Abstrak: Folklor merupakan salah satu kekayaan budaya lama yang patut dihargai dan
dilestarikan. Setiap bangsa, daerah atau masyarakat memiliki folklor yang diwariskan
secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya.
Di dalam cerita folklor ini akan ditemukan norma-norma sosial atau nilai-nilai
estetis yang tinggi. Oleh karena itu, wajarlah kalau masyarakat pewarisnya masih
mengagungkan, mengultuskan, memitoskan, dan melestarikannya dengan baik. Folklor
bagi masyarakat kolektifnya dapat dijadikan sebagai seni tauladan dalam bertingkah laku
dan dapat dijadikan kebanggaan identitas daerahnya.
Tujuan penelitian folklor dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat
Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban, adalah untuk memperoleh deskripsi tentang jumlah
folklor lisan yang difokuskan pada cerita prosa rakyat yang meliputi 1) Mithe, 2) legenda,
dan 3) dongeng yang hidup dan tersebar dalam masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten
Tuban. Lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana atau adakah pengaruh folklor tersebut
dalam kehidupan masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua metode, yaitu 1)
metode pengumpulan data, dan 2) metode analisis data. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode angket, wawancara, dan
perekaman. Angket atau daftar pertanyaan diisi oleh peneliti pada saat wawancara.
Perekaman dilakukan oleh peneliti pada saat tukang cerita menceritakan folklor; tetapi
kenyataannya jarang tukang cerita yang mau direkan ceritanya dalam penelitian ini. Jadi,
peneliti harus menulis secara langsung cerita lisan dari tukang cerita. Metode analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode analisis deskriptif dan
kuantitatif, maksudnya peneliti bermaksud mendeskripsikan dan menggambarkan jumlah
folklor yang hidup dan masih dilestarikan oleh masyarakatnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di kecamatan Kerek Kabupaten
Tuban, maka diperoleh jumlah folklor yang hidup dan masih diingat oleh masyarakat
kecamatan Kerek, sebanyak 9 folklor.
Dari jumlah 9 folklor tersebut, ternyata semuanya adalah jenis folklor legenda.
Hal ini, menurut pengakuan masyarakat kolektif disebabkan folklor jenis legenda adalah
cerita rakyat yang benar-benar terjadi pada masa itu yang masih diingat dan diturunkan
secara lisan kepada anak cucu mereka sampai sekarang. Misalnya, 1) lagenda asal usul
desa Kerek, 2) lagenda asal usul desa Gaji, 3) lagenda asal usul desa Jarorejo, 4) lagenda
asal usul terjadinya desa Jarorejo (versi lain), 5) legenda asal usul desa Tengger Wetan, 6)
legenda Wali Rendah Hati dari Sumber Arum, 7) legenda Goa Astana Penembahan Watu
Putih, 8) legenda Kejadia Dusun Kebomati Desa Gaji, dan 9) legenda Mliwang dan
Macan Putih.
Ternyata folklor-folklor lagenda tersebut, masih berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban. Misalnya, tokoh Ki Demang Abilowo
(masyarakat Gaji menyebutnya Ki Lowo) dalam legenda Asal Usul Desa Gaji, masih
berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya Haul Ki
Lowo yang dilaksanakan setiap malam Jum'at legi pada bulan Rabiul Awal, dan
ditempatkan di sekitar makam Ki Lowo.
Di samping mengadakan haul Ki Lowo , masyarakat desa Gaji juga mengadakan
ritual, yaitu "manganan" . Manganan ini dilaksanakan di makam Ki Lowo dan di sumur
kembar yang digali Ki Lowo bersama masyarakat Gaji.
Waktu mengadakan acara "manganan", masyarakat berlomba-lomba membawa
makanan pada acara tersebut. Tujuannya untuk meminta keselamatan, dan
menghindarkan dari malapetaka.
Beberapa tokoh masyarakat desa Gaji, tukang cerita, pencinta budaya lama,
pemerintah di kecamatan Kerek sangat menyetujui pendokumentasian folklor di
Kecamatan Kerek ini. Mereka juga menyetujui folklor-folklor yang isinya berpengaruh
positif, mendidik, dapat dijadikan bahan pengajaran bagi murid mulai dari sekolah dasar
dampai ke tingkat SLTA.
2.3.3 Dongeng.
Jika legenda adalah sejarah kolektif (folk history), maka dongeng adalah cerita
pendek kolektif kesusastraan lisan. Selanjutnya dongeng adalah cerita prosa rakyat yang
tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan,
walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau
bahkan sindiran.
Dongeng biasanya mempunyai kalimat pembukaan dan penutup yang bersifat
klise. Misalnya, pada dongeng berbahasa Jawa, ada kalimat pembukaan: "anuju
sawijining dina....... " (pada suatu hari...... ) dan diakhiri kalimat penutup: "A lan B urip
rukun bebarengan kaya mimi lan mintuna" ( ... A dan B hidup bersama dengan rukun
bagaikan ketam blangkas jantan dan ketam blangkas betina). Pada bahasa Melayu, ada
kalimat pembukaan seperti: " Sahibul Hikayat....... ", dan sebagainya.
Anti Aarne dan Stith Thompson, dalam bukunya " The Types of the Folktale",
telah membagi jenis-jenis dongeng ke dalam empat golongan besar, yaitu:
1) Dongeng binatang (animal tales);
2) Dongeng biasa (ordinary folktales);
3) Lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes); dan
4) Dongeng berumus (formula tales).
1) Dongeng binatang: adalah dongeng yang ditokohi binatang peliharaan dan
binatang liar, seperti: binatang menyusui, burung, binatang melata (reptilia), ikan, dan
serangga. Binatang-binatang itu dalam cerita jenis ini dapat berbicara dan berakal budi
seperti manusia. Di dalam dongeng binatang Indonesia, tokoh yang paling populer adalah
Sang Kancil. Tokoh binatang ini mempunyai sifat yang cerdik, licik, dan jenaka. Tokoh
binatang yang cerdik, licik, dan jenaka ini dalam ilmu folklor dan anropologi disebut
dengan istilah " the trickster atau tokoh penipu".
Beberapa contoh dongeng binatang itu sebagai berikut:
a. Dongeng Sang Kancil dan Harimau;
b. Dongeng Sang Kancil dan Buaya; dan
c. Dongeng Sang Kancil dan Siput.
2) Dongeng biasa. Dongeng biasa adalah jenis dongong yang ditokohi manusia
dan biasanya adalah kisah duka seseorang. Misalnya, Dongeng Ande-Ande Lumut yang
berasal dari Jawa Timur.
3) Lelucon dan anekdot. Lelucon dan anekdot adalah dongeng-dongeng yang
dapat menimbulkan rasa menggelikan hati, sehingga menimbulkan ketawa bagi yang
mendengarnya maupun yang menceritakannya. Walaupun demikian bagi kolektif atau
tokoh tertentu, yang menjadi sasaran dongeng itu, dapat menimbulkan rasa sakit hati.
Contoh, "Cerita Lelaki Bodoh " yang mengisahkan seorang ayah yang mengunjungi
Puskesmas untuk ikut keluarga berencana. Oleh seorang perawat, ia diberi kondom
dengan keterangan agar pada waktu mau bersenggama dengan istrinya harus dipakai. Si
Perawat itu juga memberi contoh pemakaiannya dengan memasukkan salah satu jarinya
ke kondom itu. Setelah liwat beberapa bulan, ia datang kembali ke Puskesmas dengan
bersungut-sungut karena istrinya hamil lagi. Ketika ditanya bagaimana cara memakai
kondom itu, ia menjawab, "ngikutin contohnya, begini..." sambil memasukkan kondom
pada ibu jarinya, "pantesan," kata si Perawat.
III. Folklor dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Masyarakat
Kecamata Kerek Kabupaten Tuban
Yang dimaksud dengan folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang
tersebar dan diwariskan turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengamat (Danan Jaya, 1991 : 2).
Folklor adalah cerita prosa rakyat yang hidup dalam masyarakat, diceritakan oleh orang
tua kepada anaknya dalam buaian atau oleh tukang cerita kepada penduduk kampung
yang tidak dapat membaca dan menulis. Cerita prosa rakyat ini diturunkan secara lisan
dari satu generasi kepada generasi yang lebih muda.
Setelah diadakan penelitian di kecamatan Kerek Kabupaten Tuban, maka
ditemukan sejumlah 9 folklor. Folklor-folklor yang ditemukan tersebut, semuanya adalah
folklor jenis legenda. Folklor-folklor yang ditemukan di kecamatan Kerek Kabupaten
Tuban tersebut, sebagai berikut: 1) legenda Asal Usul Desa Kerek, 2) legenda Asal Usul
Desa Gaji, 3) legenda Asal Usul Desa Jarorejo, 4) legenda Terjadinya Nama Desa
Jarorejo (versi lain), 5) legenda Asal Usul Desa Tengger Wetan, 6) legenda Wali Rendah
Hati ( desa Sumber Arum), 7) legenda Goa Astana Panembahan Watu Putih, 8) legenda
Kejadian Dusun Kebomati Desa Gaji, dan 9) legenda Mliwang dan Macan Putih.
