Anda di halaman 1dari 5

Dongeng Karuhun Garut: Sunan Permana Dipuntang

Pada jaman dahulu kala, di sebuah tempat bermana Korobokan terdapat sebuah kerajaan kecil dibawah
kekuasaan kerajaan Pajajaran. Rajanya adalah putra dari Prabu Siliwangi yang tersohor, Sunan Burung
Baok lah namanya. Tubuhnya dipenuhi bulu, namun ia memiliki kesaktian yang tiada tara. Sayangnya ia
memerintah dengan tidak adil, penuh ketidakjujuran, tidak bijak dalam mengambil keputusan, sehingga
kerajaan kecilnya mengalami kekacauan.

Sesepuh kerajaan mulai mengkhawatirkan melihat kondisi kerajaan yang semakin kacau karena ulah
rajanya sendiri. Dalem Pasehan, sesepuh dari Timbangan, Korobokan, memimpin pertemuan sesepuh
kerajaan untuk mendiskusikan bagaimana caranya agar Sunan Burung Baok turun tahta. Jika tidak, maka
rakyatlah yang akan sengsara. Setelah berdiskusi panjang, mereka bersepakat untuk mengirim Dalem
Pasehan untuk menghadap ke Pajajaran.

Setibanya di sana, Pasehan menceritakan semua hal yang terjadi di Korobokan. Mendengar hal itu,
seketika Prabu Siliwangi murka kepada anaknya. Jikalau memang begitu adanya, maka bunuhlah saja
anakku, namun dengan satu syarat, kau harus membunuhnya tanpa ada darah setetespun! begitu
perintah Sang Prabu. Setelah mendapat perintah, Dalem Pasehan pun kembali pulang dengan perasaan
lega dan was-was, dalam hatinya bertanya, apakah ada cara untuk membunuh seseorang tanpa
membuatnya mengeluarkan darah.

Tanpa ditunda lagi, pertemuan sesepuh kerajaan kembali digelar. Mereka bersiasat untuk mengelabui
Sunan Burung Baok agar bersedia untuk menaklukan ular raksasa yang kabarnya menghuni sebuah gua
di Cimanuk yang sebenarnya di gua itu tidak terdapat apapun. Merasa dirinya sakti, Sunan Burung Baok
yang menanggalkan pakaiannya di luar bersegera masuk ke gua untuk membunuh ular raksasa itu. Tanpa
sepengetahuannya, lubang gua itu ditutup batu yang sangat besar.

Belama-lama di dalam gua, Sunan Burung Baok menyadari bahwa ia ditipu Dalem Pasehan. Dengan
kesaktiannya ia pulang menembus bumi ke hadapan ayahnya di Pajajaran. Prabu Siliwangi
Terkejut melihat anaknya telanjang datang ke hadapannya. Dengan dongkolnya, Sunan Burung Baok
menceritakan kekesalan di hatinya terhadap Dalem Pasehan. Sang Prabu pun meminta agar Dalem
Pasehan datang ke Pajajaran.
Dengan kesaktiannya pula, Dalem Pasehan mengetahui apa yang terjadi di Pajajaran. Ia merasa tenang
hati karena semua yang dilakukannya untuk membunuh Sunan Burung Baok atas perintah dari ayahnya
sendiri, yakni membunuh tanpa harus mengeluarkan darah setetespun. Ia mengajak putrinya Inten
Dewata mengadap Sang Prabu di Pajajaran untuk diambil sebagai istri.

Prabu Siliwangi menjelaskan maksud dari perintahnya, yang ingin raja di Korobokan diganti oleh
siapapun yang pantas menyandang gelar tersebut. Penuh rasa bersalah, akhirnya Dalem Pasehan
menyerahkan putrinya, dan tentu saja diterima oleh Sang Prabu dengan senang hati ia berjanji jikalau ia
mempunyai anak dari Inten Dewata, maka putranya lah yang akan ia angkat menjadi raja di Korobokan.

Panjang cerita, Inten Dewata dikaruniai seorang putra dari Prabu Siliwangi yang dinamai Permana
Dipuntang. Dalem Pasehan berpesan kepada putrinya agar Permana Dipuntang yang masih dalam
gendongan dibawanya pulang, menembus bumi. Jika ia merasa capai, maka ia beristirahat muncul ke
permukaan. Maka dari itu tempat yang konon adalah tempat munculnya Dalem Pasehan dengan cucunya,
Permana Dipuntang dinamai Munjul. Sedangkan Gunung yang mereka singgahi disebut Pangcalikan
(Pangcalikan= tempat duduk/ beristirahat). Di sini lah Permana Dipuntang menemukan rotan dan ia tak
mau digendong lagi oleh kakeknya. Ia memegang rotan itu untuk membantunya berjalan. Gunung
tersebut dinamakan Gunung Puntang (Puntang= pegang) karena kejadian tersebut.

