Anda di halaman 1dari 15

Tradisi Lisan di Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Lisan merupakan bahasa yang berarti ungkapan. Bahasa digunakan untuk


menyampaikan atau mengungkapkan sesuatu secara teratur. Sebagai manusia yang
bermasyarakat, tentunya kita berinteraksi satu sama lain dalam kehidupan.
Pembicaraan, perbincangan merupakan suatu kegiatan sehari-hari yang kita
lakukan.
Fungsi dari semua tuturan atau ucapan ini kurang lebihnya sama, yakni
memberikan informasi berkaitan dengan suatu hal atau fenomena tertentu yang
sekiranya dilihat dan dirasakan. Tuturan dan ucapan sendiri merupakan sebuah
proses yang sekiranya paling mudah untuk dilakukan dan menjadi bahan utama
dalam sebuah interaksi antarsesama manusia.
Tradisi merupakan kebiasaan yang ada pada suatu kaum atau kelompok.
Tradisi lisan merupakan kebiasaan yang ada pada suatu kaum atau kelompok yang
diturunkan dan disebarluaskan melalui lisan (dari mulut ke mulut). Tradisi lisan
dikatakan sebagai segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang
beraksara atau dikatakan juga sebagai system wacana yang bukan aksara. Tradisi
lisan dapat diartikan sebagai penjelasan mengenai sesuatu peristiwa di masa lalu
oleh seseorang yang berasal dari tuturan atau ucapan para pendahulu atau nenek
moyang yang diwariskan secara turun temurun, dari generasi ke generasi.
Secara lebih sederhana, tradisi lisan kemudian juga dapat diartikan sebagai
pesan-pesan verbal yang di mana kalimat-kalimatnya menyerupai laporan dari masa
lalu yang hadir pada masa kini. Tradisi lisan adalah adat kebiasaan yang dihasilkan
oleh pengetahuan, proses penyebarannya secara turun-temurun disampaikan
secara lisan dan memiliki kekerabatan asli yang meliputi cerita rakyat, mite dan
legenda (Sudikan et al, 2014:20).
Tradisi lisan juga mempunyai kelebihan dalam menarasikan masa-masa yang
sekiranya sudah amat lampau. Posisi tradisi lisan yang merupakan tuturan dan
biasanya lebih berisikan tentang kisah-kisah atau ceritera nenek moyang
mempunyai khazanah kebudayaan yang kaya dan penuh dengan nilai moral. Hal ini
menjadikan tradisi lisan (oral tradition) erat kaitannya dengan proses pelestarian
budaya dalam konteks masyarakat tertentu, yang kemudian perlu untuk dijaga dan
dilestarikan.
Zaman dahulu, orang-orang menyampaikan informasi melalui lisan bukan
tulisan dikarenakan masih banyaknya orang yang buta huruf dan tidak pandai dalam
hal menulis. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan
teknologi, tradisi lisan lama-kelamaan menghilang. Hal ini dikarenakan kemampuan
orang zaman sekarang berbeda dengan zaman dahulu. Tradisi lisan hadir di tengah
masyarakat yang miskin akan pengetahuan dan belum mengenal tulisan. Unsur-
unsur yang terkandung dalam tradisi lisan meliputi nilai-nilai moral, nilai-nilai
keagamaan, adat istiadat, kejadian sejarah cerita-cerita khayalan, peribahasa,
nyanyian, serta mantra-mantra yang terdapat dalam suatu masyarakat.
Sekarang, segala sesuatu dapat disampaikan melalui tulisan, bahkan sejarah
pun tertulis. Tidak sedikit orang yang menuliskan tradisi dari sekelompok orang
tertentu. Namun, apakah segala bentuk tradisi lisan dari zaman dahulu hingga
sekarang masih dilakukan oleh banyak atau sebagian orang, atau mulai ditinggalkan
seiring dengan perkembangan zaman karena dianggap kuno atau semacamnya?