Folklor-folklor tersebut, masih hidup dan berpengaruh terhadap kehidupan
bermasyarakat di kecamatan Kerek Kabupaten Tuban. Yang dimasud dengan pengaruh
adalah daya yang ada atau yang timbul dari sesuatu (orang, benda dan sebagainya) yang
berkuasa atau yang berkekuasaan (gaib dan sebagainya) (Poerwadarminta, 1976:731).
Pengaruh yang dimaksud dalam kaitanya dengan penelitian folkor ini adalah daya yang
ada atau yang timbul dari folklor atau tokoh-tokoh dalam cerita folklor tersebut.
Misalnya, kalau folklor atau tokoh-tokoh folklor itu masih dipercaya oleh masyarakat,
masih dikeramatkan oleh masyarakat, masih dilestarikan oleh masyarakat, masih
diselamati oleh masyarakat, masih dijadikan suri teladan oleh masyarakat, masih sering
diceritakan kebaikannya oleh masyarakat, atau masih diperingati oleh masyarakat,
menunjukkan bahwa folklor itu memiliki pengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Kesembilan folklor legenda yang ditemukan dalam penelitian ini, semuanya
masih diceritakan, diyakini, dipercaya, serta dilestarikan oleh masyarakat setempat.
Karena mengingat tempat dan waktu yang tidak memungkinkan, maka untuk
mengisi jurnal ini, peneliti hanya menyajikan dua folklor saja, yaitu:
Folklor Legenda Asal Usul Desa Gaji; dan (1
Folklor Legenda Mliwang dan Macan Putih (2
Ternyata folklor lagenda Asal Usul Desa Gaji tersebut, masih berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban. Misalnya, tokoh Ki
Demang Abilowo ( masyarakat Gaji menyebutnya Ki Lowo) dalam legenda Asal Usul
Desa Gaji adalah tokoh yang masih diceritakan oleh masyarakat dan menjadi tauladan
masyarakat karena 1) semangatnya menyiarkan agama islam berpindah pindah dari
kampung yang satu ke kampung yang lain, 2) kesaktiannya sehingga banyak orang yang
berguru kepadanya, 3) semangatnya membangun desa dan mensejahtrakan
masyarakatnya sehingga desa Gaji yang pada awalnya kekurangan air menjadi desa yang
tidak kekurangan air lagi, karena menurut cerita masyarakat tokoh Ki Demang Abilowo
ini mampu menggerakkan masyarakat membangun dua buah sumur kembar sekaligus.
Dengan adanya air dari dua sumur kembar ini, maka lama kelamaan kampung Gaji ini
banyak didatangi orang, sehingga penduduknya semakin lama makin padat.
Masyarakat desa Gaji ini meyakini bahwa Ki Lowo adalah pendiri dan sesepuh
desa Gaji. Ki Lowo dimakamkan di desa Gaji Kecamatan Kerek. Makam Ki Lowo
sampai saat ini masih terawat dengan baik. Tempat ini dijadikan tempat bersejarah bagi
masyarakat desa Gaji kecamatan Kerek pada khususnya dan masyarakat Tuban pada
umumnya.
Tokoh Ki Lowo dalam legenda Asal Usul Desa Gaji ini, masih berpengaruh dalam
kehidupan masyarakat. Hal ini dibuktilan dengan adanya Haul Ki Lowo yang
dilaksanakan setiap malam Jum'at legi pada bulan Rabiul Awal, dan ditempatkan di
sekitar makam Ki Lowo.
Di samping mengadakan haul Ki Lowo , masyarakat desa Gaji juga mengadakan
ritual, yaitu "manganan" . Manganan ini dilaksanakan di makam Ki Lowo dan di sumur
kembar yang digali Ki Lowo bersama masyarakat Gaji.
Waktu mengadakan acara "manganan", masyarakat berlomba-lomba membawa
makanan pada acara tersebut. Tujuannya untuk meminta keselamatan, dan
menghindarkan dari malapetaka.
Tokoh Ki Demang Abilowo menurut sejarahnya adalah salah satu ulama yang
setaraf dengan Syeh Mahmudi As'ari dan Syeh Asmorokandi. Juga masih keluarga dari
keduanya.
Jadi, itulah secuil legenda asal-usul desa Gaji yang sampai sekarang masih
diyakini dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat desa Gaji Kecamatan Kerek
Kabupaten Tuban.
Folklor legenda Asal Usul Desa Gaji ini, diceritakan oleh sesepuh desa Gaji
(umur: 70 tahun; pekerjaan: petani; pendidikan: tamat SD; alamat: desa Gaji; bahasa yang
digunakan: bahasa Jawa). Folklornya dapat dibaca secara lengkap di bawah ini.
Desa Gaji adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Kerek Kabupaten
Tuban. Desa ini terletak sekitar 4 km arah barat pusat Kecamatan Kerek. Menurut
beberapa tokoh masyarakat desa ini menyimpan sebuah cerita yang sampai kini
masih diyakini oleh masyarakat setempat, yaitu folklor "Legenda Asal Usul Desa
Gaji". Menurut beberapa tokoh masyarakat bahwa pada zaman dahulu sebelum
datangnya para wali, di wilayah Tuban ini telah hidup tokoh-tokoh ulama Agama
Islam. Ulama-ulama itu, antara lain: 1) Kyai Mahmudin Ashari atau lebih dikenal
dengan sebutan "Mbah Modin As'ari" atau "Sunan Bejagung, 2) Syeh Asmoro Kondi
ayah Sunan Ampel, dan 3) Syeh Abdullah yang terkenal dengan nama "Ki Demang
Abilowo" kemenakan dari Syeh Asmorokondi dan Syeh As'ari.
Masyarakat desa "Gaji" meyakini bahwa Ki Demang Abilowo adalah pendiri
dan sesepuh desa "Gaji". Karena Ki Demang Abilowo atau Ki Lowo tidak pernah
menceriterakan asala usulnya, maka masyarakat desa "Gaji" menganggap Ki
Demang Abilowo atau Ki Lowo sebagai orang sakti yang minggat, dalam bahasa
Jawanya "minggate owong kang aji". kata "aji" artinya "sakti". Orang awam
menyebutnya sacara gampang yaitu menjadi "gaji". Seiring dengan banyaknya
penduduk yang tinggal di sekitar sumur kembar itu maka tempat itu diberi nama
"gaji".
Pada zaman dahulu, sebelum datangnya para Wali, wilayah Tuban
dikehendaki oleh tokoh-tokoh ulama Agama Islam. Ulama-ulama ini diantaranya :
Kyai Mahmudin Ashari yang sering disebut Mbah Modin Asari atau lebih dikenal
dengan Sunan Bejagung, Syeh Asmorokondi, ayah dari Sunan Ampel, dan Syeh
Abullah yang dikenal dengan Ki Demang Abilowo. Ki Demang Abilowo ini
termasuk kemenakan dari Syeh Asmorokondi dan Syeh Asari.
Untuk meningkatkan kesejahteraan taraf hidup masyarakat Tuban, para
Ulama Agama Islam berupaya untuk mengadakan pembangunan dibidang fisik
adapun pembangunan mental manusianya. Pembangunan dibidang fisik seperti
pembuatan jalan, jembatan, saluran air dan sebagainya. Sedangkan pembangunan
mental manusia dengan cara mendirikan pondok pesantren untuk memperdalam ilmu
Agama Islam.
Dalam melaksanakan pembangunan ini, diadakan pembagian tugas dan
wilayah diantara para ulama. Ki Demang Abilowo mendapat tugas membuat jalan
dari Tuban menuju Semanding, selain itu juga mendapat tugas untuk membangun
wilayah Tuban bagian barat.Dengan niat ingin menyiarkan Agama Islam Ki Demang
Abilowo akhirnya pergi untuk melaksanakan tugas, beliau menuju ke arah barat.
Ki Demang Abilowo menyiarkan Agama Islam dengan berpindah- pindah.
Dari perkampungan yang satu keperkampungan yang lain. Kadang juga bersemedi
disuatu tempat. Salah satu tempat yang pernah dijadikan tempat semedi adalah
punden yang terletak di Desa Mliwang Kecamatan Kerek Tempat itu sampai
sekarang masih diyakini sebagian orang sebagai tempat yang dapat mendatangkan
berkah.
Akhirnya Ki Demang Abilowo sampailah disuatu tempat perkampungan yang
terletak di tengah hutan belantara. Kampung ini bernama kampung Samben, karena hutan
tersebut banyak terdapat pohon sambi. Rakyatnya tidaklah terlalu banyak, keadaan alam
sangat gersang.