Akhirnya setelah dewasa ia memerintah Garut dengan adil dan bijaksana. Makamnya pun masih utuh
terpelihara, berdekatan dengan makam Sunan Gordah dan Sunan Tangkil, yang juga masih
keturunannya.

(Dongeng ini diterjemahkan kembali dari buku Sastra Lisan Sunda)


http://planetusiter.blogspot.nl/2011/12/dongeng-karuhun-garut-sunan-permana.html

KERAJAAN-KERAJAAN DI TATAR GARUT

KERAJAAN TIMBANGANTEN

Berdirinya Kerajaan Timbanganten merupakan kelanjutan dari Kerajaan


Mandala Dipuntang (Panembong Bayongbong), dimana rajaan Prabu Derma Kingkin sebagai Nalendra
terakhir Kerajaan Mandala di Puntang, lalu ia memindahkan pusat kerajaan dari Panembong ke daerah
Timbanganten (daerah yang sekarang disebut Tarogong).

Timbanganten merupakan daerah sekitar Gunung Guntur, lantas Derma Kingkin mengganti nama
kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kerajaan Timbanganten. Sunan Derma Kingkin memiliki lima
orang putra, yaitu : Sunan Kacue dikenal dengan nama Baginda Salemba, Nalendra Sunan Ranggalawe,
Dalem Cicabe di Suci Garut, Dalem Cibeureum di korobokan Limbangan, Dalem Kandang Serang di
Cilolohan, dan Dalem Kowang di Pagaden Subang.

Timbanganten merupakan bagian dari sejarah Jawa Barat, dan termasuk wilayah dari Tatar Ukur. Tatar
Ukur, menurut naskah Sadjarah Bandung, adalah daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota di
Tegal luar. Kerajaan itu berada di bawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran.

Sejak pertengahan Abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun oleh Prabu
Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur
merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar Wilayah Jawa Barat, terdiri dari
sembilan daerah yang disebut Ukur Sasanga.

Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (8 Mei 1579 M) akibat serangan Pasukan Banten dalam usaha
menyearkan Agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan kerajaan
Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah
pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang
terletak di sebelah Barat Kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan Kerajaan itu meliputi daerah
yang kemudian disebut Priangan, kecuali Daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).

Ketika Sumedanglarang diperintah oleh Raden Aria Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu
Harisbaya, Sumedang Larang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak Tahun 1620. Sejak itu status
Sumedang Larang pun berubah dari Kerajaan menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang.
Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan
serangan pasukan Banten dan Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah
pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan Konflik dengan Kesultanan
Banten.

Untuk mengawasi Wilayah Priangan, Sultan Agung Raden Aria Suriadiwangsa menjadi Bupati Wedana
(Bupati kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata/Rangga
Gempol I. Tahun 1621, Sultan Agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan Daerah
Sampang (Madura). Oleh karena itu, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga
Gempol I, yaitu Pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama, setelah Pangeran Dipati Rangga Gede
menjabat Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Oleh karena, sebagian Pasukan
Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan
tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan agung. pangeran dipati Rangga Gede ditahan
di Mataram.

Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut
Batavia dari kekuasaan kompeni Belanda. Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati ukur untuk
membantu pasukan Mataram menyerang kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami
kegagalan. Dipati Ukur sangat menyadari bahwa sebagai resiko dari kegagalan tersebut, ia akan
menerima sanksi berat dari raja Mataram, misalnya seperti hukuman yang dialami Pangeran Dipati
Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karenanya, Dipati Ukur beserta para
pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap kompeni gagal, mereka
tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya.

Tindakan Dipati Ukur dianggap Pihak Mataramsebagai tanda pemberontakan terhadap penguasa kerajaan
Mataram. terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena
Pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara
pusat Kerajaan Mataram dengan Daerah Priangan. Secara teori, bila daerah koloni jauh dari pusat
kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Namun demikian, berkat bantuan
beberapa kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan
Dipati Ukur.

Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (Bandung) pada
Tahun 1632. Setelah pemberontakan Dipati Ukur berakhir, jabatan Bupati Wedana diserahkan kembali
oleh Sultan Agung kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya.
Selanjutnya, Sultan Agung melaksanakan reorganisasi pemerintahannya di Priangan, dengan tujuan
mempertahankan stabilitas dan keamanan daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh
dibagi menjadi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten ParakanMuncang, dan
Kabupaten Sukapura dengan mengangkat 3 (tiga) orang Kepala Daerah dari Priangan yang dianggap
telah berjasa dalam memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Ketiganya, antara lain adalah :

1. Ki Asta Manggala, umbul Cihaurbeuti, diangkat sebagai Mantri Agung(Bupati) Bandung dengan
gelar Tumenggung Wirangunangun.
2. Ki Tanubaya, diangkat sebagai Bupati Parakanmuncang.
3. Ngabehi Wirawangsa menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha.

Ketiganya dilantik secara bersamaan berdasarkan Piagem Sultan Agung yang dikeluarkan Hari Sabtu
Tanggal 9 Muharram Tahun Alip (Penanggalan Jawa). dengan demikian, Tanggal 9 Muharram Tahun
Alip bukan hanya merupakan Hari jadi Kabupaten Bandung saja, namun sekaligus juga Hari jadi
Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.

Setelah ketiga Bupati tersebut dilantik di Pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah
masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumenggung
Wirangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tanah ukur. Pertama kali mereka datang
ke daerah Timbanganten. Di sana Bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenggung
Wirangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungai
Citarum dekat muara Sungai Cikapundung (daerah pinggiran Bandung Selatan) sebagai ibukota
Kabupaten. Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi
Ukur Gede.

Wilayah Administratif Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir Abad ke-17),
belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu belum ditemukan.
menurut sumber pribumi, pada Tahap awal Kabupaten Bandung melputi beberapa daerah , antara lain :
Tatar Ukur termasuk Daerah Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan sebagaian Tanah Medang.
Boleh jadi, Daerah Priangan di luar Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang
semula merupakan Wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur,
merupakan Wilayah Administratif Kabupaten Bandung waktu itu. Bila ini benar, maka Kabupaten
Bandung dengan ibukota krapyak, wilayahnya mencakup Daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa,
Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung, dan lain-lain
(termasuk Kuripan, Sagaraherang, dan Tanah Medang).

Kerajaan Timbanganten yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mandala Di Puntang (Untuk Kerajaan
mandala Di Puntang, disilakan menyimak tulisan saya di dokumen DPP Gema Sunda Jabar) merupakan
Bukti akan adanya kerajaan di Daerah Garut, khususnya di Daerah Tarogong sekarang. ketika penguasa
terakhir yang bernama Dipati Ukur ditumpas oleh Mataram, maka Kerajaan Timbanganten ditinggalkan.
Setelah dibentuknya Bandung yang mengambil bagian Tatar Ukur sebagai bagian dari sultan Agung atas
keberhasilannya menumpas karaman Dipati Ukur. Sadjarah Bandung (Naskah), menyebutkan bahwa di
Timbanganten hanya tersisa 200 cacah.

Naskah Sajarah Turunan Timbanganten

Naskah ini merupakan salah satu naskah kuno yang diketemukan di Kabupaten Garut. Naskah berukuran
21 x 29 cm, ruang tulisan : 19 x 27 cm, dan ketebalan naskah sebanyak 32 halaman. Naskah ini ditulis
dalam bentuk prosa dan memakai Huruf Arab Pegon. Naskah berisi tentang sejarah turunan Kerajaan
Timbanganten yang disebut-sebut cikal bakal Kabupaten Bandung, sebab Wilayah Kabupaten Bandung
hampir sebagian besar bekas Tatar Ukur Timbanganten. Maka Naskah ini berisi silsilah pun berhubungan
dengan keluarga bangsawan Timbanganten dan Bandung. Pada umumnya silsilah tersebut diawali dari
Nabi Adam AS sebagai manusia pertama; kemudian melalui Nabi Muhammad, Ratu Galuh, Ciung
Manarah dan Prabu Siliwangi (Raja Pajajaran). Ratu Galuh dianggap sebagai sebagai raja pertama di
Pulau Jawa. Ada pun deskripsi naskah ini adalah sebagai berikut :

Keluarga bangsawan Timbanganten muncul sejak Dalam Pasehan menjadi Ratu di Kadaleman
Timbanganten. Wilayah Kadaleman Timbanganten sekarang mencakup wilayah Kecamatan Tarogong
Kaler dan Kidul, Samarang, Leles dan Kadungora (Cikembulan). Dalem Pasehan adalah keturunan dari
Ciung Manarah yang lahir di Mandala Puntang. Ia pernah menjadi mertua Prabu Siliwangi. Prabu
Siliwangi menikahi anaknya bernama Nyimas Ratna Inten Dewata. Sewaktu menjadi Raja, Dalem
Pasehan menyandang gelar Sunan Permana di Puntang. Di akhir hayatnya, ia kemudian menjadi pertapa
dan menghilang (tilem) di Gunung Satria.

Terdapat perbedaan mengenai Dalem Pasehan. Dalam sejarah Kerajaan Mandala di Puntang, tokoh ini
merupakan penguasa kerajaan tersebut hingga akhirnya, berdasarkan keputusan Prabu Siliwangi di
Pajajaran, kepemimpinan diserahkan kepada isterinya yang merupakan anak Dalem Pasehan sendir, yaitu
Ratu Maraja Inten Dewata menjadi Nalendra di Kadaleman Mandala di Puntang. Perpindahan kekuasaan
dari Kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kadaleman Timbanganten terjadi pada masa pemerintahan
Derma Kingkin.

Sebagai pengganti yang menjadi Ratu adalah anaknya Sunan Dayeuh Manggung yang dmakamkan di
Dayeuh Manggung. Sunan dayeuh manggung wafat dan digantikan anaknya , Sunan Derma Kingkin
yang makamnya di muara Sungai Cikamiri. Setelah Sunan Derma Kingkin meninggal, maka Sunan
Ranggalawe, putranya yang menggantikan dan beribukota di Korwabokan. Kemudian setelah Sunan
Ranggalawe, berturut-turut yang menjadi ratu di Timbanganten adalah Sunan Kaca (adik Ranggalawe),
Sunan Tumenggung Pateon (menantu Sunan Kaca atau putra Sunan Ranggalawe), Sunan Pari (ipar
Sunan Pateon), Sunan Pangadegan (adik Sunan Pateon) yang di makamkan di Pulau Cangkuang.

Sunan Pangadegan meninggal, maka yang menggantikan adalah Sunan Demang. Sunan Demang sendiri
meninggal (dibunuh) di Mataram, dan penggantinya adalah Sunan Saanugiren (kakak Sunan Demang).
Selanjutnya yang menggantikan Sunan Sanugiren, putranya Demang Wirakrama. Demang Wirakrama
setelah meninggal dimakamkan di Sarsitu dan digantikan oleh Putranya, Raden Demang Candradita yang
di kemudian hari menjadi Penghulu Bandung. Meninggal di Cikembulan dan dimakamkan di Tanjung
Kamuning. Kakak Raden Demang Candradita, Raden Demang Ardisutanagara menjadi Dalem di
Bandung dan setelah meninggal dimakamkan di astana Tenjolaya Timbanganten.
Pengganti Demang Ardisutanagara adalah Dalem Tumenggung Anggadireja , setelah meningggal dikenal
dengan sebutan Sunan Gordah, Timbanganten. Pengganti Sunan Gordah, putranya bernama Raden
Inderanegara dan bergelar Tumenggung Anggadireja, ketika meninggal dimakamkan di astana Tarik
Kolor Bandung. Tumenggung Anggadireja meninggal digantikan putranya , Raden Anggadireja yang
bergelar Dalem Adipati Wiranatakusumah. Dalem Adipati Wiranatakusumah meninggal dan
dimakamkan di pinggir mesjid Tarik Kolor Bandung (sekarang lokasi Mesjid Agung Propinsi Jawa Barat,
di Jalan Dalem Kaum Bandung). Selanjutnya, sebagai pengantinya adalah putranya bernama Dalem
Dipati Wiratanukusumah.

Dalem Dipati Wiratanukusumah meninggal, maka yang menggantikannya Raden Nagara (putranya) serta
bergelar Dipati Wiratanukusumah, tetapi tidak lama karena ia di bunuh kolonial Belanda. Dipati
Wiratanukusumah digantikan putranya, Raden Rangga Kumetir dan bergelar Dalem Adipati. Sewaktu
dalem Adipati meninggal yang menggantikan adalah saudaranya, bernama Raden Adipati Kusumadilaga
Bintang (DALEM BINTANG).

Dalam naskah ini diuraikan mengenai batas-batas wilayah Timbanganten, Tanah Cihaur dan Tanah Ukur
Pasir Panjang yang dibatasi Gunung Mandalawangi. Selanjutnya Timbanganten berganti nama menjadi
Tarogong, dan sebagian dari Wilayah Tatar Ukur, sekarang termasuk pada wilayah Administratif
Kabupaten Garut, yaitu : Kecamatan Tarogong Kaler dan Kidul (dimana pada saat proses pemekaran
Kecamatan Tarogong Tahun 2002, Penulis terlibat langsung dan turut membidani lahirnya 2 kecamatan
baru ini), kemudian Samarang, Leles, dan Kadungora atau Cikembulan. (TAMAT)

Sumber : Tatar Garut, 2007.

Penulis : ASEP HARSONO HS. S.Sos, M.Si.

Jabatan : Sekretaris Camat Karang Tengah-Garut

https://gemasundagarut.wordpress.com/2012/07/30/kerajaan-kerajaan-di-tatar-garut/

Anda mungkin juga menyukai