PEMBAHASAN

Sumatera Utara mempunyai tradisi lisan yang penuh dengan cerita, lagu, dan pantun
yang diwariskan secara turun temurun. Tradisi ini mencerminkan akar budaya yang
dalam dan mencerminkan sejarah, nilai-nilai dan kearifan lokal masyarakat
Sumatera Utara. Esai ini mengeksplorasi kekayaan tradisi lisan ini, mengeksplorasi
maknanya, dan mempertimbangkan tantangan serta pentingnya pelestariannya di
tengah gejolak perubahan dari waktu ke waktu. Jika kita memikirkan warisan lisan
yang sangat berharga ini, kita memahami bahwa tradisi ini bukan hanya bagian dari
sejarah kita, tetapi juga merupakan landasan identitas budaya yang harus
dilestarikan.
Sumatera Utara memiliki sejumlah tradisi lisan yang kaya dan beragam, salah
satunya adalah cerita rakyat atau legenda yang turun temurun disampaikan secara
lisan dari generasi ke generasi. Beberapa contoh cerita rakyat dari Sumatera Utara
antara lain:
➢ Raja Batak: Legenda mengenai asal-usul suku Batak di Sumatera Utara, yang
sering kali mengisahkan petualangan dan perjuangan para pahlawan dalam
membentuk komunitas mereka.
➢ Asal-usul Danau Toba: Cerita ini menceritakan tentang asal-usul Danau
Toba yang terbentuk dari legenda cinta antara seorang pangeran dan seorang
putri dari langit.
➢ Si Jampang: Cerita yang mengisahkan tentang seorang pahlawan yang
memiliki kekuatan luar biasa dan berjuang melawan kejahatan.
➢ Asal-usul Suku Karo: Legenda ini menceritakan asal-usul suku Karo yang
berkaitan dengan mitos dan kepercayaan mereka.
➢ Legenda Bukit Barisan: Cerita yang mengisahkan tentang keindahan alam
Bukit Barisan yang diselamatkan oleh para dewa.
➢ Legenda Gunung Sibayak dan Sinabung: Mengisahkan tentang dua gunung
yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Sumatera Utara.
➢ Cerita Hikayat Malim Deman: Legenda yang berkisah tentang keberanian
dan petualangan seorang tokoh bernama Malim Deman.