Di kampung Samben ini, Ki Demang Abilowo mengajarkan Ilmu Agama Islam
kepada masayarakat, tidak hanya Ilmu Agama saja yang diajarkan tetapi juga ilmu
Kemasyarakatan dan Ilmu Pertanian. Dengan bergotong-royong masyarakat membuat
Surau. Surau inilah yang digunakan sebagai tempat belajar bagi santri- santrinya.
Ki Demang Abilowo bukanlah orang sembarangan. Beliau mempunyai kesaktian
yang luar biasa, sehingga semakin hari murid-muridnya semakin banyak, salah satu
murid yang paling dekat dengan Ki Demang Abilowo adalah Ki Sabrang. Banyak orang-
orang berdatangan dari tempat yang jauh untuk bertemu deagan Ki Demang Abilowo,
baik untuk memperdalam kesaktian atau mencari obat untuk kesembuhan suatu penyakit
maupun kedatangannya ada yang ingin cepat mendapatkan jodoh, dan lain sebagainya.
Keadaan kampung Samben sangatlah gersang tidak ada sumber air ditempat ini.
Untuk mencari air harus berjalan kaki dengan menempuh jarak sekitar 8 km, yaitu
sumber air Ngipeng. Akhirnya Ki Demang Abilowo membuat dua buah sumur sekaligus
disebelah utara kampung Samben. Sumur ini diberi nama Sumur Dompong. Namun
masyarakat lebih mengenalnya dengan sumur kembar, karena dua buah sumur itu
berdekatan dan sama persis bentuknya. Keunikan dari kedua sumur ini adalah terbuat dari
batu besar yang utuh dan dilubangi di tengahnya, dengan kedalaman 25 meter. Rasanya
mustahil kalau manusia bisa tanpa mempunyai suatu belebihan untuk bisa membuat
sumur seunik itu. Sumur itu sampai kini masih digunakan masyarakat sekitanya sebagai
sumber air untuk digunakan aktifitas setiap hari-harinya dan sumber air itu tidak pemah
mengalami kekeringan walaupun pada waktu musim kemarau yang panjang.
Dengan adanya sumber air dari sumur kembar itu, lama kelamaan kampung ini
semakin banyak didatangi orang, sehingga penduduknya semakin lama semakin
bertambah banyak dan padat.
Ki Demang Abilowo tisak pernah menceritakan asal usulnya. Masyarakat
kampung Samben menganggap Ki Demang Abilowo sebagai orang sakti yang minggat.
Itulah dalam bahasa jawa Minggate wong kang aji, dari istilah ini disingkat GAJI.
Seiring dengan banyaknya penduduk yang tinggal disekitar sumur kembar, akhirnya
tempat ini diberi nama GAJI Namun tidak ada sumber yang mengatakan siapa yang
memberi nama GAR tersebut.
Masyarakat Gaji lebih mengenal Ki Demang Abilowo dengan sebutan KI
LOWO. Ki Lowo semakin kerasan dan betah untuk tinggal di Desa Gaji. Akhirnya Ki
Lowo menetap di Gaji sampai akhir hayatnya, namun sayang Ki Lowo tidak mempunyai
istri, sehingga tidak mempunyai keturunan selanjutnya.
Ki Lowo di makamkan di Dusun Karang Binangun Desa Gaji Kecamatan Kerek.
Makam Ki Lowo ditandai dengan dua buah nisan dari kayu. Batang kayu yang utuh,
tanpa pahatan. Kayu sebagai nisan ini diyakini masyarakat sudah berumur ratusan tahun
lamanya. Nisan ini belum pernah diganti sejak pertama kali ditancapkan. Pada saat
wafatnya Ki Lowo. Dan sampai sekarang nisan ini masih utuh dan tidak lapuk. Makam
Ki Lowo sampai saat ini masih terawat dengan baik, tempat ini dijadikan tempat
bersejarah bagi masyarakat desa Gaji pada khususnya, dan masyarakat Tuban pada
umumnya.
Masyarakat desa Gaji meyakini bahwa Ki Lowo adalah pendiri dan sesepuh Desa
Gaji, sehingga untuk mengenang jasanya setiap tahun masyarakat Desa Gaji mengadakan
Haul Ki Lowo. Haul Ki Lowo ini dilaksanakan setiap malam Jumat legi pada bulan
Robiul Awal, dan beralamat disekitar makam Ki Lowo. Pada acara ini, tokoh-tokoh Desa
Gaji membentuk panitia Haul Ki Lowo. Dalam Haul ini diadakan pengajian Akbar
dengan mendatangkan Dai dari ulama-ulama Agama Islam yang tersohor namanya.
Haul yang ke VI, yang dilaksanakan pada bulan Robiul Awal tahun ini sukses.
Masyarakat berdatangan dari berbagai daerah Tuban pada umumnya. Disamping datang
untuk mendengarkan pengajiannya. Masyarakat sekaligus datang untuk berziarah ke
makam Ki Lowo. Sebagian orang meyakini, dengan berziarah ke makam Ki Lowo akan
mendapatkan berkah dari Allah SWT.
Disamping mengadakan Haul Ki Lowo, masyarakat Desa Gaji juga mengadakan
acara ritual yaitu Manganan Acara ini dilaksanakan setiap tahun. Manganan bisa juga
disebut dengan ngadran atau bersih desa. Manganan ini dilaksanakan di makam Ki Lowo
dan di sumur kembar. Waktu manganan, masyarakat khususnya Desa Gaji membawa
segala macam makanan ketempat tersebut. Tujuannya untuk meminta keselamatan, dan
menghindarkan malapetaka. Ada nasi dan lauk pauknya, kue-kue buah- buahan dan lain
sebagainya.
Sejarah dan keberadaan makam Ki Lowo atau Ki Demang Abilowo di Desa
Gaji Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban inijuga diperkuat oleh beberapa tokoh
Agama Islam Kabupaten Tuban. Termasuk K.H. Abdul Matin,S.H yang pernah
memberikan ceramah pada saat Haul Ki Lowo bahwa Ki Demang Abilowo adalah
salah satu ulama yang setaraf dengan Syeh Mahmudin Asari dan Syeh
Asmorokondi. Dan juga masih keluarga dari keduanya. Dan memang benar makam
Ki Lowo terletak di Desa Gaji.
Itulah legenda rakyat Desa Gaji, yang sampai sekarang masih diyakini masyarakat
Desa Gaji. Namun sayang, cerita rakyat ini sampai sekarang belum pernah dibukukan dan
dipublikasikan. Kalau toh ada yang menulis cerita ini hanya untuk koleksi pribadi saja.
Peneliti,
Folklor legenda Mliwang dan Macan Putih di desa Mliwang, juga merupakan
lagenda yang masih diyakini dan dilestarikan oleh masyarakat setempat. Folklor ini
menceritakan tentang tokoh folklor yang bernama Syeh Abdullah bersama santri-
santrinya berperang melawan Macan Putih, di hutan Mliwang. Menurut tukang cerita
(sesepuh desa setempat), kejadian ini diperkirakan terjadi pada awal masuknya islam ke
Tuban. Karena kesaktiannya, maka tokoh Syeh Abdullah bersama santrinya dapat
mengalahkan dan meluluhkan hati pasukan Macan Putih.
Akhirnya, pasukan Macan Putih mengijinkan Syeh Abdullah bersama santrinya
untuk tinggal di sekitar bukit Mliwang, dengan syarat yang telah disetujui oleh kedua
belah pihak, yaitu: masyarakat yang menghuni di sekitar bukit Mliwang: tidak boleh
memakai udeng kawung, tidak boleh memakai stagen biru, tidak boleh kawin dengan
tetangga desa (desa Kasiman), tidak boleh memelihara kambing kibas, tidak boleh
menggunakan cangkul bawak (separo kayu dan mata cangkulnya terbuat dari besi), tidak
boleh menembok rumah, dan yang paling utama tidak boleh membangun rumah dengan
pintu menghadap utara (silakan baca folklornya).
Menurut folklor lagenda ini, bahwa syarat yang diajukan oleh Pasukan Macan
Putih ini, disetujui dan disanggupi oleh Syeh Abdullah. Sehingga sampai sekarang di desa
Mliwang tidak ada masyarakat yang membangun rumahnya dengan pintu menghadap
utara. Menurut folklornya kalau ada masyarakat yang membangun rumah dengan pintu
menghadap utara, maka akan ketakutan, sakit mendadak, bahkan akan meninggal waktu
itu juga (silakan baca folklornya).
Folklor legenda Mliwang dan Macan Putih ini, diceritakan oleh Sesepuh desa atau
tokoh masyarakat (umur 70 tahun, asal desa: Mliwang, berbahasa Jawa, pekerjaan:
bertani, pendidikan: SR). Bacalah secara lengkap folklor legenda Mliwang dan Macan
Putih, berikut.
