Penulis:
Dr. Purwadi, M.Hum
Desain Cover:
Haytami El-Jaid
Penerbit:
Pura Pustaka Yogyakarta
ISBN: 978-979-17061-2-5
2
KATA PENGANTAR
3
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Pustaka
Biografi Penulis
4
BAB I
A. Pengertian Folklor
Kata folklor berasal dari kata majemuk bahasa
Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. Kata
folk berarti kolektif atau kebersamaan. Kata lore berarti
tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Dengan
demikian definisi folklore secara keseluruhan adalah tradisi
kolektif sebuah bangsa yang disebarkan dalam bentuk lisan
maupun gerak isyarat, sehingga tetap berkesinambungan
dari generasi ke generasi (Dananjaya, 1984 :2).
Menurut buku Dictionary of Anthropology dijelas-
kan bahwa folklor adalah the common orally transmitted
traditions, myths, festival, songs, superstition and of all
peoples, folklore has come to mean all kind of oral artistic
expression. It may be found in societies. Originally folklore
was the study of the curiousities (Wininck, 1961: 217).
Folklor meliputi dongeng, cerita, hikayat, kepahlawanan,
adat-istiadat, lagu, tata cara, kesusastraan, kesenian dan
busana daerah. Masing-masing merupakan milik masya-
5
rakat tradisional secara kolektif. Perkembangan folklor
mengutamakan jalur lisan. Dari waktu ke waktu bersifat
inovatif atau jarang mengalami perubahan.
Oleh karena folklor berbentuk anonim, maka
seseorang atau individu tidak berhak memonopoli hak
kepemilikan. Setiap anggota masyarakat boleh untuk
merasa memiliki dan mengembangkan sesuai dengan
situasi kondisi setempat. Dapat dikatakan bahwa folklor
dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya dengan suka-
rela dan penuh semangat, tanpa ada paksaan. Di banyak
tempat, folklor berfungsi sebagai pembentuk solidaritas
sosial. Kadang-kadang penyelenggaraan folklor berkaitan
dengan ritual mistik. Tujuannya adalah untuk memperoleh
ketentraman hidup.
6
Dalam peradaban Jawa terdapat dua subkultur yang
mudah untuk dibedakan. Keduanya yaitu kultur negara dan
kultur desa. Orang Jawa mengatakan, negara mawa tata,
desa mawa cara. Negara memakai aturan hukum formal,
desa menggunakan aturan adat tradisional. Negara dalam
istilah kejawen mengacu pada teritorial kota. Pendukung
utama peradaban kota adalah istana atau keraton.
Kebudayaan kraton dipublikasikan melalui babad
atau cerita sejarah (Sartono, 1986: 3). Adapun tradisi
pedesaan berupa dongeng, parikan, dan tutur lisan sebagai
sarana penyebarannya. Dipandang dari sudut fenomeno-
logis, baik sastra babad maupun cerita rakyat merupakan
konstruk dalam alam pikiran, tanpa perbedaan esensial.
Pada pokoknya babad merupakan dokumentasi tertulis,
sedangkan cerita rakyat termasuk sarana komunikasi lisan.
Dalam perkembangannya selama berabad-abad,
kebudayaan Jawa telah mengalami proses yang saling
mempengaruhi antara kedua subkultur tersebut. Folklor
Jawa sesungguhnya merupakan produk dari proses
sinkretisasi antara pelbagai unsur. Di antaranya karena
pengaruh Hinduisme, Budhisme dan Islam, yang memben-
tuk sebuah akulturasi kebudayaan. Proses tersebut amat
menguntungkan bagi pembentukan identitas lokal.
7
C. Hakikat Folklor
Hakikat folklor merupakan identitas lokal yang
terdapat dalam kehidupan masyarakat tradisional. Rasa
memiliki terhadap tradisi yang sudah mengakar dan
menyejarah menyebabkan emosi masing-masing warganya
menjadi manunggal. Perasaan senasib dan seperjuangan
terbentuk oleh karena identitas lokal sudah terlebih dahulu
lahir. Folklor Jawa yang bervariasi jumlahnya itu
merupakan kekayan batin yang perlu dikaji terus menerus.
Dalam sejarah kebudayaan justru lewat folklor dapt
diuniversalkan sehingga memperoleh tempat di kawasan
yang lebih mondial. Contohnya adalah folklor Yunani
seperti Hercules, Odipus atau Persius. Dari India muncul
ephos Mahabarata dan Ramayana. Dalam konteks kejawen,
terdapat kisah sebagaimana yang terdapat dalam kitab
Babad Tanah Jawi.
Sebagai buku putih kraton Maatram, babad Tanah
Jawi berfungsi untuk memberi legitimasi kekuasaan.
Hegemoni Mataram atas daerah takhlukan perlu adanya
integrasi politik. Dinasti Mataram yang sedang memerintah
dihubungkan dengan folklor lokal. Misalnya dengan Joko
Tarub, Ki Ageng Sela Ki Ageng Giring, Joko Tingkir, Nyai
Rara Kidul dan Sunan Kalijaga. Tradisi kenegaraan dan
pedesaan di sini terjadi asimilasi dan simbiosis yang saling
menguntungkan. Ujung-ujungnya adalah tercapainya
keselarasan sosial (Sartono, 1986 : 5).
8
Salah satu cerita rakyat yang berkembang dalam
masyarakat Jawa adalah kisah Jaka Tarub dan
Nawangwulan. Certia uang sangat populer ini kemudian
dihubungkan dengan silsilah para penguasa Mataram. Ada
lagi cerita rakyat lainnya, yaitu kisah Rara Jonggrang,
Gunung Batok, Segara Wedhi dan Rawa Pening (Soeparto,
1986 : 7). Kadang kala antar cerita rakyat itu mempunyai
pola, struktur dan tema yang sama.
Kalau diteliti lebih lanjut, ternyata folklor yang
menjadi identitas lokal tersebut merupakan kebanggaan
kolektif sekaligus wahana untuk melakukan refleksi
spiritual. Pada bulan Ruwah banyak diselenggarakan
upcara nyadran atau berziarah di makam leluhur. Para
perantau menyempatkan pulang kampung untuk
mendoakan arwah di makam. Upacara nyadran sudah
berlangsung dan lestari hingga saat ini.
D. Sifat Folklor
Monumen sejarah pada suatu wilayah merupakan
indikator mengenai historisitas dan menunjukkan unit kul-
turnya. Demikian pula manfaat folklor sebagai monumen
tradisi lisan, ternyata menunjukkan identitas kultural.
Folklor menampilkan watak atau corak kebudayaan daerah.
Historisitas daerah itu dimanivestasikan dan dengan
demikian sekaligus juga karakter atau identitasnya. dimensi
9
historis kultural di wilayah tersebut diungkapkan, maka
lewat folklor watah daerah itu tampil dengan jelas.
Beberapa folklor yang masih beredar di beberapa
wilayah di antaranya:
1. Folklor tentang Gunung Wijil
2. Folklor tentang Hutan Belang Suling
3. Folklor tentang Desa Watusigar
4. Folklor tentang Mangadeg
5. Folklor tentang Keduwang
6. Folklor tentang Tirtamaya
7. Folklor tentang Gunung Tengger
8. Folklor tentang Upacara Kesada
9. Folklor tentang Dewi Sri
10. Folklor tentang Andhe-andhe Lumut
Contoh-contoh folklor di atas merupakan sumber
informasi tentang kebudayaan daerah. Di situ dapat
dijumpai ekspresi nyata dari alam pikiran masyarakat.
Folklor mengekalkan pola-pola kebudayaan suatu
kelompok masyarakat. Dengan dikaji dan dipelajari akan
tahu motif dan arti kebudayaan mereka, sehingga pikiran,
tindakan karyanya dapat dipahami pula.
Usaha pelestarian folklor terdapat dalam ungkapan
tradisional Jawa, yang merupakan kristalisasi pengalaman,
cerminan pikiran, pantulan perasaan masyarakat pendu-
kungnya. Ungkapan tradisional sebagai kalimat pendek
yang disarikan dari pengalaman yang panjang. Di dalamnya
10
terdapat kebijaksanaan kolektif dan kecerdasan sosial
(Sumarti, 1986: 4). Bagi seseorang folkloris adalah kurang
penting menyatakan suatu dongeng itu milik pribumi asli
atau sekedar cerita impor. Yang paling penting cerita itu
terus saja diulang-ulang, sehingga membentuk ideologi.
Contohnya adalah cerita Andhe-andhe Lumut yang seperti
dongeng Cinderela dan bernilai pedagogis.
Penyebaran folklor Jawa ada yang melalui nyanyian
rakyat. Beberapa contoh nyanyian rakyat yang terkenal di
antaranya:
1. Tokung-Tokong
2. Bulan-Bulan Gedhe
3. Adang-adang Kenthang
4. Atur-atur Kumendhur
5. Dhengkul Ega-ega
6. Pring Tumpuk-tumpuk
7. Wulung-wulung
8. Wewe-wewe Blorok
9. Uri-uri
10. Embleg-embleg
11. Cengkir-cengkir Legi
12. Sluku-sluku Bathok
13. Pring Sadul-sadul
14. Dhengkul Uthek-uthek
15. Jamuran
16. Cublak-cublak suweng
11
17. Ilir-ilir
18. Menthok-menthok
19. Mbok Sibombok
20. Gundhul Gundhul Pacul
12
BAB II
Kepercayaan Tentang
Alam Lelembut
A. Makhluk Halus
Kepercayaan terhadap kehidupan makhluk halus
menyebar di berbagai wilayah tanah Jawa. Orang Jawa
menjaga hubungan dengan dunia makhluk halus. Bagi
orang yang telah mencapai ilmu sejati dalam Kejawen atau
mungkin yang sudah menguasai metafisika, dunia makhluk
halus itu biasa adanya dan bukan omong kosong.
Ada dua macam makhluk halus: Pertama, makhluk
halus asli yang memang diciptakan sebagai makhluk halus.
Makhluk-makhluk halus yang asli mereka tinggal di
dunianya masing-masing, mereka mempunyai masyarakat
maka itu ada makhluk halus yang mempunyai kedudukan
tinggi seperti raja, ratu, menteri. Sebaliknya ada yang
berpangkat rendah seperti prajurit, pegawai, pekerja.
Kedua, makhluk halus yang berasal dari manusia
yang telah meninggal. Seperti juga manusia ada yang baik
dan jahat, ada yang pintar dan bodoh. Banyak ahli Kejawen
13
mempunyai pendapat yang sama bahwasannya di dalam
dunia yang satu dan sama ini, sebenarnya dihuni oleh
beberapa macam alam kehidupan, termasuk alam yang
dihuni oleh manusia. Dunia ini terdapat beberapa lapis
alam yang ditempati oleh bermacam-macam makhluk.
Makhluk-makhluk tersebut, pada prinsipnya mengurusi
alamnya masing-masing. Aktivitas mereka tidak bercampur
dan setiap alam mempunyai urusannya masing-masing.
Alam manusia mempunyai matahari dan penduduknya
yang terdiri dari manusia, binatang dan lain-lain.
Warga alam yang lain mereka mempunyai badan
cahya ‗badan dari cahaya‘ atau yang secara populer dikenal
sebagai makhluk halus. Alam-alam itu tidak ada hari yang
terang-benderang karena tidak ada matahari. Keadaannya
seperti suasana malam yang cerah di bawah sinar bulan dan
bintang-bintang yang terang. Tidak ada sinar yang
menyilaukan seperti sinar Sang Hyang Bagaskara. Di
antaranya dapat dijelaskan sebagai berikut :
Merkayangan. Kehidupan di alam ini hampir sama
seperti kehidupan di dunia manusia, kecuali tidak adanya
sinar terang seperti matahari. Dunia merkayangan sama
seperti dunia manusia, misalnya membayar dengan uang
yang sama, memakai macam pakaian yang sama. Ada
banyak mobil yang jenisnya sama di jalan-jalan, ada banyak
pabrik-pabrik persis seperti di dunia manusia. Mereka
memiliki tehnologi yang lebih canggih dari manusia, kota-
14
kotanya lebih modern ada pencakar langit, pesawat-
pesawat terbang yang ultra modern dll. Ada juga hal-hal
yang mistis di dunia Merkayangan ini. Kadang-kadang bila
perlu ada juga manusia yang diundang oleh mereka antara
lain untuk melaksanakan pertunjukan, menghadiri upacara
perkawinan, bekerja di pabrik atau keperluan lain. Manusia
yang melakukan pekerjaan di dunia tersebut, dibayar
dengan uang yang sah dan berlaku seperti mata uang di
dunia manusia.
Siluman. Makhluk halus ini suka tinggal di daerah
seperti di danau-danau, laut, samudera. Masyarakat
siluman diatur seperti masyarakat zaman kuno. Mereka
mempunyai raja dan ratu. Terdapat golongan aristokrat,
pegawai-pegawai, prajurit, pembantu-pembantu. Mereka
tinggal di kraton-kraton, rumah-rumah bangsawan, rumah-
rumah kuno. Di Yogyakarta atau Jawa Tengah, orang akan
mendengar cerita tentang beberapa siluman laut yakni
Kanjeng Ratu Kidul, sangat berkuasa dan amat cantik. Ia
tinggal di istana Laut Selatan. Di Parangkusumo terkenal
sebagai tempat pertemuan antara Panembahan Senopati
dan Kanjeng Ratu Kidul, dalam pertemuan itu, Kanjeng
Ratu Kidul berjanji untuk melindungi semua raja dan
kerajaan Mataram. Ia mempunyai seorang patih yang sakti
yaitu Nyai Roro Kidul. Kerajaan laut selatan ini terhampar
di pantai selatan Jawa, di beberapa tempat kerajaan ini
mempunyai adipati. Seperti layaknya sebuah negeri di
15
kerajaan laut selatan ini juga ada berbagai upacara, ritual
dan mereka juga mempunyai angkatan perang.
Kajiman. Kajiman hampir sama dengan bangsa
siluman, tetapi mereka itu tinggal di daerah-daerah
pegunungan dan tempat-tempat yang berhawa panas.
Orang biasanya menyebut merak Jim.
Demit. Demit bertempat tinggal di daerah-daerah
pegunungan yang hijau dan lebih sejuk hawanya, rumah-
rumah mereka bentuknya sederhana terbuat dari kayu dan
bambu, mereka itu seperti manusia hanya bentuk badannya
lebih kecil.
Di samping masyarakat yang sudah teratur seperti
Merkayangan, Siluman, Kajiman, dan Demit masih ada lagi
sebuah alam yang terjepit, di mana roh-roh dari manusia-
manusia yang jahat menderita karena kesalahan yang telah
mereka perbuat pada masa lalu, ketika mereka hidup
sebagai manusia. Manusia yang salah itu pasti menerima
hukuman untuk menebus kesalahan yang dilakukannya.
Hukuman itu bisa dijalani pada waktu masih hidup di dunia
sesudah mati. Pemujaan dalam Kejawen bukanlah patung-
patung batu, tetapi pada sembilan macam makhluk halus
yang dipercaya bisa menolong menjadi kaya secara
material. Kesembilan makhluk jahat itu bila dilihat dengan
mata biasa kelihatan seperti :
Jaran Penoreh - kuda yang kepalanya menoleh
ke belakang
16
Kutuk Lamur - sebangsa ikan, penglihatannya
tidak terang
Gemak Melung - gemak, semacam burung yang
berkicau
Codot Ngising - kelelawar berak
Bulus Jimbung - bulus yang besar
Kandang Bubrah - kandang yang rusak
Umbel Molor - ingus yang menetes
Bajul Putih - buaya putih.
Srengara Nyarap- anjing menggigit
17
Serat Kalatida karya Ranggawarsita yang sangat
terkenal menyatakan Dilalah kersaning Allah, begja
begjane wong kang lali, isih begja kang eling lan waspada,
ditafsirkan bahwa eling, berarti kita senantiasa dituntut
untuk berbakti kepada Tuhan dan selalu berzikir kepada
Tuhan, tidak melupakan dan tidak meninggalkan
sembahyang. Waspada berarti mampu membedakan yang
benar dan yang salah, artinya selalu wiweka. Hal ini
penting agar kita tidak ikut gila, tergilas oleh arus zaman
dan hanyut dalam situasi yang tidak menentu.
18
itu keheranan. "Apakah kau ini manusia? Umurmu bukan
main panjangnya! Aku tak pernah menjumpai orang yang
berumur puluhan ribu tahun! Itu tidak mungkin! Tentu kau
bukan manusia. Bahkan Nabi Adam hanya berusia seribu
tahun! Makhluk apakah kau ini? Akui saja yang
sebenarnya!"
"Sebenarnya," kata Semar, "aku bukan manusia,
aku adalah makhluk halus yang menjaga - danyang - Pulau
Jawa. Aku adalah makhluk halus yang tertua, raja dan
nenek moyang sekalian makhluk halus, dan melalui mereka
ini menjadi raja seluruh manusia." Dalam nada yang
berubah, ia melanjutkan: "Tetapi aku juga mempunyai
sebuah pertanyaan untukmu. Mengapa kau hancurkan
negeriku? Mengapa kau datang ke sini dan mengusir anak
cucuku? Makhluk-makhluk halus itu, kalah oleh kekuatan
spiritual dan ilmu agamamu, perlahan-lahan terpaksa
melarikan diri ke kawah-kawah gunung berapi atau ke
dasar Laut Selatan. Mengapa kau lakukan ini?" Pendeta itu
pun menjawab, "Aku telah diperintahkan oleh raja Rum
(sebuah negeri Arab di sebelah barat India, demikian penje-
lasan dalang itu) untuk mengisi pulau ini dengan umat
manusia. Aku harus membabat hutan untuk dijadikan
persawahan, membangun desa, dan memukimkan dua
puluh ribu orang di sini sebagai kolonis. Ini adalah titah
rajaku dan kau tak bisa menghentikannya. Tetapi roh-roh
yang mau melindungi kita akan tetap boleh tinggal di Jawa;
19
aku akan menentukan apa yang harus kalian kerjakan." Ia
melanjutkan pembicaraan dengan menggambarkan garis-
garis besar perspektif sejarah Jawa sampai dengan zaman
modern dan menjelaskan peranan Semar dalam proses itu,
yakni sebagai penasihat spiritual dan pendukung magis bagi
sekalian raja dan pangeran yang akan datang - jadi terus
menjadi ketua sekalian danyang Tanah Jawa.
Dengan demikian, paling tidak dalam versi ini,
dongeng orang Jawa dalam Babad Tanah Jawi lebih
mendekati apa yang disebut mitos kolonisasi daripada
mitos penciptaan, yang mengingat sejarah Jawa yang terus
menerus mengalami invasi orang-orang Hindu, Islam dan
Eropa, memang tidak mengherankan. Mbabad berarti
membersihkan sebidang hutan belantara untuk diubah
menjadi suatu desa lengkap dengan persawahan,
membangun sebuah pulau kecil pemukiman manusia di
tengah lautan makhluk halus yang menghuni hutan,
walaupun istilah itu kini juga dipakai untuk persiapan
umum mengolah sawah (membajak, meratakan tanah
dengan garu, dan sebagainya) yang harus dilakukan orang
dalam masa permulaan perputaran tanam padi setiap
tahunnya. Lukisan yang disampaikan oleh mitos itu adalah
gambaran masuknya para pendatang baru yang mendorong
roh-roh jahat ke gunung, tempat-tempat liar yang belum
dijamah, dan Lautan Hindia, sementara mereka bergerak
dari utara ke selatan, sambil mengangkat beberapa
20
makhluk halus yang mau menolong sebagai pelindung
mereka dan pemukiman mereka yang baru.
Nama yang lazim untuk makhluk halus dengan
tempat tinggal tetap dan mungkin mau membantu
keinginan orang adalah demit, walaupun di sini lagi-lagi
orang tidak konsisten, tetapi cenderung menggunakan
perkataan demit, danyang, lelembut dan setan, baik dalam
pengertian luas maupun sempit, untuk menyebut makhluk
halus pada umumnya maupun suatu sub jenis tertentu
secara khusus. Demit dalam arti sempit tinggal di tempat-
tempat keramat yang disebut punden, yang mungkin
ditandai oleh beberapa reruntuhan candi Hindu (mungkin
sebuah patung kecil yang sudah rusak), pohon beringin
besar, kuburan tua, sumber air yang hampir tersembunyi
atau beberapa kekhususan topografis semacam itu.
Ada sejumlah punden semacam itu di daerah
Mojokuto; pada berbagai pohon yang sangat besar atau
berbentuk aneh, pada beberapa reruntuhan candi Hindu
yang tersebar di sana-sini, tetapi yang paling terkenal,
paling sering dipuja dan dianggap paling berkuasa, adalah
makhluk halus yang tinggal di pusat kota Mojokuto, di
pinggir alun-alun, namanya mBah Buda, yang harfiah
berarti "kakek Buda" tetapi "Buda" di sini tak ada
hubungannya dengan "Gautama"; ia hanya menunjuk
kepada kenyataan bahwa tempat tinggalnya yang keramat
ditandai dengan sebuah relik Hindu-Budis.
21
Tempat keramat itu, ditutup dengan pagar putih
yang kuat, terletak di kaki sebuah pohon beringin yang
lebat dan terdiri dari patung Ganesha, dewa kebijaksanaan
agama Hindu berbentuk gajah, setinggi kaki. Ada suatu
kisah tentang itu. Dahulu kala, "pada jaman Buda", Sultan
Solo, suatu ibukota kerajaan di Jawa Tengah, terlibat dalam
peperangan dengan raja Madura. Sultan Solo menang dan
mengejar raja Madura yang melarikan diri ke timur laut ke
tempat asalnya. Dalam perjalanan itu ia singgah di
Mojokuto, yang waktu itu masih berupa hutan, dan terletak
di antara kedua kerajaan itu, untuk memberi kesempatan
istirahat kepada prajurit-prajuritnya. Dari kejadian itulah
kota yang dalam buku ini disebut Mojokuto beroleh
namanya -- nama sesungguhnya diambil dari bahasa Jawa
Kuno yang berarti "tempat istirahat". Tempat keramat itu
terjadi, karena raja meletakkan patung Ganesha untuk
menandai tempat di bawah pohon beringin besar tempat ia
beristirahat. Namun, bagaimanapun asal-usulnya, yang
jelas patung Ganesha itu sekarang dihuni oleh suatu demit.
Patung itu pernah dipindahkan ke Bragang, kurang lebih
dua puluh kilometer jauhnya, tetapi ia kembali dengan
kekuatannya sendiri. Pada suatu kejadian lain, seorang
kontrolir Belanda (pejabat Eropa tingkat paling bawah
dalam birokrasi kolonial) yang ditugaskan di Mojokuto
memukul patung Ganesha itu - tentu untuk menghinakan
alat peribadatan para penyembah berhala - tetapi satu
22
minggu kemudian ia mati dengan leher patah, dan dalam
jangka waktu satu tahun seluruh keluarganya menyusulnya
ke alam baka.
Kalau seseorang menginginkan mBah Buda menga-
bulkan hajatnya, ia harus pergi ke tempat keramat itu -
sekalipun beberapa orang mengatakan bahwa orang bisa
melakukannya di rumah - minta pengampunan serta maaf
dari demit itu, dan berjanji akan mengadakan slametan
untuk menghormati demit itu kalau permohonannya
dikabulkan. Sangat penting untuk keberhasilan maksud itu
kalau orang mengharap dengan sungguh-sungguh, memo-
hon dengan fikiran menunggal dan tak tergoyahkan, dan
tidak memikirkan apa pun lainnya sampai permohonannya
dikabulkan. Seorang pemohon membandingkannya dengan
tangisan anak kecil: "Tetapi anda tidak tampak menangis,
karena menangis di dalam, di hati anda; anda harus kuat-
kuat mengharapkannya, hingga bakal mati kalau tidak
terpenuhi; dan kalau keinginan anda begitu kuat serta
tahan begitu lama, maka hampir dapat dipastikan
keinginan anda itu akan terpenuhi." Yang biasa diinginkan
orang adalah pulihnya kesehatan dirinya atau keluarganya,
atau mungkin juga mencari sesuatu benda yang hilang atau
meminta keselamatan dalam perjalanan yang memakan
waktu lama. Ada perbedaan pendapat tentang bisa tidaknya
orang mengharapkan hal-hal seperti menang judi, meminta
gong baru untuk orkes gamelannya, atau meminta agar
23
cintanya pada isteri orang lain kesampaian; beberapa orang
berpendapat bahwa rnBah Buda hanya mempertimbang-
kan permohonan yang serius; tetapi jelas orang meminta
berkah yang agak kurang mulia kadang-kadang:
Dalam hubungan ini (masalah perceraian) Sutinah
(informan) menceritakan kepada saya tentang suatu waktu
tatkala ia melakukan Slametan sebagai persembahan
kepada mBah Buda, ketika kakak perempuannya masih
terikat perkawinan dengan suaminya yang kedua. Ia
mengatakan kepada kakak perempuan itu: "Kalau kau bisa
memperoleh perceraian tanpa banyak kesulitan, segalanya
mudah dan lancar, saya akan mengadakan slametan untuk
mBah Buda." Kemudian, sesudah perceraian, ia mengada-
kan Slametan dan mengirimkan sekedar hidangan kepada
kakak perempuannya, disertai dengan catatan bahwa
slametan ini diadakan untuk kau-tahu-sendirilah.
Slametan untuk demit setelah seseorang dikabulkan
permohonannya (kalau orang lupa melakukannya, seekor
ular hitam dengan tanda panah putih di punggungnya akan
merayap di antara dua kakinya untuk memberi peringatan)
harus diadakan pada hari yang khusus, yakni ketika hari
Jumat dari mingguan kalender Barat bertemu dengan hari
Legi menurut pasaran Jawa yang lima hari itu, yang terjadi
tiga puluh lima hari sekali (Clifford Geertz, 1983).
Slametan itu sederhana saja, terdiri dari nasi, ayam
atau sedikit ikan basah, kue kacang kedele dan sebagainya,
24
ditambah beberapa bunga-bungaan. Orang dapat memba-
wanya sendiri ke tempat keramat itu atau mengirim
seorang anak ke sana, seperti yang dilakukan kebanyakan
orang. Di tempat keramat itu, anak tersebut memberikan
hidangan kepada pejabatnya, mengutarakan kepadanya
untuk apa slametan itu apa "maksud"nya. Juru kunci akan
menerima hidangan itu, membakar kemenyan, dan
menaburkan bunga ke atas kepala patung Ganesha.
Kemudian ia mengumpulkan bunga-bunga layu yang sudah
ditaburkan oleh orang sebelumnya, lalu dimasukkan ke
dalam kantong untuk diberikan kepada anak itu. Bunga-
bungaan ini dibawa pulang, lalu dimasukkan ke dalam air
dan orang yang menyelenggarakan slametan itu akan
meminumnya atau akan menggunakannya sebagai obat
penawar untuk keperluan kesejahteraan umum atau
keslametan keseluruhan. Orang yang merasa kikuk kalau
harus membikin nasi buat slametan, bisa membeli bunga di
pasar seharga setali dan memberi satu rupiah kepada juru
kunci sebagai ganti nasi. Makanan itu dibagi-bagikan
kepada fakir miskin yang berkerumun menanti di sekitar
tempat keramat itu (atau setiap orang yang mau meminta-
nya, kata juru kunci itu), tetapi tiap kali saya perhatikan
upacara ini, nampaknya juru kunci itu memperoleh bagian
yang paling besar, suatu hal yang masuk akal mengingat ia
sendiri tak begitu kaya. Pada hari baik saya pernah melihat
lebih dari lima puluh orang, beberapa di antaranya datang
25
dari jauh, tiga puluh kilometer jauhnya dari situ, melakukan
upacara slametan untuk mBah Buda.
Salah satu sumbangan Jawa menghadapi zaman
ialah Kidung Rumeksa Ing Wengi, karya Sunan Kalijaga.
Kidung ini sudah terkenal di wilayah nusantara dan sering
dinyayikan di pedesaan pada pertunjukan ketoprak, wayang
kulit, atau peronda di malam hari yang sunyi. Bait yang
utama dari kidung itu sangat dikenal karena berisi mantra
tolak bala.
Inti laku pembacaan Kidung Rumeksa Ing Wengi
adalah agar kita senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan
Yang Maha Esa, sehingga terhindar dari kutukan dan
malapetaka yang lebih dahsyat. Dengan demikian kita
dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman dan taqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengenai fungsi kidung
secara eksplisit tersurat dalam kalimat kidung itu, yang
antara lain :
Penyembuh segala macam penyakit.
Pembebas pageblug.
Mempercepat jodoh bagi perawan tua.
Penolak bala di malam hari, seperti teluh,
santet, hama dan pencuri.
Menang dalam perang.
Memperlancar cita-cita luhur dan mulia
Kidung Rumeksa Ing Wengi terdiri atas sembilan
bait yang disertai laku dan fungsi pragmatisnya secara
26
spesifik. Bagian pertama terdiri lima bait yang wajib
diamalkan setiap malam. Bagian kedua, terdiri empat bait
berupa petunjuk yang menyertai laku dan wajib dilaksana-
kan oleh setiap orang yang mengamalkannya.
Wong sing kudu nglakoni dadi danyang minangka
pidana tumrap marang kaluputane (ngambah papan
pengalapan) kabeh padha mesti sepuluh taun, sawise
pundat nglakoni pidana sepuluh taun suwene dadi danyang
banjur manjing marang sagara lebur ragane bali dadi
Padmasari maneh, jiwa lan angen-angen (wadah lan isine)
bali menyang pangayunaning Pangeran dari Rijal wujud
badan cahya kuning kawengku ireng saklenteng gedhene.
Sawise dadi Rijal telung taun suwene utawa sewu dina
manut anggering kodrat atas kersane sang Maha Kuwasa
kudu tumitah maneh, nanging ora jumeneng manungsa
utawa jalma, kudu ngliwati dadi kewan dhisik sakturunan,
dene tumrap marang wong sing duwe dosa pati kudu manut
cacahing jiwa sing diprejaya, yen jiwa siji sakturunan, yen
jiwa loro rong turunan, mangkono sapiturute.
Cacahing kewan sing minangka papan pidana ana
warna telulas : kucing, sagawon, jaran, wedus, babi, celeng,
bangsaning munyuk, menjangan, kancil, bangsaning
macan, gajah, onta lan warak.
27
(yang adalah akar kata Jawa yang berarti "roh"). Seperti
demit, danyang tinggal menetap pada suatu tempat yang
disebut punden: seperti demit, mereka menerima permo-
honan orang untuk minta tolong dan sebagai imbalannya
menerima persembahan slametan. Seperti demit, mereka
tidak menyakiti orang, melainkan hanya bermaksud
melindungi. Namun, berbeda dari demit, beberapa
danyang dianggap sebagai roh tokoh-tokoh sejarah yang
sudah meninggal: pendiri desa tempat mereka tinggal,
orang pertama yang membabat tanah. Setiap desa biasanya
mempunyai seorang danyang utama.
Danyang desa ini, ketika mereka masih hidup
sebagai manusia, datang ke desa itu selagi masih berupa
hutan belantara, membersihkannya, dan membagi-bagi
tanah kepada pengikutnya, keluarganya, teman-temannya,
dan ia sendirilah menjadi kepala desanya (lurah) yang
pertama. Sesudah mati, biasanya ia dimakamkan di dekat
pusat desa, dan makamnya lalu menjadi punden. la sendiri
terus memperhatikan kesejahteraan desanya (namun
kadang-kadang makam khusus untuk danyang pendiri ini
tidak ada). Orang-orang tertentu mungkin masih mengang-
gap diri keturunannya, dan ia dianggap masih menentukan
secara magis tentang siapa yang akan jadi kepala desa,
dengan jalan mengawasi gerak-gerik suatu jenis roh politik
yang khusus yang disebut pulung (kebanyakan orang
mengatakan bahwa ia sendirilah yang menjadi pulung itu):
28
Ia mengatakan bahwa ada semacam "barang
rohaniah" yang disebut pulung, bisa dilihat dan berbentuk
seperti bulan, yang turun kepada calon yang terpilih untuk
kepala desa. Hanya para kepala desa dan raja yang memiliki
pulung (pulung raja lebih besar), yang menunjukkan bahwa
kedudukan lurah adalah lebih penting daripada bupati atau
wedono (masing-masing mengepalai kabupaten dan kawe-
danaan). Ketika seorang lurah mcninggal atau mcletakkan
jabatan, pulungnya meninggalkan dia dan mencari lurah
baru. (Kadang-kadang pulung itu pergi ke luar dan tampak
ketika lurah yang bersangkutan masih memangku jabatan
kalau ada sesuatu yang istimewa terjadi atau ketika desa itu
berada dalam bahaya). Para calon seringkali duduk di
lapangan desa, dan pulung itu melayang-layang di atas
mereka untuk memilih orang yang paling murni. Calon
lurah kadang-kadang mengadakan slametan di makam
danyang untuk menarik pulung itu. Hanya ada satu pulung
untuk setiap desa. Ia tinggal bersama lurah sampai ia
meninggal atau tak mampu lagi berbuat mulia. Dalam kasus
terakhir, pulung itu meninggalkannya, dan desanya akan
tertimpa penyakit, kelaparan atau kacau balau; orang tak
lagi taat kepada kepala desa. Tak lama kemudian ia akan
terpaksa mcletakkan jabatan, dan orang yang menerima
pulung kemudian akan menjadi lurah. Saya bertanya
kepadanya tentang pulung yang dahulu-tinggal pada raja,
dan ia mengatakan bahwa menurut dugaannya pulung itu
29
telah pergi ke Jakarta dan Bung Karnolah sekarang yang
memiliki pulung raja itu.
Daerah yang berada di bawah kekuasaan danyang
desa disebut kumara. Kumara (atau kemara) berarti suara
yang tiba-tiba muncul dari ketiadaan, seperti kalau seorang
dukun termasyhur meninggal, dua minggu sesudahnya
orang akan mendengar suaranya secara tiba-tiba, tanpa
ketahuan sumbernya. Dengan demikian kumara meliputi
seluruh ruang angkasa desa, di mana orang bisa mendengar
suara manusia yang berbicara dari permukaan tanah.
Sebagai tambahan, keempat pojok desa kadang-kadang
dianggap dihuni oleh roh pelindung, seringkali juga disebut
danyang, yang dianggap sebagai anak-anak danyang
utama, yang bertempat tinggal di pusat desa.
Di kota Mojokuto sendiri, yang menjadi danyang
desa adalah seorang pencuri, Maling Kandari, yang
dimakamkan di kuburan tua sebelah timur pusat kota.
Tetapi, sejalan dengan gejala umum kemerosotan struktur
politik desa dalam lingkungan kota, dia tak lagi memainkan
peranan yang teramat penting dalam benak warga kota.
Hanya beberapa orang yang lebih tua dari kalangan bawah
saja yang agaknya tahu banyak tentang danyang itu, dan
itu pun ia hanya karena memperoleh kekuasaannya di
kawasan kota dengan jalan muslihat, penipuan dan
mengadakan hubungan dengan roh-roh jahat.
30
Papane para danyang nganggo unda usuk manut
gedhe ciliking dosane, yen dosane gedhe kudu manggon ing
alas utawa ing pagunungan sing arang diambah ing wong,
dene sing dosane cilik mapane ing wit-witan uga telulas: wit
sawo, kemuning, sirsak, jambu, wit kembang kantil, wit
kembang kenanga, wit serut, lo, waringin, randu alas,
kambil sawit, wuni lan siwalan.
Bangsa alus, memedi, gendruwo, lelembut, setan,
jim, tuyul, demit, danyang - barisan bocah-bocah gundul,
macan putih, dan ayam yang selalu menghentakkan
kakinya- memberikan kepada mereka yang percaya satu
rangkaian jawaban yang sudah tersedia untuk pertanyaan-
pertanyaan yang timbul dari berbagai pengalaman yang
seperti teka-teki, rangkaian imajinasi yang piktografi
simbolis, dalam kerangka mana bahkan hal-hal yang ganjil
nampaknya tak bisa dihindari. Apakah Mbakyu Suwarni
telah sembuh dari sakit kepala yang memusingkan? Hal itu
terjadi karena ketika ia pergi ke kakus ada lelembut yang
sedang duduk di sana - yang lalu menampar keningnya
karena marah dan merasa terhina. Apakah Haji Abdullah
setelah kematian saudara dan istrinya dalam satu tahun lalu
jadi kaya? Gabungan keadaan-keadaan itu jelas sekali
mengisyaratkan adanya tuyul. Dunia makhluk halus adalah
dunia sosial yang dirubah bentuknya secara simbolis,
makhluk halus priyayi memerintah makhluk halus
abangan, makhluk halus Cina membuka toko dan memeras
31
penduduk asli, dan makhluk halus santri melewatkan
waktunya dengan sembahyang dan memikirkan cara-cara
mempersulit mereka yang tak beriman.
Namun, sekalipun ada kekaburan, kontradiksi dan
diskontinuitas dalam kepercayaan abangan mengenai
makhluk halus, kepercayaan itu juga memberikan makna
yang lebih luas dan lebih umum daripada sekedar penjelas-
an terpisah yang mungkin diharapkan orang mengenai luka
yang tak tersembuhkan, fuga-fuga psikologis dan kesialan
yang tak masuk akal. Semuanya itu melukiskan kemenang-
an kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas
bukan manusia.
Sementara kebudayaan orang Jawa berkembang
dan hutan tropis yang lebat berubah menjadi tanah
persawahan dan perumahan, makhluk-makhluk halus
mundur ke sisa hutan belantara, puncak-puncak gunung
berapi, dan Lautan Hindia (di mana Lara Kidul, Ratu Laut
Selatan dan barangkali satu-satunya lelembut Jawa yang
paling berkuasa menunggu seseorang yang cukup tolol dan
keras kepala untuk memakai pakaian hijau di dekat
rumahnya buat ditenggelamkan ke dasar samudra). Serupa
itu pula, bila seseorang jadi makin beradab dalam pola
Jawa, sedikit sekali kemungkinan ia akan kosong, bingung
atau tersesat, yang menyebabkannya rawan terhadap
kesurupan roh:
Parto mengatakan bahwa orang yang mudah
32
dirasuki setan dan makhluk halus sebangsanya adalah
orang-orang yang tak percaya kepada Tuhan, tak pernah
puasa, dan tak punya keteraturan hidup; karena jiwa orang-
orang ini dikatakan kosong dan dengan demikian mudah
dimasuki setan. Orang yang kuat imannya terhadap Tuhan
dan "tahu aturan" tidak akan mudah dimasuki setan demit,
dan bahaya-bahaya lain serupa itu yang bisa menimpa
seorang makhluk.
Dalam konteks ini slametan merupakan penegasan
dan penguatan kembali tata kebudayaan umum kekuasaan-
nya untuk menghilangkan kekuatan-kekuatan yang me-
ngacau. Slametan memusatkan, mengorganisasi, serta
meringkaskan ide umum abangan tentang tata, "pola
hidup" mereka. Dalam bentuknya yang kurang dramatis, ia
menyatakan nilai-nilai yang menjiwai kebudayaan tani
Jawa tradisional; menyesuaikan satu sama lain berbagai
kehendak yang saling bergantung, menahan diri dalam
menyatakan perasaan dan mengatur dengan hati-hati
tingkah laku ke luar. Slametan cenderung untuk ber-
langsung pada titik-titik demikian ini dalam kehidupan
orang Jawa, ketika kebutuhan untuk menyatakan nilai-nilai
itu mencapai puncaknya, dan ketika makhluk-makhluk
halus dan kekacauan tak manusiawi yang mewakilinya
sangat mengancam (Clifford Geertz, 1983 : 34-35).
33
D. Lelembut Ing Nusa Jawi
1. Dhemit Jawa Timuran
Sinom
34
Pananggulan Abur-abur
Sapujagat ing Jipang
Madiyun si Kalasekti
pan si Koreb lelembut ing Pranaraga.
Singabarong Jagaraga
Majenang Trenggilingwesi
Macan-guguh Garobogan
Kalajangga Singasari
Sarengat Barukuping
Balitar si Kalakatung
Batukurda ing Rawa
Kalangbret si Sekargambir
Carub-awor kang rumaksa ing Lamongan.
35
Sarwaka ing Sukawati ing padhas Nyai Ragil
Jaya lelana ing Suruh
Butatrenggiling Tegal
ing Tegal si Gunting-geni Kaliwungu
Gutuk-api kang rumeksa.
36
kang aneng Wanapeti
Palangkarsa wastanipun
Ki Candhung ing Sawahan
Plabuhan Ki Dudukwarih
Batutukang kang aneng ing palayangan.
37
anama Ki Candralatu
gunung Kendhalisada
Ketek putih kang anenggani
Bataglemboh ing Ayah kahyanganira.
Magiri Ki Manglarmonga
ing Gading Ki Puspasari Ketanggung
Ki Klanthungwelah
Brengkelan si Banaspati
Ni Kopek ing Manolih
ing Tengah si Sabuk-ala
Nglandak Ki Mayangkara
si Gori Kedhungcuwiri
Baruklinthing ingkang ana ing Bahrawa.
38
kali opak winarni
Singgabawana ranipun
si Kecek Pajarakan
Cingcinggoling Kaliwening
ing Dhahrama Ulawelang kang rumeksa.
39
ingkang aran Ki Jalingkung
Kalanadhah ing Tuntang Bancuri Kalabancuri
kang rumeksa sukune ardi Baita.
Ragadungik Randhulawang
ing Sendhang Retna Pengasih Butakapa
ing Prambanan Bok Sampurna ardi Wilis
Raden Galinggangjati
kang rumeksa Gajahmungkur
si Gendruk ing Talpegat Ngembet Raden Panjisari
Pagerwaja kang aran Udakusuma.
40
panyabetneki
lara prapta ambalik
tinulak bali mangidul ngulon
panyabetira ana lara teka bali
pan tinulak mangulon bali kang lara.
Mangalor panyabetira
ana lara teka bali
mangalor balitinulak anulya nyabet manginggil
lara prapta ambalik
tinulak bali mandhuwur nulya nyaber mangandhap
ana lara teka bali
pan tinulak larane bali mangandhap.
41
sampun pepak sadaya
para ratuning dhedhemit
nusa Jawa paugeran kang rumeksa.
42
busananya sarwa putih
punang gaman sadaya pan sarwa pethak.
43
kang ngripta wilapa kidung
Kyai Rangga Sutrasna
ngemban timbalan Sang Aji
kang jumeneng Pakubuwana ping Lima.
Si Goplem wismanireki
neng Witana Sitibentar
Gombel Tratag rambat nggone
kang rumeksa aneng Gayam
44
Kalabancuri ranya
kang ngreksa Bangsal ranipun
Kalakentung Kalakentung.
Si Lempur Wringin-waringin
Bajangklewer aneng Gladag
Jin putih neng Masjid-gede
Kyai Lotis ing Jeksan
Klentung Mangkubumenan
Jungkit Patihan nggenipun
Kyai Modin Buminatan.
45
Bagus Keret ing Magangan.
46
BAB III
A. Gugon Tuhon
Gugon tuhon iku kapitayan sing isih dipercaya
saktengahing bebrayan, sanadyan ora bisa dibuktekake
kanthi nalar lan kasunyatan. Ing tanah Jawa sing diarani
gugon tuhon mesthi ana ing sadhengah papan. Sing dijaluk
aja nganti anane gugon tuhon mau nuwuhake dredah lan
pasulayan. Antarane sing percaya karo sing ora kudu tansah
samad-sinamadan. Kang kalebu gugon tuhon sing isih ana
kang percaya, contone :
1. Para linuwih dianggep ora mati, ana sing mrayang
utawa nitis ing wong liya.
2. Mbabarake ananing jeneng utawa nyritakake
sawijining negara utawa panggonan diwenehi jeneng
mengkono. Jeneng mau ana kang lugu ana kang
diowahi supaya cocok karo dongenge.
3. Nyritakake dumadine kali, sendhang, gunung, telaga
lan sak panunggalane. Kang akeh ngandhakake
kasektene para dewa, mukjizat para nabi, kramate
para wali utawa mangunahe para mukmin.
47
4. Adat tatacara. Dedongengan mula-bukane ana tata
cara kang diestokake ing wong-wong ing sawijining
desa utawa panggawe kang disirik wong-wong
sawijining panggonan.
5. Gugon tuhon sok wor-suh karo dongeng suci kang
nyritakake mukjijate para nabi utawa wali.
6. Sato bisa tata janma lan sato gadhungan.
7. Cipta, sabda (presapa, ipat-ipat).
8. Dongeng memedi utawa gendruwo.
9. Patilasane para linuwih kang dianggep wingit utawa
singit ana kramate.
48
Trasi. Mungguh wijang-wijange dongeng kapratelakake ing
ngisor iki umpamane dongeng menungsa malih kewan
utawa kosokbaline, lan kewan bisa tata janma.
Ana wong njala ing kali mbeneri sebel ora oleh apa-
apa. Bareng arep mulih, nibakake jalane, bareng diangkat
krasa abot, jebul sing abot mau ula. Wong njala kaget, ula
arep dipateni nanging banjur calathu, ―Aku aja kokpateni.
Malah nek kowe gelem ngopeni aku, bakal sempulur
rejekimu.‖
Ula digawa mulih, dideleh ing senthong. Nuju ing
sawiji dina anake wadon juru amek iwak mau ngimpi
ketemu karo jaka bagus. Ki jaka weling, yen kepengin dhaup
karo dheweke, supaya kandha marang bapakne, njaluk
didhaupna karo ula sing olehe njala mau.
Cekaking kandha bocah wadon didhaupake karo ula
mau. Si ula yen bengi malih dadi nonoman bagus, yen rina
malih ula maneh. Nuju ing sawiji dina ing wayah bangun
esuk juru amek iwak mulih saka segara, weruh ana walung-
sungan ula, dijupuk nuli diobong. Bojone mbok nganten
metu arep ngrasuk walungsungane, nanging wis ora ana,
malah disapa karo pak juru amek iwak, kamanungsan
lestari dadi menungsa lan lestari dadi bojone bok nganten.
Dongeng liyane sing memper kuwi: Lutung Kesarung lan
Dongeng Srimulya.
49
B. Jaka Kendhil
Jembar segarane ateges gampang menehi pangapura
marang kaluputane liyan, kaya dene critane Jaka Kendhil
iki. Kacarita, Mbok randha Dhadhapan anake lanang mung
siji, rupane ala banget, wetenge mlenthi kaya kendhil,
mulane diparabi Jaka Kendhil. Bareng Jaka Kendhil wis
diwasa njaluk rabi putri Mesir. Abote ditangisi ing anak,
Mbok Randha uga mangkat. Bareng wis marak ing sang
nata, Mbok Randha ngaturake apa sedyane.
Sang Nata nari putrane kang pambarep aran Dewi
Kenanga. Ature nyerik-nyerikake, wose ora saguh nglakoni,
Sang Prabu nuli nari putra kang panggulu aran Dewi
Menur, ature ya padha bae karo mbokayune. Sang Nata nuli
nari putrane kang wuragil aran Dewi Melathi, jebul ature
sendika.
Sang Nata dhawuh marang nyai randha, pangandika-
ne, ―Nyai, anakku Dewi Melathi iya wis saguh takdhaupake
oleh anakmu, nanging aku duwe kudangan, besuk ketemu-
ning penganten supaya diarak ing gamelan Lokananta kang
nabuh para dewa, gagarmayang kayu dewandaru, waringin
kang awoh brondong, gedang emas apupus cindhe, ati
tengu gedhene sawungkal. Yen kowe ora bisa nekani
panjalukku kuwi mau, anakmu iya ora sida dhaup karo nini
putri.‖
Bok Randha mundur saka ngarsane Sang Nata,
sadalan-dalan tansah nangis bae. Tekan ngomah kandha
50
menyang anake ngandhakake apa pundhutane Sang Nata.
Jaka Kendhil banjur muja samadi sidhakep sluku tunggal
nutupi babahan nawa sanga. Ketrima samadine dirawuhi
ing Sang Hyang Nerada sarta disaguhi arep diparingi apa
panuwune.
Bareng tumeka titi mangsa pengaraking panganten, si
Kendhil nunggang jaran diarak ing para dewa. Sasrahan
dilakokake ing ngarep. Dhauping penganten mawa
pahargyan gedhen. Kocap Dewi Melathi tansah dipoyoki
dening mbakyu-mbakyune dene dhaup oleh kendhil.
Nuju mbeneri dina Setu ing alun-alun ana watangan.
Sang Nata karo Prameswari mirsani saka ing pepanggung-
an, para putri padha nderek. Ana satria anyar katon bagus
rupane nunggang jaran melu watangan, gawe cingake para
putri. Dewi Kenanga mbebeda kang rayi, ―Dhiajeng Melathi,
lah rak ngana kae satria bagus! Ora kaya garwamu, rupane
kaya kendhil.‖
Dewi Menur uga melu mbebeda.
Dewi Melathi dibebeda mau rumangsa isin, nuli mbolos
ndhisiki kondur. Tekan ing dalem njujug ing kamar
pasarean, jebul nemu kendhil kothong. Kendhil dicandhak
binanting. Bareng satria anyar mau kondur, njujug ing
kamar pasarean, arep ngrasuk busana agem-agemane
kendhil, wis ora ana. Jaka Kendhil kamanungsan babar
dadi satria bagus anom, sarta lestari dadi garwane Dewi
Melathi.
51
Pak Karya
Pak Karya Pengung ing desa Waru kesed banget.
Tangine awan, nyambutgawene sakepenake bae. Yen
menyang tegal angger weruh ana rewange anake apa
mantune, durung wisan gawe wis mulih. Tekan ngomah
njaluk mangan bojone. Lebar mangan nuli turu, tangine
ngarepake surup srengenge. Yen bengi ora tau melu runda
kampung, ana bae pawadane: sing mules wetenge, sing
ngelu, sing kadhemen.
Yen disambat ing tanggane ngedegake omah iya teka,
marga mung melik suguhane. Ana ing pasambatan kono ya
mung wira-wiri bae, rewa-rewa rewang, sajatine ora.
Tangga-tanggane wis padha ngerti, nuli padha ayon, yen
kenduren aja diundang.
Mbeneri pak lurah duwe gawe, wong sadesa diundang
kondangan, mung pak Karya Pengung sing diliwati ora
diundang. Pak Karya Pengung ya mara menyang kalurahan,
wira-wiri ing latar kono karo dheham-dhehem, nanging ora
ana kang ngrewes. Bareng kaume ndonga, wong-wong
padha muni, ―Amin! Amin! Amin!‖ Pak Karya Pengung ya
melu ngamini saka ing jaba, nanging ora ana kang nawani
mlebu, wasana banjur mulih.
Jaka Bodho
Ana bocah lanang wis wayah diwasa. Saking bangeting
bodho banjur karan Jaka bodho. Pinuju Jaka bodho
52
menyang alas weruh bangkene wong wadon sumene ing
uwit. Disapa karo Jaka bodho ora mangsuli, dijak guneman
ora mangsuli.
Ciptane Jaka bodho, ―Lah iki bocah anteng, pantes dadi
bojoku. Biyen simbok kandha, aku dikon golek bocah sing
anteng.‖
Bangke digendhong digawa mulih, diturokake ing
sentong.
Embokne krungu anake teka, takon saka ing pawon,
―Le, lah endi kayune?‖
Wangsulane, ―Aku ora sida golek kayu, mbok. Aku mau
weruh bocah anteng, takgendhong, takgawa mulih. Patut
yen dadi bojoku. Lah iki taturokake ing amben.‖
Embokne mara arep weruh kok ana nalar aneh
mengkono. Weruh mayit mau banjur calathu kamoran
kaget, ―Lo, kuwi rak wong mati. Wadhuh, ambune! Gelis
buangen menyang ing kali.‖
Bangke digendhong digawa menyang bengawan
dicemplungake ing banyu. Jaka Bodho sarehne mentas
nggawa bangke wis mambu, dadi awake iya ketularan
ambuning bangke. Wis adoh lakune saka kali isih mambu
ganda ora enak. Ciptane, ―Iki apa awakku sing mambu iki!‖
Tangane diambu nyata mambu.
Ciptane, ―Nek ngono aku wis mati, tandhane
awakku wis mambu.‖ Jaka bodho bali menyang kali nyegur
ing banyu dadi lan tiwase.
53
C. Sunan Pandhan Arang
Ki Pandhan Arang maguru menyang Sunan Kali
Jaga didhawuhi ndherek menyang ing gunung Jabalkat,
saiki aran gunung Tembayat. Nyai Pandhan Arang uga
ndherek. Bareng nglakune wis ngliwati kali Tuntang, ana
begal loro metu saka ing grumbul. Sunan Kali karo Ki
Pandhan Arang ora dikapak-kapakake sarta banjur dikon
terus mlaku marga ora nggawa apa-apa kang pengaji, mung
Nyai Pandhan Arang kang dibegal, direbut tekene. Teken
mau isi mas picis rajabrana. Begal durung marem, isih arep
mblejedi Nyai Pandhan Arang.
Nyai banjur nguwuh-uwuh, ―Kyai, entenana aku,
ana wong salah gawe mengkene kok kowe ki tega‖.
Desa ing kono ketelah aran desa Salahtega banjur
owah dadi Salatiga. Ana ing desa sakidul kulone Klaten, Ki
Pandhan Arang ngenger Mbok randha Tasik, ngaku jeneng
Gus Slamet. Mbok Tasik pangupajiwane adol srabi. Nuju
ing sawiji dina gus Slamet dikon ngadang beras. Ana wong
nyunggi beras diwadhahi ing goni.
Gus Slamet takon, ―Sing mang sunggi niku napa,
Kang?‖
Wong mau mangsuli sembranan, ―Iki wedhi‖.
Gus Slamet calathu, ―E, enggih empun nek wedhi,
wong kula ajeng tuku beras, kok.‖
Wong desa calathu, ―Lah iki rak ya beras.‖
54
Olehe calathu mengkono iku sambi nyelehake
sunggene, diuculi taline arep dituduhake isine menyang Gus
Slamet. Nanging sepira kagete bareng weruh yen berase
mau malih wedhi kabeh. Wiwit kuwi desa ing kono banjur
karan desa Wedhi.
55
nyemprot katutan endhut mawa suwara kaya barang
mbledos.
Gunung Bathok
Dewaning Semeru kagungan putra wadon aran
Juwita. Putri mau dilamar ing Raksasa, awake gedhe
sagunung anakan. Sang Hyang Semeru ora pati lila nanging
arep nulak ora wani, nuli kagungan pamundut marang
Raksasa digawekna jagang ing sakubenging Brama, supaya
lahar lan awune aja nganti tekan ing Semeru, jagang mau
kudu rampung ing sajroning sawengi.
Raksasa nuli tumandang. Lemah ing sakubenge
Brama dikedhuki nganggo bathok, suwarane gumludhug
nggegirisi. Sang Hyang Semeru weruh yen penggaweane
Raksasa meh rampung, banjur nuthuki lesung, jago-jago
padha kluruk. Raksasa krungu unining jago kluruk atine
ngedap. Bathok kang kanggo ngedhuki lemah anggone
nyekeli nggregeli, tibane mengkureb, dadi gunung kang
saiki aran Gunung Bathok, dumunung ing segara wedhi
kaprenah sakulone kawah Brama.
Kali Winanga
Wong-wong kang dedunung ing saurute kali
Winanga kang ngliwati ing kutha Yogyakarta sisih kulon
yen slametan sasi Ruwah, sajene nganggo candu utawa tike
disandingi papah kates minangka bedutane. Sajen kuwi
56
mau disetokake lan diemen-emenake dening wong-wong
ing sakiwa tengene Kali Winanga. Dedongengane meng-
kene: Dhek biyen ana abdi-dalem prajurit aran Kyai Jayuda
(Brajayuda), tapa ing pinggiring kali nenuwun ing Pangeran
diparingana kaluwihan. Ananging Kyai Jayuda mau ilang
ora karuan, pengirane wong-wong, mrayang dadi lelembut,
pasabane iya ana ing saurute kali Winanga mau. Dhek uripe
kyai Jayuda pakaremane nyeret. Mulane wong slametan
ruwahan nganggo sajen tike utawa candu, sabab yen ora
mengkono, jare sok ditemoni sarana mrimpeni.
Pupak Puser
Bayi iku yen wis pupak pusere kudu dieleki ing
tangga teparo utawa wong tuwa-tuwa. Bayi dipangku ing
dhayoh genti-genti sawengi, esuk lagi kena diselehake ing
peturon. Nalikane dipangku mau peturone bayi didokoki
gandhik digambari mata, cangkem, irung nganggo enjet
nuli digedong cara bayi, diglethakake ing tampah dilemeki
godhong sente. Kejaba iku ing sakubenging omah
dikentengi benang, saben pojoking omah didokoki keris-
kerisan wilah diclonehi enjet, godhong nanas karo godhong
apa-apa utawa alang-alang.
Karepe sarat mau mengkene: sapuputing puser,
prabot-praboting bayi kayata: getih, kawah, coplokan puser,
kunir landesan puser, kabeh padha dadi lelembut jenenge
sarap sawan. Lelembut mau arep masesa bayi, nanging ora
57
wani mlebu ing omah marga weruh sarat-sarat mau katone
kaya pedhang temenan. Ewasemono iya sok bisa mlebu ing
omah njujug ing peturone bayi. Bayi dikerah ora pasah
marga liniru ing gandhik, wasana padha mundur pelarasan,
kapok ora bali-bali.
Kleting Kuning
Kleting Kuning arep nyabrang bengawan Silungga.
Sakawit njaluk tulung Yuyu Kangkang, nanging Yuyu
Kangkang ora gelem nyabrangake Kleting Kuning, marga
penganggone gombalan, pupure tembelek. Kleting Kuning
banjur nyabetake sada lanang ing banyu. Padha sanalika
bengawan mau asat. Kleting Kuning bisa nyabrang.
58
Dhuh ibu, kula boten mudhun
Nadyan ayu sisane si Yuyu Kangkang
Watu Telu
Ana bocah picak duwe watu telu peparinging dewa.
Watu iku yen diuncalakake mendhuwur karo muni apa
kang dipengini sanalika iku uga banjur klakon karepe.
Bocah mau nguncalake watune siji karo muni
mengkene, ―Dhuh Dewa, kula nyuwun mripat ingkang wiar
bawera, supados saged ningali ing samukawis.‖
Sanalika bocah mau diparingi mata amba, meh
ngebaki sakubenging rai. Bungah banget dene weruh apa-
apa kang maune durung tau weruh. Nanging ora suwe ana
lesus nggawa bledug nampeg ing raine bocah mau. Mripate
krasa pedhes, banjur njungkel ngrasakake larane. Batine,
―Kok ora kepenak ngene. Mata amba kuwi mau marakake
ribed bae.‖
Bocah mau nguncalake watune, dadi saiki wis
kalong loro. Calathune, ―Dhuh Dewa, kula nyuwun mripat
59
ingkang ciut kemawon.‖ Sanalika iku uga mripate malih
ciut, mlingup mung saelenging dom. Kabeh kang sinawang
katon nglangut. Bocah mau iya wis trima, tinimbang ora
weruh babar pisan. Nanging ora suwe ana cleret barungan.
Bocah mau kaget banget. Batine, ―Ya ora enak senajan
mripatku mengkene.‖
Bocah mau banjur nguncalake watune kari siji karo
muni, ―Dhuh Dewa, kula nyuwun wangsul picak malih
kemawon.‖ Sanalika iku uga bocah mau banjur picak
maneh.
Timun Emas
Timun Emas ngenger ana omahe Mbok randha
Dadapan. Ana ing desane Mbok randha, Timun Emas
diparani buta arep dimangsa. Nuli dikon sumingkir
disangoni uyah, trasi karo tebu. Buta weruh yen Timun
Emas wis sumingkir saka ing desa kono, banjur matak aji
penggandan, nuli dilacak, suwe-suwe katon banjur dituruti.
Bareng wis cedhak, Timun Emas mbuang tebune, tebu
thukul dadi alas. Buta rekasa lakune, nasak-nasak ing alas
tebu. Kala-kala iya leren karo mangan tebu. Timun Emas
bisa sangsaya adoh. Suwe-suwe buta kelingan marang
beburone, banjur ditututi maneh. Bareng wis cedhak Timun
Emas mbuang uyahe, dadi segara. Buta rekasa banget
anggone nyabrang, nanging suwe-suwe iya bisa nututi.
Timun Emas meh kecandhak, nuli mbuang trasine, trasi
60
malih dadi embel, buta mau keblader-blader ing embel,
saka sayane suwe-suwe ora bisa obah, wasana mati ambles
ing embel.
Kang dadi jejering kandha: menungsa bisa malih
macan, malihe iku nalikane isih urip utawa sawise mati.
Kang kecrita akeh wong bisa malih macan iku ing alas
Lodaya (Blitar) lan ing desa Gadhungan bawah Pare
(Kediri). Dongenge iya rupa-rupa banget, jare menungsa
meguru menyang macan.
Nalika Sinuwun Paku Buwana ing Kartasura lolos
saka praja marga ana geger Pecina, ana ing dalan ketagihan
candu. Patih Cakrajaya nuli musus tangane karo ngesti
puja, sanalika bisa nyaosi pamundhute gustine. Wiwit iku
Sang Nata ndhawuhake presapa mengkene, ―Anak putuku
aja ana kang duwe pakareman nyeret, mundhak gawe ribed.
Tujune iki mau isih ana wong tiyasa kaya wakne cakrajaya.
Anua rak sida bilai temenan.‖
61
presapa, ―Saturun-turunku yen mangun perang, aja ana
sing nunggang jaran batilan.‖
62
Bareng wis mara, diulungi sada sabongkok. Celathune
bapakne, ―Coba, sapa sing bisa nugel sada iki takganjar sapi
siji.‖
Anak-anake padha tumandang, nyoba nyoklek sada
mau kalandhesake ing dhengkul, nanging ora ana sing bisa.
Bapakne banjur njupuk sada mau, diuculi taline nuli
dicokleki siji-siji, gampang bae. Anake kang tuwa dhewe
calathu, ―Mesti mawon Pak, kula neggih saged yen ngaten.‖
Bapakne mangsuli, ―Iya, kabeh uwong iya bisa.
Kowe ngretia: sada iki prelambange awakmu saksedulur.
Yen kowe padha crah, gampang bisamu nemu pakewuh
utawa bebaya, mengkono uga mungsuh, iya gampang bae
yen arep gawe cilakane awakmu sasedulurmu kabeh.
Nanging yen kowe rukun karo sedulur-sedulurmu, angel
bisamu tumeka ing sangsara. Mula eling-elingen ujaring
bebasan: Rukun agawe santosa, crah mahanani bubrah.‖
63
Bawang. Brambang mung ngenak-enak mangan turu bae.
Mbok juru nambang uga duwe anak lanang isih bayi,
jenenge Trasi. Si Bawang penggaweane saben dina umbah-
umbah, nyapu, ngangsu, olah-olah. Yen ora kebeneran
setitik bae diujar-ujari.
Nuju ing sawiji dina Si Bawang olehe ngumbah
popok keli siji, beruke uga keli. Tekan ngomah disrengeni
biyunge, dikon nggoleki maneh sing nganti ketemu. Bawang
banjur bali menyang kali, takon ing panggonane mbah Buta
Ijo. Popok karo beruk ditemu Buta Ijo. Bareng ditembung
sing duwe, Bawang dikon mususi berase dhisik karo
nggawakake mulih. Tekan ing omahe Buta Ijo dikon olah-
olah ing pawon, weruh dandange gembung uwong,
enthonge epek-epek, mangkoke cumplung. Bawang dipek
anak Buta Ijo.
Ana utusane sang nata ing Jenggala jenenge Bancak
karo Dhoyok nggoleki gustine nganggo disranani mbarang
jantur. Lakune suwe-suwe tekan ing gunung Wilis ing
dhangkane Buta Ijo, ditanggap. Bareng wis wengi Buta Ijo
lanang wadon padha arip suwe-suwe keturon. Dewi Ragil
Kuning kondur didherekake Bancak Dhoyok.
64
BAB IV
A. Mantra Kadigjayan
1. Mantra Siyung Wanara
Gebyar sapisan sakehing cahya padha sirna, gebyar
pindho sakehing roh padha sirep, rep sirep sajagade,
kepyar–kepyur si bajul padha lumayu bubar. Lakune
nglowong 3 dina 3 bengi, wiwite dina Setu Kliwon. Mantra
diwaca kanggo nyingkirake baya lan buron banyu kang
galak, sarta uga diwedeni wong akeh.
2. Mantra Panawaran
Niyatingsun dhahar, rowaningsun tapa kang dha-
har. Niyatingsun sare, rowangingsun tapa kang sare, krana
ingsun iki wus kawengku ing alam nasut, Malaekat Jabarut
yaiku kang dhahar, kang sare jagade sahir kabir, cahya
mangan ras, rasa mangan cahya, cahya mulya, rasa
sampurna. Lakune mutih 3 dina 3 bengi, sarta nglowong 3
dina 3 bengi, wiwite dina Jumuah Pahing.Mantra
65
diwacayen arep mamangan, supaya manawa diracun ing
wong, bisa tawar ora tumama.
66
5. Mantra Siluman
Salallahu ngalaihi wasalam, alahuma kulhu allah,
lungguhku imbar, payungku imbar, mimang mimong si
Wisakarma tengahing angin, apipit maya-maya ora katon
apa-apa, kang hima kakalangan petheng dhedhet alimengan
si imbar ngemuli aku, wong sabuwana bloloken ora weruh
aku. Lakune pasa 21 dina, kanane mangan (buka) mung
sapisan sabenjam 12 bengi, yen pasane wis rampung banjur
ngebleng 7 dina 7 bengi, wiwite dina Rebo Pon. Mantra
diwaca yen ana bebaya utawa yen perang. Yen ketrima bisa
ngilang ora diweruhi wong.
6. Mantra Pambukak
Walahumin walaihim mukitum balhuwa kur‘anu
mujidu sakabehing karsane Pangeran ya karepku, ora ana
barang angel ora ana barang ora tumeka, gampang tumeka
kersaning Allah. Lakune mutih 7 dina 7 bengi, ngebleng 3
dina 3 bengi, wiwite dina Kemis Wage, ing dina iku
bancakan jajan pasar lan jenang abang putih, baro-baro.
Mantra diwaca kaping 7, yen katrima bisa mbuka barang
kang tinutup utawa kinunci, sanajana ana sajroning peti
wesi pisan iya bisa mbuka. Patrape sarampung maca donga,
barang mau kasikut nganggo sikute kiwa nuli kadamu ping
3. Insya Allah yen tinarima bisa menga dhewe. Sawise
rampung tirakate banjur dicoba, yen durung katrima,
dibaleni tirakat maneh.
67
B. Aji Jaya Kawijayan
1. Aji Tanggul Balik
Kulhu buntet, badaningsun Kanjeng Nabi panutan,
rasaningsun Rasul, tekeningsun Malaikat, luputa kang den
arah, ambalik marang kang ngarah. Aji Tunggal balik iku
perlu kanggo panulak cabare panggawening mungsuh.
Lakune patigeni 3 dina 3 bengi, wiwite dina Selasa Kliwon,
Aji diwaca ana ing latar ajeg sabenjam12 bengi, sajroning
mumungsuhan.
2. Aji Panglarutan
Simaling sekti roh ilapi ratuningroh kabeh, sira sun
kongkon soroten banyune ratuning rasa, laruten karepe
si.......... (disebut jenenge), aja dibajurake sedya kang ala ora
bener, lemes, cabar, bubar karebe tan dadi. Lakune
nglowong 3 dina 3 bengi, wiwite dina Kemis Wage. Aji
diwaca sakira mungsuh arep nekani, sarta yen arep utawa
wus nindakake pakean.
3. Aji Panglimunan
Bismillahir rahmanir rahim, dat gumilang tanpa
sangkan, gumilang tanpa enggon, liyep ilang salin raga, ina
fatohia lakoratkanmubila, alahumma alip sirolah, sir
Muhammad, sir Abu Bakar, Sir Ngumar, sir Ngali, sir
Jabarail, sir allahailulah Muhammad rasulullah, sir wali, sir
kuwat berkat, sir teguh sir luput, sir ora katon, sirep berkat
68
saking Nabi Muhammad, lailahailalah, hu yahu, anta, anta,
hem, hem, iya iya, hum nasrum hu Allah.
Lakune ngebleng 7 dina 7 bengi, wiwit dina Selasa
Kliwon. Yen wus tutug anggone nglakoni banjur
dinyatakake, yaiku ing wayahesuk pinujusrengenge metu,
ndelenga wawayangane dhewe, yen wewayangane ora
katon, tandha wus tinirima bisa ngilang, yen ijih katon
wewayangane durung tinirima, iku kena dibaleni ngebleng
maneh nganti bisa tinirima. Ajidiwaca yen ana kaperluane.
Yen wus bisa ngilang, ora kena nindakake barang panggawe
kang ora bener. Dene kenane mungkanggo ngalahake
ngapokake mungsuh kang cidra durhaka maring sapa-
padhane.
4. Aji Panglimunan
Ingsun amatek si Ajisaka, ingsun mancik bumine
Allah, ya aku anake Jan Banujan, aku kilat buwana,
sakabehing mungsuh ora padha weruh maring aku, matane
dak tutupi bathok bolu, peteng dhedhet alimengan,
sakehing mungsuh padha cadok cato-cato pala bingung
kersaning Allah. Lakune ngebleng 7 dina 7 bengi, wiwit dina
Selasa Kliwon. Yen wus tutug anggone nglakoni banjur
dinyatakake, yaiku ing wayah esuk pinuju srengenge metu,
ndelenga wawayangane dhewe, yen wewayangane ora
katon, tandha wus tinirima bisa ngilang, yen ijih katon
wewayangane durung tinirima, iku kena dibaleni ngebleng
69
maneh nganti bisa tinirima. Aji diwaca yen ana kaperluane.
Yen wus bisa ngilang, ora kena nindakake barang panggawe
kang ora bener.
5. Aji Panglamporan
Ingsun amatak ajiku si Panglamporan, kangaran
Nabi, Wali, banyu, barat, geni, sira wengakna lawang
suwarga kang tunda pitu, menga mblarat luwar kersaning
Allah. Banjur katerusake matak aji Welutputih, unine,
Ingsun amatak ajiku Welutputih arsa mrocot jroning watu,
mrocot kersaning Allah. Lakune mutih 7 dina 7 bengi
kemulan lawon putih, wiwite dina Selasa Kliwon. Ajidiwaca
sajroning peperangan utwa yen ana bebaya pakewuh.
6. Aji Panawaran
Ingsun amatakajiku si panawaran, ingsun lanang
sejati, ngadeg tengahing tawang, urip langgeng gumantung
tanpa enggon, gumilang tanpa wawayangan, hu ingsun
sajatining suksma langgeng. Sakehing braja tumiba ing
tawang tan tumamam ing badaningsun. Lakune nglowong
7 dina 7 bengi, wiwite dina Kemis Wage, Aji diwaca
sajroning perang, utawa yen ana bebaya pakewuh.
70
kinemulan wesi kuning wesi mekangkang sacengkang
sakilansadempu, sakehing braja tan ana nedhasi, bedhil
pepet mriyem buntu tan tumama kersaning Allah. Lakune
40 dina mung mangan gogodhongan dikulup bumbune
mung uyah, ngombene banyu kendhi, yen wis tutug 40 dina
banjur nglowong 3 dina 3 bengi, wiwite dinan Kemis Wage.
Aji diwaca sajroning perang, nirokake unine sapi sarta
mangan daging sapi.
71
tutug 40 dina, banjur nglowong 7 dina 7 bengi, wiwite dina
Setu Kliwon. Aji diwaca yen campuh perang sarta
ngarepake campuh.
72
12. Aji Balasrewu
Ingsun amatak ajiku balasrewu, kang tapa
guwagarbane siBagaspati, sakabehing widadara widadari,
Malaekat, Nabi, Jim setan peri prayangan wis luluhsarira
tunggal. Sakehing mungsuh ngarep mburikiwa tengen
keblat papat padha kamigilan kaprabawan ajiku si
balasrewu kang mbrubul metu maewu-ewu tan kena pati,
temah pad agiris lumayu bubar sar-saran, iya ingsun atining
bumi. Lakune nglowong 7 dina 7 bengi, turune yen bengi
ana ing tritisan lemek godong gedanag bantal bata, yen
awan kena ana omah, wiwite dina Rebo Pon. Aji diwaca yen
maju perang.
73
ora tumeka, ajur omah ting saluwir tanpa bahya, hu akbar,
hu akbar. Lakune nglowong 7 dina 7 bengi, wiwite dina
Jumuah Paing. Aji diwaca yen mangsah perang, utawa yen
ana rerusuhan.
74
Ing wayah bedug awan, ana ing latar ngadeg
madhep mangidul, mantra, Sentanaku juru gedhong
bambang Bunarbuwana arane kang rumeksa gedhong ing
jagad kidul, bukaken gedhongku kang isi busana wastra
sapanunggalane ingsun arep nganggo. Ing wayah sore
mbarengi suruping srengenge ana ing latar ngadeg madhep
mangulon, mantra, Sentanaku juru gedhong Nurkencana
remeng arane, kang rumeksa gedhongku ing jagad kulon,
bukaken gedhongku kang isi kencana mulya lan kang sarwa
picis sapepake ingsun arep nganggo.
Ing wayah bedhug bengi ana ing latar ngadeg
madhep mangalor, mantra, Sentanaku juru gedhong
Srikolem arane, kang rumeksa gedongku ing jagad lor,
bukaken gedhongku kang isi sawarnaning pangan kang
bangsa pari, palagumantung, palaka pendhem, pala-
kasimpar, bangsaning iber-iberan, kewan belehan lan
sarupane iwak loh ingsun arep bujana, ayo, ayo, ayo enggal
enggal padha tumandhanga, saben Kliwon pada teka
babarengan nggawa sakabehing kabutuhaningsun. Banjur
temenga mandhuwur karo muni: bapa akasa, nuli
tumungkul mangisor, muni: ibu pertiwi, nyuwun bantu.
Lakune pasa 40 dina, kenane mangan mung sapisan saben
jam 12 bengi, wiwite dina Kemis Wage. Sabanjure saben
bengi tumindak mangkono iku, dadi turune sawise jam 12
bengi, puwasane mung cukup 40 dina bae.
75
2. Mantra Sowan Ratu Gustine
Niyatingsun ngukup madah jayaning ratu, winadah-
an cupu kencana mulya, Adam sumingkir, Muhammad
teka, Allahwis ana kene. Lakune mung setya tuhu
marangratu gustine, mantra diwaca ana ing pasowanan.
76
paturon. Mantra diwaca saben jam 12 bengilan bangun
esuk.
5. Mantra Panyuwunan
Sallahu ngalaihi wasalam, sallalahu ngalaihi
wasalam, sallalahu ngalaihi wasalam. Gusti Allah kang
maha agung, maha luhur, maha suci, mugi Pangeran
nyembadanana pinuwunan kula, kula nyuwun ......
(disebutake panyuwune). Sallahu ngalaihi wasalam, sallahu
ngalaihi wasalam, sallahu ngalaihi wasalam. Lakune
sadurunge tinekan karepe, yen turu sawise jam 12 bengi ana
tritisan. Mantra diwaca ana ing latar, yen esuk madhep
mangetan, bedhug awan madhep mangidul, mahrib
madhep mangulon, bedhug bengi madhep mangalor.
77
6. Mantra Pameling
Allahu zat, allahu sifat, allahu asma, Allahu afgal,
Allahu sidik, roh kudus,roh ilapi, roh sira rohingsun
rohingsun dhewe Si ........ sebutna jenenge) tekaa enggal
katemu aku. Lakune oran mangan ujah 40 dina, wiwite
dina rebo Pon. Mantra diwaca mbarengi pleteking
srengenge, ngadhepake prenahe omahe wong kang
diundang supaya teka.
78
sadina sawengi, wiwite dina Jumuah Pahing. Mantra
diwaca kaping 5000 saben arep mapan. Mantra panulak
tenung tuju layar.
4. Mantra Durgateluh
Allahuma durgateluh bolak-balik kasumpet, mara
ngetan, pepet, ngidul sumpet, karsaning Allah ana tengah
dheleg-dheleg ngedeprek bingung kami tenggengeng. Laku
79
ngebleng 7 dina 7 bengi, wiwite dina Jumuah Kliwon
mantra diwaca yen adhep-adhepan karo mungsuh arep
perang.
5. Mantra Panglarutan
Raga sukma rasa diluwih, aja pepeka sirasun
kongkon lolosana otot banyune mungsuhku kabeh, elingna
utawa ilangna sedyanane anggone memungsuh karo ingsun
iki, nglemprek keder larut saparan-paran ninggal paprang-
an kersaning Allah. Lakune patigeni 3 dina 3 bengi, wiwite
dina Setu Kliwon. Mantra diwaca sajroning peperangan.
80
7. Mantra Pralambang Dhiri
Ingsun muja pupujaningsun, sarining bumi,
sarining banyu, sarining angin, ingsun racut dadi salira
tunggal, amora kumandhang suwaraningsun, manjinga
cahyaningsun, dadia paninggalingsun, daya pangrungu-
ningsun, lepas panggandaningsun, rame wicaraningsun, ya
ingsun manungsa sajati, gustine manungsa kabeh, rep sirep
tan ana wani maringsun. Lakune ngebleng 3 dina 3 bengi,
wiwite ing dina Setu Kliwon. Mantra diwaca yen adhep-
adhepan lan mungsuh, utawa yen kumpulan lan wong akeh.
81
9. Mantra Prabawa
―Bismillahir rahmanir rahim, ka adama sumingkir
kaolah wis ana kene, kul ndhekukul si jabangbayine..........
(disebutake jenege) kaya kebo dhungkul tanpa bahya, si
dhungkul anggaru maluku pasawahanku.‖ Lakune ngebleng
7 dina 7 bengi, wiwite dina Rebo Pon. Mantra diwaca yen
wis adhep-adhepan lan yen lawane yen ngrembug prakara
negaralan wong manca, utawa yen sowan ratu.
82
Pahing. Mantra diwaca yen wis adhep-adhepan lan
mungsuh.
83
1. Doa Derajat Kecantikan
Pitung dina ora kena mundur. Iki dongane,
―Darajatku kang durung diparengake, Gusti Allah maring-
ake saka lor, wetan kidul, kulon, ngisor, duwur, wus
katampan dening Roh rabani.‖
84
angumpulake banyu pitu, lakune banyu kang abang banyu
rahmat,kangireng banyu nugraha, kang kuning banyu
nikmat, kang dadu banyu suwarga, kang biru banyu urip,
urip donya urip akherat, prelu krana Allah.‖ Yen dina Kemis
dongane, ―Niyatingsun adus ing dina Kemis, ing banyu
kama-wulan, ancik-ancik watu gilang, alungguh ing sela
kembar, ingsun angumpulake sadulurku papat lima badan,
nem roh, pitu nyawa, prelu krana Allah.‖ Yen dina Jumuah
dongane, ―Niyatingsun adus ing dina Jumuah, oh, Allah
manikku, Muhammad badanku, ingsun angrawati sakehing
cahya, cahyaning lintang, cahyaning rembulan, cahyaning
srengenge, mustikaning Allah ana kene, iya aku kang
jumeneng roh idhafi kang ngratoni sakalir, prelu krana
Allah.‖
5. Panyuwun Sabarang
Jam 4 esuk diapalke madhep mangaten ping 33,
mangidul ping 33, mangulon ping 33, mangalor ping 33.
Lakune ora mangan iwak, uyah, sega, iki dongane,
―Bismillahir rahmanir rahim, subkhanallah ilaha qulli sai in
qodir, wahuwa lisuhu, wahuwa sirruhu, wahuwa rijkuhu
85
birahmatika ya arhamarrahimiin.‖ Saben esuk madhep
mangetan, sore madhep mangulon, iki dongane, ―Sallallahu
alaihi wasalam.‖ Ping 3. Gusti kang Maha Agung Gusti Kang
maha Luhur, Gusti Kang Maha Suci Gusti Allah kaparenga
panyuwun kawula diedanana dening kun.‖ Kawaca ping 3.
Marang tabik-tabik Kanjeng Sunan Kalijaga, kanggo
sabarang karep, lakune mutih pitung dina, yen mangan
ketan 40 dina, yen wayah bengi ana jaba sarana dedupa
macaa ―Kun payakun nyuwun saking kun.‖ Tumuli
ngapalake Allahumma sirhu ping 100, Sifat Allahu ping
100, Wujud Allahu ping 100, Darajad Allahu ping 100,
Rijquhu ping 100.
Lakune mangan gandum lan wedang bubuk pitung
dina ana jaba, sawengi adus ping telu, yen arep adus mawa
dedupa sarta pujine, ―Dremba muha keblat lamat-lamat
ngetoko aku, Kyai Sumberagung kula nyuwun rejeki kang
agung. Kun payakun, nyuwun ........ saking kun. Allahumma
mangkurat ya aku kang sinung kuwat, ya aku kang sinung
darajat, ya aku kang sinung supangat, ya aku kang sinung
sugih donya, sugih saking karsane Allah.‖
Marang leluhure dhewe iki dongane, ―Sirkumaya,
kumayane simbah (eyang saliyan kang sumare ana
pasareyan ........... or katon, kang katon sajatining urip, urip
tan kenane pati, langgeng tan kenane owah, mulya ora
kewoworan, kula nyuwun ...........‖ Lakune pasa Senin
Kemis, iki dongane, ―Wit iman babakan mertokhim, pang
86
kalima pancer, gedhong dina Senin Kemis woh paji lan
dhikir Allah sing dak sedya, tek gampang, gampang teka
ngarepanku, teka saking karsane Allah.‖
7. Pangrereman
Iki dongane, ―Kitab agung isine aksara ba‘, karepe
sing ala si anu ba‘, ba‘ saking karsane Allah, Allahumma ba‘
pasar, sawan wurung ba‘ bubar ba‘, warung ba‘ bubar ba‘.‖
Lakune ngebleng telung dina telung bengi, iki dongane,
―Baga-baga, kaprusa-kaprusa, sira baga ratu tunggal anut
sapa sira, yen ora anut aku.‖
Lakune kungkum ana ing kali, iki dongane, ―Kang
Maha Suci, kang jumeneng ing Gunungjati kaparenga
panyuwun kula. Kakang kawah kang rumeksa awak-mami,
tekakna sedyaku, adhi ari-ari kang mayungi ngenakake
pangarah, ponah getih ing rahina wengi rewangan aku,
Allah kang kuwasa, kaparenga panyuwun kula, puser
turutana panjalukku, papat kalima pancer kang lair bareng
sadinaa sing metu marga ina, sing ora metu marga ina sing
karawatan, kumpul ingsun ora pisah.‖
4. Mantra Kutug
―Sih lumintu, rejeki aja towong, jisim alus, roh alus
kang ikal bakal, kang cikal bakal ing ......., ingsun asung
dhahar ganda arum,ingsun ngobong dupa, menyan madu,
areng sejati, areng menyan kayu manuk putih, kukusing
87
menyan sira sun-kongkon marang swarga, seger kuwarasan
padhanging ati, aja sira nyimpang marga, yen nyimpang
marga kena supatane Kanjeng Nabi Adam, Gusti Allah,
kawula nyuwun wilujeng.―
7. Mantra Sorabat
―Ingsun amuji puji donga serabat, simbar
Muhammad pinayungan Nabi Dawud, andhawut sakehing
lara, andhawut sakehing dosa, andhawut sakehing rindu,
rindu aja ngrindu marang badanku, aja ngrindu anak
88
putuku, sinampar bubar, sinandung lebur, musna ilang dadi
banyu kungkulan dongaku serabat.
8. Mandekake Ujar
Lamun arep mandi ujare, iki ismune, ―Sumulung
jatine tunggal, nu tunggal ora karsa, nu tunggal ora
ngandika.‖ Dongane wong srengen, darapon kamitengge-
ngen kang den srengeni, iki dongane, ―Lamaujuda illallah.‖
Winaca kaping telu.
9. Upas-upasan
Iki ismune kang winaca, ―Rasa jati rasa Allah, mulya
jati mulya Allah, e ana upase, sarwi dariji tengah punika
kadumukaken kangbadhe dhinahar.‖ ―Ya rahum ya rahuna
ya rihanun ya alimun.‖
89
dadi saciptaningsun, ana sasedyaningsun, teka sakarsa-
ningsun.‖
90
iblies-sa‘tani fitdhulumati wannur rabana takabal Sulaiman
birahmatika ya arhamarrahimien.‖
91
dongan iki, aja nganti putus-putus nganti teka ngliwati
panggonan iku, iki dongane,
―Allahumma anta awwalu, falaisa qobalaka syaiun
wa antaakhiru fawa antal aliemu innaka ala kulli syiin
aliem, wa antal qodiru innaka ala kulli syaiin qodhier, wala
yaudhuhu ibdhuhuma wahuwal aliyul adhiem fallahu
khoirunkhhafidon min kullii syaitonin maried wa khafidna
min kulli syaitonirrojiem, wa khifdon dhalika takdirul azizil
aliem, innahu huwa yaubdiu wa yu‘it, wa huwal ghofururul
wadhut, dul arsil majied fak alullimayuried, illahi wakhtiem
lana bikhoiri waya khaeran naasirien.‖
92
mustakiem wa anta alaa kulli syain khafid. Inna
waliyyalllahu ladhie nazzalal kitaaba wa huwa yatawallas
solikhien, fain tawallau fakul khasbiyallahu lailaha illa
huwaallahi tawakkaltu wahuwa rabul arsil adhiem.‖
93
3. Puji Teguh Rahayu
Iki pujine yen mangan tawa sakalir, teguh rahayu,
sakawit yen lepas arep madhang, muji mangkene, ―Mung
Allah anglilanana, anggen kula mangan kamurahaning
Allah.‖ Nunten njimpit sekul dinenek sakiwaning ajang,
nyebut, ―Maelkat Kiraman Katibin, ayo mangan.‖ Lajeng
njimpit sekul malih, dinenek satengahing ajang , nyebut,
―Sadulur kang maratapa ayo mangan.‖
Lajeng muluk sekul thok rambah kaping telu,
punika pujine, ―Bis teguh, mil luput, lah ora katon.‖ Lajeng
dhahar, muji punika, ―Bismillahi aal rohmani al rahim.‖ Yen
ngunjuk punika pujine, ―Allah alhamdulillahi robil
alamien.‖
94
6. Pujine Yen Kepegatan Tresna
Yen kepegatan tresna, iki pujine, Sang Teng malang
atikel, dosaku sawidak windu, sanapura dening Allah.
95
10. Donga Kayu Angker
Iki dongane kang winaca. ―Bismillahir rahmanir
rahim, kulatu sungsang, rajah iman kedhungku, Jabarail
tetekenku, jungkat Nabi Muhammad, la ilaha illallah
Muhammadur Rasululah.―
96
13. Mantra Betah Melek
―Biyung, aku njaluk padhang, aku ora duwe,
bapakmu sing duwe, byar padhang mencorong saking
karsaning Allah.‖
1. Nukat Gaib
―Bismillahir rahmanir rahim. Ingsun wis tanpa
paningkahe rasa jati, kaanane Pangeran.‖
97
saking karsaning Allah, lailaha illallah Muhammad
Rasulullah.‖
98
jrone mripatku Muhammad.‖ Sarana kapandeng tengahing
manik.
8. Dina Neptu 40
Lamun bakal ora kekurangan rezeki, lakune sesirik
ora mangan sega ing dalem telung dina neptu 40 rambah
kaping 6 demikianlah bunyi mantranya, ―Ya Allah ya
Ghafur ya Allah ya Karim.‖
99
Hardiyati, 1991: 13-14). Ungkapan tersebut berguna untuk
menjadi tuntunan kehidupan sehari-hari.
100
BAB V
A. Ilmu Laduni
Ramalan adalah wejangan yang disampaikan oleh
pujangga waskita, berpengetahuan ilmu laduni (dianuge-
rahi pengetahuan langsung datang dari Tuhan) sehingga
dapat merala dengan tepat berbagai peristiwa-peristiwa
yang akan terjadi pada masa mendatang dan belum terjadi
pada saat menyusun naskah itu (+ 1850). Ramalan tersebut
adalah sebagai berikut : Ramalan pertama mengandung
prakondisi globalisasi dunia, pendudukan Jepang, perang
kemerdekaan, pertempuran Ambarawa, dan tercapainya
kemerdekaan Indonesia lewat KMB pada tanggal 27
Desember 1949.
Ramalan kedua (pascakemerdekaan) ialah peru-
bahan politik dahsyat yang akan terjadi pada tahun 2074
Saka, 100 tahun setelah Perang Sabil, ternyata adalah
perubahan politik yang dahsyat yang terjadi pada tahun
1998, yaitu 90 tahun setelah Kebangkitan Nasional 1908,
dan turunnya Soeharto sebagai Presiden serta dimulainya
era reformasi yang akan membangun masyarakat yang adil
101
dan makmur sesuai dengan cita-cita Pancasila dan UUD
1945 (Yoedoprawiro, 2000).
Terlepas dari sumber kisah yang mana, serta siapa
sebenarnya penyusun ramalan-ramalan itu, sosok Ratu Adil
yang digambarkan di dalam berbagai versi di dalam kisah
ramalan itu memiliki kemiripan ciri-ciri yang sangat tepat
jika hal itu dimiliki oleh seorang pemimpin bangsa yang
sudah berada di ambang kehancuran ini. Husein
Djayadiningrat mengatakan, bagi orang Jawa, menunjuk
pada peristiwa-peristiwa penting dalam bentuk ramalan
atau mimpi adalah untuk menjelaskan atau memberikan
pembenaran atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar
perkembangan yang biasa; juga untuk memberikan kesan
yang mendalam. Karena itu ramalan-ramalan mengenai
peristiwa yang akan terjadi tampil tidak lama setelah
kejadiannya sendiri (Swantoro, 2000).
Suatu contoh, dalam Kitab Pararaton. Ken Arok
memperistri Ken Dedes, karena wanita itu diramalkan
sebagai ardhanariswari, seorang perempuan yang gua
garbanya bersinar, suatu pertanda bahwa ia adalah paro
perempuan dari satu kesatuan Siwa Durga. Siapapun yang
berhasil memperistri ardhanariswari akan menurunkan
raja-raja. Maka di kemudian hari, kita ketahui bahwa Ken
Arok telah menurunkan sebagian raja-raja Singosari,
termasuk Raden Wijaya, pendiri Majapahit (1294-1309).
102
Contoh lagi, dalam Babad Tanah Jawi. Ketika
Panembahan Senopati pendiri Dinasti Mataram sedang
berupaya melepaskan diri dari kekuasaan Pajang, pada
suatu malam ia pergi ke Lipuro dan tidur di atas sebuah
batu datar. Di tempat itulah ia dijumpai oleh Ki Juru
Martani, guru spiritualnya. Ia dibangunkan. Ketika itu pula
sebuah bintang turun di dekat kepalanya. Maka terjadilah
dialog. Si bintang berucap, keinginan Senopati akan
diluluskan oleh Hyang Maha Kuasa. Ia akan memerintah
Mataram, demikian pula anak dan cucunya. Akan tetapi
buyutnya akan menjadi raja terakhir Mataram. Kerajaannya
akan ditimpa bencana. Buyut itu tidak lain adalah
Mangkurat I, putra Sultan Agung. Ia terpaksa meninggal-
kan Mataram pada 28 Juni 1677, akibat pemberontakan
Trunajaya. Setelah peristiwa itu, kraton dipindahkan oleh
Mangkurat II ke Wonokerto yang kemudian diubah
namanya menjadi Kartosuro (Swantoro, 2000).
Babad Tanah Jawi juga meriwayatkan Pangeran
Pekik, putra Pangeran Surabaya melakukan perjalanan ke
Mataram setelah Surabaya ditaklukkan oleh Sultan Agung
pada tahun 1625. Pada suatu malam di pemakaman Butuh,
ia mendengar suara yang mengatakan cucunya akan
menjadi raja dan bertahta di Wonokerto. Cucu Pangeran
Pekik itu adalah Mangkurat II. Ramalan tersebut sekaligus
juga merupakan pembenaran dipilihnya Wonokerto sebagai
ibukota baru Kerajaan Mataram.
103
B. Ratu Adil
Sedangkan mitos tidak bisa dipisahkan dalam
sejarah hidup orang Jawa. Kisah Kanjeng Ratu Kidul
misalnya, yang istananya berada di Laut Selatan, dan
menjadi permaisuri raja-raja Jawa, umumnya dipandang
sebagai mitos. Pengertian tersebut bagi kalangan masyara-
kat Jawa dianggab benar-benar ada dan terjadi. Banyak
yang menunjukkan bukti-bukti pengalaman pribadi. Bagi
mereka Kanjeng Ratu Kidul dianggap benar-benar
mewujud.
Harapan bakal tampilnya Ratu Adil untuk membe-
baskan masyarakat dari situasi krisis yang berkepanjangan,
bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk mitos (Swantoro,
2000). Harapan mesianistik itu mengalir langsung dari ide
mengenai fungsi raja, atau Ratu Adil sebagai pembaharu
dan penyelenggara tertib kosmik. Dukungan yang sangat
besar terhadap Pangeran Diponegoro pada tahun 1825-
1830, yang ―memitoskan diri‖ sebagai herucakra, sebutan
untuk Ratu Adil, tidak lepas dari kuatnya harapan
mesianistik tersebut. Demikian pula sama halnya dengan
harapan akan tampilnya satria piningit pada masa
sekarang ini, untuk membebaskan dan mencerahkan
bangsa Indonesia.
Dari sebutannya, Ratu Adil dapat ditafsirkan
sebagai seorang yang mampu menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Ratu Adil juga pasti mampu menjadi pelindung
104
atau pengayom dari seluruh rakyat tanpa membedakan
golongan, tanpa keberfihakan kecuali hanya berfihak
kepada kebenaran hakiki yang bersifat universal. Dengan
ciri ini maka sulitlah kiranya jika Ratu Adil ini berasal dari
salah satu kelompok kepentingan yang dibesarkan oleh
kelompok kepentingan itu. Hal ini wajar karena seorang
yang dibesarkan oleh suatu partai, tidaklah berlebihan jika
sudah berkuasa juga akan memberikan balas budi kepada
partai yang membesarkannya. Apa lagi jika partai itu juga
dibesarkan oleh sekelompok pengusaha atau sekelompok
kepentingan, maka pasti akan terjadi proses balas budi
secara berantai yang merupakan pintu terjadinya kolusi,
manipulasi, korupsi, dan nepotisme.
Di dalam ramalan Joyoboyo, Ratu Adil juga disebut
sebagai Ratu Amisan. Sementara orang menafsirkan Ratu
Amisan adalah sosok pemimpin pertama, sehingga ada
yang menafsirkan bahwa Ratu Amisan itu adalah presiden
pertama. Namun tafsir itu kandas ketika banyak orang
mulai kecewa dengan presiden pertama.
Kata amisan sebenarnya lebih tepat ditafsirkan
sebagai pemimpin yang benar-benar baru tampil, sehingga
belum terkontaminasi dengan sistem percaturan bisnis
politik yang sarat dengan berbagai siasat kotor demi
kepentingan kelompok dan kekuasaan. Di dalam bagian
lain ramalan juga disebutkan lagi adanya ciri bahwa Ratu
Adil itu adalah satriya piningit (ksatria yang tersembunyi)
105
yang dapat ditafsirkan sebagai tokoh baru bagaikan tunjung
putih semune pudhak kasungsang/pudhak sinumpet
(tokoh yang masih bersih, yang keindahan perangainya
bagaikan bunga teratai putih yang wanginya seperti bunga
pandan yang masih tersembunyi).
Kata amisan dapat pula diartikan sekali (sepisan)
memimpin. Oleh karena itu kata amisan mengandung
makna bahwa sang ratu adil itu bukan sosok yang tamak
atau haus akan kekuasaan. Ciri ini mengisyaratkan bahwa
seorang ratu adil itu tidak akan berjuang menghalalkan
berbagai cara hanya untuk sekedar mempertahankan atau
melanggengkan kekuasaannya.
C. Pemimpin Kharismatik
Pemimpin kharismatik dalam budaya Jawa kerap
dibayangkan sebagai tokoh Ratu Adil. Ratu Adil itu juga
seorang yang mampu sebagai manajer profesional negara.
Ciri ini nampaknya yang sering disebut-sebut sebagai
natanagara. Natanagara itu bermakna menata, mengatur,
mengelola negara secara adil dan bertanggungjawab.
Natanagara bukan berarti menguasai negara, apalagi kalau
kekuasaannya itu hanya untuk mengambil keuntungan dari
negara demi partai, kelompok kepentingan, atau para
pengusaha yang mendanai sang pemimpin atau partainya
itu. Natanagara itu adalah sosok yang mampu mengelola,
menyelaraskan, serta mempersatukan keberagaman go-
106
longan, kepentingan dan tingkatan sosial masyarakat
sehingga semua kebijakannya akan memuaskan semua
lapisan, sehingga dapat dikatakan bahwa wadya punggawa
sujud sadaya, tur padha rena prentahe ( semua fihak taat
serta merasa puas terhadap kebijakannya). Dengan
demikian secara nalar sulitlah kiranya jika seorang Ratu
Adil ini masih terlibat secara langsung di dalam salah satu
partai, apa lagi menjadi ketua atau penanggungjawab akan
jatuh bangunnya partai itu.
Kepiawaiannya mengelola negara menyebabkan
semua rakyat tidak merasa terperas tenaganya dengan
beban-beban pajak, yang di dalam Serat Joyoboyo Musarar
juga disebutkan bahwa wong desa iku wedale kang duwe
pajek sewu pan sinuda dening narpati mung metu satus
dinar (orang desa/rakyat biasa yang berpenghasilan
terkena pajak seribu, diturunkan pajaknya oleh sang raja
menjadi seratus), bukan malah dinaikkan beban-bebannya
di satu fihak untuk menutup kerugian negara akibat orang
kota alias para konglomerat nakal. Semua kekayaan serta
potensi persada tanah air dikelola dengan baik oleh negara
untuk kemakmuran rakyat, bukan diprivatisasi demi kepen-
tingan konglomerat yang mau diajak saling bersepakat, dan
bukan pula untuk kepentingan asing yang dapat memberi-
kan restu memperkuat kekuasaannya.
Ratu Adil Natanegara tidak merasa malas dan juga
tidak terlalu bodoh ataupun ceroboh di dalam melakukan
107
pengelolaan negara secara profesional, sehingga tidaklah
mungkin menyewakan, menggadaikan, melelang atau men-
jual aset-aset negara demi komisi untuk kepentingan
pribadi, partai, kelompok kepentingan atau kroni-kroninya.
Salah satu versi ramalan menyebut Ratu Adil itu
dengan sebutan Herucakra yang berarti payung musti-
ka/lambang pengayoman, persaudaraan, serta pelayanan.
Sang Herucakra ini hanya berpenghasilan tujuh ribu reyal
per tahun. Penghasilan yang sangat terbatas ini mengisya-
ratkan bahwa sang Herucakra tidak mungkin menempuh
money politic untuk mencapai tahtanya.
Dari berbagai ciri yang tersebar di dalam berbagai
versi ramalan tersirat bahwa di dalam sosok Ratu Adil itu
bersemayam keterpaduan serta keselarasan jiwa atau ruh
panca pa manunggal (lima pa yang bersatu), yaitu
Pandita, Pangayom, Panata, Pamong, Pangreh (pendeta,
pelindung, manajer, pelayan, dan pemimpin).
Sebagai pendeta, seorang pemimpin harus bertakwa
kepada Tuhan Yang Mahaesa, jujur dan bersih dari moral,
sifat serta perilaku buruk. Sebagai pengayom, seorang
pemimpin harus mampu melindungi serta mengayomi
seluruh lapisan masyarakat. Sebagai manajer, seorang
pemimpin harus mampu mengelola negara. Sebagai
pelayan, seorang pemimpin harus mampu mengakomodasi-
kan kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Sebagai
108
pemimpin, seorang pemimpin harus memiliki kewibawaan
dan jiwa kepemimpinan yang baik.
109
BAB VI
Membahas
Nasehat Keutamaan
A. Taat Beragama
Agama ageming aji
Agama pakaian raja.
Agama adalah dasar kekuasaan raja Jawa. Raja
memerintah berlandaskan agama. Maka para sultan dan
sunan Jawa bergelar Ngabdurrahman Sayidin Panata
Gama Khalifatullah. Agama menjadi pedoman hidup yang
tak ternilai. Rakyat atau kawula dasih di Jawa mengikuti
apa agama rajanya. Ketika Kerajaan Majapahit yang
berkuasa di Jawa, maka orang Jawa beragama Hindu-Buda,
sesuai agama rajanya. Namun, orang Jawa serta merta
memeluk agama Islam sejak Kerajaan Demak berdiri dan
diteruskan Kerajaan Pajang dan Mataram.
110
Tidak baik memamerkan kecantikan tanpa
imbangan kemampuan lain, misalnya kepandaian dan
kesalehan. Wanita cantik apabila budi pekertinya yang baik,
akan luntur di mata lelaki. Kecantikan wanita akan luntur
di mata lelaki apabila tidak pandai bergaul dan tidak
terampil dalam ngadi busana ‗berdandan‘.
111
Aja dumeh sugih banjur semugih.
Jangan mentang-mentang kaya lantas sok kaya.
Orang kaya yang bermewah-mewah membuat orang
miskin sakit hati. Menyombongkan kekayaan menjadi tidak
bijaksana. Sebaliknya, kekayaan harus dijaga dengan
perilaku rendah hati, keshalihan dan kedermawanan agar
kekayaan itu berkah dan halal. Kaya yang sesungguhnya
adalah kaya hati. Orang kaya yang sesungguhnya adalah
orang yang suka memberi.
Aja gumunan.
Jangan mudah terkagum-kagum.
Kehidupan dunia ini beraneka ragam. Mudah
terkagum-kagum dengan suatu hal yang baru, menyebab-
kan kita akan mudah terperdaya. Aja gumunan kaya kethek
mlebu kutha. Jangan mudah terkagum-kagum seperti kera
masuk kota. Orang yang gumunan akan mudah tergoda dan
tidak waspada.
Aja kagetan.
Jangan mudah terkejut.
Mudah terkejut ketika menerima berita, melihat
sesuatu yang menakjudkan, atau melihat suatu kejadian
membuat jantung berdetak keras. Orang yang mudah
terkejut, akan terlihat jelas kurang matang ilmu jiwanya.
Sebaliknya, perlu membaca masa depan dan melihat
112
berbagai kemungkinan yang akan terjadi, sehingga segala
sesuatu menyangkut diri kita dapat kita ketahui dan
kendalikan.
113
Aja nggugu karepe dhewe.
Jangan berbuat sekehendak sendiri.
Manusia hidup bergandengan tangan dengan
manusia lain. Rantai kehidupan menyambungkan setiap
manusia dengan lainnya. Karena itu, semestinya kita selalu
berempati dan bersimpati terhadap orang lain. Wujudnya
ialah tenggang rasa, memperhatikan pikiran dan perasaan
orang lain serta berani melihat suatu persoalan dengan cara
pandang orang lain.
114
tidak sensitif terhadap penderitaan orang lain. Sebaliknya,
orang Jawa mengajarkan agar kita suka berpuasa dan
berprihatin agar indra menjadi awas lan eling.
Aji mumpung.
Ilmu mumpung.
Menyalahgunakan kesempatan untuk kepentingan
pribadi. Misalnya mumpung punya kekuasaan mengatur
anggaran negara lantas korupsi dan manipulasi. Senyam-
pang menjadi pejabat yang berwenang lantas menindas
rakyat. Sebaliknya, kekuasaan dan jabatan wajib digunakan
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Contoh lain
adalah mumpung tidak ada pengawasan yang ketat lalu
nekat, mumpung tidak ada aturan yang jelas lalu nerabas,
dan sebagainya. Integritas atau track record kita akan
terbangun dengan kejujuran pribadi dan dedikasi yang
tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.
115
an, maka belajar bercakap yang baik adalah syarat utama.
Diam adalah emas kata peribahasa, namun kadang kala
diam adalah mala petaka. Sebaliknya, berbicara adalah
emas, namun kadang kala juga karena berbicara akan
celaka. Ada waktu, tempat, suasana, kepentingan, dan
sebagainya yang perlu dipertimbangkan ketika seseorang
akan berbicara.
Akal okol.
Akal dan tenaga.
Manusia dikaruniai kekuatan akal pikiran. Akal
pikiran itu perlu digunakan semaksimal mungkin. Akal
pikiran dan fisik merupakan sarana perjuangan hidup
setiap manusia. Dengan kombinasi kedua potensi ini, cita-
cita setinggi apapun akan bisa tercapai, meskipun
mengeringkan samudra dan merobohkan gunung.
116
Alelungan datan kongsi bebasahan kaselak kam-
puhe bedhah.
Bepergian belum sampai mencapai tujuan, belum-belum
kainnya sobek.
Perlambang tragedi politik di Kraton Demak (1478
– 1533). Sultan Demak membawa misi mendakwahkan
Islam belum sampai tuntas dan mencapai kejayaan, keburu
Sultan Trenggana mati syahid dan kerajaannya bubar. Misi
mengislamkan tanah Jawa belum tuntas. Namun kekuatan
utama yang disimbolkan dengan kampuh sudah bedhah
atau sobek. Kekuasaan kenegaraan Demak, robek setelah
Sultan wafat, sementara para pewarisnya saling berebut
tahta. Tiga kubu yang berebut kekuasan Demak adalah Arya
Penangsang di Jipang – Blora, Jaka Tingkir di Pajang, dan
Pangeran Prawata di Kota Demak. Ketegangan ini berakhir
dengan naik tahtanya Jaka Tingkir menjadi Sultan Pajang
dengan gelar Sultan Hadiwijaya.
Alon-alon kelakon.
Pelan-pelan selamat.
Bekerja bertujuan dua hal, yaitu sukses tercapai
maksudnya dan diri kita selamat. Prinsip bekerja menurut
orang Jawa yakni tepat cara kerja dan tepat waktu. Tepat
cara kerja artinya sungguh-sungguh dan tidak sembarang-
an, tepat waktu artinya tidak terburu-buru dan tidak
berlambat-lambat. Jika dalam keadaan genting harus
117
memilih, maka orang Jawa memilih pelan-pelan asal
sempurna.
B. Keadilan Sosial
Ambaudhendha nyakrawati.
Merengkuh dan menggenggam dunia.
Kekuasaan seorang pemimpin atau raja adalah
menjadi pengayom dan pengatur dunia. Karena tugas raja
Jawa yang besar itulah, maka ia diberi kekuasan yang
amurba amasesa wong sanegari. Untuk bisa memimpin
dengan benar, maka orang Jawa memberikan kekuasaan
raja secara mutlak, gung binathara ‗besar seperti
kekuasaan dewa‘. Kekuasaan menurut orang Jawa adalah
tunggal sebagaimana Tuhan itupun tunggal.
118
Sikap adil dan bijaksana dalam menghadapi
persoalan hidup, apalagi yang berkaitan dengan orang lain.
Seorang pemimpin secara cerdik dan cerdas menentukan
prioritas atau mengutamakan hal-hal yang lebih penting
bagi kesejahteraan dan kepentingan umum. Pemimpin
bertugas memberi ganjaran kepada yang berjasa dan
menghukum kepada yang berdosa.
119
Orang Jawa sangat sopan dan santun kepada
leluhur, karena tanpa adanya leluhur diri kita tidak akan
ada. Sering diucapkan ketika orang Jawa memasuki suatu
daerah baru yang belum dikenalnya. Filsafat ini merupakan
mantra ketuk pintu dan sekaligus sebagai donga tulak atau
doa penolak dari segala macam mara bahaya.
120
kabeh. Artinya mati satu mati semua, mulia satu mulia
semua.
Andhap asor
Rendah hati.
Sifat rendah hati dan lapang dada. Orang yang
rendah hati akan disukai orang banyak sehingga banyak
pula saudaranya. Sebaliknya sikap sombong berarti
mengusir para sahabat kita, meskipun sahabat yang paling
kental.
121
tubuh manusia yakni: kedua mata, kedua telinga, dua
lubang telinga, ditambah mulut, kemaluan dan anus.
Sembilan lubang ini sangat penting bagi manusia. Tujuh
lubang di kepala merupakan indera yang sangat penting,
sebagai alat komunikasi dengan dunia luar.
Asta brata.
Delapan ajaran.
Delapan butir ajaran tentang kehidupan dan
kepemimpinan, sesuai filsafat bumi, air, api, angin,
matahari, bulan, bintang dan awan. Bumi sabar, air tenang,
api memberi semangat, angin dinamis, matahari memberi
keadilan, bulan menyejukkan, bintang rendah hati, dan
awan merahmati.
122
Ayu hayu rahayu.
Baik, selamat, sejahtera.
Harapan, doa atau cita-cita agar mendapat
kebaikan, keselamatan dan kesejahteraan dalam menjalani
hidup. Hidup tanpa keselamatan adalah celaka, hidup tanpa
kebaikan adalah hina, dan hidup tanpa kesejahteraan akan
sengsara.
123
sebagai sipat kandel. Kerajaan Jawa dianggap sah jika
memiliki simbol-simbol ini.
124
Ber budi bawa leksana.
Penuh rasa keadilan.
Ber budi bawa leksana adalah orang yang
bijaksana, baik hati, adil dalam memandang dan memutus-
kan persoalan. Kebijaksanaan sangat penting artinya bagi
seorang pemimpin. Kehormatan dan kehinaannya
tergantung pada nilai kebijaksanaan yang ditaburkannya
pada masyarakat yang dipimpinnya.
125
sebagainya. Sedangkan bobot adalah faktor kesiapan
material untuk memulai langkah meniti hidup baru.
126
Anjuran berpuasa dan berprihatin dengan
mengurangi makan dan tidur. Terlalu banyak makan dan
tidur membuat kita menjadi malas dan tidak sensitif
terhadap kehidupan. Sebaliknya, orang Jawa mengajarkan
agar kita suka berpuasa dan berprihatin agar indra menjadi
awas. Sikap cegah dhahar lawan guling ini merupakan
tahab awal untuk bisa mendalami jagad batin orang Jawa,
127
Digdaya tanpa aji.
Digjaya tanpa ajian.
Digdaya tanpa aji adalah orang yang sakti
mandraguna tanpa harus memiliki ajian, jimat, atau benda-
benda keramat lainnya. Ia dapat menaklukkan lawan bukan
dengan kekerasan tetapi justru dengan kasih sayang. Orang
yang sakti sebenarnya orang yang sedikit rintangan dari
orang lain. Supaya lepas rintangan maka seseorang itu
wajib memperbanyak sahabat dengan berprinsip bahwa
satu musuh sudah terlalu banyak, apalagi dua. Alangkah
mulianya orang yang digdaya tanpa aji.
Esem bupati.
Senyum bupati.
Manusia dalam kehidupan bermasyarakat terdiri
dari kelas-kelas sosial. Kita perlu memahami kelas sosial itu
agar tahu diri dan dapat bersikap sebaik-baiknya dengan
128
siapa kita berbicara. Demikian pula ketika hendak
melemparkan kritikan. Cara mengritik orang lain setingkat
bupati cukup dengan senyuman.
Ewuh pakewuh.
Repot dan segan
Ketika seseorang berbicara dengan orang lain, ia
perlu memahami kata-kata orang itu. Tanpa memahami
kata-katanya, kita tidak akan tahu jiwanya. Tanpa
mengetahui jiwanya, kita tidak akan tahu dengan siapa kita
berbicara. Karena itu, orang Jawa menganjurkan untuk
merendahkan diri, kalau perlu sikap ewuh pakewuh, agar
tepat menjiwai perasaan orang lain.
C. Menghindari Pelanggaran
Ewuh aya ing pambudi.
Repot dan susah dalam bersikap.
Suatu keadaan zaman yang rusak dan membuat
orang susah untuk mengambil sikap, susah mencari rizki.
Perputaran dunia yang seperti cakra manggilingan
seringkali membuat kita harus lincah dan trampil dalam
mengukur diri dan mawas diri. Ewuh pakewuh kadang
kala diperlukan, tapi saat yang lain harus ditinggalkan.
Pandai-pandai bersikap dan membawa diri adalah kunci
kesuksesan.
129
Gajah meta cinancang wit sidaguri, mati cineker
ayam.
Gajah mengamuk diikat di pohon sidaguri, mati dicakar
ayam.
Perlambang Geger Pacinan di Kraton Kartasura
yang ditunggangi Belanda pada tahun 1740-1744 M. Akibat
geger ini, Kraton Kartasura rusak parah, Sunan Paku
Buwana II mengungsi ke Ponorogo. Setelah kembali,
membangun istana baru di Dusun Solo dan dinamai dengan
membalik nama Kartasura menjadi Surakarta.
130
Gandrung-gandrung ing lelurung andulu gelung
kekendon, keris parung tanpa karya, edolen
tukokna uleng-uleng campur bawur.
Jatuh cinta menjadi satu-satunya kerepotan, keris senjata
tak berguna, juallah belikan makanan campur baur.
Jika negara diatur dengan baik maka sesungguhnya
akan makmur sentosa, tenteram, bahagia. Tidak ada orang
merasa repot, kecuali hanya yang jatuh cinta. Aman
nyaman hingga keris parung tak berguna, dan sebarang
senjata lebih baik ditukar dengan makanan apa saja, karena
tidak ada kekerasan lagi.
Goroh growah.
Bohong terluka.
131
Orang yang berbohong lama-lama akan erosi
kepercayaan dirinya. Orang yang berbohong sama halnya
dengan melukai diri sendiri. Sekali berbohong, maka
menimbulkan serangkaian kebohongan lain untuk menu-
tupi kebohongan yang lama. Akhirnya kebohongannya
terbuka dan akan mendapat celaka. Seorang pemimpin
yang melakukan tindak kebohongan akan melukai dan
menipu publik secara luas. Lama-lama, kebohongan ini
akan terbongkar.
132
tidak lunga 'pergi'. Jika salah satu kaku, maka yang lain
harus ngguyu 'senyum'. Jika suatu ketika suami menjadi
api yang membakar, maka istri harus menjadi air yang
memadamkan. Jika suami menjadi gas yang mendorong,
maka istri menjadi rem yang mengendalikan. Perasaan
tulus ikhlas atau lila legawa harus dipuk-puk 'dibangun'.
Gugon tuhon.
Suatu yang dipercaya dengan sungguh-sungguh.
Suatu takhayul yang dipercayai kebenarannya. Atau,
ajaran yang tidak ada sumbernya secara jelas, akan tetapi
digugu 'dipercaya' dengan satuhu 'benar-benar'. Banyak
adat istiadat yang terbangun dengan gugon tuhon ini. Suatu
fakta yang sulit diungkap secara rasional, namun sulit
diingkari.
Gumelaring agesang.
Bentangan kehidupan.
Tergelarnya alam kehidupan manusia. Alam jagad
raya ini adalah alam makrokosmos atau jagad gumelar, di
mana tata surya diatur oleh suatu sunnatullah yang teratur,
rapi, ajeg dan terencana. Manusia adalah mikrokosmos,
atau jagad gumulung, di mana manusia wajib berusaha
meraih kesempurnaan hidup dengan keshalehan pribadi
maupun keshalehan sosial.
133
Guna kaya purun.
Kepandaian, kekayaan dan kemauan.
Tiga bekal yang hendaknya dimiliki setiap orang
untuk mengabdi kepada negara dan berjuang demi
masyarakat, yakni kepandaian, kekayaan dan kemauan.
Kepandaian dicari dengan belajar giat, kekayaan dicari
dengan kerja keras, sedangkan kemauan dicari dengan
kepedulian. Cita-cita untuk menjadi manusia yang berguna,
tidak akan terlaksana jika seseorang tidak memiliki guna
‗kepandaian‘, kaya ‗kekayaan‘ dan purun ‗kemauan‘.
Guru rupaka.
Guru merawat.
134
Orang tua yang melahirkan kita sangat berjasa,
karena beliau telah memelihara kita sejak dari dalam
kandungan. Ibu mengandung kita selama sembilan bulan.
Laki-laki lahir dari perempuan dan perempuan lahir karena
laki-laki.
Guru pengajian.
Guru belajar.
Bapak dan Ibu guru yang memberikan ilmu disebut
orang tua kedua. Beliau sebagai pengganti orang tua untuk
mendidik dan membimbing anak-anak di sekolah maupun
di luar sekolah. Ilmu adalah sesuatu kebenaran yang tidak
tampak oleh mata. Guru membukakan mata muridnya
untuk melihat segala sesuatu atau apapun yang tidak kasat
mata. Hormat kepada guru ilmu adalah bagian dari barokah
ilmu.
Guru wisesa.
Guru kuasa.
Pemerintah membuat undang-undang atau peratur-
an untuk kepentingan bersama. Pemerintah juga mengatur
kekayaan alam untuk kepentingan kita bersama. Salah satu
contoh kekuasaan negara adalah pada tanah yang kita
miliki. Seberapa mahal pun kita membayar hak atas tanah
kita, tetapi kita tidak akan pernah memiliki sepenuhnya.
Buktinya kita masih harus membayar pajak. Pemerintah
135
adalah guru kuasa yang berwenang dan berkewajiban
mengatur kehidupan masyarakat.
Guru swadaya.
Guru mandiri.
Tuhan. Dialah Guru Yang Maha Pandai, yang
menciptakan alam semesta beserta dengan isinya. Dialah
pembimbing setiap makhluk sekalian alam. Dialah disebut
guru sejati, yang apabila seluruh batang pohon di dunia ini
dijadikan pena dan air lautan dijadikan tinta untuk
menuliskan ilmunya, maka tidaklah akan mencukupi.
Apabila seluruh manusia di dunia menyembahnya maka
tidak akan bertambah wibawa Tuhan dan sebaliknya,
apabila semua manusia di dunia mengingkarinya, tidak
akan berkurang kewibawaan Tuhan.
Hadigang-hadigung hadiguna.
Kekayaan, kekuatan dan kekuasaan.
136
Manusia dikatakan kuat jika memiliki kekayaan
yang berlimpah, kekuatan yang besar dan kekuasan yang
tinggi. Orang yang kuat ini berkewajiban melindungi orang
yang lemah, bukan sebaliknya. Menyombongkan harta
benda, kekuatan dan kekuasaan tidak akan membuat
manusia bahagia. Sebaliknya, sikap ambeg adil paramarta
membuat para tetangga simpati dan empati terhadap kita.
Heru cakra.
Lingkaran dunia.
Lambang Ratu Adil, raja atau pemimpin agung yang
dipercaya akan membebaskan rakyat dari segala macam
penderitaan dan diskriminasi. Sesuatu yang paling
diimpikan rakyat pada negara adalah keadilan. Pemimpin
yang mampu menegakkan keadilan dalam harapan semua
masyarakat.
137
Hyang kalingga surya.
Raja bertubuh matahari.
Pemimpin yang tangguh dan pelindung yang baik
seperti memiliki tubuh matahari menyinari luasnya dunia.
Matahari menyamari dunia tanpa membeda-bedakan
kawula. Datang secara pasti setiap pagi hari dan memberi
kesempatan manusia untuk beristirahat di malam hari.
138
mengambil keputusan dengan musyawarah dan mufakat
yang mengutamakan kepentingan masyarakat.
Jagad cilik.
Dunia kecil.
Tubuh manusia dalam falsafah Jawa disebut jagad
cilik. Pada dasarnya, badan manusia memiliki sunnatullah
yang luar biasa tertib dan teratur. Jantung selalu berdetak
memompa darah dengan pola dan irama yang tetap, darah
139
mengalir ke seluruh tubuh membawa dzat makanan,
sedangkan indera membangun kesadaran kemanusiaan.
Karena itulah, tubuh manusia dalam konsep Jawa disebut
jagad cilik atau mikrokosmos.
Jagad gedhe.
Dunia besar.
Alam semesta dan seisinya. Alam semesta ini
memiliki keteraturan dan ketertiban yang luar biasa.
Matahari, bumi, bulan dan sebagainya berputar pada
porosnya tanpa bertabrakan. Air laut menguap menjadi
awan, awan mengembun menjadi hujan, hujan membasahi
bumi dan menumbuhkan tetanaman dan seterusnya.
Jagad pramudita.
Penguasa dunia.
Yang menguasai dunia. Adalah kekuasaan Tuhan
Semesta Alam. Dalam bahasa Arab disebut asmaul husna
atau nama-nama yang baik, sesuai dengan kemahakuasaan
Tuhan atas hamba-hamba-Nya.
140
dan diikuti pikiran dan sikap hidupnya. Pemimpin bangsa
hendaknya merupakan orang yang bisa ditiru dalam segala
sisi kehidupannya, karena pemimpin selalu berada di
depan.
141
BAB VII
A. Tari Gandrung
Salah seorang penari laki-laki dalam seni
pertunjukan Gandrung Banyuwangi, yang bertugas sebagai
pengatur giliran menari bagi para tamu atau pemaju.
Tukang gedog muncul ketika penari Gandrung telah selesai
membuka acara Gandrung dengan tarian Jejer. Ia menari
sejenak bersama-sama sang Gandrung untuk kemudian
mengantar penari Gandrung itu ke tempat duduk tamu-
tamu yang hadir. Tariannya bersifat spontanitas tetapi
kelihatan gagah dengan hentakan-hentakan bunyi
kendhang yang sangat intens. Tidak banyak ragam gerak
yang dipakai, karena tampak sekedar upacara berganti gi-
liran menjadi pemaju itu. Tetapi setiap kali suatu
rombongan Pemaju selesai menari dan perlu diganti yang
lain, tukang gedog ini naik ke pentas dan sekali lagi
melakukan tarian bersama penari Gandrung tersebut.
Dengan demikian iapun semalam-malaman menerima
tugas itu.
Tukang gedog rupanya harus dipilih di antara
142
mereka yang pandai menari, pandai bergaul dan tahu benar
siapa saja tamu-tamunya. Apabila tukang Gedog melakukan
kesalahan dalam mengatur giliran, misalnya seseorang yang
berkedudukan tinggi di masyarakat justru di berikan giliran
belakang maka pastilah menimbulkan kesan kurang enak.
Bahkan tidak jarang tamu yang bersangkutan marah,
terjadi perselisihan atau pertikaian atau dengan cara yang
keras si tamu meninggalkan tempat perjamuan. Tentu saja
ini membuat aib bagi yang punya hajad. Karenanya tukang
Gedog harus dipilih benar-benar agar tak terjadi kesalah
fahaman itu.
Pakaian Tukang Gedog adalah pakaian pesta pada
umumnya, jadi tak ada rias maupun kostum yang khusus.
Hanya saja ia mengenakan sampur. Lagu-lagu yang dipakai
untuk mengiringi tariannya adalah lagu-lagu yang pendek
saja atau kadang-kadang hanya tabuhan dari musiknya
yang terdiri dari Kendang, Biola, Kethuk-kenong, Gong dan
Kernpul. Apabila tukang Gedog bersama Gandrungnya
tengah menuju tempat tamu, biasanya biola itu digesek
dengan lagu yang panjang-panjang yang disebut Ranginan.
143
saru-Patrajaya dipertunjukkan. Menurut istilah setempat
adegan semacam itu disebut 'permainan'. Penarinya adalah
peran Gunungsari-Patrajaya, keduanya dimainkan oleh
penari laki-laki, masing-masing dalam gaya yang kontras
berbeda. Garapan tarinya bersifat pantomime.
‗Waderpari nungsung Beji‘ menggambarkan sikap
dan tingkah laku seekor ikan jenis kecil yang di sebut
'Waderpari' di dalam air. Air itu adalah air di pancuran atau
pemandian di kaki tebing yang menurut istilah setempat di-
sebut 'Beji'. Jadi tingkah laku ikan itulah yang diungkapkan
serta dikembangkan secara pentomimik, spontan dan
kreatif. Gerak tarinya lebih bersifat representatif.
Patrajaya akan mengungkapkannya dengan lucu
sekali sehingga menimbulkan gelak tawa penontonnya.
Kemudian Gunungsari akan memberikan contoh geraknya
yang lebih tepat, indah dan menarik. Disinilah sebenarnya
terletak tuntutan teknis yang baik bagi penarinya.
Kreatifitaspun dikembangkan disana, misalnya,
bagaimana si ikan berenang kesana-kemari, maju Mundur,
naik turun, berputar di tempat, menyambar mangsanya,
bernafasan dipermukaan air dan sebagainya. Iringan untuk
tarian ini adalah gendhing Kembangkacang atau Nduk Cici,
Pelog Patet Barang. Instrument gamelannya adalah
gamelan Pelog Lengkap. Kendang dimainkan secara
improvisatoris menyesuaikan diri serta menghidupkan
gerak tarinya.
144
Sebenarnya selain 'Waderpari nungsung Beji' masih
ada sebelas macam jenis 'permainan' tersebut seluruhnya.
Ke sebelas macam itu adalah : Waderpari Nungsung Beji,
Jalak Kecancang, Biyada Mususi, Sinatriya nJala, Gambuh
Mara Seba, Mundur Cecebolan, Dali Nyampar Banyu,
Merak Ngigel, Merak Kesimping, Temanten Purik, Tikus
Ngungsi Salang. Penari Gunungsari mengenakan mahkota
dari kulit, celana panji-panji, kain batik dengan lipatan di
samping kiri, rapek, setagen, sampur di sampir di pundak
keris, gongseng. Patrajaya mengenakan baja komprang,
celana komprang pinggang dililit kain batik, ikat kepala
batik, sampur di pundak dan gongseng. Keduanya
mengenakan topeng, Gunungsari bertopeng putih, halus
dan bagus. Patrajaya bertopeng kecoklatan, tanpa dagu,
bermata sipit dan lucu.
145
untuk persiapan para penari. Penonton ada di tiga sisi yang
lain. Gamelan disalah satu sisinya sedang dalang duduk di-
sudut panggung sehingga dapat mengatur keluar masuknya
pemain maupun mengatur para penabuh gamelan.
Pertunjukkan lakon ini diselenggarakan untuk
pesta-pesta kawin, khitanan, bersih desa atau pesta-pesta
yang lain. Pementasannya berlangsung pada jam 09.00 -
17.00 siang atau pada jam : 21.00 - 05.00 malam hari.
Dialognya dilakukan oleh sang Dalang sementara para
penarinya berpantomime mengexpresikan isi dialog
tersebut. Hanya tokoh Semar, Bagong, Patrajaya saja yang
berdialog sendiri.
Ada anasir trawesti dimana peran-peran wanitanya
tetap dilakukan oleh penari-penari laki-laki. Adapun isi
ceritanya adalah sebagai berikut :
Adalah seorang pertapa mempunyai dua orang anak
yaitu Walang Semirang yang laki-laki dan Walang Wati
yang perempuan. Banyak para raja ingin mem persunting
Walang Wati tetapi gadis ini belum bersedia kawin. Lagi
pula kakaknya berniat mencarikan jodoh satriya yang
tangguh. Karena itu barang siapa dapat mengalahkan
Walang Semirang dalam perkelaian maka dialah yang
berhak mempersunting adiknya itu. Tetapi sang pertapa
tidak menyukai keadaan itu, lalu kedua anaknya itu disuruh
bersembunyi saja di sebuah goa agar tidak lagi di
pertanyakan orang. Kedua anak itupun pergi memenuhi
146
perintah ayahandanya. Tetapi lama kelamaan kedua kakak
beradik itu bahkan jatuh cinta satu sama yang lain.
Mengetahui hal itu ayahanda amat marah lalu dikutuklah
mereka menjadi seekor lembu dan seekor lalat. Kutuk itu
baru akan berakhir bila nanti ada seorang satriya yang
berhasil mematahkan tanduk si lembu. Kedua mahluk
itupun disuruhnya pergi ke suatu tempat dengan tugas
menolong siapa saja yang diganggu orang dalam
perjalanan.
Akhirnya mereka bertemu dengan Sang Panji
Asmarabangun yang sedang pergi mencari isterinya,
Sekartaji. Terjadilah perkelahian dengan si Lembu namun
Panji dapat mengalahkannya dan kembalilah si lembu
menjadi Walang Semirang sebagai semula. Demikian pula
dengan si Lalat, ia pun kembali menjadi Walangwati.
Walangwati diperisterikan Sang Panji dan Walang
Semirang menjadi prajurit Sang Apanji sampai dapat
mengalahkan Bali.
Penari-penarinya mengenakan topeng dengan
berbagai karakter menurut peran-peran masing-masing.
Karakter itu ditandai oleh warna serta bentuk-bentuk
topeng. Mereka mengenakan mahkota dari kulit, kain batik
dengan lipatan samping kiri, celana panji-panji, setagen,
sampur di pundak, keris, gongseng serta atribut-atribut
hiasan seperlunya.
Iringan gamelannya terdiri dari serangkaian
147
gendhing-gendhing Jawa Timuran berlaras Pelog semua.
Instrumennya adalah gamelan Pelog Lengkap. Lakon ini
sering kali dibuat fragment juga karena orang ingin melihat
yang singkat-singkat juga.
B. Terbang Gendhing
Suatu tarian berlatar belakang kultur masyarakat
Madura yang terdapat di daerah Probolinggo. Ditarikan
oleh dua orang laki-laki tua dan dua anak laki-laki remaja
sekitar 10 - 14 tahun umurnya. Tidak jelas tema yang
dikemukakan kecuali mereka menari menurut ritme lagu
yang diperdengarkan yaitu gendhing Walangkekek dengan
instrument Ter-bang Gendhing. Orkes Terbang Gendhing
ini terbuat dari sembilan macam rebana dalam berbagai
ukuran dan bentuk yang masing-masing dibuat sedemikian
hingga mewakili satu nada. Nada yang dimaksud adalah
nada gamelan Jawa dalam sistim laras Pelog ataupun
Slendro. Secara keseluruhan orkes ini menghasilkan suatu
musik yang khas walaupun dalam lingkungan laras gamelan
Jawa.
Dengan lagu Walangkekek itulah ke empat penari
dengan asyiknya di arena. Yang tua-tua nampak memimpin
tarian itu sedang dua orang anak laki-laki yang muda
mengikutinya. Penari tua nampaknya begitu keras tarian-
nya sementara si anak agak kewanita-wanitaan. Tarian ini
dipertunjukkan sebagai hiburran dalam pesta-pesta rakyat,
148
misalnya perkawinan, khitanan, bersih desa dan
sebagainya.
Tariannya nampak spontan dengan banyak
menghentak-hentakkan kaki serta membuka tangan agak ke
belakang tubuh. Tidak lupa mereka mengenakan 'gongseng'
atau gentha-gentha kecil melilit kaki kanan sebagai penga-
tur irama. Mereka mengenakan ikat kepala, baju hitam
serta celana komprang sebagai dipakai para nelayan
masyarakat Madura. Kain batik melilit dipinggangnya.
Warok Suromenggolo
Suatu jenis tarian kreasi baru yang bersifat
dramatis. Terdapat di daerah Ponorogo. Ditarikan oleh tiga
atau empat orang penari. Masing-masing memegang peran
tertentu. Seorang sebagai Warok Suromenggolo, seorang
sebagai Warok Surogentho, ini biasanya ditarikan oleh
penari laki-laki yang kekar dan kuat otot-ototnya.
Kemudian seorang penari wanita berperan sebagai
Suminten dan seorang penari wanita lagi yang berperan
sebagai laki-laki bernama Reden Mas Soebroto.
Sebagai tarian pertunjukkan tarian ini biasanya
ditampilkan sebagai nomor tarian lepas di samping tarian-
tarian yang lain: Dipertunjukkan dalam pesta-pesta atau
resepsi sebagai tarian hiburan. Tariannya bersifat dramatari
dengan mengambil gerak-gerak yang memperlihatkan
kekuatan fisik dan kekerasan tingkah laku, sebagai sering
149
terlihat pada pertunjukkan Reyog Ponorogo. Gerak-gerak
tari-tari perangnya diliputi oleh pelukisan kekuatan-
kekuatan magis sebagaimana biasa terjadi di kalangan
kehidupan jagoan-jagoan berkelahi.
Adapun kisahnya kurang lebih demikian :
Tersebutlah Warok Suromenggolo yang telah
berhasil menertibkan keamanan di daerah Trenggalek,
mendapatkan janji dari Bupati Trenggalek bahwa puteri
Sang Warok akan dikawinkan dengan putera Sang Bupati.
Puteri Sang Warok bernama Suminten sedang Putera Sang
Bupati bernama Raden Mas Soebroto. Tetapi Raden Mas
Soebroto tidak mau dikawinkan dengan gadis itu. Malahan
is mencintai Cempluk Warsiyah anak puteri dari Warok
Surogentho. Kejadian ini membuat Suminten menjadi gila,
sementara Raden Mas Soebroto sudah berjanji akan kawin
dengan Cempluk Warsiyah. Terjadilah perselisihan faham
antara Warok Suromenggolo dengan Warok Surogentho,
yang berkembang dengan perkelahian yang hebat karena
masing-masing adalah jagoan-jagoan yang kebal. Pada
akhir ceritera Warok Suromenggolo terbunuh namun se-
benarnya ceriteranya masih berkembang lebih jauh.
Di dalam tarian ini hanya thema itulah yang
diwujudkan dalam bantuk tarian itu. Penari Warok-
waroknya menggenakan ikat kepala hitam batik, bercelana
komprang warna hitam, bersabuk kulit yang besar, dengan
atribut untaian benang lawe yang konon sangat sakti
150
sebagai alat pemukul lawannya. Rias muka galak, seram
dan menakutkan. Sementara itu Raden Mas Soebroto
berpakaian seperti bangsawan pada abad ke 19 di Jawa. Si
penari Suminten mengenakan kain kebaya dan kain batik
bersanggul sabagaimana pakaian wanita pedesaan.
Iringan tari adalah gamelan Slendro dengan
gendhing-gendhing yang diangkat dari iringan Reyog
Ponorogo. Sebagai tarian kreasi baru, tarian ini sering di-
pertunjukkan sebagai kebanggaan daerah Ponorogo.
151
Gamelan pada prinsipnya mempunyai dasar laras
yang berpijak pada dasar sistim Slendro pentatonik, suatu
sistim nada seni suara yang berpangkal pada penggunaan
lima nada sebagai nada pokok. Dalam hal ini Slendro
adalah merupakan laras yang dominan dalam kehidupan
seni suara di Jawa, khususnya di Jawa Timur. Di samping
laras Slendro, maka gamelan juga diwujudkan dalam laras
Pelog. Khususnya gamelan-gamelan yang berasal dari Jawa
Tengah dan Bali.
Gambyak
Suatu istilah untuk memberikan sebutan kepada
salah satu corak kendangan dalam karawitan Jawa
Timuran, terutama di trapkan dalam garapan gendhing
klenengan ataupun untuk mengiringi suatu gerak tarian
(Tani Ngremo) tari Beskalan dan tari Tayub. Kendangan
gambyak memberi sifat garapan gendhing menjadi hidup
bergairah, dinamis dan ekspresif.
Dalam hal ini kendang dipukul secara padat, penuh
berisi variasi dan bersifat improvisatoris. Ke ciri khasan
warna karawitan Jawa Timuran, justru tercermin pada pola
kendangan gambyakan, yang dalam hal ini ditandai oleh
pukulan stacato dan syncope yang bersifat dominan.
Gemakan
Salah satu corak tabuhan instrumen slenthem
152
dalam Karawitan Jawa Timuran. Dalam hal ini slentem
ditabuh secara pukulan bertolak irama dari pukulan
balungan gendhing yang sewajarnya. (sejenis "syncope"
dalam musik Barat).
Adapun sebagai dasar laras nada untuk pegangan
tabuhan gemakan slentem, ialah mengambil nada balungan
gendhingnya yang jatuh pada hitungan sabetan genap
(sabetan/pukulan ke dua dan ke empat dalam setiap
kelompok empat deretan nada balungan atau dalam
Karawitan Jawa Tengah di sebut hitungan "dong").
Sebagai contoh :
Nada balungan :
1 6 3 2 6 5 3 2
Slentem gemakan
6 0 6 0 2 0 2 0 5 0 5 0 2 0 2 0
Dan seterusnya.
153
Gembyang
Suatu istilah karawitan yang telah umum dikenal
baik dalam kalangan kaniyagan Jawa Timuran maupun
Jawa Tengah, untuk memberikan sebutan kepada suatu
jarak antara dua buah nada yang sejenis/selaras, besar dan
kecil/rendah dan tinggi.
Sebagai contoh : 2…………2
1 gembyang
6…………6
1 gembyang
Balungan 1 6 3 2
Bonang penerus 6 0 6 0 6 0 6 0 2 0 2 0 2 0 20
154
6 6 6 6 2 2 2 2
Balungan 6 5 3 2
Bonang penerus 5 0 5 0 5 0 5 0 2 0 2 0 2 0 20
Gedug B E M
Gedug Bem adalah nama suatu jenis pola pukulan
gendang dalam Karawitan Jawa Timuran. Dalam hal ini
yang dipukul hanya satu jenis kendang saja yang lazim
dipergunakan dalam karawitan Jawa Timuran untuk
keperluan klenengan maupun untuk mengiringi tari
Ngremo.
Kendangan gedung bem ini biasanya dilaksanakan
pada saat gendhing masih dalam proses permulaan,
sebelum masuk ke kendangan gambyak (Jawa Tengah:
ciblon). Dalam pengertian karawitan Jawa Tengah,
kendangan gedug bem dapat disamakan dengan kendang
"satunggal" (kendang satu).
Gembyung
Suatu istilah yang dikenal dalam dunia seni
karawitan Jawa Timuran untuk memberikan sebutan
kepada dua buah laras nada yang tidak sejenis, namun
kalau dibunyikan secara bersama terdengar selaras (
harmonis ).
155
Sebagai contoh : 2, 3
6 5
dan sebagainya
Dalam perwujudan prakteknya, kalau ditabuh pada
urutan tangga nada bilahan gamelan, maka di sini
pelaksanaannya adalah : menabuh dua laras nada bilahan,
dengan jarak antara 2 (dua) bilah, ditabuh secara bersama-
sama, seperti contoh tersebut di atas.
Pukulan gembyungan adalah merupakan salah satu
unsur corak pukulan polifonis yang terdapat dalam dunia
musik pentatonik, antara lain :
1. Angklung Banyuwangi, sering terdapat pada pukulan
saronnya
2. Karawitan Jawa Tengahan, sering terdapat pada
pukulan instrumen bonang barung, gender, gambang,
gesekan rebab.
Dalam istilah karawitan Jawa Tengahan, Gembyung
lebih dikenal dengan sebutan Kempyung ( Surakarta ).
Gending
Gendhing pada hahekatnya adalah merupakan
suatu sebutan yang diberikan kepada sesuatu bentuk/corak
lagu yang pengungkapannya selalu berhubungan erat
dengan instrumen gamelan.
Dalam membawakan suatu gendhing, masing-
masing instrumen gamelan berperanan sesuai dengan
156
fungsinya, hal ini sangat bergantung kepada bentuk dan
jiwa gendhingnya. Misalnya saron ditabuh nacah, slentem
ditabuh secara gemakan, bonangnya ngracik dan sebagai-
nya. Seperti hal di Jawa Tengah, Sunda dan Bali, penotasian
gendhing-gendhing di Jawa Timur juga menggunakan
sarana titilaras sistim Kepatihan.
Khususnya dalam "Karawitan Jawa Timuran" maka
bentuk-bentuk gendhing di Jawa Timur dapat dibagi :
1. Gendhing Giro, misalnya: Giro Endro, Giro Bali, Giro
Becekan dan Giro Runtung.
2. Gendhing Gagahan, misalnya: Gajahendro, Gejig jagung
dan lain sebagainya.
3. Gendhing Ketawangan, misalnya: Cokronegoro,
Beskalan, Samirah, dan lain sebagainya.
4. Gendhing Gede, misalnya: Gondokusumo, Kutut-
manggung, Bedat dan sebagainya.
D. Gendhing Bonangan
Suatu corak gendhing Jawa Timuran yang dalam
penggarapannya hanya menggunakan instrumen gamelan
terbatas. Dalam hal ini instrumen gamelan yang ditabuh
antara lain: bonang babok, bonang penerus, demung, saron,
peking, slentem, kenong, gong/kempul dan kendang.
Disebut gendhing bonangan karena dalam hal ini
instrumen bonang babok menjadi peranan utama, baik
dalam memulai (mengawali/buka) gendhingnya, maupun
157
dalam memproses gendhingnya yang secara dominan
tampak lebih menonjol dibanding dengan tabuhan lain-lain
instrumen pendukungnya.
Sifat gendhingnya adalah dinamis, hidup dan
bersemangat. Sering juga dengan istilah yang lain
dinamakan gendhing "gagahan". Di bawah ini salah satu
contoh jenis gendhing bonangan Jawa Timuran ditulis
dengan notasi sistim Kepatihan.
Gender
Salah satu nama dari pada alat gamelan yang
terbuat dari lempengan logam tipis. Lempengan logam
sebanyak + 14 buah ini ditaruh berjajar dari ukuran besar
sampai kecil dengan bantuan dua utas jajaran tali, dimana
masing-masing bilah tersebut teiikat pada ke dua jajaran
tali itu dengan melalui semacam lubangan kecil sebanyak
dua buah, yang terletak dekat pada ke dua ujungnya.
Sebagai penguat ikatan, maka disisipkan semacam pasak-
pasakan kecil di antara tali dengan bilah, dengan posisi
tepat di bawah masing-masing lubangan tersebut.
Adapun lempengan gender sebanyak 14 buah
tersebut tersusun dari kiri ke kanan, dengan urutan laras
nada rendah sampai meninggi (dilihat dari posisi duduk
menghadap deretan dengan bilah besar/nada rendah pada
sebelah tangan kifi).
Kemudian deretan bilah gender yang terikat pada
158
kedua jajaran tali tersebut dengan bantuan alat penompang
(semacam tiang-tiangan kecil) ditaruh di atas semacam
pangkon, terbuat dari kayu.
Pada ke dua ujung pangkon ini, ke dua jajaran tali
pengikat bilahan tersebut diikatkan pada semacam kayu
bulat panjang, sedemikian rupa, sehingga lempengan bilah
gender ini dapat terletak berjajar/berderet dengan posisi
menggantung, di atas pangkon.
Sebagai alat resonator, maka tepat di bawah
masing-masing bilahan ditempatkan semacam bumbungan
terbuat dari bahan bambu atau seng, dengan posisi berjajar
sebanyak jumlah lempengannya, dimulai dari bumbungan
ukuran besar, untuk nada rendah dan berturut-turut
mengecil untuk nada-nada di atasnya.
Adapun laras nada bilahan gender sebanyak 14
buah ini, untuk gamelan Jawa Timuran, lazimnya dimulai
dengan 1 (barang gede) dan ber akhir dengan nada 5 (lima
kecil, lima cilik), sedangkan untuk gamelan Jawa Tengahan
pada umumnya dimulai dengan nada 6 (nem besar) dan
berakhir pada nada 3 (telu kecil = dada cilik ).
Jenang Jagung
Adalah salah satu jenis lagu anak-anak khas
Banyuwangi, yang terkenal di daerah pedesaan. Dasar laras
lagu ini Slendro dan termasuk lagu lama. Lagunya terdiri
dari dua baris kalimat, merupakan pantun. Kalimat
159
pertama, merupakan bahasa liris, sebagai sampirannya,
sedangkan kesimpulannya adalah kalimat yang ke dua.
Siapa pencipta lagu ini tidak diketahui. Demikian juga
kapan timbulnya serta bagaimana latar belakang sejarahnya
tidak diketahui. Di bawah ini lagu dan syairnya, ditulis
dengan notasi sistim Kepatihan.
Jenang Jagung
Terjemahan :
Ri, ri, ri kolek jenang jagung pupu gempol (bahasa liris)
Bibi merenung sedih, karena paman marah-marah
Setelah datang dari kerja keras.
160
Siapa pencipta lagu ini tidak diketahui, demikian
pula kapan timbulnya serta bagaimana latar belakang
sejarahnya juga belum diketahui. Di bawah ini lagu dan
syairnya, ditulis dalam notasi sistim Kepatihan.
Kalong Embat—Embat
Kuluban Buncis
Adalah salah satu jenis lagu anak-anak khas Banyu-
wangi terutama dikenal di daerah pedesaan, Dasar laras
lagu ini Slendro dan termasuk lagu lama. Ditilik dari
kalimat yang ada di dalamnya menunjukkan adanya
sindiran kepada seseorang. Siapa pencipta lagu ini tidak
diketahui. Demikian pula kapan timbulnya serta bagaimana
latar belakang sejarahnya tidak diketahui.
Biasanya kagu ini dibawakan secara bersama-sama,
tetapi kadang-kadang dibawakan secara perseorangan.
Adapun waktunya terutama pada saat-saat terang bulan,
suatu saat dimana biasanya anak-anak berkumpul bermain
dan berlagu. Di bawah ini lagu dan syairnya, ditulis dalam
notasi sistim Kepatihan.
161
Kuluban Buncis
Kebyokan
Kebyokan adalah suatu istilah untuk memberikan
sebutan kepada suatu pola pukulan instrumen bonang
penerus dalam karawitan Jawa Timuran. Kebyokan ini
lazimnya dilaksanakan oleh bonang penerus dalam mengi-
ringi gendhing-gendhing bonangan.
Jadi di satu pihak, bonang babok ditabuh secara
"ngracik" di lain pihak, sebagai imbangannya bonang pene-
rus ditabuh secara "kebyokan". Dalam hal ini pelaksanaan
pola pukulannya adalah secara gembyangan (pukulan atas
dasar nada oktaf), dengan mengambil dasar laras-nada
balungan gendhing yang jatuh pada hitungan "dong"
(pukulan hitungan genap).
Kempul
Kempul adalah termasuk kelengkapan instrument/
gamelan yang susunannya menjadi satu rumpun dengan
gong. Bentuknya adalah seperti bundaran mangkuk besar,
bergaris tengah 40 cm a 50 cm dengan permukaan datar
dan semacam bisul ( jawab : pencon ) di tengah-tengah.
162
Kempul ini ditempatkan tergantung pada semacam
gawang yang disebut gayor bersama dengan gong. Pada
gamelan Jawa Timuran khususnya, hanya mengenal
penggunaan satu kempul saja dengan dasar laras nada Nem
/6) atau Lima (5) Slendro. Sedangkan pada gamelan versi
Jawa Tengahan pada umumnya menggunakan lebih dari
satu kempul, bahkan kadang-kadang sebanyak laras nada
yang terdapat dalam susunan Slendro Pantatonik ataupun
Pelog. Hal ini tergantung kepada selera dan kesukaan dari
yang empunya gamelan.
Dalam proses penampilan gendhing Jawa Timuran
bunyi kempul adalah sangat dominan, hal ini khususnya
pada gendhing-gendhing Krucilan Jawa Timuran, di sini
kempul dibunyikan secara menitir terus-menerus sampai
berhentinya proses gendhing.
163
dipentingkan adalah pada baris ke dua dan ke empat. Siapa
pencipta lagu ini tidak diketahui, sedangkan timbulnya
diperkirakan pada masa-masa perjuangan kemerdekaan.
164
Daftar Pustaka
Anjar Any, 1990, Ramalan Jayabaya, Sabdo Palon, dan
Rangga Warsita, Apa Yang Terjadi, Semarang:
Aneka Ilmu.
165
Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai
Pustaka.
166
Biografi Penulis
167