks.

Berdasarkan pendapat di atas dapat diartikan bahwa teks adalah suatu

kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik lisan maupun tulisan yang

disampaikan oleh seorang pengirim kepada penerima untuk menyampaikan pesan

tertentu. Teks tidak hanya berbentuk deratan kalimat-kalimat secara tulis, namun

juga dapat berupa ujaran-ujaran atau dalam bentuk lisan, bahkan ada juga teks itu

terdapat di balik teks yang merujuk pada koteks dan konteks.

Teks adalah bahasa yang berfungsi, maksudnya adalah bahasa yang sedang

melaksanakan tugas tertentu (menyampaikan pesan atau informasi) dalam konteks

situasi, berlainan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat lepas yang mungkin

dituliskan di papan tulis. Bentuknya bisa percakapan dan tulisan (bentuk-bentuk

yang kita gunakan untuk menyatakan apa saja yang kita pikirkan). Hal penting

mengenai sifat teks ialah bahwa meskipun teks itu bila kita tuliskan tampak

seakan-akan terdiri dari kata-kata dan kalimat, namun sesungguhnya terdiri dari

makna-makna. Memang makna-makna atau maksud yang ingin kita sampaikan

kepada orang lain haruslah dikodekan dalam tuturan lisan atau kalimat-kalimat

supaya dapat dikomunikasikan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Teks merupakan produk, dalam arti bahwa teks itu merupakan keluaran

(output); sesuatu yang dapat direkam atau dipelajari (berwujud). Teks juga

merupakan proses, dalam arti merupakan proses pemilihan makna yang terus-

menerus, maksudnya ketika informasi diberi atau diterima dalam bentuk teks

(lisan atau tulis) maka di dalam otak manusia terjadi proses pemahaman

(pemilihan makna) terhadap informasi tersebut, jangan sampai terjadi

kesalahpahaman.

Van Dijk (Sibarani, 2012: 312-213) mengatakan bahwa ada tiga kerangka

struktur teks, yaitu struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Ketiga

struktur ini saling mendukung dalam membangun sebuah teks, sehingga kajian

ketiganya sangat penting untuk memahami sebuah teks, termasuk teks tradisi

lisan. Kajian ketiga unsur ini akan memberikan kontribusi dalam pemahaman teks

tradisi lisan, yang merupakan cerminan sosiokultural pikiran masyarakat

pemiliknya.

Struktur makro merupakan makna keseluruhan, makna global atau makna

umum dari sebuah teks yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari

sebuah teks. Dengan kata lain, analisis struktur makro merupakan analisis sebuah

teks yang dipadukan dengan koteks dan konteksnya untuk memperoleh gagasan

inti atau tema sentral. Tema sebuah teks sering juga menjadi judul sebuah teks,

tetapi sering juga tidak terlihat secara eksplisit di dalam teks, melainkan tercakup

secara keseluruhan teks secara satu kesatuan bentuk yang koheren. Tema sebuah

teks dapat ditemukan dengan cara membaca, mengamati, dan menghayati sebuah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


teks secara keseluruhan sebagai sebuah wacana sosial, sehingga dapat ditarik satu

ide pokok yang dikembangkan dalam teks tersebut.

Tema sebagai isi sebuah teks dapat dipahami dengan menggunakan

content analysis (analisis isi). Dalam analisis isi ini, perlu mengkaji isi sebagai

uangkapan produksi dan komunikasi institusional atau sosial secara umum. Dalam

hal tradisi lisan, ungkapan (expression) ini merupakan teks yang diproduksi dan

dikomunikasikan secara sosial. Van Dijk menyarankan untuk menggunakan

pendekatan hermeneutika apabila tema menyangkut ungkapan tentang

―pandangan dunia‖ atau ideologi dan nilai yang subjektif dan personal.

Superstruktur atau struktur alur, merupakan kerangka dasar sebuah teks

yang meliputi rangkaian elemen sebuah teks dalam membentuk satu kesatuan

bentuk yang koheren. Superstruktur merupakan skema atau alur sebuah teks.

Sebuah teks, termasuk teks tradisi lisan secara garis besar tersusun atas tiga

elemen yaitu, pendahuluan (introduction), bagian tengah (body), dan penutup

(conclusion), yang masing-masng harus mendukung secara koheren. Analisis teks

harus mampu mengungkapkan pesan-pesan yang ada dalam setiap elemen itu

(Sibarani, 2012:314-315).

Superstruktur atau struktur alur teks tradisi lisa juga memiliki tiga elemen

seperti yang disebutkan di atas, tetapi pesan dari setiap elemen itu bervariasi

sesuai bentuk dan jenis tradisi lisan. Superstruktur merupakan struktur teks yang

berhubungan dengan kerangka suatu teks. Superstruktur disebut juga struktur

skematik. Skema atau alur sebuah teks tersusun secara teratur dari awal sampai

akhir, dari pendahuluan sampai penutup atau kesimpulan dalam satu kesatuan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


makna. Kajian struktur alur tradisi lisan akan menghasilkan skema tradisi lisan

mulai dari awal hingga akhir, yang dapat dibagi atas permulaan, bagian tengah,

dan penutup.

Struktur mikro adalah struktur teks secara linguistik teoretis. Lingustik

teoretis yang dimaksud, mencakup fonologis, mogfologis, sintaksis, diskursus,

semantik, pragmatik, stilistika, dan figuratif. Kajian struktur mikro ini dapat

dilaksanakan secara bersama-sama, tetapi dapat juga dipilih tataran tertentu sesuai

dengan kebutuhan analisis dan sesuai dengan karakteristik teks tradisi lisan yang

dikaji.

Ketiga struktur teks tersebut, menurut Van Dijk (Sibarani, 2012:317),

merupakan satu kesatuan, saling berhubungan, dan saling mendukung. Ketiga

struktur ini memiliki elemen masing-masing dan memperlihatkan kaidah masing-

masing. Tema sebagai makna global suatu teks dalam tataran struktur makro

didukung oleh kata dan kalimat dalam tataran struktur mikro.

2.3.1.2.2 Koteks

Dalam proses komunikasi, teks sebagai tanda verbal pada umumnya

didampingi oleh tanda lain, yang bersama-sama digunakan oleh teks itu. Teks

tradisi lisan pun selalu digunakan bersama-sama dengan tanda-tanda lain, yang

memegang peranan penting dalam praktik wacana tradisi lisan. Tanda-tanda

seperti itu disebut dengan koteks. Keberadaan koteks dalam suatu wacana tradisi

lisan menunjukkan bahwa struktur suatu teks memiliki hubungan dengan teks

lainnya. Hal itulah yang membuat suatu wacana tradisi lisan menjadi utuh dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


lengkap. Koteks dapat menjadi alat bantu untuk menganalisis wacana tradisi lisan.

Dalam wacana tradisi lisan yang cukup panjang sering sebuah kalimat harus

dicarikan informasi yang jelas pada bagian kata yang lainnya. Koteks merupakan

bagian penting dalam memberikan pemaknaan terhadap teks tradisi lisan. Ko-teks

terdiri atas paralinguistic (suprasegmental), kinetic (gerak isyarat), prosemic

(penjagaan jarak), dan unsur-unsur material atau benda-benda yang digunakan.

Jenis ini cocok digunakan untuk menganalisis tradisi lisan yang berbentuk

upacara. Koteks tersebut berfungsi untuk memperjelas pesan atau makna sebuah

teks (Sibarani, 2012:319). Berikut ini dijelaskan satu persatu.

1. Paralinguistic (suprasegmental)

Deskripsi paralinguistik (intonasi, aksen, jeda, dan tekanan) juga penting

dalam kajian tradisi lisan. Peranan kajian paralinguistik akan semakin

penting ketika tradisi dinyanyikan atau disenandungkan. Bantuan fonetik

sangat penting untuk merumuskan aturan paralinguistik atau unsur-unsur

suprasegmental dalam teks tradisi lisan.

Unsur suprasegmental dalam teks sinandong dapat dilihat pada intonasi

dan tekanan yang muncul saat dinyanyikan. Sinandong yang digunakan

dalam mengiringi tari gubang dibangun oleh pola kalimat yang sama yaitu

pantun sehingga intonasi yang digunakan pada baris pertama sama dengan

pada baris ke tiga. Di setiap akhir baris digunakan bunyi oi... yang

merupakan cirikhas dari sinandong.

2. Kinetic (gerak isyarat)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam berkomunikasi dengan menggunakan teks verbal seperti tradisi

lisan, orang selalu menggunakan gerakan tangan, ekspresi wajah,

anggukan kepala, gerakan badan, dan lain-lain bersamaan dengan teks

verbal itu. Gerakan seperti itu disebut gerak isyarat (gesture). Bidang ilmu

yang mengkaji gerak isyarat dikenal dengan kinetik (kinetic).

Saat seseorang sedang bernyanyi biasanya ada gerakan-gerakan tertentu

yang menyertainya seperti gerakan tangan, kaki, kepala, ekspresi wajah

seperti tersenyum yang disesuaikan dengan irama lagu yang sedang

dinyanyikan. Sehubungan dengan sinandong gubang, penyanyi melakukan

gerakan badan melenggok ke kiri dan ke kanan diikuti gerakan kaki

dengan ekspresi wajah gembira.

3. Prosemic (Penjagaan jarak)

Penjagaan jarak antarpelaku (antarpemain) dan antara pelaku dengan

penonton (khalayak) perlu dikaji. Deskripsi sikap dan penjagaan jarak

antarpelaku dan antara pelaku dengan penonton akan memberikan

kontribusi pada interpretasi makna dalam tradisi lisan. Dari penjagaan

jarak para pelaku dapat terlihat oposisi binari antarpelaku, yang

menggambarkan peran sebagai raja-rakyat, majikan-pembantu, direktur-

karyawan, pimpinan-bawahan, dan sebagainya. Hubungan-hubungan

interaksi lain juga dapat terlihat dari kajian prosemik, yang semuanya

dapat memperkaya kajian tradisi lisan.

4. Unsur-unsur material

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Bentuk koteks lain yang sangat perlu dikaji dalam tradisi lisan adalah

unsur material atau benda yang sering mendampingi penggunaan teks.

Praktik wacana tradisi lisan, baik dalam proses produksi, distribusi,

maupun konsumsinya sangat berbeda dengan praktik komunikasi sehari-

hari. Di samping praktik wacananya disampaikan dengan media lisan,

praktik tradisi lisan membutuhkan persiapan pemain dan penonton yang

secara baik karena praktik tradisi lisan pada umumnya dilakukan dalam

bentuk upacara atau peristiwa tertentu. Oleh karena itu, praktik tradisi lisan

sering membutuhkan persiapan-persiapan material yang secara simbolik

membutuhkan interpretasi untuk memahami makna sebuah tradisi lisan.

Unsur-unsur material yang dipergunakan dalam praktik tradisi lisan dapat

berupa perangkat pakaian dengan gayanya, penggunaaan warna, dekorasi,

dan penggunaan berbagai properti dengan fungsi masing-masing. Unsur-

unsur material ini biasanya berhubungan dengan budaya suatu komunitas.

Semua itu merupakan benda-benda simbolik yang perlu dikaji dari sudut

semiotik untuk memperkaya interpretasi makna tradisi lisan.

2.3.1.2.3 Konteks

Peranan konteks sangat penting dalam tradisi lisan. Pemaknaan unsur-

unsur lingual teks tradisi lisan sangat bergantung pada konteks dan koteksnya.

Sebuah teks tradisi lisan akan berbeda makna, maksud dan fungsinya bergantung

perbedaan konteksnya. Ada beberapa jenis konteks yang perlu dipertimbangkan

dalam pemahaman ungkapan termasuk teks tradisi lisan. Pemilihan konteks ini

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sangat bergantung pada ragam ungkapan atau teks yang dikaji. Untuk memahami

makna, maksud, pesan, dan fungsi dalam kajian tradisi lisan, konteks budaya,

konteks sosial, konteks situasi, dan konteks ideologi perlu dikaji. Konteks ini juga

diperlukan untuk memahami nilai dan norma budaya yang terdapat dalam tradisi

lisan serta memahami kearifan lokal yang diterapkan untuk menata kehidupan

sosialnya (Sibarani, 2012:324).

Konteks adalah situasi yang ada disekitar ketika sebuah peristiwa ritual

berlangsung. Pemaknaan sebuah bahasa yang diungkapkan oleh seseorang

ditentukan oleh konteks, yakni pada saat kapan dan dimana ritual itu dilakukan.

Pada upacara malam berinai ini peneliti melihat beberapa konteks yang

meliputinya, yakni budaya, konteks sosial, konteks situasi, dan konteks ideologi.

1. Konteks budaya

Konteks budaya mengacu pada tujuan budaya yang menggunakan suatu

teks. Martin (Sibarani, 2012:324-325) mengatakan bahwa budaya penutur terlihat

jelas di setiap keadaan seaktu mereka berinteraksi dan terlihat jelas secara verbal

dalam konteks. Di dalam setiap interaksi sosial, kegiatan berbahasa yang

dilakukan masyarakat dalam suatu budaya tertentu mesti mempunyai tujuan atau

sasaran yang khas dan kekhasan tersebut menjadi salah satu dari faktor-faktor

yang memotivasi dan menentukan interaksi sosial.

Konteks budaya penyelenggaraan ritual turut mempengaruhi sebuah

tradisi. Upacara malam berinai yang diselenggarakan tentu berbeda dengan

budaya yang dilakukan pada upacara kematian. Malam berinai ini

diselenggarakan serangkaian dengan pelaksanaan upacara adat perkawinan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Melayu. Upacara malam berinai dilaksanakan dalam konteks budaya masyarakat

Melayu di Tanjungbalai yang rangkaikan dengan barzanzi, marhaban, tari gubang,

kasidah, dan sinandong. Malam berinai ini berisi bermohonan kepada Tuhan agar

makhluk gaib dan roh-roh halus tidak mengganggu pasangan pengantin.

2. Konteks sosial

Konteks sosial mengacu kepada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi

teks. Faktor-faktor sosial itu berhubungan dengan perbedaan jenis kelamin, kelas

sosial, suku, usia, dan sebagainya. Konteks sosial yang dimaksud dalam penelitian

ini adalah orang-orang yang terlibat dalam suatu upacara baik itu sebagai pelaku,

pengelolah, penikmat, bahkan komunitas pendukungnya.

Pelaku dalam upacara malam berinai ini melibatkan banyak pihak, mulai

dari calon pengantin, orang tua, pengetua adat, tetangga, sahabat, dan group

kesenian. Pengelolah atau penyelenggara dalam upacara malam ini adalah orang

yang mempunyai finansial yang memadai dan mencintai budaya Melayu.

Komunitas pendukung upacara ini adalah masyarakat Melayu Tanjungbalai.

Seiring berjalannya waktu, maka penyelenggaraan malam berinai ini juga semakin

berkurang. Hal ini disebabkan karena sekarang masyarakat ingin

meyelenggarakan suatu adat secara ringkas untuk menghemat biaya.

3. Konteks situasi

Hal ini mengacu pada waktu, tempat, dan penggunaan upacara. Konteks

situasi waktu akan menghasilkan waktu pelaksanaan, pertunjukan atau

performansi sebuah tradisi lisan, baik dari segi pembagian waktu dalam sehari,

pembagian minggu dan bulan, maupun pembagian siklus pertanian seperti masa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menanam, menyiangi, atau memanen. Konteks situasi waktu juga

mendeskripsikan fungsi tradisi lisan, seperti untuk ekspresi perasaan dalam

keadaan suka maupun dalam keadaan duka (Sibarani, 2012:326-327).

Konteks situasi tempat akan menghasilkan lokasi pelaksanaan, pertunjukan,

atau performansi sebuah tradisi lisan. Lokasi pelaksanaan tradisi lisan bisa berupa

pentas, tempat pemain dan penonton, permanen atau berpindah-pindah, dan

sebagainya. Bahkan, teks tradisi lisan juga ada yang dipengaruhi oleh perbedaan

tempat.

Konteks situasi cara akan menghasilkan cara pelaksanaan atau pertunjukan

tradisi lisan. Bagaimana sebuah tradisi lisan ditampilkan merupakan hal yang

paling penting dalam konteks situasi cara dalam tradisi lisan. Di sini dapat dilihat

tradisi ditampilkan mendekati asli atau mendekati keinginan penonton,

ditampilkan secara penuh atau hanya sebagian, teks menggunakan bahasa asli atau

bahasa lain, dan sebagainya.

Upacara malam berinai diselenggarakan pada waktu malam hari. Tempat

pelaksanaan diadakan di rumah salah seorang warga masyarakat yang masih

memegang teguh upacara adat perkawinan Melayu. Tempat pelaksanaan upacara

ini diselenggarakan di rumah calon pengantin perempuan. Pasangan pengantin

didudukkan di atas perlaminan lalu ditepungtawari dan diinai secara simbolis.

Kemudian pengantin pria kembali ke rumahnya dan diinai oleh sanak

keluarganya. Sedangkan pengantin wanita diinai di kamarnya oleh sahabat atau

tukang inai. Upacara malam berinai ini dilaksanakan dengan cara dirangkaikan

dengan akad nikah. Akad nikah diselenggarakan pada malam hari selepas sholat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Isya (lebih kurang pukul 20.00 WIB). Kemudian acara dilanjutkan dengan

barzanzi, marhaban, tari gubang dan sinandong gubang, kasidah, dan sinandong.

Acara ini berakhir sampai tengah malam.

4. Konteks idiologi

Konteks idiologi mengacu pada kekuasaan dan kekuatan yang

mempengaruhi suatu teks. Idiologi adalah faham, aliran, kepercayaan, keyakinan,

dan nilai yang dianut bersama oleh masyarakat. Idiologi menjadi konsep

sosiokultural yang mengarahkan dan menentukan nilai yang terdapat dalam suatu

komunitas. Ada hegemoni kekuasaan dan kekuatan ideologis sebuah faham yang

mempengaruhi, mengontrol, dan mendominasi kelompok masyarakat. Ideologi itu

menjadi cara berpikir, cara berperilaku, dan cara bertindak masyarakat dalam

mengatur tatanan kehidupan mereka (Sibarani, 201:238-239).

Meskipun saat ini masyarakat Tanjungbalai mayoritas menganut agama

Islam, akan tetapi kebudayaan pra-Islam masih mempengaruhi adat kebiasaan

terutama bentuk upacara ritual. Salah satunya adalah upacara malam berinai ini.

Dalam upacara ini rangkaian kegiatan disesuaikan dengan acaran Islam, namun

untuk dalam upacara ini menggunakan peralatan yang menyimbolkan suatu hal.

Misalnya dalam upacara tepung tawar dan permakaian inai.

2.3.2 Pendekatan Kearifan Lokal

Kearifan lokal, terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau

kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan

setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


diikuti oleh anggota masyarakatnya. Nilai terpentingnya adalah kebenaran yang

telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Secara konseptual, kearifan lokal

dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada

filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara

tradisional.

Hal penting untuk dipertimbangkan pertama-tama tentang kearifan lokal

adalah apa yang telah pernah disampaikan oleh Famark Hlawnching

(http://www.unesco.org/culture/ich/index.php?project_id=00022) yang bekerja

untuk PBB. Dalam laporan hasil penelitian lapangannya ia berkata sebagai

berikut:

―when the outsiders met indigenous peoples for the first time over five
centuries ago, their concept understanding on indigenous peoples was very
disparaging and called them aborigine, natives, tribal, schedule tribes,
ethnic minorities and ethnic nationalities, connoting backwardness and
primitives. With such a concept, indigenous systems including governance,
culture, social, legal and judiciary, philosophy, economic systems were
replaced with supposedly more advanced systems to assimilate and
―modernize‖ indigenous peoples. ...traditionally, the unit of administration
... among the indigenous peoples was restricted to the village level‖
(Ketika orang luar bertemu masyarakat adat untuk pertama kalinya lebih
dari lima abad yang lalu, pemahaman konsep mereka tentang masyarakat
adat sangat meremehkan dan memanggil mereka pribumi, penduduk asli,
suku, suku-suku dijadwalkan, etnis minoritas dan etnis suku bangsa, yang
berkonotasi dengan keterbelakangan dan primitif. Dengan konsep seperti
itu, sistem adat termasuk tata kelola, budaya, sosial, hukum dan peradilan,
filsafat, sistem ekonomi digantikan dengan sistem seharusnya lebih maju
untuk mengasimilasi dan "memodernisasi" masyarakat adat. ... secara
tradisional, unit administrasi ... antara masyarakat adat dibatasi ke tingkat
desa).
Definisi kearifan lokal secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang

baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu

kearifan lokal di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang baik yang ada di dalam wilayah tersebut. Kalau mau jujur, sebenarnya nilai-

nilai kearifan lokal ini sudah diajarkan secara turun temurun oleh orang tua kita

kepada kita selaku anak-anaknya. Budaya gotong royong, saling menghormati dan

tepa salira merupakan contoh kecil dari kearifan lokal.

Dari definisi di atas, dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah

pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan

hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan

memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk

pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-

nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat.

Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat

lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu

sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat

disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi kearifan

lokal dalam kehidupan setiap hari karena telah terinternalisasi dengan sangat baik.

Tiap bagian dari kehidupan masyarakat lokal diarahkan secara arif berdasarkan

sistem pengetahuan mereka, dimana tidak hanya bermanfaat dalam aktifitas

keseharian dan interaksi dengan sesama saja, tetapi juga dalam situasi-situasi yang

tidak terduga seperti bencana yang datang tiba-tiba.

Berangkat dari semua itu, kearifan lokal adalah persoalan identitas.

Sebagai sistem pengetahuan lokal, ia membedakan suatu masyarakat lokal dengan

masyarakat lokal yang lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari tipe-tipe kearifan

lokal yang dapat ditelusuri:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1. Kearifan lokal dalam hubungan dengan makanan: khusus berhubungan

dengan lingkungan setempat, dicocokkan dengan iklim dan bahan

makanan pokok setempat. (Contoh: Sasi laut di Maluku dan beberapa

tempat lain sebagai bagian dari kearifan lokal dengan tujuan agar sumber

pangan masyarakat dapat tetap terjaga).

2. Kearifan lokal dalam hubungan dengan pengobatan: untuk pencegahan

dan pengobatan. (Contoh: Masing-masing daerah memiliki tanaman obat

tradisional dengan khasiat yang berbeda-beda).

3. Kearifan lokal dalam hubungan dengan sistem produksi: Tentu saja

berkaitan dengan sistem produksi lokal yang tradisional, sebagai bagian

upaya pemenuhan kebutuhan dan manajemen tenaga kerja. (Contoh:

Subak di Bali; di Maluku ada Masohi untuk membuka lahan pertanian,

dll.).

4. Kearifan lokal dalam hubungan dengan perumahan: disesuaikan dengan

iklim dan bahan baku yang tersedia di wilayah tersebut (Contoh: Rumah

orang Eskimo; Rumah yang terbuat dari gaba-gaba di Ambon, dll.).

5. Kearifan lokal dalam hubungan dengan pakaian: disesuaikan dengan iklim

dan bahan baku yang tersedia di wilayah itu.

6. Kearifan lokal dalam hubungan sesama manusia: sistem pengetahuan lokal

sebagai hasil interaksi terus menerus yang terbangun karena kebutuhan-

kebutuhan di atas. (Contoh: Hubungan Pela di Maluku juga berhubungan

dengan kebutuhan-kebutuhan pangan, perumahan, sistem produksi dan

lain sebagainya).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sibarani (2012: 112-113) berpendapat tentang kearifan lokal dapat

dipandang dari dua pengertian. Pertama, ―Kearifan lokal adalah kebijaksanaan

atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi

budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat.‖ Di dalam hal ini, kearifan

lokal lebih ditekankan pada kebijaksanaan atau kearifan menata kehidupan sosial

yang berasal dari nilai budaya yang luhur. Kedua, kearifan lokal adalah nilai

budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan

masyarakat secara arif maupun bijaksana.‖ Dalam hal ini, kearifan lokal

dipandang sebagai nilai budaya yang digunakan untuk mengatur kehidupan sosial

masyarakat.

Kearifan lokal dan pengetahuan masyarakat setempat dapat dimanfaatkan

untuk meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan kedamaian di masyarakat

pada hakikatnya merupakan kebenaran yang diidam-idamkan masyarakat.

Kebenaran seperti itu pada perkembangan selanjutnya disebut dengan kebenaran

pragmatis. Secara praktis, pengetahuan asli dan kearifan lokal merupakan

kebenaran yang sesungguhnya karena benar-benar bermanfaat pada kehidupan

manusia (Sibarani, 2012: 111).

Kearifan lokal dilegitimasi dalam perundang-undangan Republik

Indonesia. Hal tersebut ditemukan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Pasal

1angka 30 UUPPLH berbunyi, ―Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang

berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan

mengelolah lingkungan hidup secara lestari.‖ Pasal ini memperoleh penjelasan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


umum pada angka 2UUPPLH yang berbunyi, ―...lingkungan hidup Indonesia

harus dilindingi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab

negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan.‖ Kalimat ini diperjelas dengan

penekanan kearifan lokal, ―Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat

memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan

berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta

pengakuan dan penghargaan terhadp kearifan lokal dan kearifan lingkungan.‖

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai

usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan

bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.

Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai

kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau

bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang

terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai

‗kearifan/kebijaksanaan‘.

Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan

sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain

sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara

manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi

yang sudah terdesain tersebut disebut settting. Setting adalah sebuah ruang

interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face

dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi

landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka.

Kearifan lokal merupakan hasil proses dialektika antara individu dengan

lingkungannya. Kearifan lokal merupakan respon individu terhadap kondisi

lingkungannya. Pada individual, kearifan lokal muncul sebagai hasil dari proses

kerja kognitif individu sebagai upaya menetapkan pilihan nilai-nilai yang

dianggap paling tepat bagi mereka. Pada kelompok, kearifan lokal merupakan

upaya menemukan nilai-nilai bersama sebagai akibat dari pola-pola hubungan

(setting) yang telah tersusun dalam sebuah lingkungan.

Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari

periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya

dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu

panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai

sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup

bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak

sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu

mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.

Sibarani (2012: 112-113) berpendapat tentang kearifan lokal dapat

dipandang dari dua pengertian. Pertama, ―Kearifan lokal adalah kebijaksanaan

atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi

budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat.‖ Di dalam hal ini, kearifan

lokal lebih ditekankan pada kebijaksanaan atau kearifan menata kehidupan sosial

yang berasal dari nilai budaya yang luhur. Kedua, kearifan lokal adalah nilai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan

masyarakat secara arif maupun bijaksana.‖ Dalam hal ini, kearifan lokal

dipandang sebagai nilai budaya yang digunakan untuk mengatur kehidupan sosial

masyarakat.

Kearifan lokal dan pengetahuan masyarakat setempat dapat

dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan kedamaian di

masyarakat pada hakikatnya merupakan kebenaran yang diidam-idamkan

masyarakat. Kebenaran seperti itu pada perkembangan selanjutnya disebut dengan

kebenaran pragmatis. Secara praktis, pengetahuan asli dan kearifan lokal

merupakan kebenaran yang sesungguhnya karena benar-benar bermanfaat pada

kehidupan manusia (Sibarani, 2012:111).

Kearifan lokal merupakan milik manusia yang bersumber dari nilai

budayanya sendiri dengan menggunakan segenap akal budi, pikiran, hati, dan

pengetahuannya untuk bertindak dan bersikap terhadap lingkungan alam dan

lingkungan sosialnya. Manusia selalu memilik dua ruang interaksi yakni

lingkungan alam dan lingkungan sosial. Menghadapi dua ruang interkasi itu, pada

umumnya manusia memiliki kearifan dari tiga sumber, yaitu dari nilai tradisi

budaya, aturan pemerintah, dan nilai agama. Ketiganya bersinergi menjadi satu

nilai budaya menjadi sumber kearifan lokal. Dengan tiga sumber kearifan itu,

manusia menjalani kehidupannya dalam ruang interaksi lingkungan alam dan

lingkungan sosial. Pada gilirannya kedua ruang interaksi itu memproduksi nilai

dan norma budaya baru yang berlaku pada komunitasnya dan yang berbeda

dengan nilai budaya pada komunitas lainnya. Nilai dan norma budaya semacam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ini menjadi kearifan baru yang telah mengalami transformasi. Nilai-nilai tersebut

cukup arif sebagai landasan hubungan manusia dengan manusia, dengan alam,

dan dengan Tuhan. Oleh karena itulah, kearifan lokal merupakan nilai dan norma

budaya yang menjadi acuan tingkah laku manusia untuk menata kehidupannya

(Sibarani, 2015: 79).

Kearifan lokal yang digali dari tradisi budaya atau tradisi lisan sebaiknya

mempertimbangkan teori lapisan, yang sering dianalogikan dengan teori ―bawang

merah‖. Lapisan luar (outer layer) suatu tradisi budaya atau tradisi lisan

memperlihatkan makna dan fungsi tradisi yang dapat diamati, ditonton, didengar,

atau dinikmati secara empiris, tetapi lapisan tengah (middle layer) suatu tradisi

budaya atau tradisi lisan akan memperlihatkan nilai dan norma tradisi tersebut,

sedangkan lapisan inti (the core layer) akan memperlihatkan kearifan lokal yang

menjadi keyakinan, kepercayaan, dan asumsi dasar yang dapat menyelesaikan

persoalan hidup yang dihadapi manusia dalam komunitasnya. Dengan pembedaan

ketiga lapisan tersebut, orang akan membedakan makna-fungsi, nilai-norma, dan

kearifan lokal secara lebih jelas. Setiap orang melihat, mengkaji, dan memahami

tradisi budaya atau tradisi lisan, perlu membedakan makna dan fungsi, nilai dan

norma, serta kearifan lokal tradisi tersebut (Sibarani, 2015: 51-52). Adapun teori

lapisan pemaknaan tradisi lisan atau tradisi budaya tersebut dapat dilihat dari

bagan berikut,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Bagan 2.1 Teori Lapisan Pemaknaan Tradisi Lisan/Tradisi Budaya

Dalam penelitian terhadap tradisi budaya atau tradisi lisan terdapat

berbagai nilai dan norma budaya sebagai warisan leluhur yang menurut fungsinya

dalam menata kehidupan sosial masyarakatnya dapat diklasifikasikan sebagai

kearifan lokal. Menurut Sibarani (2012: 133-134) ada dua jenis kearifan lokal inti

(core local wisdoms), yaitu kearifan lokal untuk (1) kemakmuran atau

kesejahteraan dan (2) Kedamaian atau kebaikan. Dapat dilihat lebih jelas dalam

bagan dibawah ini,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KEARIFAN LOKAL

KEDAMAIAN KESEJAHTERAAN

Kesopansantunan Kerja keras


kejujuran disiplin
kesetiakawanan sosial pendidikan
kerukunan & penyelesaian kesehatan
konflik gotong royong
Komitmen Pengelolaan gender
Pikiran Positif pelestarian dan kreativitas
Rasa Syukur budaya
peduli lingkungan

Bagan 2.2: Jenis Kearifan Lokal

Dalam penelitian ini, peneliti akan menanalisis kearifan lokal yang

terdapat dalam masyarakat Asahan yang terdapat dalam Sinandong Asahan

tersebut. Nilai-nilai itu bisa berwujud nilai-nilai keyakinan yang dipedomani

mayarakat dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu bisa berupa gotong-

royong, kerukunan, etos kerja, kesetiakawanan sosial, dan sebagainya.

2.2.8 Model Revitalisasi

Warisan budaya, berdasarkan sifat bentuknya dapat dikelompokkan

menjadi dua, yaitu warisan budaya materi/tangible, seperti contohnya: alat-alat

batu, candi, mesjid tua, gereja tua, dan sebagainya. Serta warisan budaya non-

materi/intangible, seperti contohnya: bahasa, nyanyian, tari-tarian, proses

pembuatan batik, seni pertujukan tradisional, dan sebagainya. Terminologi ini

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


harus dipahami sebagai pembeda antara hasil cipta, rasa, karsa oleh manusia

terhadap suatu materi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam hal ini

warisan budaya yang materi/tangible. Adapun pemahaman warisan budaya non-

materi/intangible yang paling mudah adalah sesuatu yang berkenaan dengan hasil

ranah ide dan konsep yang dituangkan dalam bentuk simbol-simbol tertentu yang

diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari manusia, yang ada di balik objek

materi (ranah intangible-nya).

Konservasi secara umum diartikan pelestarian namun demikian dalam

khasanah para pakar konservasi ternyata memiliki serangkaian pengertian yang

berbeda-beda implikasinya. Istilah konservasi yang biasa digunakan para arsitek

mengacu pada Piagam dari International Council of Monuments and Site

(ICOMOS) tahun 1981 yaitu : Charter for the Conservation of Places of Cultural

Significance, Burra, Australia. Piagam ini lebih dikenal dengan Burra Charter.

Dalam Burra Charter konsep konservasi adalah semua kegiatan pelestarian

sesuai dengan kesepakatan yang telah dirumuskan dalam piagam tersebut.

Konservasi adalah konsep proses pengelolaan suatu tempat atau ruang atau obyek

agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik.

Pengertian ini sebenarnya perlu diperluas lebih spesifik yaitu pemeliharaan

morfologi (bentuk fisik) dan fungsinya. Kegiatan konservasi meliputi seluruh

kegiatan pemeliharaan sesuai dengan kondisi dan situasi lokal maupun upaya

pengembangan untuk pemanfaatan lebih lanjut. Bila dikaitkan dengan kawasan

maka konservasi kawasan atau sub bagian kota mencakup suatu upaya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pencegahan adanya aktivitas perubahan sosial atau pemanfaatan yang tidak sesuai

dan bukan secara fisik saja.

Kegiatan konservasi antara lain bisa berbentuk (a) preservasi, (b) restorasi,

(c) replikasi, (d) rekonstruksi, (e) revitalisasi dan/atau penggunaan untuk fungsi

baru suatu aset masa lalu, (f) rehabilitasi. Aktivitas tersebut tergantung dengan

kondisi, persoalan, dan kemungkinan yang dapat dikembangkan dalam upaya

pemeliharaan lebih lanjut. Masyarakat awam sering keliru bahwa pelestarian

bangunan bersejarah diarahkan menjadi ded monument (monumen statis) tetapi

sebenarnya bisa dikembangkan menjadi life monument yang bermanfaat

fungsional bagi generasi masa sekarang.

Suatu program konservasi sedapat mungkin tidak hanya dipertahankan

keasliannya dan perawatannya namun tidak mendatangkan nilai ekonomi atau

manfaat lain bagi pemilik atau masyarakat luas. Konsep pelestarian yang dinamik

tidak hanya mendapatkan tujuan pemeliharaan bangunan tercapai namun dapat

menghasilkan pendapatan dan keuntungan lain bagi pemakainya. Dalam hal ini

peran arsitek sangat penting dalam menentukan fungsi yang sesuai karena tidak

semua fungsi dapat dimasukkan. Kegiatan yang dilakukan ini membutuhkan

upaya lintas sektoral, multi dimensi dan disiplin, serta berkelanjutan. Dan

pelestarian merupakan pula upaya untuk menciptakan pusaka budaya masa

mendatang (future heritage), seperti kata sejarawan bahwa sejarah adalah masa

depan bangsa. Masa kini dan masa depan adalah masa lalu generasi berikutnya

(http://www.icomos.org/charters/burra1999_indonesian.pdf).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Mempertimbangkan piagam internasioal tentang Konservasi dan Restorasi

Monumen dan Situs (International Charter for the Conservation and Restoration

of Monumen and Sites, Venice 1964), dan Resolusi Kelima Dewan Umum Badan

Internasional untuk Monumen dan Situs (Resolution of the 5th General Assembly

of the International Council of the Monumen and Sites(ICOMOS), Moscow

1978). Piagam Burra ditetapkan oleh ICOMOS Australia ( Komite Nasional

Australia untuk ICOMOS) pada tanggal 19 Agustus 1979 di Burra, Australia

Selatan. Revisi dilakukan pada tanggal 23 Februari 1981, 23 April 1988, dan 26

Nopember 1999. Piagam Burra memberi panduan untuk konservasi dan

pengelolaan tempat-tempat kebudayaan yang bersignifikansi (tempat-tempat

warisan budaya) dan disusun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman para

anggota ICOMOS Australia.

Konservasi adalah bagian integral dari pengelolaan tempat-tempat

bersejarah dan merupakan tanggung jawab berkesinambungan. Piagam ini

menetapkan standar pelaksanaan bagi pihak-pihak yang memberikan saran,

membuat keputusan, atau menangani pekerjaan pada tempat-tempat warisan

budaya termasuk pemilik, pengelolah, dan pengawas. Piagam ini dapat diterapkan

pada semua jenis tempat-tempat warisan budaya, termasuk tempat-tempat alam

(narural), asli (indiginous), dan tempat-tempat bersejarah yang memiliki nilai

budaya.

Untuk melindungi tempat-tempat warisan budaya di Indonesia, sudah

diatur dalam UU no. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pasal 1, ayat (1) UU

No. 11 Tahun 2010 menyatakan bahwa Cagar Budaya adalah warisan budaya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,

Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat

dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai

penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan

melalui proses penetapan. Sedangkan ayat (2) menyatakan, Benda Cagar Budaya

adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak

bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-

sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah

perkembangan manusia.

Penyelamatan suatu obyek konservasi adalah bentuk apreasiasi pada

perjalanan sejarah bangsa, pendidikan dan pembangunan wawasan intelektual

bangsa antar generasi. Konservasi suatu bangunan kolonial tidak diartikan suatu

cara mengenang kolonialisme dan ketidakberdayaan bangsa tetapi menjadi

‖tantangan‖ untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan

mengisi karya yang lebih baik. Pelestarian suatu arsitektur kolonial adalah

mengingatkan kegetiran serta meningkatkan harga diri bangsa untuk tetap

merdeka. Keberadaan bangunan bersejarah memiliki signifikasi pembentukan

kolektif memori serta membangun kesinambungan sejarah yang merupakan dasar

terbentuknya makna sebuah lingkungan. Dengan demikian sangat keliru bilamana

suatu program pelestarian hanya ditujukan untuk tujuan estetika atau romantisme

masa lalu belaka.

Selanjutnya, di dalam Convention for the Safeguarding of the Intangible

Culltural Heritage (Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Berwujud) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan budaya tidak berwujud

seperti tercantum dalam pasal 1 konvensi ini adalah sebagai berikut :Warisan

budaya tak berwujud sebagaimana dalam ayat (1), diwujudkan antara lain di

bidang-bidang sebagai berikut :

a. Tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya tak

benda;

b. Seni pertunjukan;

c. Adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan – perayaan;

d. Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta;

e. Kemahiran kerajinan tradisional.

Adapun beberapa contoh warisan budaya yang dimiliki Bangsa Indonesia

adalah sebagai berikut:

a. Tari-tarian.

Misal: Tari Pendet, Tari Remo, Tari Lilin, Tari Jaipong, Tari Kecak, dll.

b. Candi

Misal : Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Mendut, dll.

c. Lagu Daerah

Misal: Sayonara, Soleram, Ampar – ampar pisang, Apuse, dll.

d. Masakan

Misal: Tumpeng, Rendang, Gudeg, Lodho, Soto, Sate, Ruja, dll.

e. Pakaian adat

Misal: Baju Bodho, Kebaya, Jarit, Kain Songket, Batik, dll.

f. Upacara adat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Misal: Ngaben, Kasodo, Sekaten, Larung Sajen, Nyadran, dll. (http://wartawarga.

gunadarma.ac.id/2010/02/pengertian-tujuan-dan-ruang-lingkup -ilmubudaya)

Untuk melestarikan budaya intangible maka DPR RI membuat Rancangan

Undang Undang pada tanggal 3 April 2013. Menimbang (a) bahwa kebudayaan

nasional Indonesia melalui pengelolaan kebudayaan harus menuju ke arah

kemajuan adab, budaya, dan persatuan untuk mempertinggi derajat kemanusiaan

bangsa Indonesia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan

mengembangkan nilai budaya; (b) bahwa untuk memelihara dan mengembangkan

nilai budaya harus didasari pada kristalisasi nilai budaya yang terkandung dalam

Pancasila; (c) bahwa nilai budaya dan keanekaragaman budaya yang ada di

Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh globalisasi sehingga dapat

menimbulkan perubahan nilai budaya dalam masyarakat; (d) bahwa belum ada

peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kebudayaan sebagai

landasan hukum dalam pengelolaan kebudayaan; (e) bahwa berdasarkan

pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a), huruf (b), huruf (c), dan

huruf (d) maka perlu dibentuk Undang-Undang tentang Pengelolaan Kebudayaan.

Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DPR RI

dan Presiden RI memutuskan dan menetapkan UU tentang Pengelolaan

Kebudayaan

Pasal 1 RUU Tahun 2013 menjelaskan bahwa, dalam Undang-undang ini

yang dimaksud dengan:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1. Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan, perilaku, dan hasil karya manusia

dan/atau kelompok manusia yang dikembangkan melalui proses belajar dan

adaptasi terhadap lingkungannya yang berfungsi sebagai pedoman untuk

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2. Kebudayaan Nasional Indonesia adalah kebudayaan elemen bangsa di seluruh

Indonesia dan kebudayaan baru yang timbul akibat interaksi antarkebudayaan

untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

3. Sistem Kebudayaan Indonesia adalah keseluruhan proses dan hasil interaksi

sistemik dari budaya keagamaan, budaya kebangsaan, budaya kesukuan,

budaya tempatan, dan budaya global yang terkait satu sama lain dan dinamis

menuju ke arah kemajuan peradaban bangsa Indonesia.

4. Unsur Kebudayaan adalah bagian dari suatu sistem kebudayaan dengan sifat

yang berbeda-beda yang terkait satu sama lain dan membentuk satu kesatuan.

5. Pengelolaan Kebudayaan adalah upaya pelestarian kebudayaan yang dilakukan

melalui perencanaan, penyelenggaraan, dan pengendalian untuk tujuan

kemajuan peradaban bangsa dan kesejahteraan masyarakat.

6. Pelestarian adalah upaya dinamis yang meliputi pelindungan, pengembangan,

dan pemanfaatan.

Selanjutnya dalam pasal 5 dinyatakan, Pengelolaan Kebudayaan dilakukan

berdasarkan prinsip:

a. Hak Berkebudayaan;

b. kearifan lokal;

c. kelestarian alam dan lingkungan hidup;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


d. koordinasi dan keterpaduan secara sinergis antarpemangku kepentingan;

e. jati diri bangsa, harmoni kehidupan, dan etika global tentang kebudayaan.

Dalam pasal 6 dinyatakan, Pengelolaan Kebudayaan bertujuan:

a. memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. meningkatkan ketahanan budaya;

c.membangun keharmonisan dalam keanekaragaman budaya bangsa yang

dinamis;

d. memperkuat keberlanjutan kebudayaan sebagai modal dasar pembangunan

nasional; dan

e. memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat.

Kemudian dalam pasal 43 dinyatakan bahwa Penghargaan Sejarah dan

Warisan Budaya melalui upacara tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal

36 huruf (g) diwujudkan dengan:

a. inventarisasi dan dokumentasi;

b. fasilitasi penyelenggaraan upacara tradisional;

c. promosi upacara tradisional; dan

d. publikasi.

Pasal 44, Penghargaan Sejarah dan Warisan Budaya melalui kesenian

tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf h diwujudkan dengan:

a. inventarisasi dan dokumentasi;

b. fasilitasi penyelenggaraan kesenian tradisional;

c. fasilitasi pengajaran kesenian tradisional;

d. sosialisasi kesenian tradisional;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


e. promosi kesenian tradisional; dan

f. publikasi.

Menindaklanjuti RUU tersebut, maka pada tanggal 12 Desember 2013

dikeluarkanlah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Takbenda Indonesia.

Dalam Pasal 3 dinyatakan, Warisan Budaya Takbenda Indonesia terdiri atas:

a. tradisi dan ekspresi lisan;

b. seni pertunjukan;

c. adat-istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan;

d. pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta; dan/atau

e. keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional.

Pasal 4 ayat (1) Budaya Takbenda dapat berasal dari perseorangan,

kelompok orang, atau Masyarakat Hukum Adat. Ayat (2) Budaya Takbenda dapat

ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia dengan kriteria:

a. merupakan Budaya Takbenda yang melambangkan identitas budaya dari

masyarakat;

b. merupakan Budaya Takbenda yang memiliki nilai penting bagi bangsa dan

negara;

c. merupakan Budaya Takbenda yang diterima seluruh masyarakat Indonesia;

d. memiliki nilai-nilai budaya yang dapat meningkatkan kesadaran akan jatidiri

dan persatuan bangsa; dan

e. merupakan Budaya Takbenda yang memiliki nilai diplomasi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Ayat (3) Budaya Takbenda yang memiliki arti khusus bagi masyarakat atau

bangsa Indonesia, tetapi tidak memenuhi kriteria Warisan Budaya Takbenda

Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diusulkan oleh Tim Ahli

sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia.

Ayat (4) Budaya Takbenda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat ditetapkan

sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia dengan ketentuan kondisinya yang

sudah terancam punah atau ditinggalkan oleh masyarakat.

Selanjutnya pada BAB VI tentang pelestarian, yang dinyatakan pada Pasal

10, Pelestarian Warisan Budaya Takbenda Indonesia meliputi Pelindungan,

Pengembangan, dan Pemanfaatan. Pasal 11, ayat (1) Pemerintah dan Pemerintah

Daerah berkewajiban menjamin Pelestarian Warisan Budaya Takbenda Indonesia

melalui program peningkatan kesadaran Pelestarian. Ayat (2) Pemerintah dan

Pemerintah Daerah mempunyai rencana aksi dalam melestarikan Warisan Budaya

Takbenda Indonesia.

Pasal 12 ayat (1) Setiap Orang dan Masyarakat Hukum Adat berperan aktif

melakukan Pelindungan Warisan Budaya Takbenda Indonesia melalui

Pendaftaran. Ayat (2) Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan secara terkoordinasi antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, Setiap

Orang, dan Masyarakat Hukum Adat. Ayat (3) Pemerintah dan Pemerintah

Daerah melakukan Pelindungan dengan cara:

a. mendorong partisipasi untuk Pelestarian Warisan Budaya Takbenda Indonesia;

b. membantu fasilitasi pengembangan sumber daya manusia dan dan bimbingan

teknis dalam Pelestarian Warisan Budaya Takbenda Indonesia; dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


c. memberikan penghargaan kepada Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum

Adat yang berperan aktif melakukan Pelindungan Warisan Budaya Takbenda

Indonesia.

Ayat (4) Pelindungan terhadap Warisan Budaya Takbenda Indonesia diutamakan

untuk mempertahankan dan menyelamatkan keberadaannya.

Pasal 13 ayat (1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat

melakukan Pengembangan Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Ayat (2)

Pengembangan Warisan Budaya Takbenda Indonesia dilakukan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14 ayat (1) Pemanfaatan Warisan Budaya Takbenda Indonesia untuk

kepentingan pendidikan agama, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi,

dan kebudayaan. Ayat (2) Pemanfaatan Warisan Budaya Takbenda Indonesia

dilakukan melalui:

a. penyebarluasan informasi nilai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, karakter,

dan pekerti bangsa;

b. pergelaran dan pameran Warisan Budaya Takbenda Indonesia dalam rangka

penanaman nilai tradisi dan pembinaan karakter dan pekerti bangsa; dan

c. pengemasan bahan kajian dalam rangka penanaman nilai Warisan Budaya

Takbenda Indonesia serta pembinaan karakter dan pekerti bangsa.

Mengacu pada Convention for the Safeguarding of the Intangible Culltural

Heritage (Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Berwujud) maka

tradisi upacara malam berinai termasuk ke dalam bentuk adat-istiadat masyarakat

dan sinandong termasuk ke dalam bentuk seni pertunjukan yang meruapakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


warisan budaya takberwujud dan patut untuk dilestarikan. Model pewarisannya

akan disesuaikan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor

106 Tahun 2013 pasal 12 ayat 3, seperti yang sudah disebutkan di atas.

Sementara itu, Vansina (1961: 31-39) menawarkan empat metode

pewarisan tradisi lisan: instruksi, pengawasan terhadap kisah dari tradisi, tradisi

esoterik, dan alat pengingat. Pada metode instruksi Vansina mengambil contoh

dari Marquesas Islands dimana sebanyak 30 lelaki dan perempuan dengan usia

antara 20 hingga 30 dikumpulkan dan tinggal di dalam sebuah rumah khusus yang

besar selama sebulan dan tidak diperbolehkan pulang ke rumah mereka masing-

masing dalam kurun waktu tersebut. Mereka dilatih pada pagi dan siang hari oleh

seorang pakar budaya yang sengaja dikontrak dan setelah sebulan mereka diberi

waktu istirahat selama 15 hari dan setelah waktu istirahat pelatihan dilanjutkan

kembali. Jika mereka tidak memiliki kemajuan yang baik, pelatihan segera

ditutup.

Metode pengawasan terhadap kisah dari tradisi (control over recital of

traditions) dilakukan dengan cara berbeda-beda. Vansina mencatat beberapa

wilayah di dunia yang menerapkan sanksi dan penghargaan (rewards) untuk

menjaga kelangsungan kisah dari sebuah tradisi. Masyarakat Bushongo hanya

menggunakan bentuk sanksi yang diringankan; sedangkan, seorang raja

diperkirakan gagal bila ia tidak dapat memberikan deskripsi umum tentang sejarah

Kuba pada saat upacara penobatan. Bila kesalahan terjadi ketika mengkisahkan

sebuah tradisi di Marquesas Islands maka upacara tersebut dibatalkan karena telah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


diberi sanksi oleh dewa. Vansina juga melaporkan bahwa seorang guru dapat

mati mendadak bila terjadi satu kesalahan saja ketika ia berkisah di Selandia Baru.

Metode tradisi esoterik (esoteric traditions) memiliki keunikan. Vansina

mentatat pengetahuan tradisi yang bersifat esoterik (terbatas bagi kelompok

masyarakat tertentu) dan non esoterik. Masyarakat Bushongo memiliki lagu-lagu

ncyeem yang dibagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama yang diberi nama

ncyeem ibushepy diperuntukkan bagi masyarakat umum namun kategori kedua,

ncyeem ingesh, yang hanya boleh diajarkan oleh guru wanita, tidak boleh

diperdengarkan kepada masyarakat umum dan hanya isteri-isteri raja yang boleh

mendengarnya. Tradisi suku Kuba juga bersifat esoterik karena dilarang diketahui

oleh orang lain dari luar suku itu.

Terkait dengan metode alat pengingat Vansina berpendapat bahwa tradisi

perlu diingat dan cara mengingat sebuah tradisi adalah dengan melestarikan

objek-objek material yang diwariskan oleh generasi terdahulu. Objek-objek

material ini disebut alat pengingat (mnemonic devices). Ia menolak alat pengingat

sebagai bagian dari tradisi lisan walaupun benda tersebut mengandung nilai

sejarah yang amat baik. Beberapa contoh alat pengingat adalah tongkat, pot, kursi,

lagu-lagu, drum dan lainnya.

Perumusan model revitalisasi harus dilakukan secara seksama agar benar-

benar dapat diterapkan dan diterima oleh komunitasnya. Hal ini perlu, apalagi jika

tradisi lisan itu telah lam ditinggalkan oleh komunitasnya. Penelitian dan

perencanaan dilakukan secara bersama-sama dan secara seimbang dengan tujuan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


utama menghidupkan kembali suatu tradisi atau membuat tradisi lisan itu lebih

digemari oleh komunitas pendukungnya.

Model revitalisasi tradisi lisan membutuhkan perencanaan dan penelitian

yang khusus karena menyangkut komunitas pemiliknya. Salah satu metode

kombinasi penelitian dan perencanaan yang dapat diterapkan dalam model

revitalisasi tradisi lisan adalah Participatory Planning and Research (PPR). Ada

dua kegiatan yang dilakukan dalam model ini penelitian tradisi lisan (bentuk dan

isi) secara partisipatoris serta perencanaan tradisi lisan dan pendukungnya secara

partisipatoris. Penelitian bentuk dan isi tradisi lisan yang akan direvitalisasi

dilakukan secara emik dengan observasi partisipatoris dan langsung, wawancara

terbuka, dan mendalam, diskusi kelompok terarah, kepustakaan atau dokumen

tertulis. Perencanaan tradisi lisan dan pendukungnya mengikutsertakan

masyarakat setempat dalam (1) menetapkan prioritas terhadap tradisi lisan yang

akan direvitalisasi, (2) merencanakan dan menyusun program revitalisasi

termasuk rancangan revitalisasi terhadap sebuah tradisi lisan, (3) membentuk

kelompok tradisi lisan dengan program pelatihan atau pembelajaran, (4)

mengelolah kelompok tradisi lisan secara terus-menerus, (5) mensosilisasikan

tradisi lisan kepada pendukungnya dengan menanamkan nilai-nilai budaya dan

kearifan lokal sebagi kandungan tradisi lisan, (6) merancang regenerasi pelaku

dan pendukung tradisi lisan sebagai bagian dari pewarisan budaya (Sibarani,

2012:293-294).

Keenam langkah perencanaan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga

komponen revitalisasi, yakni penghidupan/pengaktifan kembali, pengelolaan, dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pewarisan tradisi lisan. Penghidupan kembali dimaksudkan untuk tradisi lisan

yang telah punah, sedangkan pengaktifan kembali dimaksudkan untuk tradisi lisan

yang masih hidup tetapi sudah tidak aktif lagi atau tidak lagi menjadi bagian

hidup masyarakatnya. Pengelolaan merupakan hal yang penting agar tradisi lisan

menjawab kebutuhan masyarakat, sedangkan pewarisan diperlukan untuk

menjamin masa depan tradisi lisan.

Seperti kata pepatah, tradisi lisan saat ini ‖ibarat kerakap tumbuh di batu,

hidup enggan mati tak mau‖. Geliat tradisi yang semakin menyuram bukan tidak

mungkin suatu saat akan benar-benar mati dan tinggal cerita indah saja untuk

dikenang. Orang yang faham tentang tradisi lisan sudah mulai berkurang, ini bisa

menjadi lampu kuning bagi kelangsungan hidup tradisi lisan. Para pelakunya

sudah rata-rata berusia di atas 50 tahun dan mereka tidak memiliki kader yang

akan menggantikan mereka kelak.

Masyarakat, terutama kamu muda, harus dikenalkan kembali dengan

khasanah tradisi lisan. Dalam berbagai kegiatan pribadi maupun publik, tradisi

lisan sudah harus kembali ditampilkan, walaupun mungkin untuk tahap awal

hanya merupakan selingan. Dengan berbagai modifikasi dan pelatihan yang

memadai, tradisi lisan masih bisa berharap untuk eksis di tengah masyarakat.

Masyarakat sesungguhnya masih memiliki memori tentang masa lalu mereka.

Namun, karena kesibukan dan perubahan zaman, masyarakat menjadi abai dengan

warisan leluhur yang sesungguhnya memiliki begitu banyak ajaran moral dan

tuntunan kehidupan. Dekadensi moral seperti saat ini, salah satunya disebabkan

karena masyarakat sudah ‖kehilangan‖ nilai-nilai moral yang harus mereka anut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tradisi lisan dengan kearifan lokalnya dapat menjadi penawar dahaga di tengah

lautan kehidupan yang semakin gersang seperti saat ini.

Pada masa lalu tradisi lisan, seperti tradisi malam berinai dan Sinandong,

masih punya penggemar karena tidak ada alternatif hiburan lain. Sekarang dengan

perkembangan teknologi, Sinandong jadi tidak laku. Nilai-nilai masa kini adalah

dinamis. Nilai masa lalu yang ada pada Sinandong berubah. Sinandong hanya bisa

dihidupkan melalui revitalisasi. Caranya, memperkenalkan sinandong ini kepada

masyarakat dengan membuat festival sinandong. Membuat group sinandong yang

terdiri dari personil muda mudi. Kemudian, membuat group sinandong yang lebih

modern sehingga disukai oleh masyarakat umum. Pembelajaran sinandong di

sekolah sebagai muatan lokal, juga bisa dipakai sebagai sarana revitalisasi

senadung, tentu saja dengan dukungan Pemda setempat. Revitalisasi tidak hanya

menyangkut dipentaskannya kembali Sinandong dalam berbagai festival, tetapi

juga harus menyentuh aspek bagaimana mengemas kembali Sinandong tersebut

dalam format yang lebih atraktif sehingga layak untuk bersaing dengan berbagai

budaya populer saat ini.

Namun realitasnya pemerintah atau masyarakat sendiri mengalami

kesulitan dalam melakukan pelestarian karena berbagai keterbatasan. Pertama,

keterbatasan pengetahuan dan wawasan mengenai pelestarian. Tidak sedikit

tradisi dan ekspresi lisan; seni pertunjukan; adat-istiadat masyarakat, ritus, dan

perayaan-perayaan; pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan

semesta; dan keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional, yang tersebar di

masyarakat dan belum terdaftar sebagai warisan budaya. Hal ini bisa diatasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dengan konsultasi pada pihak-pihak yang berkompeten. Keberadaan lembaga adat

dan pakar budaya sangat membantu dan diharapkan supaya masyarakat

memahami dan mencintai budaya sendiri. Kedua, keterbatasan dana dalam

pelestarian yang biasanya harus mengeluarkan biaya ekstra dan lebih besar.

Akibatnya masyarakat tidak mampu melestarikan budaya tersebut karena

memakan biaya yang besar. Ketiga, masalah kemajuan teknologi sehingga

kebudayaan tradisi mengalami kesulitan untuk bertahan dan kehilangan

pendukungnya.

2.3.4 Teori Arketipe

Analisis psikologis, khususnya dalam kaitannya dengan tradisi psikologi

analitik Jungian, memandang struktur primordial sebagai ekuivalensi struktur

arketipe. Individu terdiri atas dua lapisan ketaksadaran, yaitu a) ketaksadaran

personal, yang isinya diterima melalui pengalaman langsung dalam kehidupan

sehari-hari, dan b) ketaksadaran kolektif yang isinya secara universal diterima

melalui kualitas spesies, termasuk kelas, ras, ciri-ciri genetik lainnya. Individu

mesti memiliki relevansi dengan masa lampau. Oleh karena itulah, kompleks ide

mesti distrukturisasikan dan dienergisasikan di sekitar citra arketipe. Citra arketip

selanjutnya menggarisbawahi dan mengarahkan perilaku, khususnya yang

berkaitan dengan pikiran dan perasaan secara tidak langsung, seperti cita-cita dan

kehendak, kreasi dan imajinasi, khususnya perilaku yang berkaitan dengan citra

masa lampau. Dengan dasar warisan nenek moyang, arketipe berfungsi sebagai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


prototipe, cetak biru pola-pola perilaku individu, yang pada gilirannya merupakan

dasar-dasar filsafat dan ilmu pengetahuan pada umumnya (Ratna, 2011:141-142).

Dalam proses analisis eksistensi citra primordial dan arketipe ditelusuri

melalui dua mekanisme, yaitu:

a. mekanisme analisis struktur intrinsik, dan

b. mekanisme struktur ekstrinsik.

Masing-masing analisis menampilkan mediasi-mediasi, struktur intrinsik

dengan mediasi genre, struktur tematik, dan estetis. Melalui indikator tertentu

mengarahkan subjek untuk menampilkan cara-cara penyajian yang baru. Struktur

ekstrinsik dengan mediasi sosiokultural dan antardisiplin, melalui kualitas

interdependensi, antara indikator-indikator modernitas, kebudayaan asing, dan

erosi psikologis, mengarahkan pada esensi subjek kreator untuk menampilkan

pergeseran mentalitas spesiesnya. Melalui kedua mekanisme di atas, secara ritmis

dialektis dapat diidentifikasi citra nostalgis mentalitas subjek kolektif karya

(Ratna, 2011: 136)

Kajian arketipe mempunyai hubungan yang erat dengan ilmu psikologi

dan antropologi. Pendekatan psikologi dipengaruhi oleh falsafah Freud, tetapi

pendekatan arketipe ini dipengaruhi oleh falsafah psikologis Jung. Dengan kata

lain, pendekatan arketipe adalah lanjutan dari perkembangan kajian psikologis.

Ada aspek-aspek yang sama dibicarakan tetapi ada juga aspek-aspek yang

berbeda.

Di antara aspek yang banyak dibicarakan oleh Jung hasil dari

penyelidikannya adalah konsep primordial images. Hanya pada tahun 1919,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


barulah istilah arketipe digunakannya dan terbentuk sebagai sebuah teori. Dengan

istilah arketipe Jung merujuk kepada perkembangan manusia dari jaman kanak-

kanak, remaja, dewasa, hingga akhir hayat dalam konteks mendukung konsep tipe

induk dalam diri manusia.

David Macey (Sikana, 2009:136) mengemukakan, archetipe in the strict

sense are primordial ang universal images that make up the contents of the

collective unconcius, and their existence is revealed by the regular pattern of

imagery that reoccur in individual dreams, artistic productions and primitive

religion and mythologeis. Jung adalah seorang ahli psikiatris dan pelopor gerakan

analisis psikologi yng mengarah kepada metapsikologi dan teori psikoterapi. Jung

dianggap sebagai subjektivis dan berpegang kepada tradisi romantik dan dia

mengkaji aspek jiwa atau soul manusia yang mengaitkan antara psikologi

kejiwaan dengan agama dan kepercayaan.

Gazet berpendapat, dalam karya sastra ciri-ciri historis primordial dan ciri-

ciri psikologis arketipe tidak dianggap sebagai dua komponen yang berbeda dan

tidak mesti dipertentangkan. Sebagai kualitas arkhais, sebagai mitos primordial

dan arketipe adalah dua diskresi yang saling melengkapi, bahkan identik. Ciri-ciri

historis primordial menyediakan pemahaman yang berkaitan dengan masa lampau

sebagai kualitas diakronis. Fragmentasi kehidupan manusia baik secara individual

maupun kelompok, mesti diartikiulasikan ke dalam sejarah, ke dalam generasi. Di

luar sejarah, manusia tidak memiliki arti (Ratna: 2011: 135).

Selanjutnya, Sikana (2009: 138- 146) mengatakan, penggunaan disiplin

dalam kaedah arketipe mempunyai beberapa konsep dan prinsip tersendiri.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Ada enam prinsip kaedah arketaipal. Pertama, pendekatan
arketaipal menekankan analisisnya teradap aspek-aspek pengulangan
naluri dalam penciptaan sebuah karya sastra. Kedua, pendekatan arketipe
meletakkan dasar penilaian kesusastraan seperti pengalaman-pengalaman
asli, bermakna dan berakar dari tradisi pribumi mempunyai kuasa, makna
dan pengertia hidup manusia. Ketiga, pendekatan arketipal memberikan
perhatian yang lumayan terhadap perkembangan jiwa pembaca atau
audiensnya. Keempat, pendekatan arketaipal sebagai satu kriteria kritikan
pada dasarnya tidak dapat menentukan secara mutlak akan mutu sesebuah
karya. Kelima, pendekatan arketaipal meletakkan taraf penulis sebagai
manusia luar biasa, mempunyai daya ingatan yang tajam dan
berkemampuan mengolah peristiwa-peristiwa klasik. Keenam, sama
seperti dengan pendekatan psikologi yang berdasarkan teori Freud,
pendekatan arketaipal juga dalam analisisnya melihat aspek perlambangan
atau simbolisme, penggandaan makna, dan ambiguiti.

Untuk lebih jelasnya, akan diraukan satu per satu. Pertama, pendekatan

arketipe menekankan analisisnya teradap aspek-aspek pengulangan naluri dalam

penciptaan sebuah karya sastra. Perkataan archetype itu sendiri bermakna ―bentuk

yang bersejarah‖ atau ―bentuk asli‖. Arketipe dikatakan sebagai an archetype as a

basic model from which copies are made (Peck, John & Coyle, Martin, 1990:368,

Sikana, 2009:136). Dari etimologinya, pendekatan ini mencoba menguraikan

aspek bentuk sebuah karya yang disusurkan dengan bentuk aslinya. Pengarang

mencoba menghidupkan kembali bentuk sastra rakyat, seperti cerita jenaka,

penglipur lara dan unsur-unsur keislaman.

Jung mengatakan bahwa dalam diri manusia, terutama pengarang,

memiliki suatu indra, juga intuisi. Tanpa sadar, akan menjelma turun temurun

bentuk penceritaan dari zaman ke zaman. Meskipun pada zaman klasik, mereka

disebut sebagai ahli pidato, penglipur lara, pencerita, ataupun dalang, dan pada

zaman modern ini disebut penulis, sastrawan atau pujangga, tetapi pada dasarnya

mereka menggunakan bentuk yang sama dalam kreativitas mereka. Jadi, kajian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


arketipe melihat bentuk sebagai suatu pola atau struktur penceritaan yang muncul

dari zaman ke zaman dan senantiasa diperbaharui oleh golongan muda, tanpa

menjelaskan keasliannya (Sikana, 2009 :138).

Kedua, pendekatan arketipe meletakkan dasar penilaian kesusastraan

seperti pengalaman-pengalaman asli, bermakna dan berakar dari kekuatan tradisi

masyarakat, makna dan pengertian hidup manusia. Pandangan terhadap

ketidaksadaran kolektif dan pengingatan kolektif berguna untuk memahami jiwa

suatu bangsa. Pendekatan arketipe dapat menolong untuk memahami kesusastraan

terutama unsur simbolisme, penggandaan makna, dan ambiguitas.

Pendekatan ini percaya adanya perulangan tema induk, lingkar sejarah,

dan budaya suatu bangsa dalam karya sastra. Jika alam suatu jaman, sejarah, atau

budaya suatu bangsa, begitu rendah, mundur, dan hina, tetapi di zaman lain, akan

menjadi tinggi, maju, dan terhormat. Begitu juga dengan sejarah manusia, saling

berganti sebagai implikasi dan reaksi pergolakan manusia. Intinya adalah tema

induk sebuah karya mempunyai makna dan kepentingan pada suatu bangsa.

Banyak cara bangsa itu mempergunakannya, terutama untuk memperkuat jati diri

mereka, seperti yang dilakukan oleh bangsa Barat, dengan mengagung-agungkan

jaman kejayaan jaman Greek (Yunani).

Dalam suatu uraian lain, pendekatan arketipe disebut sebagai pendekatan

totemik, mitologikal, dan rituaistik. Totemik adalah istilah yang merujuk ilmu

perbandingan ras manusia, dimana dalam suatu peringkat tamadun, mereka

menggunakan tanda-tanda bercorak simbolik sebagai usaha untuk memperkuat

kepercayaan dan keyakinan. Juga sebagai lambang keagamaan atau kebangsaan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang dimiliki suatu bangsa jika dibandingkan dengan bangsa yang lain.

Mitologikal berasal dari kata mitos, yang menerangkan suatu subjek mempunyai

asal-usul dan perl dihormati. Untuk memitosasi seorang raja dikatakan dia berasal

dari langit, karena ―langit‖ bermakna tinggi, terhormat, dan abstrak. Mitologikal

dalat didefenisikan sebagai himpunan cerita-cerita yang mengisahkan asal-usul

termasuk keturunan manusia, spekulasi kejadian alam, kisah penuh fantasi,

keajaiban, magis, heroisme, tragedi, dan aspek kepercayaan. Aspek kepercayaan

ini, termasuklah agama, adat-istiadat, pantang larang, kebiasaan, dan penganut

spiritual.

Ritualistik merupakan suatu konsep yang lebih menekankan kepada

amalan kepercayaan. Sebagai orang yang mempercayai kepercayaan, dia akan

melakukan aktivitas untuk memenuhi kepercayaan tersebut. Ritualistik biasanya

dihubungkan dengan amalan manusia primitif, umpamanya melakukan upacara

agama seperti berpesta. Pesta ini memiliki unsur kebudayaan. Asal usul tarian,

nyanyian musik, dan drama adala dari tari ritualistik ini.

Jika dihubungkan pendekatan arketipe dengan konsep totemik,

mitologikal, dan ritualistik, jelas sekali bahwa kritik ini mempunyai hubungan

yang amat erat dengan tradisi dan kegiatan budaya suatu bangsa. Arketipe melihat

kesusastraan sebagai bahan yang menghidupkan kembali kegiatan masa lampau.

Pengalaman-pengalaman asli suatu bangsa yang dasarnya kuat diberikan nafas

baru (Sikana, 2009: 139-140).

Ketiga, pendekatan arketipe memberikan perhatian yang lumayan terhadap

perkembangan jiwa pembaca atau audiensnya. Sesuai dengan pendekatan yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


diengaruhi oleh ilmu psikologi, penelitian ini banyak tertumpuh ke daerah jiwa,

sanubari dan batiniah pembacanya. Pendekatan ini memperkenalkan konsep

bawah sadar kelompok (collective unconscious) yang dimiliki secara naluriah oleh

pembacanya. Konsep ini menunjukkan bahwa dalam diri pembaca terdapat sifat

kegairahan yang akan terpesona, tergoda, atau tersentak terhadap sebuah karya

sastra yang mempunyai komposisi perulangan tradisi, seperti menggambarkan

unsur mitos, legenda, heroisme, cinta, nasionalisme, dan sebagainya.

Dalam hal ini, pembaca mempunyai alam bawah sadar kelompok dan

sebuah karya sastra itu sendiri mempunyai daya tarik khusus, keduanya saling

bekerja sama. Pembaca memiliki indra yang dapat merasakan keistimewaan

cerita-cerita tertentu, sementara cerita itu sendiri memiliki daya tarik untuk

mempesonakan pembaca. Dengan situasi dan kondisi demikian, melahirkan suatu

suasana apresiasi tradisi. Jiwa pembaca terasa puas dengan membaca kisah-kisah

lama karena bangsanya pernah menguasai alam buana, menjadi agung, dan

terhormat (Sikana, 2009:140).

Keempat, pendekatan arketipe sebagai kritik sastra pada dasarnya tidak

dapat menentukan secara mutlak akan mutu sebuah karya. Pengaplikasiannya

yang tidak secara mutlak ini menentukan kejayaan atau keberhasilan sebuah karya

sastra karenan pendekatan ini tidak menghubungkan kajiannya terhadap nilai.

Yang terpenting adalah bagaimana aspek-aspek perulangan tradisi, baik dalam

aspek struktur maupun isi digunakan kembali oleh pengarang. Kajian arketipe ini

lebih menekankan kepada unsur-unsur antropologi yang diaplikasikan ke dalam

karya sastra, atau bagaimana unsur-unsur tradisi itu dikaji oleh antropologi untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mengenal aspek-aspek klasik yang berharga bagi suatu bangsa sering memberikan

perhatian yang khusus bagi pembaca.

Oleh karena itu, kritik arketipe terlalu menitikberatkan kepada unsur-unsur

antropologikalnya, sehingga terkadang terjadi kesalahan pengkajian. Kritik

arketipe ini lebih melihat karya sastra sebagai sebagai objek untuk mengenal

tradisi masyarakat, ketimbang melihat unsur-unsur sastranya. Ini mengakibatkan

bahan sastra dijadikan sebagai alat untuk mengetahui pergolakan zaman silam

serta digunakan oleh ahli antropologi sebagai jembatan bagi mereka untuk

mengkaji aspek-aspek lai seperti ekonomi, pendidikan, kepercayaan, bahasa, dan

sebagainya (Sikana, 2009:142).

Kelima, pendekatan arketipe meletakkan taraf penulis sebagai manusia

luar biasa, mempunyai daya ingat yang tajam dan berkemampuan mengolah

peristiwa-peristiwa klasik. Pembaca mempunyai kemampuan bawah sadar

kelompok, dan karya sastra mempunyai daya tarik khusus, sementara itu penulis

dikatakan mempunyai daya ingat yang tajam. Ketiganya bersatu membentuk suatu

suasana kehidupan bersastra yang harmoni serta dapat memelihara aspek budaya

dan tradisi.

Menurut kajian-kajian psikologi budaya, manusia mempunyai persamaan

pengalaman dasar yang tidak berubah-ubah. Di samping itu, terdapat juga gaya

hidup yang menyimpang dari norma-norma budaya yang telah ditentukan. Jadi, di

antara pengalaman dasar dan gaya hidup yang menyimpang dari normanya

dijadikan sumber inspirasi atau bahan penulisan oleh para pengarang. Ini

bergantung kepada kemampuan seseorang pengarang itu pula, jika daya ingatnya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


terlalu kuat, dia akan dapat menyelam ke sanubari permasalahan. Tetapi jika

tidak, dia hanya mampu menyentuh secara luar saja atau penggarapannya tidak

begitu mendalam dan menarik (Sikana, 2009:144)

Keenam, sama seperti dengan pendekatan psikologi yang berdasarkan teori

Freud, pendekatan arketipe juga dalam analisisnya melihat aspek perlambangan

atau simbolisme, penggandaan makna, dan ambiguitas. Penggunaan kembali

unsur-unsur tradisi seperti mitos, legenda, dongeng, misteri, fantasi, dan

sebagainya, tentu saja mempunyai makna tersendiri. Pengaplikasiannya tanpa

sadar, tentu tidak memberi arti apa-apa. Penciptaan mitos tanpa tujuan,

sebenarnya tidak layak disebut mitos. Justru, mitologilah yang dapat memberi

kekuatan pada sebuah karya sastra. Jung telah meletakkan dasar yang kokoh

dalam konteks perlambangan ini, tetapi yang mengembangkan aspek ini adalah

Frye yang menekankan kritik pada simbol, mitos, dan penjenisan teks. Frye has

made use of symbolic structure as they exist whitin western culture, and at a

deeper level, to contingent recurrence of fantasy. Frye menekankan kajiannya

pada konsep mimpi dan kaitannya dengan sastra. For Jung dreams as literature,

universally make use of primordial archetypes; mountain peaks, towers, river

villages; a theory much exploited by James Joyce in his last work, the ‗dream-

vision‘ Finnegan Wake (Wales, 2001:29, Sikana, 2009:150)

Pengkritik harus menguraikan makna simbol mitologi yang digunakan.

Visi sosial atau fungsi budaya yang menjadi rujukan karya perlu juga ditelusuri

supaya hasil kritikan dapat menjadi jembatan kepada pembaca untuk memahami

simbol-simbol tersebut. Dalam sebuah karya sastra, terutama yang bercorak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


psikologi, mengandung berbagai nilai yang mendalam dalam aspek

perlambangan, ambiguitas atau makna ganda yang justru menjiwai dan

mempersatukan kehidupan kebudayaan suatu bangsa (Sikana, 2009:146)

Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis sinandong dengan

menerapkan kaidah arketipe dengan prinsip-prinsip yang didasarkan kepada

pendapat Manasikana di atas. Namun, tidak semua prinsip peneliti terapkan.

Prinsip yang peneliti terapkan hanya pada poin pertama, kedua, dan keenam.

2.3.5 Teori Semiotik

Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori semiotik yang

dikembangkan oleh Charles Sanders Pierce. Pierce merumuskan perbedaan tiga

macam tanda dalam hubungan antara pemaknaan dengan denotatumnya, yakni

ikon, indeks, dan simbol sebagaimana dijelaskan oleh Eagleton (1988 : 111),

Ratna (2004 : 114-115), Sikana (2009 : 36-42), dan Zoest (1990 : 8-9).

1. Icon adalah tanda yang merujuk terus kepada objek yang digambarkan atau

yang dibawa oleh objek dengan subjek. Ikon berasal dari bahasa Latin icon

yang bermakna bayang, bayangan, mirip, kemiripan, keserupaan, replika,

analogi, dan sebagainya. Jadi, ikon merupakan suatu tanda yang

menggunakan kesamaan atau ciri-ciri bersama dengan apa yang

dimaksudkannya. Menurut Zoest, ― Jika melalui kemiripan, dia merupakan

tanda yang menggambarkan, sebuah ikon.‖ Contoh ikon adalah denah atau

gambar grafis yang di gunakan sebagai petunjuk jalan. Demikian juga

kalimat, ― Ia masuk, duduk, lalu melihat sekelilingnya ‖ bersifat ikonis,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


artinya urutan tersebut sesuai dengan urutan gerakan yang di tunjukkannya.

Akan tetapi, apabila urutan dibalik maka lenyaplah ikonitas berurutannya.

Singkatnya, menurut Eagleton, dalam ikonik terdapat lambang yang

menyerupai benda yang diwakilinya ( misalnya, foto seseorang merupakan

ikon dari orangnya ).

Menurut Peirce, lambang ikonik adalah dinamik, utama, dan dekat

dengan masyarakat. Hubungan antara signifier dan signified atau penanda

dengan petanda adalah saling berkaitan dan saling melengkapi. Terdapat

beberapa pecahan ikon, seperti imej, citra, simile, dan metafora. Ikonik

sering digunakan pengarang dalam bahasa yang mereka gunakan.

2. Indeks, yakni suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa yang

diwakilinya, baik berkaitan dengan dunia luar sebagai intertekstual maupun

sebagai intratekstual. Dengan kata lain, indeks adalah tanda yang merujuk

pada suatu tanda yang mengumpulkan satu atau beberapa fenomena, sebab

akibat, simptom isyarat, ikatan, dan sebagainya. Dengan kata lain, indeks

merupakan lambang yang melalui cara- cara tertentu dihubungkan dengan

benda yang diwakilinya (misalnya, bintik adalah indeks dari campak).

Indeks lebih luas dan kompleks dari ikon. Indeks adalah tanda-tanda yang

berhubungan, berkaitan, bersebab dan berakibat. Dapat dicontohkan seperti

penggunaan aforisme, alegori, personifikasi, hiperbola, dan imageri.

3. Simbol, yakni hubungan antara item penanda dengan item yang ditandainya,

yang tidak bersifat alamiah, melainkan berupa kesepakatan masyarakat dan

bergantung dari penggunaannya. Perbedaan ikon dengan simbol dapat di

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


rumuskan bila tanda ikonis dapat dianggap mendasar, primitif, maka simbol

dianggap canggih, berbudaya. Di dalam proses penafsiran teks, menurut

Eagleton, simbol dapat dihubungkan secara kesewenangan atau secara

kebiasaan kepada referennya. Menurut Santoso (1993:120), hal ini di

sebabkan, ―tanda yang berubah menjadi simbol dengan sendirinya akan

dibubuhi sifat – sifat kultural, situasional, dan kondisional.‖

Sedangkan simbol, cakupannya lebih luas dan lebih umum, ada yang

bersifat klasik, tradisional, dan modern. Pengarang akan menciptakan

berbagai tanda secara arbitrer yang melahirkan corak sendiri-sendiri atau

khusus.

Penafsiran terhadap simbol, ikon, dan indeks akan mendasari analisis

arketipe. Artinya setiap pemahaman terhadap mitos dan primordial imej yang

terdapat dalam sinandong, tetap didasarkan pada konvensi simbol yang digunakan

oleh masyarakat Melayu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.4 Kerangka Berpikir

Tradisi Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu


Tanjungbalai

Performansi Kearifan Lokal Revitalisasi Citra Arketipe Teks


Tradisi Malam Tradisi Malam Tradisi Malam Sinandong Asahan
Berinai Berinai Berinai dalam Tradisi
Malam Berinai

Pendekatan Pendekatan Pendekatan Teori Arketipe


Performansi Kearifan Lokal Revitalisasi C.G. Jung dan
Pemikiran dengan Teori Pemikiran Semiotik C.S.
Finnegant dan Lapisan Kulit Vansina dan RUU Pierce
Vansina Bawang 3 April 2013

- Performansi - Makna dan Fungsi - Model Revitalisasi - Bentuk


- Teks Tradisi Malam Tradisi Malam Sinandong
- Koteks Berinai Berinai - Citra Arketipe
- Konteks -Nilai dan Norma - Model Revitalisasi Sinandong
Tradisi Malam Sinandong
Berinai
- Kearifan Lokal
Tradisi Malam
Berinai

Bagan 2.1 Kerangka berfikir

Keterangan Bagan:

= Garis Penelitian Lanjutan

= Garis Hasil Penelitian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kerangka penelitian ini dimulai dari tradisi malam berinai yang menjadi

objek penelitian. Tradisi ini hidup pada masyarakat Melayu yang berpusat di

Tanjungbalai. Peneliti menganalisis tradisi malam berinai ini berdasarkan

rumusan masalah yaitu, performansi malam berinai, kearifan lokal, revitalisasi,

dan citra arketipe Sinandong. Rumusan masalah yang telah ditentukan dianalisis

dengan menggunakan teori dan pendekatan yang relevan. Performansi malam

berinai dianalisis dengan pendekatan performansi dari pemikiran Finnegant dan

Vansina. Kearifan lokal tradisi malam berinai dianalisis dengan pendekatan

Kearifan lokal dari pemikiran Robert Sibarani. Model revitalisasi malam berinai

dianalisis dengan pendekatan revitalisasi dari pemikiran Vansina. Sedangkan

untuk melihat citra arketipe sinandong digunakan teori Arketipe yang

dikemukakan oleh C.G. Jung dan teori Semiotik C.S. Pearce. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa, dalam tradisi malam berinai terdapat serangkaian acara yang

merupakan performansi malam berinai dan sinandong merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari acara tradisi malam berinai. Kearifan lokal tradisi malam

berinai meliputi lapisan makna dan fungsi, lapisan dan kearifan lokal. Sedangkan

model revitalisasi untuk malam berinai meliputi dua bagian yaitu model

revitalisasi malam berinai dan sinandong. Kemudian, analisis arketipe meliputi

bentuk dan citra arketipe.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Paradigma dan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut Guba

dan Yvonna S. Lincoln (2009:135-137), paradigma konstruktivisme dibangun

oleh dasar ontologi yang relativisme, yaitu realitas adalah konstruksi sosial.

Kebenaran realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai

relevan oleh aktor sosial. Dasar epistemologi konstruktivisme adalah

transaksional/subjektivitas di mana pemahaman tentang realitas, atau temuan

penelitian adalah hasil interaksi periset dengan objek studi. Sedangkan dasar

aksiologi konstruktivisme menyangkut kepentingan ilmu pengetahuan terhadap

masyarakatnya.

Penelitian ini menggunakan paradigma penelitian konstruktivisme dengan

pendekatan etnografi. Pendekatan Etnografi merupakan pekerjaan

mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini adalah memahami

suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Sebagaimana

dikemukakan oleh Malinowski, tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang

penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapat pandangannya

melalui dunianya. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas

belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara,

berpikir, dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari

masyarakat, lebih dari itu etnografi belajar dari masyarakat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik

penelitian, teori, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan. Sebagai teknik

penelitian, etnografi merupakan suatu metode penelitian yang digunakan untuk

memperlajari kebudayaan. Etnografi bermakna untuk membangun suatu

pengertian yang sistematik mengenai semua kebudayaan manusia dan perspektif

orang yang telah mempelajari kebudayaan itu.

Metode Etnografi ini bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan

berbagai situasi dan kondisi atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di

masyarakat Melayu Tanjungbalai yang menjadi objek penelitian, dan berupaya

menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, tanda, atau gambaran tentang

kondisi, situasi ataupun fenomena tertentu. Metode etnografi ini digunakan untuk

mendeskripsikan prosesi malam berinai dan model revitalisasi malam berinai, dan

nilai kebudayaan yang terdapat pada masyarakat Melayu Tanjungbalai, yang

tereduksi dalam tradisi tersebut. Metode etnografi ini diperlukan untuk melihat

kebudayaan masyarakat pendukungnya dan untuk melihat model pewarisan

budaya tersebut, yang dalam penelitian ini adalah budaya Melayu.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil tempat di kabupaten yang dulunya merupakan satu

kesatuan wilayah Asahan sebelum pemekaran wilayah. Adapun yang menjadi

tempat penelitian ini adalah di Kota Madya Tanjung Balai, Jln. Koramil,

Kelurahan Selat Tanjung Medan, Kec. Datuk Bandar Timur, dirumah Bapak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Zailani. Jln. Jendral Sudirman LK II Kel. Pantai Johor, Kec. Datuk Bandar,

dirumah Bapak H. Hasanuddin M. Yus.

3.3 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

Data primer adalah prosesi malam berinai dan sinandong yang diperoleh dari

hasil rekaman pada pernikahan Reza dan Pida yang diselenggarakan pada 5

Januari 2014 dan rekaman vidio malam berinai pasangan pengantin Liza dan

Rahmad yang direkam pada tanggal 28 September 2015, juga informasi yang

diperoleh dari informan.

Informan dalam penelitian ini ditentukan dengan teknik snowball. Jadi,

jumlah informan tidak dapat ditentukan, tergantung data di lapangan. Jika data

sudah jenuh, artinya jika informasi yang diperoleh dari informan tidak ada lagi

perkembangan, maka tidak perlu lagi mencari informan baru. Sedangkan data

sekunder berupa data pendukung, diperoleh dari buku-buku, internet, dokumen,

dan catatan lain. Juga dari diskusi-diskusi, seminar-seminar dan jurnal ilmiah.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sumber Data Penelitian

Data Primer Data Sekunder

Prosesi Malam Berinai dan


Sinandong dari Pernikahan
Pida dan Liza

Buku, dokumen,internet, Wawancara dengan 7


dan hasil-hasil diskusi orang informan

Bagan 3.1 Sumber Data Penelitian Tradisi Malam Berinai dan


Sinandong dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dapat dilakukan dengan metode:

(1) Observasi

Metode ini dipergunakan untuk mengadakan pengamatan secara langsung

ke daerah objek penelitian. Bungin (2010a: 115) menjelaskan, observasi

atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan

menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain

pancaindra lainnya seperti, telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Karena

itu observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu dengan

pancaindra lainnya.

Dari pengertian observasi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan metode observasi adalah metode pengumpulan data

yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan

dan pengindraan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi

tidak berstruktur. Peneliti secara pribadi mengembangkan daya

pengamatannya dalam mengamati suatu objek yang tentunya peneliti

sudah menguasai ilmu tentang tradisi sinandong yang akan diteliti.

Untuk meningkatkan validitas hasil pengamatan, peneliti menggunakan

alat bantu, berupa kamera, tape recorder, handycam, dan alat tulis untuk

pencatatan lansung. Kamera digunakan untuk membantu pengamat

merekam dalam bentuk gambar. Begitu juga tape recorder, selain dipakai

sebagai alat bantu interview, alat ini juga membantu pengamat mengingat

apa yang seharusnya didengar pada saat observasi berlangsung. Alat-alat

ini digunakan untuk merekam jalannya acara pertunjukan sinandong dan

merekam kejadian dalam bentuk gambar. Metode ini digunakan untuk

menganalisis masalah pertama dan ketiga.

(2) Wawancara

Informasi tentang budaya, mitos dan jati diri dapat diketahui lebih

mendalam melalui wawancara langsung. Peneliti menggunakan metode

wawancara mendalam. Bungin (2010a: 108) menjelaskan, wawancara

mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara

pewawancara dengan informan, dengan atau tanpa menggunakan pedoman

(guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam

kehidupan sosial yang relatif lama.

Wawancara dilakukan dengan cara terbuka. Wawancara dilakukan dengan

informan secara terbuka, yaitu informan mengetahui kehadiran

pewawancara sebagai peneliti yang bertugas melakukan wawancara di

lokasi penelitian.

Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh keterangan yang sebanyak-

banyaknya tentang keberadaan tradisi malam berinai ini. Peneliti akan

bekerja di lapangan bersama informan. Interaksi sosial dengan informan

dan lingkungan harus tetap dijaga agar wawancara dapat berjalan dengan

sukses.

Agar wawancara dapat berjalan lancar, digunakan alat perekam, surat

tugas, surat izin, daftar pertanyaan, handicam, daftar responden, alat tulis,

maupun peta. Perlengkapan wawancara ini hanya sebagai alat bantu atau

suplemen saja, penggunaannya tergantung pada situasi di lapangan.

Metode ini digunakan untuk menganalisis masalah pertama, kedua dan

ketiga.

(3) Rekaman

Metode ini digunakan untuk merekam pelaksanaan prosesi tradisi malam

berinai dengan menggunakan dua buah handycamp dan kamera untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mengambil gambar. Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan

masalah satu dan tiga.

(4) Dokumenter

Selain menggunakan metode observasi dan wawancara, peneliti juga

menggunakan metode dokumenter. Metode ini memusatkan perhatian pada

pengumpulan data berupa fakta dan data sosial tersimpan dalam bahan

yang berbentuk dokumentasi. Data ini bisa berupa dokumen pribadi

maupun dokumen resmi, seperti buku, jurnal, foto, kliping, dan

sebagainya. Metode ini digunakan untuk membantu menganalisis masalah

dua, tiga, dan empat.

(5) Metode penelusuran data online. Menurut Bungin (2007:125),

pengumpulan data secara online memerlukan pemahaman teknologi

informasi komunikasi. Hal ini disebabkan data yang akan ditemukan harus

dilacak dengan perangkat teknologi informasi komunikasi.

Berdasarkan kemampuan pengaksesan perangkat teknologi ini dilakukan

pencarian dari Google ke berbagai situs penyedia data online. Dari Google

pengaksesan diarahkan pada media sosial penyedia data online yang dapat

diunduh secara bebas yang berkaitan dengan penelitian ini. Metode ini

digunakan untuk melengkapi dalam data penelitian yang akan digunakan

untuk masalah dua, tiga, dan empat.

Metode analisis data penelitian tradisi malam berinai dapat dilihat pada

bagan berikut ini,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Metode Pengumpulan
Data

Data primer Data Sekunder

Observasi Wawancara Rekaman Dokumenter Penelusuran


Data Online

Prosesi Malam Kearifan Lokal Model Citra Arketipe


Berinai dan Malam Berinai Revitalisasi dan Jati Diri
Perteunjukan Malam Berinai Melayu dalam
Sinandong Senandung

Bagan 3.2 Metode Pengumpulan Data Tradisi Malam Berinai dan Sinandong
dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.5 Metode Analisis Data

Menganalisis data kualitatif menurut Bodgan dan Biklen (Moleong, 2005:

248) mengatakan bahwa analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan

dengan mengolah data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi

satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari, menemukan apa yang

penting, apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan pada

orang lain.

Untuk mengungkapkan makna dan fungsi sinandong yang akhirnya akan

menghasilkan kearifan lokal, digunakan teknik analisis kualitatif etnografik.

Maksudnya peneliti berusaha mendeskripsikan secara etnografik tentang sikap,

kata-kata, dan perbuatan pesinandong. Analisis ini dilakukan secara terus menerus

baik pada saat di lapangan dan setelah di lapangan.

Analisis dilakukan secara induktif sekaligus emik, artinya pemahaman atas

dasar hakikat data itu sendiri sebagai data ilmiah. Data yang diperoleh dari hasil

observasi, wawancara, dan dokumen akan dikumpulkan dan dianalisis. Analisis

data dilakukan terus menerus dari awal hingga akhir penelitian hingga diperoleh

kesimpulan tentang tradisi Sinandong Asahan. Analisis data dilakukan dengan

mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode, dan mengkatagorikan

data sesuai dengan butir masalah. Setelah itu, dianalisis data yang menjadi fokus

penelitian. Fokus penelitian ini dapat diperdalam melalui pengamatan dan

wawancara berikutnya.

Secara terperinci, analisis data dilakukan dengan prinsip-prinsip berikut,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1. Dalam analisis data, peneliti bergantung pada data penelitian. Dalam hal

ini pereduksian, penyajian, dan penyimpulan data merupakan hasil

pembacaan dan pemahaman peneliti atas sumber data.

2. Mendengar dan membaca secara keseluruhan rekaman vidio tradisi malam

bernai dan teks sinandong, lalu mencatat bagian-bagian yang memuat jati

diri, nilai budaya, kearifan lokal, dan membuat model revitalisasi yang

terdapat di dalamnya.

3. Mengungkapkan dan menganalisis konsep jati diri, nilai budaya, kearifan

lokal, dan membuat model revitalisasi yang terdapat di dalam tradisi

malam berinai dan sinandong tersebut.

4. Membuat kesimpulan dari analisis konsep jati diri, nilai budaya, kearifan

lokal, dan model revitalisasi yang terdapat dalam tradisi malam berinai dan

sinandong tersebut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB IV

PAPARAN DATA DAN ANALISIS DATA PENELITIAN

4.1 Paparan Data

Sebelum pada tahap deskripsi dan analisis, peneliti terlebih dahulu

memberikan gambaran lokasi penelitian yang meliputi letak geografis, kondisi

alam fisik, kondisi alam hayati, dan unsur-unsur kebudayaan masyarakat Melayu

Tanjungbalai. Pada deskripsi data akan menggambarkan perihal pelaksanaan ritual

malam berinai, tempat, dan waktu pelaksanaan. Terakhir adalah tahap analisis

data yang meliputi, kajian karifan lokal, revitalisasi, dan arketipe.

Pemaparan data penelitian dilakukan dengan mendeskripsikan dan

menganalisis teks, konteks, dan koteks sinandong yang meliputi prosesi ritual

pada malam berinai, dan perlengkapan yang digunakan pada acara riual. Data

penelitian ini dipaparkan dari sumber data primer yaitu prosesi malam berinai dan

pertunjukan sinandong pada malam berinai Pida dan Liza sebanyak lima belas

buah sinandong. Sinandong tersebut peneliti rekam dari pertunjukan sinandong

pada malam berinai Pida dan Liza. Kelima belas sinandong itu terdiri dari, enam

buah senadung dadong, tiga buah sinandong didong, dua buah sinandong

mengonang naseb, tiga buah sinandong hiburan, dan satu buah sinandong muda-

mudi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Sejarah Kota Tanjungbalai

Sejarah Kerajaan Asahan dimulai dengan petan raja pertama kerajaan

tersebut yang berlangsung meriah di sekitar Kampung Tanjung. Peristiwa nobat

penabalan raja pertama Kerajaan Asahan tersebut terjadi tepatnya pada tanggal 27

Desember 1620, dan tanggal 27 Desember kemudian ditetapkan sebagai ―Hari

Jadi Kota Tanjungbalai‖ dengan surat keputusan DPRD Kota Tanjungbalai

Nomor : 4/DPRD/TB/1986 tanggal 25 Nopember 1986.

Mengenai asal-usul nama kota ―Tanjungbalai‖ menurut cerita rakyat yang

ada di Tanjungbalai bermula dari sebuah kampung yang ada di sekitar ujung

tanjung di muara Sungai Silau dan aliran Sungai Asahan. Lama kelamaan balai

yang dibangun semakin ramai disinggahi karena tempatnya yang strategis sebagai

bandar kecil tempat melintas ataupun orang-orang yang ingin berpergian ke hulu

Sungai Silau. Tempat itu kemudian dinamai ―Kampung Tanjung‖ dan orang lazim

menyebutnya balai ―Di Tanjung‖.

Ditemukannya Kampung Tanjung kemudian menjadikan daerah itu

menjadi semakin ramai dan berkembang menjadi sebuah negeri. Penabalan Sultan

Abdul Jalil sebagai raja pertama Kerajaan Asahan di Kampung Tanjung kemudian

memulai sejarah pemerintahan Kerajaan Asahan pada tahun 1620. Dalam catatan

sejarah, Kerajaan Asahan pernah diperintah oleh delapan orang raja yang sejak

raja pertama Sultan Abdu Jalil pada tahun 1620 sampai dengan Sultan Syaibun

Abdul Jalil Rahmadsyah tahun 1933, yang kemudian mangkat pada tanggal 17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


April 1980 di Medan dan dimakamkan di kompleks Mesjid Raya Tanjungbalai.

Pertumbuhan dan perkembangan Kota Tanjungbalai sejak didirikan

sebagai Gementee berdasarkan Besluit G.G tanggal 27 Juni 1917 dengan Stbl

1917 No. 284, sebagai akibat dibukanya perkebunan-perkebunan di Daerah

Sumatera Timur termasuk Daerah Asahan seperti H.A.P.M, SIPEF, London

Sumatera (Lonsum) dan lain-lain, maka Kota Tanjungbalai sebagai kota

pelabuhan dan pintu masuk ke daerah Asahan menjadi penting artinya

perkembangan perekonomian Belanda.

Dengan telah berfungsinya jembatan Kisaran dan dibangunnya jalan kereta

api Medan-Tanjungbalai, maka hasil-hasil dari perkebunan dapat lebih lancar

disalurkan atau dieksport melalui Kota Pelabuhan Tanjungbalai. Untuk

memperlancar kegiatan perkebunan, maskapai-maskapai Belanda membuka

kantor dagangannya di Kota Tanjungbalai antara lain : Kantor KPM, Borsumeij

dan lain-lain, maka pada abad XX mulailah penduduk Bangsa Eropa tinggal

menetap di Kota Tanjungbalai, Assisten Resident van Asahan berkedudukan di

Tanjungbalai dan karena jabatannya bertindak sebagai Walikota dan Ketua Dewan

(Voorzitter van den Gemeenteraad). Sebagai kota pelabuhan dan tempat

kedudukan Assisten Resident Tanjungbalai juga merupakan tempat kedudukan

Sultan Kerajaan Asahan.

Pada waktu Gementee Tanjungbalai didirikan atas Besluit G.G tanggal 27

Juni 1917 No. 284, luas wilayah Gementee Tanjungbalai adalah 106 Ha. Atas

persetujuan Bupati Asahan melalui maklumat tanggal 11 Januari 1958 No. 260

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


daerah-daerah yang dikeluarkan (menurut Stbl. 1917 No. 641) dikembalikan pada

batas semula, sehingga menjadi seluas 200 Ha.

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 9 Tahun 1956,

Lembaran Negara 1956 No. 60 nama Hamintee Tanjungbalai diganti menjadi

Kota Kecil Tanjungbalai dan jabatan Walikota Terpisah dari Bupati Asahan

berdasarkan Surat Mentri Dalam Negeri tanggal 18 September 1956 No. UP

15/2/3. Selanjutnya dengan UU No. 1 Tahun 1957 nama Kota Kecil Tanjungbalai

diganti menjadi Kotapraja Tanjungbalai.

2. Letak Geografis Daerah Penelitian

Gambar 4.1 Peta Kota Madya Tanjungbalai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kota Tanjung Balai sebelumnya masuk dalam wilayah Kabupaten Asahan,

namun pada tahun 1956 dikeluarkan Undang-undang Darurat No 9 dengan

mengganti nama Haminte Tanjung Balai menjadi kota kecil Tanjung Balai dan

Jabatan Walikota terpisah dari Bupati Asahan berdasarkan surat Menteri Dalam

Negeri tanggal 18 September 1956. Selanjutnya dengan UU No. 1 Tahun 1957

kota Kecil Tanjung Balai diganti menjadi Kotapraja Tanjung Balai. Sementara itu

tercatat 17 Kepala daerah yang pernah memimpin Kota Tanjungalai sejak tahun

1946 sampai sekarang. Perkembangan kota Tanjung Balai sangat pesat dan jumlah

penduduk cukup padat, bahkan kota ini pernah menjadi kota terpadat di Asia

Tenggara dengan jumlah penduduk lebih kurang 40.000 orang dengan kepadatan

penduduk lebih kurang 20.000 jiwa per Km², dengan luas wilayah hanya 199 Ha

(2 Km²) menjadi 60 Km². Jumlah penduduk yang padat, menjadikan kota ini

daerah yang berkembang dengan ditunjang adanya pelabuhan. Akhirnya

kemudian kota ini diperluas menjadi 60 Km² dengan terbitnya peraturan

pemerintah RI No. 20 Tahun 1987 tentang perubahan batas wilayah Kota Tanjung

Balai dan Kabupaten Asahan. Akhirnya berdasarkan SK Gubsu No.

146.1/3372/SK/1993 tanggal 28 Oktober 1993, desa dan kecamatan yang ada

dimekarkan serta seluruh desa berubah status menjadi kelurahan, berdasarkan

Perda No 23 tahun 2001. Kemudian pada tahun 2005 dikeluarkan Peraturan

Daerah (Perda) Kota Tanjung Balai No 4 tanggal 4 Agustus tentang pembentukan

kecamatan Datuk Bandar Timur dan No 3 tahun 2006 tanggal 22 Pebruari tentang

Pembentukan Kelurahan pantai Johor di Kecamatan Datuk Bandar, maka Kota

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tanjung Balai yang semula memiliki 5 Kecamatan berubah menjadi 6 Kecamatan

dan 31 Kelurahan. Yaitu:

1. Kecamatan Datuk Bandar


2. Kecamatan Datuk Bandar Timur
3. Kecamatan Tanjung Balai Selatan
4. Kecamatan Tanjung Balai Utara
5. Kecamatan Sei. Tualang Raso
6. Kecamatan Teluk Nibung.

Secara geografis kota Tanjung Balai terletak diantara 2⁰ 58‘ LU dan 99⁰

48‘ BT, dengan luas wilayah 60,529 Km² (6.052,9 Ha), berada dikelilingi oleh

wilayah Kabupaten Asahan, dengan batas-batas sebagai berikut:

1. Sebelah Selatan dengan Kecamatan Simpang Empat


2. Sebelah Utara dengan Kecamatah Tanjung Balai
3. Sebelah Timur dengan Kecamatan Sei Kepayang
4. Sebelah Barat dengan Kecamatan Simpang empat

Sebelum kota Tanjungbalai diperluas dari hanya 199 Ha(2 Km2) menjadi 60

Km2. Kota ini pernah menjadi kota terpadat di Asia Tenggara dengan jumlah

penduduk lebih kurang 40.000 dengan kepadatan penduduk ± 20.000 jiwa/km2.

Akhirnya Kota Tanjungbalai diperluas menjadi lebih kurang 60 Km2 dengan

terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 1987, tentang

perubahan Batas Wilayah Kota Tanjungbalai dan Kabupaten Asahan

(https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Tanjungbalai).

Hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kota Tanjung Balai

berjumlah 154.445 jiwa yang terdiri atas 77.933 jiwa dan 76.512 jiwa perempuan.

Penduduk Kecamatan terbanyak berada di Kecamatan Teluknibung dengan

jumlah penduduk 35.802 jiwa sedangkan yang terendah berada di Kecamatan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tanjungbalai Utara Dengan jumlah penduduk 15.862 jiwa. Berikut adalah tabel

penduduk Kota Tanjung Balai Per Kecamatan Tahun 2010 :

Nomor Kecamatan Penduduk/Jiwa


1 Datuk Bandar 33.797
2 Datuk Bandar Timur 26.942
3 Tanjungbalai Selatan 19.330
4 Tanjungbalai Utara 15.862
5 Sei Tualang Raso 22.712
6 Teluknibung 35.802
Tabel 4.1: Penduduk Kota Tanjung Balai Per Kecamatan Tahun 2010

Posisi Kota Tanjung Balai berada di wilayah Pantai Timur Sumatera Utara

pada ketinggian 0-3 m di atas permukaan laut dan kondisi wilayah relatif datar.

Kota Tanjung Balai secara administratif terdiri dari 6 Kecamatan, 31 Kelurahan.

Luas wilayah Kota Tanjung Balai 6.052 Ha (60,52 km²). Tabel berikut adalah

nama-nama kelurahan yang ada di Tanjungbalai.

No Kecamatan Kelurahan
1 Datuk Bandar Sijambi-Pahang-Sirantau-Pantai Johor-Gading
Datuk Bandar Pulau Simardan-Bunga Tanjung-Semula Jadi-Selat
2
Timur Lancang-Selat Tanjung Medan
Tanjungbalai TB Kota I-TB Kota II-Perwira-Karya-Pantai Burung-Indra
3
Selatan Sakti
Tanjungbalai TB Kota III-TB Kota IV-Sejahtera-Kuala Silo Bestari-
4
Utara Matahalasan
Muara Sentosa-Sumber Sari-Pasar Baru-Keramat Kubah-
5 Sei Tualang Raso
Sei Raja
Perjauangan-Pematang Pasir-Kapias Pulau Buaya-Beting
6 Teluknibung
Kuala Kapias-Sei Merbau
Tabel 4.2: Nama-nama Kelurahan yang Ada di Tanjungbalai

Berikut ini adalah foto kota Tanjungbalai yang diunggah dari

hhtps://id.wikiwedia.org/wiki/berkas:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 4.2: Foto Tanjungbalai dari Udara pada Tahun 1930-an

Gambar 4.3: Pelabuhan Tanjungbalai pada Masa Hindia Belanda.


Transportasi utama yang digunakan adalah sepeda motor. Angkutan umum

utama yang digunakan adalah becak ditempeli sepeda motor utuh disamping

(bukan becak yang ditambahi mesin motor atau separuh badan sepeda motor di

belakang becak, seperti di Jawa). Juga disebut betor seperti di daerah lain. Seperti

di kebanyakan daerah di Sumatera Utara, mobil (kendaraan beroda empat itu)

disebut motor, motor (kendaraan beroda dua) disebut kereta, dan kereta

(kendaraan bergerbong dan ber-rel) disebut kereta api.

Aturan lalu lintas disini hampir tidak digubris. Pemakai helm tidak ada.

Lampu merah yang hanya ada di empat persimpangan pun (dua tahun lalu setahu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


saya cuma ada dua) pun jarang digubris pemakai jalan. Karena makin banyaknya

sepeda motor a.k.a kereta, PNS diwajibkan memakai sepeda untuk ke kantor

setiap hari Jumat.

3. Struktur Masyarakat Melayu

Masyarakat Melayu menjalani kehidupan tidak terlepas dengan system

dalam struktur masyarakat berkaitan dengan adat dan kebiaaan yang sudah

berjalan secara turun temurun. Struktur kehidupan masyarakat Melayu pada

umumnya, di bagi dalam dua golongan, yaitu golongan bangsawan dan golongan

rakyat atau orang kebanyakan. Golongan bangsawan sudah ada sejak adanya

kerajaan yang kemudian membedakan antara golongan bangsawan dengan

golongan rakyat atau kebanyakan.

Untuk melihat status seseorang apakah dari golongan bangsawan atau dari

rakyat biasa dapat dilihat dari gelar yang ada di depan namanya. Masing-masing

urutan gelar diberikan berdasarkan martabat dan kedudukannya dalam masyarakat

seperti Tengku, Raja, Wan, Datuk,/Jaya, Orang Kaya, Encek/Tuan. Gelar Tengku

yang berhak memakainya adalah dari turunan Sultan dan kerabatnya, dan turunan

yang datu-nininya dulu mempunyai daerah otonom sendiri serta biasa dipanggil

dengan sebutan tuanku. Pengertian Tengku sendiri dapat diartikan dengan

berbagai arti seperti pemimpin atau guru, baik dalam akhlak, agama serta adat.

Sementara dalam konteks kebangsawanan seseorang dapat memakai gelar Tengku

apabila ayah dan ibunya bergelar Tengku, atau ayahnya bergelar Tengku dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ibunya tidak Tengku, jadi gelar Tengku diwariskan berdasarkan hubungan darah,

atau keturunan.

Gelar raja yang diberikan untuk melihat status seseorang adalah sebuah

gelar dalam pengertian golongan bangsawan, dalam hal ini gelar raja bukan dalam

pengertian sebagai kedudukan dalam pemerintahan untuk memimpin sebuah

kerajaan. Raja adalah gelar yang dibawa oleh bangsawan Indragiri (siak) ataupun

anak bangsawan dari daerah Labuhan Batu, Bilah, Panai, Kualuh dan Kota

Pinang. Pengertian Raja di daerah Melayu tersebut adalah sebagai gelar yang

diturunkan secara hubungan darah, bukan seperti yang diberikan oleh colonial

Belanda. Oleh pihak Belanda gelar raja tersebut diberikan baik kepada mereka

yang mempunyai wilayah pemerintahan hukum yang luas ataupun hanya

mengepalai sebuah kampung kecil saja, yang sebenarnya hanya kepala atau ketua

saja.

Menurut keterangan sultan Deli, Tengku Amaludidin II, yang termaktub

dalam suratnya yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Timur tahun 1933,

bahwa kalau seorang perempuan dengan gekar Tengku menikah dengan seorang

bergelar Raden dari Tanah Jawa atau seorang yang bergelar Sutan dari

Pagaruyung Sumatera Barat, maka gelar Raja, berhak dipakai bagi keturuna atau

anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut.

Selanjutnya gelar wan didapat jika seorang perempuan Melayu bergelar

Tengku kawin dengan seorang yang bulan Tengku atau dengan orang kebanyakan,

maka anak-anaknya berhak mekakai gelar wan. Begitu juga dengan anak-anak

laki-laki keturunan mereka seterusnya berhak memakai gelar ini. Sedangkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


untuk anak wanita tergantung dengan siapa dia menikah, jika martabat suaminya

lebih rendah dari wan, maka gelar ini akan hilang dan tidak berhak dipakai

anaknya dan keturunannya, karena keturunannya akan mengikuti gelar suaminya.

Gelar kebangsawanan datuk awalnya dari kesultanan aceh baik langsung maupun

melalui perantara Sultan Aceh di Deli. Gelar ini diberikan kepada seseorang yang

mempunyai kekuasaan daerah pemerintahan otonomi yang dibatasi oleh dua aliran

sungai. Batas-batas ini disebut dengan kedatuan atau kejeruan. Anak laki-laki

turunan dari datuk berhak atas gelar datuk pula, sedangkan untuk anak datuk yang

perempuan berhak mendapat gelar kaja. Sultan atau raja dapat memberikan gelar

datuk kepada seseorang yang dianggap berjasa untuk kerajaannya. Adapaun incek

merupakan panggilan kehormatan untuk rakyat biasa.

4.1.2 Paparan Data Prosesi Malam Berinai

Malam berinai merupakan bagian dari adat perkawinan Melayu yang

diselenggarakan sebelum akad nikah dilakukan. Malam berinai merupakan

serangkaian acara yang dilaksanakan pada malam hari sebelum acara pesta

perkawinan dilaksanakan. Pada masyarakat Melayu, tanda-tanda orang menjadi

pengantin baru, jari tangan dan kaki, tetapak tangan dan kakinya diberi inai

sehingga kelihatan kuning kemerah-merahan.

Adapun yang menjadi data dalam prosesi malam berinai ini adalah rekaman

vidio acara malam berinai yang direkam dari pasangan pengantin Pida dan Reza

yang direkam pada 5 Januari 2014 dan rekaman vidio malam berinai pasangan

pengantin Liza dan Rahmad yang direkam pada tanggal 28 September 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.1.3 Paparan Data Kearifan Lokal Tradisi Malam Berinai

Paparan data kearifan lokal dalam tradisi malam berinai terdapat lima

unsur, yaitu kesopansantunan, kesetiakawanan sosial, rasa syukur, gotong royong,

dan peduli lingkungan yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

No Kearifan Lokal Uraian


1. Kesopansantunan Dalam acara tepung tawar dapat dilihat
kesopansantunan yaitu, saat bersalaman. Kedua
mempelai mencium tangan orang yang lebih tua dan
jika yang menepungtawari lebih muda maka dia yang
harus mencium tangan si pengantin.
Sikap sopan santun terhadap orang tua juga terlihat
melalui teks yang terdapat dalam sinandong dadong (1)
―Sinandong Membuai Anak‖, bait keenam baris ketiga
dan empat. Frasa Kalau boso balaslah jaso, bermakna
‖jika sudah besar, harus pandai membalas jasa kedua
orang tua‖. Membalas jasa orang tua adalah nilai sopan
santun seorang anak terhadap orang tua. Sebagai
ucapan rasa syukur karena telah dibesarkan dan
dibekali dengan pengetahuan. Sudah menjadi
kewajiban bagi seorang anak untuk membalas jasa
kedua orang tuanya, jika nantinya dia menjadi orang
yang sukses. patuh terhadap perintah orang tua juga
termasuk ke dalam norma sopan santun. Seorang anak
yang pandai membalas jasa, orang tuanya akan senang
dan akan mendoakan anak tersebut agar diberi rezeki
yang melimpah.
2. Kesetiakawanan sosial Kesetiakawanan sosial dapat diilhat dalam
tradisi pada malam berinai ini, yaitu:
1. Apapun permasalahan yang terjadi dalam pesta
besar ini haruslah menjadi beban dan tanggung
jawab bersama semua anggota keluarga untuk
mengatasi dan menyelesaikannya.
Kebersamaan dan kesetiaan itu penting untuk
menanggung untung rugi dalam pesta tersebut.
Jadi, anggota inti dalamkeluarga harus ikut
merasakannya. Nilai yang ingin ditunjukkan
adalah penyadaran bahwa manusia hendaknya
hidup dalam satu kesatuan yang utuh untuk
mencapai satu tujuan yang sama. Nilai ini
menghilangkan sikap yang saling berebut kuasa
dan pengaruh, yang sering mementingkan diri
sendiri atau kelompok .
2. Sesuai........dengan adat lembago
Peribahasa ini terdapat dalam sinandong anak
atau dadong (1) ―Sinandong Membuai Anak‖,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


bait ketiga baris keempat. Nilai yang
mengekalkan adalah rasa kesamaan adat dan
budaya, mengentalkan hubungan antar puak
dan suku. Nilai ini juga menyadarkan orang
agar tidak terjebak kepada perbedaan-
perbedaan adat dan budaya, tetapi menganggap
perbedaan itu sebagai khasanah budaya
bersama yang perlu dijunjung dan dihormati.
Nilai yang menumbuhkan rasa kebersamaan
yag saling berbagi senang dan susah dan
menjauhkan diri dari keinginan untuk menang
sendiri, kenyang seorang. Peribahasa ini juga
digunakan untuk kesetiakawanan sosial.
Senasib sepenanggungan. Walau tidak ada apa-
apa untuk dimakan yang penting berkumpul
dan bersatu untuk merasakan kebahagiaan dan
kesedihan bersama. Yakni nilai yang
menyadarkan orang akan kesamaan dan
persatuan. Menumbuhkan rasa bersatu, ada
dalam satu rumpun.
3. Kehadiran para undangan dalam upacara
malam berinai ini juga merupakan bentuk
kesetiakawanan sosial. Jika para undangan
tidak hadir, maka upacara ini jadi sia-sia
dilakukan. Nilai ini menumbuhkan rasa
bertanggung jawab untuk memelihara tenggang
rasa antar sesama anggota masyarakatnya,
menumbuhkan rasa menghargai terhadap orang
yang sudah memberi undangan. Selain itu nilai
lain yang ingin diperjuangkan adalah anjuran
untuk menumbuhkan rasa persaudaraan yang
kental, tidak mementingkan diri sendiri atau
kelompok.