Tradisi lisan Sumatera Utara mencerminkan kekayaan budaya dan sejarah


yang mendalam. Salah satu bentuknya adalah seni sastra lisan yang
sering diwariskan dari generasi ke generasi melalui cerita rakyat, puisi, dan pantun.
Tradisi lisan ini tidak hanya sekedar sarana hiburan, namun juga sarana transmisi
nilai-nilai budaya, moral, dan pengetahuan kepada generasi penerus. Misalnya,
cerita rakyat Batak merupakan bagian integral dari tradisi lisan Sumatera Utara.
Melalui cerita-cerita tersebut, masyarakat Batak menyampaikan nilai-nilai
keberanian, keadilan, dan kebijaksanaan.
Puisi yang dibawakan dalam berbagai upacara adat juga menjadi salah satu
cara untuk merayakan kehidupan sehari-hari dan mengabadikan sejarah nenek
moyang kita. Pantun merupakan puisi pendek yang sering digunakan dalam tradisi
lisan, kini menjadi sarana ekspresi yang penting. Masyarakat Sumut bisa meluapkan
emosinya melalui pantun, menampilkan humor, bahkan memberi nasehat. Pantun
juga sering digunakan dalam berbagai upacara adat seperti pernikahan dan pesta
rakyat.
Selain itu, sastra lisan Sumatera Utara juga memuat berbagai jenis lagu
daerah, seperti Gondang Sabangunan dan Gondang Hasapi. Lagu-lagu ini tidak hanya
menyenangkan, tetapi juga bagian dari ritual tradisional dan ekspresi seni yang
mendalam. Sayangnya, tradisi lisan Sumatera Utara menghadapi tantangan seiring
berjalannya waktu. Globalisasi dan modernisasi dapat membahayakan
kelangsungan tradisi ini. Oleh karena itu penting bagi kita untuk terus mendukung
upaya pelestarian dan pemajuan tradisi lisan agar kekayaan budaya Sumut tetap
hidup dan dihargai oleh generasi mendatang.
Tradisi lisan di Sumatera Utara terbukti menjadi harta tak ternilai yang
menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan masyarakatnya. Cerita-cerita
rakyat yang disebarkan, pantun-pantun yang dibawakan, dan lagu-lagu daerah yang
dinyanyikan semuanya mengandung jejak perjalanan budaya yang panjang tersebut.
Namun seiring dengan semakin meningkatnya tren modernisasi, tugas
melestarikan tradisi lisan menjadi semakin mendesak. Penting untuk dipahami
bahwa tradisi lisan bukan sekedar nostalgia, namun menjadi landasan kelangsungan
identitas budaya.
Melalui upaya konservasi berkelanjutan yang dilakukan oleh masyarakat
lokal dan pemangku kepentingan, kita dapat menjaga tradisi lisan Sumatera Utara
tetap hidup serta memberikan inspirasi dan sumber kekayaan spiritual bagi
generasi mendatang. Sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia, tradisi
lisan Sumatera Utara harus dilestarikan dan diperkuat agar warisan ini terus
bersinar di tengah perubahan zaman.
A. Tradisi lisan khas suku Batak Toba
1) Horbo
Horbo adalah tradisi lisan dalam bentuk dongeng atau cerita rakyat
yang sering disampaikan secara lisan di tengah-tengah masyarakat Batak
Toba. Horbo biasanya mengandung pesan moral, nilai-nilai kehidupan, dan
pengajaran tentang etika yang diberikan melalui cerita tentang tokoh-tokoh
atau kejadian-kejadian tertentu.
2) Marhata Sinamot
Tradisi lisan yang berarti "pertemuan hati" dalam bahasa Batak Toba.
Ini adalah pertemuan antara dua keluarga yang sedang berunding untuk
menyatukan dua pasangan dalam pernikahan. Dalam pertemuan ini,
biasanya diadakan prosesi adat yang disertai dengan berbagai pernyataan,
puisi, atau nasihat yang disampaikan secara lisan oleh anggota keluarga dari
kedua belah pihak.
3) Andung Saur Matua
Andung, maksudnya mencetuskan rasa duka melalui perkataan yang
tertib, keindahan dan penuh dengan rasa sedih kepada seseorang yang
sangat dicintai yang saat ini wafat (Sihombing, 2000: 122). Andung pula
disebutkan suatu nyanyian kesedihan dan mencetuskan rasa sedih sebagai
penggambaran riwayat kehidupan seseorang yang sudah wafat, baik ketika
didepan jenazah maupun sehabis dikuburkan.
Tradisi Andung tampak pada siapa yang akan Meng Andung dan siapa
pula yang di Andung hingga ikatan kerabatnya dikala meng Andungi
seseorang yang wafat bisa dikenal. Ikatan kerabatnya ini menampilkan
perasaan hormat kepada seseorang yang wafat karena kebaikannya ketika ia
hidup hingga seseorang merasakan kehormatan apabila sanggup Meng
Andungi.
B. Tradisi Lisan di Pulau Nias
Tradisi lisan di Pulau Nias, termasuk dalam budaya suku Nias, juga memiliki
sejumlah bentuk yang khas dan beragam. Beberapa tradisi lisan yang menonjol di
antaranya adalah:
1) Folklor Lisan
Cerita rakyat, dongeng, dan legenda merupakan bagian penting dari
warisan lisan suku Nias. Cerita-cerita ini sering kali mengisahkan tentang
pahlawan-pahlawan legendaris, asal-usul suku, kepercayaan, atau kejadian-
kejadian dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa legenda terkenal di Nias
melibatkan tokoh-tokoh seperti Siaro, Balugu, atau Warileba.
2) Fado
Fado adalah jenis nyanyian lisan tradisional suku Nias. Biasanya, fado
dinyanyikan oleh seorang perempuan atau sekelompok perempuan yang
menggambarkan perjuangan, kehidupan sehari-hari, atau kepercayaan
spiritual.
3) Fono Haref
Tradisi lisan yang melibatkan pengetahuan lisan tentang kearifan
lokal, etika, hukum adat, dan aturan-aturan sosial yang diwariskan dari
generasi ke generasi. Fono Harefa dianggap sebagai pengetahuan yang sangat
penting untuk mempertahankan identitas budaya suku Nias.

C. Tradisi lisan Suku Mandailing


1) Mangambat
Mangambat (mencegah) merupakan upacara menghalangi-halangi
pengantin wanita yang akan dibawa oleh mempelai pria. Orang yang
mangambat adalah anak laki-laki dari saudara perempuan dari ayah
pengantin perempuan.Sepupu pengantin wanita tersebut akan mencoba
menghalangi dan berdialog dengan diksi-diksi tertentu. Saat ini tradisi ini
sudah mulai jarang diterapkan di etnis Mandailing.
2) Mangandung
Mangandung adalah sebuah semacam ratapan dan keluh kesah
dengan bentuk nyanyian seorang istri seperti saat ditinggal mati suami atau
anak gadisnya yang akan menikah. Tradisi ini sudah tidak ditemukan lagi di
Mandailing.
3) Mangalehen Mangan
Mangelehen mangan merupakan merupakan tradisi upa-upa
(mendoakan hal-hal yang baik) kepada anak perempuan yang akan menikah.
Tradisi lisan ini juga hampir punah.
4) Mangupa
Mangupa sama halnya dengan mangelehen mangan, hanya saja tradisi
lisan ini dilakukan kepada anak laki-laki. Selain untuk menikah, mangupa
juga dilakukan saat si anak selamat dari bencana, meraih prestasi dan lain-
lain. Biasanya terdapat makanan khususnya gulai ayam dalam mangupa ini.
Saat ini tradisi tersebut juga hampir punah.
5) Marburas
Marburas merupakan tradisi lisan yang menceritakan cerita lucu atau
anekdot di kedai kopi, keramaian, maupun di tempat tidur. Tradisi ini juga
mulai jarang ditemukan.

D. Tradisi Lisan Suku Simalungun


Simalungun memiliki tradisi lisan yang berhubungan dengan nyanyian atau
musik vokal yaitu taur-taur, yang merupakan warisan dari para leluhur. Taur-taur
sendiri memiliki identitas sangat tinggi dan juga suatu kebanggaan bagi masyarakat
Simalungun. Menurut penelitian yang dilakukan Jasahdin Saragih Taur-taur sendiri
memiliki arti yaitu kata “taur” berarti panggil, lalu jika di ulang maka taur-taur
diartikan sebagai memanggil dilakukan secara berulang-ulang ataupun
bersahuatan.
Taur-taur Simbandar pada umumnya dilakukan atau dimainkan oleh dua
orang yaitu laki-laki dan perempuan atau dalam bahasa simalungun disebut Garama
(Laki-laki ) dan Anak Boru (untuk Perempuan).
Pada penyajian Tau-taur Simbandar sendiri tidak terlepas adanya alat musik
sebagai pengisi yaitu alat musik sulim ( musik tiup terbuat dari bambu ) sebagai
pengiring dari taur-taur ini, dimana sulim itu sendiri dimainkan bergantian dengan
martaur-taur atau yang bertaur-taur. Taur-taur disajikan oleh laki-laki dan
perempuan karena Taur-taur Simbandar berhubungan dengan hubungan yang
terjalin atara laki-laki dan perempuan yang sudah memiliki ikatan.

Contoh Taur-Taur Simbandar:


( Garama ) Laki-laki
Inda tiktik balang salendang tene botou
Berbintik belalang salendang (sejenis belalang sembah) wahai adik
Inda soding bulungni kasang
Miring daun kacang
Inda antupi bangku demban tene botou
Ramulah untukku sirih wahai adik
Demban laho marlajang tene botou
Sirih untuk pertanda hendak pergi merantau wahai adik
Ale...
Ale….

(Anak Boru) Perempuan


Mase si hortas kajang tene botou
Mengapa si kertas lebar wahai abang
Joltik-joltikni banban
Jentik-jentiknya tepung
Ai tene mase maham marlajang tene botou
Ah mengapa engkau pergi merantau wahai abang
Sonin Poltikni padan
begitu teguh janji/ikatan cinta kita
Ale....
Di atas adalah bait-bait awal taur-taur simbandar yang dilakukan oleh garama
(lakilaki) dan Anak Boru (Perempuan). Diawali dari bait pertama Taur-taur
Simbandar di atas, garama (laki-laki) menyampaikan atau mengkomunikasikan
permintaannya kepada si anak boru (Perempuan) agar mempersiapkan sirih dan
ramuannya untuk dimakan, karena dia (lelaki) hendak ingin pergi merantau.
Makna dari bait ini sebenarnya adalah suatu gertakan kepada anak boru
(perempuan) dari si garama (lelaki) untuk mengetahui bagaimana sebenarnya
kualitas kepastian hubungan mereka.
Kemudian di bait kedua anak boru (perempuan) membalas apa yang
disampaikan si garama (lelaki). Si anak boru pun bertanya, mengapa muncul
keinginan dari si garama (kekasihnya) untuk pergi merantau. Karena selama ini
tidak ada masalah dalam hubungan mereka. Bahkan ikatan janji kasih mereka sangat
teguh dan terjaga. Apa yang disampaikan oleh sianak boru ini adalah suatu jawaban
yang diinginkan oleh si garama(lelaki)karena keinginan sebenarnya dari si garama
adalah menanyakan kesetiaan si anak boru akan janji kasih mereka.
Dalam penelitian ini teks dari taur-taur simbandar merupakan sumber data
utama yang akan diteliti yang dapat disebut teks lisan taur-taur simbandar. Teks
yang berupa lirik-lirik 125 nyanyian memberikan petunjuk bahwa bagaimana
bahasa bahasa simalungun dimanfaatkan secara optimal dalam penyajian taur-taur
simbandar. Pada hasil penelitian ini ada beberapa yang dapat dianalisis atau
diterapkan mengenai fungsi tradisi lisan taur-taur simbandar yang terangkum
sesuai dengan pedoman para ahli sebagaimana fungsi tradisi lisan itu sendiri.

E. Tradisi Lisan Dairi/Fak fak


Salah satu jenis sastra lisan itu adalah cerita rakyat. Cerita rakyat adalah
adalah cerita yang berasal dari masyarakat dan berkembang secara turun-temurun
dalam masyarakat pada masa lampau sebagai sarana untuk memberikan pesan
moral (Nurgiyantoro ,2010). Contoh cerita rakyat yang berasal dari etnis Pakpak
yaitu Pelleng Peneppuh Babah dan cerita rakyat yang berasal dari etnis Nias yaitu
Berhala Fosi di Selatan. Adapun yang dikaji dari kedua contoh cerita rakyat tersebut
yaitu analisis struktural dan nilai kearifan lokalnya.
1) Pelleng Peneppuh Babah
Sinopsis
Cerita ini mengisahkan tentang Pu Rempur Mayap-Mayap, seorang raja yang
terkenal kaya dan memiliki banyak hamba sahaya serta ternak yang
melimpah. Namun, kerajaannya menghadapi ancaman dari Raja Bulbulen
yang ingin mengambil alih wilayahnya. Meskipun Pu Rempur Mayap-Mayap
dan rakyatnya berperang dengan gigih, mereka akhirnya mengalami
kekalahan yang menyebabkan raja itu sendiri tewas.

Dalam upacara tersebut, mereka meletakkan tangan di atas nasi plleng


sambil mengucapkan mantra khusus. Dengan cara ini, mereka berharap
memperoleh kegagahan dan menjadi panglima perkasa untuk merebut
kembali kerajaan Benua Harhar. Pelleng Peneppuh Babah adalah sebuah
upacara yang dilakukan oleh Pandirabar dan tujuh hulubalangnya dengan
tujuan untuk mendapatkan kegagahan dan kekuatan dalam membangun
kembali kerajaan Benua Har-har. Upacara ini melibatkan pengumpulan
bahan-bahan tertentu yang kemudian diolah menjadi makanan yang disebut
pelleng.

2) Berhala Fosi Di Selatan


Sinopsis
Berhala Fosi di Selatan adalah sebutan untuk sebuah pohon besar di Pulau
Nias, Sumatera Utara, yang dahulu dipuja oleh penduduk setempat. Pohon ini
sebenarnya adalah sejenis kayu yang kuat yang tumbuh menjadi pohon besar.
Berdasarkan cerita turun temurun, pohon ini memiliki kaitan dengan nenek
moyang suku Nias.

Dalam cerita tersebut, nenek moyang suku Nias diturunkan ke daratan Pulau
Nias dari tempat yang disebut "Teteholi Ana'a" di langit. Beberapa nama yang
disebutkan sebagai nenek moyang suku Nias adalah Hia Walangi Adu, Gozo
Helaheladano, Daeli Bagambololangi, Hulu Borodano, dan Luowemona
Silogu.

Hia Walangi Adu, yang merupakan salah satu nenek moyang suku Nias,
memiliki keistimewaan seperti tinggal dalam kandungan ibunya selama
sembilan tahun dan dapat berbicara sebelum lahir. Setelah dewasa, Hia
Walangi Adu menikah dan memiliki sembilan orang anak laki-laki. Hia
Walangi Adu dan isterinya turun ke Pulau Nias bersama sejenis kayu yang
disebut Tora'a Langi, yang diyakini menjadi sumber sembilan bahan pokok
seperti emas, babi, padi, kelapa, pinang, sirih, tembakau, ayam, dan ubi.

Pohon berhala Fosi di Selatan dilayani oleh para imam yang disebut Mbela.
Beberapa imam yang terkenal adalah Ama Zato, Ama Hia, dan Wakhoi.
Mereka mengajarkan ajaran-ajaran palsu tentang asal-usul dan kuasa pohon
berhala Fosi tersebut. Para imam ini mengklaim bahwa Fosi adalah sumber
berkat bagi segala tanaman. Mereka juga mengklaim memiliki kekuatan
magis, seperti menyebabkan gempa bumi jika tombak mereka ditancapkan
ke tanah atau mengalihkan arah aliran sungai jika ujung keris mereka
menggores batang sungai.

Setiap tahun, masyarakat mengadakan pesta besar untuk memuja berhala


Fosi. Mereka membawa bibit tanaman yang berbeda-beda untuk diberkati
oleh Fosi, yang diiringi dengan doa oleh para imam. Selama pesta tersebut,
babi-babi besar juga disembelih dan dimakan bersama. Namun, kekuasaan
berhala Fosi dan para imamnya berakhir ketika seorang penginjil dari Jerman
datang ke Pulau Nias bersama seorang pendeta dan para pelajar. Mereka
meminta para imam Fosi untuk memperlihatkan kekuatan mereka, namun
para imam tidak dapat melakukannya. Penginjil tersebut mengajukan
tantangan bahwa jika Fosi adalah Allah yang benar, maka mereka tidak akan
bisa menyentuh pohon tersebut. Jika tidak, maka pohon Fosi akan ditebang.
Akhirnya, pohon berhala Fosi ditumbangkan, dan kekuasaan para imam Fosi
berakhir.
F. Tradisi Lisan Batak Karo

Cakap lumat dalam upacara adat perkawinan Karo


Cakap Lumat adalah pidato atau dialog yang menggunakan kata-kata yang
sangat sopan dengan pilihan kosa kata yang dianggap paling tepat. Cakap Lumat
adalah dialog yang diselingi dengan kiasan, perumpamaan, dan rima untuk
mempercantik dan membuatnya lebih menarik.
Dalam tradisi adat perkawinan masyarakat Karo, tuturan Cakap Lumat
dilakukan oleh seseorang sesuai posisinya dalam status sosial, yakni Kalimbubu,
Senina, dan Anak Beru.
1. Posisi Kalimbumbu.
Kalimbubu merupakan keluarga dalam Rakut Sitelu menempati posisi
yang paling tinggi. Oleh karena itu, pihak Kalimbubu sebagai pemberi
perempuan sangat dihormati dalam sistem kekerabatan masyarakat Batak
Karo. Masyarakat Batak Karo meyakini bahwa Kalimbubu adalah pembawa
berkat. Sikap menentang dan menyakiti hati Kalimbubu sangat dicela dan
tidak diperkenankan. Dalam hal memberi nasihat, semua nasihat yang
diberikan Kalimbubu dalam suatu musyawarah keluarga menjadi masukan
yang harus dihormati dan dihargai (Fitriani, 2015).
2. Posisi Senina.
Status sosial Senina merujuk pada Rakut Sitelu adalah mereka yang
memiliki hubungan darah dan mempunyai marga yang sama. Senina adalah
teman semarga yang laki-laki, baik yang kandung maupun yang berkerabat
dekat. Senina adalah hubungan kekerabatan berdasarkan marga yang sama.
Senina bertugas memimpin pembicaraan dalam musyawarah dan berperan
sebagai sekat dalam pembicaraan adat agar tidak terjadi friksi-friksi ketika
akan memusyawarahkan pekerjaan yang akan didelegasikan kepada Anak
Beru (Fitriani, 2015).
3. Posisi Anak Beru.
Anak Beru adalah pihak pengambil perempuan atau penerima
perempuan untuk diperistri. Anak Beru disebut pula hakim moral, karena
bila terjadi perselisihan dalam keluarga Kalimbubu-nya, tugasnyalah
mendamaikan perselisihan tersebut. Ginting, Hidayah, & Lasan (2019)
menjelaskan bahwa Anak Beru mempunyai peran yang aktif dalam berbicara
(Anak Beru si ngerana) pada saat pesta adat berlangsung.
Tidak semua yang mempunyai kedudukan Anak Beru mampu menjadi
Anak Beru Singerana (Anak Beru yang berbicara), karena Anak Beru
Singerana inilah yang dituntut dapat berkomunikasi dengan bahasa santun
(mehamat) serta pintar merangkai kata-kata saat berbicara dengan
Kalimbubu (orang yang dihormati).

Penggunaan bahasa kiasan dalam tuturan lisan Cakap Lumat oleh Kalimbubu
tampak pada tuturan sebagai berikut:
❖ Bujur kataken kami man kam kerina keluarga si enggo er meriah ukur ndahi
kerja peradaten kempu, bebere, permen ntah pe impal ndu enda. Ija er
mengkah kel ukur kami, ibas kerehenndu kerina, Dibatalah simasu-masu
kerina pendahin ndu, apai kurang akap ndu pendudurken isap ras kampil
man bandu ula tama sangkut ukur ndu, sebab bas kami Kalimbubu ndu pe
melala denga kekurangen.
(Kami mengucapkan terima kasih kepada semua keluarga yang sudah
dengan sukacita/gembira menghadiri pernikahan adat cucu, keponakan,
menantu ataupun impal kalian. Kami sangat bahagia atas kehadiran kalian
semua. Tuhanlah yang memberkati semua pekerjaan kalian, sekiranya
menurut kalian ada kekurangan kami dalam menanggapi/menyambut kalian,
jangan sakit hati sebab kami sebagai Kalimbubu kalian masih banyak
kekurangan.)

Penggunaan bahasa kiasan tuturan lisan Cakap Lumat oleh Senina sebagai berikut:
❖ Mejuah-juah Senina, mari Senina arenda inganta, ras ise ndaikam reh?
(Salam Senina, mari kesini Senina, ini tempat kita. Kalian datang dengan
siapa?)
Penggunaan bahasa kiasan tuturan lisan Cakap Lumat oleh Anak Beru sebagai
berikut:
❖ Kam kerina Anak Beru sembiring mari kam ku jenda, enda amak ndu gelah
benaken rungguta. Adi enggo kam pulung enda tanda-tandana. Dung kari
lebe kerja maka kam baci lawes .
(Untuk semua Anak Beru Sembiring, mari ke sini, ini tikar tempat duduk
kalian agar kita memulai pertemuan. Itu artinya kalian semua sudah
berkumpul. Setelah selesai kerja adat, baru kalian bisa pulang.)

G. Tradisi Lisan Melayu


Dendang Melayu lebih menekankan kepada fungsinya sebagai hiburan biasa,
sedangkan aktifitas berdedeng lebih bermakna kepada sebuah aktifitas yang lebih
khusus, yakni bernyanyi dengan harapan untuk mendapatkan hasil pertanian yang
melimpah dari kuasa gaib yang dipercaya dapat memberikan perlindungan dari
musuh-musuh tanaman baik berupa hama tanaman maupun dari binatang buas dan
juga dari binatang peusak tanaman yang tidak tampak secara kasat mata.
Berdasarkan bentuk penyajiannya, musik vokal Dedeng pada dasarnya
terbagi tiga jenis yaitu, pertama Dedeng yang dinyanyikan pada saat menebang
hutan sebagai lahan perladangan baru yang disebut Dedeng Padang Reba. Kedua
nyanyian yang dilakukan pada saat menamam benih padi yang disebut dengan
Dedeng Mulaka Nukal. Ketiga nyanyian yang dilakukan pada saat padi telah
menguning dan telah siap untuk dipanen yang disebut dengan Dedeng Ahoi.
Dedeng yang ditujukan kepada manusia adalah Dedeng yang bersifat
himbauan kepada masyarakat Melayu yang berada di sekitar tempat tinggal mereka
untuk mencari hutan yang dianggap cocok sebagai lahan pertanian baru.
Dedeng yang ditujukan kepada alam adalah Dedeng yang memegang
perananan penting dalam hal meminta izin kepada penunggu hutan yang terdiri dari
hama-hama tanaman, roh-roh gaib, dan binatang buas agar tidak mengganngu
aktifitas atau mengahalangi keinginan mereka baik sewaktu merintis atau ketika
mendapatkan lahan pertanian.
PENUTUP

Secara keseluruhan, tradisi lisan Sumatera Utara memberikan landasan yang kuat
bagi keberlangsungan identitas budaya dan masyarakat. Melalui tradisi lisan,
dongeng, lagu daerah, dan cerita rakyat, terjalin benang-benang yang
menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tradisi ini tidak hanya
mencerminkan kekayaan warisan nenek moyang, namun juga berfungsi
memperkuat identitas masyarakat.
Dengan memahami dan membina tradisi lisan tersebut, masyarakat
Sumatera Utara dapat menjamin nilai-nilai budaya dan kearifan lokalnya tetap
hidup, tercipta rasa persatuan, dan tetap terjaga jati dirinya di tengah era
globalisasi.
Penting untuk disadari bahwa tradisi lisan bukan sekedar nostalgia, namun
merupakan sumber kearifan yang dapat menjadi pedoman dalam menghadapi
tantangan zaman. Dalam konteks Sumatera Utara, tradisi lisan tidak hanya sekedar
alat bercerita, tetapi juga sarana transmisi nilai-nilai moral, norma sosial, dan
kearifan lokal yang menjadi landasan kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, upaya melestarikan dan mengembangkan tradisi lisan di
Sumatera Utara tidak hanya menjadi tanggung jawab masyarakat setempat, tetapi
juga merupakan investasi berharga bagi keanekaragaman budaya Indonesia secara
keseluruhan.

Anda mungkin juga menyukai