Salah satu cerita rakyat yang sampai saat ini masih berpengaruh dan
dilestarikan oleh masyarakat di Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban adalah adat tradisi
masyarakat Desa Mliwang. Di desa ini sampai sekarang tak ada satupun rumah yang
menghadap ke utara. Rakyat Mliwang hanya boleh membuat rumah menghadap ke barat,
timur atau selatan. Anehkan?
Cerita ini diperkirakan terjadi pada awal masuknya Islam ke Tuban. Adalah
Syekh Abdullah. Waktu itu, ia bersama para santrinya hendak mencari tempat yang
tepat untuk mendirikan tempat perguruan. Setelah menemukan hutan Mliwang yang di
tengahnya terdapat bukit kecil menjulang, maka berhentilah Syekh Abdullah di sana. Ia
memerintahkan para santrinya untuk membabat hutan. Perjuangannya dengan para
santri dalam membabat hutan Mliwang tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan.
Konon, hutan-hutan di sepanjang pantai utara Jawa dulu sebelum Syekh
Subakir menanam tumbal untuk mengusir makhluk makhluk halus itu ke pantai
selatan, adalah tempat yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya setan,
dedemit, gondoruwo, banaspati, sundel bolong, dan bermacam-macam bangsa jin. Hal
ini juga terjadi di hutan Mliwang.
Sebenarnya, dalam beberapa han hutan-hutan yang berada di kaki dan lereng
bukit telah berhasil dibabat oleh para santri. Semua makhluk halus yang semula
bermukim di hutan itu dengan berbagai cara telah berhasil disingkirkan oleh Syekh
Abdullah ke tempat lain yang jauh.
Beberapa orang santri yang ditugasi membuat tempat tinggal sementara dan kayu-
kayu yang ditebang dan diberi atap daun telah selesai sebelum matahari tenggelam. Rumah
kecil itu diberi pintu menghadap ke utara. Syekh Abdullah kemudian
memerintahkan para santrinya untuk beristirahat karena besok pagi masih banyak
pekerjaan yang harus diselesaikan.
Malam ibu tanggal tiga belas hitunga nbulan. Seisi jagadraya terang bermandikan
cahaya. Begitu pula di sekitar perbukitan Mliwang. Namun, entah mengapa tiba-tiba
langit menjadi gelap dan angin bertiup dan arah utara dengan bergitu dahsyatnya.
Banyak pohon yang tumbang, bahkan tercerabut sampai akar-akarnya dari tanah.
rumah kecil yang dipakai istirahat para santri itupun ambruk bahkan atap-atapnya
melayang ke angkasa. Auman harimau segera menggema dengan begitu menyeramkan dan
segalapenjuru mengungkung bukit Mliwang.
Melihat keadaan semacam itu, para santri lari ketakutan mencari tempat
berlindung. Sementara itu, Syekh Abdullah tampak bersujud. Angin yang semenj ak tadi
menyerang, kepulan debu yang tertuju ke arahnya, dan auman harimau yang
menakutkan sama sekali tak dihiraukan. Ia beristighfar memohon perlindungan Allah.
Setelah itu ia bangkit melawan serangan angin. Dengan berdiri kokoh ia kumandangkan
adzan.
Begitu kumandang adzan selesai, angin dan auman harimau itu tak lagi terjadi.
Mendung tebal yang menyaput langit, seketika itu juga lenyap. Bulan pun kembali terang
menyinari bumi. Keesokan harinya, Syekh Abdullah memerintahkan para. santrinya untuk
membuat rumah kecil seperti kemarin. Setelah jadi, nimah itu pun diberi pintu menghadap ke
utara. Pada tengah malam, kejadian seperti malam kemarin pun terjadi kembali. Langit
gelap, angin mengamuk, dan auman harimau siap menebar maut menggemadi bukit
Mliwang.
Syekh Abdullah tampak bersujud. Ia beristighfar memohon perlindungan Allah.
Setelah itu ia bangkit melawan arus angin yang dahsyat. Dengan berdiri kokoh la
kumandangkan adzan. Begitu kumandang adzan selesai, angin dan auman harimau itu tak lagi
terjadi. Awan tebal yang menyaput langit, seketika itu juga lenyap. Bulan pun kembali
terang menyinari bumi.
Pagi harinya, Syekh Abdullah kembali rnemerinpara santrinya untuk membuat
rumah kecil dan diberi pintu menghadap ke utara. Sebagian yang lain tetap melanjutkan
tugasnya, menebang hutan jati di lereng bukit untuk dijadikan pemukiman. Malam itu bulan
sedang purnama penuh. Tanggal lima belas. Syekh Abdullah melarang semua santrinya untuk
tidur. Dalam kondisi apapun mereka harus tetap terjaga. Menurut mata batinnya,
serangan seperfii malam-malam kemarin akan menemui puncaknyamalamini. Mungkin
akan lebih dahsyat lagi.
Ketika bulan tepat di atas ubun-ubun, angin bertiup sangat kencang dan arah utara.
Namun, kali ini langit tak tertutup sedikitpun oleh awan hitam. Dari puncak bukit, auman
harimau sambung-menyambung terdengar seperti siap menebar maut
Kali ini auman itu tidaklah sekedar auman. Di bawah terang cahaya bulan, tiba-tiba
muncullah pasukan harimau yang sangat banyak jumlahnya. Suara harimau itu semakin
dekat semakin menakutkan. Apalagi melihat pimpinannya yang berrwujud putih dengan
tubuh sangat besar dan menyeramkan. Para santri Ian tunggang langgang dikejar pasukan
harimau yang berwajah garang dan tampak kelaparan. Beberapa di antara mereka harus
terluka oleh cakaran-cakaran harimau yang begitu tajam. Bahkan, tidak jarang bagian tubuh
mereka berlumuran darah akibat diterjang harimau-harimau itu.
Para santri berebut melompat ke tanah lapang yang telah diberi linkarang putih
oleh Syekh Abdullah. Ketika mereka telah berada di dalam lingkaran, garis putih itu pun berubah
menjadi kobaran api yang sangat besar. Tentu saja, harimau-harimau itu tak lagi berani
mengejar. Namun demikian, mereka tetap mengaum sambil berlari-lari mengelilingi
lingkaran hendak menerjang.
"Jangan main keroyok. Hai, macan putih kalau berani hadapi aku sendirian!" teriak
SyekhAbdullah.
Macan putih itupun mengangguk kepada anak buahnya yang menyeringai.
Maka, dalam waktu sekejap mereka bersimpuh membentuk kalangan (lingkaran) yang
akan menjadi tempat Syekh Abdullah dan macan putih mempertaruhkan nyawa.
Syekh Abdullah tampak sedang memusatkan perhatian untuk melawan macan putih.
Malam itu, terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat antara keduanya. Dua sosok itu
melompat lompat ke udara. Perputarannya sangat cepat sehingga membentuk dua gumpalan
cahaya. Setiap kali berbenturan, melompatlah lidah api yang menyala nyala.
Hari terus merambat menjelang pagi. Pertempuran seru itu puntak kunjung
selesai. Namun, karena macan putih agak lengah maka Syekh Abdullah berhasil
menyabetkan sajadahnya ke bagian perut macan putih. Ia menyeringai menahan sakit
yang tak tertahankan. "Bagaimana, masih akan dilanjutkan?" tanya Syekh Abdullah.
"Cukup. Hai, manusia. Siapa namamu yang telah lancang mengobrak- abrik wilayah
kekuasaanku ? Katakan apa maumu !"kata si macan putih. "Aku Syekh Abdullah." "Hai,
Sykeh Abdullah. Aku telah mengirim peringatan-peringatan agar kalian tidak
melanjutkan merusak wilayahku. Tapi, mengapa tetap saja engkau lanjutkan?" tanya
macan putih itu dengan suara agak tersendat.
"Hai macan putih. Bukan maksud kami merusak tempat tinggalmu. Kami
hanya ingin mencari tempat berguru yang tenang. Biarlah murid-muridku itu
berguru ilmu Allah. Mengabdikan hidupnya di jalan Allah! Bukankah kalian bangsa
jin yang menyaru sebagai harimau-harimau ini juga hamba Allah?"
Mendengar kata "Allah", bangsa jin itu pun luluh hatinya. "Baiklah Syekh
Abdullah. Kalian saya izinkan untuk tinggal di sekitar bukit ini, tapi ada syaratnya !" kata
macan putih itu.
Apa syaratnya?"
"Ada sembilah pantangan yang kelak harus dipenuhi oleh orang-orang yang
menghuni sekitar bukit Mliwang ini."
"Apa saja pantangan itu, hai macan putih?"
"Mereka tidak boleh memakai udeng kawung, stagen biru, kawin dengan
tetangga desa (Desa Kasiman), memelihara kambing gibas, menggunakan cangkul
bawak (separuh kayu dan mata cangkulnya terbuat dari besi), menembok rumah. Dan
yang paling utama, janganlah pernah membangun rumah dengan pintu menghadap ke
utara !"
"Boleh aku bertanya, hai macan putih?" "Hanya satu hal."
"Baik, mengapa kami tidak boleh membangun rumah dengan pintu menghadap
ke utara ?"
"'Tempat tinggalku ada di sebelah utara. Sewaktu-waktu kami menjelma menjadi
pasukan macan yang menakutkan seperti malam ini. Nah, jika rumah warga di sini
menghadap ke utara mereka akan mengetahuinya. Tentunya mereka akan ketakutan, sakit
mendadak atau bahkan akan meninggal waktu itu juga. Bagaimana, Syekh apakah Anda
sanggup?"
Baik Baik, kami akan mematuhinya."
"Jangan lupa, jika pantangan itu dilanggar, aku akan mengerahkan pasukanku
untuk menyerang wargamu yang melanggarnya"
Setelah memberi pesan, macan putih itu mendongakkan kepalanya ke
angkasa menatap bulan yang bulat sempurna sambil mengaum panjang. Suaranya sangat
nyaring namun menakutkan. Dan, harimau-harimau Yang lain pun kembali tegak berdiri.
Dalam sekejap, mereka lenyap dari hadapan Syekh Abdullah dan para santrinya.
Peneliti,
IV. Kesimpulan dan Saran-saran
4.1 Kesimpulan
Folklor merupakan salah satu kekayaan budaya lama yang patut dihargai dan
dilestarikan. Setiap bangsa, daerah atau masyarakat memiliki folklor yang diwariskan
secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya.
Di dalam cerita folklor ini akan ditemukan norma-norma sosial atau nilai-nilai
estetis yang tinggi. Oleh karena itu, wajarlah kalau masyarakat pewarisnya masih
mengagungkan, mengultuskan, memitoskan, dan melestarikannya dengan baik. Folklor
bagi masyarakat kolektifnya dapat dijadikan sebagai seni tauladan dalam bertingkah laku
dan dapat dijadikan kebanggaan identitas daerahnya.
Tujuan penelitian folklor dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat
Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban, adalah untuk memperoleh deskripsi tentang jumlah
folklor lisan yang difokuskan pada cerita prosa rakyat yang meliputi 1) Mithe, 2) legenda,
dan 3) dongeng yang hidup dan tersebar dalam masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten
Tuban. Lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana atau adakah pengaruh folklor tersebut
dalam kehidupan masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua metode, yaitu 1)
metode pengumpulan data, dan 2) metode analisis data. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode angket, wawancara, dan
perekaman. Angket atau daftar pertanyaan diisi oleh peneliti pada saat wawancara.
Perekaman dilakukan oleh peneliti pada saat tukang cerita menceritakan folklor; tetapi
kenyataannya jarang tukang cerita yang mau direkan ceritanya dalam penelitian ini. Jadi,
peneliti harus menulis secara langsung cerita lisan dari tukang cerita. Metode analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode analisis deskriptif dan
kuantitatif, maksudnya peneliti bermaksud mendeskripsikan dan menggambarkan jumlah
folklor yang hidup dan masih dilestarikan oleh masyarakatnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di kecamatan Kerek Kabupaten
Tuban, maka diperoleh jumlah folklor yang hidup dan masih diingat oleh masyarakat
kecamatan Kerek, sebanyak 9 folklor.
Dari jumlah 9 folklor tersebut, ternyata semuanya adalah jenis folklor legenda.
Hal ini, menurut pengakuan masyarakat kolektif disebabkan folklor jenis lagenda adalah
cerita rakyat yang benar-benar terjadi pada masa itu yang masih diingat dan diturunkan
secara lisan kepada anak cucu mereka sampai sekarang. Misalnya, 1) lagenda asal usul
desa Kerek, 2) lagenda asal usul desa Gaji, 3) lagenda asal usul desa Jarorejo, 4) lagenda
asal usul terjadinya desa Jarorejo (versi lain), 5) legenda asal usul desa Tengger Wetan, 6)
legenda Wali Rendah Hati dari Sumber Arum, 7) legenda Goa Astana Penembahan Watu
Putih, 8) legenda Kejadia Dusun Kebomati Desa Gaji, dan 9) legenda Mliwang dan
Macan Putih.
Jenis folklor mite tidak ditemukan dalam penelitian ini. Hal ini, mungkin
disebabkan folklor mite tidak diturunkan secara turun temurun kepada anak cucunya
sehingga akhirnya punah; atau juga mungkin masyarakat Kecamatan Kerek sebagai
obyek penelitian ini tidak percaya terhadap folklor mite karena pengaruh ajaran islam
yang kuat dari masyarakat setempat dan pengaruh sikap moderen masyarakat setempat.
Jenis folklor dongeng juga tidak ditemukan dalam penelitian ini. Hal ini, karena
folklor dongeng dianggap sebagai cerita hayalan semata yang tidak benar-benar terjadi
sehingga masyarakat tidak begitu berminat mencertakannya dan menurunkan kepada
generasi berikutnya.
Ternyata folklor-folklor lagenda tersebut, masih berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban. Misalnya, tokoh Ki Demang Abilowo
( masyarakat Gaji menyebutnya Ki Lowo) dalam legenda Asal Usul Desa Gaji adalah
tokoh yang masih diceritakan oleh masyarakat dan menjadi tauladan masyarakat karena
1) semangatnya menyiarkan agama islam berpindah pindah dari kampung yang satu ke
kampung yang lain, 2) kesaktiannya sehingga banyak orang yang berguru kepadanya, 3)
semangatnya membangun desa dan mensejahtrakan masyarakatnya sehingga desa Gaji
yang pada awalnya kekurangan air menjadi desa yang tidak kekurangan air lagi, karena
menurut cerita masyarakat tokoh Ki Demang Abilowo ini mampu menggerakkan
masyarakat membangun dua buah sumur kemar sekaligus. Dengan adanya air dari dua
sumur kembar ini, maka lama kelamaan kampung Gaji ini banyak didatangi orang,
sehingga penduduknya semakin lama makin padat.
Masyarakat desa Gaji ini meyakini bahwa Ki Lowo adalah pendiri dan sesepuh
desa Gaji. Ki Lowo dimakamkan di desa Gaji Kecamatan Kerek. Makam Ki Lowo
sampai saat ini masih terawat dengan baik. Tempat ini dijadikan tempat bersejarah bagi
masyarakat desa Gaji kecamatan Kerek pada khususnya dan masyarakat Tuban pada
umumnya.
Tokoh Ki Lowo dalam legenda Asal Usul Desa Gaji ini, masih berpengaruh dalam
kehidupan masyarakat. Hal ini dibuktilan dengan adanya Haul Ki Lowo yang
dilaksanakan setiap malam Jum'at legi pada bulan Rabiul Awal, dan ditempatkan di
sekitar makam Ki Lowo.
Di samping mengadakan haul Ki Lowo , masyarakat desa Gaji juga mengadakan
ritual, yaitu "manganan" . Manganan ini dilaksanakan di makam Ki Lowo dan di sumur
kembar yang digali Ki Lowo bersama masyarakat Gaji.
Waktu mengadakan acara "manganan", masyarakat berlomba-lomba membawa
makanan pada acara tetrsebut. Tujuannya untuk meminta keselamatan, dan
menghindarkan dari malapetaka.
Tokoh Ki Demang Abilowo menurut sejarahnya adalah salah satu ulama yang
setaraf dengan Syeh Mahmudi As'ari dan Syeh Asmorokandi. Juga masih keluarga dari
keduanya.
Jadi, itulah secuil legenda asal-usul desa Gaji yang sampai sekarang masih
diyakini dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat desa Gaji Kecamatan Kerek
Kabupaten Tuban.
Folklor legenda Mliwang dan Macan Putih di desa Mliwang, juga merupakan
lagenda yang masih diyakini dan dilestarikan oleh masyarakat setempat. Folklor ini
menceritakan tentang tokoh folklor yang bernama Syeh Abdullah bersama santri-
santrinya berperang melawan Macan Putih, di hutan Mliwang. Menurut tukang cerita
(sesepuh desa setempat), kejadian ini diperkirakan terjadi pada awal masuknya islam ke
Tuban. Karena kesaktiannya, maka tokoh Syeh Abdullah bersama santrinya dapat
mengalahkan dan meluluhkan hati pasukan Macan Putih.
Akhirnya, pasukan Macan Putih mengijinkan Syeh Abdullah bersama santrinya
untuk tinggal di sekitar bukit Mliwang, dengan syarat yang telah disetujui oleh kedua
belah pihak, yaitu: masyrakat yang menghuni di sekitar bukit Mliwang: tidak boleh
memakai udeng kawung, tidak boleh memakai stagen biru, tidak boleh kawin dengan
tetangga desa (desa Kasiman), tidak boleh memelihara kambing kibas, tidak boleh
menggunakan cangkul bawak (separo kayu dan mata cangkulnya terbuat dari besi), tidak
boleh menembok rumah, dan yang paling utama tidak boleh membangun rumah dengan
pintu menghadap utara (silakan baca folklornya).
Menurut folklor lagenda ini, bahwa syarat yang diajukan oleh Pasukan Macan
Putih ini, disetujui dan disanggupi oleh Syeh Abdullah. Sehingga sampai sekarang di desa
Mliwang tidak ada masyarakat yang membangun rumahnya dengan pintu menghadap
utara. Menurut folklornya kalau ada masyarakat yang membangun rumah dengan pintu
menghadap utara, maka akan ketakutan, sakit mendadak, bahkan akan meninggal waktu
itu juga (silakan baca folklornya).
Beberapa tokoh masyarakat desa Gaji, tukang cerita, pencinta budaya lama,
pemerintah di kecamatan Kerek sangat menyetujui pendokumentasian folklor di
Kecamatan Kerek ini. Mereka juga menyetujui folklor-folklor yang isinya berpengaruh
positif, mendidik, dapat dijadikan bahan pengajaran bagi murid mulai dari sekolah dasar
dampai ke tingkat SLTA.
4,2 Saran-saran
Ada beberapa saran yang ingin peneliti sampaikan kepada masyarakat dan
pemerintah, anatara lain sebagai berikut:
1)Pemerintah diharapkan meningkatkan pendidikan diberbagai pelosok desa, baik
pendidikan umum maupun pendidikan agama. Dengan pendidikan yang meningkat
maka diharapkan masyarakat dapat membedakan mana folklor yang berpengaruh
negatif dan mana folklor yang berpengaruh positif.
2)Pemerintah Kabupaten, Kecamatan, maupun desa, bersama masyarakat diharapkan agar
tetap melestarikan atau memelihara folklor-folklor yang sekiranya dapat menunjang
pembangunan desa.
3)Pemerintah Kabupaten, kecamatan, dan desa diharapkan mengambil langkah-langkah
pendokumentasian folklor-folklor guna pelestarian kebudayaan daerah atau nasional.
4)Pemerintah Kabupaten, kecamatan maupun desa diharapkan ikut serta dalam usaha
pendokumentasian folklor yang ada di daerahnya.
5)Dirapkan kepada masyarakat agar dapat mengambil tauladan kepada tokoh-tokoh
folklor dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya: Tokoh folklor lagenda Asal Usul
Desa Gaji, tokoh Mbah Djoyo dalam legenda Kejadian Dusun Kebomati Desa Gaji,
tokoh-tokoh folklor dalam legenda Mliwang dan Macan Putih.
6)Diharapkan kepada masyarakat untuk mengambil nilai nilai positif saja dari foklor yang
ada, bukan hal-hal yang negatif.
DAFTAR PUSTAKA
Aliana, Arifin, Zainal dkk. 1979. Ekspesi Semiotik Tokoh Mitos dan Legendaris Dalam
Tutur Sastra Nusantara di Sumatra Selatan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta.
Arifin, Bustanul, dkk. 1986. Sastra Indonesia (lama, baru, dan modern). Bandung: Lubuk
Agung.
Atmazaki, Drs. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Penerapan. Padang: Angkasa Raya.
Danarjaya, James, Prof. Dr. 1991. Folklor Indonesia. PT. Temprint: Jakarta.
-------------------. 1990. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Penelitian Folklor. Malang:
YA3.
Hasyim, Nafron. 1981. Pengajaran Bahasa dan Sastra "Usaha Pemupukan Apresiasi Sastra
Indonesia Lama, Masalah Yang Hampir Menguap dari Ruang Kelas. Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa: Jakarta.
Sadi Hutomo, Suripan, Prof., Dr. 1988. Model Penelitian Seni Budaya. Pusat Penelitian
IKIP Surabaya: Surabaya.
Sudikan, Yuwana, Setya, Dr., MA. 1993. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra
Wacana.
Sujiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Folklor .1 Legenda : Data Informan (Pencerita)
Di Desa Kerek : Nama Sesepuh Desa :
Kecamatan Kerek : Tempat, tanggal Tahun 80 :
lahir (umur)
Jabatan / pekerjaan -:
Pendidikan Tamat SR :
Bahasa Jawa :
Alamat Kerek :
,Peneliti
Desa Gaji adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Kerek Kabupaten
Tuban. Desa ini terletak sekitar 4 km arah barat pusat Kecamatan Kerek. Menurut
beberapa tokoh masyarakat desa ini menyimpan sebuah cerita yang sampai kini
.masih diyakini oleh masyarakat setempat
Pada zaman dahulu, sebelum datangnya para Wali, wilayah Tuban
dikehendaki oleh tokoh-tokoh ulama Agama Islam. Ulama-ulama ini diantaranya :
Kyai Mahmudin Ashari yang sering disebut Mbah Modin Asari atau lebih dikenal
dengan Sunan Bejagung, Syeh Asmorokondi, ayah dari Sunan Ampel, dan Syeh
Abullah yang dikenal dengan Ki Demang Abilowo. Ki Demang Abilowo ini
.termasuk kemenakan dari Syeh Asmorokondi dan Syeh Asari
Untuk meningkatkan kesejahteraan taraf hidup masyarakat Tuban, para
Ulama Agama Islam berupaya untuk mengadakan pembangunan dibidang fisik
adapun pembangunan mental manusianya. Pembangunan dibidang fisik seperti
pembuatan jalan, jembatan, saluran air dan sebagainya. Sedangkan pembangunan
mental manusia dengan cara mendirikan pondok pesantren untuk memperdalam ilmu
.Agama Islam
Dalam melaksanakan pembangunan ini, diadakan pembagian tugas dan
wilayah diantara para ulama. Ki Demang Abilowo mendapat tugas membuat jalan
dari Tuban menuju Semanding, selain itu juga mendapat tugas untuk membangun
.wilayah Tuban bagian barat
Dengan niat ingin menyiarkan Agama Islam Ki Demang Abilowo akhirnya
pergi untuk melaksanakan tugas, beliau menuju ke arah barat.
Ki Demang Abilowo menyiarkan Agama Islam dengan berpindah- pindah.
Dari perkampungan yang satu keperkampungan yang lain. Kadang juga bersemedi
disuatu tempat. Salah satu tempat yang pernah dijadikan tempat semedi adalah
punden yang terletak di Desa Mliwang Kecamatan Kerek Tempat itu sampai
sekarang masih diyakini sebagian orang sebagai tempat yang dapat mendatangkan
.berkah
Akhirnya Ki Demang Abilowo sampailah disuatu tempat perkampungan
yang terletak di tengah hutan belantara. Kampung ini bernama kampung Samben,
karena hutan tersebut banyak terdapat pohon sambi. Rakyatnya tidaklah terlalu
banyak, keadaan alam sangat gersang.
Di kampung Samben ini, Ki Demang Abilowo mengajarkan Ilmu Agama
Islam kepada masayarakat, tidak hanya Ilmu Agama saja yang diajarkan tetapi juga
ilmu Kemasyarakatan dan Ilmu Pertanian. Dengan bergotong-royong masyarakat
membuat Surau.
Surau inilah yang digunakan sebagai tempat belajar bagi santri- santrinya.
Ki Demang Abilowo bukanlah orang sembarangan. Beliau mempunyai
kesaktian yang luar biasa, sehingga semakin hari murid-muridnya semakin banyak,
salah satu murid yang paling dekat dengan Ki Demang Abilowo adalah Ki Sabrang.
Banyak orang-orang berdatangan dari tempat yang jauh untuk bertemu deagan Ki
Demang Abilowo, baik untuk memperdalam kesaktian atau mencari obat untuk
kesembuhan suatu penyakit maupun kedatangannya ada yang ingin cepat
mendapatkan jodoh, dan lain sebagainya.
Keadaan kampung Samben sangatlah gersang tidak ada sumber air ditempat
ini. Untuk mencari air harus berjalan kaki dengan menempuh jarak sekitar 8 km,
yaitu sumber air Ngipeng. Akhirnya Ki Demang Abilowo membuat dua buah sumur
sekaligus disebelah utara kampung Samben. Sumur ini diberi nama Sumur
Dompong. Namun masyarakat lebih mengenalnya dengan sumur kembar, karena dua
buah sumur itu berdekatan dan sama persis bentuknya. Keunikan dari kedua sumur
ini adalah terbuat dari batu besar yang utuh dan dilubangi di tengahnya, dengan
kedalaman 25 meter. Rasanya mustahil kalau manusia bisa tanpa mempunyai suatu
belebihan untuk bisa membuat sumur seunik itu. Sumur itu sampai kini masih
digunakan masyarakat sekitanya sebagai sumber air untuk digunakan aktifitas setiap
hari-harinya dan sumber air itu tidak pemah mengalami kekeringan walaupun pada
waktu musim kemarau yang panjang.
Dengan adanya sumber air dari sumur kembar itu, lama kelamaan kampung
ini semakin banyak didatangi orang, sehingga penduduknya semakin lama semakin
bertambah banyak dan padat.
Ki Demang Abilowo tisak pernah menceritakan asal usulnya. Masyarakat
kampung Samben menganggap Ki Demang Abilowo sebagai orang sakti yang
minggat. Itulah dalam bahasa jawa Minggate wong kang aji, dari istilah ini
disingkat GAJI. Seiring dengan banyaknya penduduk yang tinggal disekitar sumur
kembar, akhirnya tempat ini diberi nama GAJI Namun tidak ada sumber yang
mengatakan siapa yang memberi nama GAR tersebut.
Masyarakat Gaji lebih mengenal Ki Demang Abilowo dengan sebutan KI
LOWO. Ki Lowo semakin kerasan dan betah untuk tinggal di Desa Gaji. Akhirnya
Ki Lowo menetap di Gaji sampai akhir hayatnya, namun sayang Ki Lowo tidak
mempunyai istri, sehingga tidak mempunyai keturunan selanjutnya.
Ki Lowo di makamkan di Dusun Karang Binangun Desa Gaji Kecamatan
Kerek. Makam Ki Lowo ditandai dengan dua buah nisan dari kayu. Batang kayu
yang utuh, tanpa pahatan. Kayu sebagai nisan ini diyakini masyarakat sudah
berumur ratusan tahun lamanya. Nisan ini belum pernah diganti sejak pertama kali
ditancapkan. Pada saat wafatnya Ki Lowo. Dan sampai sekarang nisan ini masih
utuh dan tidak lapuk.
Makam Ki Lowo sampai saat ini masih terawat dengan baik, tempat ini
dijadikan tempat bersejarah bagi masyarakat desa Gaji pada khususnya, dan
.masyarakat Tuban pada umumnya
Masyarakat desa Gaji meyakini bahwa Ki Lowo adalah pendiri dan sesepuh
Desa Gaji, sehingga untuk mengenang jasanya setiap tahun masyarakat Desa Gaji
mengadakan Haul Ki Lowo. Haul Ki Lowo ini dilaksanakan setiap malam Jumat
legi pada bulan Robiul Awal, dan beralamat disekitar makam Ki Lowo. Pada acara
ini, tokoh-tokoh Desa Gaji membentuk panitia Haul Ki Lowo. Dalam Haul ini
diadakan pengajian Akbar dengan mendatangkan Dai dari ulama-ulama Agama
Islam yang tersohor namanya.
Haul yang ke VI, yang dilaksanakan pada bulan Robiul Awal tahun ini
sukses. Masyarakat berdatangan dari berbagai daerah Tuban pada umumnya.
Disamping datang untuk mendengarkan pengajiannya. Masyarakat sekaligus datang
untuk berziarah ke makam Ki Lowo. Sebagian orang meyakini, dengan berziarah ke
makam Ki Lowo akan mendapatkan berkah dari Allah SWT.
Disamping mengadakan Haul Ki Lowo, masyarakat Desa Gaji juga
mengadakan acara ritual yaitu Manganan Acara ini dilaksanakan setiap tahun.
Manganan bisa juga disebut dengan ngadran atau bersih desa. Manganan ini
dilaksanakan di makam Ki Lowo dan di sumur kembar. Waktu manganan,
masyarakat khususnya Desa Gaji membawa segala macam makanan ketempat
tersebut. Tujuannya untuk meminta keselamatan, dan menghindarkan malapetaka.
Ada nasi dan lauk pauknya, kue-kue buah- buahan dan lain sebagainya.
Sejarah dan keberadaan makam Ki Lowo atau Ki Demang Abilowo di Desa
Gaji Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban inijuga diperkuat oleh beberapa tokoh
Agama Islam Kabupaten Tuban. Termasuk K.H. Abdul Matin,S.H yang pernah
memberikan ceramah pada saat Haul Ki Lowo bahwa Ki Demang Abilowo adalah
salah satu ulama yang setaraf dengan Syeh Mahmudin Asari dan Syeh
Asmorokondi. Dan juga masih keluarga dari keduanya. Dan memang benar makam
.Ki Lowo terletak di Desa Gaji
Itulah legenda rakyat Desa Gaji, yang sampai sekarang masih diyakini
masyarakat Desa Gaji. Namun sayang, cerita rakyat ini sampai sekarang belum
pernah dibukukan dan dipublikasikan. Kalau toh ada yang menulis cerita ini hanya
untuk koleksi pribadi saja.
Peneliti,
Folklor .3 Legenda : Data Informan (Pencerita)
Di Desa Jarorejo : Nama Mbah Tarmudji :
Kecamatan Kerek : Tempat, tanggal Tahun 80 :
lahir (umur)
Jabatan / pekerjaan -:
Pendidikan Tamat SR :
Bahasa Jawa :
Alamat Jarorejo :
ASAL-USUL DESA JAROREJO
Menurut cerita, sejarah berdirinya Desa Jarorejo Kecamatan Kerek terjadi
pada kurang lebih sembilan ratus tahun yang lalu atau tepatnya pada abad sebelas,
ketika salah seorang Pembesar Kerajaan Mataram (Hindu) bermaksud memboyong
dua orang Lanjar dari Desa Maibit Kecamatan Rengel, untuk dipersembahkan
kepada Raja Mataram sebagai Garwo Selir. Sebagaimana kebiasaan dari seorang
Punggawa Besar Kerajaan dimana dalam setiap langkah akan selalu dikawal oleh
prajurit-prajurit Kerajaan yang tangguh, demikian juga dalam perjalanan sang
Pembesar bersama dua orang Lanjar tersebut kala itu, Kawalan prajurit Bregodo
selalu menyertainya.
Peristiwa terjadi ketika rombongan Mataram telah memasuki daerah Oro-
oro Ombo, dimana daerah ini merupakan wilayah kekuasaan Berandal Suronadi
beserta anak buahnya.
Singkat cerita terjadilah pertempuran sengit antara keduanya, dimana
dipihak Berandal ingin merebut dua orang Lanjar, sedang dipihak Prajurit
bermaksud mempertahankan. Sementara pertempuran berjalan seimbang, namun
karena jiwa dan semangat Prajurit akhirnya Berandal Suronadi beserta anak buahnya
dapat dikalahkan dan ditumpas .
Kejadiannya belum cukup sampai disini, begitu perang selesai sisa- sisa
Prajurit Mataram yang ada ternyata tidak lagi menjumpai Sang Pembesar Kerajaan
dan dua Lanjar tadi. Raibnya Sang Pembesar dan dua Lanjar yang dikawal, membuat
sisa-sisa prajurit pengawal gusar dan panik. Pencarianpun dilakukan kesana kemari,
namun keadaan Sang Pembesar dan dua Lanjar masih belum diketemukan , baik
dalam keadaan hidup atau mati. Menghadapi kejadian seperti itu timbul ketakutan
dan kebimbangan diantara para Prajurit yang tersisa untuk kembali ke Mataram.
Umumnya mereka takut bila kembali ke Mataram akan mendapat amarah dan
hukuman dari Sang Raja. Akhirnya dari sisa- sisa prajurit terasebut berketetapan
untuk tetap tinggal di Oro-oro Ombo, dengan maksud bila mungkin sewaktu waktu
dapat menemukan kembali sesembahannya.
Dari kejadian itulah akhirnya daerah Oro- oro Ombo dan sekitarnya
dinamakan NJARO berasal dari kata ILANGE LANJAR LORO.
Juga ada versi lain yang menceritakan kata NJARO berasal dari kata
JARO ( PAGAR ). Menurut versi ini, untuk memperkuat pengamanan bila
mungkin masih ada sisa- sisa laskar Berandal Suronadi yang ingin menuntut balas
atas kekalahannya, maka tempat dimana para Prajurit Mataram bertempat tinggal
mesanggrah lokasinya dikelilingi dengan JARO (PAGAR)". Sedangkan Oro- oro
tempat berlangsungnya pertempuran antara Prajurit Mataram dan Berandal
Suronadi, dinamakan PALOH OMBO dari kata KEPALOH NING ORO- ORO
OMBO. Dipaloh Ombo ini ada sebuah Makam tak dikenal hingga sekarang.
Kembali ke asal mina dari NJARO menjadi JAROREJO, ini terjadi
setelah Desa NJARO digabung dengan Dusun SIMBATAN, jadilah sebuah Desa
yang bemama JAROREJO. Sedangkan Dusun Simbatan sendiri, terjadi pada abad
tiga belas, yang kisahnya terpisah dari dusun NJARO .
Tim Peneliti Unirow Tuban
Peneliti,
Folklor .5 Legenda : Data Informan (Pencerita)
Di Desa Tengger Wetan : Nama Bpk. Ladji :
Kecamatan Kerek : Tempat, tanggal lahir Tahun 70 :
(umur)
Jabatan / pekerjaan -:
Pendidikan Tamat SR :
Bahasa Jawa :
Alamat Tengger Wetan :
ASAL - U S U L D E S A T E N G G E R W E TAN
Awal kisah cerita ini terjadi sekitar abad XVI. Pada waktu itu seorang putra
raja dari Mataram memboyong putri dari Maibid dengan diiringi oleh para pengawal
kerajaan lengkap dengan perbekalan yang berupa hasil bumi, temak, perhiasan dan
sebagian merupakan upeti dari Maibid.
Konon pada saat itu masih banyak gerombolan perampok, begal dan
sebagainya sehingga dengan banyaknya harta benda dan perbekalan yang dibawa, di
tengah jalan sering dijumpai rintangan-rintangan. Di dalam perjalanan para
pengawal kerajaan terpaksa harus sering bentrok dengan para begal, gerombolan
perampok yang sengaja mencegat untuk meminta dengan paksa harta benda yang dibawa
oleh putra raja beserta pengawalnya tersebut.
Apalagi pada waktu menghadapi gerombolan perampok yang dipimpin oleh
Suranadi, sang pangeran beserta pengawal dan punggawa kerajaan merasa kewalahan
sehingga banyak sekali harta benda maupun juwa yang menjadi korban. Saat itu
pertempuran terjadi sangat sengit sehingga Sang Pangeran beserta para pengawalnya
terdesak dan terjepit (kepaluh Jawa) di suatu tempat yaitu di sebuah ladang yang luas
di wilayah Jarorejo, hingga korban jiwa tidak dapat dihindarkan lagi. Untuk
mengingat peristiwa tersebut, tempat itu diberi nama atau sebutan Paluhamba.
Tetapi akhirnya Sang Pengaran dan para pengawalnya dapat menyelamatkan diri.
Mereka mencari jalan lain yaitu menyusup hutan menyusuri pegunungan menuju ke
arah barat. Setelah beberapa jam mereka berjalan, sampailah pada suatu tempat yang
menurut perhitungan mereka cukup aman. Karena tempat tersebut terletak jauh dari
lokasi pertempuran. Di tempat itulah seluruh pengawal diperintahkan untuk
beristirahat dan menantikan saat yang baik untuk melanjutkan perjalanan sambil
berunding untuk meneari jalan yang aman dari cegatan para berandal dan gerombolan
perampok. Ternyata tempat tersebut memang betul - betul aman dan tenang. Hal ini
terbukti Pangeran beserta pengiringnya dapat istirahat dengan tenang dan tertidur
dengan nyenyak. Saking nyenyaknya, begitu terbangun tahu-tahu hari sudah siang.
Setelah beberapa hari berada di tempat persembunyian dan ternyata tidak ada
gangguan, para pengawal meneliti bala tentara yang dapat menyelamatkan diri serta harta
benda yang dapat diselamatkan ternyata masih banyak. Setelah waktu istirahat
dianggap cukup dan tenaga terasa sudah pulih kembali, maka perjalanan menuju
Mataram akan dilanjutkan. Namun tidak semua pengiring diperkenankan untuk
mengikuti sampai Mataram. Sebagian diperintahkan untuk tetap tinggal di tempat ini
dan membangun menjadi sebuah desa. Mengingat di tempat Pangeran dan Para
pengiring dengan putri boyongannya dapat terhindar dari bahaya maut dan dapat
istirahat dengan tenang, aman serta tidur nyenyak (Turu ngelengger = jawa), maka
setelah tempat itu menjadi sebuah desa diberi nama TENGGER (berasal dari kata :
Turu Ngelengger). Para pengiring inilah yang merupakan nenek moyang penduduk
desa ini. Makin lama desa Tengger semakin ramai. Semua penduduk hidup sebagai
petani. Dengan bahan makanan dan polowijo yang dibawa dari Maibid tadi mereka
bercocok tanam sebagai sumber kehidupannya.
Desa Tengger semakin bertambah maju dan ramai dikunjungi orang, setelah
tiba di situ seorang Ulama bernama Abdullah dari pantai Utara Pulau Jawa. Ulama
ini selain mengembangkan agama Islam, juga pandai dalam ilmu perbintangan
sehingga terpercaya oleh para nelayan yang berada di sepanjang pesisir utara Pulau
Jawa. Konon menurut cerita, datangnya Ulama yang bernama Abdullah ke desa
Tengger ini dengan berkendaraa Perahu (BIDUK) yang diantar oleh air laut. Setelah
sampai di hutan Srambi (wilayah desa Tengger), air laut yang mengantarkan tadi
kembali dengan tiba-tiba, sehingga perahu terdampar dan tertinggal di tempat ini.
Bertahun-tahun benda ini dikeramatkan. Dan karena lamanya benda itu menjadi usang dan
lapuk., dan akibat tangan jahil orang-orang yang tidak bertanggung jawab, benda
bersejarah itu musnah sekitar tahun 1970.
Sebagai seorang ulama, Sayid Abdullah merupakan orang terkemuka dan
ajarannya di desa Tengger pada saat itu sehingga semua ajarannya diterima dan
diikuti oleh seluruh penduduk. Bahkan para nelayan pun banyak yang berdatangan
untuk minta petunjuk tentang hari baik untuk berlayar agar mendapat tangkapan ikan
yang banyak. Sampai sekarang ajaran itu masih dilaksanakan. Satu diantaranya adalah
Syukuran (sedekah bumi).
Sedekah bumi ini dilaksanakan setiap tanggal 14 Zulhijah (Besar) dengan
mengadakan acara di Srambi yang diikuti oleh semua penduduk dan para nelayan
yang ada di sepanjang pesisir utara pulau Jawa. Selanjutnya nama desa Tengger di
tambah menjadi Tengger Wetan, karena di wilayah Kabupaten Tuban terdapat
dua desa yang namanya sama. Satu desa berada di wilayah kecamatan Bancar karena
letaknya berada di sebelah barat, maka di beri nama : Tengger Kulon, sedang satu
desa berada di wilayah timur diberi nama desa Tengger Wetan.
Demikianlah sekilas yang dapat kami uraikan berdasarkan hasil wawancara
dan informasi dari penduduk desa ini tentang asal-usul desa Tengger.
Peneliti,
Peneliti,
Peneliti,
Kesimpulan dan Saran-saran
Kesimpulan
Saran-saran
Ada beberapa saran yang ingin peneliti sampaikan kepada masyarakat dan
pemerintah, anatara lain sebagai berikut:
1) Pemerintah diharapkan meningkatkan pendidikan diberbagai pelosok desa, baik
pendidikan umum maupun pendidikan agama. Dengan pendidikan yang
meningkat maka diharapkan masyarakat dapat membedakan mana folklor
yang berpengaruh negatif dan mana folklor yang berpengaruh positif;
Pemerintah Kabupaten, Kecamatan, maupun desa, bersama masyarakat diharapkan (2
agar tetap melestarikan atau memelihara folklor-folklor yang sekiranya dapat menunjang
.pembangunan desa
Pemerintah Kabupaten, kecamatan, dan desa diharapkan mengambil langkah-langkah (3
;pendokumentasian folklor-folklor guna pelestarian kebudayaan daerah atau nasional
Pemerintah Kabupaten, kecamatan maupun desa diharapkan ikut serta dalam usaha (4
;pendokumentasian folklor yang ada di daerahnya
Dirapkan kepada masyarakat agar dapat mengambil tauladan kepada tokoh-tokoh (5
folklor dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya: Tokoh folklor lagenda Asal Usul Desa
Gaji, tokoh Mbah Djoyo dalam legenda Kejadian Dusun Kebomati Desa Gaji, tokoh-
.tokoh folklor dalam legenda Mliwang dan Macan Putih
Diharapkan kepada masyarakat untuk mengambil nilai nilai positif saja dari foklor (6
.yang ada, bukan hal-hal yang negatif
Daftar Pustaka
Aliana, Arifin, Zainal dkk. 1979. Ekspesi Semiotik Tokoh Mitos dan Lgendaris Dalam
Tutur Sastra Nusantara di Sumatra Selatan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta
Arifin, Bustanul, dkk. 1986. Sastra Indonesia (lama, baru, dan modern). Bandung: Lubuk
.Agung
.Atmazaki, Drs. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Penerapan. Padang: Angkasa Raya
.Danarjaya, James, Prof. Dr. 1991. Folklor Indonesia. PT. Temprint: Jakarta
Metode Penelitian Kualitatif Dalam Penelitian Folklor. Malang: .1990 .-------------------
.YA3
Hasyim, Nafron. 1981. Pengajaran Bahasa dan Sastra "Usaha Pemupukan Apresiasi
Sastra Indonesia Lama, Masalah Yang Hampir Menguap dari Ruang Kelas. Pusat
.Pembinaan dan Pengembangan Bahasa: Jakarta
Sadi Hutomo, Suripan, Prof., Dr. 1988. Model Penelitian Seni Budaya. Pusat Penelitian
.IKIP Surabaya: Surabaya
Sudikan, Yuwana, Setya, Dr., MA. 1993. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra
.Wacana
.Sujiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia