Anda di halaman 1dari 49

FOLKLOR DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEHIDUPAN

MASYARAKAT KECAMATAN KEREK KABUPATEN TUBAN


Drs Sarujin, M.Si

Abstrak: Folklor merupakan salah satu kekayaan budaya lama yang patut dihargai dan
dilestarikan. Setiap bangsa, daerah atau masyarakat memiliki folklor yang diwariskan
secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya.
Di dalam cerita folklor ini akan ditemukan norma-norma sosial atau nilai-nilai
estetis yang tinggi. Oleh karena itu, wajarlah kalau masyarakat pewarisnya masih
mengagungkan, mengultuskan, memitoskan, dan melestarikannya dengan baik. Folklor
bagi masyarakat kolektifnya dapat dijadikan sebagai seni tauladan dalam bertingkah laku
dan dapat dijadikan kebanggaan identitas daerahnya.
Tujuan penelitian folklor dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat
Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban, adalah untuk memperoleh deskripsi tentang jumlah
folklor lisan yang difokuskan pada cerita prosa rakyat yang meliputi 1) Mithe, 2) legenda,
dan 3) dongeng yang hidup dan tersebar dalam masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten
Tuban. Lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana atau adakah pengaruh folklor tersebut
dalam kehidupan masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua metode, yaitu 1)
metode pengumpulan data, dan 2) metode analisis data. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode angket, wawancara, dan
perekaman. Angket atau daftar pertanyaan diisi oleh peneliti pada saat wawancara.
Perekaman dilakukan oleh peneliti pada saat tukang cerita menceritakan folklor; tetapi
kenyataannya jarang tukang cerita yang mau direkan ceritanya dalam penelitian ini. Jadi,
peneliti harus menulis secara langsung cerita lisan dari tukang cerita. Metode analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode analisis deskriptif dan
kuantitatif, maksudnya peneliti bermaksud mendeskripsikan dan menggambarkan jumlah
folklor yang hidup dan masih dilestarikan oleh masyarakatnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di kecamatan Kerek Kabupaten
Tuban, maka diperoleh jumlah folklor yang hidup dan masih diingat oleh masyarakat
kecamatan Kerek, sebanyak 9 folklor.
Dari jumlah 9 folklor tersebut, ternyata semuanya adalah jenis folklor legenda.
Hal ini, menurut pengakuan masyarakat kolektif disebabkan folklor jenis legenda adalah
cerita rakyat yang benar-benar terjadi pada masa itu yang masih diingat dan diturunkan
secara lisan kepada anak cucu mereka sampai sekarang. Misalnya, 1) lagenda asal usul
desa Kerek, 2) lagenda asal usul desa Gaji, 3) lagenda asal usul desa Jarorejo, 4) lagenda
asal usul terjadinya desa Jarorejo (versi lain), 5) legenda asal usul desa Tengger Wetan, 6)
legenda Wali Rendah Hati dari Sumber Arum, 7) legenda Goa Astana Penembahan Watu
Putih, 8) legenda Kejadia Dusun Kebomati Desa Gaji, dan 9) legenda Mliwang dan
Macan Putih.
Ternyata folklor-folklor lagenda tersebut, masih berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban. Misalnya, tokoh Ki Demang Abilowo
(masyarakat Gaji menyebutnya Ki Lowo) dalam legenda Asal Usul Desa Gaji, masih
berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya Haul Ki
Lowo yang dilaksanakan setiap malam Jum'at legi pada bulan Rabiul Awal, dan
ditempatkan di sekitar makam Ki Lowo.
Di samping mengadakan haul Ki Lowo , masyarakat desa Gaji juga mengadakan
ritual, yaitu "manganan" . Manganan ini dilaksanakan di makam Ki Lowo dan di sumur
kembar yang digali Ki Lowo bersama masyarakat Gaji.
Waktu mengadakan acara "manganan", masyarakat berlomba-lomba membawa
makanan pada acara tersebut. Tujuannya untuk meminta keselamatan, dan
menghindarkan dari malapetaka.
Beberapa tokoh masyarakat desa Gaji, tukang cerita, pencinta budaya lama,
pemerintah di kecamatan Kerek sangat menyetujui pendokumentasian folklor di
Kecamatan Kerek ini. Mereka juga menyetujui folklor-folklor yang isinya berpengaruh
positif, mendidik, dapat dijadikan bahan pengajaran bagi murid mulai dari sekolah dasar
dampai ke tingkat SLTA.

Kata Kunci: Folklor, Legenda, Mite, Dongeng


I. Pendahuluan

1.1 Latar belakang masalah


Folklor merupakan salah satu kekayaan budaya bamgsa yang patut dihargai.
Setiap bangsa memiliki foklor. Folklor pada hakekatnya merupakan bagian dari hasil
kegiatan tradisi saastra suatu masyarakat atau bangsa. Tradisi merupakan kebudayaan
yang diwariskan turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lainnya.didalam
folklor tersebut dapat ditemukan norma-norma sosial dan estetis yang tinggi.Oleh karena
itu,wajarlah kalau masyarakat pewarisnya mengagungkan, mengkultuskan, dan
memeliharanya dengan baik, termasuk bisa diambil suri teladan yang baik atau dijadikan
cermin kebanggaan identitas daerahnya.
Menurut Robson (dalam Sulastin 1981:11). Folklor merupakan peninggalan
budaya yang menyimpan berbagai segi kehidupan bangsa pada masa lampau. Didalam
folklor itu mengandung sesuatu yang penting dan berharga yaitu sebagai warisan rohani
bangsa Indonesia, serta perbendaharaan pikiran dan cita-cita para nenek moyang sehingga
dengan mempelajari folklor, kita dapat mendekati dan menghayati,pikiran dan cita-cita
dahulu kala yang menjadi pedoman dan diutamakan bagi mereka.kalau pikiran dan cita-
cita itu penting bagi para nenek moyang tentulah penting juga untuk kehidupan jaman
sekarang (Robson dalam Hasyim 1981:11)
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa folklor yang
masih tersimpan dan tersebar diseluruh tanah air ini pada hakekatnya adalah cagar
budaya yang merupakan penuangan pengalaman jiwa bangsa yang dapat dijadikan
sumber penelitian bagi pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan
disegala bidang.
Penggalian folklor akan menghasilkan ciri-ciri khas yang meliputi pandangan
hidup serta landasan falsafah yang tinggi nilainya. Salain itu, folklor merupakan
pembentuk norma, baik itu orang yang sejaman maupun untuk generasi yang akan datang
( Lalu Waca dalam Hasyim, 1981:12) mengatakan bahwa folklor merupakan pembentuk
norma,baik itu orang yang sejaman maupun untuk generasi yang akan datang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa folklor itu bukanlah barang kuno
yang dapat disisihkan begitu saja dari kehidupan masyarakat. Folklor itu mempunyai arti
yang sangat penting dan merupakan khazanah budaya yang tidak dapat ternilai
harganya.Meneliti dan mempelajari folklor berarti menyelamatkan nilai-nilai budaya
suatu daerah atau bangsa pada umumnya.
Oleh karena itu lah, folklor itu patut dibina, dikembangkan dan dilestarikan dalam
rangka menjaga kelestarinnya dengan demikian nilai budaya yang terkandung
didalamnya tidak musnah begitu saja, seperti juga yang diharapkan oleh pemerintah
bahwa "nilai budaya Indonesia terus dibina, dikembangkan, dan dilestarikan, guna
memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga diri dan kebanggaan nasional
serta memperkokoh jiwa kesetiaan nasional". Usaha Pembinaan, pengembangan,
pelestarian dan penginventarisasian folklor tersebut adalah menjadi tanggung jawab kita
bersama. Profesor Suripan Hadi Hutomo mengatakan bahwa salah satu usaha pembinaan,
pengembangan, pelestarian dan penginventarisasian adalah dengan cara mengadakan
penelitian dan penginventarisasian folklor itu sendiri. Disamping itu, pembinaan,
pengembangan, pelestarian, serta penginventarisasian folklor di maksudkan untuk
menyelamatkan folklor dari kepunahan (1986:8)
Uraian di atas, memperlihatkan bahwa penelitian tentang "Folklor dan
Pengaruhnya terhadap Kehidupan Masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban Jawa
Timur perlu dilakukan.

1.2. Jangkauan Masalah


Permasalahan folklor sangat luas dan komplek. Jan Harold Brundvand seorang
ahli folklor dari Amerika Serikat, mengelompokkannya ke dalam tiga kelompok besar
berdasarkan tipenya, yaitu (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan
(partly verbal folklore), dan (3) folklor buka lisan (non verbal folklore).
Folkolor lisan (verbal folklore) adalah folklor yang bentuknya memang murni
lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk jenis ini, antara lain: 1) bahasa rakyat
(folk speech) seperti: logat, julukan, pangkat taradisional, dan titel kebangsawanan; 2)
ungkapan tardisional seperti: peribahasa, pepatah, dan pemeo; 3) pertanyaan tradisional
seperti: teka-teki; 4) puisi rakyat seperti: pantun, gurindam dan syair; 5) cerita prosa
rakyat, seperti: mite, legenda, dan dongeng; dan 6) nyanyian rakyat.
Folklor sebagian lisan (partly verbal folklore) adalah folklor yang bentuknya
merupakan campuran unsur lisan dengan yang bukan lisan. Kepercayaan rakyat,
misalnya, yang oleh orang modern sering disebut tahayul itu, terdiri dari pernyataan yang
bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib,
seperti: tanda salib bagi orang Kristen Katolik yang dianggap dapat melindungi seseorang
dari gangguan hantu, atau ditambah dengan benda material yang dianggap berhasiat
untuk melindungi diri atau dapat membawa rezeki, seperti: batu-batu permata tertentu.
Bentuk-bentuk folklor yang termasuk dalam kelompok ini, selain keperyaan rakyat
adalah permainan rakyat, tarian rakyat, teater rakyat, adat-istiadat, upacaca, dan pesta
rakyat.
Folklor bukan lisan (non verbal folklore) adalah folklor yang bentuknya bukan
lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Bentuk-bentuk folklor yang
termasuk dalam kelompok ini, dapat dibagi dalam dua sub-kelompok, yaitu 1) yang
material , dan 2) yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam
folklor material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung
padi dan lain-lain); kerajinan tangan rakyat; pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan
dan minuman rakyat; dan obat-obatan tardisional. Sedangkan yang terasuk folklor yang
bukan material, antara lain: gerakmisyarat tradisional (gesture); bunyi isyarat untuk
komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di Jawa atau bunyi gendang untuk mengirim
berita seperti yang dilakukan orang Afrika); dan musik rakyat.

1.3 Ruang Lingkup Masalah Penelitian


Mengingat luasnya jangkauan masalah folklor seperti yang digambarkan oleh ahli
folklor Amerika Serikat Jan Harold Brunvand (dalam Danarjaya, 1991: 21-22) tersebut
di atas (1.2), maka peneliti tidak mungkin mengadakan penelitian semuanya, kerena
mengingat waktu dan biaya penelitian yang tidak cukup. Dengan kata lain, mengadakan
penelitian semua bentuk-bentuk folklor yang sifatnya luas dan kompleks itu, akan
menghabiskan anggaran dan waktu yang banyak.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti hanya mengadakan penelitian pada
folklor lisan yang difokuskan pada cerita prosa rakyat, yang meliputi !) mite, 2) legenda,
dan 3) dongeng yang tersebar (hidup) di Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban Jawa Timur.
Karena, menurut anggapan peneliti bahwa ketiga folklor (mite, legenda, dan dongeng)
itulah mungkin yang banyak tersebar dan hidup di wilayah Kecamatan Kerek Kabupaten
Tuban Jawa Timur, serta masih dipercaya dan dilestarikan oleh masyarakatnya.

1.4 Rumusan Masalah Penelitian


Berdasarkan ruang lingkup masalah seperti yang telah diuraikan di atas (1.3),
maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Apakah folklor cerita prosa rakyat, yang meliputi: 1) mite, 2) legenda, dan 3)
dongeng masih ada (hidup) dalam masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban
Jawa Timur ?. Kalau masih ada (hidup), folklor mana yang paling banyak dijumpai
dan dilestarikan oleh masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban Jawa Timur?.
2) Apakah folklor cerita prosa rakyat yang meliputi 1) mite, 2) legenda, dan 3) dongeng
itu masih ada pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat Kecamatan Kerek
Kabupaten Tuban Jawa Timur ? dan bentuk pengaruhnya seperti apa ?

1.5. Tujuan Penelitian


Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data folklor lisan yang hidup
dan tersebar dalam masyarakat di Wilayah Kecamatan Kerek Kapupaten Tuban Jawa
Timur. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu:
1) Tujuan Umum; dan
2) Tujuan Khusus.

1.5.1 Tujuan Umum


Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi tentang jumlah
folklor yang hidup dan tersebar dalam masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban
Jawa Timur. Di samping itu, juga membantu pemerintah dalam usaha melestarikan
budaya bangsa dengan kegiatan mengumpulkan dan pencatatan folklor yang hidup dan
tersebar di dalam masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban Jawa Timur.

1.5.2 Tujuan Khusus


Tujuan Khusus penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi tentang folklor
lisan yang difokuskan pada cerita prosa rakyat yang meliputi 1) Mite, 2) Legenda, dan 3)
Dongeng, yang hidup dan tersebar dalam masyarakat di wilayah Kecamatan Kerek
Kabupaten Tuban Jawa Timur. Lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana pengaruh
folklor tersebut dalam kehidupan masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban Jawa
Timur.

1.6. Manfaat Penelitian


Penelitian folklor ini memiliki banyak manfaat anatara lain sebagai berikut:
1) Bagi peneliti, dapat mengetahui folklor apa saja yang hidup dan tersebar dalam
masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban Jawa Timur serta folklor apa saja
yang masih ada pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat tersebut ?
2) Bagi masyarakat (folknya), dapat digunakan sebagai alat pencermin angan-angan
suatu kolektif; sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga
kebudayaan; sebagai alat pendidikan anak; sebagai alat pemaksa dan pengawas agar
norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya.
3) Bagi pencerita folklor, dapat digunakan sebagi alat untuk mengktritik penyimpangan-
penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya, korupsi, ketidakadilan, dan
lain-lain.
4) Bagi pemerintah, hasil penelitian folklor ini dapat digunakan sebagai alat a) untuk
mengetahui norma-norma hidup masyarakat pada masa itu.; b) untuk mengetahui
bagaimana berpikirnya atau filosofi masyarakat pada masa itu; c) untuk mengetahui
pribadi-pribadi tokoh atau pemimpin pada masa itu; d) untuk bahan ajar di sekolah-
sekolah yang ada di Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban Jawa Timu; e) untuk
menulis sejarah desa atau kabupaten; dan f) untuk promosi wisata kecamatan dan
daerah..

1.7. Metode Penelitian

1.7.1 Populasi Penelitian


Populasi dalam penelitian ini adalah semua desa yang ada di Kecamatan Kerek
Kabupaten Tuban, yang terdiri dari 18 desa. Dari 18 desa tersebut, meliputi 1) desa
Karanglo, 2) desa Padasan 3) desa Margo Mulyo, 4) desa Jarorejo, 5) desa Temayang, 6)
desa Margorejo, 7) desa Kedungrejo, 8) desa Margoretno, 9) desa Sumber Arum, 10) desa
Gaji, 11) desa Wolutengah, 12) desa Trantang, 13) desa Gemulung, 14) desa Sidonganti,
15) desa Tengger, 16) desa Mliwang, 17) desa Kasiman. dan 18) desa Kerek.

1.7.2 Sampel Penelitian


Mengingat luasnya luasnya wilayah dan banyaknya populasi desa di Kecamatan
Kerek Kabupaten Tuban yang terdiri dari 18 desa, maka dalam penelitian ini
menggunakan metode sampel. Sampel yang digunakan sebagai wilayah atau daerah
obyek penelitian, sebagai berikut: 1) desa Gaji, 2) desa Kerek, 3) desa Jarorejo, 4) desa
Tengger, 5) desa Sumber Arum, dan 6) desa Mliwang.
Penganbilan enam desa tersebut, sebagai sampel lokasi penelitian, menggunakan
teknik random sampling artinya pengambilan sampel itu dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata yang ada dalam populasi. Peneliti menganggap bahwa desa-desa
yang ada dalam wilayah kecamatan Kerek Kabupaten Tuban tersebut, mesti memiliki
folklor sendiri-sendiri sesuai dengan letak geografis, latar belakang sosial budaya dan
ekonominya.

1.7.3 Metote Pengumpulan Data


Metode atau teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian folklor ini,
sebagai berikut:
1) Metode Obsevasi
2) Metode Wawancara
3) Metode Kuesioner (Instrumen)

1.7.3.1 Metode observasi. Maksudnya, peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan


secara sistematis tentang hal-hal yang berhubungan dengan folklor yang hidup dan
tersebar pada tiap-tiap lokasi penelitian;
1.7.3.2 Metode wawancara. Maksudnya, peneliti mengadakan wawancara langsung
kepada informan yang dianggap mampu menceritakan folklor yang hidup dalam
masyarakat, dengan berpatokan pada questioner yang telah dipersiapkan.

1.7.3.3 Questioner (Instrumen). Peneliti membuat questioner atau instrumen yaitu


seperangkat daftar pertanyaan yang digunakan sebagai alat untuk memperoleh data
folklor yang hidup dan tersebar dalam masyarakat lokasi penelitian. Ada dua macam
kuesioner yang digunakan untuk pengumpulan data, yaitu:
1) Kuesioner tertutup; dan
2) Kuesioner terbuka.

1.7.3.3.1 Kuesioner tertutup


Kuesioner tertutup merupakan kuesioner utama yang dapat menghasilkan jawaban
yang lebih mantap dan pasti untuk dianalisis. Kuesioner tertutup, terdiri dari 79 daftar
pertanyaan, yang meliputi:
1. Pertanyaan yang berhubungan dengan latar belakang historis (13 pertanyaan)
2. Pertanyaan yang berhubungan dengan jenis cerita (17 pertanyaan)
3. Pertanyaan yang berhubungan dengan kehidupan folklor (16 pertanyaan)
4. Pertanyaan yang berhubungan dengan fungsi cerita ( 7 pertanyaan)
5. Pertanyaan yang berhubungan dengan masyarakat pemakai ( 6 pertanyaan)
6. Pertanyaan yang berhubungan dengan penggunaannya ( 9 pertanyaan)
7. Pertanyaan yang berhubungan dengan tanggapan pemerintah ( 6 pertanyaan)
8. Pertanyaan yang berhubungan dengan pengaruh folklor ( 5 pertanyaan)
Kuesioner tertutup ini, diisi oleh peneliti pada saat mengadakan wawancara
langsung kepada informan atau tukang cerita yang telah ditunjuk oleh kepala desa, tentu
saja yang memenuhi syarat sebagai tukang cerita.

1.7.3.3.2 Kuesioner terbuka.


Kuesioner terbuka dapat diisi oleh peneliti pada saat mengadakan wancara
langsung dengan pejabat pemerintah di kecamatan-kecamatan dan desa-desa tempat
penelitian, misalnya Camat, Sekcam, kepala desa dan kerawat desa. Di samping itu, yang
perlu diketahui bahwa untuk satu informan, selain menjawab kuesioner terbuka, juga ada
yang menjawab kuesioner tertutup.Kuesioner terbuka berjumlah empat pertanyaan, yang
berhubungan dengan folklor, pelestarian folklor, dan beberapa pengaruh folklor dalam
kehidupan masyarakat di wilayah kecamatan Kerek kabupaten Tuban Jawa Timur.

1.7.4 Metode Analisis Data


Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
teknik analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Metode deskriptif kuantitatif
digunakan untuk memperoleh gambaran jumlah data folklor yang hidup dan tersebar
dalam masyarakat di wilayah kecamatan Kerek kabupaten Tuban Jawa Timur. Metode
kualitatif digunakan untuk menganalisis pengaruh folklor (mite, legenda, dongeng) dalam
kehidupan masyarakat di wilayah kecamatan Kerek kabupaten Tuban Jawa Timur.
Pengaruh yang dimaksud di sini, bisa berupa pengaruh positif dan pengaruh negatif yang
ditimbulkan dari tokoh foklor atau ceritra itu.
II. Tinjauan Pustaka

2.1 Pengertian Folklor


Kata "folklor" adalah pengindonesiaan dari kata Inggris "folklore". Kata itu
adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar "folk" dan "lore". "Folk" yang
sama artinya dengan kata "kolektif" (collectivity). Menurut Alan Dundes (dalam James
Danarjaya, 1991: 1) bahwa "folk" adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri
pengenal, fisik, sosial, kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok
lainnya.
Ciri pengenal itu antara lain, dapat berwujud: warna kulit yang sama, mata
pencaharian yang sama, bentuk rambut yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan
yang sama, dan agama yang sama.
Namun yang lebih penting lagi adalah mereka telah memiliki suatu tradisi yakni
berupa kebudayaan yang telah mereka warisi turun-temurun sedikitnya dua generasi,
yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Di samping itu yang paling penting lagi
adalah mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri.
Jadi, "folk" adalah sinonim dengan "kolektif", yang juga memiliki ciri-ciri
pengenal fisik atau kebudayaan yang sama serta mempunyai kesadaran kepribadian
sebagai kesatuan masyarakat.
Yang dimaksud dengan "lore" adalah tradisi "folk" yaitu sebagian kebudayaannya
yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Jadi, secara keseluruhan "folklor" dapat diberikan pengertian sebagai berikut:
"folklor" adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-
temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda,
baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat.

2.2 Ciri-Ciri Pengenal Utama Folklor pada Umumnya.


James Dananjaya (1991:3-4) merumuskan ciri-ciri atau sifat-sifat pengenal utama
folklor pada umumnya, sebagai berikut:
1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan
melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan
gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
2) Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau
dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup
lama ( paling sedikit dua generasi).
3) Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini
diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan
melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses
interpolasi ( interpolation). Folklor dengan mudah dapat mengalami perubahan.
Walaupun demikian, perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja,
sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
4) Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
5) Folklor itu biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat,
misalnya, selalu mempergunakan kata-kata klise seperti " bulan empat belas hari"
untuk menggambarkan kecantikan seorang gadis; dan "seperti ular berbelit-belit"
untuk menggambarkan kemarahan seseorang; atau ungkapan-ungkapan tradisional,
ulangan-ulangan, dan kalimat-kalimat atau kata-kata pembukaan dan penutup yang
baku, seperti kata "sahibul hikayat... dan mereka pun hidup bahagia untuk
seterusnya", atau "menurut empunya cerita... demikianlah konon" atau dalam
dongeng Jawa banyak yang dimulai dengan kalimat "Anuju sawijining dina (pada
suatu hari), dan ditutup dengan kalimat: A lan B urip rukun bebarengan kayo mimi lan
mintuna (A dan B hidup rukun bagaikan mimi jantan dan mimi betina).
6) Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif.
Cerita rakyat misalnya, mempunyai kegunaan sebagai: alat pendidikan, pelipur lara,
protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
7) Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan
logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
8) Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu
diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga
setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
9) Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga sering kali kelihatannya
kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa "banyak
folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya ".

2.3 Cerita Prosa Rakyat


Cerita Prosa Rakyat adalah salah satu bentuk folklor lisan yang masih hidup atau
tersebar dalam masyarakat yang memilikinya. Menurut William R.Bascom (dalam
Dananjaya, 1991:10) bahwa cerita prosa rakyat ini, dapat dibagi menjadi tiga golongan
besar, yaitu:
1) Mite (myth);
2) Legenda (legend); dan
3) Dongeng (folktale).

2.3.1 Mite (Myth)


Mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta
dianggap suci oleh yang mpunya cerita. Mite (myth) ditokohi oleh para dewa atau
makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti
yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau.
Legenda (legend) adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip
dengan mite (myth) yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci.
Berlainan dengan mite (myth), legenda (legend) ditokohi oleh manusia, walaupun ada
kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan sering kali juga dibantu oleh makhluk-
makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal sekarang ini,
karena waktu terjadinya belum terlalu lampau.
Dongeng (folktale) adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi
oleh yang empunya cerita, dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat (Bascom
dalam Dananjaya, 1991:50).
2.3.2 Legenda (Legend)
Seperti halnya dengan mite, legenda adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap
oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sunggu pernah terjadi.
Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (keduniawian); terjadinya pada masa yang
belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang.
Legenda sering kali dipandang sebagai "sejarah kolektif" (folk history), walaupun
sejarah itu karena tidak tertulis telah mengalami distorsi, sehingga sering kali jauh
berbeda dengan kisah aslinya. Oleh karenanya, jika kita mempergunakan legenda sebagai
bahan untuk merekonsruksi sejarah suatu folk, kita harus membersihkannya dahulu
bagian-bagiannya yang mengandung sifat-sifat folklor, misalnya yang bersifat pralogis,
atau yang merupakan rumus-rumus tradisi lisan.
Legenda biasanya bersifat migratoris, yakni dapat berpindah-pindah, sehingga
dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda. Selain itu, legenda sering kali tersebar dalam
bentuk pengelompokan yang disebut siklus, yaitu sekelompok cerita yang berkisar pada
suatu tokoh atau suatu kejadian tertentu. Di Jawa misalnya, legenda-legenda mengenai
Panji termasuk golongan legenda siklus tersebut.
Menurut Alan Dundes (dalam Danandjaya, 1991:67), ada kemungkinan besar
bahwa jumlah legenda pada setiap kebudayaan jauh lebih banyak dibandingkan dengan
mite atau dongeng. Hal ini, disebabkan jika mite hanya mempunyai tipe dasar yang
terbatas, seperti penciptaan dunia dan asal mula terjadinya kematian, namun legenda
mempunyai jumlah tipe dasar yang tidak terbatas, terutama legenda setempat (local
legends), yang jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan legenda yang dapat
mengembara dari satu daerah ke daerah lain (migratory legends). Kecuali itu, selalu ada
pertambahan persediaan legenda di dunia ini. Setiap zaman akan menyumbangkan
legenda-legenda baru, atau paling sedikit suatu varian baru dari legenda lama, pada
khazanah umum dari teks-teks legenda yang didokumentasikan. Keadaan yang demikian
tidak berlaku pada mite. Hal ini disebabkan mite, berdasarkan konsep folklor adalah
penjelasan suci terbentuknya manusia seperti sekarang ini. Sudah tentu macam penjelasan
itu akan terbatas sekali. (Dundes dalam Danandjaya, 1991: 67). Harus diingat pula bahwa
apa-apa yang berhubungan dengan kepercayaan, terutama yang sudah berupa isi kitab
suci, akan sukar sekali berubah.
Selanjutnya, Alan Dundes pun mengatakan bahwa dongeng jika dibandingkan
dengan legenda sangat terbatas jumlahnya, karena kebanyakan dongeng sebenarnya
bukan dongeng baru, melainkan merupakan versi baru dari yang lama. Sebaliknya,
legenda dapat tercipta yang baru, apabila seorang tokoh, tempat atau kejadian dianggap
berharga oleh kolektifnya untuk diabadikan menjadi legenda. Sudah tentu hal itu tidak
berarti bahwa pada legenda tidak ada pola-pola tradisional. Pola-pola ini menyebabkan
legenda yang kelihatannya baru tetap mirip dengan legenda lama (Dundes dalam
Danandjaya, 1991:67).
Jan Harold Brunvand (dalam Danandjaya, 1991:67) mengelompokkan legenda itu
menjadi empat kelompok, yaitu:
1) Legenda Keagamaan (Religious Legends);
2) Legenda Alam Gaib (Supranatural Legends);
3) Legenda Perseorangan (Personal Legends); dan
4) Legenda Setempat (Local Legends).
1) Legenda Keagamaan: Yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah
legenda orang-orang suci Nasrani. Legenda demikian itu, jika telah diakui dan disahkan
oleh Gereja Katolik Roma akan menjadi bagian dari kesusastraan agama yang disebut
hagiography (legends of the saints), yang berarti tulisan, karangan, atau buku mengenai
penghidupan orang-orang saleh. Walaupun hagiografi sudah ditulis, namun ia masih tetap
merupakan folklor, karena versi asalnya masih tetap hidup di antara rakyat sebagai tradisi
lisan, tidaklah salah jika dikatakan bahwa hagiografi sebenarnya adalah transkripsi
legenda orang saleh.
Di Jawa legenda orang saleh adalah mengenai para wali agama Islam, yakni para
penyebar agama Islam pada masa awal perkembangan Islam di Jawa. Para Wali yang
paling penting di Jawa adalah yang disebut Wali Sanga (sembilan orang wali). Menurut
Mohammad Zaini.ZA dan Abd. Rochim Kafanjani, dalam bukunya yang berjudul "Kisah
Wali Songo dan Perjuangannya di Tanah Jawa" bahwa yang termasuk Wali Sanga adalah
sebagai berikut: 1) Syeh Maulana Malik Ibrahim, 2) Sunan Ampel, 3) Sunan Giri, 4)
Sunan Bonang, 5) Sunan Drajad, 6) Sunan Muria, 7) Sunan Kudus, 8) Sunan Kalijaga,
dan 9) Sunan Gunung Jati. Legenda Wali Sanga ini termasuk "legenda keagamaan"
karena mereka adalah Wali-Wali Allah yang telah menyebarkan Agama Islam di Pulau
Jawa dan bahkan di kawasan Indonesia ini. Makam-makam para wali tersebut, mulai dulu
sampai sekarang masih banyak orang yang menziarahinya. Motivasi ziarah mereka
bermacam-macam, yaitu ada yang sekedar berwisata, ada yang bermaksud mengadakan
penelitian, ada yang ingin hajatnya dikabulkan, ada yang ingin meneladani cara
perjuangan para wali tersebut, dan sebagainya.
2) Legenda Alam Gaib. Legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang
dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini
adalah untuk meneguhkan kebenaran tahyul atau kepercayaan rakyat. Berhubung legenda
alam gaib ini merupakan pengalaman pribadi seseorang, maka oleh ahli folklor Swedia
yang terkenal, bernama: C.W. Von Sydow, memberikan nama khusus yaitu "memorat
"(dalam Danandjaya, 1991:71).
Walaupun merupakan pengaman pribadi seseorang, namun isi pengalaman itu
mengandung banyak motif cerita tradisional yang khas ada pada kolektifnya. Di Jawa
Timur misalnya, orang-orang yang pernah melihat hantu selalu menggambarkannya
dengan bentuk-bentuk yang sudah ada dalam gambaran kepercayaan
kolektifnya.Umpamanya, orang-orang yang sering pergi ke hutan pada umumnya telah
mengalami bertemu dengan hantu gaib, yang dapat tumbuh dari bentuk ukuran kecil
menjadi besar sekali dealam waktu yang singkat atau sekejap mata. Hantu itu mereka
sebut Gendruwo. Jadi, yang termasuk dalam kategori legenda alam gaib adalah cerita-
cerita pengalaman seseorang dengan makhluk-makhluk gaib, hantu-hantu, siluman,
gejala-gejala alam yang gaib, dan sebagainya.
3) Legenda Perorangan: adalah cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang
dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar pernah terjadi. Di Indonesia legenda
perorangan banyak sekali. Di Jawa Timur misalnya, yang paling terkenal adalah legenda
tokoh "Panji". Legenda ini pernah diteliti oleh R.M.Ng. Poerbatjaraka dan diterbitkan
dalam karangannya yang berjudul " Cerita Panji dalam Perbandingan ". Panji adalah
seorang putra raja Kerajaan Kuripan (Singasari) di Jawa Timur, yang senantiasa
kehilangan istrinya. Akibatnya timbullah banyak sekali cerita Panji, yang temanya selalu
perihal ia mencari istrinya yang telah menyatu atau menjelma menjadi wanita lain. Cerita
Panji walaupun aslinya adalah kesusastraan lisan (legenda), namun telah banyak dicatat
orang, sehingga mempunyai beberapa versi dalam bentuk tulisan. Misalnya, ada versi
Jawa, Sumatra, dan Kamboja.
4)Legenda Setempat: yang termasuk ke dalam golongan legenda ini adalah cerita
yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yakni bentuk
permukaan suatu daerah, apakah berbukit-bukit, berjurang, dan sebagainya. Contoh
legenda setempat sebagai berikut: 1) legenda " Asal Mula Nama Desa Kerek", 2)
legenda "Asal Mula Nama Desa Gaji", 3) legenda "asal mula desa Mliwang", 4) legenda
" Asal Mula Nama Desa Tengger Wetan ", dan 5) legenda "Asal Mula desa Jarorejo dan
lain-lain.

2.3.3 Dongeng.
Jika legenda adalah sejarah kolektif (folk history), maka dongeng adalah cerita
pendek kolektif kesusastraan lisan. Selanjutnya dongeng adalah cerita prosa rakyat yang
tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan,
walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau
bahkan sindiran.
Dongeng biasanya mempunyai kalimat pembukaan dan penutup yang bersifat
klise. Misalnya, pada dongeng berbahasa Jawa, ada kalimat pembukaan: "anuju
sawijining dina....... " (pada suatu hari...... ) dan diakhiri kalimat penutup: "A lan B urip
rukun bebarengan kaya mimi lan mintuna" ( ... A dan B hidup bersama dengan rukun
bagaikan ketam blangkas jantan dan ketam blangkas betina). Pada bahasa Melayu, ada
kalimat pembukaan seperti: " Sahibul Hikayat....... ", dan sebagainya.
Anti Aarne dan Stith Thompson, dalam bukunya " The Types of the Folktale",
telah membagi jenis-jenis dongeng ke dalam empat golongan besar, yaitu:
1) Dongeng binatang (animal tales);
2) Dongeng biasa (ordinary folktales);
3) Lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes); dan
4) Dongeng berumus (formula tales).
1) Dongeng binatang: adalah dongeng yang ditokohi binatang peliharaan dan
binatang liar, seperti: binatang menyusui, burung, binatang melata (reptilia), ikan, dan
serangga. Binatang-binatang itu dalam cerita jenis ini dapat berbicara dan berakal budi
seperti manusia. Di dalam dongeng binatang Indonesia, tokoh yang paling populer adalah
Sang Kancil. Tokoh binatang ini mempunyai sifat yang cerdik, licik, dan jenaka. Tokoh
binatang yang cerdik, licik, dan jenaka ini dalam ilmu folklor dan anropologi disebut
dengan istilah " the trickster atau tokoh penipu".
Beberapa contoh dongeng binatang itu sebagai berikut:
a. Dongeng Sang Kancil dan Harimau;
b. Dongeng Sang Kancil dan Buaya; dan
c. Dongeng Sang Kancil dan Siput.
2) Dongeng biasa. Dongeng biasa adalah jenis dongong yang ditokohi manusia
dan biasanya adalah kisah duka seseorang. Misalnya, Dongeng Ande-Ande Lumut yang
berasal dari Jawa Timur.
3) Lelucon dan anekdot. Lelucon dan anekdot adalah dongeng-dongeng yang
dapat menimbulkan rasa menggelikan hati, sehingga menimbulkan ketawa bagi yang
mendengarnya maupun yang menceritakannya. Walaupun demikian bagi kolektif atau
tokoh tertentu, yang menjadi sasaran dongeng itu, dapat menimbulkan rasa sakit hati.
Contoh, "Cerita Lelaki Bodoh " yang mengisahkan seorang ayah yang mengunjungi
Puskesmas untuk ikut keluarga berencana. Oleh seorang perawat, ia diberi kondom
dengan keterangan agar pada waktu mau bersenggama dengan istrinya harus dipakai. Si
Perawat itu juga memberi contoh pemakaiannya dengan memasukkan salah satu jarinya
ke kondom itu. Setelah liwat beberapa bulan, ia datang kembali ke Puskesmas dengan
bersungut-sungut karena istrinya hamil lagi. Ketika ditanya bagaimana cara memakai
kondom itu, ia menjawab, "ngikutin contohnya, begini..." sambil memasukkan kondom
pada ibu jarinya, "pantesan," kata si Perawat.
III. Folklor dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Masyarakat
Kecamata Kerek Kabupaten Tuban

Yang dimaksud dengan folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang
tersebar dan diwariskan turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengamat (Danan Jaya, 1991 : 2).
Folklor adalah cerita prosa rakyat yang hidup dalam masyarakat, diceritakan oleh orang
tua kepada anaknya dalam buaian atau oleh tukang cerita kepada penduduk kampung
yang tidak dapat membaca dan menulis. Cerita prosa rakyat ini diturunkan secara lisan
dari satu generasi kepada generasi yang lebih muda.
Setelah diadakan penelitian di kecamatan Kerek Kabupaten Tuban, maka
ditemukan sejumlah 9 folklor. Folklor-folklor yang ditemukan tersebut, semuanya adalah
folklor jenis legenda. Folklor-folklor yang ditemukan di kecamatan Kerek Kabupaten
Tuban tersebut, sebagai berikut: 1) legenda Asal Usul Desa Kerek, 2) legenda Asal Usul
Desa Gaji, 3) legenda Asal Usul Desa Jarorejo, 4) legenda Terjadinya Nama Desa
Jarorejo (versi lain), 5) legenda Asal Usul Desa Tengger Wetan, 6) legenda Wali Rendah
Hati ( desa Sumber Arum), 7) legenda Goa Astana Panembahan Watu Putih, 8) legenda
Kejadian Dusun Kebomati Desa Gaji, dan 9) legenda Mliwang dan Macan Putih.
Folklor-folklor tersebut, masih hidup dan berpengaruh terhadap kehidupan
bermasyarakat di kecamatan Kerek Kabupaten Tuban. Yang dimasud dengan pengaruh
adalah daya yang ada atau yang timbul dari sesuatu (orang, benda dan sebagainya) yang
berkuasa atau yang berkekuasaan (gaib dan sebagainya) (Poerwadarminta, 1976:731).
Pengaruh yang dimaksud dalam kaitanya dengan penelitian folkor ini adalah daya yang
ada atau yang timbul dari folklor atau tokoh-tokoh dalam cerita folklor tersebut.
Misalnya, kalau folklor atau tokoh-tokoh folklor itu masih dipercaya oleh masyarakat,
masih dikeramatkan oleh masyarakat, masih dilestarikan oleh masyarakat, masih
diselamati oleh masyarakat, masih dijadikan suri teladan oleh masyarakat, masih sering
diceritakan kebaikannya oleh masyarakat, atau masih diperingati oleh masyarakat,
menunjukkan bahwa folklor itu memiliki pengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Kesembilan folklor legenda yang ditemukan dalam penelitian ini, semuanya
masih diceritakan, diyakini, dipercaya, serta dilestarikan oleh masyarakat setempat.
Karena mengingat tempat dan waktu yang tidak memungkinkan, maka untuk
mengisi jurnal ini, peneliti hanya menyajikan dua folklor saja, yaitu:
Folklor Legenda Asal Usul Desa Gaji; dan (1
Folklor Legenda Mliwang dan Macan Putih (2

1) Legenda Asal Usul Desa Gaji

Ternyata folklor lagenda Asal Usul Desa Gaji tersebut, masih berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban. Misalnya, tokoh Ki
Demang Abilowo ( masyarakat Gaji menyebutnya Ki Lowo) dalam legenda Asal Usul
Desa Gaji adalah tokoh yang masih diceritakan oleh masyarakat dan menjadi tauladan
masyarakat karena 1) semangatnya menyiarkan agama islam berpindah pindah dari
kampung yang satu ke kampung yang lain, 2) kesaktiannya sehingga banyak orang yang
berguru kepadanya, 3) semangatnya membangun desa dan mensejahtrakan
masyarakatnya sehingga desa Gaji yang pada awalnya kekurangan air menjadi desa yang
tidak kekurangan air lagi, karena menurut cerita masyarakat tokoh Ki Demang Abilowo
ini mampu menggerakkan masyarakat membangun dua buah sumur kembar sekaligus.
Dengan adanya air dari dua sumur kembar ini, maka lama kelamaan kampung Gaji ini
banyak didatangi orang, sehingga penduduknya semakin lama makin padat.
Masyarakat desa Gaji ini meyakini bahwa Ki Lowo adalah pendiri dan sesepuh
desa Gaji. Ki Lowo dimakamkan di desa Gaji Kecamatan Kerek. Makam Ki Lowo
sampai saat ini masih terawat dengan baik. Tempat ini dijadikan tempat bersejarah bagi
masyarakat desa Gaji kecamatan Kerek pada khususnya dan masyarakat Tuban pada
umumnya.
Tokoh Ki Lowo dalam legenda Asal Usul Desa Gaji ini, masih berpengaruh dalam
kehidupan masyarakat. Hal ini dibuktilan dengan adanya Haul Ki Lowo yang
dilaksanakan setiap malam Jum'at legi pada bulan Rabiul Awal, dan ditempatkan di
sekitar makam Ki Lowo.
Di samping mengadakan haul Ki Lowo , masyarakat desa Gaji juga mengadakan
ritual, yaitu "manganan" . Manganan ini dilaksanakan di makam Ki Lowo dan di sumur
kembar yang digali Ki Lowo bersama masyarakat Gaji.
Waktu mengadakan acara "manganan", masyarakat berlomba-lomba membawa
makanan pada acara tersebut. Tujuannya untuk meminta keselamatan, dan
menghindarkan dari malapetaka.
Tokoh Ki Demang Abilowo menurut sejarahnya adalah salah satu ulama yang
setaraf dengan Syeh Mahmudi As'ari dan Syeh Asmorokandi. Juga masih keluarga dari
keduanya.
Jadi, itulah secuil legenda asal-usul desa Gaji yang sampai sekarang masih
diyakini dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat desa Gaji Kecamatan Kerek
Kabupaten Tuban.
Folklor legenda Asal Usul Desa Gaji ini, diceritakan oleh sesepuh desa Gaji
(umur: 70 tahun; pekerjaan: petani; pendidikan: tamat SD; alamat: desa Gaji; bahasa yang
digunakan: bahasa Jawa). Folklornya dapat dibaca secara lengkap di bawah ini.
Desa Gaji adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Kerek Kabupaten
Tuban. Desa ini terletak sekitar 4 km arah barat pusat Kecamatan Kerek. Menurut
beberapa tokoh masyarakat desa ini menyimpan sebuah cerita yang sampai kini
masih diyakini oleh masyarakat setempat, yaitu folklor "Legenda Asal Usul Desa
Gaji". Menurut beberapa tokoh masyarakat bahwa pada zaman dahulu sebelum
datangnya para wali, di wilayah Tuban ini telah hidup tokoh-tokoh ulama Agama
Islam. Ulama-ulama itu, antara lain: 1) Kyai Mahmudin Ashari atau lebih dikenal
dengan sebutan "Mbah Modin As'ari" atau "Sunan Bejagung, 2) Syeh Asmoro Kondi
ayah Sunan Ampel, dan 3) Syeh Abdullah yang terkenal dengan nama "Ki Demang
Abilowo" kemenakan dari Syeh Asmorokondi dan Syeh As'ari.
Masyarakat desa "Gaji" meyakini bahwa Ki Demang Abilowo adalah pendiri
dan sesepuh desa "Gaji". Karena Ki Demang Abilowo atau Ki Lowo tidak pernah
menceriterakan asala usulnya, maka masyarakat desa "Gaji" menganggap Ki
Demang Abilowo atau Ki Lowo sebagai orang sakti yang minggat, dalam bahasa
Jawanya "minggate owong kang aji". kata "aji" artinya "sakti". Orang awam
menyebutnya sacara gampang yaitu menjadi "gaji". Seiring dengan banyaknya
penduduk yang tinggal di sekitar sumur kembar itu maka tempat itu diberi nama
"gaji".
Pada zaman dahulu, sebelum datangnya para Wali, wilayah Tuban
dikehendaki oleh tokoh-tokoh ulama Agama Islam. Ulama-ulama ini diantaranya :
Kyai Mahmudin Ashari yang sering disebut Mbah Modin Asari atau lebih dikenal
dengan Sunan Bejagung, Syeh Asmorokondi, ayah dari Sunan Ampel, dan Syeh
Abullah yang dikenal dengan Ki Demang Abilowo. Ki Demang Abilowo ini
termasuk kemenakan dari Syeh Asmorokondi dan Syeh Asari.
Untuk meningkatkan kesejahteraan taraf hidup masyarakat Tuban, para
Ulama Agama Islam berupaya untuk mengadakan pembangunan dibidang fisik
adapun pembangunan mental manusianya. Pembangunan dibidang fisik seperti
pembuatan jalan, jembatan, saluran air dan sebagainya. Sedangkan pembangunan
mental manusia dengan cara mendirikan pondok pesantren untuk memperdalam ilmu
Agama Islam.
Dalam melaksanakan pembangunan ini, diadakan pembagian tugas dan
wilayah diantara para ulama. Ki Demang Abilowo mendapat tugas membuat jalan
dari Tuban menuju Semanding, selain itu juga mendapat tugas untuk membangun
wilayah Tuban bagian barat.Dengan niat ingin menyiarkan Agama Islam Ki Demang
Abilowo akhirnya pergi untuk melaksanakan tugas, beliau menuju ke arah barat.
Ki Demang Abilowo menyiarkan Agama Islam dengan berpindah- pindah.
Dari perkampungan yang satu keperkampungan yang lain. Kadang juga bersemedi
disuatu tempat. Salah satu tempat yang pernah dijadikan tempat semedi adalah
punden yang terletak di Desa Mliwang Kecamatan Kerek Tempat itu sampai
sekarang masih diyakini sebagian orang sebagai tempat yang dapat mendatangkan
berkah.
Akhirnya Ki Demang Abilowo sampailah disuatu tempat perkampungan yang
terletak di tengah hutan belantara. Kampung ini bernama kampung Samben, karena hutan
tersebut banyak terdapat pohon sambi. Rakyatnya tidaklah terlalu banyak, keadaan alam
sangat gersang.
Di kampung Samben ini, Ki Demang Abilowo mengajarkan Ilmu Agama Islam
kepada masayarakat, tidak hanya Ilmu Agama saja yang diajarkan tetapi juga ilmu
Kemasyarakatan dan Ilmu Pertanian. Dengan bergotong-royong masyarakat membuat
Surau. Surau inilah yang digunakan sebagai tempat belajar bagi santri- santrinya.
Ki Demang Abilowo bukanlah orang sembarangan. Beliau mempunyai kesaktian
yang luar biasa, sehingga semakin hari murid-muridnya semakin banyak, salah satu
murid yang paling dekat dengan Ki Demang Abilowo adalah Ki Sabrang. Banyak orang-
orang berdatangan dari tempat yang jauh untuk bertemu deagan Ki Demang Abilowo,
baik untuk memperdalam kesaktian atau mencari obat untuk kesembuhan suatu penyakit
maupun kedatangannya ada yang ingin cepat mendapatkan jodoh, dan lain sebagainya.
Keadaan kampung Samben sangatlah gersang tidak ada sumber air ditempat ini.
Untuk mencari air harus berjalan kaki dengan menempuh jarak sekitar 8 km, yaitu
sumber air Ngipeng. Akhirnya Ki Demang Abilowo membuat dua buah sumur sekaligus
disebelah utara kampung Samben. Sumur ini diberi nama Sumur Dompong. Namun
masyarakat lebih mengenalnya dengan sumur kembar, karena dua buah sumur itu
berdekatan dan sama persis bentuknya. Keunikan dari kedua sumur ini adalah terbuat dari
batu besar yang utuh dan dilubangi di tengahnya, dengan kedalaman 25 meter. Rasanya
mustahil kalau manusia bisa tanpa mempunyai suatu belebihan untuk bisa membuat
sumur seunik itu. Sumur itu sampai kini masih digunakan masyarakat sekitanya sebagai
sumber air untuk digunakan aktifitas setiap hari-harinya dan sumber air itu tidak pemah
mengalami kekeringan walaupun pada waktu musim kemarau yang panjang.
Dengan adanya sumber air dari sumur kembar itu, lama kelamaan kampung ini
semakin banyak didatangi orang, sehingga penduduknya semakin lama semakin
bertambah banyak dan padat.
Ki Demang Abilowo tisak pernah menceritakan asal usulnya. Masyarakat
kampung Samben menganggap Ki Demang Abilowo sebagai orang sakti yang minggat.
Itulah dalam bahasa jawa Minggate wong kang aji, dari istilah ini disingkat GAJI.
Seiring dengan banyaknya penduduk yang tinggal disekitar sumur kembar, akhirnya
tempat ini diberi nama GAJI Namun tidak ada sumber yang mengatakan siapa yang
memberi nama GAR tersebut.
Masyarakat Gaji lebih mengenal Ki Demang Abilowo dengan sebutan KI
LOWO. Ki Lowo semakin kerasan dan betah untuk tinggal di Desa Gaji. Akhirnya Ki
Lowo menetap di Gaji sampai akhir hayatnya, namun sayang Ki Lowo tidak mempunyai
istri, sehingga tidak mempunyai keturunan selanjutnya.
Ki Lowo di makamkan di Dusun Karang Binangun Desa Gaji Kecamatan Kerek.
Makam Ki Lowo ditandai dengan dua buah nisan dari kayu. Batang kayu yang utuh,
tanpa pahatan. Kayu sebagai nisan ini diyakini masyarakat sudah berumur ratusan tahun
lamanya. Nisan ini belum pernah diganti sejak pertama kali ditancapkan. Pada saat
wafatnya Ki Lowo. Dan sampai sekarang nisan ini masih utuh dan tidak lapuk. Makam
Ki Lowo sampai saat ini masih terawat dengan baik, tempat ini dijadikan tempat
bersejarah bagi masyarakat desa Gaji pada khususnya, dan masyarakat Tuban pada
umumnya.
Masyarakat desa Gaji meyakini bahwa Ki Lowo adalah pendiri dan sesepuh Desa
Gaji, sehingga untuk mengenang jasanya setiap tahun masyarakat Desa Gaji mengadakan
Haul Ki Lowo. Haul Ki Lowo ini dilaksanakan setiap malam Jumat legi pada bulan
Robiul Awal, dan beralamat disekitar makam Ki Lowo. Pada acara ini, tokoh-tokoh Desa
Gaji membentuk panitia Haul Ki Lowo. Dalam Haul ini diadakan pengajian Akbar
dengan mendatangkan Dai dari ulama-ulama Agama Islam yang tersohor namanya.
Haul yang ke VI, yang dilaksanakan pada bulan Robiul Awal tahun ini sukses.
Masyarakat berdatangan dari berbagai daerah Tuban pada umumnya. Disamping datang
untuk mendengarkan pengajiannya. Masyarakat sekaligus datang untuk berziarah ke
makam Ki Lowo. Sebagian orang meyakini, dengan berziarah ke makam Ki Lowo akan
mendapatkan berkah dari Allah SWT.
Disamping mengadakan Haul Ki Lowo, masyarakat Desa Gaji juga mengadakan
acara ritual yaitu Manganan Acara ini dilaksanakan setiap tahun. Manganan bisa juga
disebut dengan ngadran atau bersih desa. Manganan ini dilaksanakan di makam Ki Lowo
dan di sumur kembar. Waktu manganan, masyarakat khususnya Desa Gaji membawa
segala macam makanan ketempat tersebut. Tujuannya untuk meminta keselamatan, dan
menghindarkan malapetaka. Ada nasi dan lauk pauknya, kue-kue buah- buahan dan lain
sebagainya.
Sejarah dan keberadaan makam Ki Lowo atau Ki Demang Abilowo di Desa
Gaji Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban inijuga diperkuat oleh beberapa tokoh
Agama Islam Kabupaten Tuban. Termasuk K.H. Abdul Matin,S.H yang pernah
memberikan ceramah pada saat Haul Ki Lowo bahwa Ki Demang Abilowo adalah
salah satu ulama yang setaraf dengan Syeh Mahmudin Asari dan Syeh
Asmorokondi. Dan juga masih keluarga dari keduanya. Dan memang benar makam
Ki Lowo terletak di Desa Gaji.
Itulah legenda rakyat Desa Gaji, yang sampai sekarang masih diyakini masyarakat
Desa Gaji. Namun sayang, cerita rakyat ini sampai sekarang belum pernah dibukukan dan
dipublikasikan. Kalau toh ada yang menulis cerita ini hanya untuk koleksi pribadi saja.

Peneliti,

2. Mliwang dan Macan Putih

Folklor legenda Mliwang dan Macan Putih di desa Mliwang, juga merupakan
lagenda yang masih diyakini dan dilestarikan oleh masyarakat setempat. Folklor ini
menceritakan tentang tokoh folklor yang bernama Syeh Abdullah bersama santri-
santrinya berperang melawan Macan Putih, di hutan Mliwang. Menurut tukang cerita
(sesepuh desa setempat), kejadian ini diperkirakan terjadi pada awal masuknya islam ke
Tuban. Karena kesaktiannya, maka tokoh Syeh Abdullah bersama santrinya dapat
mengalahkan dan meluluhkan hati pasukan Macan Putih.
Akhirnya, pasukan Macan Putih mengijinkan Syeh Abdullah bersama santrinya
untuk tinggal di sekitar bukit Mliwang, dengan syarat yang telah disetujui oleh kedua
belah pihak, yaitu: masyarakat yang menghuni di sekitar bukit Mliwang: tidak boleh
memakai udeng kawung, tidak boleh memakai stagen biru, tidak boleh kawin dengan
tetangga desa (desa Kasiman), tidak boleh memelihara kambing kibas, tidak boleh
menggunakan cangkul bawak (separo kayu dan mata cangkulnya terbuat dari besi), tidak
boleh menembok rumah, dan yang paling utama tidak boleh membangun rumah dengan
pintu menghadap utara (silakan baca folklornya).
Menurut folklor lagenda ini, bahwa syarat yang diajukan oleh Pasukan Macan
Putih ini, disetujui dan disanggupi oleh Syeh Abdullah. Sehingga sampai sekarang di desa
Mliwang tidak ada masyarakat yang membangun rumahnya dengan pintu menghadap
utara. Menurut folklornya kalau ada masyarakat yang membangun rumah dengan pintu
menghadap utara, maka akan ketakutan, sakit mendadak, bahkan akan meninggal waktu
itu juga (silakan baca folklornya).
Folklor legenda Mliwang dan Macan Putih ini, diceritakan oleh Sesepuh desa atau
tokoh masyarakat (umur 70 tahun, asal desa: Mliwang, berbahasa Jawa, pekerjaan:
bertani, pendidikan: SR). Bacalah secara lengkap folklor legenda Mliwang dan Macan
Putih, berikut.
Salah satu cerita rakyat yang sampai saat ini masih berpengaruh dan
dilestarikan oleh masyarakat di Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban adalah adat tradisi
masyarakat Desa Mliwang. Di desa ini sampai sekarang tak ada satupun rumah yang
menghadap ke utara. Rakyat Mliwang hanya boleh membuat rumah menghadap ke barat,
timur atau selatan. Anehkan?
Cerita ini diperkirakan terjadi pada awal masuknya Islam ke Tuban. Adalah
Syekh Abdullah. Waktu itu, ia bersama para santrinya hendak mencari tempat yang
tepat untuk mendirikan tempat perguruan. Setelah menemukan hutan Mliwang yang di
tengahnya terdapat bukit kecil menjulang, maka berhentilah Syekh Abdullah di sana. Ia
memerintahkan para santrinya untuk membabat hutan. Perjuangannya dengan para
santri dalam membabat hutan Mliwang tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan.
Konon, hutan-hutan di sepanjang pantai utara Jawa dulu sebelum Syekh
Subakir menanam tumbal untuk mengusir makhluk makhluk halus itu ke pantai
selatan, adalah tempat yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya setan,
dedemit, gondoruwo, banaspati, sundel bolong, dan bermacam-macam bangsa jin. Hal
ini juga terjadi di hutan Mliwang.
Sebenarnya, dalam beberapa han hutan-hutan yang berada di kaki dan lereng
bukit telah berhasil dibabat oleh para santri. Semua makhluk halus yang semula
bermukim di hutan itu dengan berbagai cara telah berhasil disingkirkan oleh Syekh
Abdullah ke tempat lain yang jauh.
Beberapa orang santri yang ditugasi membuat tempat tinggal sementara dan kayu-
kayu yang ditebang dan diberi atap daun telah selesai sebelum matahari tenggelam. Rumah
kecil itu diberi pintu menghadap ke utara. Syekh Abdullah kemudian
memerintahkan para santrinya untuk beristirahat karena besok pagi masih banyak
pekerjaan yang harus diselesaikan.
Malam ibu tanggal tiga belas hitunga nbulan. Seisi jagadraya terang bermandikan
cahaya. Begitu pula di sekitar perbukitan Mliwang. Namun, entah mengapa tiba-tiba
langit menjadi gelap dan angin bertiup dan arah utara dengan bergitu dahsyatnya.
Banyak pohon yang tumbang, bahkan tercerabut sampai akar-akarnya dari tanah.
rumah kecil yang dipakai istirahat para santri itupun ambruk bahkan atap-atapnya
melayang ke angkasa. Auman harimau segera menggema dengan begitu menyeramkan dan
segalapenjuru mengungkung bukit Mliwang.
Melihat keadaan semacam itu, para santri lari ketakutan mencari tempat
berlindung. Sementara itu, Syekh Abdullah tampak bersujud. Angin yang semenj ak tadi
menyerang, kepulan debu yang tertuju ke arahnya, dan auman harimau yang
menakutkan sama sekali tak dihiraukan. Ia beristighfar memohon perlindungan Allah.
Setelah itu ia bangkit melawan serangan angin. Dengan berdiri kokoh ia kumandangkan
adzan.
Begitu kumandang adzan selesai, angin dan auman harimau itu tak lagi terjadi.
Mendung tebal yang menyaput langit, seketika itu juga lenyap. Bulan pun kembali terang
menyinari bumi. Keesokan harinya, Syekh Abdullah memerintahkan para. santrinya untuk
membuat rumah kecil seperti kemarin. Setelah jadi, nimah itu pun diberi pintu menghadap ke
utara. Pada tengah malam, kejadian seperti malam kemarin pun terjadi kembali. Langit
gelap, angin mengamuk, dan auman harimau siap menebar maut menggemadi bukit
Mliwang.
Syekh Abdullah tampak bersujud. Ia beristighfar memohon perlindungan Allah.
Setelah itu ia bangkit melawan arus angin yang dahsyat. Dengan berdiri kokoh la
kumandangkan adzan. Begitu kumandang adzan selesai, angin dan auman harimau itu tak lagi
terjadi. Awan tebal yang menyaput langit, seketika itu juga lenyap. Bulan pun kembali
terang menyinari bumi.
Pagi harinya, Syekh Abdullah kembali rnemerinpara santrinya untuk membuat
rumah kecil dan diberi pintu menghadap ke utara. Sebagian yang lain tetap melanjutkan
tugasnya, menebang hutan jati di lereng bukit untuk dijadikan pemukiman. Malam itu bulan
sedang purnama penuh. Tanggal lima belas. Syekh Abdullah melarang semua santrinya untuk
tidur. Dalam kondisi apapun mereka harus tetap terjaga. Menurut mata batinnya,
serangan seperfii malam-malam kemarin akan menemui puncaknyamalamini. Mungkin
akan lebih dahsyat lagi.
Ketika bulan tepat di atas ubun-ubun, angin bertiup sangat kencang dan arah utara.
Namun, kali ini langit tak tertutup sedikitpun oleh awan hitam. Dari puncak bukit, auman
harimau sambung-menyambung terdengar seperti siap menebar maut
Kali ini auman itu tidaklah sekedar auman. Di bawah terang cahaya bulan, tiba-tiba
muncullah pasukan harimau yang sangat banyak jumlahnya. Suara harimau itu semakin
dekat semakin menakutkan. Apalagi melihat pimpinannya yang berrwujud putih dengan
tubuh sangat besar dan menyeramkan. Para santri Ian tunggang langgang dikejar pasukan
harimau yang berwajah garang dan tampak kelaparan. Beberapa di antara mereka harus
terluka oleh cakaran-cakaran harimau yang begitu tajam. Bahkan, tidak jarang bagian tubuh
mereka berlumuran darah akibat diterjang harimau-harimau itu.
Para santri berebut melompat ke tanah lapang yang telah diberi linkarang putih
oleh Syekh Abdullah. Ketika mereka telah berada di dalam lingkaran, garis putih itu pun berubah
menjadi kobaran api yang sangat besar. Tentu saja, harimau-harimau itu tak lagi berani
mengejar. Namun demikian, mereka tetap mengaum sambil berlari-lari mengelilingi
lingkaran hendak menerjang.
"Jangan main keroyok. Hai, macan putih kalau berani hadapi aku sendirian!" teriak
SyekhAbdullah.
Macan putih itupun mengangguk kepada anak buahnya yang menyeringai.
Maka, dalam waktu sekejap mereka bersimpuh membentuk kalangan (lingkaran) yang
akan menjadi tempat Syekh Abdullah dan macan putih mempertaruhkan nyawa.
Syekh Abdullah tampak sedang memusatkan perhatian untuk melawan macan putih.
Malam itu, terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat antara keduanya. Dua sosok itu
melompat lompat ke udara. Perputarannya sangat cepat sehingga membentuk dua gumpalan
cahaya. Setiap kali berbenturan, melompatlah lidah api yang menyala nyala.
Hari terus merambat menjelang pagi. Pertempuran seru itu puntak kunjung
selesai. Namun, karena macan putih agak lengah maka Syekh Abdullah berhasil
menyabetkan sajadahnya ke bagian perut macan putih. Ia menyeringai menahan sakit
yang tak tertahankan. "Bagaimana, masih akan dilanjutkan?" tanya Syekh Abdullah.
"Cukup. Hai, manusia. Siapa namamu yang telah lancang mengobrak- abrik wilayah
kekuasaanku ? Katakan apa maumu !"kata si macan putih. "Aku Syekh Abdullah." "Hai,
Sykeh Abdullah. Aku telah mengirim peringatan-peringatan agar kalian tidak
melanjutkan merusak wilayahku. Tapi, mengapa tetap saja engkau lanjutkan?" tanya
macan putih itu dengan suara agak tersendat.
"Hai macan putih. Bukan maksud kami merusak tempat tinggalmu. Kami
hanya ingin mencari tempat berguru yang tenang. Biarlah murid-muridku itu
berguru ilmu Allah. Mengabdikan hidupnya di jalan Allah! Bukankah kalian bangsa
jin yang menyaru sebagai harimau-harimau ini juga hamba Allah?"
Mendengar kata "Allah", bangsa jin itu pun luluh hatinya. "Baiklah Syekh
Abdullah. Kalian saya izinkan untuk tinggal di sekitar bukit ini, tapi ada syaratnya !" kata
macan putih itu.
Apa syaratnya?"
"Ada sembilah pantangan yang kelak harus dipenuhi oleh orang-orang yang
menghuni sekitar bukit Mliwang ini."
"Apa saja pantangan itu, hai macan putih?"
"Mereka tidak boleh memakai udeng kawung, stagen biru, kawin dengan
tetangga desa (Desa Kasiman), memelihara kambing gibas, menggunakan cangkul
bawak (separuh kayu dan mata cangkulnya terbuat dari besi), menembok rumah. Dan
yang paling utama, janganlah pernah membangun rumah dengan pintu menghadap ke
utara !"
"Boleh aku bertanya, hai macan putih?" "Hanya satu hal."
"Baik, mengapa kami tidak boleh membangun rumah dengan pintu menghadap
ke utara ?"
"'Tempat tinggalku ada di sebelah utara. Sewaktu-waktu kami menjelma menjadi
pasukan macan yang menakutkan seperti malam ini. Nah, jika rumah warga di sini
menghadap ke utara mereka akan mengetahuinya. Tentunya mereka akan ketakutan, sakit
mendadak atau bahkan akan meninggal waktu itu juga. Bagaimana, Syekh apakah Anda
sanggup?"
Baik Baik, kami akan mematuhinya."
"Jangan lupa, jika pantangan itu dilanggar, aku akan mengerahkan pasukanku
untuk menyerang wargamu yang melanggarnya"
Setelah memberi pesan, macan putih itu mendongakkan kepalanya ke
angkasa menatap bulan yang bulat sempurna sambil mengaum panjang. Suaranya sangat
nyaring namun menakutkan. Dan, harimau-harimau Yang lain pun kembali tegak berdiri.
Dalam sekejap, mereka lenyap dari hadapan Syekh Abdullah dan para santrinya.

Peneliti,
IV. Kesimpulan dan Saran-saran

4.1 Kesimpulan
Folklor merupakan salah satu kekayaan budaya lama yang patut dihargai dan
dilestarikan. Setiap bangsa, daerah atau masyarakat memiliki folklor yang diwariskan
secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya.
Di dalam cerita folklor ini akan ditemukan norma-norma sosial atau nilai-nilai
estetis yang tinggi. Oleh karena itu, wajarlah kalau masyarakat pewarisnya masih
mengagungkan, mengultuskan, memitoskan, dan melestarikannya dengan baik. Folklor
bagi masyarakat kolektifnya dapat dijadikan sebagai seni tauladan dalam bertingkah laku
dan dapat dijadikan kebanggaan identitas daerahnya.
Tujuan penelitian folklor dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat
Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban, adalah untuk memperoleh deskripsi tentang jumlah
folklor lisan yang difokuskan pada cerita prosa rakyat yang meliputi 1) Mithe, 2) legenda,
dan 3) dongeng yang hidup dan tersebar dalam masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten
Tuban. Lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana atau adakah pengaruh folklor tersebut
dalam kehidupan masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua metode, yaitu 1)
metode pengumpulan data, dan 2) metode analisis data. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode angket, wawancara, dan
perekaman. Angket atau daftar pertanyaan diisi oleh peneliti pada saat wawancara.
Perekaman dilakukan oleh peneliti pada saat tukang cerita menceritakan folklor; tetapi
kenyataannya jarang tukang cerita yang mau direkan ceritanya dalam penelitian ini. Jadi,
peneliti harus menulis secara langsung cerita lisan dari tukang cerita. Metode analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode analisis deskriptif dan
kuantitatif, maksudnya peneliti bermaksud mendeskripsikan dan menggambarkan jumlah
folklor yang hidup dan masih dilestarikan oleh masyarakatnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di kecamatan Kerek Kabupaten
Tuban, maka diperoleh jumlah folklor yang hidup dan masih diingat oleh masyarakat
kecamatan Kerek, sebanyak 9 folklor.
Dari jumlah 9 folklor tersebut, ternyata semuanya adalah jenis folklor legenda.
Hal ini, menurut pengakuan masyarakat kolektif disebabkan folklor jenis lagenda adalah
cerita rakyat yang benar-benar terjadi pada masa itu yang masih diingat dan diturunkan
secara lisan kepada anak cucu mereka sampai sekarang. Misalnya, 1) lagenda asal usul
desa Kerek, 2) lagenda asal usul desa Gaji, 3) lagenda asal usul desa Jarorejo, 4) lagenda
asal usul terjadinya desa Jarorejo (versi lain), 5) legenda asal usul desa Tengger Wetan, 6)
legenda Wali Rendah Hati dari Sumber Arum, 7) legenda Goa Astana Penembahan Watu
Putih, 8) legenda Kejadia Dusun Kebomati Desa Gaji, dan 9) legenda Mliwang dan
Macan Putih.
Jenis folklor mite tidak ditemukan dalam penelitian ini. Hal ini, mungkin
disebabkan folklor mite tidak diturunkan secara turun temurun kepada anak cucunya
sehingga akhirnya punah; atau juga mungkin masyarakat Kecamatan Kerek sebagai
obyek penelitian ini tidak percaya terhadap folklor mite karena pengaruh ajaran islam
yang kuat dari masyarakat setempat dan pengaruh sikap moderen masyarakat setempat.
Jenis folklor dongeng juga tidak ditemukan dalam penelitian ini. Hal ini, karena
folklor dongeng dianggap sebagai cerita hayalan semata yang tidak benar-benar terjadi
sehingga masyarakat tidak begitu berminat mencertakannya dan menurunkan kepada
generasi berikutnya.
Ternyata folklor-folklor lagenda tersebut, masih berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban. Misalnya, tokoh Ki Demang Abilowo
( masyarakat Gaji menyebutnya Ki Lowo) dalam legenda Asal Usul Desa Gaji adalah
tokoh yang masih diceritakan oleh masyarakat dan menjadi tauladan masyarakat karena
1) semangatnya menyiarkan agama islam berpindah pindah dari kampung yang satu ke
kampung yang lain, 2) kesaktiannya sehingga banyak orang yang berguru kepadanya, 3)
semangatnya membangun desa dan mensejahtrakan masyarakatnya sehingga desa Gaji
yang pada awalnya kekurangan air menjadi desa yang tidak kekurangan air lagi, karena
menurut cerita masyarakat tokoh Ki Demang Abilowo ini mampu menggerakkan
masyarakat membangun dua buah sumur kemar sekaligus. Dengan adanya air dari dua
sumur kembar ini, maka lama kelamaan kampung Gaji ini banyak didatangi orang,
sehingga penduduknya semakin lama makin padat.
Masyarakat desa Gaji ini meyakini bahwa Ki Lowo adalah pendiri dan sesepuh
desa Gaji. Ki Lowo dimakamkan di desa Gaji Kecamatan Kerek. Makam Ki Lowo
sampai saat ini masih terawat dengan baik. Tempat ini dijadikan tempat bersejarah bagi
masyarakat desa Gaji kecamatan Kerek pada khususnya dan masyarakat Tuban pada
umumnya.
Tokoh Ki Lowo dalam legenda Asal Usul Desa Gaji ini, masih berpengaruh dalam
kehidupan masyarakat. Hal ini dibuktilan dengan adanya Haul Ki Lowo yang
dilaksanakan setiap malam Jum'at legi pada bulan Rabiul Awal, dan ditempatkan di
sekitar makam Ki Lowo.
Di samping mengadakan haul Ki Lowo , masyarakat desa Gaji juga mengadakan
ritual, yaitu "manganan" . Manganan ini dilaksanakan di makam Ki Lowo dan di sumur
kembar yang digali Ki Lowo bersama masyarakat Gaji.
Waktu mengadakan acara "manganan", masyarakat berlomba-lomba membawa
makanan pada acara tetrsebut. Tujuannya untuk meminta keselamatan, dan
menghindarkan dari malapetaka.
Tokoh Ki Demang Abilowo menurut sejarahnya adalah salah satu ulama yang
setaraf dengan Syeh Mahmudi As'ari dan Syeh Asmorokandi. Juga masih keluarga dari
keduanya.
Jadi, itulah secuil legenda asal-usul desa Gaji yang sampai sekarang masih
diyakini dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat desa Gaji Kecamatan Kerek
Kabupaten Tuban.
Folklor legenda Mliwang dan Macan Putih di desa Mliwang, juga merupakan
lagenda yang masih diyakini dan dilestarikan oleh masyarakat setempat. Folklor ini
menceritakan tentang tokoh folklor yang bernama Syeh Abdullah bersama santri-
santrinya berperang melawan Macan Putih, di hutan Mliwang. Menurut tukang cerita
(sesepuh desa setempat), kejadian ini diperkirakan terjadi pada awal masuknya islam ke
Tuban. Karena kesaktiannya, maka tokoh Syeh Abdullah bersama santrinya dapat
mengalahkan dan meluluhkan hati pasukan Macan Putih.
Akhirnya, pasukan Macan Putih mengijinkan Syeh Abdullah bersama santrinya
untuk tinggal di sekitar bukit Mliwang, dengan syarat yang telah disetujui oleh kedua
belah pihak, yaitu: masyrakat yang menghuni di sekitar bukit Mliwang: tidak boleh
memakai udeng kawung, tidak boleh memakai stagen biru, tidak boleh kawin dengan
tetangga desa (desa Kasiman), tidak boleh memelihara kambing kibas, tidak boleh
menggunakan cangkul bawak (separo kayu dan mata cangkulnya terbuat dari besi), tidak
boleh menembok rumah, dan yang paling utama tidak boleh membangun rumah dengan
pintu menghadap utara (silakan baca folklornya).
Menurut folklor lagenda ini, bahwa syarat yang diajukan oleh Pasukan Macan
Putih ini, disetujui dan disanggupi oleh Syeh Abdullah. Sehingga sampai sekarang di desa
Mliwang tidak ada masyarakat yang membangun rumahnya dengan pintu menghadap
utara. Menurut folklornya kalau ada masyarakat yang membangun rumah dengan pintu
menghadap utara, maka akan ketakutan, sakit mendadak, bahkan akan meninggal waktu
itu juga (silakan baca folklornya).
Beberapa tokoh masyarakat desa Gaji, tukang cerita, pencinta budaya lama,
pemerintah di kecamatan Kerek sangat menyetujui pendokumentasian folklor di
Kecamatan Kerek ini. Mereka juga menyetujui folklor-folklor yang isinya berpengaruh
positif, mendidik, dapat dijadikan bahan pengajaran bagi murid mulai dari sekolah dasar
dampai ke tingkat SLTA.

4,2 Saran-saran
Ada beberapa saran yang ingin peneliti sampaikan kepada masyarakat dan
pemerintah, anatara lain sebagai berikut:
1)Pemerintah diharapkan meningkatkan pendidikan diberbagai pelosok desa, baik
pendidikan umum maupun pendidikan agama. Dengan pendidikan yang meningkat
maka diharapkan masyarakat dapat membedakan mana folklor yang berpengaruh
negatif dan mana folklor yang berpengaruh positif.
2)Pemerintah Kabupaten, Kecamatan, maupun desa, bersama masyarakat diharapkan agar
tetap melestarikan atau memelihara folklor-folklor yang sekiranya dapat menunjang
pembangunan desa.
3)Pemerintah Kabupaten, kecamatan, dan desa diharapkan mengambil langkah-langkah
pendokumentasian folklor-folklor guna pelestarian kebudayaan daerah atau nasional.
4)Pemerintah Kabupaten, kecamatan maupun desa diharapkan ikut serta dalam usaha
pendokumentasian folklor yang ada di daerahnya.
5)Dirapkan kepada masyarakat agar dapat mengambil tauladan kepada tokoh-tokoh
folklor dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya: Tokoh folklor lagenda Asal Usul
Desa Gaji, tokoh Mbah Djoyo dalam legenda Kejadian Dusun Kebomati Desa Gaji,
tokoh-tokoh folklor dalam legenda Mliwang dan Macan Putih.
6)Diharapkan kepada masyarakat untuk mengambil nilai nilai positif saja dari foklor yang
ada, bukan hal-hal yang negatif.
DAFTAR PUSTAKA

Aliana, Arifin, Zainal dkk. 1979. Ekspesi Semiotik Tokoh Mitos dan Legendaris Dalam
Tutur Sastra Nusantara di Sumatra Selatan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta.
Arifin, Bustanul, dkk. 1986. Sastra Indonesia (lama, baru, dan modern). Bandung: Lubuk
Agung.
Atmazaki, Drs. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Penerapan. Padang: Angkasa Raya.
Danarjaya, James, Prof. Dr. 1991. Folklor Indonesia. PT. Temprint: Jakarta.
-------------------. 1990. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Penelitian Folklor. Malang:
YA3.
Hasyim, Nafron. 1981. Pengajaran Bahasa dan Sastra "Usaha Pemupukan Apresiasi Sastra
Indonesia Lama, Masalah Yang Hampir Menguap dari Ruang Kelas. Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa: Jakarta.
Sadi Hutomo, Suripan, Prof., Dr. 1988. Model Penelitian Seni Budaya. Pusat Penelitian
IKIP Surabaya: Surabaya.
Sudikan, Yuwana, Setya, Dr., MA. 1993. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra
Wacana.
Sujiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Folklor .1 Legenda : Data Informan (Pencerita)
Di Desa Kerek : Nama Sesepuh Desa :
Kecamatan Kerek : Tempat, tanggal Tahun 80 :
lahir (umur)
Jabatan / pekerjaan -:
Pendidikan Tamat SR :
Bahasa Jawa :
Alamat Kerek :

ASAL MULA DESA KEREK


Pada jaman dahulu sebelum Desa Kerek mempunyai nama Kerek, menurut
cerita rakyat yang hingga sampai sekarang masih melekat pada orang pribumi amat
sangat mengharukan sekali. Yang sampai sekarang masih dianggap keramat sekali
Konon kabarnya dahulu ada seorang pengembara yang datang di Desa Kerek
(sekarang). Pengembara tersebut hidup sederhana. Mereka tidak berkeluarga hanya
seorang diri. Orangnya pendiam dan amat bijak. Disamping itu mereka hidup
bertani dan pendiam. Di dalam kesunyian mereka selalu memikirkan bagaimana cara
menanam (tanaman mereka) tidak dapat hidup subur dikarenakan kekurangan air sebab di
desa ini tidak ada sumber air. Untuk mandi, cuci pun sangat sulit. Hanya dapat
memanfaatkan air hujan yang jatuh. Maka di sana sini orang membuat tampungan
dengan jalan membuat dan membendung air hujan yang sampai
.sekarang masih ada, juga dimanfaatkan
Di suatu saat pengembara sangat membutuhkan air untuk minum. Pada saat
.kehausan pengembara minta air untuk minum kepada seseorang
.Tapi apa jawabannya. Sangat menyakitkan hati
Sudah tidak memberi air, pengembara mendapat jawaban yang sangat
menyakitkan hati. Sehingga pengembara bersabda bahwa desa ini akan selalu
kekurangan air dalam bahasa daerahnya selalu keret-keret. Maka orang awam
.mengartikan keret-keret itu dengan kata Kerek
Maka dengan kejadian tersebut semua orang baru menyadari bahwa pengembara
.yang amat bijak itu adalah seorang wali

,Peneliti

Folklor .2 Legenda : Data Informan (Pencerita)


Di Desa Gaji : Nama Sesepuh Desa :
Kecamatan Kerek : Tempat, tanggal lahir Tahun 80 :
(umur)
Jabatan / pekerjaan -:
Pendidikan Tamat SR :
Bahasa Jawa :
Alamat Gaji :
ASAL USUL DESA GAJI

Desa Gaji adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Kerek Kabupaten
Tuban. Desa ini terletak sekitar 4 km arah barat pusat Kecamatan Kerek. Menurut
beberapa tokoh masyarakat desa ini menyimpan sebuah cerita yang sampai kini
.masih diyakini oleh masyarakat setempat
Pada zaman dahulu, sebelum datangnya para Wali, wilayah Tuban
dikehendaki oleh tokoh-tokoh ulama Agama Islam. Ulama-ulama ini diantaranya :
Kyai Mahmudin Ashari yang sering disebut Mbah Modin Asari atau lebih dikenal
dengan Sunan Bejagung, Syeh Asmorokondi, ayah dari Sunan Ampel, dan Syeh
Abullah yang dikenal dengan Ki Demang Abilowo. Ki Demang Abilowo ini
.termasuk kemenakan dari Syeh Asmorokondi dan Syeh Asari
Untuk meningkatkan kesejahteraan taraf hidup masyarakat Tuban, para
Ulama Agama Islam berupaya untuk mengadakan pembangunan dibidang fisik
adapun pembangunan mental manusianya. Pembangunan dibidang fisik seperti
pembuatan jalan, jembatan, saluran air dan sebagainya. Sedangkan pembangunan
mental manusia dengan cara mendirikan pondok pesantren untuk memperdalam ilmu
.Agama Islam
Dalam melaksanakan pembangunan ini, diadakan pembagian tugas dan
wilayah diantara para ulama. Ki Demang Abilowo mendapat tugas membuat jalan
dari Tuban menuju Semanding, selain itu juga mendapat tugas untuk membangun
.wilayah Tuban bagian barat
Dengan niat ingin menyiarkan Agama Islam Ki Demang Abilowo akhirnya
pergi untuk melaksanakan tugas, beliau menuju ke arah barat.
Ki Demang Abilowo menyiarkan Agama Islam dengan berpindah- pindah.
Dari perkampungan yang satu keperkampungan yang lain. Kadang juga bersemedi
disuatu tempat. Salah satu tempat yang pernah dijadikan tempat semedi adalah
punden yang terletak di Desa Mliwang Kecamatan Kerek Tempat itu sampai
sekarang masih diyakini sebagian orang sebagai tempat yang dapat mendatangkan
.berkah
Akhirnya Ki Demang Abilowo sampailah disuatu tempat perkampungan
yang terletak di tengah hutan belantara. Kampung ini bernama kampung Samben,
karena hutan tersebut banyak terdapat pohon sambi. Rakyatnya tidaklah terlalu
banyak, keadaan alam sangat gersang.
Di kampung Samben ini, Ki Demang Abilowo mengajarkan Ilmu Agama
Islam kepada masayarakat, tidak hanya Ilmu Agama saja yang diajarkan tetapi juga
ilmu Kemasyarakatan dan Ilmu Pertanian. Dengan bergotong-royong masyarakat
membuat Surau.
Surau inilah yang digunakan sebagai tempat belajar bagi santri- santrinya.
Ki Demang Abilowo bukanlah orang sembarangan. Beliau mempunyai
kesaktian yang luar biasa, sehingga semakin hari murid-muridnya semakin banyak,
salah satu murid yang paling dekat dengan Ki Demang Abilowo adalah Ki Sabrang.
Banyak orang-orang berdatangan dari tempat yang jauh untuk bertemu deagan Ki
Demang Abilowo, baik untuk memperdalam kesaktian atau mencari obat untuk
kesembuhan suatu penyakit maupun kedatangannya ada yang ingin cepat
mendapatkan jodoh, dan lain sebagainya.
Keadaan kampung Samben sangatlah gersang tidak ada sumber air ditempat
ini. Untuk mencari air harus berjalan kaki dengan menempuh jarak sekitar 8 km,
yaitu sumber air Ngipeng. Akhirnya Ki Demang Abilowo membuat dua buah sumur
sekaligus disebelah utara kampung Samben. Sumur ini diberi nama Sumur
Dompong. Namun masyarakat lebih mengenalnya dengan sumur kembar, karena dua
buah sumur itu berdekatan dan sama persis bentuknya. Keunikan dari kedua sumur
ini adalah terbuat dari batu besar yang utuh dan dilubangi di tengahnya, dengan
kedalaman 25 meter. Rasanya mustahil kalau manusia bisa tanpa mempunyai suatu
belebihan untuk bisa membuat sumur seunik itu. Sumur itu sampai kini masih
digunakan masyarakat sekitanya sebagai sumber air untuk digunakan aktifitas setiap
hari-harinya dan sumber air itu tidak pemah mengalami kekeringan walaupun pada
waktu musim kemarau yang panjang.
Dengan adanya sumber air dari sumur kembar itu, lama kelamaan kampung
ini semakin banyak didatangi orang, sehingga penduduknya semakin lama semakin
bertambah banyak dan padat.
Ki Demang Abilowo tisak pernah menceritakan asal usulnya. Masyarakat
kampung Samben menganggap Ki Demang Abilowo sebagai orang sakti yang
minggat. Itulah dalam bahasa jawa Minggate wong kang aji, dari istilah ini
disingkat GAJI. Seiring dengan banyaknya penduduk yang tinggal disekitar sumur
kembar, akhirnya tempat ini diberi nama GAJI Namun tidak ada sumber yang
mengatakan siapa yang memberi nama GAR tersebut.
Masyarakat Gaji lebih mengenal Ki Demang Abilowo dengan sebutan KI
LOWO. Ki Lowo semakin kerasan dan betah untuk tinggal di Desa Gaji. Akhirnya
Ki Lowo menetap di Gaji sampai akhir hayatnya, namun sayang Ki Lowo tidak
mempunyai istri, sehingga tidak mempunyai keturunan selanjutnya.
Ki Lowo di makamkan di Dusun Karang Binangun Desa Gaji Kecamatan
Kerek. Makam Ki Lowo ditandai dengan dua buah nisan dari kayu. Batang kayu
yang utuh, tanpa pahatan. Kayu sebagai nisan ini diyakini masyarakat sudah
berumur ratusan tahun lamanya. Nisan ini belum pernah diganti sejak pertama kali
ditancapkan. Pada saat wafatnya Ki Lowo. Dan sampai sekarang nisan ini masih
utuh dan tidak lapuk.
Makam Ki Lowo sampai saat ini masih terawat dengan baik, tempat ini
dijadikan tempat bersejarah bagi masyarakat desa Gaji pada khususnya, dan
.masyarakat Tuban pada umumnya
Masyarakat desa Gaji meyakini bahwa Ki Lowo adalah pendiri dan sesepuh
Desa Gaji, sehingga untuk mengenang jasanya setiap tahun masyarakat Desa Gaji
mengadakan Haul Ki Lowo. Haul Ki Lowo ini dilaksanakan setiap malam Jumat
legi pada bulan Robiul Awal, dan beralamat disekitar makam Ki Lowo. Pada acara
ini, tokoh-tokoh Desa Gaji membentuk panitia Haul Ki Lowo. Dalam Haul ini
diadakan pengajian Akbar dengan mendatangkan Dai dari ulama-ulama Agama
Islam yang tersohor namanya.
Haul yang ke VI, yang dilaksanakan pada bulan Robiul Awal tahun ini
sukses. Masyarakat berdatangan dari berbagai daerah Tuban pada umumnya.
Disamping datang untuk mendengarkan pengajiannya. Masyarakat sekaligus datang
untuk berziarah ke makam Ki Lowo. Sebagian orang meyakini, dengan berziarah ke
makam Ki Lowo akan mendapatkan berkah dari Allah SWT.
Disamping mengadakan Haul Ki Lowo, masyarakat Desa Gaji juga
mengadakan acara ritual yaitu Manganan Acara ini dilaksanakan setiap tahun.
Manganan bisa juga disebut dengan ngadran atau bersih desa. Manganan ini
dilaksanakan di makam Ki Lowo dan di sumur kembar. Waktu manganan,
masyarakat khususnya Desa Gaji membawa segala macam makanan ketempat
tersebut. Tujuannya untuk meminta keselamatan, dan menghindarkan malapetaka.
Ada nasi dan lauk pauknya, kue-kue buah- buahan dan lain sebagainya.
Sejarah dan keberadaan makam Ki Lowo atau Ki Demang Abilowo di Desa
Gaji Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban inijuga diperkuat oleh beberapa tokoh
Agama Islam Kabupaten Tuban. Termasuk K.H. Abdul Matin,S.H yang pernah
memberikan ceramah pada saat Haul Ki Lowo bahwa Ki Demang Abilowo adalah
salah satu ulama yang setaraf dengan Syeh Mahmudin Asari dan Syeh
Asmorokondi. Dan juga masih keluarga dari keduanya. Dan memang benar makam
.Ki Lowo terletak di Desa Gaji
Itulah legenda rakyat Desa Gaji, yang sampai sekarang masih diyakini
masyarakat Desa Gaji. Namun sayang, cerita rakyat ini sampai sekarang belum
pernah dibukukan dan dipublikasikan. Kalau toh ada yang menulis cerita ini hanya
untuk koleksi pribadi saja.

Peneliti,
Folklor .3 Legenda : Data Informan (Pencerita)
Di Desa Jarorejo : Nama Mbah Tarmudji :
Kecamatan Kerek : Tempat, tanggal Tahun 80 :
lahir (umur)
Jabatan / pekerjaan -:
Pendidikan Tamat SR :
Bahasa Jawa :
Alamat Jarorejo :
ASAL-USUL DESA JAROREJO
Menurut cerita, sejarah berdirinya Desa Jarorejo Kecamatan Kerek terjadi
pada kurang lebih sembilan ratus tahun yang lalu atau tepatnya pada abad sebelas,
ketika salah seorang Pembesar Kerajaan Mataram (Hindu) bermaksud memboyong
dua orang Lanjar dari Desa Maibit Kecamatan Rengel, untuk dipersembahkan
kepada Raja Mataram sebagai Garwo Selir. Sebagaimana kebiasaan dari seorang
Punggawa Besar Kerajaan dimana dalam setiap langkah akan selalu dikawal oleh
prajurit-prajurit Kerajaan yang tangguh, demikian juga dalam perjalanan sang
Pembesar bersama dua orang Lanjar tersebut kala itu, Kawalan prajurit Bregodo
selalu menyertainya.
Peristiwa terjadi ketika rombongan Mataram telah memasuki daerah Oro-
oro Ombo, dimana daerah ini merupakan wilayah kekuasaan Berandal Suronadi
beserta anak buahnya.
Singkat cerita terjadilah pertempuran sengit antara keduanya, dimana
dipihak Berandal ingin merebut dua orang Lanjar, sedang dipihak Prajurit
bermaksud mempertahankan. Sementara pertempuran berjalan seimbang, namun
karena jiwa dan semangat Prajurit akhirnya Berandal Suronadi beserta anak buahnya
dapat dikalahkan dan ditumpas .
Kejadiannya belum cukup sampai disini, begitu perang selesai sisa- sisa
Prajurit Mataram yang ada ternyata tidak lagi menjumpai Sang Pembesar Kerajaan
dan dua Lanjar tadi. Raibnya Sang Pembesar dan dua Lanjar yang dikawal, membuat
sisa-sisa prajurit pengawal gusar dan panik. Pencarianpun dilakukan kesana kemari,
namun keadaan Sang Pembesar dan dua Lanjar masih belum diketemukan , baik
dalam keadaan hidup atau mati. Menghadapi kejadian seperti itu timbul ketakutan
dan kebimbangan diantara para Prajurit yang tersisa untuk kembali ke Mataram.
Umumnya mereka takut bila kembali ke Mataram akan mendapat amarah dan
hukuman dari Sang Raja. Akhirnya dari sisa- sisa prajurit terasebut berketetapan
untuk tetap tinggal di Oro-oro Ombo, dengan maksud bila mungkin sewaktu waktu
dapat menemukan kembali sesembahannya.
Dari kejadian itulah akhirnya daerah Oro- oro Ombo dan sekitarnya
dinamakan NJARO berasal dari kata ILANGE LANJAR LORO.
Juga ada versi lain yang menceritakan kata NJARO berasal dari kata
JARO ( PAGAR ). Menurut versi ini, untuk memperkuat pengamanan bila
mungkin masih ada sisa- sisa laskar Berandal Suronadi yang ingin menuntut balas
atas kekalahannya, maka tempat dimana para Prajurit Mataram bertempat tinggal
mesanggrah lokasinya dikelilingi dengan JARO (PAGAR)". Sedangkan Oro- oro
tempat berlangsungnya pertempuran antara Prajurit Mataram dan Berandal
Suronadi, dinamakan PALOH OMBO dari kata KEPALOH NING ORO- ORO
OMBO. Dipaloh Ombo ini ada sebuah Makam tak dikenal hingga sekarang.
Kembali ke asal mina dari NJARO menjadi JAROREJO, ini terjadi
setelah Desa NJARO digabung dengan Dusun SIMBATAN, jadilah sebuah Desa
yang bemama JAROREJO. Sedangkan Dusun Simbatan sendiri, terjadi pada abad
tiga belas, yang kisahnya terpisah dari dusun NJARO .
Tim Peneliti Unirow Tuban

Folklor .4 Legenda : Data Informan (Pencerita)


Di Desa Jarorejo : Nama Wagiman HS :
Kecamatan Kerek : Tempat, tanggal Tahun 70 :
lahir (umur)
Jabatan / pekerjaan Penilik Kebudayaan :
Kec. Kerek
Pendidikan Sarjana :
Bahasa Indonesia :
Alamat Jarorejo :

SEJARAH TERJADINYA NAMA DESA JAROREJO


(VERSI LAIN)
Desa Jarorejo adalah gabungan dari dua Dusun, yang masing - masing adalah
Dusun Jaro dan Dusun Simbatan. Penggabungan ini terjadi pada tahun 1885 (abad ke
XIX) dengan Kepala Desa yang pertama bernama SOEMBO yang menjabat sebagai
Kepala Desa sejak tahlm 1885 sampai dengan 1917 selama 32 tahun.
Perlu diketahui bahwa kedua dusun asal tersebut masing-masing mempunyai
keyakinan dan latar belakang peradaban budaya yang berbeda, sehingga sampai
dengan saat ini masih terasa sisa-sisa perbedaan di kedua dusun tersebut. Namun
demikian akibat pengaruh modernisasi budaya saat ini akhirnya lambat laun sirna
nyaris tak berbekas adanya perbedaan di kedua dusun tersebut.
Selanjutnya ikutilah uraian singkat sejarah nama desa Jarorejo di bawah ini.
Pada abad ke XVII perjalanan rombongan putri boyongan Lanjar Loro yang disertai
dengan inang pengasuhnya yang disebut Babu mengadakan perjalanan dari Maibit
menuju ke Mataram. Ditengah perjalanan di suatu tempat rombongan tersebut dicegat
oleh gerombolan begal yang terkenal galak dan bengis dibawah pimpinan berandal
SURONADI. Tidak terelakkan lagi terjadilah pertempuran hebat antara prajurit
pengawal rombongan putri boyongan itu dengan kawanan berandal yang dipimpin
oleh SURONADI. Untuk menjaga segala kemungkinan yang bakal terjadi pimpinan
kelompok prajurit pengawal putri membagi kelompoknya menjadi beberapa
kelompok kecil, pengawal khusus ditugaskan untuk mengamankan sang putri boyongan
mengambil jalan setapat untuk menghindari dan kejaran para kawanan berandal
tersebut. Sedangkan sebagian kelompok masih terus bertempur dengan sengit melawan
berandal tersebut.
Sebagai akibat terjadinya pertempuran perebutan puteri boyongan tersebut
menyebabkan kedua inang pengasuhnya (Babu) kehilangan jejak dengan putri
asuhannya, selanjutnya mereka bertekat untuk tidak melanjutkan perjalanan ke
Mataram dan tidak kembali ke Maibit. Mereka bertekat untuk menetap di suatu tempat
yang sekarang dikenal dengan nama Desa Temayang. Sampai dengan sekarang di desa
Temayang tersebut masih terdapat tempat yang dikeramatkan yang disebut Mbah Babu.
Sementara pertempuran antara prajurit pengawal puteri boyongan dengan
kawanan berandal masih berlangsung cukup seru dan sengit dengan posisi sama kuat
tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang sehingga sulit untuk membedakan
mana kawan dan mana lawan, demikian juga dengan korban-korbannya saling
berjatuhan dikedua belah pihak. Ditengah pertempuran yang banyak membawa korban
itu, rombongan pengawal puteri boyongan terus melanjutkan perjalanan dengan cara
sembunyi-sembunyi menuju ke Mataram Sebagian pengikut puteri boyongan yang tidak
dapat melanjutkan perjalanan ke Mataram atau tidak dapat kembali ke Maibit memilih
menetap di suatu tempat yang sekarang tempat itu dikenal dengan nama Desa
Tenggerwetan.
Setelah situasi menjadi aman pertempuran usai dengan sendirinya dan puteri
boyongan telah pula sampai di Mataram, baik sisa-sisa prajurit pengawal, pengiring
maupun sisa-sisa kawanan berandal tidak lagi kembali ketempat asal masing-masing,
tetapi mereka-mereka itu memilih tetap tinggal dan hidup bersama/secara kelompok
ditempat itu, mereka mengangkat pemimpin di tempat yang ban itu, tempat yang baru
itu selanjutnya diberi nama JARO sampai dengan sekarang disebut Dusun JARO.
Selanjutnya untuk mengenang peristiwa-peristiwa masa silam mereka membuat
peringatanpenngatan yang antara lain sebagai berikut :
1. Tempat terjadinya pertempuran antara prajurit pengawal putri boyongan dengan
kawanan Berandal Suronadi diberi nama PALOH OMBO diambil dari kata
Kepaloh dan ombo Kepaloh artinya terjepit atau terjebak, dan Ombo artinya
oro-oro ombo (tanah luas/lapangan medan pertempuran) tempat ini sampai sekarang
masih dikeramatkan oleh masyarakat setempat.
2. Tempat tinggal yang mereka beri nama JARO mengambil nama dari hilangnya
LANJAR LORO yaitu nama putri boyongan dari Maibit. Kemudian tempat tinggal
itu ditanami dengan pagar bambu keliling yang sangat kuat dan rapat.
3. JARO sebagai tempat tinggal dilengkapi dengan sebuah tempat ibadah yang diberi
nama SEMIGIT mengambil nama dari kiratha basa jawa yaitu Semine Anggit.

Peneliti,
Folklor .5 Legenda : Data Informan (Pencerita)
Di Desa Tengger Wetan : Nama Bpk. Ladji :
Kecamatan Kerek : Tempat, tanggal lahir Tahun 70 :
(umur)
Jabatan / pekerjaan -:
Pendidikan Tamat SR :
Bahasa Jawa :
Alamat Tengger Wetan :
ASAL - U S U L D E S A T E N G G E R W E TAN
Awal kisah cerita ini terjadi sekitar abad XVI. Pada waktu itu seorang putra
raja dari Mataram memboyong putri dari Maibid dengan diiringi oleh para pengawal
kerajaan lengkap dengan perbekalan yang berupa hasil bumi, temak, perhiasan dan
sebagian merupakan upeti dari Maibid.
Konon pada saat itu masih banyak gerombolan perampok, begal dan
sebagainya sehingga dengan banyaknya harta benda dan perbekalan yang dibawa, di
tengah jalan sering dijumpai rintangan-rintangan. Di dalam perjalanan para
pengawal kerajaan terpaksa harus sering bentrok dengan para begal, gerombolan
perampok yang sengaja mencegat untuk meminta dengan paksa harta benda yang dibawa
oleh putra raja beserta pengawalnya tersebut.
Apalagi pada waktu menghadapi gerombolan perampok yang dipimpin oleh
Suranadi, sang pangeran beserta pengawal dan punggawa kerajaan merasa kewalahan
sehingga banyak sekali harta benda maupun juwa yang menjadi korban. Saat itu
pertempuran terjadi sangat sengit sehingga Sang Pangeran beserta para pengawalnya
terdesak dan terjepit (kepaluh Jawa) di suatu tempat yaitu di sebuah ladang yang luas
di wilayah Jarorejo, hingga korban jiwa tidak dapat dihindarkan lagi. Untuk
mengingat peristiwa tersebut, tempat itu diberi nama atau sebutan Paluhamba.
Tetapi akhirnya Sang Pengaran dan para pengawalnya dapat menyelamatkan diri.
Mereka mencari jalan lain yaitu menyusup hutan menyusuri pegunungan menuju ke
arah barat. Setelah beberapa jam mereka berjalan, sampailah pada suatu tempat yang
menurut perhitungan mereka cukup aman. Karena tempat tersebut terletak jauh dari
lokasi pertempuran. Di tempat itulah seluruh pengawal diperintahkan untuk
beristirahat dan menantikan saat yang baik untuk melanjutkan perjalanan sambil
berunding untuk meneari jalan yang aman dari cegatan para berandal dan gerombolan
perampok. Ternyata tempat tersebut memang betul - betul aman dan tenang. Hal ini
terbukti Pangeran beserta pengiringnya dapat istirahat dengan tenang dan tertidur
dengan nyenyak. Saking nyenyaknya, begitu terbangun tahu-tahu hari sudah siang.
Setelah beberapa hari berada di tempat persembunyian dan ternyata tidak ada
gangguan, para pengawal meneliti bala tentara yang dapat menyelamatkan diri serta harta
benda yang dapat diselamatkan ternyata masih banyak. Setelah waktu istirahat
dianggap cukup dan tenaga terasa sudah pulih kembali, maka perjalanan menuju
Mataram akan dilanjutkan. Namun tidak semua pengiring diperkenankan untuk
mengikuti sampai Mataram. Sebagian diperintahkan untuk tetap tinggal di tempat ini
dan membangun menjadi sebuah desa. Mengingat di tempat Pangeran dan Para
pengiring dengan putri boyongannya dapat terhindar dari bahaya maut dan dapat
istirahat dengan tenang, aman serta tidur nyenyak (Turu ngelengger = jawa), maka
setelah tempat itu menjadi sebuah desa diberi nama TENGGER (berasal dari kata :
Turu Ngelengger). Para pengiring inilah yang merupakan nenek moyang penduduk
desa ini. Makin lama desa Tengger semakin ramai. Semua penduduk hidup sebagai
petani. Dengan bahan makanan dan polowijo yang dibawa dari Maibid tadi mereka
bercocok tanam sebagai sumber kehidupannya.
Desa Tengger semakin bertambah maju dan ramai dikunjungi orang, setelah
tiba di situ seorang Ulama bernama Abdullah dari pantai Utara Pulau Jawa. Ulama
ini selain mengembangkan agama Islam, juga pandai dalam ilmu perbintangan
sehingga terpercaya oleh para nelayan yang berada di sepanjang pesisir utara Pulau
Jawa. Konon menurut cerita, datangnya Ulama yang bernama Abdullah ke desa
Tengger ini dengan berkendaraa Perahu (BIDUK) yang diantar oleh air laut. Setelah
sampai di hutan Srambi (wilayah desa Tengger), air laut yang mengantarkan tadi
kembali dengan tiba-tiba, sehingga perahu terdampar dan tertinggal di tempat ini.
Bertahun-tahun benda ini dikeramatkan. Dan karena lamanya benda itu menjadi usang dan
lapuk., dan akibat tangan jahil orang-orang yang tidak bertanggung jawab, benda
bersejarah itu musnah sekitar tahun 1970.
Sebagai seorang ulama, Sayid Abdullah merupakan orang terkemuka dan
ajarannya di desa Tengger pada saat itu sehingga semua ajarannya diterima dan
diikuti oleh seluruh penduduk. Bahkan para nelayan pun banyak yang berdatangan
untuk minta petunjuk tentang hari baik untuk berlayar agar mendapat tangkapan ikan
yang banyak. Sampai sekarang ajaran itu masih dilaksanakan. Satu diantaranya adalah
Syukuran (sedekah bumi).
Sedekah bumi ini dilaksanakan setiap tanggal 14 Zulhijah (Besar) dengan
mengadakan acara di Srambi yang diikuti oleh semua penduduk dan para nelayan
yang ada di sepanjang pesisir utara pulau Jawa. Selanjutnya nama desa Tengger di
tambah menjadi Tengger Wetan, karena di wilayah Kabupaten Tuban terdapat
dua desa yang namanya sama. Satu desa berada di wilayah kecamatan Bancar karena
letaknya berada di sebelah barat, maka di beri nama : Tengger Kulon, sedang satu
desa berada di wilayah timur diberi nama desa Tengger Wetan.
Demikianlah sekilas yang dapat kami uraikan berdasarkan hasil wawancara
dan informasi dari penduduk desa ini tentang asal-usul desa Tengger.
Peneliti,

Folklor .6 Legenda : Data Informan (Pencerita)


Di Desa Sumber Arum : Nama Mbah Modin :
Kecamatan Kerek : Dasan
Tempat, tanggal lahir Tahun 70 :
(umur)
Jabatan / pekerjaan -:
Pendidikan Tamat SR :
Bahasa Jawa :
Alamat Sumber Arum :
WALI RENDAH HATI DARI SUMBER ARUM
Tersebutlah sebuah desa bernama Sumberarum yang berada di wilayah
Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban. Desa ini sekarang sangat ramai karena
letaknya didekat pabrik semen. Dahulu desa yang makmur ini didirikan oleh
seorang yang dikenal dengan nama Mbah Sumokoyo, hanya dengan beberapa
kerabat dekat beliau mendiami daerah ini sekitar tahun 1800 M. Kemudian pada
tahun 1868 beliau meninggal dunia. Setelah itu daerah ini menjadi ramai Banyak
pendatang yang berdatangan. Sekitar tahun 1900 an dipilih kepala desa yang
pertama kalinya bernama Mbah Pongkrang. Kemudian sampai sekarang sudah ada
lima kali pergantian kepala desa. Didesa ini ada tempat yang dikeramatkan yaitu
makam Mbah Sumokoyo dan makam Mbah Warso (nama aslinya Wuso Truno Aji / yang
dikenal dengan Mbah Moden). Mbah Warso selama hidupnya menjabat sebagai
modin di desa tersebut.
Pada awalnya masyarakat Sumberarum sendiri tidak mengetahui hal ini.
Hal ini diketahui karena adanya peziarah dari luar daerah yang mendatangi makam
beliau untuk berdoa dan meminta berkah. Yang pertama pada tahun 1974 seorang
dari Pasuruan yang bernama Langgeng Basuki menyatakan hal tersebut, masyarakat pun
terkejut. Kemudian tahun 1991 seorang dari Kalimantan datang jauh jauh ke
Sumberarum hanya untuk menyampaikan salam kepada Mbah Warso karena telah
menolong Ayahnya dari kecelakaan. Padahal Mbah Warso saat itu sudah
meninggal dan orang tersebut tidak mengetahuinya karena menurutnya kemarin
Mbah Warso baru saja menolong ayahnya.
Ada cerita lagi, seorang dari lamongan disuruh oleh seorang Syeh dari
daerahnya untuk berziarah ke makam Mbah Warso karena seseorang tersebut
seorang Ajudan) telah ditolong beliau waktu rapat karena pada waktu mau
mengikuti rapat tidak ada tumpangan satu pun tetapi dia bertemu Mbah Warso.
Orang tersebut disuruh memegang tangannya dan memejamkan mata ternyata itu
membuka mata sudah sampai di tempat tujuan. Kalau kepercayaan masyarakat
Sumberarum sendiri bila ada gadis yang sulit mendapat jodoh maka dipegang
tangannya oleh Mbah Warso akan cepat jodohnya.
Ada lagi yang lebih menajubkan cerita dari seorang Kiyai di daerah Kerek
nama KH. Asrorudin Komar bahwa beliau diceritakan oleh Ayahnya kalau Mbah
Warso ketika malam hari tugasnya adalah menyalakan lampu-lampu yang menerangi
Masjidil Qarom dan kabah di Mekah. Bagaimana bisa ? Mungkin orang bertanya-
tanya itulah suatu mukjizat dari Allah SWT. Karena beliau bertemu sendiri dengan
Mbah Warso di Mekah pada waktu menunaikan Ibadah Haji.
Para Kiyai di daerah Kerek ini menyebut beliau dengan Wali Mastur artinya
semasa hidup tidak terkenal tetapi setelah meninggal Banyak yang mengenalnya
bahkan rela jauh jauh untuk berziarah kemakamnya.
Kenapa Fenomena ini tidak dimanfaatkan untuk pari wisata karena
masyarakat Sumberarum takut kualat sebab sebelum meninggal Mbah Warso sendiri
yang berpesan begitu. Oleh karena itu untuk menghormati beliau masyarakat
setempat mengadakan sedekah bumi (yang dikenal dengan manganan) beberapa
bulan sekali yang jatuh pada hari minggu. Kepercayaan masyarakat sedekah bumi
itu sendiri berarti memberi makan orang yang sudah meninggal karena beliau orang
yang sangat dihormati maka tradisi ini tetap dilestarikan.
Begitulah riwayat seorang wali yang rendah hati dan sangat berjasa bagi
pembangunan dan penyebaran Islam di daerah Sumberarum. Sampai kapan pun
masyarakat Sumberarum akan tetap mengingat beliau begitulah seperti yang
dituturkan Mbah Modin Dasan kepada peneliti.
Peneliti,

Folklor .7 Legenda : Data Informan (Pencerita)


Di Desa Ngipang : Nama Bp. Sugeng :
Kecamatan Kerek : Tempat, tanggal lahir Tahun 65 :
(umur)
Jabatan / pekerjaan -:
Pendidikan Tamat SR :
Bahasa Jawa :
Alamat Ngipang :
GOA ASTANA PANEMBAHAN WATU PUTIH
Tuhan Yang Maha Esa berkehendak menunjukkan kebesaran-Nya kepada manusia
malalui berbagai cara. Itulah yang melandasi Bapak Sugeng berusaha melestarikan
sejarah yang ada di Tuban. Langkah demi langkah dijalani dengan hati yang ikhlas, maka
mulailah Bapak Sugeng yang biasa dipanggil "Wong Hambrejul " dapat menemukan
sebuah goa yang diberi nama "Goa Astana Panembahan Watu Putih " nama tersebut
berasal dari :
1. A S TAN A : Karena isaroh yang diterima goa tersebut adalah sebuah
istana.
2. PAN E M B A H A N : K a re na go a te rs eb ut a da la h te mp at ya n g
di gu na ka n ma ne mb a h ma ra ng gu s t i Al la h p ad a
j ama n d ah ul u ( to po n gi da ng ).
3. WATU P U TI H : Memang wujud dari batu yang ada dalam goa berwarna putih.
Goa Panembahan Watu Putih ditemukan pada hari Selasa Legi bulan Oktober
2002, dengan melalui isaroh (wangsit = petunjuk) dan ditemui KIDANG KENDHIT
betina sampai dua kali, pertemuan yang pertama pada tahun 1994 dan yang kedua pada tahun
2002.
Sebenarnya kidang kendhit betina itu adalah jelmaan dari seorang putri yang
melakukan TOPO NGIDANG dijaman itu. Tidak kaget jika kota Tuban dikenal dengan
Kota Seribu Goa. Goa ini terletak disebelah barat daya Kota Tuban kurang lebih 28 km,
tepatnya terletak di daerah Ngipang Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban. Dilingkungan goa
tersebut terdapat sumber air yang mencukup, kebutuhan air warga Kecamatan Kerek.
Di dalam goa Panembahan Watu Putih banyak keindahan yang dapat kita lihat,
baik yang berbentuk keindahan nyata dan tidak nyata (penglihatan orang linuwih), goa yang
didominasi ribuan stalaktid dan stalakmid terbagi atas lima tempat / tingkat yang
mempunyai ciri dan kandungan mistis yang berbeda.
1. Tingkat pertarna (tingkat ini khusus bagi orang tertentu) dapat kita jumpai bentuk goa
yang menyerupai jurang dan terdapat batu yang menyerupai payung bersusun empat
dan tingginya + 1,5 meter (payung pengayom kerajaan) batu-batu tersebut bersifat
goib.
2. Tingkat kedua dapat kita jumpai juga batu yang berbentuk tongkat penunggu
(mbahurekso) di dalam goa itu.
3. Tingkat ketiga terdapat Kijang raksasa, yang masih terbungkus oleh batu
stalakmid.
4. Tingkat keempat terdapat sisi goa yang masih terlarang diantaranya stalaktid
berbentuk lampu kuno dan bunga yang sedang mekar dengan ukuran besar, itulah
yang menjadi ciri khas tingkat ini.
5. Tingkat kelima terdapatnya ruang khusus yang digunakan untuk pasujudan atau
panembahan dalam rangka mendekatkan diri pada sang Pencipta Alam Semesta
juga terdapat air suci yang menurut ceritanya air tersebut bisa dijadikan media
pengobatan, mudah terkabulnya suatu hajad dan lain-lain (Cuma sebagai alat).
Goa ini pada waktu dahulu adalah tempat yang digunakan untuk topo
ngidang oleh Putri Rasa Wulan. Hal ini dilakukan karena Sang Putri mencari
kakaknya yaitu Raden Mas Sahid atau disebut Eyang Sunan Kalijaga yang
telah diusir oleh Ramanya yaitu Tumenggung Wilotikto yang pada waktu itu
menjabat sebagai Adipati Tuban, karena seringnya mengambil jatah pangan
dilembung Kadipaten dan membagikan kepada rakyat yang membutuhkan.
Kami pada waktu pengumpulan data dengan Nara Sumber dari Wong
Hambrejul juga mendapat titipan pesan bahwa untuk pengunjung wanita
dimohon jangan memakai pakaian warna merah, bila menggunakan atau
memanfaatkan tempat pasujudan dimohon mengutamakan kepasrahan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Tinggalkan rasa iri, dengki, serakah, konsentrasikan
untuk bersujud kepada-Nya dan yang terakhir jangan meminta sesuatu apapun
dari yang ada di dalam goa, karena yang pantas memberi sesuatu adalah Tuhan .
1. Kepercayaan : M asih diperca ya oleh mas yarakat.
2. Manfaat : Di s ebelah goa ada sumber air yang dapat mencukupi
kebutuhan air w arga K ecamatan Kerek.
3. Larangan : - Pengunj ung goa dilarang memakai pakaian berwarna
merah.
- Dilarang meminta sesuatu di
dalam goa karena yang pantas
memberi s esuatu adalah Tuhan
Yang M aha Es a.
4. Sinops is : Goa Astana Panembahan Watu Putih, terletak di daerah
Ngipeng, tepatnya di Desa Jarorejo kecamatan Kerek Kabupaten
Tuban. Penemu goa itu adalah Bapak Sugeng yang biasa
dipanggil (Wong Hambrejul) yang sebelumnya mendapat
wangsit dua kali dengan cara ditemui Kidang Kendhit betina serta
petunjuknya tepatnya tahun 1994 dan pada hari Selasa Legi bulan
Oktober 2002.
Goa itu diberi nama Astana Panembahan Watu Putih yang mengandung
maksud :
1. A S TAN A : Karena isaroh yang diterima goa tersebut adalah sebuah istana.
2. PAN E M B A H A N : Karena goa tersebut adalah tempat yang digunakan manembah
marang gusti Allah pada jaman dahulu (topo ngidang).
.Memang wujud dari batu yang ada dalam goa berwarna putih : WATU PU TIH .3
Kidang Kendhit merupakan jelmaan dari seorang Putri yang melakukan
topo dalam goa, dengan maksud minta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk
mencari kakaknya yaitu Raden Mas Sahid atau yang disebut Eyang Sunan
Kalijaga yang telah diusir Pamannya yaitu Tumenggung Wilatikta yang pada
waktu itu menjabat sebagai Adipati Tuban. Keajaiban dan keindahan dalam goa Panembahan
Watu Putih adalah banyak didominasi oleh ribuan stalaktid dan stalakmid yang dapat dilihat
dengan nyata.

Peneliti,

Folklor .8 Legenda : Data Informan (Pencerita)


Di Desa Gaji : Nama Sesepuh Desa :
Kecamatan Kerek : Tempat, tanggal lahir Tahun 75 :
(umur)
Jabatan / pekerjaan -:
Pendidikan Tamat SR :
Bahasa Jawa :
Alamat Gaji :
KEJADIAN DUSUN KEBOMATI DESA GAJI
Ada sebuah cerita yang ditinggal jaman tentang suatu kejadian kisah petani
yang sangat rajin, yang bernama mbah Joyo. Di atas pegunungan kapur utara
tampatnya terjadi, di Wilayah Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban. Pada suatu hari,
Mbah Joyo beserta istrinya bercocok tanam di ladang. Menanam jagung dan lain-
lain. Itulah pekerjaan sehari-hari, dan beberapa ternak kesayangannya, seperti sapi
dan kerbau. Ternak-ternak tersebut, dipeliharanya dengan baik. Mereka sangat
sayang sama ternaknya. Setelah selesai berladang, digembalakannya di tanah lapang.
Sapi dan kerbau memakan rumput sampai kenyang. Sore hari, bergegaslah untuk
pulang, sambil memanggul rumput di pundaknya, untuk persediaan makan ternak
waktu malam, menggiring dari belakang, sapi dan kerbau lalu masuk kandang.
Dengan puasnya dipandangi ternak-ternaknya. Demikian kehidupan Mbah Joyo
beserta istrinya yang setiap hari selalu bekerja di ladang dan menggembalakan
ternak sapi dan kerbau. Jumlah ternak sapinya bertambah banyak, karena dirawatnya
dengan sebaik-baiknya.
Ada keanehan dari peristiwa tersebut. Sapinya bertambah banyak dan
gemuk-gemuk, sedangn ternak kerbau pertumbuhannya tidak seperti ternak sapi,
bahkan semakin hari semakin bertambah kurus. Dicobanya dirawatnya ternak kerbau
dengan sebaik-baiknya, akan tetapi tetap saja keadaannya semakin kurus.
Semakin hari semakin tidak nampak hasilnya. Perkembangan kerbaunya
semakin buruk, dan akhirnya mati. Dikuburnya kerbau yang mati itu. Tidak disesali
kejadian tersebut, dengan tidak putus asa, mbah Joyo mencoba kembali untuk
beternak kerbau lagi. Kali ini mbah Joyo berjanji dalam hati akan merawat ternak
kerbau yang sebaik-baiknya dengan sangat tekun dan telaten mbah Joyo dan dibantu
istrinya digembalakan kerbaunya di tanah lapang. Akan tetapi apa yang diupayakan
tidak berhasil. Tetap saja keadaan kerbau semakin buruk tidak menjadi gemuk
sebaliknya menjadi kurus dan akhirnya kerbaunya mati. Dicobanya kembali, terus
dicobanya, akan tetapi kerbau mati. Mbah Joyo termenung di depan teras rumahnya.
Kejadian yang tidak masuk akal tersebut, sangat mengganggu pikirannya. Mbah
Joyo tidak bisa menjawabnya sendiri, apa yang dialaminya. Keesokan harinya.
Seperti biasa mbah Joyo beserta istrinya, berangkat ke ladang untuk melakukan
kegiatan sehari-hari yaitu bertani, mereka tekun dan rajin. Keduanya hidup tentram
dan damai.
Siang hari mereka istirahat, di bawah pohon yang besar. Angin bertiup
sepoi-sepoi, tidak terasa mbah Joyo tertidur pulas. Istrinya tidak berani
membangunkannya, ia pulang untuk menyiapkan makan siang. Mbah Joyo tidur
sangat pulas, dalam tidurnya bermimpi. Didatangi orang tua berjubah putih dan
berkata, Joyo anakku! di tempat ini, hewan kerbau tidak bisa hidup. Sia-sia
apabila kamu merawat kerbau, karena setiap kerbau yang ada di sini akan mati.
Matahari mulai condong ke barat. Mbah Joyo terbangun dari tidur, setengah sadar
mbah Joyo berguman dengan berbasa Jawa, Kebomati Kebomati Kebomati
(kerbau mati kerbau mati kerbau mati). Mbah Joyo masih belum sadar. Ia masih
mengigau kebomati kebomati kebomati. Ia tidak mengetahui apa yang terjadi
di sekitarnya.
Dari kejauhan nampak seorang, berjalan bertatif-tatif mendekat kepadanya.
Dan bertanya kepada mbah Joyo? Mbah Joyo masih mengigau kebomati
kebomati kebomati. Ooo..kebomati kata orang tadi. Nampak istri mbah Joyo
membawa sebakul nasi, bersamaan itu mbah Joyo baru menyadari apa yang terjadi.
Dicarinya orang yang bertanya tadi, akan tetapi yang dicarinya sudah tidak ada.
Semua yang dialami mbah Joyo. Diceritakan kepada istrinya. Istrinya pun manggut-
manggut sambil berkata barangkali ini kehendak yang Maha Kuasa, bahwa besok
kalau tempat ini sudah ramai bernama desa Kebomati. Demikian kisah, asal mula
kejadian desa Kebomati, dari orang yang kurang bijak. Tetapi sekarang telah
menjadi desa yang sangat subur. Setiap tahun sekali warga desa tersebut
mengadakan pesta panen (manganan) di bawah pohon besar yang bernama gedrek
yang ada dua makam di dekatnya. Barangkali makam mbah Joyo beserta istrinya.
Peneliti,
Folklor .9 Legenda : Data Informan (Pencerita)
Di Desa Mliwang : Nama Sesepuh Desa :
Kecamatan Kerek : Tempat, tanggal lahir Tahun 75 :
(umur)
Jabatan / pekerjaan -:
Pendidikan Tamat SR :
Bahasa Jawa :
Alamat Mliwang :

MLIWANG DAN MACAN PUTIH


Salah satu cerita rakyat yang sampai saatinimasihlestari di Tuban adalah adat
tradisi masyarakat Desa Mliwang, Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban. Di desa ini sampai
sekarang tak ada satupun rumah yang menghadap ke utara. Rakyat Mliwang hanya boleh
membuat rumah menghadap ke barat, timur atau selatan. Anehkan?
Cerita ini diperkirakan terjadi pada awal masuknya Islam ke Tuban. Adalah
Syekh Abdullah. Waktu itu, ia bersama para santrinya hendak mencari tempat yang
tepat untuk mendirikan tempat perguruan. Setelah menemukan hutan Mliwang yang di
tengahnya terdapat bukit kecil menjulang, maka berhentilah Syekh Abdullah di sana. Ia
memerintahkan para santrinya untuk membabat hutan. Perjuangannya dengan para
santri dalam membabat hutan Mliwang tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan.
Konon, hutan-hutan di sepanjang pantai utara Jawa dulu sebelum Syekh
Subakir menanam tumbal untuk mengusir makhluk makhluk halus itu ke pantai
selatan, adalah tempat yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya setan,
dedemit, gondoruwo, banaspati, sundel bolong, dan bermacam-macam bangsa jin. Hal
ini juga terjadi di hutan Mliwang.
Sebenarnya, dalam beberapa han hutan-hutan yang berada di kaki dan lereng
bukit telah berhasil dibabat oleh para santri. Semua makhluk halus yang semula
bermukim di hutan itu dengan berbagai cara telah berhasil disingkirkan oleh Syekh
Abdullah ke tempat lain yang jauh.
Beberapa orang santri yang ditugasi membuat tempat tinggal sementara dan
kayu-kayu yang ditebang dan diberi atap daun telah selesai sebelum matahari tenggelam.
Rumah kecil itu diberi pintu menghadap ke utara. Syekh Abdullah kemudian
memerintahkan para santrinya untuk beristirahat karena besok pagi masih banyak
pekerjaan yang harus diselesaikan.
Malam ibu tanggal tiga belas hitunga nbulan. Seisi jagadraya terang
bermandikan cahaya. Begitu pula di sekitar perbukitan Mliwang. Namun, entah
mengapa tiba-tiba langit menjadi gelap dan angin bertiup dan arah utara dengan bergitu
dahsyatnya.
Banyak pohon yang tumbang, bahkan tercerabut sampai akar-akarnya dari
tanah. rumah kecil yang dipakai istirahat para santri itupun ambruk bahkan atap-atapnya
melayang ke angkasa. Auman harimau segera menggema dengan begitu menyeramkan dan
segalapenjuru mengungkung bukit Mliwang.
Melihat keadaan semacam itu, para santri lari ketakutan mencari tempat
berlindung. Sementara itu, Syekh Abdullah tampak bersujud. Angin yang semenj ak tadi
menyerang, kepulan debu yang tertuju ke arahnya, dan auman harimau yang
menakutkan sama sekali tak dihiraukan. Ia beristighfar memohon perlindungan Allah.
Setelah itu ia bangkit melawan serangan angin. Dengan berdiri kokoh ia kumandangkan
adzan.
Begitu kumandang adzan selesai, angin dan auman harimau itu tak lagi terjadi.
Mendung tebal yang menyaput langit, seketika itu juga lenyap. Bulan pun kembali terang
menyinari bumi.
Keesokan harinya, Syekh Abdullah memerintahkan para. santrinya untuk
membuat rumah kecil seperti kemarin. Setelah jadi, nimah itu pun diberi pintu menghadap ke
utara. Pada tengah malam, kejadian seperti malam kemarin pun terjadi kembali. Langit
gelap, angin mengamuk, dan auman harimau siap menebar maut menggemadi bukit
Mliwang.
Syekh Abdullah tampak bersujud. Ia beristighfar memohon perlindungan
Allah. Setelah itu ia bangkit melawan arus angin yang dahsyat. Dengan berdiri kokoh la
kumandangkan adzan.
Begitu kumandang adzan selesai, angin dan auman harimau itu tak lagi terjadi. Awan
tebal yang menyaput langit, seketika itu juga lenyap. Bulan pun kembali terang menyinari
bumi.
Pagi harinya, Syekh Abdullah kembali rnemerinpara santrinya untuk
membuat rumah kecil dan diberi pintu menghadap ke utara. Sebagian yang lain tetap
melanjutkan tugasnya, menebang hutan jati di lereng bukit untuk dijadikan pemukiman.
Malam itu bulan sedang purnama penuh. Tanggal lima belas. Syekh Abdullah melarang semua
santrinya untuk tidur. Dalam kondisi apapun mereka harus tetap terjaga. Menurut
mata batinnya, serangan seperfii malam-malam kemarin akan menemui
puncaknyamalamini. Mungkin akan lebih dahsyat lagi.
Ketika bulan tepat di atas ubun-ubun, angin bertiup sangat kencang dan arah utara.
Namun, kali ini langit tak tertutup sedikitpun oleh awan hitam. Dari puncak bukit, auman
harimau sambung-menyambung terdengar seperti siap menebar maut
Kali ini auman itu tidaklah sekedar auman. Di bawah terang cahaya bulan, tiba-tiba
muncullah pasukan harimau yang sangat banyak jumlahnya. Suara harimau itu semakin
dekat semakin menakutkan. Apalagi melihat pimpinannya yang berrwujud putih dengan
tubuh sangat besar dan menyeramkan. Para santri Ian tunggang langgang dikejar pasukan
harimau yang berwajah garang dan tampak kelaparan. Beberapa di antara mereka harus
terluka oleh cakaran-cakaran harimau yang begitu tajam. Bahkan, tidak jarang bagian tubuh
mereka berlumuran darah akibat diterjang harimau-harimau itu.
Para santri berebut melompat ke tanah lapang yang telah diberi linkarang putih
oleh Syekh Abdullah. Ketika mereka telah berada di dalam lingkaran, garis putih itu pun berubah
menjadi kobaran api yang sangat besar. Tentu saja, harimau-harimau itu tak lagi berani
mengejar. Namun demikian, mereka tetap mengaum sambil berlari-lari mengelilingi
lingkaran hendak menerjang.
"Jangan main keroyok. Hai, macan putih kalau berani hadapi aku sendirian!"
teriak SyekhAbdullah.
Macan putih itupun mengangguk kepada anak buahnya yang menyeringai.
Maka, dalam waktu sekejap mereka bersimpuh membentuk kalangan (lingkaran) yang
akan menjadi tempat Syekh Abdullah dan macan putih mempertaruhkan nyawa.
Syekh Abdullah tampak sedang memusatkan perhatian untuk melawan macan putih.
Malam itu, terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat antara keduanya. Dua sosok itu
melompat lompat ke udara. Perputarannya sangat cepat sehingga membentuk dua gumpalan
cahaya. Setiap kali berbenturan, melompatlah lidah api yang menyala nyala.
Hari terus merambat menjelang pagi. Pertempuran seru itu puntak kunjung
selesai. Namun, karena macan putih agak lengah maka Syekh Abdullah berhasil
menyabetkan sajadahnya ke bagian perut macan putih. Ia menyeringai menahan sakit
yang tak tertahankan.
"Bagaimana, masih akan dilanjutkan?" tanya Syekh Abdullah.
"Cukup. Hai, manusia. Siapa namamu yang telah lancang mengobrak- abrik
wilayah kekuasaanku ? Katakan apa maumu !"kata si macan putih.
"Aku Syekh Abdullah."
"Hai, Sykeh Abdullah. Aku telah mengirim peringatan-peringatan agar kalian
tidak melanjutkan merusak wilayahku. Tapi, mengapa tetap saja engkau lanjutkan?" tanya
macan putih itu dengan suara agak tersendat.
"Hai macan putih. Bukan maksud kami merusak tempat tinggalmu. Kami
hanya ingin mencari tempat berguru yang tenang. Biarlah murid-muridku itu
berguru ilmu Allah. Mengabdikan hidupnya di jalan Allah! Bukankah kalian bangsa
jin yang menyaru sebagai harimau-harimau ini juga hamba Allah?"
Mendengar kata "Allah", bangsa jin itu pun luluh hatinya. "Baiklah Syekh
Abdullah. Kalian saya izinkan untuk tinggal di sekitar bukit ini, tapi ada syaratnya !" kata
macan putih itu.
Apa syaratnya?"
"Ada sembilah pantangan yang kelak harus dipenuhi oleh orang-orang yang
menghuni sekitar bukit Mliwang ini."
"Apa saja pantangan itu, hai macan putih?"
"Mereka tidak boleh memakai udeng kawung, stagen biru, kawin dengan
tetangga desa (Desa Kasiman), memelihara kambing gibas, menggunakan cangkul
bawak (separuh kayu dan mata cangkulnya terbuat dari besi), menembok rumah. Dan
yang paling utama, janganlah pernah membangun rumah dengan pintu menghadap ke
utara !"
"Boleh aku bertanya, hai macan putih?" "Hanya satu hal."
"Baik, mengapa kami tidak boleh membangun rumah dengan pintu
menghadap ke utara ?"
"'Tempat tinggalku ada di sebelah utara. Sewaktu-waktu kami menjelma
menjadi pasukan macan yang menakutkan seperti malam ini. Nah, jika rumah warga
di sini menghadap ke utara mereka akan mengetahuinya. Tentunya mereka akan ketakutan,
sakit mendadak atau bahkan akan meninggal waktu itu juga. Bagaimana, Syekh apakah
Anda sanggup?"
Baik Baik, kami akan mematuhinya."
"Jangan lupa, jika pantangan itu dilanggar, aku akan mengerahkan pasukanku
untuk menyerang wargamu yang melanggarnya"
Setelah memberi pesan, macan putih itu mendongakkan kepalanya ke angkasa
menatap bulan yang bulat sempurna sambil mengaum panjang. Suaranya sangat nyaring
namun menakutkan. Dan, harimau-harimau Yang lain pun kembali tegak berdiri. Dalam
sekejap, mereka lenyap dari hadapan Syekh Abdullah dan para santrinya.

Peneliti,
Kesimpulan dan Saran-saran

Kesimpulan

Saran-saran
Ada beberapa saran yang ingin peneliti sampaikan kepada masyarakat dan
pemerintah, anatara lain sebagai berikut:
1) Pemerintah diharapkan meningkatkan pendidikan diberbagai pelosok desa, baik
pendidikan umum maupun pendidikan agama. Dengan pendidikan yang
meningkat maka diharapkan masyarakat dapat membedakan mana folklor
yang berpengaruh negatif dan mana folklor yang berpengaruh positif;
Pemerintah Kabupaten, Kecamatan, maupun desa, bersama masyarakat diharapkan (2
agar tetap melestarikan atau memelihara folklor-folklor yang sekiranya dapat menunjang
.pembangunan desa
Pemerintah Kabupaten, kecamatan, dan desa diharapkan mengambil langkah-langkah (3
;pendokumentasian folklor-folklor guna pelestarian kebudayaan daerah atau nasional
Pemerintah Kabupaten, kecamatan maupun desa diharapkan ikut serta dalam usaha (4
;pendokumentasian folklor yang ada di daerahnya
Dirapkan kepada masyarakat agar dapat mengambil tauladan kepada tokoh-tokoh (5
folklor dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya: Tokoh folklor lagenda Asal Usul Desa
Gaji, tokoh Mbah Djoyo dalam legenda Kejadian Dusun Kebomati Desa Gaji, tokoh-
.tokoh folklor dalam legenda Mliwang dan Macan Putih
Diharapkan kepada masyarakat untuk mengambil nilai nilai positif saja dari foklor (6
.yang ada, bukan hal-hal yang negatif

Daftar Pustaka

Aliana, Arifin, Zainal dkk. 1979. Ekspesi Semiotik Tokoh Mitos dan Lgendaris Dalam
Tutur Sastra Nusantara di Sumatra Selatan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta
Arifin, Bustanul, dkk. 1986. Sastra Indonesia (lama, baru, dan modern). Bandung: Lubuk
.Agung
.Atmazaki, Drs. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Penerapan. Padang: Angkasa Raya
.Danarjaya, James, Prof. Dr. 1991. Folklor Indonesia. PT. Temprint: Jakarta
Metode Penelitian Kualitatif Dalam Penelitian Folklor. Malang: .1990 .-------------------
.YA3
Hasyim, Nafron. 1981. Pengajaran Bahasa dan Sastra "Usaha Pemupukan Apresiasi
Sastra Indonesia Lama, Masalah Yang Hampir Menguap dari Ruang Kelas. Pusat
.Pembinaan dan Pengembangan Bahasa: Jakarta
Sadi Hutomo, Suripan, Prof., Dr. 1988. Model Penelitian Seni Budaya. Pusat Penelitian
.IKIP Surabaya: Surabaya
Sudikan, Yuwana, Setya, Dr., MA. 1993. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra
.Wacana
.Sujiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia

Anda mungkin juga menyukai