3. Rasa syukur Melaksanakan acara pesta perkawinan adalah


bentuk salah satu kearifan lokal dalam mewujudkan
rasa bersyukur yang dilakukan oleh masyarakat Melayu
Batubara dan Tanjungbalai. Pernikahan bukan hanya
sekedar untuk menjalankan perintah semata tetapi juga
mengharapkan kemurahan rezeki oleh Tuhan dengan
cara bekerja. Suami wajib bekerja untuk menafkahi
keluarganya, baik istri serta anak-anaknya. Anak
merupakan amanah bagi orang tua untuk dijaga, dididik
dan dibesarkan agar kehidupannya kelak bias membawa
kebenaran untuk di duni dan akhirat. Bentuk tepung
tawar yang terdapat dalam upacara malam berinai juga
merupakan uangkapan rasa syukur kepada sang
pencipta.
4. Gotong royong Gotong-royong juga dapat dilihat dalam pesta
perkawinan dan sunatan. Juga terlihat dalam upacara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


malam berinai yang merupakan serentetan kegiatan
dalam pesta perkawinan. Sanak saudara dan tetangga
terdekat akan berdatangan membantu pekerjaan dalam
perhelatan pesta tersebut. Biasanya mereka datang dua
hari sebelum diadakan pesta. Gotong-royong ini
dilakukan mulai dari mendirikan teratak, memasak
makanan untuk pesta, mencuci piring, sampai
membongkar teratak kembali sehabis pesta. Pekerjaan
ini dilakukan secara gotong-royong selama lebih kurang
empat hari. Sebagai imbalan orang yang ikut dalam
gotong-royong ini, biasanya untuk keluarganya (anak-
anaknya) diantarkan rantang ke rumah yang berisi nasi
dan lauk-pauk ke rumahnya selama orang tersebut ikut
berpartisipasi dalam pesta itu.
5. Peduli lingkungan Penggunaan kata-kata boting Bogak, Siapi-api,
Tanjungnapal, Limaumanis, merujuk kepada nama
tempat. kopah, korang, kupang, dan ikan cengcaru,
merujuk nama lauk-pauk yang berasal dari laut. Kedua
hal ini menunjukkan bahwa orang Melayu Tanjungbalai
peduli akan lingkungannya. Bubur sagu, wajik, dan kue
putu, merujuk kepada peduli lingkungan terhadap
makanan pokok. Semua bahan baku dari masakan
tersebut merupakan bahan makanan pokok, seperti
sagu, beras, pulut, gula merah, dan kelapa. Penggunaan
kata-kata pucuk paoh, delimo batu, dan galenggang,
adalah tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat.
Pucuk pauh untuk awet muda. Delima batu banyak
mengandung oksidan, baik untuk kesehatan tubuh dan
kulit. Daun gelenggang dapat digunakan sebagai obat
panu.
Begitu juga dengan penggunaan peralatan
dalam upacara tepung tawar yang berasal dari alam,
yang semuanya itu termasuk dalam pemeliharaan
lingkungan. Ketika tumbuh-tumbuhan tersebut masuk
ke dalam perangkat upacara adat, artinya tumbuhan
tersebut harus tetap tumbuh, supaya dapat
dipergunakan. Hal ini menjadi kewajiban bagi orang
Melayu untuk melestarikannya, walaupun tidak
dilakukan oleh semua orang Melayu. Begitu juga
dengan hidangan yang disajikan dalam pesta. Bahan
bakunya harus tersedia seperti kelapa dan padi yang
juga terdapat dalam sinandong tersebut sebagai
komoditi penghasilan utama masyarakat Melayu
Tanjungbalai selain dari hasil laut.
Tabel 4.3: Paparan Data Kearifan Lokal Upacara Malam Berinai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.1.4 Paparan Data Revitalisasi

Data revitalisasi diperoleh dari hasil wawancara dengan Fauzi, Zainal

Arifin, dan zainul. Mereka mengatakan ada beberapa bentuk yang bisa dilakukan

untuk merivitalisasi malam berinai, yaitu:

a. Acara malam berinai disatukan dengan acara akad nikah.

b. Para tamu undangan memberikan uang sumbangan kepada tuan rumah

yang dimasukkan ke dalam amplop. Jadi keesokan harinya mereka tidak

lagi menghadiri acara resepsi pernikahan.

c. Mempersingkat waktu pelaksanaan. Jika dahulu rangkaian acara malam

berinai dilaksanakan sampai menjelang subuh, maka sekarang

dilaksanakan lebih kurang sampai pukul 1.00 WIB.

Sedangkan untuk merevitalisasi sinandong dapat dilakukan dengan

mengadakan vestifal, memodifikasi group sinandong, dan memasukkan ke dalam

kurikulum pendidikan sebagai muatan lokal.

4.1.5 Paparan Data Citra Arktipe dan Jati Diri Melayu dalam Sinandong

Paparan data citra arketipe dan jati diri Melayu dapat dilihat melalui syair

sinandong di bawah ini:

1. Didong (Sinandong Nelayan)

(1)
Didonglah di didong didonglah didong oooooooooi...
Ooooooooiiiiii...
Didonglah didong..... didonglah kunun sayang...
Ooooooiiiii didonglah didong sayang...
Betolurlah kau senangin...
Betolurlak kau senangin... betolurlah
Betolurlah kunun... sepanjang pante... baya...

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Berombuslah kau angin...
Berombuslah kau angin... berombus...
Supayo copat kamilah sampe...

Ooooooooooooooiiiiii oooooooooooii ooooooooooiiiii


Sayang si bacong si dua bacong ala kunun oooooooooiiiiiiii
Sayang si bacong si dua bacong ala kunun oooooooooiiiiiiii
Bacong tecacak di haluan
Ooooooooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
Bagailah mano ondak masuk anak bayo oooooiiii
Musuh tepacak di tanjung puan.
Bukanlah bacong sembarang bacong
Ka ka pariuk di ranting kayu
Bukanlah datang sembarang datang
Datang menghibur penganten baru
Gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gubang
Gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gubang

(2)
Didong... didong...
lah didong... didong lah...
didong oooooooiiiiiiii didonglah didong...
didong didonglah... didong...
ala didong ooooooooooooiiiiiiiiiii oooooooiiiii
didong di didong di didong oiiiiiii
betolu jugo kau senangin...
amboiiiiiiiiiiiii ... ooooooooooooooooiiiiiiiiiiii
betolu kunun sepanjang pantai... oooooooooiiiiiiiiii
berombuslah kau angin... sepanjang pantai...
ooooiiiiiiiii... barombuslah kau angin...
sepanjang pantai...
supayo lokas kami nan sampai... oooooooooooiiiiiiii
ooooooooooooiiii... oooooooooiiiiiiii

timurlah mari selatan mari...


hai... asal jangan jang... si barat dayo... ooooooiiiiii

barombuslah angin...
barombus kunun... angin barombus...
supayolah kami supatolah kami
lokaslah sam... pai...

(3)
Oooooooooooiiiiiiiiiiiii nandong di nandong
Inilah ooooooooiiiiiii senandong Asahan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Angin bertiup angin melambai oooooooooooooiiiiiiiiiii
Penduduknyo banyak tani nelayan oooooiiiiiiiiii
Di masa lalu raso gelisoh....ooooooiiiiiiiiiii
Hasil didapat tak dapat dikunyah
Oooooooooiiiiiiiiiiiiii nandung dinandung

Nyiur melambai di topi pantai oooooooooiiiiiiiiiii


Nelayan mengarang ombak dan badai ooooooiiiiiiiii
Oooooooooooiiiiiiiii nandung di nadung...

Petani riang turun ke sawah ooooooooiiiiiiiiiii


Tampak nelayan bekayuh santai oooooooooiiiiiiiii
Oooooooooooiiiiiiiii nandung di nadung...

(2) Sinandong mengonang Naseb


(1)
Siapi-api si Tanjungnapal...
Hutannyo lobat kayu langkadei
Kalaulah mati tidak beramal...
Bagai sampan dihompas badai

Turunlah ribut kugulung layar...


Hanyutlah kapal patah kemudi
Bolehnyo dirobut dunio nan lebar....
Sediokan amal sebolum mati
Oooooooooooiiiiiiii ooooooooooooooiiiiiiiiiiiiii

Sungguhlah cantik tuan oooooooooooooiiiiiiii


Amboiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
Sungguhlah cantik si kain panjang...
Dipakai nak daro kunun ooooooooooooooiiiiiiiiiii
Dipakai nak daro di waktu potang
Ooooooooooooooiiiiiiiiii
Berbuat baik kunun ooooooooooiiiiiiiiiiiii
Amboooooooooooooooooiiiiiiiii
Berbuat baik di kampung orang
Supayo kito sudaroku oooooooooooiiiiiiiiiiiii
Supayo kito disukoi orang

Ooooooooooooooiiiiiiiiiiiii ooooooooooooooiiiiiiiiiiiiii
Kayulah arang kunun ooooooooooooooiiiiiiiiiiii
Oooooooooiiiiiiiiiiiiii dilindung bulaaaaaaan
Dilindung buuuuuuulaaan
Patah dahannyo diguncanglah ombaaaaaaaaaaaaaak
Ooooooooooooiiiiiiiiiiiiiii oooooooooooooooiiiiiiiiiii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Setiap tahuuuuuuuuuuuuuuuuuunnnnn
Hai setiap tahuuuuuuuuuun sudaroku ooooooooiiiiii
Ooooooooooooiiiiiiiii nabi berpooooooooosan
Oooooooooooooiiiiiiii oooooooooooooiiiiiiiiiiii
Hai menyuruh sholat baya sudaroku...
Dengan puaaaaaaaaaaaaaaasooo.
Hai... menyuruhlah sho... lat baya
Dengan pua... so
Sinandung ooooooooooooiiiiiiiiii

Ooooooooooiiiiiiii menumbuk kunun oooooooooooiiiiiiii


Hai di losung batu
Hai di losung batu...
Ambeklah antan batang galengga... ng
Oooooooooiiiiiiii oooooooooooiiiiiii sakitlah sungguh
Sudaroku ooooooooooiiiiiiiiiiiiii
Hai daga... ng piatu oooooooiiiiiiii ooooooooiiiiiiii
Kainlah basa... baya koringlah… di pinggang...
Oooooooooiiiiiiiiii sinandung
Kain basahan... baya... koring di pinggang
Sinandong ooooooooiiiiiiiiiiiii

(2)
Hoi... i... iiiiiiiiiiiii...
Menumbuk kunun jang di losung batu
Oi... ii... di losung baaaaatuuuu... oi...
Noseb... malang...
Antan dibuat jang batang gelenggang...
iiiiiiiiiiiii... oi... naseb ... malang
hoi... saketlah sungguh...
dagang piatu daaaaagaaaaaaang piaaaaaaatu… tuan
oi... iiiiiiiiii... lah nadong
oi... oh... oh... kaenlah basah koreng...
di pinggang... ala sinadong
hoi... ii… koreng di... pinggang

hoi... iii naek raket mengambek kupang...


mengambek kupang oh... nandung
oi... pukat di labuh topi kualo
oi... oi… iii... iii…. oooooooiiiiiiiiii naseb malang
hoi... sunggohlah saket badan menumpang
hidup menumpang... hidup menom... pang...
hoi... alah naseb... oi... oi
ae yang koruh jang... oi… malang badan
diminum jugo... oi... oi...
sinandong oi... oi...

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3) Senadong Hiburan
(1)
Iyolah molek iyolah sayang
Iyolah molek yo molek iyolah sayang
Berbuat baek lah baek orang pun sayang
Berbuat baek lah baek orang pun sayang

Angin bertiup layar terkembang


Angin bertiup amboi layar terkembang
Sampan melonjak malonjak naik gelombang
Sampan melonjak melonjak naik gelombang

Sedikit tidak amboi meraso bimbang


Sedikit tidak amboi meraso bimbang
Lamat nelayan..nelayan dalam berjuang
Lamat nelayan..nelayan dalam berjuang

Iyolah molek yo molek iyolah sayang


Iyolah molek yo molek iyolah sayang
Berbuat baek la baek orang pun sayang
Berbuat baek la baek orang pun sayang
Adolah rondang kopah sombam ikan cengcaru

Botinglah Bogak boting belacan


tompat berlabuh perahu nelayan
Sudahlah puas minum dan makan
memandang laot tidaklah bosan (2x)

(2)
Kayoh mak ijah kayoh, kayoh la laju-laju
Singgah mak ijah singgah makan la bubur sagu
Makan mak ijah makan sodap apo laoknyo
adolah rondang kopah sombam ikan cengcaru

Kayoh mak ijah kayoh, kayoh la laju-laju


Sila mak ijah makan wajik dan kue putu
Makan mak ijah lokas kawan lamo menunggu
Adolah bubur podas bubur orang Melayu

Berlayar biduk ke pulau pandan


Tarik kemudi jaga haluan
Terima kasih mak ijah ucapkan
Santapan lezat sudah dimakan (2x)

Sayang sayang oi nak oi mak ijah ingin la pulang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


makanan sudah habis porut pun sudah konyang
sayang sayang oi nak oi bukakan tali sampan
air pun sudah surut simpat nak naek pasang

kayoh mak ijah kayoh, kayoh lah laju-laju


singgah mak ijah singgah makan lah bubur sagu
makan mak ijah makan sodap apo laoknyo
adolah rondang kopah sombam ikan cengcaru

Paparan data citra arketipe Sinandong Asahan terdiri dari empat unsur

yaitu, makanan tradisional, asal usul orang Melayu, Mendoakan orang yang sudah

meninggal dunia, dan kampung halaman. Untuk mempermudah analisis maka data

citra arketipe dapat dirincikan dalam tabel berikut:

No. Citra Arketipe Uraian


1. Makanan tradisional Dikaitkan beragam makanan lokal seperti
Melayu rondang kopah, sombam ikan cengcaru, bubur sagu,
wajik dan kue putu yang termaktub dalam syair di atas,
dapat diduga bahwa sastra warna lokal tidak akan pernah
kering dan akan tetap menjadi model dalam penulisan
karya sastra.
Pencitraan makanan tradisional rondang kopah
dan sombam ikan cengcaru, ini merupakan kerinduan
orang Melayu Batubara akan asal usul nenek moyang
mereka sebagai orang pelaut. Di samping itu pula,
makanan ini sudah mulai dilupakan orang Melayu.
Dahulu, dalam jamuan pesta perkawinan, selalu ada
hidangan rendang kepah dan ikan bakar, tetapi sekarang
sudah digeser oleh ayam potong dan hidangan modern
lainnya.
Begitu juga dengan bubur sagu, wajik, dan kue
putu. Bubur sagu terbuat dari santan kelapa, gula, dan
tepung sagu. Wajik terbuat dari santan kelapa, gula
merah, dan beras pulut atau ketan. Kue putu terbuat dari
kelapa, gula, dan tepung beras. Dari segi bahan, ketiga
kue ini terbuat dari kelapa, sagu atau pohon rumbia,
pulut dan beras (padi).
2. Asal-usul orang Melalui syair Cenggak cenggok jang payung Malako,
Melayu dapat dilihat bahwa orang Melayu Tanjungbalai tidak
melupakan asal-usulnya dari Malaka. Hal ini
mengingatkan mereka akan asal-usulnya. Banyak para
generasi muda orang Melayu Tanjungbalai yang
meninggalkan desanya dan pergi ke kota.
3. Mendoakan orang Jauh di mato di ati jangan
yang sudah meninggal ―Jauh di mata di hati jangan.‖
dunia Lirik ini mengisyaratkan kerinduan akan orang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang sudah meninggal dunia. Manusia dianjurkan agar
selalu mendoakan orang atau sanak saudara yang sudah
meninggal dunia. Makin dalam berusaha melupakan
seseorang, maka semakin rindu ingin bertemu. Semakin
lama ditinggalkan seseorang, bukan semakin lupa, tetapi
semakin ingat akan dirinya. Begitulah kekuatan ikatan
batin antara orang yang ditinggal mati oleh seseorang,
apalagi seseorang itu teramat istimewa (seperti sahabat,
orang tua, sanak saudara).
4. Kampung halaman Tempat jatuh lagi dikonang, apolah lagi tompat
bemaen
―tempat jatuh lagi dikenang apalagi tempat
bermain‖.
Lirik yang terdapat dalam Sinandong Asahan,
mengingatkan manusia akan kerinduan kampung
halaman. Setiap manusia mempunyai rasa rindu atau
nostalgia kepada kampung halaman, tempat ia
dilahirkan, dibesarkan hingga ia menjadi ―orang‖. Ibarat
kata pepatah: Tempat jatuh lagi di kenang apalagi
tempat bermain. Tidak mungkin dapat melupakan
tempat tumpah darah, apalagi tempat bermain waktu
kecil, bersenda gurau, belajar mengaji di sekolah,
malamnya membaca al-Quran. Walaupun sudah jauh
merantau dan bermukim di tempat lain, tetapi kata orang
ada waktunya kita akan menjadi ―belut pulang ke
lumpur atau bagai gagak pulang ke benua‖.
Tabel 4.4: Paparan Data Citra Arketipe dalam Sinandong Asahan
pada Upacara Malam Berinai

Paparan data jati diri Melayu Sinandong Asahan terdiri dari lima unsur

yaitu, adat, sistem perkawinan, sistem religi, sistem kekerabatan, dan sistem

bahasa. Untuk mempermudah analisis maka data jati diri Melayu dapat dirincikan

dalam tabel berikut:

No. Jati Diri Melayu Uraian


1. Adat Sesuai dengan adat lembago, singgah mak ijah singgah,
adolah bubur sagu.

2. Sistem kekerabatan Sistem kekerabatan etnik Melayu di


Tanjungbalai sistem kekerabatan secara vertikal yang
dimulai dari urutan tertua sampai yang termuda, adalah :
(1) nini, (2) datu, (3) oyang(moyang), (4) atok(datuk),
(5) ayah(bapak), (6) anak, (7) cucu, (8) cicit, (9) piut, dll.
Sedangkan sistem kekerabatan secara horizontal adalah
(1) saudara satu ibu dan satu ayah(ayah tiri), (2) saudara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sekandung yaitu saudara seibu atau lain ayah, (3) saudara
seayah yaitu saudara satu ayah lain ibu(ibu tiri), (4)
saudara sewali yaitu ayah nya saling bersaudara, (5)
saudara berimpal yaitu anak dari makcik(saudara
perempuan ayah).
Sapaan dan istilah kekerabatan adalah sebagai berikut :
(1) ayah, (2) omak, (3) abang(abah), (4) akak(kakak), (5)
uwak (saudara ayah atau ibu yang paling tua umurnya),
(6) uda (saudara ayah atau ibu yang paling muda
umurnya), (7)uwak ulung (saudara ayah atau saudara ibu
yang pertamabaik laki-laki maupun perempuan), (8)
uwak ngah (uwak tengah, saudara ayah atau saudara ibu
yang kedua baik laki-laki maupun perempuan), (9) uwak
alang (saudara ayah atau saudara ibu yang ketiga baik
laki-laki maupun perempuan), (10) uwak uteh (saudara
ayah atau saudara ibu yang keempat baik laki-laki
maupun perempuan), (11) uwak andak (saudara ayah
atau saudara ibu yang kelima baik laki-laki maupun
perempuan), (12) uwak uda (saudara ayah atau saudara
ibu yang keenam baik laki-laki maupun perempuan),
(13) uwak ucu (saudara ayah atau saudara ibu yang
bungsu/paing akhir baik laki-laki maupun perempuan).
3. Sistem religi Kepercayaan dan keagamaan masyarakat
Melayu meliputi tiga perkara yang sangat penting.
Ketiga-tiga perkara tersebut ialah amalan dan
kepercayaan masyarakat Melayu, magis Melayu dan
Islam sebagai agama anutan resmi masyarakat tersebut.

4. Sistem bahasa Syair sinandong menggunakan bahasa Melayu


Tanjungbalai
5. Sistem mata Tani, nelayan
pencaharian
Tabel 4.5: Paparan Data Jati Diri Melayu dalam Sinandong Asahan
pada Upacara Malam Berinai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB V

PERFORMANSI TRADISI MALAM BERINAI

5.1 Performansi Malam Berinai

Performansi malam berinai pada perkawinan Liza dan Rahmad terdapat

dua tahapan, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Berikut ini dijelaskan

tentang kedua tahap tersebut.

1. Tahap Persiapan

Mengingat proses malam berinai ini membutuhkan biaya yang besar dan

pada tahap ini harus dipersiapkan dengan matang oleh tuan rumah yang punya

hajatan. Sebelum acara dilakukan maka persiapan yang akan dilakukan adalah

mengundang tamu, menyiapkan makanan untuk sajian kenduri dan hidangan bagi

para undangan, penyiapkan perlengkapan berinai, tepung tawar, dan mengundang

group kesenian dan tari. Group kesenian ini akan membawakan rawi, marhaban,

kasidah, dan nandong yang akan menghibur para undangan dalam acara malam

berinai.

Biasanya yang diundang dalam acara malam berinai ini adalah keluarga

dekat dari pihak calon pengantin perempuan, anggota wirid yang diikuti tuan

rumah, dan tetangga. Untuk mengundang tamu yang datang ini bisa dilakukan dua

hari sebelum acara malam berinai ini dilakukan. Mengundangnya bisa melalui

telepon atau datang langsung ke rumah orang yang akan diundang tersebut.

Memasak hidangan makanan dilakukan pada siang hari yang dimasak oleh para

tetangga dan kerabat dekat. Group kesenian diberitahu sebulan sebelum acara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dilaksanakan. Hal ini dilakukan agar jadwal pementasan group ini tidak bentrok

dengan orang lain atau jika para pemain ada keperluan lain, bisa disesuaikan

dengan jadwalnya. Sama halnya dengan group senaandung, group tari juga

diberitahu sebulan sebelum acara dilaksanakan.

Persiapan untuk berinai antara lain, tilam atau pelaminan yang sudah

dihias, inai yang sudah ditumbuk halus, stiker inai, inai Mekah (hena) yang

berbentuk odol, kain perca untuk membungkus inai. Keadaan colon pengantin

pada saat diberi inai adalah berbaring telentang dengan tangan diangkat agar inai

tidak mengotori yang lainnya.

2. Tahap Pelaksanaan

Setelah akad nikah, yaitu sekitar pukul 22.00 WIB pada Selasa 28

September 2015, acara pelaksanaan malam berinai besar dimulai dengan group

kesenian melantunkan rawi (barzanzi) yang dilanjutkan dengan marhaban.

Seiring dengan marhaban dilantunkan, pasangan pengantin atau kedua mempelai

berjalan menuju ke pelaminan yang berada di halaman rumah mempelai

perempuan. Setelah itu mereka duduk di atas pelaminan yang dipandu oleh bidan

pengantin. Caranya yaitu pengantin laki laki dan perempuan duduk dengan kaki

dijuntaikan, lalu di atas paha mempelai diletakkan kain panjang sebagai pengalas

tangan dengan posisi tangan telungkup.

Setelah pengantin duduk di atas pelaminan, yaitu pukul 22.25 WIB maka

di hadapan calon pengantin dipertunjukkan ―tari gubang‖, Tari ini ditarikan

penari perempuan dan laki-laki yang diiringi musik dan sinandong ―Gubang‖.

Jumlah penarinya dua pasang. Tari gubang ini merupakan upacara pembuka untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


prosesi berinai. Tari ini ini akan berakhir seiring dengan berakhirnya sinandong

―Gobang‖. Diakhir tarian, si penari mencoletkan inai kepada calon pengantin.

Setelah tari gubang berakhir, barulah prosesi berinai dilakukan oleh kedua belah

pihak sambil menepungtawari.

Kemudian dilanjutkan dengan acara tepung tawar, pada pukul 22.45 WIB.

Urutan yang menepung tawari adalah dimulai dari ibu bapaknya (serentak) dan

kemudian diteruskan oleh ahli keluarga yang tertua dan terdekat. Kemudian

dilanjutkan dengan abang dan kakak kandung beserta istri dan suami. Kemudian

dilanjutkan dengan orang tua dari pihak pengantin laki-laki. Dilanjutkan dengan

ahli keluarganya sampai selesai. Setelah itu barulah para undangan dan teman-

teman dari pengantin.

Orang yang hendak ditepung tawari mula-mula menerima ataupun

mengambil sedikit (sejumput) beras putih, beras kuning, bertih dan bunga rampai,

lalu menaburkannya ke atas hariban atau keliling badan orang yang ditepung

tawari, kadang-kadang disertai dengan ucapan ‗selamat‘, ―murah rezeki‖‘ ―sehat‖‘

dan sebagainya.

Kemudian diambilnya berkas ikatan daun kalinjuhang dan daun lainnya,

dicecahkan ke mangkuk puith yang berisi air dan beras putih serta irisan limau

purut lalu dirinjis-rinjiskannya di atas kedua belah telapaktangan orang yang

ditepungtawari. Selalu juga disertai dengan kata ‗selamat‘. Semua acara di atas

dilakukan dengan khidmat. Orangtua ada juga merinjis-rinjiskan berkas ikatan

tersebut ke atas ubun-ubun (kepala) calon pengantin. Setelah itu lalu bersalaman.

Kemudian mencoletkan inai ke telapak tangan calon pengantin.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Jika yang menepungtawari lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya di

dalam keluarga ataupun masyarakat dari orang yang ditepungtawari, maka orang

yang ditepung tawari mencium tangan orang yang menepungtawari. Sebaliknya

yang akan terjadi, jika yang menepungtawari lebih muda, maka dialah yang

mencium tangan pengantin. Orang tua dan keluarga saudara kandung boleh

berpelukan dan mencium pipi pengantin sebagai uangkapan sayang. Jadi makna

dari upacara tepuk tepung tawar bagi masyarakat Melayu adalah memohon

keselamatan dan kebahagiaan kepada Yang Maha Kuasa baik di dunia maupun di

akhirat.

Sembari tepungtawar berlanjut, group marhaban melantunkan

marhabannya tetapi tidak dengan menggunakan pengeras suara, karena pengeras

suara dipakai oleh pewara untuk memanggil sanak saudara yang akan

menepungtawari kedua mempelai. Seiring dengan berakhirnya tepung tawar,

maka berakhir pula syair marhaban yang dinyanyikan. Setelah berakhirnya tepung

tawar dan marhaban, maka acara selanjtukaya adalah doa. Doa dibacakan dalam

bahasa Arab dan intinya adalah meminta kepada Allah SWT agar acara pada

malam ini mendapat berkah, dan untuk acara esok hari dijauhkan dari

marabahaya. Kepada pengantin agar segera dikaruniai keturunan.

Setelah acara doa berakhir maka dilanjutkan dengan menampilkan

beberapa tarian yang diselingi dengan sinandong. Pertunjukan sinandong pun

dimulai dengan menyanyikan beberapa lirik sinandong. Biasanya dimulai dari

Sinandong Mengonang Naseb dan Sinandong Hiburan. Isi sinandong ini

mengandung unsur nasehat dan penggambaran tentang kehidupan berumah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tangga. Kekuatan sinandong ini bisa membuat calon pengantin terpukau dan tidak

sadarkan diri. Bahkan ada juga yang kesurupan, tetapi tidak jarang ada yang

biasa-biasa saja sambil meneteskan air mata. Bagi calon pengantin yang

kesurupan dan tidak sadarkan diri, setelah beberapa lama dan dirincis dengan air

tepung tawar maka calon pengantin perempuan akan sadar kembali. Masyarakat

percaya, jika calon pengantin pingsan berarti kehidupan rumah tangga mereka

kelak akan berjalan dengan baik. Kekuatan sinandong ini disebut ―pitunang‖.

Selanjutnya proses berinai dilaksanakan di dalam ruangan. Kedua

pengantin meninggalkan pelaminan sekitar pukul 23.40 WIB. Pengantin laki-laki

pulang ke rumahnya, jika rumahnya berada di kota Tanjungbalai. Jika pengantin

laki-laki rumahnya di luar kota Tanjungbalai, maka mereka dititipkan di rumah

yang sudah ditentukan oleh pihak pengantin perempuan. Pengantin laki-laki

dibekali inai oleh pengantin perempuan. Pengantin laki-laki diinai di rumahnya

oleh sanak keluarganya.

Sedangkan pengantin perempuan diinai di ruangan tengah. Pengantin

perempuan berbaring telentang di atas tilam. Kemudian diinai oleh sahabat

ataupun orang yang ahli dengan seni berinai. Jika dilakukan oleh profesional,

maka tidak diperlukan stiker, tetapi jika dilakukan oleh orang yang tidak

profesional maka diperlukan stiker untuk mencetaknya. Dalam perkawinan berinai

Liza dan Rahmad, mereka sudah melakukan inai kecil, jadi pada malam berinai

besar ini yang diinai hanya kukunya saja, sedangkan bagian tangan tidak lagi.

Sembari proses berinai dilakukan, maka pertunjukan seni kasidah

dilangsungkan di depan pelaminan. Para group kasidah menunjukkan kebolehan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mereka melantunkan lagunya yang dimulai dengan alunan lagu (Sikka, Hijaz,

Bayati, dan lain-lain). Untuk menghemat waktu mereka hanya melantunkan lima

jenis kasidah saja. Kemudian dilanjutkan dengan nandong sebanyak 5 lagu.

Dengan berakhirnya nandong tersebut maka berakhir pula rangkaian acara malam

berinai sekitar pukul 1.30 pada Rabu 29 September 2015. Acara akan dilanjutkan

besok hari dengan khatam al-Quran dan duduk bersanding.

5.2 Analisis Teks, Konteks, dan Ko-teks

5.2.1 Analisis Teks

Dalam upacara malam berinai pada perkawinan Liza dan Rahmad dan

perkawinan Pida dan Reza, teks yang digunakan untuk mengiringi tari gubang

adalah sama yaitu didong. Peneliti hanya menganalisis teks didong tersebut.

Adapun alasan penulis tidak mengkaji teks lainnya karena dalam upacara adat

malam berinai ini tidak ada kata-kata yang spesifik dalam acara ini, seperti kata

sambutan atau kata-kata nasehat. Penulis juga tidak mentranskripsikan rawi,

marhaban, dan kasidah karena teks tersebut sudah dibukukan dan seni tersebut

sering dipertunjukkan di dalam upacara keagamaan lainnya, seperti dalam acara

maulid nabi, melepas dan menyambut jamaah haji, mengayunkan anak, dan

khitanan. Sedangkan sinandong ini khusus dipertunjukkan pada malam berinai.

Teks sinandong

Didonglah di didong didonglah didong oooooooooi....


Ooooooooiiiiii........................
Didonglah didong..... didonglah kunun sayang.........
Ooooooiiiii didonglah didong sayang..............

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Betolurlah kau senangin.........
Betolurlah kau senangin..........betolurlah
Betolurlah kunun............. sepanjang pante.... baya..............
Berombuslah kau angin....................
Berombuslah kau angin..................berombus...........
Supayo copat kamilah sampe..............
Ooooooooooooooiiiiii oooooooooooii ooooooooooiiiii
Sayang si bacong si dua bacong ala kunun oooooooooiiiiiiii
Sayang si bacong si dua bacong ala kunun oooooooooiiiiiiii
Bacong tecacak di haluan
Ooooooooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
Bagailah mano ondak masuk anak bayo oooooiiii
Musuh tepacak di tanjung puan.

Bukanlah bacong sembarang bacong


Ka ka pariuk di ranting kayu
Bukanlah datang sembarang datang
Datang menghibur penganten baru
Gu gu gu gu gu gu gu gu gu gubang
Gu gu gu gu gu gu gu gu gu gubang

5.2.1.1 Struktur Makro

Struktur makro sebuah teks berhubungan dengan tema-tema sebuah teks.

Teks didong ini merupakan teks karya sastra yang berbentuk pantun. Dua baris

pertama merupakan sampiran dan dua baris berikutnya merupakan isi atau tema.

Sampiran sinandong ini mengambil tentang tema kelautan. Kata-kata yang

digunakan seperti (1) Betolurlah kau senangin, (2) sepanjang pante, (3)

Berombuslah kau angin, (4) Sayang si bacong si dua bacong, dan (5) Bacong

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tecacak di haluan. Sedangkan isinya adalah ucapan selamat kepada pengantin

baru. Hal ini dapat dilihat dengan menggunakan kata-kata (1) Bagailah mano

ondak masuk anak bayo, (2) Bukanlah datang sembarang dating, dan (3) Datang

menghibur penganten baru. Jadi, tema utama dari sinandong ini adalah tema

menyambut kedatangan pengantin baru, sedangkan tema kecilnya adalah tema

tentang kelautan.

5.2.1.2 Superstruktur

Pada bagian pendahuluan, teks ini menggunakan tema kelautan (didong,

senangin, pantai (pante), bacong, haluan). Pada bagian tengah digunakan tema

pengantin baru (datang menghibur penganten baru). Sedangkan pada bagian akhir

atau penutup digunakan tema gubang (gubang). Sinandong di atas adalah

sinandong didong atau senandung memanggil angin. Sinandong ini lazim

digunakan oleh para nelayan untuk meminta angin, jika terjadi angin mat di laut.

Oleh karena itu, tema makro dari sinandong ini adalah tentang laut. Sedangkan

tema mikronya adalah ucapan selamat kepada pengantin baru dan gubang.

Gubang adalah senandung pengobatan yang digunakan oleh dukun untuk

mengobati pasiennya dengan menyanyikan mantra untuk meminta kesembuhan

yang disertai dengan ―tari gebuk‖. Dalam konteks malam berinai ini, gubang

adalah tarian unuk mengusir roh atau makhluk gaib yang dipercayai akan datang

mengganggu pengantin baru. Secara tersirat, gubang bermakna mengusir roh

jahat, oleh karena itu calon pengantin harus diberi inai.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5.2.1.3 Struktur Mikro

Struktur mikro dapat mencakup beberapa topik pembahasan, misalnya,

pembahasan dengan ancangan fonologi, morfologi, sintaksis, wacana, semantik,

pragmatik, stilistika, dan figuratif. Dari semua ancangan tersebut, struktur mikro

di sini hanya membahas ancangan semantik yang dititik beratkan pada kajian

semiotik dengan menggunakan teori C.S. Pierce sebagai berikut,

(1) Didong adalah ikon dari syair nelayan. Didong dinyanyikan oleh para

nelayan ketika mereka menangkap ikan di laut. Tiba-tiba angin tidak

berhembus sehingga perahu mereka tidak bisa berjalan, maka para nelayan

ini menyanyikan didong tersebut dan datanglah angin.

(2) Gubang adalah simbol dari tari inai masyarakat Melayu Tanjungbalai.

Gubang merupakan tari ritual yang dilakukan oleh masyarakat Melayu

Tanjungbalai dalam berinai.

(3) Kata kunun, baya, nandong, sinandong Asahan, merupakan simbol yang

menjadi ciri khas dalam bahasa Melayu Tanjungbalai. Begitu juga dengan

kata anak bayo, intan payung, sayang, cek, tuan merupakan kata sapaan

dan penghormatan bagi orang yang disayangi atau dituakan dan kata

tersebut hanya dijumpai dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai.

(4) Senangin adalah indeks dari ikan laut dangkal. Hal ini ini ditandai dengan

kalimat Betolurlah kau senangin..........betolurlah Betolurlah

kunun............. sepanjang pante.... Hal ini juga menandakan bahwa orang

Melayu Tanjungbalai memiliki pengetahuan yang luas tentang laut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(5) Indeks lain yang menyatakan bahwa orang Melayu Tanjungbalai memiliki

pengetahuan yang luas tentang laut adalah pemakaian akat-kata seperti

pantai, bacong, haluan, angin, dan didong. Kata-kata tersebut merupakan

kata-kata yang berhubungan dengan laut.

(6) Bagailah mano ondak masuk anak bayo, Musuh tepacak di tanjung puan,
adalah indeks dari pengantin laki-laki tidak bisa masuk ke rumah
pengantin perempuan. Hal ini ditandai oleh musuh berdiri di depan rumah
pengantin perempuan, sehingga pengantin laki-laki terhalang masuk.
Dalam adat perkawinan Melayu, ada acara ―hempang pintu‖. Jika
pengantin laki-laki tidak membayar sejumlah uang kepada orang yang
menghempang pintu tersebut, maka pengantin laki-laki tidak
diperkenankan masuk. Oleh karena itu, pihal pengantin laki-laki harus
memberikan sejumlah uang tersebut.
(7) Bukanlah datang sembarang datang, Datang menghibur penganten baru,

adalah indeks dari group senandung tersebut datang untuk menghibur

pengantin baru.

5.2.2 Analisis Konteks

Analisis konteks tradisi malam berinai ini dilihat pada perkawnan Liza dan

Rahmad. Konteks malam berinai ini didasarkan pada prosesi adat perkawinan

Melayu di Tanjungbalai. Malam berinai adalah merupakan bagian dari adat

perkawinan Melayu. Jadi analisis ini terfokus pada dua peristiwa, yaitu prosesi

pada malam berinai adat perkawinan Melayu Tanjungbalai dan prosesi ritual

tradisi bersinandung pada malam berinai yang menjadi sumber data penelitian ini.

Konteks adalah situasi yang ada disekitar kita ketika sebuah peristiwa

ritual berlangsung. Pemaknaan sebuah bahasa yang diungkapkan oleh seseorang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ditentukan oleh konteks, yakni pada saat kapan dan dimana ritual itu dilakukan.

Pada upacara malam berinai ini peneliti melihat beberapa konteks yang

meliputinya, yakni budaya, konteks sosial, konteks situasi, dan konteks idiologi.

1. Konteks budaya

Konteks budaya penyelenggaraan ritual turut mempengaruhi sebuah

tradisi. Upacara malam berinai yang diselenggarakan tentu berbeda dengan

budaya yang dilakukan pada upacara kematian. Malam berinai ini

diselenggarakan serangkaian dengan pelaksanaan upacara adat perkawinan

Melayu. Upacara malam berinai dilaksanakan dalam konteks budaya masyarakat

Melayu di Tanjungbalai yang rangkaikan dengan barzanzi, marhaban, tari gubang,

kasidah, dan sinandong. Malam berinai ini berisi bermohonan kepada Tuhan agar

makhluk gaib dan roh-roh halus tidak mengganggu pasangan pengantin.

2. Konteks sosial

Konteks sosial mengacu kepada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi

teks. Faktor-faktor sosial itu berhubungan dengan perbedaan jenis kelamin, kelas

sosial, suku, usia, dan sebagainya. Konteks sosial yang dimaksud dalam penelitian

ini adalah orang-orang yang terlibat dalam suatu upacara baik itu sebagai pelaku,

pengelolah, penikmat, bahkan komunitas pendukungnya.

Pelaku dalam upacara melam berinai ini melibatkan banyak pihak, mulai

dari calon pengantin, orang tua, pengetua adat, tetangga, sahabat, dan group

kesenian. Pengelolah atau penyelenggara dalam upacara malam ini adalah orang

yang mempunyai finansial yang memadai dan mencintai budaya Melayu.

Komunitas pendukung upacara ini adalah masyarakat Melayu Tanjungbalai.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Seiring berjalannya waktu, maka penyelenggaraan malam berinai ini juga semakin

berkurang. Hal ini disebabkan karena sekarang masyarakat ingin

meyelenggarakan suatu adat secara ringkas untuk menghemat biaya.

3. Konteks situasi

Hal ini mengacu pada waktu, tempat, dan penggunaan upacara. Upacara

malam berinai diselenggarakan pada waktu malam hari. Upacara ini ada yang

dirangkaikan dengan akad nikah. Akad nikah diselenggarakan pada malam hari

selepas sholat Isya (lebih kurang pukul 20.00 WIB). Kemudian acara dilanjutkan

dengan barzanzi, marhaban, tari gubang dan sinandong gubang, kasidah, dan

sinandong. Acara ini berakhir sampai tengah malam.

Malam berinai dilakukan pada malam hari yaitu sehari sebelum pesta

perkawinan digelar. Jika pesta perkawinan dilaksanakan pada hari minggu, maka

malam berinai dilaksanakan pada hari sabtu malam sehabis sholat isya. Berinai

dilakukan pada malam hari menurut kepercayaan masyarakat Melayu adalah lebih

baik karena warnanya akan memerah, sedangkan jika dilaksanakan pada waktu

siang hari warnanya akan memudar. Selain itu mengenakan inai tidak boleh ketika

ayam berkokok. Oleh sebab itulah, kegiatan dilakukan pada waktu malam

sebelum ayam berkokok.

Malam berinai adalah malam duka cita. Suasana lebih meriah karena

rumah pengantin calon perempuan banyak dikunjungi sahabat dan sanak saudara.

Mereka ingin melihat sekaligus menggoda calon pengantin. Sambil berianai

diselingi dengan pertunjukan sinandong.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Malam berinai dilakukan di rumah calon pengantin perempuan. Sekarang

ini, untuk menghemat biaya dan efisiensi waktu, hanya berinai besar saja yang

dilakukan. Ada juga yang hanya dilakukan oleh pihak calon pengantin perempuan

saja, sedangkan pihak calon pengantin laki-laki melakukan ritual berinai curi saja.

Bahkan sebagian besar masyarakat Tanjungbalai tidak membuat upacara malam

berinai besar ini karena harus mengeluarkan biaya untuk upacara ini. Jadi mereka

hanya membuat malam berinai curi saja.

Tempat pelaksanaan upacara ini diselenggarakan di rumah calon pengantin

perempuan. Pasangan pengantin didudukkan di atas perlaminan lalu

ditepungtawari dan diinai secara simbolis. Kemudian pengantin pria kembali ke

rumahnya dan diinai oleh sanak keluarganya. Sedangkan pengantin wanita diinai

di kamarnya oleh sahabat atau tukang inai.

4. Konteks ideologi

Meskipun saat ini masyarakat Tanjungbalai mayoritas menganut agama

Islam, akan tetapi kebudayaan pra-Islam masih mempengaruhi adat kebiasaan

terutama bentuk upacara ritual. Salah satunya adalah upacara malam berinai ini.

Dalam upacara ini rangkaian kegiatan disesuaikan dengan acaran Islam, namun

untuk dalam upacara ini menggunakan peralatan yang menyimbolkan suatu hal.

Misalnya dalam upacara tepung tawar dan permakaian inai.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa upacara berinai ini

merupakan percampuran idiologi antara Islam dan non-Islam (Hindu). Anggapan

ini cukup berasalan sebab ketika Islam diperkenalkan di alam Melayu, proses

pengislaman tidak menentang adat kebiasaan. Bahkan adat kebiasaan dijadikan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sebagai wadah untuk memasukkan ajaran Islam secara perlahan-lahan dengan

harapan akan terbentuk suatu generasi muslim yang dapat melangsungkan proses

Islamisasi secara utuh dan berkesinambungan.

5.2.3 Analisis Koteks

Koteks merupakan bagian penting dalam memberikan pemaknaan

terhadap teks tradisi lisan. Ko-teks terdiri atas paralinguistic (suprasegmental),

kinetic (gerak isyarat), prosemic (penjagaan jarak), dan unsur-unsur material atau

benda-benda yang digunakan. Jenis ini cocok digunakan untuk menganalisis

tradisi lisan yang berbentuk upacara. Berkut ini adalah unsur-unsur koteks yang

terdapat pada tradisi malam berinai pada perkawinan Liza dan Rahmad.

1. Paralinguistic (suprasegmental)

Unsur suprasegmental dalam teks sinandong dapat dilihat pada intonasi

dan tekanan yang muncul saat dinyanyikan. Sinandong yang digunakan dalam

mengiringi tari gubang dibangun oleh pola kalimat yang sama yaitu pantun

sehingga intonasi yang digunakan pada baris pertama sama dengan pada baris ke

tiga. Di setiap akhir baris digunakan bunyi oi... yang merupakan cirikhas dari

sinandong.

2. Kinetic (gerak isyarat)

Saat seseorang sedang bernyanyi biasanya ada gerakan-gerakan tertentu

yang menyertainya seperti gerakan tangan, kaki, kepala, ekspresi wajah seperti

tersenyum yang disesuaikan dengan irama lagu yang sedang dinyanyikan.

Sehubungan dengan sinandong gubang, penyanyi melakukan gerakan badan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


melenggok ke kiri dan ke kanan diikuti gerakan kaki dengan ekspresi wajah

gembira.

Gambar 5.1 Ekspresi wajah pesinandong ketika melantunkan


sinandong didong (dokumentasi Lela Erwany, 2015)

Gerakan penepung tawar dapat dilihat dari uraian berikut:

1. Ambil ―sejemput‖ beras kunyit, beras putih, dan beretih lalu taburkan

melewati atas kepala, ke bahu kanan dan bahu kiri pengantin. Pada saat

menaburkan, dilafaskan Salawat Nabi.

2. Mencecahkan daun perenjis ke dalam air tepung tawar, lalu direnjiskan di

atas dahi, bahu kanan dan kiri, lalu belakang telapak kedua tangan (posisi

tangan pengantin harus telungkup).

3. Mengambil secolet inai lalu dioleskan di telapak tangan kanan dan kiri (jika

pengantin sudah berinai kecil, maka yang dicoletkan adalah bedak dingin).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4. kemudian bersalaman kepada kedua mempelai.

5. Setelah semua orang yang ditunjuk sebagai penepung tawar selesai, acara

ditutup dengan doa selamat.

Makna tepung tawar :

1. Beras kunyit, beras basuh, dan beretih yang dihamburkan bermakana ucapan

selamat dan turut bergembira.

2. Merenjis kening bermakna berfikirlah sebelum bertindak atau teruslah

menggunakan akal yang sehat.

3. Merenjis di bahu kanan dan kiri bermakna harus siap memikul beban dengan

penuh rasa tanggung jawab.

4. Merenjis punggung tangan bermakna jangan pernah putus asa dalam mencari

rezeki, selalu dan terus berusaha dalam menjalani kehidupan.

5. Menginai telapak tangan bermakna penanda bahwa mempelai sudah berakad

nikah. Dalam konsekuensinya penyadaran bahwa ―sekarang‖ sudah tidak

lajang atau dara lagi (sudah ada pendamping).

6. Doa selamat di penutup acara bermakna pengharapan apa yang dilakukan

mendapat berkah dan ridho dari Allah Swt.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 5.2: Tatacara Tepung Tawar (Koleksi Lela Erwany, 2015)
Gerakan dalam menginai pengantin biasanya dimulai dari menginai kuku

tangan dengan menggunakan inai yang sudah ditumbuk halus. Kemudian

dilanjutkan dengan mengias tangan dengan menggunakan inai odol dan

menempelkan stiker di tangan pengantin. Kemudian dilanjutkan dengan menginai

kuku kaki dan mengukir kaki dengan inai yang berbentuk odol.

Gambar 5.3: Motif Inai Mauliza pada Malam Berinai di rumahnya


(dokumentasi Lela Erwany, 2015)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5. Unsur-unsur Material

Unsur-unsur material yang dipergunakan dalam malam berinai ini adalah:

1. Properti Tepung Tawar

Adapun peralatan atau kelengkapan tepung tawar yang digunakan oleh

masyarakat Melayu secara garis besar terdiri dari dua bagian pokok, yaitu:

- Ramuan Penabur

- Ramuan Rinjisan

a. Ramuan Penabur

Di atas wadah terletak sepiring beras putih, sepiring beras kuning, sepiring

bertih dan sepiring tepung beras, sebagai pelambang sebagai berikut :

- Beras putih = kesuburan dan pembasuh diri dari yang kotor.

- Beras Kuning = kemuliaan, kesungguhan dan keagungan.

- Bertih = perkembangan, perlambang rezeki yang tumbuh dari bumi

dan dari langit.

- Bunga Rampai = Melambangkan wanginya persahabatan, manisnya

persaudaraan, dan harumnya keakraban.

- Tepung beras = kebersihan hati.

- Arti keseluruhan dari bahan-bahan di atas adalah kebahagiaan.

b. Ramuan Rinjisan

Sebuah mangkuk putih (kalau dulu tempurung kelapa puan) berisi air

biasa, segenggam beras putih dan sebuah jeruk purut yang telah di iris-iris.

Tempat/wadah tepung tawar disebut ampar artinya bumi.Di dalam mangkuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tersebut juga diletakkan sebuah ikatan daun-daunan yang terdiri dari 7 macam

daun, yaitu :

- Daun Kalinjuhang/jenjuang (tumbuhan berdaun panjang lebar berwarna

merah). Melambangkan penolak bala dan menjauhkan dari hantu, setan

serta iblis yang mengganggu masyarakat serta pembangkit semangat juang

yang tinggi.

- Tangkai pohon pepulut/setawar (tumbuh-tumbuhan berdaun tebal

bercabang). Ini melambangkan sebagai penawar (obat) segala yang

berbisa, bisa laut, bisa bumi dan membuang segala sesuatu yang

jahat.Daun ini juga bermakna memulihkan sesuatu yang rusak atau yang

sakit.

- Daun Gandarusa (tumbuhan berdaun tipis berbentuk lonjong).Daun

ini bermakna, berjuang untuk menahan sesuatu penyakit yang akan

datang masuk ke suatu daerah. Daun ini juga merupakan daun

penangkal musuh dari luar, penangkal dari dalam, penangkal sihir dan

serapah, penangkal segala kejahatan yang dibawa setan lalu.

- Daun ribu-ribu (Tumbuhan melata berdaun kecil bercanggah).

Fungsinya sebagai pengikat diantara daun-daun tersebut, maknanya

untuk mengikat segala penyakit yang datang dan penguat kesatuan dan

kebersamaan serta penguat semangat.

- Daun Keduduk/Senduduk. Maknanya segala penyakit yang datang

didudukkan atau ditaklukkan dan dilumpuhkan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


- Daun sedingin, Daun ini bermakna akan memberikan kesejukan,

ketengan dan kesehatan.

- Pohon sambau dengan akarnya. Pohon yang memiliki akar yang liat

dan sukar dicabut, mengingatkan kita pada kekuatan dan keteguhan.

Maka ketujuh macam tumbuhan tersebut diatas melambangkan suatu

seruan atau do'a tanpa suara untuk kesempurnaan orang yang ditepung

tawari.

Ketujuh daun tersebut diikat dengan akar atau benang jadi satu berkas

kecil sebagai rinjisan. Adapun arti dari bahan-bahan di atas adalah

sebagai berikut :

- Mangkuk putih berisi air putih bermakna kejernihan. Kadang ada

juga yang menggunakan air mawar, yang terbuat dari aneka daun-

daunan yang beraroma wangi seperti pandan, serai wangi, jeruk purut

yang direbus.

- Beras atau bedak beras. Dibuat dari tepung beras yang diadun

bersama larutan wewangian alami dari tumbuh-tumbuhan yang

mempunyai makna sebagai pendingin, peneduh kalbu, dan kesuburan.

- Limau purut yang diiris tipis, yang mempunyai makna sebagai

pemberi kekuatan dan kesabaran sekaligus membersihkan. Secara

keseluruhan diartikan sebagai Keselamatan dan Kebahagiaan.

Ketiga peralatan ini diaduk menjadi satu dalam satu wadah dan direnjis

dengan menggunakan gabungan alat penepuk yang terdiri dari

dedaunan tersebut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 5.4: Perlengkapan Tepung Tawar untuk Malam Berinai
(dokumentasi Lela Erwany, 2015)

2. Tari Gubang dan Propertinya

Tari Inai adalah tari yang nyaris di semua daerah Melayu di Sumatera

Utara seperti Langkat, Deli, Serdang, Asahan maupun Labuhan Batu. Masing-

masing masyarakat Melayu di daerah-daerah tersebut membentuk Tari Inai sesuai

dengan alam, ungkapan dan falsafah yang dimilikinya. Oleh karena itu Tari Inai

bisa sangat beragam. Antara daerah Melayu yang satu dengan daerah Melayu

lainnya memiliki persamaan dan perbedaan. Baik penamaan ragamnya, istilah

geraknya, garis edar pola lantainya, sampai kepada properti yang digunakannya.

Meski demikian keberadaan Tari inai dimanapun tetap sama. Yaitu

sebagai bagian dari prosesi pemberian tanda kepada pengantin wanita.

Keberadaan Tari inai ini membuat ia jadi sangat khusus dan unik. Dikatakan

khusus, karena ia hanya ditarikan di hadapan pengantin. Dengan kata lain, tari inai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tidak ditemukan hadir dalam acara-acara hiburan. Dikatakan unik, karena tari inai

membawa lambang dan simbol tertentu melalui properti yang dibawa penari.

Masyarakat Melayu Tanjungabalai menamakan tari inai sebagai tari

gubang. Konsep tari gubang ini berbeda dengan tari inai yang ada di dalam

masyarakat Melayu di Sumatera Utara. namun demikian, tujuannya sama, yaitu

sebagai simbol untuk memberikan inai kepada calon pengantin. Tari gubang ini

khusus dipertunjukkan untuk malam berinai. Penari merupakan bagian terpenting

dalam pertunjukan tari gubang ini, karena penari yang akan mempertunjukan

tarian tersebut. Penari menjadi pusat perhatian penonton, sehingga diperlukan

penari yang memiliki kecakapan dan kemampuan menarikan tari gubang tersebut

di pelataran depan pelaminan pengantin. Pemilihan penari gubang yang peneliti

dapatkan dilapangan merupakan anggota dari Sanggar Tari Ayu, Jln. Malaka

Tanjungbalai.

Sebagai sebuah tari rakyat, tari ini sangat disukai oleh para nelayan,

mereka sering menarikannya dikala senggang setelah melaut. Kemudian tari ini

dibawa ke istana untuk dipertunjukkan kepada raja, yang kemudian ditata atau

disusun dengan pola gerak yang tertentu, dengan ditarikan oleh penari wanita dan

pria. Kalau diperhatikan gerak-gerak yang dilakukan seperti gerakan untuk

menyambut tamu. Hal ini dapat diamati dari gerak tangan yang menyembah,

gerak mempersilahkan, gerak kaki maju mundur, melingkar dan lain sebagainya.

Sehingga di dalam bentuk pengolahan yang baru di istana, tari ini tidak sekedar

hiburan, tetapi dijadikan sebagai tari pemyambutan tamu dalam satu jamuan

besar.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sinandong Didong yang dijadikan sebagai pengiring dalam tari ini,

ternyata tidak hanya sebatas pengiring saja, menurut kepercayaan masyarakat

Tanjung Balai, Didong dipercayai memiliki kekuatan untuk memanggil angin,

melalui syair-syair yang berisi mantra-mantra, dilagukan sebagai permohonan

dalam mewujudkan keinginan mereka. Berdasarkan kepercayaan ini, mereka

kemudian menjadikan sinandong didong sebagai iringan dan dilantunkan di awal

pertunjukan tari gubang. Dikarenakan lagu didong memiliki kekuatan untuk

memanggil angin, akhirnya setiap pertunjukan tari Gubang, awal dari tari Gubang

dinyanyikan dengan lagu Didong. Dalam mengiringi nyanyian Didong, digunakan

instrumen musik seperti gendang yang berjumlah minimal 2 buah dengan ukuran

yang tidak sama. Kemudian disertai tawak-tawak (gong) yang berfungsi sebagai

pembawa siklus metrum dan berjumlah 1 buah, serta biola sebagai pembawa

melodi. Biola boleh digunakan lebih dari satu asalkan memiliki nada yang serupa.

Irama yang dibawakan dalam nyanyian Didong ini adalah irama sinandong, yang

berarti bertempo lambat.

Perkembangan selanjutnya, tari ini tidak hanya dipertunjukkan sebagai tari

penyambutan saja, tetapi tari gubang sudah menjadi tari pertunjukan dengan

memberikan pola garapan yang lebih ekspresif. Saat ini, tari gubang sudah jarang

ditarikan, hanya pada perayaan besar seperti ulang tahun Kota Tanjung Balai, tari

ini masih ditampilkan tetapi bukan sebagai tari penyambutan, seperti pada

penyajian sebelumnya. Ada yang menarik dalam hal ini, karena tari penyambutan

yang ditarikan saat ini tidak menyajikannya dengan tari gubang, melainkan tari

Persembahan yang diiringi dengan nyanyian Makan Sirih, dan ditarikan oleh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


penari wanita dengan masing-masing kelompok (group) memiliki kreasi yang

berbeda dalam karya tarinya. Akhirnya, tari gubang kini khusus ditarikan pada

malam berinai.

Dari gerakan-gerakan tari gubang memiliki makna-makna religius.Tari

gubang memiliki ragam dan gerak-gerak tertentu. Ragam tari gubang

mengandung kiasan dan arti yang diambil namanya dari nama-nama hewan yang

berada di sekitar masyarakat Melayu. Ini menggambarkan bahwa tari inai sangat

dekat dengan kehidupan masyarakat.

Tari gubang ini mempunyai makna bahwa untuk mengusir hantu dan roh-

roh jahat agar tidak mengganggu calon pengantin. Itulah makanya, gerakannya

menyerupai gerakan burung yang mengepakkan sayap untuk mengusir hantu.

Gerakan ini banyak dilakukan di tari gubang ini (hasil wawancara dengan Pak

.Fauzi, 30 September 2015). Dipercayai oleh masyarakat bahwa penyakit berasal

dari ujung jari kaki dan tangan, oleh karena itu ujung jari perlu dibalut dengan inai

supaya penyakit tidak masuk.

Pada acara malam berinai, penari inai laki-laki menggunakan baju Kecak

Musang pada bagian lehernya berupa kerah tegak seperti kerah shanghai,

berkancing lima buah yang melambangkan rukun Islam yang berjumlah lima dan

juga berlengan panjang. Jadi, pakaian yang dipakai oleh penari gubang ialah baju

Gunting Cina atau baju Kecak Musang dan celana panjang longgar, kepala ditutup

dengan memakain peci. Sesamping yaitu kain sarung atau songket yang dibentuk

segitiga atau sejajar dan diikatkan ke pinggang tepatnya di atas lutut. Penari

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


perempuan mengenakan kebaya tiga suku berlengan panjang dengan kain songket.

Di sampingnya menggunakan selendang.

Gambar 5.5: Tari gubang oleh Sanggar Tari “Ayu” (Koleksi Lela
Erwany, 2015)
Pemakaian inai pada upacara perkawinan di Tanjungbalai memiliki

pengaruh dari Arab, karena pemakaian inai dilaksanakan setelah akad nikah. Inai

dipercaya dapat menangkal roh jahat dan sebagai obat untuk luka dikulit, tetapi

seiring berkembangnya pengetahuan masyarakat, sekarang inai digunakan dalam

masyarakat Melayu sebagai tanda sudah menikah. Jadi, properti yang digunakan

penari pada acara malam berinai di Tanjungbalai adalah 2 buah piring kecil berisi

inai yang sudah digiling halus.

3. Properti Berinai

Properti berinai yang digunakan pada upacara malam berinai baik Pida

maupun Liza tidak ada perbedaan, yaiitu inai yang digiling halus, stiker, dan inai

Mekah yang berbentuk odol. Hal ini dapat dilihat pada bagan berikut ini,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Properti berinai

Inai yang Digiling Stiker Inai Mekah yang


Halus Berbentuk Odol

Bagan 5.1 Properti Berinai pada Upacara Malam Berinai dalam Masyarakat
Melayu Tanjungbalai

1. Inai yang Digiling Halus

Inai adalah tumbuhan yang hidup didataran tinggi yang memiliki daun

yang lebat dan berukuran relatif kecil. Pokok inai mempunyai nilai pengobatan

yang tinggi pada daunnya. Daun inai atau henna merupakan sejenis pokok renek

dengan bunga yang berwarna hijau pucat serta daun-daun yang sangat berguna.

Orang-orang Melayu dan Cina menggunakannya untuk menyembuhkan luka dan

kudis di sekeliling kuku. Untuk itu, daun-daun ini dibersihkan dan ditumbuk,

kemudian disapukan pada tempat yang sakit.

Daun inai mengandung bahan pewarna glukosid dan asid henotanik. Asid

henotanik pada daun inai menyebabkan kulit yang dikenai inai akan berwarna

merah. Ini disebabkan pewarna yang terdapat dalam asid henotanik akan

bergabung dengan kolagen pada sel kulit dan keratin pada kuku dan rambut.

Minyak dari biji inai mengandung behenik, arasidik, sterik, palmitik, asid oleik

dan linoleik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Inai yang digunakan pada acara malam berinai pasangan Liza dan Rahmad

adalah inai yang diambil dari halaman rumah tetangga mereka. Inai ini tidak dibeli

tetapi hanya diminta saja. Masyarakat Melayu Tanjungbalai masih memiliki rasa

solidaritas yang tinggi, sehingga mereka sudah terbiasa meminta atau memberi

sesuatu tanpa pamri. Inai ini diambil pada sore hari, kira-kira jam lima sore dan

langsung digiling. Inai ini digiling oleh bibinya, yaitu adik ayahnya yang paling

kecil.

Inai yang digunakan pada malam berinai ini giling di atas batu gilingan

yang berbentuk oval. Untuk menghasilkan warna inai yang bagus, maka

dipergunakan daun inai yang sudah tua. Daun yang telah tua ditandai dengan

adanya bintik-bintik hitam yang terdapat di daun tersebut, daun yang tua itulah

yang digiling halus dicampur dengan sedikit gambir, nasi, arang, dan kapur.

Gambir, arang, dan kapur digunakan untuk menghasilkan warna merah kehitam-

hitaman. Nasi digunakan agar inai merekat lebih lama di tempat yang diinai. Inai

yang digiling ini ditempelkan di ujung jari dan kuku kaki dan tangan.

Inai tidak bisa ditumbuk di lesung, karena jika ditumbuk di lesung inai

tidak akan halus. Lagi pula memerlukan waktu yang lama, jika ditumbuk di

lesung. Tetapi jika digiling di batu gilingan, maka inai akan cepat lumat. Untuk

hasil yang maksimal, maka daun inai harus digiling sedikit demi sedikit, jangan

digiling sekaligus. Inai giling ini dipergunakan untuk menginai kuku dan ujung

jari kaki dan tangan, serta telapak tangan. Berikut adalah gambar gilingan inai.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 5.6: Inai yang akan digiling (Koleksi Lela Erwany, 2015)

2. Stiker

Stiker adalah gambar motif berinai yang dipergunakan untuk melukis

tangan bagian belakang dan kaki bagian depan. Pemilihan motif tergantung

kepada selera calon pengantin. Ada yang mengukirnya sampai kebagian lengan,

sehingga berbentuk sarung tangan. Pada umumnya motif stiker ini berbentuk

bunga. Semakin terampil seseorang dalam menggunakan stiker ini, maka dia akan

memilih motif yang kecil-kecil dan rumit. Tetapi bagi yang belum terampil,

biasanya mereka memilih motif yang besar agar mudah dalam pelaksanaannya.

Stiker ini dapat ditemukan di tempat penjualan kosmetik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 5.7: stiker untuk berinai (Koleksi Lela Erwany, 2015)

3. Inai Mekah yang berbentuk odol

Inai mekah yang berbentuk odol dipergunakan untuk mengulir bagian

tangan yang sudah dipasang stiker. Berdasarkan patron yang sudah ditentukan dari

stiker tadi, maka pengerjaan berinai sudah bisa dilakukan. Inai ini biasanya

warnanya tidak tahan lama, paling lama satu minggu sudah hilang. Inai ini

digunakan untuk mengukir tangan Liza dan kaki Liza sampai ke pergelangan.

Gambar 5.8: inai yang berbentuk odol (Koleksi Lela Erwany, 2015)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4. Properti Group Barzanzi, Marhaban, Kasidah dan Sinandong

Seni barzanzi dan marhaban amat populer digunakan dalam upacara-

upacara keagamaan Islam dan kebudayaan Melayu. Majelis barzanzi dan

marhaban diselenggarakan di majelis-majelis gembira. Misalnya untuk

mengabsahkan upacara perkawinan, sunatan, MTQ, maulid Nabi, melepas dan

menyambut haji, dan sebagainya. Dalam konteks kebudayaan Melayu, penyajian

barzanzi selalu digandengkan dengan marhaban. Keduanya memang genre seni

yang selalu berpasangan. Menurut pengamatan peneliti, baik barzanzi maupun

marhaban masih dilagukan dalam bahasa Arab. Sedangkan menurut Takari, dkk.

(2015: 278) di Semenanjung Malaysia, barzanzi dan marhaban sekarang sudah

lazim diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.

Barzanzi berisi tentang sejarah kehidupan nabi Muhammad SAAW yang

dimulai dari sejak kelahiran, perkawinan, proses pengangkatannya menjadi nabi,

masa kenabiannya, hijrah ke Madinah, hingga Beliau wafat. Sedangkan marhaban

berisi tentang penyambutan kaum Anshor terhadap kaum Muhajirin, ketika

Rasulullah hijrah dari Mekkah ke Madinah. Di sini diceritakan tentang kesediaan

dan kegembiraan kaum Anshor yaitu penduduk Madinah menerimah kehadiran

kaum Muhajirin yang datang dari Mekkah al-Mukarramah.

Kasidah adalah salah satu jenis kesenian Islam yang terdapat di alam

Melayu. Kesenian ini diadopsi dari kesenian Arab. Kasidah yang ada di

Tanjungbalai masih menggunakan bahasa Arab, tidak diterjemahkan dalam

bahasa Indonesia. Kasidah berupa nyanyian-nyanyian dalam bahasa Arab yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


berisikan tentang keesaan Tuhan dan dinyanyikan dengan menggunakan irama

tertentu seperti sikka, bayati, dll.

Sinandong adalah nyanyian yang isinya menceritakan tentang perihal

kehidupan masyarakat. Di dalam pengucapannya memakai pantun dan mantra

disertai kata-kata interjeksi dan suku kata tanpa arti (non-meaning syllables).

Sianadog diadopsi dari Arab yang berbentuk syair. Sinandong menggunakan

bahasa Indonesia dan dalam pengucapannya menggunakan pantun, syair, dan

mantra. Sinandong biasanya dipertunjukkan pada malam hari. pelaksanaannya

serangkaian dengan barzanzi, marhaban, dan kasidah yang diselenggarakan di

majelis-majelis gembira seperti pesta kerang, khitanan (malam hari, sehari

sebelum pesta khitanan), dan malam berinai.

Pada upacara malam berinai Pida dan , pertunjukan sinandong dirangkaian

dengan barzanzi dan marhaban, tanpa kasidah. Pertunjukan sinandong diiringi

dengan alat musik seperti biola, gong, gendang, dan keyboard. Sedangkan dalam

acara malam berinai Liza dan Rahmad, pertunjukan sinandong diiringi dengan

barzanzi, marhaban, dan kasidah. Sinandong hanya diiringi dengan alat musik

keyboard. Ini adalah bentuk penyederhanaan dalam penyelenggaraan malam

berinai.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 5.9: Group Aljamiatul Kasidah Tanjungbalai (Koleksi Lela Erwany,
2015)

Properti yang digunakan oleh grop kesenian ini dari kedua acara malam

berinai tersebut adalah seranggkaian alat musik dan makanan. Sedangkan pakaian

yang digunakan oleh group kesenian tersebut adalah baju teluk belanga untuk pria

sedangkan wanita menggunakan kebaya panjang dan jilbab dengan warna-warna

yang menyolok.

1. Alat Musik

Alat musik yang dipergunakan dalam seni pertunjukan ini adalah biola,

gendang satu muka, gong, arkodion, dan keyboard. Penggunaan alat musik

tersebut akan dijelaskan satu per satu dan dapat dilihat pada bagan berikut,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Perlengkapan Alat Musik
Pertunjukan Sinandong

Biola Gendang Gong Arkodion Keyboard


Satu Muka

Bagan 5.2 Perlengkapan Alat Musik Pertunjukan Sinandong

A. Biola

Biola adalah sebuah alat musik dawai yang dimainkannya dengan cara

digesek. Biola memiliki empat senar (G-D-A-E) yang disetel berbeda satu sama

lain dengan interval yang sempurna kelima – limanya. Nada yang paling rendah

adalah G. Selain suaranya yang indah biola juga memilki bentuk yang unik. Alat

musik gesek berdawai dua bangsa Turki dan Mongolia dawainya dari surai kuda,

dimainkan dengan busur surai kuda, dan memiliki ukiran kepala kuda di bagian

kepalanya. Biola, viola, dan cello yang busurnya masih dibuat dari surai kuda,

adalah peninggalan bangsa nomaden tersebut.

Dipercayai bahwa alat musik mula-mula tersebut dibawa ke Asia Timur,

India, Bizantium dan Timur Tengah. Di tempat-tempat tersebut mereka

menyesuaikan dengan lingkungannya dan berkembang menjadi alat musik erhu,

esra, harpa tangan Bizantium, dan rebab. Biola dalam bentuk modern bermula dari

Italia Utara pada awal abad ke-16, terutama di kota pelabuhan Venice dan Genoa

yang berhubungan langsung ke Asia Tengah lewat jalur sutera. Biola Eropa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


modern dipengaruhi oleh berbagai alat musik, terutama dari Timur Tengah dan

Bizantium.

Terjadi perubahan yang cukup besar pada pembuatan biola pada abad ke-

18, terutama dalam hal panjang dan sudut leher biola. Mayoritas alat musik yang

lama telah diperbarui sesuai standar yang baru-baru ini, dan maka dari itu jelas

berbeda dari keadaan alat musik tersebut ketika diselesaikan oleh seniman

pembuat biola, termasuk perbedaan dalam hal suara dan respons. Namun alat-alat

musik ini dengan kondisi mereka pada saat ini menjadi standar kesempurnaan

pada seni pembuatan biola dan suara biola, dan pembuat biola di seluruh dunia

berusaha untuk mendekati ideal tersebut sedapat mungkin menyerupai biola yang

asli. Hingga hari ini, alat musik dari ―Jaman Keemasan‖ pembuatan biola,

terutama yang dibuat oleh Stradivari dan Guarneri del Gesù, adalah alat-alat

musik yang paling diburu oleh kolektor dan pemain biola professional.

B. Gendang

Gendang adalah jenis alat musik pukul dalam kelompok genderang yang

paling dikenal di muka bumi. Alat musik ini dibuat dari kulit binatang yang

diregangkan pada mulut tabung kayu dengan berbagai variasi bentuk dan ukuran.

Setiap bangsa sejak Afrika sampai Asia Timur dan benua Amerika, dapat

dikatakan memiliki gendang dengan bentuk, bunyi, kegunaan, dan nama

tersendiri.

Gendang dipakai juga sebagai ritual tertentu atau untuk membangkitkan

kegembiraan. Di nusantara gendang sudah dikenal sejak abad ke sembilan sebagai

alat musik pokok untuk acara persilatan, rentak tari menari, dan penyambutan raja

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


atau tamu terhormat yang pada pokoknya untuk memeriahkan suasana perayaan.

Dalam peri kehidupan Melayu, gendang dikaitkan pula dengan keinginan dan

kesenangan yang dicerminkan dalam pepatah atau perumpamaan. Gendang yang

digunakan dalam gruop ini adalah gendang bermuka satu.

C. Gong

Gong merupakan sebuah alat musik pukul yang terkenal di Asia Tenggara

dan Asia Timur. Gong ini digunakan untuk alat musik tradisional. Saat ini tidak

banyak lagi perajin gong seperti ini. Gong yang telah ditempa belum dapat

ditentukan nadanya. Nada gong baru terbentuk setelah dibilas dan dibersihkan.

Apabila nadanya masih belum sesuai, gong dikerok sehingga lapisan perunggunya

menjadi lebih tipis. Di Korea Selatan disebut juga Kkwaenggwari. Tetapi k-

kwaenggwari yang terbuat dari logam berwarna kuningan ini dimainkan dengan

cara ditopang oleh kelima jari dan dimainkan dengan cara dipukul sebuah stik

pendek. Cara memegang kkwaenggwari menggunakan lima jari ini ternyata

memiliki kegunaan khusus, karena satu jari (telunjuk) bisa digunakan untuk

meredam getaran gong dan mengurangi volume suara denting yang dihasilkan.

D. Akordion

Akordeon merupakan alat musik sejenis organ. Alat musik ini relatif kecil,

dan dimainkan dengan cara digantungkan di leher. Pemusik memainkan tombol-

tombol akord dengan jari-jari tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya

memainkan melodi lagu yang dibawakan.Alat musik ini biasa dimainkan dengan

cara dipompa. Alat musik ini termasuk sulit untuk dimainkan. Tidak banyak yang

dapat memainkannya. Pada saat dimainkan, akordeon didorong dan ditarik untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menggerakkan udara di dalamnya. Pergerakan udara ini disalurkan ke lidah

akordeon sehingga menimbulkan bunyi.

Menurut sejarah dunia, akordeon yang asli ternyata diciptakan pada tahun

1822 oleh seorang seniman berasal dari Berlin, Jerman, bernama Christian Fried.

Lalu oleh Cyrill Demian pada tahun 1829 Akordeon tersebut baru dipatenkan.

Lalu semakin lama semakin terkenal dan mulai dikenal di Inggris di tahun

1831.Pada awalnya akordian memang sudah memiliki tuts piano namun masih

sangat sederhana dan tradisional. Lalu, lama kelamaan setelah ditemukan

pengembangan piano yang lebih modern akhirnya akordeon saat ini memiliki tuts

yang sama dengan tuts piano pada umumnya. Selain itu juga akordeon saat ini

memiliki ketahanan dan kualitas suara yang lebih baik.

Akordeon ini memiliki tiga komponen universal, yaitu tubuh, palet, dan

bellow dan banyak bagian lain yang variabel. Tubuh terdiri dari dua kotak kayu

bersama oleh bellow. Dalam ini adalah ruang buluh yang menghasilkan suara.

Komponen yang ada dalam sebuah akordeon adalah bagian kotak kayu, bellow,

dan palet. Di dalam kotak kayu itu ada sebuah rongga tempat dimana suara

akordeon dihasilkan. Sedangkan palet yang berbentuk seperti katup yang

mengontrol keluar masuknya udara ke dalam akordeon tersebut. Sedangkan

bellow adalah komponen yang dominan yang menciptakan kevakuman dan

tekanan udara yang digetarkan sehingga menghasilkan suara

(http://alampedia.blogspot.co.id/2014/11/akordeon-alat-musik-tradisional-).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


E. Keyboard

Alat musik keyboard sudah dikenal sejak zaman kuno. Namun awal

tepatnya belum jelas. Dalam tangga nada barat disebut dengan diatonis, dan

terbagi dalam 12 nada. Adanya nada penuh dan ada juga nada semi-tone. Pada alat

musik keyboard, kedua kelompok ini biasa dibedakan dengan kunci berwarna

terang dan gelap. Dalam sejarah alat musik keyboard, susunan deret kunci yang

kromatik yang mencakup 12 nada muncul di Eropa pada abad ke 14. Pada

awalnya, tutsnya masih dalam ukuran yang lebar. Satu tuts mempunyai lebar

beberapa sentimeter, sehingga nada harmoni yang dihasilkan tidak banyak. Dalam

sejarah alat musik keyboard di abad ke 16 baru muncul pembakuan tuts, ini berarti

nada diatonik dapat dicakup dalam lebar satu tangan, sehingga musik harmonik

pun dapat dihasilkan. Pada perkembangan ini pun kunci putih dan hitam sudah

diciptakan.

Keyboard elektronik muncul di abad ke 20, dimana pertama kali

dipasarkan oleh Laurens Hammond di Amerika Serikat di tahun 1935. Dan sejak

saat itu mulai berkembang menjadi alat musik yang sekarang menjadi rajanya alat

musik. Ini karena suatu orkes simfoni dari pulhan alat musik dapat dihasilkan oleh

satu buah keyboard saja. Pada tahun 1962 seorang insinyur yang berasal dari Italia

bernama Paolo Ketoff mengeluarkan alat musik yang disebut dengan Synket. Alat

ini menghasilkan musik eksperimental yang bagi pendengar awam tidak begitu

musikal.

Dua tahun kemudian di Amerika dalam sejarah alat musik keyboard,

muncul alat musik yang diciptakan oleh Donald Buchla dan satunya lagi oleh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Robert Moog. Alat musik milik Donald Buchla tidak menggunakan keyboard

sebagai perangkat untuk memainkannya, namun dengan permukaan yang sensitif

terhadap sentuhan. Sedangkan alat musik Robert Moog menggunakan keyboard

sebagai perangkatnya, di sisinya dipasang alat pengontrol yang konvensional

seperti tombol putar yang berfungsi sebagai volume dan juga untuk mengatur

tinggi rendahnya nada yang dihasilkan. Dalam sejarah alat musik keyboard, alat

musik ciptaan Robert Moog tersebut lebih memudahkan penggunaannya untuk

mengalunkan musik tradisional dalam tatanan suara yang baru. Karya-karya dari

J.S Bach dapat dimainkan oleh alat musik ciptaan Robert Moog yang dinamakan

dengan Mini Moog. Saat itu, alat musik tersebut belum bisa memainkan nada

harmonik, dan hanya satu nada yang dapat dimainkan. Dan alat musik ini pun

menjadi populer sebagai pmbawa melodi dalam musik pop. Musik rock

merupakan yang pertama dalam mengadopsi alat ini ke dalam genre progressive

rock pada band-band sepertti Yes, Genesis dan lain-lain.

Dalam sejarah alat musik keyboard, baru di tahun 1980 synthesizers dapat

mengeluarkan suara harmonik. Yang pertama kali terkenal adalah Yamaha DX-7

yang keluar di tahun 1983. Peralatan ini merupakan pengembangan dari zaman

Robert Moog dengan Frequency Modulation Synthesis yang dirancang oleh John

Chowning dari California. Dalam sejarah alat musik keyboard Fm menghasilkan

variasi timbre dengan cara mengubah frekuensi . Yamaha DX-7 memiliki

keyboard 5 oktaf. Sejarah alat musik keyboard berlanjut, di tahun berikutnya

Casio mengeluarkan CZ-101 yang menggunakan tenaga baterai, memiliki empat

suara dan mengikuti kemampuan synthesizers analog. Dalam sejarah alat musik

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


keyboard juga berkembang Musical Instrument Digital Interface atau MIDI yang

merupakan penggabungan peralatan musik agar bisa bekerja dalam suatau

perangkat komputer.

Alat musik keyboard yang memiliki kelengkapan teknologi suara digital

memang semakin dicari banyak orang, apalagi alat musik ini memang dapat

mewakili berbagai suara dari alat musik lainnya. Alat musik Keyboard

mendapatkan suaranya dari manipulasi kunci-kunci. Ada yang ditekan

(menggunakan jari tangan), dan ada juga yang dipijak (menggunakan kaki).

Susunan Keyboard arahnya mengikuti logika, dari kiri nada-nada rendah, ke

kanan nada-nada tinggi. Susunan kiri-kanan bass ke treble juga berlaku demikian.

2. Makanan

Yang dihidangkan untuk para pemain adalah makanan ringan seperti roti,

sprite, telur ayam kampung yang mentah, jeruk manis, bandrek, dan aqua.

Sebelumnya para personil group kesenian sudah makan nasi terlebih dahulu. Jika

mereka mau makan lagi, hidangan masih tersedia di meja hidang yang juga

diperuntukkan bagi penonton. Hidangan nasi ala pransmanan disediakan sampai

acara malam berinai ini selesai. Jadi makanan ringan ini fungsinya untuk menjaga

agar suara penyair tidak serak.

Sprite dipercaya oleh mereka untuk menjaga tubuh agar tidak masuk

angin. Jika kuning telur ayam kampung yang masih mentah dicampur dengan

sprite dipercaya dapat menambah kebugaran tubuh dan tubuh tidak mudah masuk

angin. Jeruk manis dan bandrek dipercaya dapat mempertahankan pita suara agar

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tidak serak. Sedangkan roti dan aqua hanya sebagai pelengkap dan fungsinya

hanya sebagai cemilan saja.

Gambar 5.10: Makanan Ringan untuk Group Kasidah (Koleksi Lela


Erwany, 2015)

Secara keseluruhan performasi tradisi malam berinai pada masyarakat


Melayu Tanjungbalai dapat dilihat pada tabel berikut ini

No Prosesi malam berinai Analisis Teks, Konteks, dan Koteks


tahap persiapan Tahap Teks Konteks Koteks
pelaksanaan Struktur supernatural Struktur Budaya Sosial situasi ideologi paralinguistk kinetik Unsur material
makro mikro
1. Mengundang Barzanzi Tema Awal: Semioti Adat pelaku: calon Waktu: Percam Bunyi oi Geraka Ramuan tepung
tamu meyemb Tema k perkawina pengantin, sekitar puran sebagai n tawar: ramuan
ut kelauatan, n Melayu orang tua, pukul ideologi penanda tepung penabur dan
penganti Tengah: Tanjungba pengetua 22.00 Islam sinandong tawar ramuan rinjisan
n baru menyambut lai adat, WIB dan
pengantin tetangga, sampai Hindu
Penutup: sahabat, dan pukul
gubang group 1.00
senandung WIB
2. Menyiapkan Marhaban Pengelolah: Tempat: Tari gubang: baju
makanan orang yang di rumah melayu dan dua
mempunya penganti piring inai yang
i finansial n sudah digiling
yang permpua
memadai n di atas
dan cinta pelamin
budaya an

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Melayu
3. Perlengkapan Duduk di Komunitas Suasa Berinai: inai
berinai pelaminan pendukung na: yang sudah
: suka ditarikan,
masyarakat cita stiker, inai
Melayu Mekah yang
Tanjungbal berbentuk odol
ai
4. Perlengkapan Tari gubang Penikmat: Group
Tepung tawar sanak Sinandong:
saudara biola, gendang
kaum satu muka,
pengantin gong, arkodion,
perempuan keyboard,
dan. mkanan ringan:
Sahabat roti, sprite,
pengantin telur ayam
perempuan kampung
mentah, jeruk
manis, bandrek,
dan aqua.
5. Mengundang Tepung tawar
gruop
senandung
dan group tari
6. Doa
7. Tari-tarian
8. Berinai di
dalam
rumah
9. Kasidah
10. Sedangdon
g

Tabel 5.1 Performansi Malam Berinai pada Masyarakat Melayu


Tanjungbalai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB VI

KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI MALAM BERINAI

Sebelum sampai kepada kearifan, akan dibahas terlebih dahulu

mengenai lapisan makna tradisi malam berinai dalam masyarakat Melayu

Tanjungbalai, yaitu makna dan fungsi, nilai dan norma, serta kearifan lokal.

Kearifan lokal malam berinai pada masyarakat Melayu Tanjungbalai dapat dilhat

pada tabel berikut,

No. Lapisan Pemaknaan Unsur

1. Makna dan Fungsi Makna: mempersiapkan calon pengantin


dalam menuju hidup berumah tangga.
Magis

Fungsi Kesehatan

Doa atau Harapan

2. Nilai dan Norma Estetik

Nilai Kesabaran

Kesopanan

Norma Agama

3. Kearifan Lokal Kesantunan

Kesetiakawanan Sosial

Rasa Syukur

Gotong-royong

Penjagaan Lingkungan

Tabel 6.1 Kearifan Lokal Tradisi Malam Berinai dalam masyarakat


Melayu Tanjungbalai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6.1 Makna dan Fungsi Tradisi Malam Berinai

6.1.1 Makna Berinai

Kata ―henna‖ berasal dari bahasa latin untuk tanaman Lawsonia Inermis

yang diucapkan oleh orang Arab sebagai Hinna, di Indonesia dikenal dengan inai.

Asal tepat dari inai sulit dikatakan karena seni ini telah berusia hampir 5000

tahun. Beberapa sejarahwan mengatakan bahwa bangsa Mogul yang membawa

inai ke India tetapi sejarahwan lain mengatakan bahwa asal mula inai adalah

India, sedang yang lain mengatakan bahwa asal mula inai adalah Timur Tengah

atau Afrika Utara. Hal ini telah peneliti jelaskan pada bagian pendahuluan.

Tumbuhan inai bisa mencapai ketinggian 4 sampai 6 kaki dan dapat

ditemukan di negara-negara seperti Pakistan, India, Afganistan, Mesir, Suriah,

Yaman, Uganda, Maroko, Senegal, Tanzania, Kenya, Iran dan Palestina. Inai

tumbuh cukup baik di iklim panas. Inai adalah nama tumbuhan tertua yang

digunakan sebagai kosmetik. Sangat aman digunakan. Jarang sekali menimbulkan

masalah. Jika ragu karena mempunyai kulit sensitif, ada baiknya konsultasi

dengan dokter dan mencobanya dalam kuantitas kecil. Contohnya dengan

mengoleskan sedikit saja inai pada belakang leher atau dibawah lengan, karena

kulit di daerah tersebut tergolong area yang paling sensitif. Inai alami biasanya

aman karena tidak mengandung pewarna sintetis kimia atau bahan tambahan yang

berbahaya lainnya.

Inai bisa di pakai pada bagian tubuh dengan membuat pola dan desain

yang indah. Inai juga dikenal khasiatnya untuk penyembuhan dan terapi. Sejak

jaman dahulu, inai dipakai untuk menyehatkan rambut agar makin mengkilap,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


berfungsi sebagai kondisioner rambut dan baik untuk kulit kepala. Di India, inai

merupakan salah satu cara mempercantik diri selain memakai make up atau

perhiasan. Bisa dipakai sehari-hari, atau memegang peran penting dalam acara

khusus seperti pernikahan. Dua atau tiga hari sebelum pernikahan dilangsungkan,

mempelai perempuan akan menghadiri pesta mehndi atau berinai yang

diselenggarakan bersama keluarga dan teman. Tangan mempelai perempuan akan

dihias inai dari ujung jari sampai siku, dan di kaki dari ujung kaki sampai lutut.

Nama mempelai laki-laki akan dituliskan secara tersembunyi di sela-sela inai

yang dipasang dan akan dijadikan permainan kuis pencarian nama calonnya.

Pada saat sebelum pernikahan dimulai diadakan permainan di mana mempelai

laki-laki harus menemukan lebih dahulu di mana tulisan namanya disembunyikan.

Kadang-kadang mempelai laki-laki pun dihiasi dengan inai juga.

Dalam sejarah pemakaian inai digunakan untuk menangkal kejahatan dan

membawa nasib baik bagi pemakainya. Karenanya inai biasa dipakai sebelum

melahirkan (sewaktu hamil) dan sebelum pernikahan (calon pengantin). Sebagian

besar prosesi pernikahan tradisional di beberapa daerah yang ada di Indonesia

memasukan ritual pemakaian daun pacar sebagai salah satu ritual pernikahan

Melayu. Masing-masing daerah memiliki arti dan makna tersendiri untuk ritual

tersebut, meski di masa sekarang ritual ini dianggap oleh sebagian kalangan

masyarakat Indonesia sebagai pelengkap prosesi pernikahan suatu adat semata.

Selain di India dan Pakistan, inai juga masih sering digunakan kaum

perempuan di Afrika, Asia, bahkan Amerika. Di beberapa negara, inai dikenakan

di hari pernikahan, baik itu untuk menghiasi kuku, lengan dan kaki para calon

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pengantin wanita. Selain untuk mempercantik penampilan, penggunaan inai juga

diyakini dapat melindungi pemakainya dari berbagai gangguan. Seperti upacara

Henna belly, melukis perut yang sedang hamil dengan daun pacar bukan lagi hal

tabu. Selain melestarikan tradisi, mempercantik perut sudah menjadi bagian dari

gaya hidup.

Di Indonesia, henna lebih dikenal dengan inai atau paci atau pacar yaitu

bahan pewarna alami dari daun tanaman pacar. Di beberapa tradisi dan adat

budaya daerah di Indonesia, pemakaian henna atau inai adalah bagian dari ritual

sebelum prosesi pernikahan. Seperti di Aceh dengan bahgoca, Padang dan Betawi

melalui malam bainai. Di masyarakat Melayu dikenal dengan istilah malam

berinai. Menjelang pernikahan biasanya diadakan malam inai atau wenni mappaci

(Bugis) dan akkorontigi (Makasar). Upacara ini merupakan ritual pemakaian inai

ke tangan si calon mempelai. Maknanya adalah untuk mempersiapkan calon

pengantin untuk memasuki babak kehidupan baru. Meninggalkan hidup

menyendiri menuju kepada kehidupan berumah tangga.

Dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai, pada malam berinai ini, calon

pengantin wanita dihias sedemikian rupa, dipakaikan baju yang indah dan dihias

seperti pengantin. Lalu didudukkan di pelaminan dan ditepungtawari. Maknanya

agar calon pengantin perempuan pada keesokan harinya tidak terkejut lagi bila

duduk di pelaminan. Malam ini bisa juga dikatakan sebagai gladi resik untuk

pelaksanaan perkawinan pada esok hari. Selain itu, malam ini adalah malam

terakhir calon pengantin perempuan berada di rumah tersebut, karena setelah

pernikahan pada kesesokan harinya, calon pengantin perempuan bukan lagi milik

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


keluarganya melainkan sudah menjadi milik suaminya. Setelah diselenggarakan

pernikahan, pengantin perempuan akan dibawa ke rumah pengantin laki-laki.

Adapun makna malam berinai bagi calon pengantin laki-laki adalah

sebagai persiapan untuk pelaksanaan perkawinan. Calon pengantin laki-laki harus

mempersiapkan dirinya untuk melepas masa lajangnya. Pada malam ini, calon

pengantin laki-laki berkumpul dengan teman-teman dan sanak keluarganya. Pada

malam ini, calon pengantin laki-laki bersenda gurau dengan teman-temannya,

karena esok hari calon pengantin laki-laki memasuki babak baru dalam

kehidupannya. Dia harus belajar bertanggung jawab, karena dia sudah menikah

dan sudah berkeluarga (memiliki keluarga sendiri).

Inai yang dipakai oleh calon pengantin laki-laki adalah inai yang

dikirimkan oleh calon pengantin perempuan. Maknanya adalah untuk melihat

kesungguhan hati dari kedua calon pengantin. Calon pengantin perempuan sudah

mempersiapkan diri untuk melayani calon suaminya dengan mengirimkan inai

tersebut. Calon pengantin laki-laki juga sudah siap menerima pelayanan dari calon

istrinya. Di samping itu, maksud dari pengiriman inai ini adalah untuk melihat

apakah colon pengantin laki-lakinya siap untuk melaksanakan pernikahan pada

keesokan harinya. Karena dikhawatirkan, jangan-jangan pengantin laki-lakinya

sudah pergi atau melarikan diri (hasil wawancara dengan Pak Zainul, tanggal 24

Mei 2015)

6.1.2 Fungsi Tradisi Malam Berinai

Adapun fungsi perhelatan tradisi malam berinai pada masyarakat Melayu

Tanjungbalai adalah untuk : magis, kesehatan, dan doa atau harapan. Magis yaitu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menjauhkan diri dari gangguan mistik atau roh-roh jahat. Kesehatan adalah

membersihkan diri dari hal-hal yang kotor. Doa atau harapan adalah menjaga diri

dari segala hal yang tidak baik. Fungsi ini dapat dilihat pada bagan berikut

Fungsi Tradisi Malam berinai


pada Masyarakat Melayu
Tanjungbalai

Magis Kesehatan Doa atau


Harapan

Bagan 6.2 Fungsi Tradisi Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu


Tanjungbalai

6.1.2.1 Magis

Malam berinai bagi masyarakat Melayu Tanjungbalai memiliki fungsi

magis yaitu menjauhkan diri dari gangguan mistik dan roh-roh jahat. Dalam

ungkapan adat disebutkan :

Malam berinnai disebut orang


membuang sial muka belakang
memagar diri dari jembalang
supaya hajat tidak terhalang
supaya niat tidak tergalang
supaya sejuk mata memandang
muka bagai bulan mengambang
serinya naik tuah pun datang

Mistik ada sejak manusia Melayu Tanjungbalai ada di bumi ini. Mistik

merupakan jawaban terhadap segala fenomena alam jauh sebelum peradaban

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Islam masuk ke Melayu. Pada masa itu masyarakat MelayuTanjungbalai masih

berkehidupan serba subjektif, abstrak, dan spekulatif sesuai dengan kedudukan

sosialnya. Di antara masyarakat Melayu tanjungbalai masih ada yang berusaha

merasionalkan paham mistik yang dianutnya dan ada pula yang tegas-tegas lepas

sama sekali dari tuntutan kemajuan jaman ini (hasil wawancara dengan pak Jefri,

25 Mei 2015).

Paham mistik atau mistisisme merupakan paham yang memberikan ajaran

yang serba mistis (misal, ajarannya berbentuk rahasia, tersembunyi, gelap atau

terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami

oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali penganutnya. Selain serba mistis,

ajarannya juga serba subyektif, tidak objektif. Tidak ada pedoman dasar yang

universal dan yang otentik. Bersumber dari masyarakat dan pribadi tokoh

utamanya sehingga paham mistik itu berbeda satu sama lain. Sehingga

pembahasan dan pengalaman ajarannya tidak mungkin dikendalikan dalam arti

yang semestinya.

Salah satu bagian dari kegiatan Mistik berkaitan dengan keadaan alam.

Sebab alam dengan berbagai fenomena dapat memberikan hikmah untuk

kelangsungan hidup manusia. Unsur-unsur alam seperti malam, siang, bulan,

matahari, pohon, laut dan lain-lain tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.

Manusia dan alam berada dalam kesatuan yang harmoni dan saling melengkapi.

Manusia harus dapat menjaga perlakuan dan tata susila kepada makhluk Allah

SWT yang lain. Manfaat alam untuk manusia adalah menjadikan manusia lebih

beriman dan bertanggung jawab akan alam. Karena yang menciptakan alam dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


manusia adalah Allah SWT dan manusia menggunakan alam untuk memudahkan

sebuah kehidupan.

Masyarakat Melayu Tanjungbalai walaupun telah beratus tahun memeluk

agama Islam dan menjalankan syariat Islam, namun masih juga ada

penyimpangan kepercayaan dengan memberi tambahan perwujudan syariat, yaitu

mempelajari serta mengamalkan mistik. Secara gamblang mistik merupakan suatu

bentuk karya sastra yang berkaitan erat dengan kepercayaan atau religiositas

karena mistik membutuhkan kepercayaan.

Untuk mengangkat citra manusia dengan alam yang terdapat dalam mistik

masyarakat Melayu Tanjungbalai, terlebih dahulu harus dicari barometer atau

pendapat tentang kepercayaan atau konsep religiositas dari masyarakat Melayu itu

sendiri. Untuk menjelaskan konsep religiositas masyarakat Melayu tersebut, akan

dipaparkan beberapa pendapat agar jelas kita gambarkan tentang kepercayaan

masyarakat Melayu tersebut. Daud (1994 : 74-75) mengatakan, ―…kepercayaan

mereka daripada Animisme, Hindu-Budha hingga Islam melahirkan corak

pemikiran-pemikiran yang seolah-olah menggabungkan tiga unsur kepercayaan

tersebut‖. Kuasa gaib pada peringkat Animisme dapat dilihat pada kepercayaan

tentang penunggu dan hantu. Hindu-Budha menampilkan para Dewa, dan Islam

melahirkan kepercayaan terhadap Allah, Malaikat dan Rasul. Namun begitu

tidaklah berarti masyarakat Melayu mengamalkan ketiga corak kepercayaan

tersebut. Mereka tetap berpegang pada ajaran agama Islam. Pengaruh Animisme

dan Hindu-Budha yang ada itu hanya menjadi unsur sampingan yang mewarnai

kepercayaan mereka.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sejalan dengan hal tersebut, Abbas (dalam Safrin, dkk., 1996 : 26)

menjelaskan, cara hidup orang Melayu masih dipengaruhi oleh tiga unsur

kepercayaan, yaitu kepercayaan Animisme, Hinduisme-Budhaisme, dan Islam.

Serta sedikit-sedikit pengaruh Barat. Setelah menerima agama Islam, orang

Melayu masih juga mengamalkan cara hidup tradisional mereka dengan unsur-

unsur Animisme dan Hinduisme-Budhaisme.

Dalam teks mistik ini pengaruh Hindu-Budha tidaklah begitu tampak. Tapi

dalam upaya dan upacara turun tanah (pengambilan ilmu) banyak sekali dijumpai

warna kepercayaan Hindu-Budha, seperti : tepung tawar, sesajen untuk jamuan,

sperti ayam, pulut kuning, air jeruk purut, dan penebus mistik atau mahar mistik.

seperti pisau, jarum, kain putih, mangkuk, benang tiga warna, dan lain-lain.

Sedangkan pada teks mistik pengungkapan yang masih menggambarkan

suasana zaman Hindu-Budha. Seperti kalimat ‗mambang yang menjaga tujuh

penjuru alam‘. Kata mambang dalam kalimat tersebut bukanlah berupa hantu atau

jembalang melainkan gambaran wujud penguasa yang memiliki kekuasaan

menjaga tujuh penjuru alam.

Taylor (dalam Hamid, 1991 : 29) mengatakan, ―kepercayaan yang mula-

mula tumbuh dalam alam pikiran manusia primitif, adalah kepercayaan

Animisme‖. Hamid (1988 : 56) menjelaskan, Islam mulai tersebar di alam Melayu

sejak abad ketiga belas Masehi. Agama Islam bertapak di Pasai, kira-kira sekitar

tahun 1297 Masehi dan di Trengganu pada tahun 1303 Masehi. Kedatangan Islam

ke daerah ini telah membawa perubahan yang dinamik dalam kehidupan orang

Melayu. Sama ada dari segi luaran dan dalaman seperti yang ditegaskan oleh S.M

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Naguib al-Attas, bahwa agama Islam telah merubah jiwa dan fizikal masyarakat

Melayu Indonesia.

Selanjutnya Taib (dalam Ismail, 1988 : 56) menegaskan,

Kedatangan Islam ke Nusantara telah membawa perubahan


sehingga menjadikannya sebagian dari pada dunia Islam. Perubahan yang
dimaksudkan itu meliputi semua aspek kehidupan orang Melayu. Seperti
dalam bidang-bidang bahasa, sastra, intelektual, undang-undang,
kepercayaan, politik, adat istiadat, kesenian, dan lain-lain.

Selanjutnya Hamid (1988 : 56) lebih memperjelaskan lagi secara spesifik

tentang kepercayaan orang Melayu. Beliau mengemukakan bahwa Islam

mengubah pandangan dunia orang Melayu dari pada mempercayai dewa-dewa.

Seperti yang mereka anut pada zaman Hindu kepada kepercayaan Tuhan Yang

Maha Esa (Allah). Disamping itu mereka mempercayai Nabi dan Rasul, Malaikat,

kitab-kitab suci, seperti Injil, Taurat, Zabur, dan Al-Qur‘an. Percaya kepada hari

kiamat dan kepada Qadha dan Qadar. Keimanan mereka diikuti dengan amal

ibadah, seperti yang tersebut dalam rukun Islam yang berbentuk. solat, puasa,

zakat, dan rukun Haji. Walaupun kepercayaan lama tidak dapat dihapuskan

sepenuhnya, namun kepercayaan Islam telah berhasil mempengaruhi bentuk-

bentuk kepercayaan Melayu lama dengan memperkenalkan konsep Allah sebagai

Tuhan Yang Maha Esa. Dan Muhammad sebagai Rasul-Nya. Misalnya dalam

sihir atau mistik dimasukkan konsep Islam sebagai menggantikan paham

ketuhanan Animisme dan Hinduisme. Walaupun unsur dewa-dewa masih lagi

diwarisi dalam sastra dan tradisi lisan Melayu. Namun fungsi mereka tidak lagi

sebagai Tuhan, tetapi hanya sebagai makhluk-makhluk alam gaib seperti hantu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dan jembalang yang masih lagi mempengaruhi alam pemikiran orang Melayu

hingga dewasa ini.

Dari keterangan pendapat para pakar di atas, bahwa kepercayaan yang

latar belakangnya agama pada orang Melayu dapat diklasifikasikan menjadi tiga,

yaitu. Islam, Hindu-Budha dan Animisme. Dan perlu dipertegas pula bahwa Islam

merupakan yang utama. Sedangkan Animisme dan Hindu-Budha merupakan

sampiran atau pewarna saja. Manusia pada zaman Animisme jelas sekali memiliki

nilai religiositas. Hal ini dapat dilihat dengan adanya semacam pengakuan dan

kepercayaan akan alam gaib serta kekuatan gaib. Mereka mempercayai itu semua

dan membuat semacam tradisi kepercayaan tersendiri dengan jalan mereka sendiri

pula. Apakah itu berupa pemujaan akan roh yang sudah mati, pohon besar,

gunung, laut, dan sebagainya. Sebagai contoh adalah tradisi menghanyutkan

lancang yang dilakukan untuk memuja laut agar mereka mendapatkan hasil laut

yang melimpah (hasil wawancara dengan pak Jefri, 25 Mei 2015).

Dalam upacara malam berinai pada masyarakat Melayu Tanjungbalai

dapat dilihat dari acara tepung tawar yang merupakan budaya Hindu yang masih

dipertahankan oleh masyarakat Melayu Tanjungbalai. Begitu juga dengan berinai

itu sendiri, agar dijauhkan dari gangguan jin dan makhluk halus. Dari semua itu,

yang paling utama adalah meminta doa kepada Allah SWT, agar dalam

pelaksanaan pesta nantinya dapat berjalan dengan baik, tanpa suatu halangan

apapun (hasil wawancara dengan pak Zainul, 24 Mei 2015).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6.1.2.2 Kesehatan

Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang

memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penaggulangan dan pencegahan gangguan

kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan

termasuk kehamilan dan persalinan. Pendidikan kesehatan adalah proses

membantu sesorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri ataupun secara

kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal

yang memengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain.

Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan

meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat.

Kesehatan adalah sesuatu yang sangat berguna Bila kita sehat kita akan menikmati

hidup lebih indah. Salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan

bangssa, yang berarti memenuhi kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan, sandang,

pangan , pendidikan , kesehatan, lapangan kerja dan ketenteraman hidup.

Dalam konteks berinai pada masyarakat Melayu Tanjungbalai, kesehatan

berhubungan dengan kesucian. Hal ini sejalan dengan ajaran agama Islam yang

telah menjadi sendi kehidupan masyarakat Melayu Tanjungbalai. Islam adalah

agama yang mencintai kesucian, baik kesucian fisik atau ruhani. Di antara wahyu

yang pertamakali turun kepada Nabi Muhammad saw. adalah ayat, ‗Dan

pakaianmu bersihkanlah‘. (Q.s. al-Mudatstsir/74: 4). Bahkan, lebih dari itu, Islam

memerintahkan umatnya untuk berhias-diri. Di antara perintah Allah SWT tentang

hal ini adalah, ‗Hai manusia, pakailah pakaianmu yang indah di setiap

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(memasuki) masjid…‘ (Q.s. al-A‗raf/7: 31). Oleh karena itu, tidaklah

mengherankan pada suatu kali Rasulullah saw. bersabda, ‗Kesucian-diri adalah

separuh iman‘. (Hadits Riwayat Muslim)

Salah satu fungsi berinai dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai adalah

menjaga kesehatan. Menginai jari kuku bukan hanya untuk mempercaktik diri,

tetapi juga menjauhkan diri dari penyakit kuku pecah dan membuat kuku lebih

sehat dan berkilat. Masyarakat Melayu Tanjungbalai percaya bahwa sumber

penyakit berasal dari ujung-ujung jari. Oleh karena itu, kuku harus diberi inai.

Dalam dunia kesehatan, telur cacing suka bersarang diujung kuku. Jadi, dengan

member inai di ujung kuku berarti sudah membunuh kuman-kuman dan telur

cacing karena inai mengandung behenik, arasidik, sterik, palmitik, asid oleik dan

linoleik yang berfungsi untuk menjaga kesehatan.

Dahulu, orang Melayu Tanjungbalai juga menggunakan daun inai dengan

menyapunya pada kulit untuk mengubati penyakit kulit, bisul dan melepuh.

Mereka juga menggunakan daun-daunnya untuk menyembuhkan sakit kepala dan

rasa panas di kaki. Penyakit wanita seperti haid yang berlebihan dan keputihan

dikatakan mampu dirawat dengan menggunakan daun inai. Jus daun inai segar

juga dikatakan mampu merawat spermatorhoea atau ejakulasi dini. Namun,

sekarang mereka jarang menggunakannya karena sudah ada obat praktis dari

dokter yang tersedia (hasil wawancara dengan ibu Rodiah, 25 Mei 2015).

Daun inai juga berkhasiat untuk kecantikan. Inai bukan saja digunakan

untuk memerahkan jari dan rambut tetapi juga berguna untuk yang lainnya. Untuk

mendapatkan wajah yang cantik berseri membuatkan orang tidak jemu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


memandang gunakanlah khasiat inai. Caranya, segenggam daun inai yang sudah

tua direbus dengan tiga gelas air dan diminum dua kali sehari.

6.1.2.3 Doa atau Harapan

Selain berfungsi untuk mengusir roh-roh jahat dan kesehatan, malam

berinai bagi masyarakat Melayu Tanjungbalai juga merupakan ungkapan doa dan

harapan kepada calon pengantin. Dalam ritual berinai ini, diadakan acara tepung

tawar yang bertujuan untuk menolak bala agar pelaksanaan upacara perkawinan

berjalan dengan baik. Upacara malam berinai dilaksanakan pada malam hari, 3

hari sebelum upacara perkawinan dilangsungkan. Kegiatannya berbentuk macam-

macam namun tujuannya sama yaitu agar jalannya persiapan dan pelaksanaan

upacara perkawinan calon pengantin tidak menemui masalah. Berinai bukan

sekedar memerahkan kuku, namun mempersiapkan pengantin agar dapat

menjalani pernikahan tanpa aral halangan.

Setelah tepung tawar dan pelekatan inai secara simbolik oleh sanak

keluarga selesai, lalu dilaksanakan pembacaan doa. Doa dipanjatkan kepada Allah

SWT agar calon pengantin diberikan umur yang panjang, cepat mendapat

keturunan, diberi rezeki yang melimpah, dan dijauhkan dari segala bencana (hasil

wawancara dengan Pak Zainul, 24 Mei 2015).

Doa adalah permohonan kepada Allah yang disertai kerendahan hati untuk

mendapatkan suatu kebaikan dan kemaslahatan yang berada di sisi-Nya.

Sedangkan sikap khusyu‘ dan tadharru‘ dalam menghadapkan diri kepada-Nya

merupakan hakikat pernyataan seorang hamba yang sedang mengharapkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tercapainya sesuatu yang dimohonkan. Doa dalam pengertian pendekatan diri

kepada Allah dengan sepenuh hati, banyak juga dijelaskan dalam ayat-ayat Al-

Qur‘an. Bahkan Al-Qur‘an banyak menyebutkan pula bahwa tadharu‘ (berdoa

dengan sepenuh hati) hanya akan muncul bila di sertai keikhlasan. Hal tesebut

merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang shalih. Dengan tadharu‘

dapat menambah kemantapan jiwa, sehingga doa kepada Allah akan senantiasa

dipanjatkan, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, dalam

penderitaan maupun dalam kebahagiaan, dalam kesulitan maupun dalam

kelapangan.

Dalam Al-Qur‘an Allah telah menegaskan : ―Dan bersabarlah kamu

bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja

hari dengan mengharapkan keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu

berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia, dan

janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari

mengingati Kami serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu

melewati batas.‖ (QS. Al-Kahfi: 28).

Al-Qur‘an juga memberikan penjelasan bahwa orang-orang yang taat

melakukan ibadah senantiasa mengadakan pendekatan kepada Allah dengan

memanjatkan doa yang disertai keikhlasan hati yang mendalam. Sebuah doa akan

cepat dikabulkan apabila disertai keikhlasan hati dan berulangkali dipanjatkan.

Hal ini banyak ditegaskan dalam ayat Al-Qur‘an, diantaranya : ―Berdoalah kepada

Tuhanmu dengan berendah diri (tadharu‘) dan suara yang lembut. Sesungguhnya

Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya, dan berdoalah

kepada-Nya dengan rasa takut akan tidak diterima dan penuh harapan untuk

dikabulkan. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang

berbuat baik.‖ (QS. Al-Ar‘af : 55-56).

Walaupun secara kualitas doa disejajarkan dengan setengah ibadah wajib,

tapi dari segi substansinya doa bagi masyarakat Melayu Tanjungbalai merupakan

inti dari setiap ibadah yang dilakukan kepada sang pencipta. Shalat yang kita

lakukan terdiri dari kumpulan doa, mulai dari awal takbir sampai salam, begitupun

ibadah yang lain. Makanya tidak salah kalau Rasullulah mengatakan bahwa doa

adalah ruhnya ibadah. Tanpa doa ibadah tidak akan punya arti apa-apa.

Secara mendasar doa bagi masyarakat Melayu Tanjungbalai merupakan

penghancuran nilai-nilai egoisme kemanusiaan yang selalu identik dengan

kesombongan, keangkuhan dan merasa bahwa setiap keberhasilan adalah jerih

payah sendiri tanpa menganggap adanya campur tangan Allah SWT sebagai Zat

Pengatur. Keberhasilan selalu diidentikkan dengan kecerdasan kognitif semata,

kesuksesan selalu dipahami sebagai jerih payah sendiri, disinilah celah tipuan

setan untu menggiring kita menjadi manusia yang mengingkari nilai ketuhanan.

Dengan berdoa manusia diajarkan tentang satu hal, bahwa sebagi makhluk Allah

manusia memiliki sangat banyak kekurangan dan kelemahan, tanpa bantuan sang

Khalik kita tidak akan bias memahami setiap kejadian di muka bumi ini. Manusia

hanya sebutir kerikil di tengah samudera laupatan pasir, betapa kecil dan sangat

dhaif. Maka tidak salah jika Allah memberikan cap sombong kepada manusia

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ketika dia tidak berdoa sedikitpun sehabis melaksanakan shalat dan dalam

kegiatan sehari-hari.

Harapan atau asa adalah bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang

diinginkan akan didapatkan atau suatu kejadian akan membuahkan kebaikan di

waktu yang akan datang. Pada umumnya harapan berbentuk abstrak, tidak

tampak, namun diyakini bahkan terkadang, dibatin dan dijadikan sugesti agar

terwujud. Namun ada kalanya harapan tertumpu pada seseorang atau

sesuatu. Pada praktiknya banyak orang mencoba menjadikan harapannya menjadi

nyata dengan cara berdoa atau berusaha. Setiap manusia mempunyai harapan.

Manusia yang tanpa harapan, berarti manusia itu mati dalam hidup. Orang yang

akan meninggal sekalipun mempunyai harapan, biasanya berupa pesan-pesan

kepada ahli warisnya.

6.2 Nilai dan Norma Tradisi Malam Berinai

Nilai adalah sesuatu yang dianggap baik dan benar yang dicita-citakan oleh

warga. Agar nilai dapat terlaksana maka dibentuklah norma yaitu ketentuan yang

berisi perintah dan larangan yang dilengkapi dengan sanksi. Norma atau kaidah

adalah ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat.

Ketentuan tersebut mengikat bagi setiap manusia yang hidup dalam lingkungan

berlakunya norma tersebut, dalam arti setiap orang yang hidup dalam lingkungan

berlakunya norma tersebut harus menaatinya. Di balik ketentuan tersebut ada nilai

yang menjadi landasan bertingkah laku bagi manusia. Oleh karena itu, norma

merupakan unsur luar dari suatu ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dalam masyarakat, sedangkan nilai merupakan unsur dalamnya atau unsur

kejiwaan di balik ketentuan yang mengatur tingkah laku tersebut.

Dalam tradisi upacara malam berinai pada masyarakat Melayu

Tanjungbalai ditemukan nilai estetis dan nilai kesabaran. Sedangkan norma pada

malam berinai pada masyarakat Melayu Tanjungbalai berupa norma kesopanan

dan norma ekspresi ajaran agama Islam. Norma dan nilai tersebut dapat dilihat

pada bagan berikut,

Nilai dan Norma Tradisi Malam


Berinai pada Masyarakat Melayu
Tanjungbalai

Nilai Tradisi Malam Berinai Norma Tradisi Malam Berinai


pada Masyarakat Melayu pada Masyarakat Melayu
Tanjungbalai Tanjungbalai

Estetis Kesabaran Kesopanan Ekspresi Ajaran


Agama Islam

Bagan 6.3 Nilai dan Norma Tradisi Malam Berinai dalam Masyarakat
Melayu Tanjungbalai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6.2.1 Nilai Tradisi Malam Berinai

6.2.1.1 Nilai Estetis

Estetis berkenaan pada satu apresiasi bentuk keindahan dan perasaan baru

atau kekaguman. Misalnya melihat keindahan tenggelamnya matahari,

mendengarkan ritme rintik air hujan. Estetika umumnya dikaitkan dengan

pengetahuan keindahan, sedang batasan singkat estetika adalah filsafat dan

pengkajian ilmiah dari komponen estetika dan pengalaman manusia. Selanjutnya

dikatakan pengalaman estetis menekankan pada melakukan hal-hal untuk sesuatu

yang orisinil, artinya: keindahan akan menjadi sempurna jika keindahan itu

diciptakan bukan ditiru atau dimanipulasi.

Berinai dianggap merupakan produk budaya menjelang suatu pernikahan

terutama di daerah Sumatra. Padahal budaya ini juga bisa ditemukan di suku lain

baik di Indonesia maupun di beberapa negara Asia, seperti, Malaysia, Singapura,

India, dan Pakistan. Bila beberapa tahun yang lalu terutama di Indonesia, berinai

hanyalah sekadar memerahkan jari-jari tangan dan kaki, sedikit telapak tangan

yang hanya dibuat lingkaran seperti matahari atau bunga matahari dan lingkaran

yang mengelilingi kaki. Kini, ukiran inai sudah berkembang sedemikian rupa

sehingga gambar yang ada benar-benar menyerupai body painting. Pengaruh

ukiran inai gaya India dan Pakistan sangat terasa. Berinai sudah merupakan seni

kreativitas tinggi. Tidak mudah melukis sebuah tangan dengan sentuhan yang

sangat detail. Biasanya para pengukir inai sudah menyediakan beragam desain dan

perkiraan berapa lama pembuatannya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Hal ini untuk memudahkan calon pengantin mengatur waktunya kapan

harus berinai. Dua sampai tiga jam adalah waktu normal yang dibutuhkan untuk

mendapatkan ukiran inai yang bagus dan rapi. Termasuk waktu pengeringan. Bila

mau membentuk ukiran inai yang tidak hanya menghias telapak tangan tapi juga

sedikit di atas pergelangan tangan dengan ukiran rapat sekali, waktu yang

dibutuhkan akan lebih lama lagi. Tidak jarang sang calon pengantin perempuan

tertidur pulas selagi tangan dan kakinya diinai.

Bentuk ukiran inai yang lazim dibuat adalah rangkaian bunga, bintang,

bulatan-bulatan, garis-garis melengkung yang menyerupai untaian kalung batu

manikam yang indah. Ada juga ukiran inai yang terinspirasi oleh gantungan

lampu kristal atau rangkaian bunga yang cantik. Bentuk ini sangat dipengaruhi

oleh selera dan keinginan dari pihak yang akan diinai.

Saat ini sudah tersedia inai tempel seharga Rp15.000. Tetapi hasilnya

kurang maksimal dan tidak cantik karena ada garis yang terputus-putus. Inai

tempel ini tidak berbeda dengan tato anak-anak yang biasanya merupakan hadiah

dari suatu produk makanan atau mainan. Kebanyakan wanita lebih suka berinai

dengan diukir langsung oleh ahlinya.Untuk ukiran inai penuh sampai di atas

pergelangan tangan, harganya Rp 200.000 – Rp 250.000. Kalau hanya sekitar

telapak tangan dan sedikit daerah sekitar kaki, harganya Rp 150.000 hingga Rp

175.000.

Cara meracik inai di Indonesia dan di negara luar berbeda. Di sana, inai

bubuk dicampur dengan oil messo, kayuputih murni, dan campuran essential

lainnya. Tradisional yang ada di daerah-daerah di Indonesia daun inai atau daun

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pacar yang baru dipetik ditumbuk halus sekali. Dicampur nasi putih dan dicampur

pula dengan arang. Semua diuleni seperti membuat adonan kue.

Cara mengukirnya pun ada perbedaan. Di India/Arab, terdapat

pemandangan setiap hari wanita-wanita menginai kulitnya dengan berbagai motif

ukiran yang cantik, baik untuk kesehatan maupun kecantikan. Di Indonesia, inai

dipakaikan tidak bermotif cantik, dimulai dari kuku-kuku sampai telapak

tangan/kaki, hanya pada calon pengantin, gunanya untuk mengusir roh-roh yang

tidak baik yang akan mengganggu calon pengantin.

6.2.1.2 Nilai Kesabaran

Kesabaran adalah kemampuan untuk mengontrol diri supaya tidak

menampakkan gejala yang tidak baik pada saat marah, berupa perkataan atau

perbuatan, beserta segala dampaknya berupa ucapan yang kasar atau tindakan

yang tidak terpuji. Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah menahan diri dari

sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta

menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Kesabaran modal

utama dalam menghadapi semua masalah yang sedang menimpa. Tidak semua

orang sanggup berlaku sabar dalam menghadapi masalah.sehingga meruntuhkan

bangunan iman dalam dirinya.

Dalam tradisi malam berinai pada masyarakat Melayu Tajungbalai,

ditemukan nilai kesabaran. Seorang yang diinai harus sabar menunggu inainya

kering supaya mendapat efek warna yang bagus. Selama tiga malam berturut-turut

calon pengantin wanita diinai. Jika dia tidak memiliki sifat sabar, maka dia tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


akan dapat menyelesaikan tahapan berinai ini dengan baik. Kesabaran sangat

dituntut dalam hal ini. Selama tiga malam, calon pengantin perempuan tidak boleh

bergerak. Bahkan tidur juga tidak lelap. Dia harus tergeletak di atas tempat tidur

dengan posisi terlentang. Jika ingin memiringkan badan, harus sangat hati-hati

dan tidak boleh terlalu lama, karena kaki dan tangan harus tetap dijaga pada posisi

aman, agar inainya tidak lekang dan mengenai alas tempat tidur.

Seri kecantikan diperoleh melalui kesabaran. Pengantin harus berdiam diri

sabar menanti, agar inai yang dipasang dijemari ditangan dan kaki menghasilkan

warna yang terang cerah berseri. dan melambangkan kesucian. sebagai selain

untuk memperindah calon pengantin wanita agar lebih tampak bercahaya menarik

dan cerah.

Malam berinai bagi masyarakat Melayu Tanjungbalai ini merupakan

wahana untuk melatih kesabaran. Karena dalam mengarungi hidup berumah

tangga, sang istri harus sabar menghadapi suaminya. Namun kesabaran adalah

bukan semata-mata memiliki pengertian "nrimo", ketidak mampuan dan identik

dengan ketertindasan. Sabar sesungguhnya memiliki dimensi yang lebih pada

pengalahan hawa nafsu yang terdapat dalam jiwa insan. Dalam berumah tangga,

sabar diimplementasikan dengan menerima pasangan apa adanya, mengetahui

kelebihan dan kekurangan pasangan masing-masing. Saling mengisi satu sama

lain.Kesabaran kunci utama dalam membina rumah tangga, agar tercipta keluarga

yang harmonis.

Berlaku dan bersikap sabar memang sangat sulit. Berusaha untuk bersabar

lebih baik dari pada sama sekali tidak sabar. Bila ingin mengontrol alam emosi,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


baiknya berlatihlah untuk bersabar. Allah akan menyanyangi hambanya yang

penuh kesabaran dan ketaatan. Milikilah kasih sayang Allah s.w.t yang sebaik-

baiknya kasih sayang di dunia dan akhirat.

Dalam al-Qur‘an banyak sekali ayat-ayat yang berbicara mengenai

kesabaran. Jika ditelusuri secara keseluruhan, terdapat 103 kali disebut dalam al-

Qur‘an, kata-kata yang menggunakan kata dasar sabar. Hal ini menunjukkan

betapa kesabaran menjadi perhatian Allah SWT, yang Allah tekankan kepada

hamba-hamba-Nya. Diantaranya,

َ َ‫ف َّإِالَّ إِلَ ْي َِ يَ ْدعًٌَُِْي ِه َّوا إِلَ َّي أَ َحةُّ السِّجْ يُ َزبِّ ق‬
‫اه‬ ْ ‫ْال َجا ُِلِييَ ِهيَ َّأَ ُم ْي إِلَ ْي ِِ َّي أَطْ ةُ َم ْي َدُ َُّي َعٌِّي تَظْ ِس‬

―Yusuf berkata: ―Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi

ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya

mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan

tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.‖ (Yuusuf:33)

‫طاتِسُّا طْ ثِسُّاا َءا َهٌُْا الَّ ِرييَ يَاأَيَُِّا‬


َ َّ ‫َّللاَ َّاتَّقُْا َّ َزاتِطُْا‬
َّ ‫تُ ْفلِحُْىَ لَ َعلَّ ُن ْن‬

―Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran

kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah

kepada Allah supaya kalian beruntung.‖ (Ali ‗Imran:200)

ْ‫ل َّ ْأ ُهس‬
َ َ‫ظالَ ِج أَ ُْل‬
َّ ‫َعلَ ْيَِا َّاطْ طَثِسْ تِال‬

―Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah

kamu dalam mengerjakannya.‖ (Thaahaa:132)

َ ‫َّجْ ََُِ ي ُِسي ُدّىَ َّ ْال َع ِش ِّي َغدَات ِجاهْ َزتَُِّ ْن يَ ْد ُعْىَ الَّ ِرييَ َه َع ًَ ْف َس‬
ْ‫ل َّاطْ ثِس‬

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


―Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru

Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya.‖ (Al-

Kahfi:28)

‫ظث ِْس ا ْستَ ِعيٌُْا َءا َهٌُْا الَّ ِرييَ يَاأَيَُِّا‬


َّ ‫ظالَ ِج تِال‬ َّ ‫الظَّاتِ ِسييَ َه َع‬
َّ ‫َّللاَ إِ َّى َّال‬

―Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan

sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang

sabar.‖ (Al-Baqarah:153)

‫ص اطْ ثِسُّا َءا َهٌُْا الَّ ِرييَ يَاأَيَُِّا‬


َ َّ ‫َّللاَ َّاتَّقُْا َّ َزاتِطُْا اتِسُّا‬
َّ ‫تُ ْفلِحُْىَ لَ َعلَّ ُن ْن‬

―Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran

kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah

kepada Allah supaya kalian beruntung.‖ (Aali ‗Imraan:200)

‫طثَ َس َّلَ َو ْي‬ َ ِ‫ْز ع َْز ِم لَ ِو ْي َذل‬


َ ‫ل إِ َّى َّ َغفَ َس‬ ُ
ِ ‫األ ُه‬

―Tetapi orang yang bersabar dan mema`afkan sesungguhnya (perbuatan) yang

demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.‖ (Asy-Syuuraa:43)

‫َي ٍء َّلٌََ ْثلُ ًََّْ ُن ْن‬ ِ ‫ض َّ ْالج‬


ِ ْْ‫ُْع َخ‬
ْ ‫فاهْ ِهيَ تِش‬ ٍ ‫س األَ ْه َْا ِه ِهيَ ًََّ ْق‬
ِ ُ‫ت َّاألَ ًْف‬
ِ ‫الظَّاتِ ِسييَ َّتَ ِّش ِس َّالثَّ َو َسا‬

―Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit

ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah

berita gembira kepada orang-orang yang sabar.‖ (Al-Baqarah:155)

‫ب تِ َغي ِْس أَجْ َسُُ ْن الظَّاتِسُّىَ يُ َْفَّٔ إًَِّ َوا‬


ٍ ‫ِح َسا‬

―Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala

mereka tanpa batas.‖ (Az-Zumar:10)

Kesabaran merupakan salah satu ciri mendasar orang yang bertaqwa

kepada Allah SWT. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa kesabaran

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


merupakan setengahnya keimanan. Sabar memiliki kaitan yang tidak mungkin

dipisahkan dari keimanan: Kaitan antara sabar dengan iman, adalah seperti kepala

dengan jasadnya. Tidak ada keimanan yang tidak disertai kesabaran, sebagaimana

juga tidak ada jasad yang tidak memiliki kepala. Oleh karena itulah Rasulullah

SAW menggambarkan tentang ciri dan keutamaan orang yang beriman

sebagaimana hadits di atas.

Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan bersama

Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang. Hal senada juga

dikemukakan oleh Imam al-Khowas, bahwa sabar adalah refleksi keteguhan untuk

merealisasikan al-Qur‘an dan sunnah. Sehingga sesungguhnya sabar tidak identik

dengan kepasrahan dan ketidak mampuan. Justru orang yang seperti ini memiliki

indikasi adanya ketidak sabaran untuk merubah kondisi yang ada, ketidak sabaran

untuk berusaha, ketidak sabaran untuk berjuang dan lain sebagainya.

Sabar bagi masyarakat Tanjungbalai memiliki dimensi untuk merubah

sebuah kondisi, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, menuju perbaikan agar

lebih baik dan baik lagi. Bahkan seseorang dikatakan dapat diakatakan tidak

sabar, jika ia menerima kondisi buruk, pasrah dan menyerah begitu saja. Sabar

dalam ibadah diimplementasikan dalam bentuk melawan dan memaksa diri untuk

bangkit dari tempat tidur, kemudian berwudhu lalu berjalan menuju masjid dan

malaksanakan shalat secara berjamaah. Sehingga sabar tidak tepat jika hanya

diartikan dengan sebuah sifat pasif, namun ia memiliki nilai keseimbangan antara

sifat aktif dengan sifat pasif.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah SAW menggambarkan

dalam sebuah haditsnya; Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullan SAW bersabda,

"Tidaklah seorang muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan,

mara bahaya dan juga kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan

Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut." (HR. Bukhari &

Muslim).

Kesabaran merupakan suatu keharusan, dimana seseorang tidak boleh

putus asa hingga ia menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah sangat

terpaksa hendaklah ia berdoa kepada Allah, agar Allah memberikan hal yang

terbaik baginya; apakah kehidupan atau kematian. Rasulullah SAW mengatakan;

Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah salah

seorang diantara kalian mengangan-angankan datangnya kematian karena

musibah yang menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus mengharapkannya,

hendaklah ia berdoa, ‗Ya Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih

baik unttukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih baik bagiku." (HR.

Bukhari Muslim).

Dari uraian Alquran dan hadis tersebut di atas, maka kesabaran dpat

digolongkan menjadi tiga hal, yaitu sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar

untuk meninggalkan kemaksiatan dan sabar menghadapi ujian dari Allah:

1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah. Merealisasikan ketaatan kepada Allah,

membutuhkan kesabaran, karena secara tabiatnya, jiwa manusia enggan

untuk beribadah dan berbuat ketaatan. Ditinjau dari penyebabnya, terdapat

tiga hal yang menyebabkan insan sulit untuk sabar. Pertama karena malas,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


seperti dalam melakukan ibadah shalat. Kedua karena bakhil (kikir),

seperti menunaikan zakat dan infaq. Ketiga karena keduanya, (malas dan

kikir), seperti haji dan jihad. Kemudian untuk dapat merealisasikan

kesabaran dalam ketaatan kepada Allah diperlukan beberapa hal, (a)

Dalam kondisi sebelum melakukan ibadah berupa memperbaiki niat, yaitu

kikhlasan. Ikhlas merupakan kesabaran menghadapi duri-duri riya‘. (b)

Kondisi ketika melaksanakan ibadah, agar jangan sampai melupakan Allah

di tengah melaksanakan ibadah tersebut, tidak malas dalam merealisasikan

adab dan sunah-sunahnya. (c) Kondisi ketika telah selesai melaksanakan

ibadah, yaitu untuk tidak membicarakan ibadah yang telah dilakukannya

supaya diketahui atau dipuji orang lain.

2. Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan. Meninggalkan kemaksiatan juga

membutuhkan kesabaran yang besar, terutama pada kemaksiatan yang

sangat mudah untuk dilakukan, seperti ghibah (baca; ngerumpi), dusta,

memandang sesuatu yang haram dsb. Karena kecendrungan jiwa insan,

suka pada hal-hal yang buruk dan "menyenangkan". Dan perbuatan

maksiat identik dengan hal-hal yang "menyenangkan".

3. Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah, seperti mendapatkan

musibah, baik yang bersifat materi ataupun inmateri; misalnya kehilangan

harta, kehilangan orang yang dicintai dsb.

Pada intinya, sabar dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai merupakan

salah satu sifat dan karakter orang mu‘min, yang sesungguhnya sifat ini dapat

dimiliki oleh setiap insan. Karena pada dasarnya manusia memiliki potensi untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mengembangkan sikap sabar ini dalam hidupnya. Sabar tidak identik dengan

kepasrahan dan menyerah pada kondisi yang ada, atau identik dengan

keterdzoliman. Justru sabar adalah sebuah sikap aktif, untuk merubah kondisi

yang ada, sehingga dapat menjadi lebih baik dan baik lagi. Allah akan

memberikan jalan bagi hamba-hamba-Nya yang berusaha di jalan-Nya.

6.2.2 Norma Malam Berinai

6.2.2.1 Norma Kesopanan

Sopan santun itu adalah sikap seseorang terhadap apa yang ia lihat, ia

rasakan, dan dalam situasi, kondisi apapun. Sikap santun yaitu baik, hormat,

tersenyum, dan taat kepada suatu peraturan. Sikap sopan santun yang benar ialah

lebih menonjolkan pribadi yang baik dan menghormati siapa saja. Dari tutur

bicara pun orang bisa melihat kesopanan kita. Baik/buruk, misalnya lagi dalam

situasi yang ramai dimana kita akan melewati jalan itu, jika kita sopan pasti kita

akan mengucapkan kata permisi pak, bu…..dalam berteman pun seperti itu lebih

menghargai pendapat teman walaupun pendapat itu berbeda, sebenarnya

pengertian sopan santun ini sudah umum. Dan mungkin semua orang sudah

mengerti apa itu sopan santun, karna sifat ini telah ditanamkan sejak kecil pada

diri individu tersebut. Dan bagaimana kita mengembangkannya saja. Dalam

kehidupan kita dan disekitar kita.

Norma kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan

sekelompok itu. Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap

sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan, atau

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


waktu. Norma kesopanan sangat penting untuk diterapkan, terutama dalam

bermasyarakat, karena norma ini sangat erat kaitannya terhadap masyarakat.

Sekali saja ada pelanggaran terhadap norma kesopanan, pelanggar akan mendapat

sanki dari masyarakat, semisal cemoohan. kesopanan merupakan tuntutan dalam

hidup bersama. Ada norma yang harus dipenuhi supaya diterima secara sosial.

Sopan santun dapat dipengaruhi oleh apapun dan hal apa saja. Misalnya

sopan santun yang buruk disebabkan oleh lingkungan yang tidak ada tata

tertibnya, individu yang tak pernah mengenal pentingnya kepribadian, kurangnya

pengenal sopan santun yang diajarkan oleh orang tua sejak dini, pembawaan diri

individu itu sendiri. Kemudian sopan santun yang baik dapat dipengaruhi oleh

latar belakang individu itu sendiri. Pendidikan yang cukup, pembawaan diri yang

baik terhadap situasi apapun, tutur kata yang dijaga, terkadang faktor gen juga

dapat mempengaruhi individu tersebut.

Sopan santun bisa dilakukan dimana saja dan kapan pun itu. Seperti halnya

pada malam berinia. Upacara malam berinai ini dilaksanakan oleh orang tua calon

pengantin perempuan sebagai uangkapan kasih sayang mereka kepada anaknya.

Sudah sewajarnya si anak juga harus santun kepada orang tua, sebagai bakti

kepada orang tua. Menghormati niat baik dari orang tua adalah contoh norma

kesopanan. Dengan menunjukan sikap menerima, mendengarkan dengan baik, dan

bila bertanya pun harus dengan yang baik.

Sopan santun adalah suatu sikap atau tingkah laku yang ramah terhadap

orang lain, sopan santun juga dapat di pandang oleh suatu masyarakat mungkin

sebaliknya masyarakat juga dapat di pandang oleh masyarakat lain. Dalam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


upacara malam berinai pada masyarakat Melayu Tanjungbalai melibatkan banyak

orang, mulai dari sahabat, kerabat, tetangga, dan sanak saudara. Calon pengantin

harus bersikap hormat dan menghargai orang lain. Calon pengantin tidak

menganggap dirinya lebih tinggi dari pada orang lain, melainkan menganggap

orang lain lebih baik daripada dirinya sendiri. Sopan santun tidak selalu

menghasilkan kebaikan hati, keadilan, kepuasan, atau rasa syukur, tetapi ini dapat

memberikan seseorang paling tidak terlihat sopan, dan membuatnya tampak dari

luar apa yang seharusnya menjadi benar-benar terhormat. Sopan merupakan budi

pekerti yang baik. Sopan santun merupakan sikap hormat dan ber-etika kepada

siapa saja, yang lebih utama kepada orangtua, tetapi tidak hanya sikap, melainkan

juga tutur kata.

Sopan santun merupakan sikap yang sangat penting yang harus ada di tiap-

tiap diri masyarakat Melayu Tanjungbalai. Seseorang tidak akan menyukai orang

lain jika sikap dan etikanya buruk. Sikap dan tutur kata harus dijaga setiap pergi

kemana pun, karena itu merupakan suatu faktor seseorang untuk menilai diri

orang lain. Diri tidak dinilai melalui perkataan tanpa perbuatan, melainkan

perkataan dengan perbuatan yang telah dibuat sebagai buktinya.

Dalam perkawinan masyarakat Melayu Tanjungbalai, calon pengantin

sebagai orang yang masih muda harus menghormati seseorang yang lebih tua atau

senior, misalnya seperti kepada orangtua, suami, mertua, saudara ipar, dan lain-

lain. Dimulai dari hal-hal yang kecil untuk membiasakan sikap sopan dan tutur

kata yang bagus. Misalnya seperti mencium tangan kedua orangtua atau suami,

jika ingin keluar rumah dan ucapkan salam. Membiasakan berkata terima kasih

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kepada seseorang yang telah membantu kesusahan, meminta maaf kepada orang

yang telah disakiti (baik sengaja maupun tidak), tidak menggunakan kalimat yang

bernada membentak dan tidak berkata kasar terhadap sesama.

6.2.2.2 Norma Ekspresi Ajaran Agama Islam

Dalam budaya Melayu, khususnya dalam masyarakat Melayu

Tanjungbalai, pelaksanaan malam berinai disesuaikan dengan ajaran agama Islam.

Segala adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam akan di hilangkan.

Dalam ajaran Islam, berinai disunahkan bagi kaum perempuan dan makruh bagi

kaum laki-laki. Dalam berinai juga tidak boleh berlebih-lebihan, karena jika

berlebihan, maka hukumnya haram. Setiap perbuatan yang berlebih-lebihan

adalah mubazir dan mubazir adalah kawan syaitan. Oleh karena itu, bagian tangan

yang diinai hanya sampai pergelangan tangan saja, untuk calon pengantin

perempuan. Sedangkan untuk calon pengantin laki-laki, hanya kuku jari tangan

dan kaki saja yang inai dan telapak tangan bagian dalam, sedangkan telapak

tangan bagian luar tidak diinai. Bagi calon pengantin laki-laki, inai ini hanya

sebagai penanda bahwa dia sudah menikah.

Setiap studi tentang dunia Islam sebagai suatu keseluruhan lambat laun

akan terbentur pada masalah hubungan antara peradaban Islam dengan

kebudayaan-kebudayaan lokal dari kawasan-kawasan yang dalam arti teknis

lambat laun mengalami pengislaman. Masalah hubungan antara lapisan peradaban

―universal‖ yang berkoeksistensi dengan peradaban ―kedaerahan‖, bukanlah

semata-mata masalah khas Islam, melainkan juga merupakan ciri setiap kawasan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang ditilik dari segi kebudayaan yang dikenal sebagai peradaban dengan

jangkauan supernasional atau ―universal‖. Realisasi masalah hubungan ini

melahirkan pra-anggapan terdapatnya bukan saja suatu identifikasi Islam

melainkan juga pemisahan antara unsur-unsur yang boleh dianggap mempunyai

asal Islam dengan unsur-unsur lain yang kehadirannya tidak dapat dikaitkan

dengan agama Islam (Grunebaum, 1983: 21).

Menurut M.A. Fattah Santoso (dalam Zakiyuddin Baidhawy dan

Mutohharun Jinan, 2003: 50-51) ada beberapa faktor yang membentuk keragaman

kebudayaan, yaitu: Pertama, otoritas kekuasaan dalam kerangka persaingan dan

perebutan hegemoni dan dominasi kebudayaan sebagai ekspresi politik. Kedua,

paham keagamaan, baik dalam bentuk mazhab fiqh maupun orde sufi (tarekat).

Ketiga, ciri-ciri etnis dan rasial pemeluk Islam. Dan ciri ini bagaimanapun telah

mempengaruhi bahasa dan kesusastraan, serta segala macam bentuk seni,

termasuk musik, variasi dalam gaya kaligrafi, ornamen dan arsitektur, bahkan

pakaian dan perhiasan. Keempat, sejarah. Kesamaan pengalaman sejarah dan jenis

kesadaran yang dimiliki sebuah masyarakat tertentu di masa lampau tidak saja

berpengaruh kuat dalam membentuk identitas kebudayaan, tetapi juga dalam

menetapkan pola kebudayaan regionallokal. Kesamaan pengalaman sejarah dapat

berupa kesamaan mengalami suatu kebudayaan pra-Islam tertentu. Kelima,ciri-ciri

demografis dan geografis.

Kawasan di mana selama berabad-abad timbul dan tenggelam secara terus

menerus antara masyarakat nomadik dan penetap, mendapatkan ciri-ciri umum

yang menonjol dalam beberapa segi kebudayaan, seperti juga kawasan-kawasan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang dihuni masyarakat agraris yang menetap secara penuh. Islam ketika harus

diaktualisasikan dalam kebudayaan telah menampilkan wajahnya yang beragam,

dan dalam keragaman kebudayaan Islam yang bersifat regional itu masih tersedia

tempat bagi kebudayaan Islam lokal. Namun, semua keanekaragaman kebudayaan

itu dipersatukan oleh ruh dan bentuk tradisi yang suci yang bersumber dari tauhid,

menyerupai keanekaragaman dalam alam semesta yang merupakan pencerminan

Theopani Yang Maha Esa. Dari keanekaragaman kebudayaan ini, terimplisitkan

beberapa prinsip pengembangan kebudayaan Islam. Pertama, prinsip keterbukaan.

Dengan prinsip ini, kebudayaan Islam tidak dibangun dari nol. Islam datang pada

sebuah kebudayaan – dengan berbagai faktor yang melekat pada dirinya, seperti

faktor sejarah, faktor etnis dan rasial, serta faktor demografis dan geografis –

untuk kemudian memberikannya sebuah visi keagamaan, sesuai dengan paham

hasil internalisasi masyarakat pendukungnya.

Kedua, prinsip toleransi, sebagai konsekuensi dari prinsip pertama.

Keterbukaan membutuhkan toleransi; tidak ada keterbukaan tanpa toleransi.

Ketiga, prinsip kebebasan. Aktualisasi dari pemberian visi keagamaan menuntut

kebebasan untuk mengembangkan kebudayaan sebagai proses eksistensi kreatif.

Keempat, prinsip otentisitas yang tersirat dari visi keagamaan yang melandasi

bekerjanya prinsip kebebasan. Keragaman yang lahir dari aktualisasi tiga prinsip

pertama terintegrasikan dalam kesatuan spiritualitas melalui prinsip otentisitas ini

(Santoso dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan, 2003: 59).

Dialektika antara agama (Islam) dan kebudayaan yang memberi tempat

pada keragaman kebudayaan Islam, tidak saja regional bahkan lokal. Dari

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pengalaman historis, terjadi tarik menarik antara prinsip keterbukaan dan prinsip

otentisitas. Ketika masyarakat lebih kuat pada prinsip keterbukaan, antara lain

mengambil unsur-unsur lokal lebih banyak, maka dapat terjadi sebuah sintesis

kebudayaan Islam yang secara historis menguntungkan dakwah dan penyebaran

Islam, tetapi dinilai sinkretis, belum Islam. Dan ketika masyarakat lebih kuat pada

prinsip otentisitas, yang bentuk ekstrimnya berupa gerakan reformasi, maka dapat

terjadi sebuah bangunan kebudayaan Islam yang tidak toleran terhadap tradisi

lokal. Kenyataan tentang adanya pertautan antara agama dan realitas budaya juga

memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam suatu masyarakat, baik

dalam wacana dan praktis sosialnya, menunjukkan adanya unsur konstruksi

manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama adalah

ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi

Tuhan, seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci, dan konstruksi manusia,

terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan

pada praktik ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap

ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya yang telah

melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa interpretasi

terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya.

Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford

Geertz (1971), misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami

Islam. Di Indonesia, Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik,

sementara di Maroko, Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah.

Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dipengaruhi oleh lingkungan budaya. Pergulatan agama dan tradisi local sudah

lama menjadi objek kajian, baik dalam tinjauan sosiologis maupun antropologis.

Isu agama dalam bingkai budaya lokal tidak akan pernah habisnya, karena

semakin dikaji akan semakin menarik. Geertz dalam kajiannya memandang

bahwa agama dan budaya berjalan secara membalas, artinya pada satu sisi agama

memberi pengaruh terhadap budaya dan pada saat yang sama budaya juga

mempengaruhi agama. Dari sinilah terjadinya keragaman dalam kebudayaan

Islam, di mana setiap daerah mempunyai corak atau ciri khas sendiri. Hal ini tentu

saja merupakan konsekuensi dari bagaimana Islam masuk di daerah tersebut.

Seperti juga agama lain, Islam adalah kekuatan spiritual dan moral yang

mempengaruhi, memotivasi, dan mewarnai tingkah laku individu. Menguraikan

tradisi Islam yang tumbuh di kelompok masyarakat tertentu adalah menelusuri

karakteristik Islam yang terbentuk dalam tradisi populer. Pada titik ini, persoalan

yang segera ditemui adalah unsure pembentuk tradisi tersebut, dan yang lebih

penting lagi adalah unsur pembentuk ―Tradisi Islam‖ itu. Di sini istilah ―tradisi‖

secara umum dipahami sebagai pengetahuan, doktrin, kebiasaan, praktik, dan lain-

lain yang diwariskan secara turun temurun termasuk cara penyampaian

pengetahuan, doktrin, dan praktik tersebut. Selanjutnya tradisi Islam merupakan

segala hal yang datang dari atau dihubungkan dengan atau melahirkan jiwa Islam

(Muhaimin AG., 2001: 11-12).

Garna (1996: 186) menjelaskan tradisi merupakan kebiasaan sosial yang

diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya melalui proses sosialisasi.

Tradisi menentukan nilai-nilai dan moral masyarakat, karena tradisi merupakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


aturan-aturan tentang apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah oleh

suatu masyarakat. Konsep tradisi menyangkut masalah pandangan dunia (world

view), sistem kepercayaan, nilai-nilai dan cara serta pola berpikir masyarakat.

Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima

akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan

norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain.

Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu

diperjelas: Islam sebagai konsepsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas

budaya.

Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan budaya lokal ini

kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan

menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh

kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang

tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya (Hartati

Soebadio, 1992). Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain:

mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi

unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya

luar ke dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan mengendalikan dan

memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya (Soerjanto

Poespowardojo, 1986: 28-38).

Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat

Melayu Tanjungbalai, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam

konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Melayu Tanjungbalai. Di sisi lain budaya-budaya lokal yang ada di masyarakat,

tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian

terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini

kemudian melahirkan ―akulturasi budaya‖, antara budaya lokal dan Islam.

Bertolak dari pandangan bahwa agama dijadikan sebagai landasan budaya,

maka dalam kehidupan masyarakat Melayu Tanjungbalai, hal itu dapat dilihat dari

rentang kehidupan mereka. Berawal dari kepercayaan nenek moyang nusantara

yang bersifat animisme-dinamisme, kemudian beralih kepada Hindu-Buddha,

kemudian berpindah kepada agama tauhid, yaitu Islam. Setelah orang Melayu

Tanjungbalai bersentuhan dengan agama Islam dan mereka tertarik dengan agama

baru ini sehingga mereka meninggalkan kepercayaan lama. Paling tidak ada dua

penyebab utama ketertarikan mereka terhadap agama baru ini, yaitu, pertama,

agama Islam mampu memberikan jawaban yang memuaskan terhadap persoalan-

persoalan yang selama ini belum bisa dijawab oleh agama atau kepercayaan

terdahulu, seperti misteri hidup dan mati.

Kedua, ajaran Islam sangat menghargai kebersihan ruhani, ketinggian budi

pekerti dan penampilan bahasa yang halus. Semuanya ini amat bersesuaian

dengan adat resam orang Melayu Tanjungbalai, yang menjunjung tinggi budi

bahasa. Karena itu, dalam pandangan orang Melayu Tanjungbalai, inilah agama

yang dapat dipakai untuk hidup serta dapat ditumpangi untuk mati.

Islamisasi sistem nilai orang Melayu Tanjungbalai ini sejalan dengan

Islamisasi sastra mereka, karena di dalam sastra itu mengandung nilai-nilai yang

dipegang atau yang dipandang berkuasa. Dengan masuknya nilai-nilai Islam di

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dalam sastra Melayu Tajungbalai, maka dengan sendirinya berubah pula dasar

pandangan atau pijakan nilai mereka.

Islamisasi sistem nilai ini dimulai dari merubah penyembahan dewa

kepada penyembahan Allah, menggantikan berbagai simbol kepercayaan lama

dengan simbol yang bersumber dari Islam, serta merubah arah mitos yang

sebelumnya bersumber dari adat atau kepercayaan leluhur kepada yang bersumber

dari ajaran Islam. Pemalingan makna-makna ini menjadikan sistem nilai orang

Melayu Tanjungbalai yang sebelumnya berpihak kepada animisme-dinamisme,

Hindu-Buddha lebih bersifat Islami atau budaya Melayu Tanjungbalai yang

mengandung nilai-nilai Islam.

Dari perjalanan sejarah kehidupan dan proses Islamisasi itu, akhirnya

masyarakat Melayu Tanjungbalai memiliki tiga sistem nilai yang hidup dalam

masyarakat yang senantiasa dipelihara, dihayati, diindahkan, dan dijadikan

pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Pertama, sistem nilai yang diberikan

atau bersumber dari agama Islam. Perangkat nilai ini merupakan sistem nilai yang

tertinggi dan dimuliakan oleh masyarakat. Sistem nilai yang bersumber dari ajaran

Islam ini diakui sebagai yang paling asasi dan bersumber dari Yang Mutlak

(Allah), oleh karena itu sanksi yang muncul bukan hanya sebatas di dunia, tetapi

juga yang sifatnya supernatural, yaitu yang tidak dapat dilihat dengan nyata dalam

realitas kehidupan. Kekuatan sistem nilai ini akan terasa dari dalam diri manusia

itu sendiri, sejauhmana dia dapat menyadari, memahami dan merenungkannya.

Sistem nilai ini berjalan bukan karena suatu lembaga atau badan tertentu, tetapi

lebih banyak oleh faktor kesadaran individu. Sistem nilai agama merupakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


serangkaian nilai yang dipandang paling ideal – sumber segala nilai – namun ia

tidak selalu dijabarkan begitu praktis dalam kehidupan nyata. Sebagai sumber, ia

lebih bersifat konsep, dan ini berarti ia dapat dituangkan dalam berbagai

kemungkinan. Sistem nilai agama selalu dipandang oleh sebagian orang Melayu

sebagai sistem nilai yang vertikal saja, yaitu hanya mengatur hubungan manusia

dengan Tuhan. Pandangan seperti ini sebenarnya keliru, karena Islam tidak hanya

memuat nilai-nilai yang sifatnya vertikal, tetapi juga mengandung nilai-nilai yang

sifatnya horisontal. Sebagai sistem nilai yang sifatnya horizontal, Islam

mengajarkan atau memberi pedoman secara garis besar atau dalam hal-hal tertentu

cukup detail tentang tata kehidupan manusia di muka bumi. Sistem nilai agama

dalam masyarakat Melayu merupakan tolak ukur utama bagi sistem-sistem nilai

lainnya.

Oleh karena itu, tidak ada sistem nilai yang boleh bertentangan dengan

yang telah digariskan oleh agama. Sistem nilai kedua ialah sistem nilai yang

diberikan oleh adat. Sistem nilai ini memberikan ukuran dan ketentuan-ketentuan

terhadap bagaimana manusia harus berbuat dan bertingkah laku, dan diikuti oleh

serangkaian sanksi-sanksi yang cukup tegas. Sistem nilai yang diberikan oleh adat

merupakan hasil pemikiran para penggagas adat yang mengatur lalu lintas

kehidupan bermasyarakat, sehingga kehidupan dapat berjalan dengan damai dan

harmonis. Dari tujuan serupa itu, maka sistem nilai adat merupakan sistem nilai

yang bersifat horizontal. Sistem nilai yang memberikan keselarasan antara

manusia dengan manusia. Jika pun ada gerak vertikal seperti hubungan rakyat

dengan penguasa atau raja, itupun masih dalam sistem keharmonisan antar

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


manusia. Sistem nilai adat ini biasanya sudah bersifat tulisan yang dituangkan

dalam berbagai peraturan adat atau undang-undang bernegara. Sistem nilai adat

bias berubah sesuai kebutuhan dan kebijakan penguasa, tetapi tetap tidak boleh

bertentangan dengan sistem nilai agama. Sistem nilai adat dipandang sebagai

operasional atau penjabaran dari system nilai agama yang sifatnya lebih abstrak

(konsep). Yang ketiga, yaitu sistem nilai yang bersumber dari tradisi. Jika sistem

nilai adat merupakan sistem nilai yang mempunyai serangkaian kaedah, dan

diikuti oleh sanksi-sanksi yang tegas, maka sistem nilai tradisi tidak memberikan

sanksi yang demikian dalam pelaksanaan dari norma-norma yang diberikannya.

Sistem nilai tradisi bersumber dari kebiasaan masyarakat, dan kebiasaan itu

dipandang baik dan mendatangkan manfaat dalam kehidupan. Oleh karena itu,

kebiasaan ini diikuti dan dilestarikan, yang kemudian menjadi kebiasaan

masyarakat setempat serta diwarisi secara turun temurun. Sistem nilai tradisi ini

juga bertujuan untuk menjaga keharmonisan dengan alam, sehingga dari sinilah

lahirnya berbagai upacara dan mantra yang dilakukan dengan tujuan untuk

menjaga keharmonisan kehidupan manusia. Sistem nilai tradisi ini merupakan

sistem nilai yang terendah dalam masyarakat Melayu, dan ia senantiasa bisa

berubah sesuai kebutuhan dan perkembangan masyarakat, tetapi ia tetap saja tidak

boleh bertentangan dengan sistem nilai yang bersumber dari agama. Pada saat

sekarang ini sudah banyak sekali kebiasaan orang Melayu masa lalu yang sudah

ditinggalkan, kerana dipandang tidak efektif, efisien, dan ketinggalan zaman.

Ketiga sistem nilai inilah yang berpengaruh dan mewarnai tingkah laku dalam

kehidupan sehari-hari orang Melayu. Dalam setiap kegiatan atau tingkah laku

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang ditampilkan oleh kelompok ataupun individu selalu berbeda, karena dalam

setiap kegiatan tersebut mungkin system nilai agamanya yang lebih dominan, atau

sistem nilai adat yang lebih dominan, atau sistem nilai tradisi yang dominan, dan

tentu saja dibarengi oleh sistem nilai lainnya. Dalam masyarakat Melayu, ketiga

sistem nilai ini tidak bisa dipisahkan secara tegas meskipun bisa dibedakan secara

konseptual dan hadir bersama-sama dalam setiap kegiatan.

Pertemuan Islam dengan budaya Melayu terjadi dalam keadaan yang

seimbang dan sulit diungkaikan mana unsur-unsur yang berasal dari Islam dan

mana unsur-unsur yang berasal dari Melayu. Melayu bukan hanya semata-mata

persoalan geneologis, tetapi yang terpenting merupakan wilayah cultural yang

merupakan ‗state of mind‘, demikian juga dengan Islam merupakan ‗state of

mind‘. Pertemuan Islam dengan budaya Melayu – meminjam istilah Yusmar

Yusuf – terjadi pada ‗padang datar‘ yang lebih berimbang sehingga tidak ada yang

‗terjajah‘ – ini berbeda dengan yang terjadi di Jawa, pertemuan Islam dengan

budaya Jawa terjadi pada ‗padang miring‘, Islam berada di bawah (little tradition),

sedangkan budaya Jawa berada di atas (great tradition) (Rachmat Subagya, 1981),

dan Islam (yang berada di bawah) harus secara perlahan-lahan menggerogoti

budaya Jawa (yang berada di atas) agar ia tetap eksis. Bahkan pertemuan Islam

dengan budaya Melayu merupakan suatu bentuk akomodasi dan hubungan timbal

balik (reciprocal) di mana Islam sudah di- Melayukan atau Melayu yang sudah di-

Islamkan. Integrasi Islam dalam budaya Melayu dalam istilah Tenas Effendy

disebut ‗persebatian‘ (satu kesatuan yang sangat kokoh dan tidak mungkin

dipisahkan), yang dalam ungkapan adat diibaratkan sebagai berikut:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Bersebatinya mata putih dengan mata
hitam
Rusak mata putih binasa mata hitam
Rusak mata hitam binasa mata putih
Bukan seperti kuku dengan daging
Kuku bisa maju, daging tetap tinggal
Bukan seperti aur dengan tebing
Aur menumpang ke tebing
Sedang tebing tidak menumpang ke aur

Pada sisi kedua, yaitu perilaku (attitude) orang Melayu banyak memuat

nilai-nilai yang sama dengan yang diajarkan oleh Islam. Seperti budaya malu

dalam masyarakat Melayu, sebelumnya orang malu karena telah melanggar

ketentuan adat. Setelah Islam datang pemahaman ini diluruskan orang malu

karena melanggar ketentuan-ketentuan agama, di samping ketentuan-ketentuan

adat yang tidak bertentangan dengan agama. Islam datang hanya meluruskan

pandangan-pandangan dan pemahamanpemahaman yang dahulunya bersifat mitos

dan mistis kepada hal-hal yang bersesuaian dengan nilai-nilai Islam. Hal ini

dengan jelas 2diungkapkan dalam pepatah adat:

Yang bengkok diluruskan


Yang sesat dibetulkan
Yang menyalah diperbaiki

Ukuran bengkok, sesat dan menyalah adalah berdasarkan ajaran Islam.

Oleh karena itu, dalam pandangan orang Melayu, jika terjadi pertelikaian

(pertentangan) antara syara‘ dengan adat, maka adat harus mengalah dan syara‘

harus ditegakkan. Dengan demikian, adat dalam masyarakat Melayu, baik secara

langsung atau tidak langsung merupakan penjabaran dari ajaran Islam, sehingga

dapat dikatakan kebudayaan Melayu itu sendiri berintegrasi dengan Islam.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kehadiran Islam di dunia Melayu Tanjungbalai merupakan babakan baru

bagi kehidupan mereka, karena sebelum datangnya Islam, orang Melayu

Tanjungbalai hidup dalam dunia yang penuh mitos dan mistis. Islam hadir dengan

membawa konsep-konsep dan nilai-nilai baru yang menggeser nilai-nilai yang

berbau mistis ke arah pemikiran yang rasional. Islam juga mampu memecahkan

persoalan-persoalan yang tidak terpecahkan dalam keyakinan orang Melayu

Tanjungbalai sebelumnya. Begitu dalamnya pengaruh Islam dalam kebudayaan

Melayu Tanjungbalai sehingga banyak kalangan mengatakan bahwa Melayu

identik dengan Islam. Hal ini disebabkan karena adanya pepatah adat yang

menyebutkan ―syarak mengata adat memakai‖, yang mengandung arti bahwa adat

merupakan operasional dari nilai-nilai Islam. Di samping itu adat dalam

kebudayaan Melayu Tanjungbalai bersumber dari Islam dan tidak boleh ada

pertentangan adat dengan Islam, jika terdapat pertentangan maka adatlah yang

harus mengalah. Hal ini diungkapkan dalam pepatah adat ―adat bersendi syarak,

syarak bersendi kitabullah‖.

6.3 Kearifan Lokal Malam Berinai

Di dalam penelitian kearifan lokal tradisi bersinandong terdapat beberapa

kearifan yang merupakan nilai dan norma warisan leluhur yang menurut

fungsinya dalam menata kehidupan sosial masyarakatnya seperti yang peneliti

analisis berdasarkan teks, konteks, dan koteks dari sinandong tersebut. Analisis

Adapun kearifan lokal dari tradisi malam berinai dalam masyarakat Melayu

Tanjungbalai adalah kesopansantunan, kesetiakawanansosial, rasa syukur, gotong

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


royong, dan penjagaan lingkungan. Gambaran kearifan lokal ini berasal dari

landasan agama Islam yang dianut oleh masyarakat Melayu Tanjung Balai seperti

yang dapat dilihat pada bagan berikut,

Kearifan Lokal Malam Berinai


pada Masyarakat melayu
Tanjungbalai

Rasa Syukur Kesopansan Kesetiaka Gotong Penjagaan


-tunan wanan royong Lingkungan
sosial

Bagan 6.5 Kearifan Lokal Tradisi Malam Berinai dalam Masyarakat


Melayu Tanjungbalai

6.3.1 Rasa Syukur

Bersyukur (berterima kasih), kepada sesama manusia lebih cenderung

kepada menunjukkan perasaan senang menghargai. Adapun bersyukur kepada

Allah lebih cenderung kepada pengakuan bahwa semua kenikmatan adalah

pemberian dari Allah. Inilah yang disebut sebagai syukur. Lawan kata dari syukur

nikmat adalah kufur nikmat, yaitu mengingkari bahwa kenikmatan bukan

diberikan oleh Allah. Kufur nikmat berpotensi merusak keimanan. Bersyukur

kepada Allah adalah salah satu konsep yang secara prinsip ditegaskan di dalam

Al-Qur‘an. Perumpamaan dari orang yang bersyukur dan kufur diberikan dan

keadaan mereka di akhirat digambarkan. Alasan kenapa begitu pentingnya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


bersyukur kepada Allah adalah fungsinya sebagai indikator keimanan dan

pengakuan atas keesaan Allah.

Dalam tradisi upacara malam berinai yang dilaksanakan di rumah

pasangan calon pengantin Liza dan Rahmad, group Kasidah Aljamiatul Wasliyah

membuka pertunjukan mereka dengan melantunkan dendang kasidah yang

berjudul ―Sholawat Cheng Zamzam‖. Lirik kasidah ini berisi ucapan syukur atau

terima kasih kepada Allah SWT atas rahmad dan karunia yang telah diberikan

kepada umat manusia dan ucapan selawat kepada Nabi Muhammad yang telah

menuntun umat manusia ke jalan yang benar.

Adapun liriknya adalah sebagai berikut,

Alhamdulillah, wasyukurillah

Alhamdulillah, wasyukurillah

Azka sholati wasalami Lirosulillah

Azka sholati wasalami Lirosulillah

Sholli wasallim ‗Alal mu‘allim

Sholli wasallim ‗Alal mu‘allim

Ahmad Muhammad yasiidi khoirol bariyah

Ahmad Muhammad yasiidi khoirol bariyah

Alhamdulillah, wasyukurillah

Alhamdulillah, wasyukurillah

Azka sholati wasalami Lirosulillah

Azka sholati wasalami Lirosulillah

Hadzihil madinah Fiha nabina

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Hadzihil madinah Fiha nabina

Hu wa abu zahro yasiidi khoirol bariyah

Hu wa abu zahro yasiidi khoirol bariyah

Alhamdulillah, wasyukurillah

Alhamdulillah, wasyukurillah

Azka sholati wasalami Lirosulillah

Azka sholati wasalami Lirosulillah

Dalam acara pembukaan kasidah, pewara mengatakan bahwa pertunjukan

kasidah ini adalah bentuk ungkapan syukur kepada Allah dan sebagai doa harapan

semoga pasangan pengantin ini menjadi pasangan yang senantiasa melaksanakan

sholat yang merupakan kunci ibadah, patuh pada kepada kedua orang tua, patuh

kepada keluarga, berbakti kepada nusa dan bangsa dan hendaknya menjadi

keluarga mawaddah wa rahma di kemudian hari kelak, seperti kutipan berikut,

Semoga pasangan pengantin ini menjadi pasangan yang senantiasa


melaksanakan sholat yang merupakan kunci ibadah, mudah-mudahan anak
kami ini dapat patuh pada kepada kedua orang tua, patuh kepada keluarga,
patuh kepada nusa dan bangsa dan hendaknya menjadi keluarga
mawaddah wa rahma di kemudian hari kelak.

Alquran memerintahkan untuk mengingat nikmat Allah berulang-kali

karena manusia cenderung melupakannya. Seluruh buku yang ada di dunia ini

tidak akan cukup untuk menulis nikmat Allah. Allah menciptakan manusia dalam

bentuknya yang sempurna, memiliki panca indra yang memungkinkan manusia

untuk merasakan dunia di sekelilingnya, membimbingnya menuju jalan yang

benar melalui Alquran dan Alhadits, menciptakan air segar dan makanan yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


berlimpah, melancarkan pelayaran, yang kesemuanya itu ditujukan untuk

keuntungan manusia.

Setiap orang yang berdoa dan berbuat baik pasti juga bersyukur kepada

Allah sebab orang-orang yang mengingkari nikmat Allah pasti juga tidak pernah

ingat kepada Allah. Seseorang yang bertingkah laku seperti hewan,

mengkonsumsi segala sesuatu yang diberikan padanya tanpa mau berfikir

mengapa semua itu dianugrahkan dan siapa yang menganugrahkan, sudah

selayaknya mengubah tingkah laku seperti itu. Sebaliknya, bersyukur hanya di

saat menerima nikmat besar saja tidak akan berarti. Itulah sebabnya orang

mukmin hendaknya tidak pernah lupa untuk bersyukur kepada Allah.

Janganlah pernah menghitung nikmat, mengkategorikannya saja tidak

mungkin sebab nikmat Allah tidak terbatas banyaknya. Karenanya seorang

mukmin tidak seharusnya menghitung nikmat, melainkan berdzikir dan

mewujudkan rasa syukurnya. Anggapan kebanyakan orang, bersyukur kepada

Allah hanya perlu dilakukan pada saat mendapatkan anugrah besar atau terbebas

dari masalah besar adalah keliru. Padahal jika mau merenung sebentar saja,

mereka akan menyadari bahwa mereka dikelilingi oleh nikmat yang tidak terbatas

banyaknya. Setiap waktu setiap menit, tercurah kenikmatan tak terhenti seperti

hidup, kesehatan, kecerdasan, panca indra, udara yang dihirup…; pendek kata

segala sesuatu yang memungkinkan orang untuk hidup diberikan oleh Allah.

Sebagai balasan semua itu, seseorang diharapkan untuk mengabdi kepada Allah

sebagai rasa syukurnya. Orang-orang yang tidak memperhatikan semua

kenikmatan yang mereka terima, dengan demikian telah mengingkari nikmat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(kufur). Mereka baru mau bersyukur apabila semua kenikmatan telah dicabut.

Sebagai contoh, kesehatan yang tidak pernah diakui sebagai nikmat, baru

disyukuri setelah sakit.

Bersyukur kepada Allah adalah salah satu konsep yang secara prinsip

ditegaskan di dalam Alquran pada hampir 70 ayat. Perumpamaan dari orang yang

bersyukur dan kufur diberikan dan keadaan mereka di akhirat digambarkan.

Alasan kenapa begitu pentingnya bersyukur kepada Allah adalah fungsinya

sebagai indikator keimanan dan pengakuan atas keesaan Allah. Dalam salah satu

ayat, bersyukur digambarkan sebagai penganutan tunggal kepada Allah, seperti di

bawah ini,

―Hai orang-orang yang beriman! Makanlah di antara rezeki yang baik yang kami

berikan kepadamu. Dan bersyukurlah kepada Allah jika memang hanya dia saja

yang kamu sembah‖. (Al-Baqarah: 172)

Pada ayat lain bersyukur digambarkan sebagai lawan kemusyrikan,

―Baik kepadamu maupun kepada nabi sebelummu telah diwahyukan: "Jika

engkau mempersekutukan Tuhan, maka akan terbuang percumalah segala

amalmu dan pastilah engkau menjadi orang yang merugi. Karena itu sembahlah

Allah olehmu, dan jadilah orang yang bersyukur‖. (Az-Zumar: 65-66)

Bersyukur kepada Allah merupakan salah satu ujian dari Allah. Manusia

dikaruniai banyak kenikmatan dan diberitahu cara memanfaatkannya. Sebagai

balasannya, manusia diharapkan untuk taat kepada penciptanya. Namun manusia

diberi kebebasan untuk memilih apakah hendak bersyukur atau tidak seperti pada

ayat berikut,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


―Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang

bercampur. Kami hendak mengujinya dengan beban perintah dan larangan.

Karena itu kami jadikan ia mendengar dan melihat. Sesungguhnya kami telah

menunjukinya jalan yang lurus: Ada yang bersyukur, namun ada pula yang

kafir‖. (Al-Insan: 2-3) ―Dan ingat pulalah ketika Tuhanmu memberikan

pernyataan: "Jika kamu bersyukur pasti Kutambah nikmatKu kepadamu;

sebaliknya jika kamu mengingkari nikmat itu, tentu siksaanku lebih dahsyat‖.

(Ibrahim: 7)

Melaksanakan acara pesta perkawinan adalah bentuk salah satu kearifan

lokal dalam mewujudkan rasa syukur yang dilakukan oleh masyarakat Melayu

Tanjungbalai. Pernikahan bukan hanya sekedar untuk menjalankan perintah

semata tetapi juga mengharapkan kemurahan rezeki oleh Tuhan dengan cara

bekerja. Suami wajib bekerja untuk menafkahi keluarganya, baik istri serta anak-

anaknya. Anak merupakan amanah bagi orang tua untuk dijaga, dididik dan

dibesarkan agar kehidupannya kelak bias membawa kebenaran untuk di duni dan

akhirat. Bentuk tepung tawar yang terdapat dalam upacara malam berinai juga

merupakan uangkapan rasa syukur kepada sang pencipta.

6.3.2 Kesopansantunan

Islam mengajarkan agar umatnya hidup bermasyarakat agar saling

menolong antara yang satu dengan yang lain dalam memecahkan segala

persoalan. Masyarakat Tanjung Balai bergaul dengan sesama mereka sehingga

kehidupan mereka terjalin secara arif. Dengan bergaul berarti mereka saling

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menyempurnakan, memberi dan menerima untuk kepentingan bersama

masyarakat Tanjung Balai. Dalam pergaulan sesama, mereka dapat membedakan

pergaulan yang baik dan buruk, dan pandai menempatkan diri agar tidak

terombang-ambing dalam kehidupan.

Kaidah agama berperan penting dalam mengatur interaksi dalam

masyarakat Melayu Tanjungbalai ialah kesopansantunan. Prinsip ini menekankan

bahwa warga Tanjung Balai dalam berbicara dan membawa diri harus selalu

menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan

kedudukannya. Apabila mereka bertemu, bahasa dan sikap mereka harus

mengungkapkan suatu pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing

dalam tatanan sosial yang tersusun dengan terperinci dan cita rasa, mengikuti

aturan-aturan tatakrama yang sesuai dan sikap hormat yang pada tempatnya.

Dalam berpakaian masyarakat Tanjung Balai, selain bersih, sesuai ajaran

Islam yang menekankan pentingnya menutup aurat. Namun, masa kini remaja

Melayu memiliki kecenderungan mengamalkan budaya barat. Dari perspektif

pendidikan moral adat untuk membentuk masyarakat yang sopan, untuk membina

masyarakat generasi muda yang dimulai dari institusi keluarga. Orang tua

memainkan peranan penting di Tanjung Balai karena mereka bertanggungjawab

mendidik anak-anak bangsa menjadi orang berguna. Sekaligus memastikan

keharmonisan keluarga mereka. Untuk merangsang perkembangan mental dan

rohani anak-anak, orang tua perlu menunjukkan teladan yang baik kepada anak-

anak. Namun kondisi sekarang banyak masalah sosial yang melanda masyarakat

bermula dari kelalaian orang tua mengawasi pergerakan anak-anak mereka. Oleh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


itu, orang Melayu perlu menilai kembali pegangan hidup mereka demi

mengekalkan citra sopan Melayu.

Nilai yang membentuk masyarakat Melayu Tanjungbalai menjadi

penyabar dan penyayang, bersopan santun dan berbudi pekerti adalah sebahagian

daripada nilai-nilai tamadun Melayu yang berkaitan dengan beradab (civilized).

Masyarakat Melayu menganggap bahwa orang yang beradab sebagai halus budi

pekertinya, manakala yang tidak beradab dianggap kasar. Sesuai dengan

penegasan Nabi SAW bahwa, ―Rosul diutus adalah untuk menyempurnakan

akhlak yang mulia. Islam menganjurkan pengikutnya sentiasa berbicara benar dan

melarang berbohong.

Nilai sopan santun dapat dilihat dalam tradisi bersinandong pada malam

berinai, yaitu dalam upacara tepung tawar. Dalam upacara ini, orang yang

dituakan menepungtawari terlebih dahulu. Setelah itu baru yang lebih muda.

Mendahulukan orang yang lebih tua, seperti kakek, nenek, ibu, dan ayah adalah

etika dalam sopan santun. Dalam tari tercermin aturan yang dipakai para penari.

Mereka secara serentak menari diatur oleh ragam dalam gerak tari mereka.

Sikap sopan santun terhadap orang tua juga terlihat melalui teks yang

terdapat dalam sinandong dadong (1) ―Sinandong Membuai Anak‖, bait keenam

baris ketiga dan empat. Frasa Kalau boso balaslah jaso, bermakna ‖jika sudah

besar, harus pandai membalas jasa kedua orang tua‖. Membalas jasa orang tua

adalah nilai sopan santun seorang anak terhadap orang tua. Sebagai ucapan rasa

syukur karena telah dibesarkan dan dibekali dengan pengetahuan. Sudah menjadi

kewajiban bagi seorang anak untuk membalas jasa kedua orang tuanya, jika

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


nantinya dia menjadi orang yang sukses. patuh terhadap perintah orang tua juga

termasuk ke dalam norma sopan santun. Seorang anak yang pandai membalas

jasa, orang tuanya akan senang dan akan mendoakan anak tersebut agar diberi

rezeki yang melimpah. Hal ini dapat dilhat dari petikan sinandong berikut,

Kalau boso balaslah jaso


Kemano pogi dapat jeroki

6.3.3 Kesetiakawanan Sosial

Sebagai nilai dasar kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial harus terus

direvitalisasi sesuai dengan kondisi aktual bangsa dan diimplementasikan dalam

wujud nyata dalam kehidupan masyarakat Tanjung Balai. Kesetiakawanan sosial

merupakan nilai yang bermakna bagi masyarakat Tanjungbalai. Jiwa dan

semangat kesetiakawanan sosial dalam kehidupan mereka pada hakekatnya telah

ada sejak jaman nenek moyang kita jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka yang

kemudian dikenal menggunakan bahasa Indonesia.

Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial tersebut dalam perjalanan

kehidupan masyarakat Tanjungbalai telah teruji dalam berbagai peristiwa sejarah,

dengan puncak manifestasinya terwujud dalam tindak dan sikap berdasarkan rasa

kebersamaan mereka dari mulai mereka menghadapi ancaman penjajah yang

membahayakan kelangsungan hidup mereka. Kesetiakawanan mereka menjadi

benteng yang kuat dalam kelompok masyarakat etnis Melayu. Kesetiakawanan ini

begitu rekatnya, maka kelompok mereka menjadi sebuah satu kesatuan yang aman

dan amat solid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Apapun isu yang menerpa masyarakat waktu itu memiliki rasa saling

berkesetiakawanan merupakan hal positif yang diterapkan dengan rasa

kekeluargaan sosial antara satu sama lainnya khususnya dalam kelompok

bersama-sama. Namun, saat kesetiakawanan ini diuji dan hasilnya kesetiakawanan

ini diterapkan maka, kelompok sosial khususnya menimbulkan dampak negatif,

permusuhan bahkan peperangan internal.

Kesetiakawanan sosial atau rasa solidaritas sosial adalah merupakan

potensi spritual, komitmen bersama sekaligus jati masyarakat melayu oleh karena

itu .... dengan ideologi nasional, bangsa Indonesia yang tereplikasi dari sikap dan

perilaku yang dilandasi oleh pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab

dan partisipasi social sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga

masyarakat dengan semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi

sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan.

Kesetiakawanan sosial nasional adalah pilar utama untuk mewujudkan

masyarakat adil dan sejahtera. Dituntut kepedulian dan ketenggangrasaan yang

merupakan watak dasar bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Sayangnya kata

kesetiakawanan sosial jarang terdengar. Dalam menghadapi tantangan kehidupan,

dituntut kebersamaan, persaudaraan, dan kesetiakawanan. Oleh karena itu

kesetiakawanan sosial merupakan nilai dasar kesejahteraan sosial, modal sosial

yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam

mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk bernegara yaitu masyarakat

sejahtera.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Orang Melayu senantiasa mengutamakan perasaan orang lain dalam

pelbagai keadaan. Sikap bertimbang rasa menjadikan masyarakat Melayu tidak

mementingkan perasaannya semata-mata. Pemikiran ini menunjukkan bahwa

seseorang tidak mengikutkan perasaan saja, tetapi perlu mempertimbangkan

perasaan orang lain. Nilai kesetiakawanan sosial ini adalah salah sifat terpuji

dalam Islam.

Kesetiakawanan sosial dapat diilhat dalam tradisi pada malam berinai ini,

yaitu:

1. Apapun permasalahan yang terjadi dalam pesta besar ini haruslah menjadi

beban dan tanggung jawab bersama semua anggota keluarga untuk

mengatasi dan menyelesaikannya. Kebersamaan dan kesetiaan itu penting

untuk menanggung untung rugi dalam pesta tersebut. Jadi, anggota inti

dalamkeluarga harus ikut merasakannya. Nilai yang ingin ditunjukkan

adalah penyadaran bahwa manusia hendaknya hidup dalam satu kesatuan

yang utuh untuk mencapai satu tujuan yang sama. Nilai ini menghilangkan

sikap yang saling berebut kuasa dan pengaruh, yang sering mementingkan

diri sendiri atau kelompok .

2. Sesuai........dengan adat lembago

Peribahasa ini terdapat dalam sinandong anak atau dadong (1) ―Sinandong

Membuai Anak‖, bait ketiga baris keempat. Nilai yang mengekalkan

adalah rasa kesamaan adat dan budaya, mengentalkan hubungan antar

puak dan suku. Nilai ini juga menyadarkan orang agar tidak terjebak

kepada perbedaan-perbedaan adat dan budaya, tetapi menganggap

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


perbedaan itu sebagai khasanah budaya bersama yang perlu dijunjung dan

dihormati. Nilai yang menumbuhkan rasa kebersamaan yag saling berbagi

senang dan susah dan menjauhkan diri dari keinginan untuk menang

sendiri, kenyang seorang. Peribahasa ini juga digunakan untuk

kesetiakawanan sosial. Senasib sepenanggungan. Walau tidak ada apa-apa

untuk dimakan yang penting berkumpul dan bersatu untuk merasakan

kebahagiaan dan kesedihan bersama. Yakni nilai yang menyadarkan orang

akan kesamaan dan persatuan. Menumbuhkan rasa bersatu, ada dalam satu

rumpun.

2. Kehadiran para undangan dalam upacara malam berinai ini juga

merupakan bentuk kesetiakawanan sosial. Jika para undangan tidak hadir,

maka upacara ini jadi sia-sia dilakukan. Nilai ini menumbuhkan rasa

bertanggung jawab untuk memelihara tenggang rasa antar sesama anggota

masyarakatnya, menumbuhkan rasa menghargai terhadap orang yang

sudah memberi undangan. Selain itu nilai lain yang ingin diperjuangkan

adalah anjuran untuk menumbuhkan rasa persaudaraan yang kental, tidak

mementingkan diri sendiri atau kelompok.

6.3.4 Gotong Royong

Menurut kodrat alam, manusia dimanapun dan pada jaman apapun selalu

hidup bersama, hidup berkelompok. Sekurang-kurangnya hidup bersama ini

terdiri dari dua orang, suami-istri ataupun orang tua dan anaknya. Dalam sejarah

perkembangan manusia, tidak terdapat seorang pun yang hidup menyendiri,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


terpisah dari kelompok manusia lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan

itupun hanyalah bersifat sementara.

Manusia disebut makhluk sosial atau bermasyarakat, maksudnya adalah

hidup manusia berada dalam suatu kelompok yang saling berhubungan. Manusia

secara individu tidak dapat memisahkan diri dengan individu lainnya. Antara

individu yang satu dengan individu lainnya salng berhubungan. Di samping

sebagai makhluk sosial, manusia adalah makhluk individu atau perorangan. Di

antara individu yang satu dengan individu yang lainnya saling membutuhkan dan

saling tolong menolong. Oleh sebab itu, kita wajib mengembangkan sikap saling

menghormati dan saling menghargai.

Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat

dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat

pedesaan lainnya. Sistem kehidupan masyarakat biasanya berkelompok atas dasar

sistem kekeluargaan. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari

pertanian, walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang batu bata, tukang

membuat gula, tukang jahit, bahkan tukang catut, akan tetapi inti pekerjaan

penduduk adalah bertani. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian, hanya

merupakan pekerjaan sambilan saja, oleh karena itu, bila tiba musim panen atau

masa menannam padi, pekerjaan-pekerjaan sambilan itu segera ditinggalkan.

Pada masa pembukaan tanah atau pada waktu menanam tiba, mereka akan

bersama-sama mengerjakannya. Hal itu dilakukan karena biasanya satu keluarga

saja tidak cukup memiliki tenaga kerja untuk mengerjakan tanahnya. Sebagai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


akibat kerjasama tadi, timbullah lembaga kemasyarakatan yang dikenal dengan

nama gotong-royong yang bukan merupakan lembaga yang sengaja dibuat.

Konsep gotong-royong merupakan suatu konsep yang erat hubungannya

dengan kehidupan rakyat sebagai petani dan masyarakat agraris. Istilah gotong

royong berasal dari bahasa Jawa, tetapi dari Jawa mana istilah ini berasal tidak

cukup jelas. Istilah gotong-royong ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab

sesusastraan Jawa Kuno maupun Jawa Madya (kakawin, kidung,dan sebagainya).

Dalam kenyataan bahasa sehari-hari, antara rakyat di desa-desa, istilah ini juga

tidak ada. Di berbagai daerah di Jawa ada istilah-istilah khusus yang berbeda-beda

satu dengan yang lainnya. Istilah gotong-royong untuk pertama kali tampak dalam

bentuk tulisan dalam karangan-karangan tentang hukum adat dan juga dalam

karangan-karangan tentang aspek-aspek sosial dari pertanian terutama di Jawa

Timur oleh para ahli pertanian Belanda lulusan Wageningen (Koentjaraningrat,

1987 : 56).

Gotong-royong merupakan bentuk utama dari proses interaksi sosial,

karena pada dasarnya orang atau kelompok orang melaksanakan interaksi sosial

dalam rangka memenuhi kepentingan atau kebutuhan bersama. Sebenarnya

masyarakat manusia itu sendiri terbentuk akibat adanya kerja sama dalam

kelompok untuk hidup bersama, memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup

bersama.

Etika tentu bukan hanya dimiliki bangsa tertentu. Masyarakat dan bangsa

apapun mempunyai etika; ini merupakan nilai-nilai universal. Nilai-nilai etika

yang dikaitkan dengan etos kerja seperti rajin, bekerja, keras, berdisplin tinggi,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menahan diri, ulet, tekun dan nilai-nilai etika lainnya bisa juga ditemukan pada

masyarakat dan bangsa lain. Kerajinan, gotong royong, saling membantu, bersikap

sopan misalnya masih ditemukan dalam masyarakat kita. Perbedaannya adalah

bahwa pada bangsa tertentu nilai-nilai etis tertentu menonjol sedangkan pada

bangsa lain tidak.

Mulai dari kehidupan dalam keluarga, antarkeluarga dalam kesatuan

kerabat luas, kehidupan antartetangga sampai ke dalam kehidupan masyarakat

luas, manusia sudah disosialisasikan untuk saling kerja sama, untuk saling

membantu, tolong-menolong, agar kepentingan atau kebutuhan bersama dapat

dicapai secara berdaya guna dan berhasil guna. Dapat dipastikan bahwa perolehan

kepentingan atau kebutuhan hidup akan lebih mudah dicapai melalui proses kerja

sama atau gotong-royong dibandingkan melalui kerja sendiri-sendiri.

Pada masyarakat sederhana seperti masyarakat komunal atau kesukuan

dan masyarakat pedesaan, gotong-royong sudah sedemkian melembaga hampir

dalam setiap pekerjaan yang sifatnya massal, seperti berburu, menangkap ikan,

membuka ladang atau huma baru, mengerjakan sawah, memperbaiki bendungan,

pengairan, membuat jembatan penyeberangan, menyelenggarakan upacara yang

sakral seperti upacara adat dan keagamaan, dan lain sebagainya.

Pada umumnya pola gotong-royong semacam ini didorong oleh motivasi

untuk:

1. Menghadapi tantangan alam yang masih ‗ganas‘,

2. Melakukan pekerjaan yang butuh tenaga massal,

3. Melaksanakan upacara yang sifatnya sakral (suci),

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4. Menghadapi serangan musuh dari luar.

Dalam kehidupan masyarakat desa di kabupaten Tanjungbalai, gotong-

royong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan

keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk untuk

beraktivitas dalam suatu pekerjaan. Aktivitas gotong-royong dalam kehidupan

masyarakat ini dapat dilihat sebagai berikut,

1. Aktivitas gotong-royong antara tetangga yang tinggal berdekatan untuk

pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, misalnya:

menggali sumur, mengganti dinding bambu dari rumah, menanam padi,

panen, dan sebagainya.

2. Aktivitas gotong-royong antara kaum kerabat dan tetangga yang paling

dekat untuk menyelenggarakan perta sunat, perkawinan, atau upacara-

upacara adat lain sekitar titik-titik peralihan pada lingkaran hidup individu,

seperti: menujuh bulan, kelahiran, pemberian nama, dan aqiqah sekaligus

mencukur rambut.

3. Aktivitas spontan tanpa permintaan dan tanpa pamrih untuk membantu

secara spontan pada waktu seorang penduduk desa mengalami kematian

atau bencana. Di sini tidak diperhitungkan jasa dan konpensasinya.

Semuanya dilakukan dengan ikhlas.

Dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai, gotong-royong antartetangga

masih tampak dalam pembuatan sumur dan mendirikan rumah yang terbuat dari

kayu. Jika ada salah seorang warga yang ingin mendirikan rumah dan membuat

sumur, maka tetangga-tetangga dekat akan diundang untuk mendirikan rumah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tersebut setelah semua bahannya terkumpul. Jadi, pembuatan rumah ini tidak

berlansung lama, paling hanya memakan waktu dua hari. Untuk hal-hal pekerjaan

kecil dari rumah tersebut, biasanya yang melanjutkan nantinya adalah tuan rumah,

seperti memasang kunci, mengecet, memasang jerjak, dan lainnya. Masyarakat

hanya mengerjakan rangkah rumah, dinding, dan atapnya saja.

Untuk aktivitas menanam padi di sawah, seorang petani meminta beberapa

orang tetangganya yang biasanya petani juga untuk membantunya dalam

mempersiapkan sawahnya untuk masa penanaman yang baru. Pekerjaan ini

meliputi memperbaiki saluran-saluran air dan pematang, mencangkul, membajak,

menggaruk, dan sebagainya. Petani tuan rumah harus menyiapkan makan siang

tiap hari kepada warga yang datang membantu, selama pekerjaannya berlangsung.

Konpensasi lain tidak ada, tetapi yang minta bantuan tadi harus mengembalikan

jasa itu dengan membantu semua petani yang diundangnya tadi, tiap saat apabila

mereka memerlukan bantuannya.

Dalam upacara tujuh bulanan, melahirkan, memberi nama, aqiqah, dan

mencukur rambut, biasanya acara ini diselenggarakan dengan sederhana. Jadi,

aktivitas gotong royong juga terlihat sangat sederhana. Para tetangga akan

membantu jika diperlukan saja. Mereka membantu pekerjaan si tuan rumah

mungkin hanya satu hari saja. Sebagai imbalan, biasanya tuan rumah

menyediakan makanan.

Gotong-royong yang dilakukan masyarakat Melayu Tanjungbalai yang

secara spontan dapat dilihat ketika salah satu warga masyarakat ada yang

meninggal dunia dan tertimpa bencana. Masyarakat akan secara suka rela

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


memberi sumbangan baik tenaga maupun uang. Sumbangan ini tidak ditentukan

jumlahnya. Jika yang mengalami musibah ini orang miskin, maka untuk keperluan

fardhu kifayah orang yang meninggal ini akan ditanggulangi oleh masyarakat.

Terhadap orang yang tertimpa bencana, misalnya kebakaran, biasanya orang-

orang kampung akan mengutip sumbangan ke rumah-rumah penduduk.

Sumbangan ini akan diserahkan kepada orang yang rumahnya kebakaran tersebut,

untuk memperbaiki rumah dan kelengkapannya. Rumah ini akan didirikan

kembali secara gotong-royong.

Gotong-royong juga dapat dilihat dalam pesta perkawinan dan sunatan.

Juga terlihat dalam upacara malam berinai yang merupakan serentetan kegiatan

dalam pesta perkawinan. Sanak saudara dan tetangga terdekat akan berdatangan

membantu pekerjaan dalam perhelatan pesta tersebut. Biasanya mereka datang

dua hari sebelum diadakan pesta. Gotong-royong ini dilakukan mulai dari

mendirikan teratak, memasak makanan untuk pesta, mencuci piring, sampai

membongkar teratak kembali sehabis pesta. Pekerjaan ini dilakukan secara

gotong-royong selama lebih kurang empat hari. Sebagai imbalan orang yang ikut

dalam gotong-royong ini, biasanya untuk keluarganya (anak-anaknya) diantarkan

rantang ke rumah yang berisi nasi dan lauk-pauk ke rumahnya selama orang

tersebut ikut berpartisipasi dalam pesta itu.

Dengan gotong-royong dimaksudkan dapat saling membantu dan

melakukan pekerjaan demi kepentingan bersama. Menurut Koentjaraningrat

(2002:65), ada tiga nilai yang disadari orang desa dalam melakukan gotong-

royong: pertama, orang itu harus sadar bahwa dalam hidupnya pada hakikatnya ia

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


selalu tergantung pada sesamanya, maka dari itulah ia harus selalu berupaya untuk

memelihara hubungan baik dengan sesamanya; kedua, orang itu harus selalu

bersedia membantu sesamanya; ketiga, orang itu harus bersifat conform, artinya

orang harus selalu ingat bahwa ia sebaiknya jangan berusaha untuk menonjol,

melebihi yang lain dalam masyarakatnya.

Kerukunan masyarakat Melayu, tampak ketika masyarakat mengadakan

upacara-upacara besar. Gotong royong sangat dibutuhkan dalam menjaga

kerukunan dalam masyarakat. Masing-masing pihak telah mengetahui fungsi dan

perannya masing-masing. Bentuk gotong-royong dapat dilihat dalam pelaksanaan

upacara adat perkawinan. Dalam upacara perkawinan, masyarakat Melayu baik di

Batubara maupun di Tanjungbalai dalam menyajikan hidangan untuk acara pesta,

biasanya dimasak oleh para tetangga dan saudara. Mereka memasak secara

bergotong royong tanpa mengharapkan imbalan uang. Mereka memasak dengan

suka rela, sebagai imbalan kepada keluarga mereka yang di rumah diantarkan

makanan.

Sementara itu, memenuhi undangan pesta merupakan suatu kewajiban

sosial dan dari setiap tamu diharapkan sejumlah uang untuk tuan rumah. Besarnya

sumbangan itu diingat oleh kedua belah pihak dan si pemberi boleh berharap akan

menerima sumbangan serupa apabila mengadakan perayaan yang sama. Dalam

segala macam bentuk gotong-rotong itu, orang Melayu Tanjungbalai tahu persis

jumlah waktu kerja atau jumlah uang berapa yang masih harus dikembalikannya

dan berapa yang masih berhak dituntut orang lain.

6.3.5 Peduli Lingkungan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pergulatan orang Melayu dengan alam dalam hal pertanian, hutan dan

perairan membantu orang Melayu untuk meletakkan dasar-dasar masyarakat dan

kebudayaannya. Teristimewa penanaman padi memaksa seseorang untuk

mengembangkan bentuk-bentuk kerjasama sosial yang maju. Penanaman padi

sangat mendorong segala kegiatan yang terarah pada pengendalian kekuatan-

kekuatan alam yang ganas, rakyat dirangsang untuk mencapai tingkat kerjasama

dan bantuan timbal balik yang tinggi dan dengan desa-desa tetangga perlu

dipertahankan perdamaian.

Alam bagi orang Melayu merupakan sumber rasa aman, begitu pula alam

dihayati sebagai kekuasaan yang menentukan keselamatan dan kehancurannya.

Oleh karena itu alam inderawi bagi orang Melayu merupakan ungkapan alam

gaib, yaitu misteri berkuasa yang mengelilinginya, dari alam seperti ini orang

Melayu memperoleh eksistensinya dan bergantung padanya. Alam adalah

ungkapan kekuasaan yang akhirnya menentukan kehidupannya. Dalam alam

orang mengalami betapa bergantungnya kita dari kekuasaan-kekuasaan diduniawi

yang tidak dapat diperhitungkan, yang disebutnya alam gaib. Kosmos termasuk

kehidupan, peristiwa-peristiwa di dunia merupakan suatu kesatuan yang

terkoordinasi dan teratur, suatu kesatuan eksistensi di mana setiap gejala, material

dan spiritual mempunyai arti yang jauh melebihi apa yang Nampak.

Begitu bagi orang Melayu alam empiris berhubungan erat dengan alam

metempiris (alam gaib) mereka saling meresapi. Bukannya seakan-akan

pengalaman-pengalaman empiris dan adikordati , dimana pengalaman langsung

yang bersifat empiris dan indrawi berdasarkan suatu iman eksplisit, ditempatkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ke dalam dimensi metafisik. Melainkan pengalaman-pengalaman empiris yang

angker dan mengasikkan menjadi isi pengalaman itu sendiri. Alam empiris selalu

sudah diresapi oleh alam gaib.

Pedoman hidup masyarakat Melayu dalam penjagaan lingkungan alam

dinyatakan oleh Rachmatullah (2010:64-65) bahwa barang siapa yang mengerti

tempatnya dalam masyarakat dan dunia, maka ia juga memiliki sikap batin yang

tepat dan dengan demikian juga akan bertindak dengan tepat. Sebalikmnya, siapa

yang membiarkan diri dibawa oleh nafsu dan pamrihnya, yang melalaikan

kewajiban-kewajibannya dan acuh tak acuh terhadap rukun serta hormat, dengan

demikian memberi kesaksian bahwa ia belum mengerti tempatnya dalam

keseluruhan alam semesta.

Pedoman masyarakat Melayu biasa diungkapkan dengan peribahasa biar

lambat asal selamat. Maksud peribahasa tersebut adalah bahwa semboyan orang

Melayu yang lebih mementingkan tercapainya tujuan, meskipun waktunya lama.

Maksudnya terjadi suatu kegagalan karena melanggar kehendak alam yang telah

digariskan Tuhan Yang Maha Esa. Sesuatu yang dilakukan dengan tergesa-gesa

dan semua mau cepat terakhirnya tidak mendapatkan apa-apa malah keburukan

yang diterima karena melewati batasan yang diberikan Allah.

Hal ini diajarkan pada orang Melayu untuk memperingatkan bahwa siapa

yang ingin bertindak secara bertanggung jawab hendaknya mampu memahami

batasan-batasannya dan bertindak sesuai dengan kedudukannya, sebab segala

gangguan terhadap keselarasan kehidupan akan merugikan semua. Manusia yang

membuat rencana-rencana besar untuk memperbaiki dunia ini dan berusaha untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


melaksanakannya tanpa memperhatikan maasyarakat dan alam merupakan tanda

kesombongan, karena kekuasaan untuk mengubah sesuatu di dalam realitas

tidaklah terletak di tangan manusia.

Hendaknya manusia selalu ingat akan takdir. Segalanya sudah ditentukan

oleh Allah. Setiap makhluk telah dibagi nasibnya, ditarik garis hidupnya, dan

tidak dapat menyeleweng daripadanya. Orang yang bijaksana dibedakan dengan

orang yang bodoh, sebab orang yang bijaksana memahami hal itu, ia memusatkan

tenaganya pada usaha untuk mempertahankan garis hidupnya, artinya menemukan

tempatnya dalam masyarakat dan membiarkan setiap unsur yang lain menemukan

tempatnya sendiri-sendiri.

Setiap manusia mempunyai darmanya dan tugas kehidupannya ialah untuk

melaksanakan darmanya. Manusia menemukan darmanya dalam kewajiban yang

ditentukan baginya, oleh kedudukannya di dalam masyarakat. Manusia

diharapkan memenuhi darmanya dengan setia demi kesejahteraan masyarakat dan

pemeliharaan keselarasan alam semesta serta untuk mencapai ketentraman bathin.

Sedangkan konsep kedua dalam adat resam Melayu adalah mengatur

hubungan antara manusia dan alam, serta sangsi terhadap pelanggaran yang

terjadi. Resam Melayu, selalu menghindari kekerasan dan perilaku yang merusak

keadaan serta moral. Resam Melayu ialah pencinta alam.

Pada zaman Kedatukan Lima Laras, para Datuk ditempatkan yang

merupakan perpanjangan tangan di dalam pemerintahan; dimana hutan, sungai,

tanah ulayat, sangat diperhatikan. Masyarakat tidak berani melanggar adat-istiadat

setempat. Jika mereka ingin menebang pohon, maka mereka harus permisi dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


luhak (kepala desa) walaupun pohon itu adalah milik mereka sendiri. Jika mereka

akan membuka hutan, juga harus permisi dan juga harus membuat upacara adat

yang akan dipersembahkan kepada makhluh penunggu hutan tersebut, agar

mereka tidak mendapat celaka dan musibah di hutan tersebut. Apabila terdapat

kerusakan alam, maka yang merusak lingkungan akan diberi hukuman sesuai

dengan adat tempatan.

Mistik mempunyai hubungan yang erat dalam kehidupan sosial

masyarakat. Hal ini dikarenakan, ahli mistik atau seorang datuk dapat mudah

dikenal oleh masyarakat. Akan tetapi seorang Datuk atau ahli mistik, belum tentu

mengenal seluruh masyarakat Melayu Tanjungbalai. Sebenarnya mistik dan

kepercayaan terhadap hal-hal yang ghaib ini adalah usaha untuk menjaga

lingkungan agar masyarakat tidak sembarang menebang pohon.

Pohon merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Akarnya yang kuat

berguna untuk menahan air dan mencegah longsor. Begitu juga dengan batang dan

daunnya dapat menyerap debu, sehingga dengan banyaknya pohon yang

diramatkan akan menjadikan desa tersebut menjadi desa yang asri, bersih dari

volusi udara. Pohon juga berguna sebagai sumber oksigen bagi kehidupan

manusia.

Orang Melayu menyadari bahwa keseluruhan hidupnya bergantung pada

alam semesta. Alam yang tampak nyata selalu berkaitan dengan alam gaib. Daur

kehidupan masyarakat Jawa dipengaruhi oleh ala mini sehingga manusia Jawa

harus tunduk pada kekuatan dan kekuasaan alam semesta. Bila ingin hidupnya

aman dan tentram lahir batin, maka masyarakat Melayu harus menjaga lingkungan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


alam semesta ini. Menjaga keselarasan hidup antara manusia dengan

lingkungannya dan masyarakat dengan dunia.

Penggunaan kata-kata boting Bogak, Siapi-api, Tanjungnapal,

Limaumanis, merujuk kepada nama tempat. kopah, korang, kupang, dan ikan

cengcaru, merujuk nama lauk-pauk yang berasal dari laut. Kedua hal ini

menunjukkan bahwa orang Melayu Tanjungbalai peduli akan lingkungannya.

Bubur sagu, wajik, dan kue putu, merujuk kepada peduli lingkungan terhadap

makanan pokok. Semua bahan baku dari masakan tersebut merupakan bahan

makanan pokok, seperti sagu, beras, pulut, gula merah, dan kelapa. Penggunaan

kata-kata pucuk paoh, delimo batu, dan galenggang, adalah tumbuh-tumbuhan

yang berkhasiat sebagai obat. Pucuk pauh untuk awet muda. Delima batu banyak

mengandung oksidan, baik untuk kesehatan tubuh dan kulit. Daun gelenggang

dapat digunakan sebagai obat panu.

Begitu juga dengan penggunaan peralatan dalam upacara tepung tawar

yang berasal dari alam, yang semuanya itu termasuk dalam pemeliharaan

lingkungan. Ketika tumbuh-tumbuhan tersebut masuk ke dalam perangkat upacara

adat, artinya tumbuhan tersebut harus tetap tumbuh, supaya dapat dipergunakan.

Hal ini menjadi kewajiban bagi orang Melayu untuk melestarikannya, walaupun

tidak dilakukan oleh semua orang Melayu. Begitu juga dengan hidangan yang

disajikan dalam pesta. Bahan bakunya harus tersedia seperti kelapa dan padi yang

juga terdapat dalam sinandong tersebut sebagai komoditi penghasilan utama

masyarakat Melayu Tanjungbalai selain dari hasil laut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam kehidupan orang Melayu, etos kerja mereka telah diwariskan oleh

orang-orang tua secara turun-temurun. Setidaknya masyarakat Melayu dahulu kala

memiliki etos kerja yang lazim disebut semangat kerja yang tinggi yang mampu

mengangkat harkat dan matrabat kaumnya dengan semboyan angin berombus

layar terkombang (angin berhembus layar terkembang). Hal ini dijumpai di dalam

sinandong didong yang mengingatkan kita kepada sejarah bahwa orang Melayu

adalah pelaut yang ulung. Gagah perkasa mengarungi lautan, pantang menyerah

dan putus asa walaupun hujan badai merintangi.

Orang-orang tua mengingatkan bahwa dalam mencari peluang kerja,

jangan memilih-milih. Maksudnya jangan mencari kerja yang senang saja, tidak

mau bekerja berat. Hal itu bukanlah sikap orang Melayu yang ingin maju. Kerja

yang perlu dipilih adalah kerja itu jangan ‗menyalah‘, maksudnya jangan

menyimpang dari ajaran agama dan adat-istiadat.

Keutamaan kerja tercermin pula dalam memilih menantu atau memilih

jodoh. Orang yang belum bekerja, lazimnya dianggap belum mampu

‗menghidupkan anak bininya‘. Orang ini sepanjang dapat dielakkan, tidak akan

dipilih menjadi menantu atau jodoh anaknya. Beberapa contoh di atas memberi

petunjuk betapa orang Melayu sudah menanamkan nilai etos kerja dalam

kehidupan masyarakatnya.

Orang Melayu yang mendasarkan budayanya dalam agama Islam selalu

memandang bahwa bekerja merupakan ibadah, kewajiban dan tanggung jawab.

Bekerja sebagai ibadah merupakan hasil pemahaman orang Melayu terhadap al-

Quran dan Hadist. Selaras dengan itu terdapat beberapa ungkapan tentang etos

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang terdapat dalam sinandong dadong bahwa mereka rela pergi merantau

meninggalkan keluarga demi mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan

keluarganya.

Ungkapan di atas mencerminkan bagaimana utamanya kedudukan kerja

dalam pandangan orang Melayu Tanjungbalai. Orang yang mampu bekerja keras,

dianggap bertanggung jawab, baik terhadap diri dan keluarganya maupun

terhadap masyarakat, agama, adat-istiadat dan norma-norma sosial yang dijadikan

pegangan dan sandaran. Sebaliknya orang yang malas, culas, dan memilih –milih

kerja, disebut bebal dan tidak tahu diri.

Masyarakat Melayu Tanjungbalai mementingkan nilai bekerja

bersungguh-sungguh. Nilai ini juga sebahagian daripada ajaran agama Islam yang

menuntut pekerjaan halal dan kesungguhan bekerja. Mengikut pemikiran ini, hasil

pekerjaan akan menjadi sebahagian daripada darah daging dan juga keluarga.

Apabila melakukan perkerjaan yang haram atau tidak melakukan pekerjaan

dengan sempurna, dan perkara yang tidak baik akan berakibat pada diri sendiri

dan keluarga. Rasulullah SAW menegaskan bahwa Allah SWT amat menyukai

mukmin yang tekun dan teliti dalam menunaikan suatu pekerjaan.

Masyarakat Melayu Tanjungbalai mementingkan perkara yang berkaitan

dengan etika kerja. Hal ini berkaitan dengan etika kerja. Hal ini berkaitan dengan

tata tertib, peraturan, agama dan adat istiadat. Orang tua Melayu menekankan

kepada anak-anaknya supaya berhati-hati dalam bekerja dan mengambil

keputusan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Mata pencaharian utama masyarakat Melayu Tanjungbalai adalah nelayan.

Hampir seluruh laki-laki yang berada di desa ini menggantungkan hidupnya

dengan hasil laut, meskipun penduduknya mempunyai mata pencaharian

tambahan dengan berladang, buruh, dan jasa. Usaha kaum perempuannya bersifat

industri rumah tangga, seperti membuat jaring ikan dan berjualan di depan rumah.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB VII

MODEL REVITALISASI

7.1 Model Revitalisasi Malam Berinai

Revitalisasi berarti nilai-nilai budaya lokal harus terus diperbaharui,

disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Hal ini berarti bahwa

budaya lokal harus diberi nafas baru dalam menghadapi gelombang pengaruh

kapitalisme dan budaya global. Tradisi lisan telah menjadi korban perubahan dari

budaya global yang berdampak pada keterpurukan dan kepunahan berbagai

warisan budaya lokal. Globalisasi memberi ruang terhadap penciptaan produk-

produk budaya yang universal, sehingga produk-produk budaya lokal akan

terserap di dalamnya.

Globalisasi menjadikan universalitas sebagai tujuan utamanya sehingga

menciptakan hegemonisasi budaya. Kemorosatan budaya lokal juga dipengaruhi

oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat sekarang hanya tampil sebagai

penikmat budaya ketimbang menjadi pelaku aktif, memandang tradisi lisan dari

segi pragmatisme saja. Sikap pragmatis ini lebih jauh lagi memandang bahwa

tradisi lisan ini bukan menjadi bagian dari hidup mereka. Tradisi lisan berfungsi

sebagai alat komunikasi semata dengan mengesampingkan fungsi-fungsi lainnya

yang melekat pada tradisi lisan tersebut.

Sebagai aktivitas kultural yang mengandung aspek estetika dan moral,

tradisi lisan berfungsi berdasarkan atas kemampuan tradisi lisan tersebut dalam

menyebarkan aspek-aspek moral dan etika yang terdapat di dalamnya. Fungsi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


revitalisasi tradisi lisan upacara malam berinai menggambarkan keterkaitan

totalitas fungsi tradisi lisan dengan kehidupan masyarakat. Tradisi memiliki

muatan normatif atau moral, yang merupakan pembentukan karakter pengikat

masyarakat lokal. Tradisi terkait erat dengan proses interpretatif, di mana masa

lalu dan masa sekarang saling terkait serta terhubungkan.

Malam berinai berkaitan erat dengan pemahaman nilai-nilai moral yang

diselenggaran berdasarkan aturan-aturan yang bersumber dari ajaran-ajaran adat

masyarakat setempat, terkait dengan struktur dan dinamika sosial masyarakat

Melayu. Tradisi ini berfungsi untuk tetap menjaga nilai-nilai yang terkandung

dalam adat istiadat ataupun tradisi yang melekat pada masyarakat.

Upacara malam berinai sebagai produk budaya lokal, fungsi sosial tradisi

lisan ditujukan untuk membangun suasana kebersamaan yang berdampak positif

pada penguatannya ikatan batin di antara sesama anggota masyarakat. Dengan

demikian, bila dikatakan bahwa memudarnya tradisi lisan di masyarakat,

merupakan salah satu indikasi telah memudarnya ikatan sosial diantara mereka,

dan sebaliknya. Perwujudan dari sistem budaya yang melekat pada masyarakat

tradisional dapat menciptakan keseimbangan sosial (social equilibrium), melalui

upaya pengendalian sosial (social control). Pentingnya lembaga-lembaga atau pun

sarana pengendalian sosial, bergantung pada konteks sosiokultur di mana

pengendalian sosial tersebut beroperasi. Efektifitas pengendalian sosial juga

bergantung pada perubahan-perubahan sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat.

Tanjungbalai dengan karakteristik masyarakat dan budayanya yang berbeda

dengan wilayah lain di nusantara, memiliki sturuktur adat yang bertumpu pada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


adat Melayu. Konsep adat ini merupakan kebiasaan yang berlaku secara turun-

temurun yang membentuk atau nilai-nilai yang dilaksanakan oleh masyarakat.

Berdasarkan aturan kultural, norma, dan nilai-nilai tradisional, kehidupan sosial

yang selaras dan harmonis dapat terwujud. Segala aturan yang bersumber dari

nilai-nilai tradisional mampu menjadi perekat dalam membangun ikatan sosial

masyarakat yang tercerai berai dalam alam perubahan yang ditimbulkan oleh

globalisasi.

Tata nilai kehidupan masyarakat tradisional sifatnya mengikat,

bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut masyarakat modern yang

menuntut kompromistis dan kebebasan. Tata nilai ini bertujuan untuk

melestarikan dan memelihara tatanan moral yang kuat pada masyarakat dan

keberadaan kearifan lokal sebagai identitas masyarakat.

Budaya global telah memunculkan sikap yang kompromistis,

individualistik, dan konsumtif. Nilai tradisional, yang mengacu pada tradisi, mulai

tergantikan oleh sistem yang dihasilkan oleh budaya global. Melalui media massa,

perubahan masyarakat yang tanpa arah akan mengancam integritas sosial, sistem

normatif, dan keutuhan identitas lokal. Nilai-nilai tradisi lokal akan semakin jauh

dari masyarakat. Perubahan pola hidup masyarakat tradisional tampak nyata

dalam berbagai aspek kehidupan. Tata nilai yang bersumber dari adat istiadat

tidak lagi mampu membendung terciptanya pola-pola hidup yang dianggapnya

modern. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional akan berubah menjadi

museum hidup (the living museum).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Revitalisasi nilai-nilai budaya lokal merupakan langkah untuk

memberdayakan budaya lokal dalam mengantisipasi tantangan zaman ke arah

kehidupan masyarakat yang lebih baik, dalam arti tidak terikat dengan sifat

ketergantungan pada globalisasi. Makna revitalisasi menunjukan hubungan antara

identitas, inovasi, dan edukasi terhadap pembentukan ketahanan budaya.

Penghargaan terhadap lokalitas akan memberikan ruang bagi pembentukan

identitas lokal. Warisan budaya lokal harus dilihat sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dari masyarakat. Saat ini arus kapitalisme global semakin kuat, maka

saat ini pula dirasakan mengecilnya peranan tradisi lisan di tengah masyarakat. Di

balik proses pengerdilan itu tentunya bahasa dan sastra daerah ikut pula

menyertainya. Tak berlebihan apabila dikemukakan bahwa akan terjadi

pemudaran dan penghilangan seperangkat sistem kebudayaan lokal yang menjadi

identitas masyarakat lokal.

Tradisi lisan sarat dengan norma-norma yang mengatur tata hidup

masyarakat. Proses inovasi harus tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi yang

terdapat didalamnya. Inovasi membuka peluang terhadap pemahaman warisan

tradisi masa lalu yang mampu menjawab persoalan kekinian yang terus berubah

tanpa dapat dihindari. Inovasi ini menuntut perubahan, baik dimanfaatkan yang

lama atau dalam bentuk yang lain, tanpa menghilangkan tipikal tradisi lisan

tersebut. Proses inovasi tradisi lisan harus lebih berkembang dalam rangka

menanamkan sikap positif masyarakat dalam berprilaku. Inovasi dapat pula

memberikan wadah bagi penyaluran nilai-nilai moral dan etika yang dapat

menuntun ke arah yang lebih bermakna. Warisan budaya lokal berupa tradisi lisan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mampu hadir di tengah-tengah masyarakat, sebagai solusi alternatif, dalam

mengatasi persoalan-persoalan pelik yang melanda tanah air. Tradisi lisan terbukti

mampu melintasi zaman dan terbukti mampu memberikan solusi berbagai

persoalan.

Sadar budaya harus ditumbuhkan kembali untuk menanamkan pemahaman

akan pentingnya kedudukan dan fungsi warisan budaya lokal. Kesadaran budaya

yang tinggi dapat menimbulkan pengaruh positif masyarakat dalam menilai

keberadaan warisan budaya yang dimilikinya. Penilaian itu berkaitan dengan

apresiasi, tanggapan ataupun penerimaan warisan budaya sehingga tidak mudah

tergiring oleh gelombang globalisasi. Masyarakat Melayu Tanjungbalai

mengalami perubahan pola hidup dan gaya hidup, yang sudah meninggalkan nilai-

nilai tradisional yang dianut masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak akan lagi

memiliki ketahanan budaya jika tidak mencari solusi alternatif dalam

membendung perubahan zaman yang bergerak sangat dinamis. Ketahanan budaya

dapat tercipta jika masyarakat berperan aktif dalam segala aktivitas kultural.

Ketahanan budaya dapat dirumuskan sebagai rasa memiliki jatidiri dan kekuatan

budaya sendiri, sehingga dengan begitu tidak perlu merasa rendah diri jika

berhadapan dengan kebudayaan lain. Untuk mencapai ketahanan budaya,

diperlukan pengetahuan untuk memahami serta menghayatinya, dan pengetahuan

itu perlu disampaikan dengan sengaja melalui upaya terarah dan terencana.

Dengan membangun ketahanan budaya, masyarakat akan mampu

mempertahankan budayanya sendiri dan merespon berbagai gejolak globalisasi.

Tanpa upaya yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan, masyarakat akan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kehilangan produk budaya lokal yang tak ternilai harganya. Kesadaran budaya

harus ditumbuhkan untuk memberikan apresiasi terhadap budaya-budaya lokal,

yang selanjutnya mengarah pada ketahanan budaya. Hal ini hanya dapat terwujud

melalui revitalisasi budaya-budaya lokal yang berlandaskan pada konteks lokal.

Tradisi malam berinai pada masyarakat Melayu Tanjungbalai sudah mulai

kehilangan pendukungnya seiring dengan berkurangnya kesadaran masyarakat

Melayu Tanjungbalai untuk memakai adat tersebut. Pada masa sebelumnya,

masyarakat adalah pencipta, pelaku, pengguna sekaligus pemilik dari tradisi

tersebut. Masyarakat Melayu Tanjungbalai dengan tulus menyediakan waktu,

tenaga, pikiran dan biaya demi mendukung keberadaan serta pengembangan

tradisi tersebut. Kebutuhan sekaligus dukungan masyarakat terhadap tradisinya

dengan demikian dilandasi oleh rasa cinta, tanggung jawab, rasa memiliki,

dedikasi dan komitmen yang tinggi, termasuk berbagai pengorbanan dalam

berbagai hal, waktu, tenaga, pikiran dan dana. Kesadaran ini harus dibangkitkan

kembali.

Sebagian besar masyarakat Melayu Tanjungbalai sudah meninggalkan adat

tersebut karena alasan biaya yang besar. Mereka lebih memilih kepada bentuk

yang ringkas saja dalam melaksanakan upacara adat perkawinan. Untuk

mengaktifkan kembali tradisi malam berinai maka perlu kerja sama antara

pemuka adat, masyarakat Melayu, dan pemerintah untuk mensosialisasikan

bahwa adat Melayu harus dijunjung tinggi dan memungsikan kembali tradisi

malam berinai sebagai wadah untuk bersilaturrahmi bagi pihak keluarga. Untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mengatasi masalah keuangan bisa ditempuh dengan mebuat arisan keluarga

sehingga upacara ini dapat terus berlangsung.

Dalam hal pengelolaan yang perlu mendapat perhatian untuk direvitalisasi

adalah pewara. Dari dua penyelenggaraan malam berinai ini, pewaranya hanya

satu orang saja. Jadi, perlu dilatih generasi mudah untuk menjadi pewarah dalam

acara tersebut. Kemudian, dari segi waktu. Acara ini dimulai terlalu lama

sehingga menyita waktu bagi tuan rumah, sehingga pada keesokan harinya tuan

rumah dan pengantin terlihat lelah dan bahkan ada yang jatuh sakit. Pengelolah

juga harus mempromosikan tradisi malam berinai ini. Hal ini tentu saja harus

bekerja sama dengan Pemda setempat. Pemerintah harus memberikan fasilitas

kepada pengelolah agar tradisi ini dapat terus berlangsung.

Sedangkan untuk model pewarisannya adalah menyederhanakan upacara

malam berinai ini. Penyederhanaannya ini berupa mempersingkat waktu

pelaksanaan. Biasanya pelaksanaannya sampai menjelang fajar, sekarang

pelaksanaannya hanya sampai pukul 1. 00 WIB saja. Acara yang disederhanakan

biasanya adalah kasidah dan nandong. Kasidah dilagukan sebanyak empat atau

lima buah dengan irama Sikkah dan Hijas, kemudian disambung dengan nandong

sebanyak empat atau lima sinandong. Sinandong tersebut biasanya dimulai

dengan Sinandong Mengonang Naseb dan diakhiri dengan Sinandong Hiburan.

Penyederhanaan acara juga bisa dilakukan dengan tidak menampilkan

kasidah. Jadi, setelah pembacaan doa, maka acara dilangsungkan dengan hiburan

yaitu nandong dan diselingi beberapa tarian. Jika waktu sudah menjelang malam,

maka tarian juga bisa ditiadakan. Untuk teknis penyederhanaan ini, tidak ada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


aturan yang mana yang harus disederhanakan. Jadi, tergantung kepada tuan

rumah, mana yang ingin tampilkan. Pada kasus malam berinai di rumah Fida,

yang disederhanakan adalah kasidah. Mereka lebih fokus kepada sinandong dan

tari. Sedangkan pada upacara malam berinai di rumah Liza, yang disederhanakan

adalah tari dan nandong. Mereka hanya menari Tari Gubang saja dan group

kasidah menyanyikan sinandong sebanyak lima buah.

Inventarisasi tradisi malam berinai berhubungan dengan pencatatan atau

pengumpulan data tentang kegiatan malam berinai. Sedangkan publikasi adalah

membuat konten yang diperuntukkan bagi publik atau umum. Publikasi juga

berhubungan dengan hak cipta bagi masyarakat penciptanya yang merupakan hak

ekslusif yang diberikan untuk mempublikasikan hasil karyanya. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut ini,

Model Revitalisasi Malam


Berinai

Mengaktifkan Mengelolah Mewariskan

- Mensosialisasikan - Mengelolah waktu - Menyederhanakan


budaya adat Melayu - Pelatihan untuk upacara malam
- Memungsikan pewara berinai
kembali malam - Mempromosikan - Menginventarisasi
berinai sebagai ajang kepada masyarakat - Publikasi
untuk bersilaturrahmi
- Membentuk arisan
keluarga

Bagan 7.1 Model Revitalisasi Tradisi Malam Berinai pada Masyarakat


Melayu Tanjungbalai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7.2 Model Revitalisasi Sinandong

Keprihatinan terhadap kehidupan seni tradisional semakin hari semakin

meredup telah menggugah hasrat dari berbagai pihak untuk melakukan kegiatan

revitalisasi kesenian. Kegiatan tersebut telah menghabiskan tenaga, waktu,

pemikiran dan dana yang luar biasa. Beberapa diantaranya berhasil, namun

sebagian besar kegiatan revitalisasi belum menujukkan hasil yang memuaskan.

Masalah revitalisasi kesenian memang bukan masalah yang sederhana.

Ketersediaan fasilitas dan dana yang melimpah belum menjamin keberhasilan dari

usaha revitalisasi. Masalah kehidupan kesenian, termasuk kesenian tradisi

memang kompleks.

Masalah kesenian bukan semata mata masalah estetik belaka, tetapi juga

masalah yang lebih luas menyangkut masalah sosial, budaya, dan yang lainnya.

Kehidupan kesenian sangat tergantung pada masyarakat dan lingkungannya.

Ketika situasi dan kondisi masyarakat dan lingkungannya berubah dari waktu ke

waktu, kehidupan kesenian kemungkinan besar juga mengalami perubahan seiring

dengan perubahan masyarakat dan lingkungannya. Berikut ini adalah hanya salah

satu contoh kasus perubahan sosial tersebut, yang dampaknya cukup besar

terhadap perkembangan kehidupan kesenian tradisional.

Mulai beberapa dekade belakangan ini, pola hidup masyarakat desa

mengalami perubahan yang signifikan sehubungan dengan adanya perubahan

disain hunian dan lingkungan mereka. Perubahan pola hidup tersebut antara lain

dapat dilihat pada perubahan pola kehidupan kampung yang bergeser ke pola

kehidupan perumnas, real estate, dan apartemen. Selain konsep ruang yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


berubah yang relatif menjadi lebih sempit dan tertutup, juga penduduknya menjadi

semakin heterogen, baik dilihat dari asal etnik, daerah, pendidikan, pekerjaan dan

tingkat kemampuan ekonomi mereka. Kebutuhan, kepentingan dan selera mereka

juga sangat bervariasi.

Sungguh suatu kondisi yang kurang menguntungkan bagi kehidupan

kesenian tradisional yang biasanya didukung oleh masyarakat yang relatif

homogen, masyarakat yang memiliki kepentingan dan kebutuhan yang sama.

Pencukupan kebutuhan dan kepentingan tersebut dilakoni bersama dengan cara

bekerja sama. Kesenian tradisional hadir dan diperlukan dalam hampir setiap

kegiatan, pekerjaan dan untuk kepentingan mereka. seperti: bekerja, bersyukur,

beragama, bersenang senang maupun dalam duka (sakit atau bahkan mati). Bukan

satu hal yang baru bahwa masyarakat menjadi lebih individual, dalam bermain,

bekerja maupun dalam memilih hiburan atau kesenian.

Dalam persaingan global seperti sekarang ini, kesenian yang memiliki

akses yang lebih baik pada masyarakat, cenderung untuk mendapat kesempatan

lebih baik untuk dikenal, dikonsumsi dan pada gilirannya bahkan mendominasi

kesenian yang lain. Kesenian yang memiliki akses yang baik adalah kesenian

yang mengusai atau yang dikuasai media dan atau industri. Kesenian jenis ini aktif

mendatangi rumah-rumah bahkan kamar-kamar lewat radio, televisi maupun

produk industri rekaman. Selera masyarakat dibentuk oleh industri dengan

berbagai cara: sistem bintang, gosip seniman, sms, kuis berhadiah, dan

sebagainya. Tidak penting apakah kesenian tersebut berguna bagi masyarakat

tertentu atau tidak. Kesenian yang tidak masuk dalam selera produser industri sulit

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mendapat tempat di pasar. Terjadilah jarak antara kesenian tradisi dengan

masyaratnya yang baru. Kesenian tradisi dalam bentuknya yang ―asli‖ semakin

kehilangan masyarakat yang mendukungnya.

Suatu jenis kesenian ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya karena

lebarnya jarak atau kesenjangan antara kesenian dengan masyarakatnya. Jarak

tersebut menurut Rahayu Supanggah (http://tradisilisan.blogspot.co.id/2008/04/)

meliputi :

a. Jarak fisik. Seperti telah disebut sebelumnya bahwa sekarang ini terdapat

perubahan paradigma dalam cara menikmati, menonton atau

mendengarkan kesenian. Sekarang ini kesenian cenderung mendatangai

konsumennya, penonton atau pendengar (sampai masuk ke dalam kamar,

kekantor kantor atau di mana saja konsumen berada, lewat mesin berjalan

dalam bentuk cd/dvd/audio walkman, maupun lewat media cetak dan atau

elektronik. Hal yang berbeda dengan cara menikmati kesenian pada masa

sebelumnya yang penonton/pendengar mesti datang ke tempat

diselenggarakannya pertunjukan atau pameran kesenian dengan atau tanpa

membayar tiket. Harus diakui bahwa sampai saat ini masih susah didapati

rekaman audio visual tentang kesenian tradisi yang tersedia di pasar

maupun yang ada di perpustakaan dan dokumentasi audio visual.

b. Jarak intelektual. Walaupun kesenian pada dasarnya multi interpretasi,

artinya, orang boleh memberi tafsir yang berbeda antara satu orang dengan

orang yang lain. Atau dalam pengertian yang lebih ekstrem orang tidak

perlu mengerti atau memahami dalam menonton/ mendengarkan karya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


seni, tetapi lebih pada merasakan, menikmati atau menghayati suatu karya

seni. Namun perlu dicatat juga bahwa semakin baik pemahaman seseorang

terhadap suatu ekspresi seni, ia akan dapat menghayati suatu kesenian

dengan lebih baik pula. Kesenian pada dasarnya merupakan sarana

komunikasi antara seniman dan penghayatnya. Terdapat beberapa bahasa

atau idiom tertentu yang digunakan oleh seniman untuk menyampaikan

pesan kepada khalayaknya. Kemampuan intelektual dalam kadar dan

bentuk tertentu dari kedua belah pihak, terutama pada pihak seniman

sangat penting dalam menciptakan dan atau menjembatani komunikasi

antara kedua belah pihak. Untuk seniman, terutama pencipta, kemampuan

intelektual sangat menunjang dalam kreativitas kekaryaannya.

Perkembangan jaman yang cepat seperti yang terjadi sekarang ini, dimana

ilmu pengetahuan dan teknologi sangat besar peran dan pengaruhnya

terhadap dunia kesenian, baik untuk menunjang bentuk dan kualitas

kekaryaan, juga dalam rangka pengambangan kesenian. Teknologi

pencahayaan, set maupun tata suara merupakan salah satu contoh

kebutuhan yang hampir tidak dapat dipisahkan dalam penyajian penyajian

kesenian. Sedangkan diseminasi, alih kemampuan dan ketrampilan,

sosialisasi, publikasi, dokumentasi, pemasaran kesenian dan sebagainya,

bantuan produk teknologi jelas sangat dibutuhkan. Sayangnya, kenyataan

menunjukkan bahwa sebagian terbesar dari pendukung kesenian

tradisional di Indonesia pada umumnya memiliki latar belakang

pendidikan yang tidak terlalu tinggi. Meskipun belum ada hasil penelitian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang menyebut adanya korelasi sejajar atau seiring, bahwa tingkat

pendidikan seseorang selalu mencerminkan tingkat intelektualitas

seseorang. Namun tidak dipungkiri bahwa pendidikan sangat besar

perannya dalam mengasah kemampuan intelektual dari seseorang. Dengan

bekal pengetahuan yang lebih tinggi dan atau luas, seseorang juga

berepotensi untuk lebih cerdas dalam menggunakan berbagai cara dalam

memberi, menerima dan mengelola (me-manage) informasi.

c. Jarak informasi. Ketika kita berada dalam abad informasi, siapa yang

paling menguasai informasi, mereka pulalah yang paling potensial untuk

menguasai dunia. Sayangnya lagi, masyarakat kesenian tradisional masih

jauh dari menguasai teknologi informasi dan komunikasi disebabkan oleh

tingkat pendidikannya. Sebagian besar dari mereka masih gagap teknologi

komunikasi dan informasi. Sebagian besar dari mereka menggunakan

komunikasi lisan dalam memberikan atau menerima informasi. Sedangkan

ajang pertukaran informasi, termasuk mengenai informasi tentang

kesenian itu sendiri, seperti pasar tradisional, upacara, hajatan dan

berbagai pertemuan keluarga atau masyarakat, saat ini juga semakin surut.

Supermarket, EO (event organiser) telah mengambil alih kerepotan

hajatan atau kerja kebersamaan antaranggota masyarakat dalam

menyiapkan dan menyelenggarakan hajatan. Demikian pula acara kumpul

kumpul bareng. Hajatan keluarga saat ini juga cenderung makin ringkas,

praktis dan pendek. kesempatan tukar informasi antar anggota masyarakat

dengan demikin menjadi semakin menyempit. Media masa, tulis maupun

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


elektronis, juga tidak berpihak kepada kesenian tradisonal karena dianggap

tidak memiliki nilai jual, sehingga masyarakat pada umumnya kurang

mendapat informasi yang baik dan benar tentang kesenian tradisi.

Sebaliknya informasi tentang dunia seni pop atau hiburan justru sangat

berlebihan.

d. Jarak emosional. Tak kenal maka tak sayang. Ungkapan itu berlaku juga

dalam kaitannya dengan kehidupan seni tradional. Kesenjangan informasi

tentang dunia kesenian tradisi, menjadikan masyarakat semakin tidak tahu

tentang kesenian tradisional. Apalagi secara natural, kekuatan kesenian ini

bukan semata mata pada ujud fisiknya saja yang menarik atau indah,

namun lebih pada makna yang terkandung pada kesenian yang

bersangkutan serta guna dan manfaatnya bagi masyarakat. Beberapa

makna dan guna kesenian itu antara lain dapat disebut bahwa kesenian

bermanfaat sebagai perekat kehidupan masyarakat, sarana edukasi moral,

mendekatkan manusia dengan lingkungan serta penciptanya dan

sebagainya.

Komunikasi dalam kesenian sangat penting untuk mendekatkan anggota

masyarakat dengan sesama, dengan lingkungan maupun kepada Sang

Pencipta. Komunikasi kesenian menggunakan bahasa lambang yang

kadang ―hanya‖ berlaku dan dimengerti oleh lingkungan (kelompok)

masyarakat pendukung kesenian ini. Pengertian terhadap pemaknaan

lambang pada kesenian tradisi ini semakin menipis karena pertemuan dan

komunikasi antar anggota keluarga dan masyarakat juga semakin

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


berkurang karena perubahan pola hidup. Diantara anggota keluarga sudah

semakin jarang ketemu karena kesibukan masing-masing disamping tidak

tersedianya forum. Dongeng oleh orang tua untuk menidurkan anak sudah

semakin langka. Kesenjangan pengertian ini sekali lagi menjadikan orang

menjadi kurang sayang, kurang mencintai, kurang memiliki rasa memiliki

(sense of belonging) dan dengan demikian menjadi kurang peduli dan

tanggung jawab untuk memelihara atau mengembangkan kehidupan

kesenian tradisional. Pada masa sebelumnya, masyarakat adalah pencipta,

pelaku, pengguna sekaligus pemilik dari kesenian tradisi. Masyarakat

dengan tulus dan ikhlas, berkenan menyediakan waktu, tenaga, pikiran dan

biaya demi mendukung keberadaan serta pengembangan kesenian mereka.

Kebutuhan sekaligus dukungan masyarakat terhadap keseniannya dengan

demikian dilandasi oleh rasa cinta, tanggung jawab, rasa memiliki,

dedikasi dan komitmen yang tinggi, termasuk berbagai pengorbanan dalam

berbagai hal, waktu, tenaga, pikiran dan dana.

Kesenjangan jarak jarak antara masyarakat dengan beberapa jenis kesenian

yang semakin hari semakin lebar tersebut, sebenarnyalah merupakan salah satu

penyebab pokok mengapa beberapa jenis kesenian menjadi surut bahkan mati.

Dengan demikian, revitalisasi kesenian diharapkan akan berhasil jika, pemerintah,

masyarakat, seniman, sponsor, media dan berbagai pihak lainnya bekerja sama

untuk mempersempit atau mengilimasi jarak-jarak tersebut. Masing masing pihak

bisa mengambil bagian sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Banyak uang

dan fasilitas belum cukup untuk keberhasilan revitalisasi kesenian.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Seniman sebagai pelaku dan pencipta seni dapat mengambil peran yang

cukup besar dalam revitalisasi, terutama melalui kegiatan kreatifnya dengan

melakukan kegiatan-kegiatan reformasi memberi format baru, reinterpretasi

memberi makna baru terhadap kesenian yang sama, serta rekreatifnya, yaitu

menciptakan bentuk kesenian baru berbasis dan atau dengan menggunakan materi

lama dalam genre kesenian yang baru. Bersama dengan pihak lain yang

merupakan partner kerja, saling bekerja sama dengan mengilimasi kesenjangan

jarak tersebut. Dengan membuat kesenian lebih indah dan bermakna, mudah

mudahan kesenian makin memiliki fungsi yang makin luas sehingga lebih

berguna bagi kemaslahatan manusia. Kesenian selain memberi hiburan lahiriah

dan batiniah, ia juga mampu memberi kebanggaan terhadap masyarakat atau

bangsa yang menghidupinya, karena ia memang mampu merefleksikan sifat

masyarakat tertentu dalam bentuk sebuah kemasan seni yang artistik dan bermutu.

Melihat kesenjangan masyarakat terhadap kesenian tradisional seperti itu,

berbagai pihak sekarang ini semakin tergerak hatinya untuk melakukan revitalisasi

terhadap kehidupan kesenian kesenian yang dianggap kehidupannya dalam

keadaan bahaya. Kesenian yang mulai ―kehilangan‖ masyarakatnya karena

kesenian tersebut telah kehilangan fungsinya di masyarakat.

Pada masa lalu tradisi lisan, seperti Sinandong Asahan, masih punya

penggemar karena tidak ada alternatif hiburan lain. Sekarang dengan

perkembangan teknologi, Sinandong Asahan jadi tidak laku. Nilai-nilai masa kini

adalah dinamis. Nilai masa lalu yang ada pada Sinandong Asahan berubah.

Sinandong Asahan hanya bisa dihidupkan melalui revitalisasi. Caranya,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


memperkenalkan sinandong ini kepada masyarakat dengan membuat festifal

sinandong. Membuat group sinandong yang terdiri dari personil muda mudi.

Kemudian, membuat group sinandong yang lebih modern sehingga disukai oleh

masyarakat umum. Pembelajaran sinandong di sekolah sebagai muatan lokal, juga

bisa dipakai sebagai sarana revitalisasi senadung, tentu saja dengan dukungan

Pemda setempat.

Selain itu, ada satu model revitalisasi yang menurut peneliti efektif untuk

dikembangkan. Model ini peneliti namakan ―campur sari‖. ―Campur sari‖

bermakna bahwa dalam pementasan keyboard atau kasidah sebagai hiburan di

dalam pesta perkawinan ataupun hajatan lainnya, syair-syair sinandong dapat

disisipkan. Dengan demikian sinandong ini tetap masih dikenal oleh masyarakat

walaupun sifatnya hanya sebagai hiburan. Adapun syair-syair sinadong yang

dapat disisipkan dalam pementasan tersebut adalah sinandong mengonang naseb,

sinandong hiburan, didong, dadong, dan sinandong muda-mudi.

Revitalisasi tidak hanya menyangkut dipentaskannya kembali Sinandong

Asahan dalam berbagai festival, tetapi juga harus menyentuh aspek bagaimana

mengemas kembali Sinandong Asahan tersebut dalam format yang lebih atraktif

sehingga layak untuk bersaing dengan berbagai budaya populer saat ini.

Dari sudut pandang kebudayaan, tradisi lisan sebagai salah satu unsur

kebudayaan, akan berubah, bahkan unsur yang paling mudah berubah

(koentjaraningrat: 1991). Dalam perubahan ini sangat mungkin ada genre yasng

tidak mampu mengikuti perubahan itu lalu pudar dan punah. Akan tetapi ada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


genre yang terus dapat hidup, yaitu genre yang mempunyai ruang untuk

menyesuaikan diri dengan rentak kehidupan jaman.

Sejak penghujung abad ke-20, ada kesadaran menghidupkan kembali

kesenian tradisional dengan cara memeperkenalkannya kepada anak-anak. Ketika

itu diketengahkan istilah lestari, melestarikan, dan dilestarikan. Artinya, kesenian-

kesenian daerah itu, sebagai budaya bangsa harus dilestarikan, dipelihara, dan

dihiupkan selalu. Dalam perkembangannya, pelestarian kerap bermakna

memelihara dalam keadaan asalnya. Kemudian timbul gagasan revitalisasi.

Kebudayaan lama dan tradisi lisan direvitalisasi, dihidupkan, dipertunjukkan,

diberi nuansa baru yang sesuai dengan kehidupan jamannya, dibawa ke pestival,

diajarkan di sekolah atau di lembaga-lembaga pelatihan seni, dijelaskan dan

disosialisasikan kepada publik. Pelestarian ataupun revitalisasi membuat tradisi

lisan tetap ada, dikenal oleh masyarakat, bahkan pada suasana dan era pariwisata

ini, sinandong dikenal oleh kalangan yang lebih luas. Demikianlah tradisi lisan

dilihat dan disaksikan oleh orang dari luar khalayak asalnya.

Satu fenomena yang harus diapresiasi adalah upaya seniman modern untuk

membawa tradisi lisan ke dalam dunia modern, yaitu sinandong diarasemen

dengan musik modern lalu dibawakan kepada khalayak masa kini. Ini adalah salah

satu cara menghadapi tantangan yang datang terhadap sastra lisan. Kemasannya,

baik dalam bentuk kaset atau cd adalah masalah teknis. Masalah prinsipnya adalah

membawakan kesenian tradisi, kepada khalayak masa kini melanjutkan

keberadaan sastra lisan, senantiasa memelihara, dan mencari khalayak sastra itu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Berbagai kegiatan revitalisasi kesenian sinandong dapat dilakukan antara

lain dalam bentuk :

1. Refungsionalisasi, yaitu menambah, mengembangkan, mengganti atau

memberi fungsi yang baru terhadap kesenian yang direvitalisi, sehubungan

dengan aktivitas lama yang biasanya menggunakan jasa kesenian yang

dimaksud, sudah tidak eksis atau tidak berlangsung lagi. Refungsionalisai

yang sering dilakukan adalah mengembangkan, menambah atau mengubah

fungsinya yang lama dengan fungsinya yang baru. Contoh seperti kesenian

yang dulunya digunakan sebagai bagian dari kegiatan upacara, nyanyian

untuk kerja, kemudian ditambah atau berubah menjadi seni pertunjukan,

komoditas ekonomi atau pariwisata, sarana hiburan dan atau memenuhi

fungsi terapan lainnya seperti sebagai alat promosi suatu produk dan atau

kampanye suatu program atau tujuan lain dari suatu lembaga tertentu.

2. Representasi, artinya menyajikan kembali, baik dalam frekuensi maupun dalam

ujud, forum atau konteks yang bervariasi. Sebagai contoh adalah peristiwa

festival kesenian yang sampai saat ini diselenggarakan dimana-mana dengan

mementaskan beberapa jenis seni rakyat maupun tradisional. Dengan

diadakannya festival, sinandong bisa tetap lestari.

3. Reformasi, yaitu perubahan format atau bentuk penyajian kesenian dari yang

lama ke bentuknya yang baru, yang dianggap sesuai dengan kebutuhan, selera,

waktu dan tempatnya yang baru. Isi, makna dan massage/pesan yang ingin

disampaikan oleh kesenian yang direformasi kemungkinan bisa juga berubah.

Pemahaman tentang esensi dari suatu kesenian tetap menjadi hal yang sangat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


penting sehingga dalam melakukan reformasi tidak menjadikan sebuah

kesenian kehilangan maknanya. Selain tetap menggunakan vokabuler dan

kekayaan lama, koreografer juga memperluas, memperkaya karyanya dengan

menggunakan unsure-unsur budaya baru, ciptaan baru maupun yang

―dipinjam‖ dari budaya luar, sehingga tercipta bentuknya yang baru.

4. Reinterpretasi, upaya lain yang diperlukan adalah menjadikan sinandong

menjadi salah satu topik pembicaraan di sekolah dengan cara melihat

pertunjukannya. Anak-anak sekolah adalah generasi masa depan bangsa.

Mereka perlu tahu apa yang mereka miliki sebagai bangsa yang memiliki

sejarah kebudayaan, sehingga jika menjadi wakil negara ini berhadapan dengan

wakil negara lain, ia dapat menjelaskan apa yang dimiliki dan apa yang datang

dari luar.

Jadi, untuk kebertahannya, ada upaya ataupun ruang dari dalam sinandong itu

sendiri untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman dan upaya dari

luar tradisi tersebut, misalnya upaca dari seniman modern di daerahnya, upaya

dan dukungan pemerintah, dan lembaga-lembaga yang mengelolah

kebudayaan.

5. Reorientasi. Kesenian tradisional kehadirannya hampir selalu tidak mandiri,

namun hampir selalu terkait dengan kegiatan keseharian masyarakat,

keagamaan atau kerajaan. Pemerintah adalah patron utama. Ketika

pemerintahan bergeser dari monarki ke republik, orientasi kesenianpun

bergeser mengarah patronnya yang baru. Ketika ekonomi dan industri menjadi

patron baru dari kesenian, tak pelak kesenian juga akan berorientasi kesana.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Orientasi kesenian tersebut tersirat dalam pesan-pesan yang disampaikan oleh

seniman seniman melalui kekaryanya. Oleh karena itu, hendaknya sinandong

dijadikan sebagai kesenian negara, artinya setiap ada kegiatan pemerintahan

daerah, sinandong harus dipertunjukkan sebagai ikon Tanjungbalai.

6. Modifikasi, yaitu membuat atau meng-create lagi sesuatu yang (sama sekali)

baru. Kesenian atau informasi lama digunakan sebagai sumber, pijakan atau

titik tolak untuk penciptaan kesenian yang baru, baik dalam format maupun

dalam genre. Idiom ungkap kesenian baru juga sangat dipertimbangkan kalau

bukannya penting untuk diciptakan. Dalam produksi kekaryaan seni, pekerjaan

ini sering disebut sebagai karya yang dibuat base on atau inspired by sesuatu

yang dirujuk sebagai pijakan pembuatan karya seni yang baru. Versi baru (new

version) juga sering digunakan dalam kegiatan re – kreasi kesenian ini.

Kekinian juga dapat dilihat pada instrumen pengiring. Di sini, yang dimaksud

dengan penggunaan istrumen modern, atau pun penggabungan instrumen lain

dari yang secara tradisional digunakan. Sinandong yang selama ini

mengunakan instrumen berupa seruling, gendang, dan biola, tetapi dalam

perkembangan akhir-akhir ini sinandong digabungkan dengan instrumen lain,

seperti keyboard. Seiring dengan hal itu, irama pendendangannya pun

berkembang, tidak lagi sekedar lagu tradisional, tetapi sudah dimodifikasi atau

termodifikasi sesuai dengan melodi instrumennya. Irama yang paling banyak

digunakan adalah irama dangdut. Sementara itu teksnya pun bermacam-

macam, tetapi umumnya tentang kehidupan sehari-hari, merespon keadaan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sosial ekonomi, menyatakan hati yang sedih, atau menyesal tentang keadaan

hari ini. Prinsipnya amanat disampaikan dengan cara bergurau.

Ada kecendrungan bahwa kesenian tradisional tersisih dari kehidupan orang

muda. Alasan yang sering dikemukakan adalah bahwa generasi muda kita

beralih ke kesenian modern dengan beragam alternatif dan dapat diakses

dengan cara yang sangat mudah. Selain itu, sesungguhnya pendidikan tidak

memberi ruang untuk apresisiasi kepada kesenian tradisional.tidak hanya

kesenian, bahkan semangat kebangsaan pun terkesan belum terbangun dengan

baik dalam dunia pendidikan. Hal ini sudah menjadi kegundaan nasional. Jadi,

kalau anak-anak muda jauh dari tradisi petrtamanya, dapat dimengerti.

Khalayak yang menghidupi sastra lama biasanya dalah masyarakat pertama

sastra itu, artinya orang masih hidup di kampung pertama kesenian itu. Paling

tidak, secara historis pernah menikmati sastra itu. Sebagain besar mereka sudah

tua, sebagian yang lain orang muda.akan tetapi yang perlu diingat adalah ketika

suatu genre kesenian disesuaikan dengan kekinian masyarakatnya, tidak berarti

bentuk yang lama atau yang asli hilang. Bentuk yang lama tetap ada

khalayaknya, ada senimannya, dan hidup berdampingan dengan yang baru.

Kekinian dalam seandung dapat dipandang dari sudut yang lain atau dengan

cara yang lain, yaitu bahwa hal ini merupakan upaya untuk mempertahankan

sastra lisan, sastra yang tradisional, tradisinya orang kampung. Di pihak lain,

adalah realitas bahwa sekarang demikian banyak hiburan alternatif dan mudah

diakses di mana saja, disertai dengan berbagai artis dengan berbagai gaya. Hal

ini menjadi pedoman gaya (role model) dan mejadi identitas kemoderenan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Itulah kondisi yang harus dilawan oleh seniman tradisional. Keadaan seperti ini

hampir menjadi pada sdetiap genre sastra lisan di tiap daerah.

Langkah langkah yang disebut diatas merupakan sesuatu yang dapat dan

biasa dilakukan oleh berbagai pihak yang melakukan revitalisasi: lembaga

pemerintah, swasta, juga seniman baik praktisi maupun pencipta. satu hal yang

lebih penting, yaitu belum banyak pihak yang melakukan diagnosa penyebab

kesenian tertentu menjadi sakit.

Masyarakat, terutama kamu muda, harus dikenalkan kembali dengan

khasanah tradisi lisan. Dalam berbagai kegiatan pribadi maupun publik, tradisi

lisan sudah harus kembali ditampilkan, walaupun mungkin untuk tahap awal

hanya merupakan selingan. Dengan berbagai modifikasi dan pelatihan yang

memadai, tradisi lisan masih bisa berharap untuk eksis di tengah masyarakat.

Masyarakat sesungguhnya masih memiliki memori tentang masa lalu mereka.

Namun, karena kesibukan dan perubahan zaman, masyarakat menjadi abai dengan

warisan leluhur yang sesungguhnya memiliki begitu banyak ajaran moral dan

tuntunan kehidupan. Dekadensi moral seperti saat ini, salah satunya disebabkan

karena masyarakat sudah ‖kehilangan‖ nilai-nilai moral yang harus mereka anut.

Tradisi lisan dengan kearifan lokalnya dapat menjadi penawar dahaga di tengah

lautan kehidupan yang semakin gersang seperti saat ini.

Secara sederhana model revitalisasi kearifan lokal tersebut dapat dilihat

pada bagan di bawah ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sinandong

Pelestarian Tradisi
Sinandong:
1. Refungsionalisasi
2. Representasi
3. Reformasi
4. Reinterpretasi
5. Reorientasi
6. Modifikasi

Lisan Praktik tradisi

1. Sanggar 1. Acara Perkawinan


2. Balai Adat 2. Acara Khitanan
3. Sekolah 3. Pesta Budaya
4. Festival

Bagan 7.2 Model Revitalisasi Sinandong pada Masyarakat Melayu


Tanjungbalai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB VIII

CITRA ARKETIPE DALAM SINANDONG ASAHAN

8.1 Analisis Bentuk Sinandong

Didong adalah ikon dari syair nelayan. Pada awanya syair ini digunakan

oleh para nelayan yang pergi ke laut untuk menangkap ikan. Mereka melagukan

syair ini untuk menghibur hati. Menurut mitos, didong ini adalah asal mula atau

nenek moyangnya sinandong. Menurut kisah, ada tiga orang nelayan yang sedang

menangkap ikan ke laut. Perahu mereka terombang-ambing oleh angin kencang

yang tiada mengenal belas-kasihan terhadap sang nelayan yang hampir kehabisan

bekal. Dari kejauhan terdengar suara berisik, dahan kayu yang bergerak dipukul

angin dan suara air yang tak henti-hentinya berdebur di timba ruang perahu.

Dengan rasa kecut, mereka berpikir tidak akan sampai lagi ke laut. Kalaulah

diteruskan mereka akan mati kelaparan.

Di dalam rasa gundah-gulana mencekam diri mereka, Si Haluan duduk

memegang bagese (seruling yang dibuat yang dibuat dari bambu). Ia mulai

meniup bangsinya, menirukan suara angin dan suara gesekan kayu dari kejauhan.

(Kata "bagese" akhirnya berubah menjadi bangsi) sedangkan si Timba Ruang

terus saja menimba air yang hampir saja memenuhi sampan itu. Seorang lagi yang

duduk di buritan mulai putus asa karena kemudi sampan itu hampir-hampir tidak

dapat lagi dikendalikannya. Tiba-tiba angin kencang itu mulai reda dan berhenti

berhembus. Mereka terkatung-katung dibuai oleh ombak yang sekali-sekali

mengangkat sampan mereka itu setinggi-tingginya dan menghempas kembali

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dengan tiada ampunnya. Si Buritan memekik sekuat-kuatnya memanggil dan

memuja angin meminta pertolongan. Lagu ini akhirnya dinamai lagu Didong

seperti contoh berikut ini:

Ooooooooooiiiiiii oooooooooooooiiiiiiiiiiii

Bertelur kau sinangin

Bertelur sepanjang pantai

Berhombuslah kau angin

Supaya lokas kami sampai

Sekonyong-konyong angin mulai berhembus dan mereka mulai

mengembangkan layarnya untuk kembali ke darat. Oleh sebab itu, lagu Didong

merupakan ikon dari lagu memanggil angin.

Ditinjau dari pemilihan kata yang terlihat dalam lirik didong di atas

dapat dilihat bahwa didong ini mengambil bentuk dari pantun yang bersajak abab.

Dua baris pertama merupakan sampiran dan dua baris berikutnya merupakan isi.

Jika diringkaskan maka sinandong ini alan terlihat seperti pantun berikut,

Betolurlah kau senangin


Betolurlah sepanjang pantei
Berombuslah kau angin.
Supayo copat kamilah sampei.

Sayang si bacong si dua bacong ala kunun oooooiiii


Bacong tecacak di haluan
Bagailah mano ondak masuk anak bayo oooooiiii
Musuh tepacak di tanjung puan.

Bukanlah bacong sembarang bacong

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Ka ka pariuk di ranting kayu
Bukanlah datang sembarang datang
Datang menghibur penganten baru
Kata kunun, baya, nandong, sinandong Asahan, merupakan simbol yang

menjadi ciri khas dalam bahasa Melayu Tanjungbalai dan sekitarnya10. Di sini

jelas terlihat bahwa yang menciptakan syair ini adalah orang Melayu Tanjungbalai

dan sekitarnya. Begitu juga dengan kata anak bayo, intan payung, sayang, cek,

tuan merupakan kata sapaan dan penghormatan bagi orang yang disayangi atau

dituakan dan kata tersebut hanya dijumpai dalam masyarakat Melayu

Tanjungbalai.

Kata-kata yang digunakan dalam didong ini, pada umumnya sama dengan

kata-kata yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun demikian,

penciptanya sadar bahwa penggunaan dan penempatan kata-kata dalam didong

tersebut dilakukan secara hati-hati dan teliti. Kata yang dipilih mampu

mengemban fungsi yang diharapkan oeh pendengar. Penggunaan kata-kata seperti

nelayan, senangin, pantai, tanjung, laut, ikan, angin timur, angin selatan, angin

barat daya, mempunyai hubungan dengan kelautan yang ikon dari didong.

Penyair mempertimbangkan efek yang ditimbulkan oleh kata tersebut.

Kata-kata yang digunakan dalam perpuisian biasanya cenderung

bergantung pada makna konotasi. Nilai kata konotasi justru lebih banyak memberi

efek bagi para penikmat. Namun, di dalam didong ini tidak ditemukan kata-kata

konotatif. Walaupun kata-kata yang digunakan dalam sinandong ini mengandung

makna denotatif, tetapi tidak mengurangi keindahan dalam sinandong tersebut.

10
Termasuk etnis Melayu Batubara, Asahan, dan Labuhanbatu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Keindahan didong ini lebih terarah kepada bentuk pantunnya yang mengutamakan

persajakan.

Kata-kata dedotatif dapat dilihat dalam tabel berikut:

No Kata Detotasi Makna

1. Betolur Bertelur

2. Senangin Sejenis ikan laut

3. Bacong Bendera pengenal yang ditancapkan di


haluan kapal.
4. Pulak Pula

5. Cek Singkatan dari ―incek‖, sebutan untuk

paman

6. Kunun kata khas Melayu

7. Supayo Supaya

8. Sekorat Sekerat, sepotong

9. Kaen Kain

10. Tompat Tempat

11. Nangko Nangka (jenis buah)

12. Ditutuh Ditetak

13. Ditobang Ditebang

14. Tepacak Berdiri

15. Mengarang Mengarungi

16. Ambek Ambil

Tabel 8.1: Kata-kata Denotatif dalam Teks Sinandong

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Masalah lain yang menyangkut tentang pemanfaatan bahasa dalam didong

ini adalah masalah pengimajian. Pada dasarnya masalah pengimajian atau

pencitraan merupakan masalah diksi juga. Pengimajian berkaitan dengan

pemilihan kata-kata untuk mewujudkan khayalan agar makna abstrak dalam

didong menjadi konkret dan cermat. Dengan kata lain, melalui didong

menuangkan imajinasinya dengan meilih kata-kata yang mendukung. Berbagai

cara digunakan penyair untuk membangkitkan daya bayang pendengar. Salah satu

caranya adalah dengan menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti.

Imajinasi disebut juga dengan daya bayang, daya fantasi, daya khayal,

tetapi bukanlah hayalan atau lamunan. Imajinasi tetap berpangkal dari kenyataan

dan pengalaman. Imajinasi dilakukan penyair untuk membangkitkan perasaan dan

kegairahan penikmat dalam menghayati sesuatu. Sehingga, penikmat seakan-akan

melihat, mendengar, merasakan yang terdapat dalam didong. Salah satu usaha

untuk memenuhi keinginan tersebut ialah dengan pemilihan serta penggunaan

kata-kata yang tepat dalam karya mereka. Kata-kata itu harus dapat memperkuat

serta memperjelas daya bayangpikiran manusia dan dapat mendorong imajinasi

untuk menjelmakan gambaran yang nyata.

Imajinasi tidaklah sama persis dengan realita yang sesungguhnya dan

tidaklah sama pada setiap orang dalam mengimajinasikan sesuatu. Dalam kaitan

ini, Semi (1988: 96) menegaskan,

Harus diakui bahwa angan itu tidak sama tepatnya dengan isi ujaran dalam
kata. Karena angan itu bersifat abstrak maka ia hanya dapat diketahui
wujud konkretnya oleh yang bersangkutan saja. Hanya dengan
melahirkannya dalam bentuk tanda –dalam hal ini bahasa- angan itu akan
dapat diketahui oleh orang lain, tetapi tanda itu sendiri tidak persis sama
dengan uyang ditandainya. Dekatnya hubungan antara sesuatu yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dikhayalkan dengan konkrisasinya bergantung kepada kemampuan
pengarang mengkonkritkan apa yang dikhayalkan dan dirasakannya.
Mengkonkritkan apa yang dihayalkan itulah yang dinamakan imajinasi.

Dari uraian di atas, maka pengimajian dapat didefenisikan sebagai kata

atau susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris seperti

penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Dalam dunia perpuisian dikenal beberapa

macam imajinasi, seperti imajinasi visuil, imajinasi auditory, imajinasi olfaktory,

imajinasi gustatory, imajinasi artikulatory, imajinasi factual, imajinasi kinaestetik,

dan imajinasi organik (Situmorang, 1983: 20-21)

Imajinasi visuil adalah imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti

melihat sendiri yang dikemukakan oleh penyair. Bait atau baris puisi itu seolah-

olah merupakan benda yang nampak dan bergerak-gerak. Pengimajian ini ditandai

dengan gambaran atas bayangan konkret yang dapat dihayati secara nyata. Dalam

didong ini didukung oleh:

Supayo kami copatlah sampai


Bacong tecacak di haluan
Musuh tepacak di tanjung puan.
Ka ka pariuk di ranting kayu
Nyiur melambai di topi pantai
Tampak nelayan bekayuh santai
Anak nelayan di ujung tanjung
Menunjukkan budi budaya Asahan
Menunjukkan budi budaya asli
Dahan nangko jangan ditutuh tuan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Imajinasi auditory adalah imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti

mendengar yang dikemukakan oleh penyair. Pendengar sinandong ini seolah-olah

mendengar bunyi angin berhembus dan orang bernyanyi. Ini dapat dilhat pada

kutipan didong berikut:

Berombuslah kau angin

Angin bertiup

angin melambai

menghibur penganten baru


Kami nyanyikan lagu sinandong

Imajinasi organik adalah imajinasi badan yang menyebabkan seperti

melihat atau merasakan badan cape, lesu, loyo, senang, sakit, lapar, kecewa, dan

lain-lain. Hal ini dapat ditemukan dalam didong, yaitu seseorang yang merasa

gelisah dan riang, seperti kutipan didong berikut:

Di masa lalu raso gelisoh

Petani riang turun ke sawah

Imanijasi kinaestetik adalah imajinasi gerakan tubuh atau otot yang

menyebabkan pendengar merasakan atau melihat gerakan otot-otot tubuh. Dalam

didong dapat dlihat petikan berikut:

Datang menghibur penganten baru


Nelayan mengarang ombak dan badai
Ambek sekorat jang sampiran kaen
nelayan bekayuh santai

Mudik ke laot menjalo ikan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kata-kata tidak bermakna (nonsence), yaitu kata-kata yang secara lingual

tidak bermakna. Hal ini muncul karena permainan bunyi untuk memperindah

bentuk dan sebagai ciri khas dalam sinandong. Dalam didong ini ada beberapa

kata yang tidak mempunyai makna leksikal, melainkan hanya kata seru saja.

Beberapa kata itu adalah ooiii, nandung di nandung, didonglah didong, kunun,

baya, jang, ka ka pariuk, gu gu gu gubang, dan amboi.

Didong ini dipergunakan pada prosesi acara malam berinai. Biasanya

diiringi oleh tari gubang. Didong ini mengandung makna bahwa pihak calon

pengantin pria akan datang ke rumah pihak calon pengantin wanita untuk

melaksanakan acara duduk bersanding. Ketika calon pengantin pria datang,

mereka dihadang di depan pintu. Biasanya pihak calon pengantin pria harus

menyediakan uang untuk membuka kunci pintu tersebut. Dalam adat istiadat

Melayu disebut sebagai hempang pintu. Setelah uang diserahkan oleh pihak calon

pengantin pria, barulah hempang pintu itu dilepas dan calon pengantin pria bisa

masuk ke dalam rumah calon pengantin wanita untuk berinai besar. Seperti yang

terdapat pada kutipan didong berikut:

Bagailah mano ondak masuk anak bayo oooooiiii


Musuh tepacak di tanjung puan.
Selain itu, makna untuk menghibur pengantin baru juga muncul dalam

didong ini. Kata-kata ini ditujukan oleh si pesinandong untuk menghibur calon

pengantin baru yang sedang bersanding di pelaminan. Kedua calon pengantin

didudukkan di pelaminan diiringi oleh tari gubang dan sinandong. Di akhir

sinandong dan diakhir tari gubang, para penari akan menginaikan kuku tangan

calon pengantin secara simbolis dengan meletakkan inai di kuku tangan kedua

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


calon pengantin. Untuk merapikan letak inai di jari tangan dan kaki, akan

diakukan setelah prosesi malam berinai besar selesai. Jadi, syair sinandong lebih

ditujukan kepada kedua calon pengantin agar mereka tidak jenuh dan mengantuk

dalam melaksanakan adat berinai besar. Hal ini dapat dilihat pada kutipan didong

berikut:

Bukanlah datang sembarang datang


Datang menghibur penganten baru

8.2 Citra Arketipe

Melalui syair Sinandong Asahan, dapat dilihat citra masa lampau seperti,

kerinduan akan makanan tradisional, dan asal-usul orang Melayu, mrndoakan

orang yang sudah meninggal dunia, dan kampung halaman, seperti bagan berikut

ini,

Citra Arketipe Masyarakat


Melayu Tanjungbalai dalam
Sinandong Asahan

Makanan Asal Usul Mendoakan Orang Kampung


Tradisional Orang Melayu yang Sudah Halaman
Meninggal

Bagan 8.1 Citra Arketipe Masyarakat Melayu Tanjungbalai dalam


Sinandong Asahan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8.2.1 Makanan Tradisional Melayu

Dikaitkan beragam makanan lokal seperti rondang kopah, sombam ikan

cengcaru, bubur sagu, wajik dan kue putu yang termaktub dalam syair di atas,

dapat diduga bahwa sastra warna lokal tidak akan pernah kering dan akan tetap

menjadi model dalam penulisan karya sastra. Penulisan seperti ini, di satu pihak

diperkuat dengan adanya kecenderungan dalam teori kontemporer didalamnya

yang selama ini dianggap sebagai marginal akan memperoleh perhatian. Di pihak

lain pengarang tidak semata-mata dibekali dengan kekuatan imajinasi seperti

pendapat masyarakat pada umumnya, melainkan juga keterampilan dalam

mengumpulkan data dan unsur estetikanya dapat dilakukan secara detail. Disinilah

diharapkan akan terjadi hubungan timbal-balik antara fakta dan fiksi, karya sastra

dengan ilmu pengetahuan, dan antara sastra dengan antropologi. Agama, berbagai

bentuk kepercayaan, adat istiadat, mitologi, takhayul, makanan tradisional,

pakaian tradisional, permainan rakyat, lagu-lagu rakyat, dan sebagainya, adalah

sebagian kecil yang berhasil teradopsi dalam karya sastra.

Masa lampau meskipun sudah berlalu bahkan mungkin sudah dilupakan

tidak berarti hilang sama sekali. Masa lampau masih tersimpan dalam gudang

memori. Masa lampau tidak hilang, melainkan terekam, tersimpan dalam

ketaksadaran manusia, pada umumnya disebut sebagai memori. Memori ini akan

muncul sewaktu-waktu, yang disebut sebagai kenangan, lamunan, khayalan, dan

berbagai bentuk ingatan dalam kaitannya dengan peristiwa-peristiwa yang pernah

dialami. Masa lampau dapat timbul atau dengan sengaja dipanggil kembali.

Bentuk khayalan dan lamunan adalah medium terselanggaranya masa lampau.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Masa lampau dianggap sebagai energi bagi kehidupan masa kini, juga masa yang

akan datang.

Pencitraan makanan tradisional rondang kopah dan sombam ikan

cengcaru, ini merupakan kerinduan orang Melayu Tanjungbalai akan asal usul

nenek moyang mereka sebagai orang pelaut. Di samping itu pula, makanan ini

sudah mulai dilupakan orang Melayu. Dahulu, dalam jamuan pesta perkawinan,

selalu ada hidangan rendang kepah dan ikan bakar, tetapi sekarang sudah digeser

oleh ayam potong dan hidangan modern lainnya. Untuk mengingatkan kembali

kerinduan akan makanan ini, maka penyair memasukkannya ke dalam syairnya.

Begitu juga dengan bubur sagu, wajik, dan kue putu. Bubur sagu terbuat

dari santan kelapa, gula, dan tepung sagu. Wajik terbuat dari santan kelapa, gula

merah, dan beras pulut atau ketan. Kue putu terbuat dari kelapa, gula, dan tepung

beras. Dari segi bahan, ketiga kue ini terbuat dari kelapa, sagu atau pohon rumbia,

pulut dan beras (padi). Pohon sagu atau rumbia jumlahnya sudah sangat sedikit,

areal persawahan untuk menanam pulut, padi, dan rumbia sebagian besar sudah

digantikan untuk menanam kelapa sawit. Begitu juga dengan kebun kelapa,

jumlahnya semakin berkurang karena masyarakat Tanjungbalai lebih suka

menanam kelapa sawit.

Dahulu, bubur sagu dijadikan hidangan untuk berbuka puasa dan kue putu

sebagai salah satu kue untuk lebaran. Sekarang, bubur sagu hampit tidak

ditemukan lagi, sedangkan kue putu dan wajik masih ada, tetapi jumlahnya

terbatas. Kebanyakan masyarakat Tanjungbalai lebih suka membali kue yang

sudah jadi dibandingkan dengan membuat sendiri. Jadi, melalui syair di atas,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dapat dilihat kerinduan orang Melayu akan masa-masa menanam padi, memanjat

pohon kelapa, membuat kue, dan melihat hamparan padi menguning.

Makanan yang dibuat dengan tangan sendiri tidak harus diartikan sebagai

ketinggalan zaman dan kuno. Membuat makanan dengan tangan sendiri

menunjukkan bahwa melatih kemampuan otot, membangkitkan kenikmatan

melalui struktur tubuh. Membuat makanan sendiri juga merupakan warisan yang

diterima secara kodrati.

8.2.2 Asal-Usul orang Melayu

Analisis psikologis, khususnya dalam kaitannya dengan tradisi psikologi

analitik Jungian, memandang struktur primordial sebagai ekuivalensi struktur

arketipe. Individu terdiri dari dua lapis ketaksadaran, yaitu ketaksadaran personal,

yang isinya diterima melalui pengalaman langsung dan kehidupan sehari-hari; dan

ketaksadaran kolektif yang isinya diterima melalui kualitas spesies, termasuk

kelas, ras, dan ciri-ciri genetik lainnya. Indivudu mesti memiliki relevansi dengan

masa lampau. Oleh karena itulah, kompleks ide harus distrukturisasikan dan

dienegisasikan di sekitar citra arketipe.

Citra arketipe selanjutnya menggarisbawahi dan mengarahkan perilaku,

khususnya yang berkaitan dengan pikiran dan perasaan secara tidak langsung,

seperti cita-cita dan kehendak, kreasi dan imajinasi, khususnya perilaku yang

berkaitan dengan citra masa lampau. Dengan dasar warisan nenek moyang,

arketipe berfungsi sebagai prototipe, cetak biru pola-pola perilaku individu

(Ratna, 2011: 141-142).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Melalui syair Cenggak cenggok jang payung Malako, dapat dilihat bahwa

orang Melayu Tanjungbalai tidak melupakan asal-usulnya dari Malaka. Hal ini

mengingatkan mereka akan asal-usulnya. Banyak para generasi muda orang

Melayu Tanjungbalai yang meninggalkan desanya dan pergi ke kota. Memang

bisa dimaklumi karena pada umumnya generasi muda mengharapkan

kesejahteraan di masa depannya dan dengan segala keterbatasan di desa sehingga

membuat mereka berpikiran untuk mencari potensial usaha di tempat lain, dan ini

dibuktikan oleh sebagian besar warga Tanjungbalai hijrah ke luar daerah bahkan

ke luar pulau. Kini kebanyakan malah ke daerah di luar Indonesia karena memang

dekat dari desa mereka menyebrangi laut, seperti Malaysia. Keadaan ini semakin

memprihatinkan seiring waktu terus berjalan, semakin tinggi tingkat urbanisasi

warga desa ke kota ataupun ke tempat lain yang lebih menjanjikan.

Karena itu wajar juga jika generasi muda selanjutnya dengan kebutuhan

yang semakin beraneka, dan meninggalkan budaya mereka salah satunya melaut.

Tinggal orang-orang tua yang hampir renta, masih lanjut didorong semangat

sudah tradisi, melaut dengan sisa-sisa kekuatan yang ada. Memang masih ada satu

dua generasi muda yang terjun melaut seperti itu tetapi bisa dihitung dengan jari.

Bagi generasi muda yang tidak merantau ke kota, mereka mebuat usaha seperti

jasa transportasi, membuka warnet, ataupun para pengrajin dan tukang. Intinya

memilih meninggalkan melaut yang kian tipis menjadi harapan memenuhi

kebutuhan.

Asal usul memiliki kaitan dengan masa lalu atau masa lampau. Manfaat

masa lampau adalah energi untuk menghidupkan kembali dimensi-dimensi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kemanusiaan yang seolah-olah sudah mati. Masa lampau dianggap sebagai energi

bagi kehidupan masa kini, bahkan juga masa yang akan datang. Kehidupan masa

kini adalah akumulasi kehidupan masa lampau sebagai pengalaman terdahulu.

Secara jasmaniah manusia bertambah besar, tinggi, dan bera oleh karena

pertumbuhan sel, menjadi dewasa oleh karena bertambahnya umur. Tatapi

perubahan yang jauh lebih penting adalah bertambahnya pengalaman sebagai

proses pembelajaran. Tanpa pengalaman manusia tidak memiliki arti.

8.2.3 Mendoakan Orang yang Sudah Meninggal Dunia

Jauh di mato di ati jangan

―Jauh di mata di hati jangan.‖

Lirik ini mengisyaratkan kerinduan akan orang yang sudah meninggal

dunia. Manusia dianjurkan agar selalu mendoakan orang atau sanak saudara yang

sudah meninggal dunia. Makin dalam berusaha melupakan seseorang, maka

semakin rindu ingin bertemu. Semakin lama ditinggalkan seseorang, bukan

semakin lupa, tetapi semakin ingat akan dirinya. Begitulah kekuatan ikatan batin

antara orang yang ditinggal mati oleh seseorang, apalagi seseorang itu teramat

istimewa (seperti sahabat, orang tua, sanak saudara).

Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, di mana ada kehidupan di situ ada

kematian.Ketika berjumpa dengan sesorang bersiaplah untuk berpisah dengannya,

karena cepat atau lambat hal itu akan terjadi. Meskipun telah jauh berpisah tetapi

jangan lupa pada yang ditinggalkan, begitulah maksud peribahasa ‗Jauh di mata di

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


hati jangan‘. Begitu juga dengan orang yang sudah meninggalkan dunia,

walaupun mereka sudah jauh di alam sana, janganlah melupakan mereka.

Oleh karena itu hendaklah kita senantiasa berdoa untuk mereka yang telah

pergi. Minta agar Allah mengampuni segala dosanya. Walaupun sudah di dunia

yang berbeda, namun doa yang dikirim akan membantu mereka di alam kubur.

Orang yang sudah meninggal dunia sangat mengharapkan doa dari orang yang

masih hidup. Mereka tidak mempunyai kekuatan lagi kecuali doa. Oleh karena itu

doakanlah mereka yang sudah tiada.

8.2.4 Kampung Halaman

Tempat jatuh lagi dikonang, apolah lagi tompat bemaen

―tempat jatuh lagi dikenang apalagi tempat bermain‖.

Lirik yang terdapat dalam Sinandong Asahan, mengingatkan manusia akan

kerinduan kampung halaman. Setiap manusia mempunyai rasa rindu atau

nostalgia kepada kampung halaman, tempat ia dilahirkan, dibesarkan hingga ia

menjadi ―orang‖. Ibarat kata pepatah: Tempat jatuh lagi di kenang apalagi

tempat bermain. Tidak mungkin dapat melupakan tempat tumpah darah, apalagi

tempat bermain waktu kecil, bersenda gurau, belajar mengaji di sekolah,

malamnya membaca al-Quran. Walaupun sudah jauh merantau dan bermukim di

tempat lain, tetapi kata orang ada waktunya kita akan menjadi ―belut pulang ke

lumpur atau bagai gagak pulang ke benua‖.

Secara antropologis manusia memiliki kaitan erat dengan tempat kelahiran

masing-masing. Kerinduan pada rumah dirasakan oleh setiap orang. Khususnya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


bagi mereka yang pergi merantau. Tidak menjadi masalah apakah rumah yang

dimiliki lebih baik atau sebaliknya lebih buruk dibandingkan dengan rumah di

perantauan. Misalnya, mudik atau tradisi pulang ke kampung halaman pada saat

hari raya lebaran. Cinta terhadap tanah air dalam pengertian yang lebih umum

adalah contoh kerinduan orang pada tempat kelahiran. Pemilihan para pemimpin

daerah yang berasal dari daerah setempat adalah contoh lain dalam rangka

mempertahankan kearifan lokal, sekaligus memenuhi hasrat kembalinya masa

lampau. Otonomi daerah, sebagai salah satu akibat langsung logosentrisme,

metanarasi dalam arti seluas-luasnya diharapkan dapat memenuhi kerinduan

masyarakat sekaligus memelihara potensi wilayah masing-masing (Ratna, 2011:

97).

8.3 Jati Diri Orang Melayu

Jati diri orang Melayu dapat dilihat melalui teks sinandong. Adapun jati diri

tersebut adalah adat, sistem religi, sistem kekerabatan, sistem perkawinan, dan

sistem bahasa, seperti pada diagaram berikut,

Jati Diri Masyarakat Melayu


Tanjungbalai dalam Sinandong
Asahan

Adat Sistem Sistem Sistem Sistem


Religi Kekerabatan Perkawinan Bahasa

Bagan 8.2 Jati Diri Masyarakat Melayu Tanjungbalai dalam


Sinandong Asahan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8.3.1 Adat

Walaupun kerajaan-kerajaan Melayu sudah wujud sebelum ini, namun

zaman Kesultanan Melayu Melaka telah memulakan babak sejarah yang amat

penting dan signifikan dalam membentuk ―identiti dan jati diri‖ Melayu yang

benar-benar mempunyai keperibadian yang tersendiri dan diwarisi hingga ke hari

ini. Kehadiran Islam ke Nusantara menjadi titik-tolak sejarah besar dan bermakna

kepada bangsa Melayu sehingga tamadun Melayu diakui kewibawaannya hingga

sekarang.

Agama Islam diakui oleh ahli-ahli sejarah sebagai pembawa perubahan

dan pencetus zaman kegemilangan Melayu di rantau sebelah sini. Berkat

penerapan ajaran Islam yang dinamik dan progresif ini, kepulauan Melayu telah

mengalami revolusi dalaman yang secara drastik telah mengubah identitas dan jati

diri, membebaskan akal-budi dan pemikiran orang Melayu daripada belenggu

tahyul dan mitos, lantas membimbingnya ke dunia nyata dan rasional. Islam

mencetuskan dan membangunkan tradisi ilmu dan tamadun akliah-rohaniah yang

berkembang subur dengan begitu pantas dan menyeluruh.

Apa yang dikenali sebagai ―faham jahiliah‖ dengan anutan pelbagai

kepercayaan pelbagai kepercayaan animisme, Hinduisme dan Buddhisme yang

dikatakan lebih mementingkan upacara dan kesenian (estetika) itu tidak membawa

sebarang kemajuan dan pembangunan kepada dunia Melayu. Walaupun saki-baki

adat istiadat dan adat resam Hinddu-Buddha kononnya masih ―melekat‖ di

kalangan orang Melayu seperti adat persandingan, istiadat perajaan dan amalan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


perbomohan, namun adat dan amalan-amalan tersebut sudah diwarnai atau

diIslamkan hampir sepenuhnya.

―Faham Tauhid‖ atau faham Keesaan Tuhan yang menjadi asas utama

ajaran Islam telah diterima baik oleh orang Melayu. Sesuai dengan sifat ajaran

Islam yang bertepatan dengan fitrah kejadian manusia, Islam telah menjadi pilihan

orang Melayu sebagai ―the way of life‖ atau cara hidup yang mengubah cara

hidup lama zaman animisme dan Hindu-Buddha. Pada hakikatnya, Islamlah yang

menjadi penafsir kebangkitan orang Melayu dalam segala aspek kehidupan. Islam

telah memperkenalkan dunia Melayu kepada budaya ilmu dan pemikiran rasional

yang menolak faham tahyul dan mitos. Islam jugalah yang memperkenalkan dunia

Melayu kepada dunia luar, baik Timur maupun Barat, sehingga memungkinkan

bangsa Melayu terkenl dalam sejarah.

Islamlah juga yang telah menyempurnakan faham keperibadian sendiri,

mengemaskinikan Faham Kebangsaan Melayu dan menjadi faktor pemersatu (the

unifying force) orang-orang Melayu di rantau ini sebagaimana yang diungkapkan

oleh Syed Naquib dalam bukunya Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan

Melayu:

Meskipun unsur-unsur nasib politik dan keturunan telah ada rumusannya


di kala sebelum Islam telah menyerapi perolahan sejarah yang menuju ke
arah kebangsaan, tetapi kedua-dua unsur ini sahaja tidak mencukupi syarat
kehendak sejarah bagi membawa kepada faham kebangsaan yang
sebenarnya. Hanya dengan kedatangan Islam, yang membawa ke dalam
perolahan sejarah Kepualauan ini dua unsur lain yang tadinya tiada nyata.
Iaitu unsur-unsur penyatuan satu bahasa sastera, dan satu agama serta
segala kebudayaan yang bersangkutan dengannya, barulah sempurna
dalam sejarah Melayu-Indonesia faham keperibadian sendiri yang
membentuk faham kebangsaan (1997: 56).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Hal ini dapat dibuktikan memalui contoh bahasa. Islamlah yang

mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa antarabangsa pada zaman itu. Bahasa

Islam (iaitu bahasa Arab) telah menyerap masuk ke dalam bahasa Melayu,

membawa konsep-konsep baru yang sebelum itu tidak wujud dalam

perbendaharaan kata Melayu.

Perkataan-perkataan seperti amal, adab, adil, alam, ilmu, iman, ihsan,

ibadah, halal-haram, hayat, jasad, jihad, makruf, mesyuarat, nikmat, qariah,

sabat, taat dan lebih separuh daripada perkataan bukan benda diambil secara

langsung daripada bahasa Arab (sila rujuk Kamus Dewan, rujuk asal kata daripada

kependekan Ar). Perkataan-perkataan ini bukan sahaja menjadi pelengkap

perbendaharaan kata Melayu, malah menjadi ciri asas kepada pembinaan

keperibadian dan jati diri bangsa Melayu itu sendiri.

Contoh yang lebih jelas tergambar dalam perkara-perkara kebudayaan atau

cara hidup orang Melayu. Islamlah yang telah memberikan ―prinsip-prinsip

kehidupan‖ kepada manusia Melayu dengan menegaskan dasar kehidupan melalui

prinsip-prinsip keadilan, prinsip hidup bermasyarakat dan bernegara, pinsip

makan-minum, prinsip berpakaian dan sebagainya. Ini tergambar dengan kata-

kata ―raja adil raja disembah (ditaati), raja zalim raja disanggah‖, ―syura‖,

―amanah‖, ―hak dan batil‖, ―halal-haram‖, ―aurat‖ dan lain-lain lagi. Prinsip-

prinsip akhlak inilah yang membentuk identiti dan jati diri bangsa Melayu.

Adat yang berlaku dalam masyarakat Melayu di Tanjungbalai bersumber

dari Malaka dan Tanjungbalai merupakan Kerajaan Melayu dan adatnya bermula

dari istana, seperti disebutkan Tonel (1920) dalam bagian lain seperti berikut:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Maka segala adat-istiadat Melayu itu pun sah menurut syarak Islam dan
syariat Islam. Adat-istiadat itulah yang turun-temurun berkembang sampai
ke negeri Johor, negeri Riau, negeri Indragiri, negeri Siak, negeri
Pelalawan, dan sekalian negeri orang Melayu adanya. Segala adat yang
tidak bersendikan syariat Islam salah dan tidak boleh dipakai lagi. Sejak
itu, adat-istiadat Melayu disebut adat bersendi syarak yang berpegang
kepada kitab Allah dan sunah Nabi.

Adat Melayu dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu adat sebenar adat, adat yang

diadatkan, dan adat yang teradat.

a. Adat Sebenar Adat

Yang dimaksud dengan ―adat sebenar adat‖ adalah prinsip adat Melayu

yang tidak dapat diubah-ubah. Prinsip tersebut tersimpul dalam ―adat

bersendikan syarak‖. Ketentuan-ketentuan adat yang bertentangan dengan

hukum syarak tidak boleh dipakai lagi dan hukum syaraklah yang

dominan. Dalam ungkapan dinyatakan:

Dari ungkapan di atas jelas terlihat betapa bersebatinya adat Melayu

dengan ajaran Islam. Dasar adat Melayu menghendaki sunah Nabi dan Al

Quran sebagai sandarannya. Prinsip itu tidak dapat diubah, tidak dapat

dibuang, apalagi dihilangkan, itulah yang disebut ―adat sebenar adat‖.

b. Adat yang Diadatkan

―Adat yang diadatkan‖ adalah adat yang dibuat oleh penguasa pada suatu

kurun waktu dan adat itu terus berlaku selama tidak diubah oleh penguasa

berikutnya. Adat ini dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan

perkembangan zaman, sehingga dapat disamakan dengan peraturan

pelaksanaan dari suatu ketentuan adat. Perubahan terjadi karena

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan perkembangan

pandangan pihak penguasa, seperti kata pepatah ―Sekali air bah, sekali

tepian beralih‖.

Selanjutnya para penguasa (raja) mengatur hak dan kewajiban para kawula

menurut tingkat sosial mereka. Hak-hak istimewa raja dan para pembesar

diatur dan diwujudkan dalam bentuk rumah, bentuk dan warna pakaian,

kedudukan dalam upacara-upacara, dan larangan bagi rakyat biasa untuk

memakai atau mempergunakan jenis yang sama. Dengan demikian tercipta

ketentuan-ketentuan yang berisi suruhan dan pantangan. Di samping itu

juga tercipta kelas-kelas dalam masyarakat yang pada umumnya terdiri

dari raja dan anak raja-raja, orang baik-baik, dan orang kebanyakan.

Stratifikasi sosial dalam masyarakat Melayu itu telah menciptakan hak dan

kewajiban yang berbeda bagi tiap-tiap tingkatan, sebagaimana kutipan

berikut:

Pasal menyatakan, adat Raja-raja Melayu yang tidak boleh dipakai oleh

orang luar yaitu, rumah yang bersayap layang atau jamban dan pagar

kampung yang di atasnya tertutup; rumah beranak keluang dan rumah

yang tengahnya berpintu sama; geta yang bersulur bayung lima, tilam

berulas kuning, dan memakai bantal yang bersibar kuning; tikar berhuma

kuning dan baju pandakpun, yaitu baju lepas kuning; tilam pandak dan

tudung hidangan kuning; sapu tangan tuala kuning; memakai kain yang

tipis berbayang-bayang; tidak boleh memakai payung di depan istana raja

dan tidak boleh berhasut pada majelis balai raja; tiada boleh membuang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sapu tangan kepala di hadapan raja; tidak boleh duduk bertelekan di

hadapan raja; tiada boleh melintangkan keris ketika menghadap raja; tidak

boleh memakai hulu keris panjang yang tutupnya berkunam; tidak boleh

membawa senjata yang tidak bersarung ke hadapan raja besar; di hadapan

raja jangan banyak tertawa-tawa dan berkipas-kipas; jangan

menyangkutkan kain, baju, atau sapu tangan di atas bahu di hadapan raja;

tatkala duduk pada majelis, jangan menentang kepada raja; jika raja

menyorongkan sesuatu (makanan atau piala minuman), hendaknya segera

disambut dan diletakkan ke bawah, kemudian disembah kewah duli seraya

duduk undur pada tempat kita sambil memberi hormat. Baru kita minum

atau makan. Sebenarnya tidak seperti itu adabnya, melainkan makanlah

dengan laku yang sederhana. Jika menerima pakaian dari baginda sendiri

atau dibawa oleh pegawainya, hendaknya pakailah pakaian itu di hadapan

majelis baginda, serta memberi hormat kepada raja. Jika tidak kita pakai

pun boleh, akan tetapi menurut Melayu disebut kurang adab (Sujiman,

1983).

Dalam perjalanan sejarah adat-istiadat Melayu, ―adat yang diadatkan‖

mengalami berbagai perubahan dan variasi. Hampir dapat dipastikan

bahwa adat ini merupakan adat yang paling banyak ragamnya, sesuai

dengan wilayah tumbuh dan berkembangnya. ―Adat yang diadatkan‖ yang

terdapat di daerah Riau beragam, karena di daerah Riau pernah terdapat

kerajaan-kerajaan yang tersebar dari kepulauan sampai ke hulu-hulu

sungai. Setiap kerajaan tentu mempunyai corak dan variasinya yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


disesuaikan dengan kondisi dan latar belakang sejarah, serta pengaruh

yang masuk ke sana.

c. Adat yang Teradat

Adat ini merupakan konsensus bersama yang dirasakan baik, sebagai

pedoman dalam menentuhan sikap dan tindakan dalam menghadapi setiap

peristiwa dan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Konsensus

itu dijadikan pegangan bersama, sehingga merupakan kebiasaan turun-

temurun. Oleh karena itu, ―adat yang teradat‖ ini pun dapat berubah sesuai

dengan nilai-nilai baru yang berkembang. Tingkat adat nilai-nilai baru

yang berkembang ini kemudian disebut sebagai tradisi. Dalam ungkapan

disebutkan:

Pelanggaran terhadap adat ini sanksinya tidak seberat kedua tingkat adat

yang disebutkan di atas. Jika terjadi pelanggaran, maka orang yang

melanggar hanya ditegur atau dinasihati oleh pemangku adat atau orang-

orang yang dituakan dalam masyarakat. Namun, si pelanggar tetap

dianggap sebagai orang yang kurang adab atau tidak tahu adat. Ketentuan

adat ini biasanya tidak tertulis, sehingga pengukuhannya dilestarikan

dalam ungkapan yang disebut ―pepatah adat‖ atau ―undang adat‖. Apabila

terjadi kasus, maka diadakan musyawarah. Dalam musyawarah digunakan

―ungkapan adat‖ yang disebut ―bilang undang‖. Hal ini dijelaskan dalam

ungkapan berikut:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dari uraian dapat disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan adat yang lebih

dikenal sebagai hukum tidak tertulis telah diwariskan dalam bentuk undang-

undang, ungkapan, atau pepatah-petitih, seperti dalam syair Dadong di bawah ini,

Tidolah-tidolah nak picengkan mato...


Anakku sayang.... sirajo mudo....
Ruponyo elok nak, bijaklaksono....
Sesuai...dengan adat lembago.

8.3.2 Sistem Kekerabatan

Dalam kebudayaan Melayu, garis keturunan ditentukan berdasarkan pada

garis keturunan bilateral, yaitu garis keturunan dari pihak ayah maupun ibu.

Namun, dengan masuknya agama Islam dalam kehidupan etnik Melayu yang

dijadikan pandangan hidupnya, maka garis keturunan cenderung ke arah garis

keturunan patrilineal, yaitu berdasar kan garis keturunan ayah. Pembagian harta

pusaka berdasarkan kepada hokum Islam (syara`) yang mengatur pembagian yang

adil.

Sistem kekerabatan etnik Melayu di Tanjungbalai sistem kekerabatan

secara vertikal yang dimulai dari urutan tertua sampai yang termuda, adalah : (1)

nini, (2) datu, (3) unyang (moyang), (4) atok (datuk), (5) ayah (bapak), (6) anak,

(7) cucu, (8) cicit, (9) piut. Urutan anak secara vertikal adalah (1) ulung

(iyung/ayung), (2) ongah, (3) alang, (4) uteh, (5) andak, (6) uda, (7) ucu.

Sedangkan sistem kekerabatan secara horizontal adalah (1) saudara satu ibu dan

satu ayah (ayah tiri), (2) saudara sekandung yaitu saudara seibu atau lain ayah, (3)

saudara seayah yaitu saudara satu ayah lain ibu (ibu tiri), (4) saudara sewali yaitu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ayahnya saling bersaudara, (5) saudara berimpal yaitu anak dari makcik (saudara

perempuan ayah).

Sapaan dan istilah kekerabatan adalah sebagai berikut : (1) ayah, (2) omak,

(3) abang (abah), (4) akak (kakak), (5) uwak (saudara ayah atau ibu yang paling

tua umurnya), (6) uda (saudara ayah atau ibu yang paling muda umurnya), (7)

uwak ulung (saudara ayah atau saudara ibu yang pertama baik laki-laki maupun

perempuan), (8) uwak ongah (uwak tengah, saudara ayah atau saudara ibu yang

kedua baik laki-laki maupun perempuan), (9) uwak alang (saudara ayah atau

saudara ibu yang ketiga baik laki-laki maupun perempuan), (10) uwak utih

(saudara ayah atau saudara ibu yang keempat baik laki-laki maupun perempuan),

(11) uwak andak (saudara ayah atau saudara ibu yang kelima baik laki-laki

maupun perempuan), (12) uwak uda (saudara ayah atau saudara ibu yang keenam

baik laki-laki maupun perempuan), (13) uwak ucu (saudara ayah atau saudara ibu

yang bungsu/paing akhir baik laki-laki maupun perempuan).

Dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai, menghormati dan memuliakan

orang yang tua adalah satu nilai yang jelaskan sekali berlaku. Nilai ini berkaitan

dengan pemahaman masyarakat Melayu Tanjungbalai bahwa orang yang lebih tua

usianya mempunyai lebih banyak pengalaman berbanding orang-orang muda.

Pengalaman adalah sesuatu yang senantiasa dipandang penting dalam masyarakat

Melayu Tanjungbalai. Golongan muda dianjurkan merantau untuk mencari

pengalaman lain (pendidikan). Dalam konteks Islam, Baginda Muhammad SAW.

tidak memberi syafaat kepada umat yang tidak menghormati orang yang tua dan

menyayangi orang yang orang muda. Menghormati dan mendengar nasihat orang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tua, orang muda tidak akan melakukan kesilapan dan kesalahan dalam hidup

mereka. Apa yang penting ialah kerjasama antara orang muda dengan orang tua

harus dipupuk untuk menjamin keharmonian masyarakat sekeliling.

Salah satu nilai budaya orang Melayu Tanjungbalai tidak memandang

rendah kepada orang lain. Orang Melayu Tanjungbalai saling menghormati orang

lain dan bersikap rendah diri, memberi penghormatan terlebih dahulu kepada

orang lain. Orang yang tidak membalas penghormatan yang diberi akan dipandang

rendah.

Memuliakan tamu merupakan satu nilai yang penting dalam masyarakat

Melayu Tanjungbalai. Mengikut ajaran agama Islam, tamu hendaklah dilindungi,

dimuliakan dan dilayani dengan sebaik mungkin, malah tuan rumah disunahkan

berkorban dan tidak mementingkan diri sendiri demi menjaga dan menghormati

tamu. Oleh yang demikian, tamu senantiasa dipandang baik oleh orang Melayu

dan dimuliakan dengan sebaik-baiknya.

Sistem kekerabatan terdapat dalam syair sinandong seperti penggunaan

kata, Mak ulung, Mak alang dan Mak ongah dalam ―Sinandong Hiburan‖.

Cenggak cenggok jang payung Melako


Singgah somalam di ujung tanjung Mak ulung oi
Jangan rusak jang jangan binaso
Tori puntung bungo cempako mak alang oi

Payong boso rajo mudo...


Mak alang oi...
Jangan rusak nak jangan binaso,
Bogi kuntom bungo cempako...

Mak ongah oi...tinggi-tinggi tinggi...tinggi...sampai atap


Bolum tumbuh gigi pandai baca kitab.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Memuliakan tamu terlihat dalam syair sinandong dengan menyuguhkan

berbagai jenis makanan tradisional kepada tamunya yang bernama Mak Ijah.

Orang Melayu Tanjungbalai terkenal dengan ramah-tama. Jika ada orang yang

datang bertamu, mereka tidak akan menelantarkan tamu tersebut. Orang Melayu

Tanjungbalai merasa terhormat, jika ada orang datang ke rumahnya. Tamu

tersebut akan diajak bercerita, sambil disuguhkan mulai dari makanan ringan (kue

dan teh manis), sampai kepada makanan berat (nasi dan lauk-pauknya). Suatu

kebanggaan bagi orang Melayu Tanjungbalai untuk menjamu tamunya. Jika

belum diberi makan, maka tamu tersebut tidak diperbolehkan pulang. Jika

hidangan yang disediakan tidak dimakan oleh tamunya, maka tuan rumahnya akan

merasa tersinggung. Dianggap masakannya tidak enak dan tamunya dianggap

tidak tahu sopan santun. Hal ini dapat dilihat pada kutipan syair berikut,

Kayoh Mak Ijah kayoh, kayoh la laju-laju


Singgah Mak Ijah singgah makan la bubur sagu
Makan Mak Ijah makan sodap apo laoknyo
Adolah rondang Kopah sombam ikan Cencaru

Kayoh Mak Ijah kayoh, kayoh la laju-laju


Sila Mak Ijah makan Wajik dan kue Putu
Makan Mak Ijah lokas kawan lamo menunggu
Adolah bubur Podas bubur orang Melayu

8.3.3 Sistem Religi

Masyarakat melayu telah melalui beberapa fase perubahan dalam sistem

kepercayaan. Antaranya masyarakat Melayu telah menganuti kepercayaan

animisme, Budha, Hindu, Islam. Kendati begitu, antara ke empat kepercayaan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang telah disebutkan, Islam adalah agama yang telah memberikan kesan yang

mendalam bagi hidup masyarakat melayu.

Kepercayaan dan keagamaan masyarakat Melayu meliputi tiga perkara

yang sangat penting. Ketiga-tiga perkara tersebut ialah amalan dan kepercayaan

masyarakat Melayu, magis Melayu dan Islam sebagai agama anutan resmi

masyarakat tersebut.

A. Amalan dan Kepercayaan Masyarakat Melayu

Kepercayaan masyarakat Melayu terhadap kuasa-kuasa ghaib memaksa

anggotanya untuk mempunyai amalan-amalan ataupun upacara-upacara yang

tertentu bagi menangani kuasa ghaib tersebut. Dalam hal ini, amalan meminta

restu daripada ―datuk nenek‖sebelum membuang air besar ataupun kecil

merupakan salah satu daripada amalan yang dipraktikan orang Melayu.

Selain itu juga terdapat beberapa upacara lain yang secara khusus

dilakukan bagi tujuan-tujuan tertentu. Misalnya, dalam upacara mandi safar,

masyarakat melayu akan melalui upacara permandian yang dilakukan pada hari

rabu yang terakhir dalam bulan safar. Upacara tersebut dianggap sebagai upacara

menolak bala‘.

Antara amalan lain yang dilakukan ialah dalam kepercayaan orang melayu

dengan benda-benda yang dianggap keramat, yaitu objek-objek yang mempunyai

kuasa-kuasa sakti yang tertentu. Misalnya, kepercayaan terhadap makan-makan

para ulama yang diyakini memiliki kelebihan yang luar biasa. Tempat-tempat

makan tersebut dijadikan tempat pemujaan dan juga sebagai tempat persembahan

pembayaran nadzar.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


B. Magis Melayu

Amalan Magis sebenarnya merupakan sebuah amalan yang biasa dan

sering ditemui dalam berbagai budaya, Dalam rangka kepercayaan dan Magis

masyarakat Melayu, perkara yang sentral dalam mendekati konsep tersebut adalah

konsep semangat.Semangat merujuk kepada kuasa pemberian tenaga spiritual

kepada individu maupun objek. Dalam rangka kepercayaan Melayu, semangat

seseorang itu dapat digugurkan dengan kaidah-kaidah tertentu.

Ilmu-ilmu tersebut hanya akan diajarkan kepada individuu-individu yang

dianggap sesuai untuk mempelajarinya. Selain itu mempelajari ilmu pengasih juga

untuk tujuan-tujuan tertentu seperti ingin mendapatkan pekerjaan, dan

mengeratkan hubungan suami istri dan sebagainya.

C. Pengaruh Islam pada Budaya Melayu

Kedatangan agama islam membawa perubahan yang sangat besar, mereka

percaya bahwa islam adalah agama yang suci dan benar, atas dasar itu kesucian

haruslah di pelihara.

Adapun kebudayaan jahiliyah yang dikikis Islam antara lain :

Khanah‖tenung‖ dengan segala macamnya, patung berhala yang di sembah.

Adapun kebudayaan yang diperbaiki dan disempurnakan antara lain ilmu bahasa,

kesusasteraan, retorika dan lain-lain. Adapun kebudayaan baru diciptakan islam

banyak sekali, antaranya rancang bangun seperti mesjisystem musyawarah dalam

pemerintah ilmu syariat, ilmu berdebat, ilmu kedokteran, dan lain-lain.

Kedatangan Islam bukan saja bersifat membangun,tetapi juga menghapus

jenis-jenis kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran islam‖dalam buku akidah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dan ibadah‖, kemudian juga memperbaiki dan menyempurnakan jenis-jenis

kebudayaan yang masih bisa diperbaiki. Dengan demikian islam bertindak lebih

maju untuk membangun satu kebudayaan .

Konsep halal dan haram mencakupi berbagai aspek kehidupan kaum

muslimin, selain dari pada pengunaannya dalam konteks pemakanan, konsep halal

dan haram turut mencakupi budaya, adat dan gaya hidup manusia. Sebagai contoh

berzina merupakan suatu perkara yang diharamkan disisi agama islam.

Islam memberikan pedoman kehidupan bagi masyarakat melayu.

Kepercayaan kepada Allah SWt turut berarti bahwa orang melayu percaya akan

rasul-rasul Allah serta ayat-ayat yang terkandung didalam Alquran. Kepentingan

agama islam dalam konsep kepercayaan dan kehidupan masyarakat Melayu.

Pengaruh Islam pada budaya Melayu, seperti dipergunakannya aksara Melayu,

Arab gundul, huruf Jawi pada karya tulis Melayu yang tersebar ke seluruh dunia.

Naskah Melayu itu menyangkut kerajaan-kerajaan Samudra Pasai, Malaka,

Banten, Demak, Mataram, Riau-Johor-Pahang dan Lingga.

Dalam bidang lain pengaruh perkembangan agama Islam dalam bidang

kesastraan nampak pada karya-karya yang diciptakan oleh cendikiawan riau raja

Ali Haji seperti gurindam dua belas yang ditulis dipulau penyengat pada 23 rajab

1263 H, Bustn Al Katibin pada tahun sembilan belas lima tujuh, tsamarak Al

Muhimmah, kitab pengetahuan bahasa, silsilah melayu dan bugis sekalian raja-

rajanya dan karya sastra lainnya.

Orang Melayu mengaku identitas kepribadiannya yang utama adalah

beradat istiadat Melayu dan agama Islam. Dengan demikian orang yang mengaku

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dirinya Melayu harus beradat istiadat Melayu, berbahasa Melayu dan beragama

Islam. Penerapan ajaran agama Islam dapat dilihat pada petikan Sinandong

Mengonang Naseb yang menekankan kepada perintah sholat dan puasa berikut,

Ooooooooooooooiiiiiiiiiiiii ooooooooooooooiiiiiiiiiiiiii
Kayulah arang kunun ooooooooooooooiiiiiiiiiiii
Oooooooooiiiiiiiiiiiiii dilindung bulaaaaaaan
Dilindung buuuuuuulaaan
Patah dahannyo diguncanglah ombaaaaaaaaaaaaaak
Ooooooooooooiiiiiiiiiiiiiii oooooooooooooooiiiiiiiiiii
Setiap tahuuuuuuuuuuuuuuuuuunnnnn
Hai setiap tahuuuuuuuuuun sudaroku ooooooooiiiiii
Ooooooooooooiiiiiiiii nabi berpooooooooosan
Oooooooooooooiiiiiiii oooooooooooooiiiiiiiiiiii
Hai menyuruh sholat baya sudaoku..........
Dengan puaaaaaaaaaaaaaaasooo.
Hai............. menyuruhlah sho...........lat baya
Dengan pua............so oi
Sinandung ooooooooooooiiiiiiiiii

8.3.4 Sistem Bahasa

Di Tanjungbalai, masyarakat yang bertutur hampir sama dengan bahasa

Melayu lainnya yang berbeda hanya sebahagian kecil saja. Hampir semua

masyarakat Melayu Tanjungbalai menguasai bahasa ibunya dan dipergunakan

dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Melayu Tanjungbalai menggunakan dialek

Melayu yang menggunakan pelafalan huruf "R" yang tidah jelas, yaitu seperti

lafaz huruf "‫("غ‬gh) jika berada di tengah kata. Tetapi jika berada di akhir kata,

bunyi ―R‖ dihilangkan. Contoh yang terdapat di tengah kata: doghas = deras, dan

dongo = dengar.

Bunyi ―a‖ diakhir kata berubah menjadi bunyi ―o‖, misalnya ―dimana‖

menjadi ―dimano‖. Apa=apo, kepala=kepalo. Bunyi ―e‖ di tengah kata berubah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menjadi bunyi ―o‖, misalnya lemas=lomas, pekak= pokak, lebat=lobat,

besar=boso. Bunyi vokal ―i‖ berubah menjadi ―e‖, misalnya, cantik=cantek,

betis=botes, keris=koghes.

Dalam sinandong terlihat jelas pemakaian bahasa Melayu Tanjungbalai

seperti syair berikut,

Tidolah anakku.... tidolah sayang


Kalau gugo....gugo kepoyang....
Jatoh ke bumi terobang melayang....
Jatoh...terobang melayang.
Tido anakku tidolah sayang....
Agar omakmu biso ke ladang.
Lalalalala...

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB IX
TEMUAN HASIL PENELITIAN

Malam berinai dilakukan di rumah keluarga pengantin perempuan dan

hanya satu malam. Tujuannya untuk memberitahu tetangga bahwa sang pengantin

sudah ada yang memiliki dan sudah siap untuk menikah, sekalian berpamitan

dengan orang tuanya, sebab pengantin wanita akan meninggalkan rumah dan akan

dibawa ke rumah pengantin pria.

Prosesi malam berinai di Tanjungbalai pada jaman dahulu, terdiri atas tiga

tahap, yaitu berinai curi, berinai kecil dan berinai besar. Berinai curi dilakukan

oleh teman dari pengantin wanita, sedangkan berinai kecil dan berinai besar sudah

mulai melibatkan pihak keluarga. Informan kunci menjelaskan berinai curi

dilakukan tiga hari sebelum pembacaan akad pernikahan. Di malam hari saat

pengantin wanita tertidur, teman-temannya datang memasangkan daun inai yang

sudah ditumbuk halus pada kedua tangan dan kaki. Ketika si pengantin wanita

bangun esok paginya, ia akan terkejut melihat tangan dan kakinya sudah berwarna

merah kecoklatan. Oleh karena dilakukan pada saat pengantin wanita tertidur,

makanya dinamakan berinai curi.

Tahap berikutnya adalah inai kecil dan besar. Inai kecil dilakukan dua hari

sebelum akad pernikahan dan pengantin hanya menggunakan pakaian biasa.

Sedangkan, inai besar dilakukan pada malam sebelum akad pernikahan pengantin,

kemudian pengantin pria dan wanita sudah menggunakan pakaian adat

pernikahan, lalu didudukan di pelaminan. Pada inai besar semua kerabat, teman-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


teman dan undangan sudah bisa menyaksikan prosesi ini. Hal ini dilakukan jika

calon pengantin sudah melaksanakan akad nikah, jika belum melaksanakan akad

nikah, maka yang duduk di pelaminan hanya pengantin wanita saja.

Pada pelaksanaannya ada yang dilaksanakan dengan cara duduk satu-satu

(pengantin laki-laki dan perempuan terpisah), dan ada pula kedua mempelai

duduk berdua sekaligus. Pelaksanaan duduk satu-satu dengan pertimbangan

bahwa kedua pengantin belum melakukan mahar batin dan akan melaksanakan

tebus kipas. Sedangkan tepuk tepung tawar duduk berdua dapat dilakukan dengan

pertimbangan kedua mempelai sudah menikah. Dalam penelitian ini, mempelai

didudukkan berdua karena sebelumnya mereka telah melaksanakan akad nikah.

Menurut informan kunci, terdapat dua bentuk pelaksanaan dalam acara

malam berinai besar ini. Pertama, acara malam berinai besar dilaksanakan hanya

untuk calon pengantin wanita saja. Upacara ini dilakukan sebelum akad nikah

dilaksanakan. Jadi, calon pengantin wanita didudukkan di pelaminan, lalu di

marhabankan. Setelah itu dipersembahkan tari Gobang, dan ditepungtawari oleh

pihak keluarga sambil mencoletkan inai di kuku calon pengantin wanita.

Kemudian pengantin wanita diinai di dalam kamar oleh teman-temannya atau oleh

seseorang yang pandai mengukir inai, agar inainya lebih cantik dan menawan. Di

luar rumah, hiburan tetap berlanjut dengan kasidah dan sinandong. Menurut

sepengatuhuan informan, pelaksanaan yang seperti ini sudah jarang dilaksanakan

lagi di Tanjungbalai.

Kedua, acara malam berinai besar dilaksanakan untuk kedua calon

pengantin, maka malam berinai dilakukan setelah akad nikah. Jadi, pada malam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


itu, selepas sholat Isya, dilaksanakan akad nikah, kemudian dilanjutkan dengan

acara malam berinai besar. Selepas akad nikah, kedua pengantin berjalan menuju

pelaminan yang dibuat di luar rumah, sambil group Marhaban melantunkan

barzanzi dan marhaban. Setelah itu dipersembahkan tari Gobang yang diiringi

dengan sinandong Gobang, lalu dilanjutkan dengan tepung tawar dan

mencoletkan inai di kuku kedua pengantin secara simbolis. Setelah itu pengantin

wanita masuk ke rumah dan inai oleh teman-temannya atau orang yang ahli dalam

seni berinai. Sedangkan pengantin pria kembali ke rumahnya dan inai oleh kerabat

atau saudaranya. Di luar rumah hiburan terus berlanjut dengan mendendangkan

kasidah dan sinandong sampai tengah malam. Bentuk yang kedua inilah sekarang

yang berkembang di Tanjungbalai.

9.1 Kemajuan Jaman dan Kepraktisan Mengikis Tradisi

Kemajuan jaman dan modernisasi membuat tradisi malam berinai mulai

terkikis dari keasliannya. Malam berinai yang sejatinya dilaksanakan selama tiga

malam berturut dipersingkat menjadi hanya satu malam saja. Banyaknya waktu

dan biaya yang dibutuhkan, membuat masyarakat lebih memilih untuk

melaksanakan malam berinai lebih singkat dan cepat. Sehingga pada malam

berinai ini, bukan hanya berinai yang dilaksanakan, namun pada malam ini juga

dilaksanakan akad nikah.

Masyarakat Melayu Tanjungbalai sekarang tidak lagi memegang pepatah

biar lambat asal selamat, akan tetapi sekarang masyarakat Melayu Tanjungbalai

sudah banyak yang beranggapan boleh cepat asalkan tepat sasaran dan tujuan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


utamanya tercapai. Hal ini juga yang menyebabkan maka sebagaian besar

masyarakat Melayu Tanjungbalai menyeserhanakan upacara adat perkawinan

tersebut, sehingga upacara malam berinai tidak dilakukan lagi. Dengan kata lain,

kepraktisan dapat mengikis budaya.

9.2 Filosofi Malam Berinai

Berdasarkan nilai filosofisnya. Malam berinai tidak lagi diartikan sebagai

pemberi kekuatan gaib, Karena perkembangan agama, berinai diartikan sebagai

pertanda seorang gadis telah memiliki suami guna menghindarkan dari fitnah.

Prosesi dari malam berinai memiliki makna filosofis tersendiri. Tradisi upacara

malam berinai sendiri telah ada sejak masyarakat Melayu memiliki kepercayaan

yang dianut semasa itu, animisme yaitu percaya pada roh-roh nenek moyang.

Menurut kepercayaan mereka, berinai memberi kekuatan gaib, supaya mereka

langgeng, kuat dan bertenaga. Sehingga pengantin yang diinaikan bisa

membangun rumah tangga yang baik. Warna merah pada inai diartikan sebagai

kekuatan yang memberikan keberanian. Inai yang diusapkan pada kedua tangan

dan kaki dipercaya menjadi sumber utama mobilitas dan kekuatan manusia.

Sebenarnya, beberapa daerah juga memiliki malam berinai yang mirip

dengan tradisi budaya melayu, namun dengan nama yang berbeda. Di Aceh

disebut Bohgaca, di Minangkabau terkenal dengan malam bainai, di Palembang

dikenal dengan berpacar, sedangkan di betawi disebut dengan malem pacar.

Walaupun beragam namanya, namun makna dan tujuannya tetap sama. Sebab

tradisi itu berasal dari rumpun budaya yang sama.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB X

SIMPULAN DAN SARAN

10.1 Simpulan

Dari paparan datan yang telah diuraikan pada bab terdahuliu, maka

dapatlah dismpulkan sebagai berikut:

1. Performansi tradisi malam berinai adalah serangkaian upacara yang

dilaksanakan pada malam hari sebelum pengantin duduk bersading.

Rangkaian kegiatan yang dilaksanakan adalah barzanzi, marhaban, tari

gubang, tepung tawar, berinai besar, kasidah, dan sinandong. Kegiatan

ini berlangsung sampai tengah malam. Tradisi upacara malam berinai ini

tidak terlepas dari teks, konteks, dan ko-teks. Teks dalam tradisi ini

peneliti fokuskan pada teks Sinandong Didong yang diiringi oleh tari

Gubang yang berfungsi sebagai penanda malam berinai. Sedangkan

konteks dalam tradisi ini berhubungan dengan konteks budaya, sosial,

situasi, dan idiologi. Analisis ko-teks tradisi ini meliputi gerak dan

peralatan yang digunakan dalam tradisi ini.

2. Tradisi bersinandong merupakan warisan budaya yang mempunyai nilai-

nilai budaya yang patut dikembangkan diantaranya adalah kearifan lokal.

Kearifan lokal dipergunakan oleh nenek moyang bangsa ini sebagai sistem

norma dalam masyarakat, sebagai pengetahuan tradisional, dan konsep,

bahkan teori yang digunakan dalam rangka menopang keberlangsungan

kehidupannya. Kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi malam berinai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ini meliputi kesopanan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan

penyelesaian konflik, pikiran positif, rasa syukur, etos kerja, pendidikan,

kesehatan, gotong royong, pengelolaan gender, pelestarian alam dan

kreativitas budaya, dan peduli lingkungan.

3. Model revitalisasi tradisi malam berinai pada masyarakat Melayu

Tanjungbalai dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen yaitu,

mengaktifkan, mengelolah, dan mewariskan. Mengaktifkan tradisi malam

berinai dapat dilakukan dengan mensosialisasikan kepada masyarakat

bahwa tradisi malam berinai ini merupakan budaya adat Melayu. Yang

harus dijaga kelestariannya. Kemudian memungsikan kembali malam

berinai sebagai ajang untuk bersilaturrahmi. Selain itu juga membentuk

arisan keluarga untuk menanggulangi biaya penyelenggaraan upacara

tersebut. Mengelolah tradisi malam berinai berkaitan dengan mengelolah

waktu pelaksanaan, mengadakan pelatihan untuk pewara, dan

mempromosikan tradisi ini kepada masyarakat Melayu yang ada di

Tanjungbalai maupun di luar dari suku Melayu. Mewariskan tradisi Malam

berinai ini bukan hanya menyangkut masalah penyederhanaan acara, tetapi

juga menginventarisasi dan memuplikasikan tradisi ini, baik dengan cara

manual maupun digital. Penyederhanaan acara juga berkaitan dengan

pemanfaatan waktu dan penghemaant biaya konsumsi. Pada upacara

tradisi malam berinai ini bisa dirangkaikan dengan akad nikah, jadi

susunan acaranya akad nikah terlebih dahulu, baru setelah itu berinai.

Sedangkan Model revitalisasi sinandong dapat dilakukan dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Refungsionalisasi, yaitu menambah, mengembangkan, mengganti atau

memberi fungsi yang baru terhadap sinandong. Representasi, artinya

menyajikan kembali, baik dalam frekuensi maupun dalam ujud, forum atau

konteks yang bervariasi. Reformasi, yaitu perubahan format atau bentuk

penyajian kesenian dari yang lama ke bentuknya yang baru, yang dianggap

sesuai dengan kebutuhan, selera, waktu dan tempatnya yang baru.

Reinterpretasi, upaya lain yang diperlukan adalah menjadikan sinandong

menjadi salah satu topik pembicaraan di sekolah dengan cara melihat

pertunjukannya. Reorientasi yaitu sinandong dijadikan sebagai kesenian

negara, artinya setiap ada kegiatan pemerintahan daerah, sinandong harus

dipertunjukkan sebagai ikon Tanjungbalai. Modifikasi, yaitu membuat

atau meng-create lagi sesuatu yang (sama sekali) baru.

4. Sinandong yang dipergunakan masyarakat Melayu Tanjungbalai dalam

kegiatan seperti upacara perkawinan, khitanan, dan mencukur anak. Lirik

sinandong ini mengingatkan manusia akan masa lalu atau masa lampau.

Melalui syair sinandong hiburan ini dapat dilihat citra arketipe antara lain,

makanan tradisional Melayu, asal-usul Melayu, mendoakan orang yang

sudah meninggal dunia, dan kampung halaman.

10.2 Saran

Globalisasi dan kemajuan teknologi terus melanda dunia ini, membuat

kekhawatiran peneliti terhadap tradisi penyampaian sinandong yang semakin lama

semakin berkurang jumlahnya. Tradisi lisan sinandong ini sudah kehilangan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pendukungnya, karena orang sudah sangat jarang menggunakan tradisi ini. Tradisi

bersinandong ini hanya dipakai oleh sebagian kecil masyarakt Melayu pada

upacara malam berinai dalam upacara adat perkawinan Melayu.

Selanjutnya sinandong ini juga dipakai sebagai hiburan dalam upacara

pesta kerang serta mengayunkan anak. Oleh karena itu, sinandong ini perlu

direvitalisasi agar sinandong ini tetap eksis di tengah-tengah masyarakat. Pada

saat sekarang ini fungsi dan kedudukan sinandong sudah bergeser. Dahulu

sinandong digunakan dalam setiap ritual upacara adat, tetapi sekarang tidak lagi.

Sinandong hanya tidak lebih sebagai hiburan belaka. Padahal, lebih dari itu,

sinandong dapat dijadikan cirikhas oleh daerah Melayu Tanjungbalai karena

kekhasannya terhadap cengkok dan ritme yang membedakannya dari sinandong

lain yang ada di Sumareta Utara. Oleh karena itu, peneliti sangat mengharapkan

kerjasama dengan Pemda setempat untuk melestarikan dan merevitalisasi

sinandong ini.

Harapan peneliti kerpada masyarakat Melayu yang ada di Tanjungbalai,

hendaklah menjadikan sinandong sebagai hiburan dalam setiap penyelenggaraan

acara adat dan pesta perkawinan, mengayunkan anak, dan sunat rasul. Melalui

group sinandong pendidikan karakter anak dapat ditanamkan. Hal yang paling

penting lainnya adalah dalam upaya pelestarian budaya. Kalau tidak kita, siapa

lagi yang akan melestarikan budaya sendiri.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2006. Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat.


Bandung: Remaja Rosdakarya
Alisjahbana, S. Takdir. 2008. Seni dan Sastra di Tengah-tengah Pergolakan
Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Dian Rakyat
Al-Hadi, Syed Alwi Sheikh. 1986. Adat Resam dan Adat Istiadat Melayu. Kuala
lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
All About Living with Life. 2009. ―11 Benefits of Positive Thinking‖. Tersedia
pada: http://www.allaboutlivingwithlife.blogspot.com/ 2009/07/11-
benefit-of-positive thingking.html
Avan, Alexander. 2010. Parijs van Soematra. Medan: Rainmaker Publishing
House
Azra, Azyumardi. 1999. KonteksBerteologi di Indonesia: Pengalaman Islam.
Jakarta: Paramadina.
Bungin, Burhan. 2010a. Penelitian Kualitatif (Komuniasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya). Jakarta: Predana Media Group
Bungin, Burhan. 2010b. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers
Cartwright, Catherine and Jones. 2008. North African Henna: History and
Technique. United States of America: Henna Page Publications
Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka utama grafiti
Dandes, Alan. 1965. The Study of Folklore. Englewood: Pretice-Hall
Eliade, Mircea. 2002. Mitos Gerak Kembali yang Abadi, Kosmos dan Sejarah.
Penerjemah Cuk Ananta. Yogyakarta: Ikon Teralitera
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
Gadjah mada University Press

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta:
MedPress
Eprison. 2009. ―Jatidiri Masyarakat Kerinci dalam Sastra Lisan Kerinci‖ (Tesis).
USU
Erwany, Lela. 2012. ―Strukturalisme ‗Dadong‘ Sinandong Asahan Tanjung Balai‖
dalam Bahtera, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Volume IV Edisi Februari. Medan: FKIP UMSU
Erwany, Lela. 2013.―Citra Arketipe ‗Sinandong Hiburan‘ dalam Senandong
Asahan Melayu Batubara‖ dalam Bahtera, Jurnal Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Volume VI Edisi Februari. Medan: FKIP UMSU
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of
Language. London: Longman
Finnegan, Ruth. 1992. Oral Traditions and the Verbal Arts: A Guide to Reserach
Practices. London and New York: Routledge.
Foley, John Miles. 1988. The Theory of Oral Composition: History and
Methodology. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Garna, K. Judistira. 1996. Ilmu-ilmu Sosial Dasar – Konsep – Posisi. Bandung:
Ps. UNPAD
Grunebaum, Gustave E. Von (ed.). 1955. Islam: Essays in Nature and Growth of
a Cultural Tradition. London: Basic Books.
Hamid, Ismail. 1988. Masyarakat dan Budaya Melayu. Kuala lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka
Hardjana, Andre. 1991. Kritik sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia
Hartoko, Dick. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia
http://alampedia.blogspot.co.id/2014/11/akordeon-alat-musik-tradisional- diunduh
tanggal 2 Desember 2015
http://www.icomos.org/charters/burra1999_indonesian.pdf) diunduh pada tanggal
16 Nopember 2015
http://www.unesco.org/culture/ich/index.php?project_id=00022 diunduh pada
tanggal 20 Januari 2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/02/pengertian-tujuan-dan-ruang-lingkup
-ilmubudaya), diunduh pada tanggal 16 Nopember 2015
http://patch.com/connecticut/greenwich/bp--history-of-mehndi-history-of-henna,
diunduh pada tanggal 20 April 2016
Iqbal, Muhammad Zafar. 2006. Kafilah Budaya: Pengaruh Persia terhadap
Kebudayaan Indonesia. Penerjemah Yusuf Anas. Jakarta: Citra
Kartodirjo, Sartono. 1978. Kedudukan dan Peranan Sistem Gotong Royong dalam
Perkembangan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: UGM
Ki Zerbo, Joseph. 1990. "Methodology and African Prehistory" dalam UNESCO
International Scientific Committee for the Drafting of a General History
of Africa. James Currey Publishers.
Koentjoroningrat. 1982. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia
Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistimologi Modern. Jakarta: Pusaka
Indonesia Satu
Lutviansori, Arif. 2010. Hak Cipta dan Perlindungan Folklor di Indonesia.
Yogyakarta: Graha Ilmu
M.S., Suwardi. 2008. Dari Melayu ke Indonesia, Peranan Kebudayaan Melayu
dalam Memperkokoh Identitas dan Jati Diri Bangsa. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake
Sarasin
Muhaimin AG. 2001. Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret Dari Cirebon.
Jakarta: Logos.
Mulhern, Francis. 2010. Budaya/metabudaya, Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Jalasutra
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ong, Walter J. 1982. Orality and Literacy. London and New York: Routledge.
Peck, John & Coyle, Martin. 1990. Literary Term and Criticism. London:
Macmillan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya
Makna. Yogyakarta: Jalasutra
Pradopo, Rachmad Djoko. 2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Rachmat Subagya. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
Ratna, Yoman Khuta. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratna, Yoman Khuta. 2010a. Sastra dan Cultural Studies, Representasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratna, Yoman Khuta. 2011. Antropologi Sastra, Peranan Unsur-unsur
Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratna, Yoman Khuta. 2010b. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu
Sosoal Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ridwan, T.Amin. 2005. Budaya Melayu Menghadapi Globalisasi. Medan: USU
Press
Roekhan. 1990. ―Penelitian Tekstual dalam Psikologi Sastra: Persoalan Teori dan
Terapan‖ dalam Sekitar Masalah Sastra, Aminuddin (Ed.). Malang:
YA3
Rusyana Yus. 1978. Sastra Lisan Sunda. Jakarta: Depdikbud
Sahril. 2007. ―Sinandong dan Estetika Melayu‖ dalam Medan Makna, Volume 4.
Medan: Balai Bahasa
Salim, Agus. 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara
Wacana
Santoso, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Jakarta:
Angkasa
Saptomo, Ade. 2010. Hukum dan Kearifan Lokal, Revitalisasi Hukum Adat
Nusantara. Jakarta: Grasindo
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2000. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Bulan
Bintang
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2002. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-
tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sarwono, Sarlito Wirawan. 2003. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo
Sedyawati, Edi. 2010. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Semi, M.Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya
Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal, Hakikat,Peran, dan Medote Tradisi
Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan
Sibarani, Robert. 2015. Pembentukan Karakter Langkah-langkah Berbasis
Kearifan Lokal. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan
Sikana, Mana. 2009. Teori Sastera Kontemporari. Singapore: Pustaka Karya
Sikana, Mana. 2007. Teras Sastra Melayu Tradisional. Singapore: Pustaka Karya
Sinar,T. Luckman. 1994. Jatidiri Melayu. Medan: MABMI
Sinar,T. Luckman. 2006. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera
Timur. Medan: Yayasan Kesultanan Serdang
Sinar, Tengku Silvana. 2011. Kearifan Lokal Berpantun dalam Perkawinan Adat
Melayu Batubara. Medan: USU Press
Siregar, Miko. 1996. ―Tabuik Piaman, Kajian Antropologis terhadap Mitos dan
Ritual‖ (Tesis). UI
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo
Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra, Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Soerjanto Poespowardojo. 1986.―Pengertian Local Genius dan Relevansinya
dalam Modernisasi". Dalam Ayatrohaedi (ed.). Kepribadian budaya
bangsa (localgenius). Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumarjo, Jakob dan Saini K.M. 1991. Apresiasi Kesustraan. Jakarta: Gramedia
Takari, Muhammad dan Fadlin. 2008. Sastra Melayu Sumatera Utara. Medan:
USU
Takari, Muhammad, dkk. 2015. Adat Perkawinan Melayu. Gagasan, Terapan,
Fungsi, dan Kearifannya. Medan: Bartong Jaya
Tarigan, Henry Guntur. 1991. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa
Teeuw,A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tiezzi, E., Marchettini, T. & Rossini, M. TT. Extending the Environmental
Wisdom beyond the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the
Learning Community. http://library.witpress.com/pages/ paperinfo.asp.
Tim Redaksi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen pendidikan
Nasional. 2005. Pedoman Kajian Tradisi Lisan (KTL) sebagai Kekuatan
Kultural. Jakarta
Tim Redaksi Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Toha, Riris K. dan Sarumpaet. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Ubaedy, An. 2008. Kedahsyatan Berpikir Positif. Depok: PT Visi Gagas
Komunika.
Umri, Syafwan Hadi. 2010. Mitos Sastra Melayu, Kajian Tekstual dan
Kontekstual. Medan: USU Press
Vansina, Jan. 1961. De La Tradition Orale. Terjemahan oleh H.M. Wright. Oral
Tradition: A Study in Historical Methodology. London: Routledge &
Kegan Paul.
Vansina, Jan. 1985. Oral Tradition as History. London: James Currey Publishers
Wales, Katie. 2001. A dictionary of Stylistics. London: Macmillan
Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Penerjemah Melani
Budianta. Jakarta: Gramedia
Yunita, Erni. 2011. ―Analisis Semiotik Tradisi Bermantra Pagar Diri di Desa
Huta Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Propinsi Sumatera
Utara‖ (Tesis). USU
Yuwono, Untung. 2007. Gerbang Sastra Indonesia Klasik. Jakarta: Wedatama
Widya Sastra
Zakiyuddin Baidhawy & Mutohharun Jinan(eds.). 2003. Agama dan Pluralitas
Budaya Lokal. Surakarta: PSB-PS UMS.
Zoest, Aart Van. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik. Penerjemah
Manoekmi Sardjoe dan Apsanti Ds. Jakarta: Intermasa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


LAMPIRAN:

Lampiran I: Identitas Informan

1. Nama : H. Hasanuddin M. Yus

Umur : 69 tahun

Pekerjaan : bertani

Jabatan : Pimpinan Jamiatul Qashidah Indonesia (JQI)

Alamat : Jl. Jendral Sudirman LK II Kel. Pantai Johor, Kec. Datuk

Bandar Kodya Tanjungbalai

2. Nama : Fatimah Yus

Umur : 64 tahun

Pekerjaan : pesinandong

Jabatan : Anggota Jamiatul Qashidah Indonesia (JQI)

Alamat : Jl. Jendral Sudirman Gg. Langgar no. 6, LK II Kel. Pantai

Johor, Kec. Datuk Bandar Kodya Tanjungbalai

3. Nama : Fauzi

Umur : 53 tahun

Pekerjaan : Pengawai Dinas Pendidikan Tanjungbalai

Alamat : Jl. Malaka Kel. Pantai Johor, Kec. Datuk Bandar Kodya

Tanjungbalai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4. Nama : Nur Banun

Umur : 51 tahun

Pekerjaan : Pegawai Dinas Pendidikan Tanjungbalai

Jabatan : Pimpinan Sanggar Tari Kharisma

Alamat : Jl. Malaka Kel. Pantai Johor, Kec. Datuk Bandar Kodya

Tanjungbalai

5. Nama : M. Zainul

Umur : 61 tahun

Pekerjaan : Pegawai Dinas Pariwisata Tanjungbalai

Jabatan : Anggota Jamiatul Qashidah Indonesia (JQI)

Alamat : Jl. Jendral Sudirman LK II Kel. Pantai Johor, Kec. Datuk

Bandar Kodya Tanjungbalai

6. Nama : H. Hasanuddin M. Yus

Umur : 69 tahun

Pekerjaan : bertani

Jabatan : Pimpinan Jamiatul Qashidah Indonesia (JQI)

Alamat : Jl. Jendral Sudirman LK II Kel. Pantai Johor, Kec. Datuk

Bandar Kodya Tanjungbalai

7. Nama : Ramadhan Sitorus

Umur : 48 tahun

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pekerjaan : Guru SD

Jabatan : Anggota Jamiatul Qashidah Indonesia (JQI)

Alamat : Jln. Selat Lancang Kodya Tanjungbalai

8. Nama : Zainal Arifin

Umur : 52 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Jabatan : Sekretaris Dewan Kesenian Tanjungbalai

Alamat : Jl. Gereja no. 2 Kodya Tanjungbalai

9. Nama : Jefri

Umur : 60 tahun

Pekerjaan : Nelayan

Jabatan : Pengetua Adat Melayu

Alamat : Bagan Asahan

10. Nama : Rodiah

Umur : 67 Tahun

Pekerjaan : Bidan Desa

Alamat : Jln. Dusun II Kelurahan Pulau Simardan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran II: Daftar Pertanyaan Wawancara
1. Apakah malam berinai ini hanya dilaksanakan dalam masyarakat Melayu
Tanjungbalai saja? Adakah berbedaannya dengan daerah lain?
2. Bagaimana pelaksanaan upacara malam berinai di Tanjungbalai jaman dahulu
dan sekarang? Adakah perbedaannya?
3. Dalam perkembangannya adakah upacara malam berinai di Tanjungbalai
mengalami perubahan? Apa yang menyebabkannya?
4. Apa makna malam berinai bagi masyarakat Melayu Tanjungbalai?
5. Apa makna gerakan tari yang ada di dalam tari Gubang?
6. Mengapa orang Melayu di Tanjungbalai sudah mulai meninggalkan tradisi
upacara malam berinai ini?
7. Apakah tujuan orang untuk membuat acara malam berinai ini?
8. Adakah makna filosofi yang terdapat pada malam berinai?
9. Apakah Anda pernah melihat pertunjukan Sinandong, kapan dan bagaimana
bentuk pertunjukannya?
10. Dalam upacara adat apa saja sinandong dipertunjukkan? Apakah ada
dalam acara lain?
11. Pada mulanya sinandong dipertunjukkan untuk siapa?
12. Apakah sinandong ini merupakan identitas dari masyarakat Tanjungbalai?
Apakah ada perbedaan sinandong yang di Tanjungbalai dengan daerah
Melayu lainnya?
13. Apakah Anda mengetahui mitos atau asal usul tentang sinandong?
14. Apa yang menyebabkan bergesernya fungsi sinandong?
15. Apakah ada campur tangan pemerintah Kodya Tanjungbalai untuk
melestarikan budaya upacara malam berinai dan pertunjukan sinandong ini?
16. Bagaimana kebijakan pemerintah setempat terhadap pelestarian budaya ini?
17. Bagaimana model pewarisan upacara malam berinai yang diinginkan oleh
masyarakat?
18. Bagaimana model pewarisan sinandong yang diinginkan oleh masyarakat?

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


19. Apa saja yang harus dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah untuk
melestarikan tradisi upacara malam berinai dan pertunjukan sinandong?
bagaimana cara melestarikan hal tersebut?

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran III: Teks Sinandong

A. Sinandong pada Malam Berinai Pasangan Pida dan Reza

1. Dadong (Sinandong Anak)

(1). Sinandong Membuai Anak

Tidolah-tidohlah sayang....
Tidolah nak tidolah sayang tidolah-tido,
Picengkan mato tak lamo lagi ayahmu balek nak
Jangan rusak nak, jangan binaso
Jangan dibogi semacam penyaket....

Tidolah tido tidolah sayang.....


Tidolah-tidolah sayang....

Tidolah-tidolah nak picengkan mato...


Anakku sayang.... sirajo mudo....
Ruponyo elok nak, bijaklaksono....
Sesuai...dengan adat lembago.

Tidolah-tido...lah sayang....

Tidolah-tido nak picengkan mato,


Anak intan jang sari gomalo,
Salah pikeh jang rusaklah kito...
Salah tingkah jang menjadi kato...

Tidolah...tido...tidolah...sayang...
Tidolah-tidolah sayang...

Tidolah tido nak, picengkan mato


Anak omak si buah hati...
Kalau boso balaslah jaso
Kemano pogi dapat jeroki

Tidolah-tido nak...tidolah sa...sa...yang


Tidolah nak...tidolah sayang...

(2)
Dadonglah dadong....dadong........dadong......
Dadong...........dadong............dadong....didadong.......
Dadong dadong...........nak dadong didadong ala sayang.........

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Putek pauh jang delimo batu.......
Anak sembilang nak di tapak tangan........
Sunggoh jauh nak beribu batu......
Hilang dimato nak di hati jangan...

Dadonglah dadong....dadong.......didadong......
Dadong...........dadong...........nak dadong didadong.......
Dadong dadong..........dadong didadong ........
Didadong dadong dadong nak dadong didadong.......

Ondak guleilah guleilah nangko....


Jangan ditimpok nak....si batang paoh.........
Ondak tido nak tidolah matoooooooooo....
Jangan dikonang ayah yang jaoh.....

Dadong dadong....dadong........didadong......
Dadong...........dadong.....nak.......dadong....didadong.......
Dadong dadong...........dadong..... didadonglah sayang........
Dadong dadong....dadong........didadong......

Ondak di ruang tidak teruang........


Sudah menjadi si combul gadeng........
Ondak dibuang tidak tebuang.......
Sudah menjadi si darah dageng........

Dadong dadong....dadong........didadong......
Dadong dadong...........didadong......

(2). Sinandong Menimang Anak


Iyolah molek iyolah sayang....
Iyolah molek iyolah....molek sayang
Tido anakku tidolah anakku

Tidolah anakku.... tidolah sayang


Kalau gugo....gugo kepoyang....
Jatoh ke bumi terobang melayang....
Jatoh...terobang melayang.
Tido anakku tidolah sayang....
Agar omakmu biso ke ladang.
Lalalalala...

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Cenggok- cenggok payong Malako
Payong boso rajo mudo...
Mak alang oi...
Jangan rusak nak jangan binaso,
Bogi kuntom bungo cempako...

Mak ongah oi...tinggi-tinggi tinggi...tinggi...sampai atap


Bolum tumbuh gigi pandai baca kitab.

Timang-tmang gulai keladi


Asyek bek betimang kerojo tak menjadi...

Intan sari gumalomak uteh oi...


Salah pikeh jang rusaklah kito
Salah tingkah menjadi kato

Timang si lado-lado,
Lado menggulai bolut...
Asyek bak betimang
Kerojo pun begulut...

(3). Sinandong Menidurkan (Menguletkan) Anak


Dado-dado dado di dado
Dado di dado dado dado di dado...
Dadolah dado nak dado
Didado ....iiii dado didado...
Dadolah dado...

Kalaulah gugo nak gugolah nangko...


Usah ditimpoh nak oi... Si ranteng paoh.......
Kalau nak tido nak tidolah mato....
Jangan dicinto.... ayah yang jaoh

Dadolah dado dado di dado....


Dado di dadoooooooo.... dado di dado....

Ayamlah kurek yang kulaboh ke Sontang....


Siko tatambatlah nak oi.....di Limau Manis,
Tak lamo lagi hari pun potang....
Bontanglah tiko ala nak oi....tunduk menangis.....

Dadodidado..........dadolah dado dado di


Dado.....
Dadodi.....dado....dadodidadolah nak
Oi..........

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2. Didong (Sinandong Nelayan)

(1)
Didonglah di didong didonglah didong oooooooooi....
Ooooooooiiiiii........................
Didonglah didong..... didonglah kunun sayang.........
Ooooooiiiii didonglah didong sayang..............
Betolurlah kau senangin.........
Betolurlak kau senangin..........betolurlah
Betolurlah kunun............. sepanjang pante.... baya..............
Berombuslah kau angin....................
Berombuslah kau angin..................berombus...........
Supayo copat kamilah sampe...............

Ooooooooooooooiiiiii oooooooooooii ooooooooooiiiii


Sayang si bacok si buah bacok ala kunun oooooooooiiiiiiii
Sayang si bacok si buah bacok ala kunun oooooooooiiiiiiii
Bacok tecacak di haluan
Ooooooooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
Bagailah mano ondak masuk anak bayo oooooiiii
Musuh tepacak di tanjung puan.
Bukanlah bacok sembarang bacok
Ka ka pariuk di ranting kayu
Bukanlah datang sembarang datang
Datang menghibur penganten baru
Gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gubang
Gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gubang

(2)
Didong.............didong.........
lah didong........didong lah.........
didong oooooooiiiiiiii didonglah didong.................
didong didonglah...........didong..............
ala didong ooooooooooooiiiiiiiiiii oooooooiiiii
didong di didong di didong oiiiiiii
betolu jugo kau senangin............
amboiiiiiiiiiiiii ........ooooooooooooooooiiiiiiiiiiii
betolu kunun sepanjang pantai.........oooooooooiiiiiiiiii
berombuslah kau angin......................sepanjang pantai.............
ooooiiiiiiiii.... barombuslah kau angin.............
sepanjang pantai................
supayo lokas kami nan sampai............oooooooooooiiiiiiii
ooooooooooooiiii.... oooooooooiiiiiiii

timurlah mari selatan mari..........

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


hai........asal jangan jang............. si barat dayo......ooooooiiiiii

barombuslah angin.......
barombus kunun......angin barombus.......
supayolah kami supatolah kami
lokaslah sam..............pai.................

(3)
Oooooooooooiiiiiiiiiiiii nandong di nandong
Inilah ooooooooiiiiiii senandong Asahan

Angin bertiup angin melambai oooooooooooooiiiiiiiiiii


Penduduknyo banyak tani nelayan oooooiiiiiiiiii
Di masa lalu raso gelisoh....ooooooiiiiiiiiiii
Hasil didapat tak dapat dikunyah
Oooooooooiiiiiiiiiiiiii nandung dinandung

Nyiur melambai di topi pantai oooooooooiiiiiiiiiii


Nelayan mengarang ombak dan badai ooooooiiiiiiiii
Oooooooooooiiiiiiiii nandung di nadung......

Petani riang turun ke sawah ooooooooiiiiiiiiiii


Tampak nelayan bekayuh santai oooooooooiiiiiiiii
Oooooooooooiiiiiiiii nandung di nadung......

(3) Sinandong mengonang Naseb


(1)
Siapi-api si Tanjungnapal....................
Hutannyo lobat kayu langkadei
Kalaulah mati tidak beramal.................
Bagai sampan dhompas badai

Turunlah ribut kugulung layar.............


Hanyutlah kapal patah kemudi
Bolehnyo dirobut dunio nan lebar...............
Sediokan amal sebolum mati
Oooooooooooiiiiiiii ooooooooooooooiiiiiiiiiiiiii

Sungguhlah cantik tuan oooooooooooooiiiiiiii


Amboiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
Sungguhlah cantik si kain panjang...........
Dipakai nak daro kunun ooooooooooooooiiiiiiiiiii
Dipakai nak daro di waktu potang
Ooooooooooooooiiiiiiiiii
Berbuat baik kunun ooooooooooiiiiiiiiiiiii
Amboooooooooooooooooiiiiiiiii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Berbuat baik di kampung orang
Supayo kito sudaroku oooooooooooiiiiiiiiiiiii
Supayo kito disukoi orang

Ooooooooooooooiiiiiiiiiiiii ooooooooooooooiiiiiiiiiiiiii
Kayulah arang kunun ooooooooooooooiiiiiiiiiiii
Oooooooooiiiiiiiiiiiiii dilindung bulaaaaaaan
Dilindung buuuuuuulaaan
Patah dahannyo diguncanglah ombaaaaaaaaaaaaaak
Ooooooooooooiiiiiiiiiiiiiii oooooooooooooooiiiiiiiiiii
Setiap tahuuuuuuuuuuuuuuuuuunnnnn
Hai setiap tahuuuuuuuuuun sudaroku ooooooooiiiiii
Ooooooooooooiiiiiiiii nabi berpooooooooosan
Oooooooooooooiiiiiiii oooooooooooooiiiiiiiiiiii
Hai menyuruh sholat baya sudaoku..........
Dengan puaaaaaaaaaaaaaaasooo.
Hai............. menyuruhlah sho...........lat baya
Dengan pua............so
Sinandung ooooooooooooiiiiiiiiii

Ooooooooooiiiiiiii menumbuk kunun oooooooooooiiiiiiii


Hai di losung batu
Hai di losung batu....................
Ambeklah antan batang galengga.....................ng
Oooooooooiiiiiiii oooooooooooiiiiiii sakitlah sungguh
Sudaroku ooooooooooiiiiiiiiiiiiii
Hai daga.................ng piatu oooooooiiiiiiii ooooooooiiiiiiii
Kainlah basa...........baya koringlah...... di pinggang........
Oooooooooiiiiiiiiii sinandung
Kain basahan..............baya.... koring di pinggang
Sinandong ooooooooiiiiiiiiiiiii

(2)
Hoi........ i...........iiiiiiiiiiiii....
Menumbuk kunun jang di losung batu
Oi...ii.......di losung baaaaatuuuu....oi........
Noseb...............malang...............
Antan dibuat jang batang gelenggang................
iiiiiiiiiiiii..............oi...........naseb ............malang
hoi............saketlah sungguh....................
dagang piatu daaaaagaaaaaaang piaaaaaaatu......tuan
oi...........iiiiiiiiii.....lah nadong
oi...........oh...........oh........kaenlah basah koreng..............
di pinggang......ala sinadong
hoi......ii....koreng di...........pinggang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


hoi....iii naek raket mengambek kupang.............
mengambek kupang oh.....nandung
oi.......... pukat di labuh topi kualo
oi..........oi..iii.....iii. oooooooiiiiiiiiii naseb malang
hoi.......sunggohlah saket badan menumpang
hidup menumpang.....hidup menom.............pang........
hoi.............alah naseb...............oi.................oi
ae yang koruh jang...........oi.......malang badan
diminum jugo...............oi...............oi..............
sinandong oi..................oi..........

(4) Senandong Muda-mudi


Hooooooooiiiiiiiiiii hooooooiiiiiiiii
Beribu-ribu bijit nangkoku..............
Bijit.................nangkoku.........
Alah abang sayang oooooooooiiiiiiiiiii
Cincin pemato jang jatuh ke ruang...oooooooooooooiiiiiiiiiii
Alah abang sayang........ooooooooooooiiiiiiiiiii

Kalau rindu sobut namoku.............


Sobut namoku bang oooooooooiiiiiiiiiiiii ooooooooooooiiiiiiiii
Abang sayang oiiiiiiiii oooooooiiiiiiiii
Aelah mato ............jangan dibuang.........
Abang sayang oooooooiiiiiii........
Jangan dibuang............ abang ooooiiiiiiii.......

Kupu kupu teobang ke langit


Teobang ke langiiiiiiiiiiiit alah bang oooooooiiiiii
Tibo di langit mencabek kaen.......oooooooooooiiiiiiiiiiiii
Alah abang sayang ooooooooooiiiiiiiiii

Adindo .......... tidak bang oooooooiiiiiiiiii


Mencari yang laen alah bang sayang.......oooooooooiiiiiiiii
Adindo.......... tidak mencari laen
Abang sayang.......oooooooooiiiiiiiii

(5) Senadong Hiburan


Hoi............... dulu ditutuh intan ooooooooooooiiiiiii
Baru ditobang............baru ditobang.............
Ambek sedahan samparan kaen...........
Oooooooiiiiiii ooooooooiiiiiiii ooooooooiiiii sudaroku
Oooooooooiiiiiiiii oooooooooooiiiiiiiiiiiiiii
Tompatlah jatoh..........tompatlah jotoh......
Dikonang.......dikooooooooooooooonang oooooooooiiiiiiii
Intan payong............. kununlah puak..........

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tompatlah bermain............alah gunung
Tompat bermaeeeeeeeeeeeeeen sudaroku........... oooiiiiiiiii

Puteklah intan oooooooooiiiiiiiiidelimo batu.....


Delimo batu.............
Anak sembilang di tapak taaaaaaaaaaaaangan
Oooooooiiiiiiiii oooooooooooiiiiiiiii oooooooiiiiiiii sudaaaaaaaaaaroku
Sunggohlah jaaaaaaaaaaaaoh...................
Sunggohlah jaoh sudaroku................
Oooooooooiiiiiiiiii beribu ba..........tu ooooooooiiiiiiii
Intan payong oooooooiiiiiiiiiiiiiiii
Hilang di maaaaaaaaaaa......to........
Di hatilah jangan.............. alah gunong........
Di hati jaaaaaaaaa......ngan..........sudoroku oooooooiiiiiiiiii

B. Sinandong pada Pasangan Liza dan Rahmad


1. Sinandong Anak (Dadong)

(1)
Ondakla gugur jang gugur kau nangko
Jangan ditimpok si ranting paoh
Ondakla tidur anak oi tidur kau manjo
Jangan dikonang nak oi orang nan jaoh

Ohoi..ondakla gugur tuan oi


Ai..gugur kau nangko..gugur kau nangko
Jangan ditimpok jang si ranting paoh hoi..
Intan payong oi….

Amboi..ondakla tidur..ondakla tidur jang


tidur kau manjo
Ahai..tidur kau manjo hoi..intan payong
Oi..jangan dikonang nak oi orang nan jaoh
Oh intan payung kudodoi orang nan jaoh
Sinandong oi…

(2)
Iyolah molek iyolah sayang
Iyolah molek yo molek iyolah sayang
Berbuat baek lah baek orang pun sayang
Berbuat baek lah baek orang pun sayang

Angin bertiup layar terkembang


Angin bertiup amboi layar terkembang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sampan melonjak malonjak naik gelombang
Sampan melonjak melonjak naik gelombang

Sedikit tidak amboi meraso bimbang


Sedikit tidak amboi meraso bimbang
Lamat nelayan..nelayan dalam berjuang
Lamat nelayan..nelayan dalam berjuang

Iyolah molek yo molek iyolah sayang


Iyolah molek yo molek iyolah sayang
Berbuat baek la baek orang pun sayang
Berbuat baek la baek orang pun sayang

2. Sinandong Nelayan (Didong)


Didonglah di didong didonglah didong oooooooooi....
Ooooooooiiiiii........................
Didonglah didong..... didonglah kunun sayang.........
Ooooooiiiii didonglah didong sayang..............
Betolurlah kau senangin.........
Betolurlak kau senangin..........betolurlah
Betolurlah kunun............. sepanjang pante.... baya..............
Berombuslah kau angin....................
Berombuslah kau angin..................berombus...........
Supayo copat kamilah sampe...............

Ooooooooooooooiiiiii oooooooooooii ooooooooooiiiii


Sayang si bacong si dua bacong ala kunun oooooooooiiiiiiii
Sayang si bacon si dua bacong ala kunun oooooooooiiiiiiii
Bacok tecacak di haluan
Ooooooooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
Bagailah mano ondak masuk anak bayo oooooiiii
Musuh tepacak di tanjung puan.
Bukanlah bacon sembarang bacong
Ka ka pariuk di ranting kayu
Bukanlah datang sembarang datang
Datang menghibur penganten baru
Gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gubang
Gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gubang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3. Sinandong Hiburan
(1)

Cenggak cenggok jang payung malako


Singgah somalam di ujung tanjung mak ulung oi
Jangan rusak jang jangan binaso
Tori puntung bungo cempako mak alang oi

Tiang la cenggok tinggi (2x)


Tinggi-tinggi la sampai ke atas atap (2x)
Copat la tumbuh gigi (2x)
Supayo copat membaco kitab (2x)

(2)
Kayoh mak ijah kayoh, kayoh la laju-laju
Singgah mak ijah singgah makan la bubur sagu
Makan mak ijah makan sodap apo laoknyo
Adolah rondang kopah sombam ikan cengcaru

Boting la bogak boting belacan


tompat berlabuh perahu nelayan
Sudah la puas minum dan makan
memandang laot tidak la bosan (2x)

Kayoh mak ijah kayoh, kayoh la laju-laju


Sila mak ijah makan wajik dan kue putu
Makan mak ijah lokas kawan lamo menunggu
Adolah bubur podas bubur orang Melayu

Berlayar biduk ke pualu pandan


Tarik kemudi jaga haluan
Terima kasih mak ijah ucapkan
Santapan lezat sudah dimakan (2x)

Sayang sayang oi nak oi


mak ijah ingin la pulang
makanan sudah habis
porut pun sudah konyang

sayang sayang oi nak oi


bukakan tali sampan
air pun sudah surut
simpat nak naek pasang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kayoh mak ijah kayoh, kayoh lah laju-laju
singgah mak ijah singgah makan lah bubur sagu
makan mak ijah makan sodap apo laoknyo
adolah rondang kopah sombam ikan cengcaru

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai