Anda di halaman 1dari 29

Syekh Jambukarang : Haji Purwa, Tanah Perdikan Cahyana, dan Kebudayaan yang

Lahir di Cahyana

Oleh: Laksa Tiar Makmuria

Ada semacam cerita masyarakat yang masih hidup hingga kini di wilayah
antara Kecamatan Karangmoncol dan Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga
bahwa Islam di tanah Jawa pertama kali disyiarkan oleh seorang yang bernama Syekh
Jambukarang. Syiar Islam yang dilakukan Syekh Jambukarang dan keturunannya di
Wilayah yang nanti akan disebut sebagai Perdikan Cahyana, menurut masyarakat
sekitar sudah dilakukan jauh sebelum syiar yang dilakukan oleh Wali Sanga.

Salah satu cerita yang sering diceritakan ketika menanyakan perihal Syekh
Jambukarang adalah bahwa dia adalah salah satu anak raja di kerajaan Pajajaran yang
enggan menerima gelar sang ayah dan memilih jalan menjadi seorang pertapa. Ia
bertama di wilayah sekitaran Banten. Pada suatu ketika, Syekh Jambukarang yang
memiliki nama asli Raden Mundingwangi ini melihat cahaya putih menjulang ke
langit di wilayah Timur. Disusurilah jalan agar sampai pada sumber cahaya tersebut.

Sampai pada suatu ketika, ketika Syekh Jambukarang sampai pada suatu tempat
yang bernama Gunung Panungkulan dan bertapa di sana, datang seorang lagi yang
menurut pengakuannya juga melihat cahaya itu saat shubuh. Orang ini adalah Syekh
Atas Angin, dari jazirah Arab. Singkat cerita, kedua ahli kebatinan ini beradu ilmu
dengan jaminan, barang siapa yang kalah harus jadi pengikut ajaran si pemenang.
Pada akhir pertarungan, Syekh Jambukarang mengaku kalah dan akhirnya masuk
Islam. Sebagai bentuk tanda hormat pula, Syekh Jambukarang menikahkan Syekh
Atas Angin dengan putrinya yang bernama Rubiyah Bekti.

Anak keturunan dari pernikahan Syekh Atas Angin dan Rubiyah Bekti inilah
yang akan meneruskan perjuangan syiar Islam di Wilayah yang nanti akan dikenal
sebagai wilayah Perdikan Cahyana. Lalu valid kah kisah yang masih hidup di
masyarakat wilayah bekas daerah Perdikan Cahyana dalam kacamata ilmiah?
Syekh Jambukarang dalam berbagai kisah

Mengutip sebuah manuskrip berjudul Cariyosipun Redi Munggul yang oleh


masyarakat Perdikan Cahyana dianggap sebagai karya sejarah tradisional,
menceritakan bahwa :

Punika Cariyosipun Redi Munggul Satenghjing Nusa Jawi Waktu Medal


Cahya Pethak Umancur Sundhul ing Ngawiyat Ngawontenaken
Pupundhen ing Cahyana1.
Artinya: Cerita Redi Munggul di tengah Pulau Jawa, ketika keluar cahaya
putih yang memancar ke langit menunjukkan … di Cahyana( --pen).

Apa yang tertulis dalam manuskrip Cariyosipun Redi Munggul ini mirip dengan
apa yang dituturkan oleh masyarakat Perdikan Cahyana ketika menceritakan kisah
mengenai Syekh Jambukarang. Sepertinya teks ini menjadi rujukan utama bagi
masyarakat di desa-desa Perdikan Cahyana.

Naskah Jawa setebal 40 halaman dengan dimensi 19x16 cm ini juga


menceritakan asal-usul Pangeran Jambukarang2. Dikisahkan dalam manuskrip
tersebut bahwa Syekh Jambukarang berasal dari Pajajaran, yakni putra dari Prabu
Brawijaya Mahesa Tandreman. Nama Prabu Brawijaya Mahesa Tandreman sebagai
raja Pajajaran menjadi unik, mengingat nama Brawijaya adalah nama raja legendaris
dari Majapahit yang sangat menonjol dan banyak disebutkan dalam Babad-babad
yang ditulis di Jawa Tengah3.

Namun, dalam karya babad, Brawijaya bukanlah tokoh historis karena sumber-
sumber sejarah, baik prasasti zaman Majapahit maupun Kakawin Nagarakartagama
tidak pernah menyebutkan nama Brawijaya4. Ada kemungkinan bahwa penulis

1
Priyadi, Sugeng. 2001, Perdikan Cahyana dalam Humaniora, Vol. XIII; UGM; Yogyakarta
2
Ibid.
3
Ibid.
4
Slametmuljana, 1983, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press
sejarah Cahyana itu sudah tidak mengenal tradisi penulisan karya babad di Jawa
Tengah pada umumnya, mengingat wilayah perdikan Cahyana yang cukup terpencil
dan kalis dari pengaruh dunia luar yang kuat. Karya sejarah Cahyana itu dibangun
dari produk budaya lisan yang hidup subur di tengah-tengah masyarakat. Di wilayah
tersebut juga sudah berkembang tradisi lisan menuju tradisi tulis5.

Karya babad seringkali dianggap menghasilkan anakronisme dalam penulisan


sejarah Jawa, khususnya dalam merekonstruksi peristiwa-peristiwa sejarah yang tidak
kronologis. Gelar raja Pajajaran yang bercampur dengan raja Majapahit dalam
legenda Jawa jelas anakronisme. Jadi, gejala tersebut merupakan anakronisme
pangkat dua. Kedua nama itu muncul dalam sejarah pangiwa, yaitu tradisi silsilah
kiri yang ditarik dari Nabi Adam. Silsilah kiri tersebut berisi tokoh dewa-dewa, tokoh
wayang, raja-raja Jawa-Sunda, raja-raja Majapahit. Mahesa Tandreman dalam silsilah
kiri disebut sebagai raja Jenggala (Panji Kuda Laleyan) yang berpindah ke Pajajaran
karena negerinya banyak dirundung bencana.

Penulisan sejara tradisional memang tidak memperhatikan faktor anakronisme.


Yang lebih penting adalah proses pemaknaan terhadap kehadiran tokoh Prabu
Brawijaya Mahesa Tandreman sebagai leluhur para demang yang tinggal di Cahyana.
Adanya dua unsur raja, Jawa dan Sunda menunjukkan bahwa masyarakat penghasil
teks Cariyosipin Redi Munggul menekankan pemberian makna terhadap eksitensi
manusia melalui kisah atau peristiwa yang tepat secara faktual, tetapi logis secara
maknawi6. Sebagai produk kultural, Cariyosipun Redi Munggul memberikan makna
pada eksistensi tokoh leluhur, Pangeran Jambukarang Maka dari itu, wajar saja
apabila makam Pangeran Jambukarang terletak lebih tinggi, yakni di Ardi Lawet7.

5
Priyadi, Sugeng 2001, Perdikan Cahyana ….
6
Ibid
7
Behren, T.E. & Titik Pudjiastuti. 1997. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3-A Fakultas
Sastra Univeristas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Ecole Francaise D’Extreme Orient.
Pangeran Jambukarang yang seorang pertama dari agama Hindu pada mulanya
sudah sampai terlebih dahulu di wilayah Cahyana, tepatnya di gunung Panungkulan
setelah melihat cahaya di Timur saat bertapa di wilayah Banten. Tapa Pangeran
Jambukarang terganggu oleh uluk salam dari Syekh Atas Angin yang dalam literatur
lain memiliki nama Abdul Syarif Al Qadri. Dia datang dari Arab dan sampai di
tempat itu lantaran melihat cahaya putih pula di dari Timur.

Syekh Atas Angin yang merasa tidak digubris karena salamnya tidak dijawab,
lalu menyimpulkan bahwa Pangeran Jambukarang bukan seorang muslim. Singkat
cerita, kedua tokoh yang mengejar cahaya putih itu beradu kesaktian dengan
perjanjian, siapa di antara mereka yang kalah, akan menjadi pengikut si pemenang.
Pada akhir pertarungan, Pangeran Jambukarang bertekuk lutut dan akhirnya menjadi
seorang muslim.

Syekh Jambukarang kemudian menikahkan anak perempuannya, Rubiyah Bekti


dengan Syekh Atas Angin. Dari pernikahan tersebut, Syekh Atas Angin dan Rubiyah
Bekti dikaruniai lima orang anak, yaitu Pangeran Mahdum Kusen (Kayu Puring)
yang dimakamkan di Rajawana; Pangeran Mahdum Madem, yang makamnya berada
di Cirebon; Pangeran Mahdum Omar, yang makamya berada di Karimun Jawa;
Rubiyah Raja, yang makamnya berada di Ragasela; dan Rubiyah Sekar, yang
makamnya beradan di Jambangan, Banjarnegara. Setelah empatpuluh tahun berada di
Cahyana, Syekh Atas Angin kembali ke Arab.

Banyak pula karya yang dibuat sebagai upaya untuk menjelaskan mengenai
siapakah Syekh Jambukarang, seperti Tjarijos Panembahan Lawet, karya A.M
Kartosoedirdjo; Sejarah Ragasela yang merupakan manuskrip Museum Pusat Jakarta;
dan ada pula kisah-kisah yang berkaitan dengan Pangeran Jambukarang yang sudah
diterbitkan oleh Penerbit Soemodidjojo, Yogyakarta, pada tahun 1953, yaitu Babad
Jambuarang. Namun, karya-karya tersebut juga bersumber dari Cariyosipun Redi
Munggul8.

Selain itu, ada dua teks silsilah yang berjudul (1) Sudjarah Nabi puputra Dhewi
Fatimah lan saterasipun dhumugi Pakiringan Tjahjana dan (2) Sudjarahipun
Pangeran Djambu Karang Asal saking Pedjadjaran miwiti saking Sijung Wanara
dhumugi Pangerang Makhdum Thajana. Teks itu terkandung dalam naskah yang
disalin oleh Ngisroen Mangoenwidjaja di Gunung Batu, Bogor pada tanggal 2-8
Februari 1972. Penyaling mengaku berasal dari desa Makam, wilayah Gunung Lawet,
Perdikan Cahyana, Purbalingga9.

Teks pertama mengacu kepada silsilah kanan atau tradisi sejarah panengen
yang lazim dalam penulisan sejarah Jawa. Silsilah tersebut hanya sampai pada tokoh
Pangeran Mahdum Cahyana yang dikisahkan tidak mempunyai keturunan. Pangeran
Mahdum Cahyana digantikan oleh dua orang sahabatnya dari Demak yang bernama
Kiai Pekih di Desa Granting dan Kiai Suwela (bukan kiai Mas Barep) di Desa
Pekiringan, Dalam teks Cariyosipun Redi Munggul, kedua orang pengganti Pangeran
Mahdum Cahyana adalah putra Pangeran Mahdum Tores yang tinggal di Bogares,
Tegal.

Teks kedua mencerminkan silsilah yang unik dengan urutan sebagai berikut:
Siyung Wanara—Prabu Kancana—Lingga Wesi—Llingga Yang—Lingga Wastu—
Prabu Jambudipa (Pangeran Jambu Karang). Silsilah itu tidak lazim sebagaimana
diberitakan oleh teks-teks babad di Jawa Barat, misalnya Prabu Kancana 10, tokoh ini
sebenarnya bukan tokoh babad, tetapi tokoh sejarah karena tercantum dalam prasasti
Batutulis, yakni Rahiyang Niskala Wastu Kencana 11. Babad Galuh dan Sejarah Galuh
menyajikan silsilah sebagai berikut: Siyung Wanara—Lutung Kasarung—Lingga

8
Priyadi, Sugeng 2001, Perdikan Cahyana ….
9
Ibid
10
“Sutaarga, Moh. Amir. 1984. Prabu Siliwangi” dalam “Priyadi, Sugeng. 2001. Perdikan Cahyana…”
11
Atja, 1970. Cerita Ratu Pakuan, dalam “Priyadi, Sugeng, 2001. Perdikan Cahyana
Hiyang—Lingga Wesi—Lingga Wastu—Susuk Tunggal. keterangan kedua babad ini
bisa dibandingkan dengan penuturan teks berikut.

Teks Tedhakan Serat Soedjarah Joedagaran yang terkandung dalam naskah


koleksi Museum Sana Budaya (SB 69) sepintas lalu menyebutkan kisah Pangeran
Jambu Karang, yakni teks Salasilah Pajadjaran tepngipoen kalijan hing Wirasaba
Tojadjene. Daka silsilah itu, Prabu Lingga Wesi mempunyai tiga orang putra, yakni
Prabu Lingga Karang atau Pangeran Jambu Karang (Raja Pajajaran, makamnya di
Gunung Lawet), Prabu Lingga Ganggang atau Prabu Susuk Tunggal (raja Pajajaran),
dan Prabu Lingga Larang (Raja Bana Keling). Prabu Susuk Tunggal menjadi leluhur
adipati Patihluhur melalui Banyak Catra. Hal yang sama juga dituturkan oleh teks
Babadiun Dusun Perfikan Gumelem. Teks tersebut diduga disusun berdasarkan atas
teks Tedhakan Serat Soedjarah Joedanagaran di atas.

Di luar Perdikan Cahyana, naskah yang berisi kisah Pangeran Jambu Karang
juga ditemukan dalam teks Sadjarah Padjadjaran Baboning Tjarios saking Adipati
Wiradhentaha Boepati Priangan (Jilid 1) dan Sadjarah Padjadjaran Baboning
Tjarios saking Adipati Wiradhentaha Boepati Priangan Manondjaja (Jilid 2). Ada
dua naskah yang berasal dari Jawa Barat mengandung teks yang berjudul Tjarios
Panembahan Djamboekarang Goenoeng Lawet. Hal itu ssuai dengan kisah-kisah
lama yang tersebar di daerah perdikan yang menyatakan bahwa Cahyana dahulu
termasuk wilayah Pajajaran. Nuansa kesundaan sangat tampak pada toponim-
toponim, misalnya Cikarang (sekarang Kali Karang) atau Kali Idheng (Cihideung).

Di desa Laebaksiu Kidul, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal terdapat adat-


istiadat berupa upacara religu Rebo Pungkasan yang menghubungkannya dengan
tokoh leluhur Syekh Jambu Karang atau Darmakusuma yang makamnya berada di
bukit Tanjung. Upacara tersebut dilaksankan pada hari Rabu terakhir bulan Sapar.
Dengan demikian, secara sekilas dapat diperoleh gambaran bahwasannya sumber
yang berbicara tentang Pangeran Jambu Karang tidak hanya berasal dari Cahyana,
tetapi juga berasal dari lar. Di sini, ada kontak antarbudaya lokal yang merupakan
cerminan suara-suara milenium12.

Dalam penelitian Ekadjati13 ditemukan adanya naska Sunda, Mangle Arum,


berisi teks Cerita Dipati Ukur versi Bandung. Naskah itu dituls oleh Haji Harun Al
Rasyid pada masa pendudukan militer Jepang. Teks versi Bandung itu dapat dibagi
menjadi dua, yakni kisah leluhur Dipati Ukur dan kisah Dipati Ukur sendiri. pada
bagian awal teks dikatakan bahwa dahulu kala di wilayah Karesidan Banyumas
terdapat kerajaan Jambu Karang yang berkedudukan di Purbalingga. Raja dan
penduduknya masih beragama Budha. Seorang bangsawan Arab yang bernama Syarif
Abdurahman Al-Qadri datang ke kerajaan Jambu Karang. Di situ, banyak penduduk
yang tertarik memeluk agama Islam. Raja Sunan Jambu Karang tidak suka kepada
bangsawan Arab yang telah mengislamkan rakyatnya sehingga mereka beradi tanding
kesaktian. Singkat cerita, Sunan Jambu Karang kalah dan memeluk Islam beserta
rakyatnya. Syarif Abdurahman Al-Qadri diambil sebagai menantu oleh Sunan Jambu
Karang. Sesudah menikah, Syarif Abdurahman berganti nama Pangeran Atas Angin.
Nama tersebut diambil dari tanah asalnya (Arab) yang letaknya di atas khatulistiwa.
Setelah Sunan Jambu Karang wafat, Pangeran Atas Angin menggantikan kedudukan
mertuanya sebagai raja.

Pangeran Atas Angin dengan istrinya (Putru Jambu Karang) berputra Pangeran
Cahya Luhur. Pangeran Luhur mempunya ianak, yaitu Pangaran Adipati Cahyana.
Pada masa itu, Pangeran Adipati Cahyana tidak sampai menjadi raja karena daerah
kekuasaannnya direbut oleh raja Mataram Panembahan Senapati. Putra Pangeran
Adipati Cahyana yang masih kecil, Wangsanata, disingkirkan dari Jambu Karang dan
dititipkan kepada bupati Ukur (Adipati Ukur Agung). Wangsanata diambil sebagai
menantu oleh Adipati Ukur Agung dan dikawinkan dengan Nyai Gedeng Ukur.
Sepeninggal mertuanya, Wangsananta menjadi Adipati Ukur. Tokoh yang terakhir ini
12
Priyadi, Sugeng, 2001. Perdikan Cahyana …
13
Ekadjati, Edi S., 1982. Ceritera Dipati Ukur, Karya Sastra Sejarah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya
sering disebut sebagai pemberontak. Namun, masyarakat Sunda menganggapnya
sebagai pahlawan. Dengan demikian, teks Mangle Arum yang merupakan teks
Caeritera Dipati Ukur versi Bandung mengenal kerajaan Jambu Karang dengan
rajanya Sunan Jambu Karang.

Julukan Haji Purwa

Berdasarkan manuskrip Cariyos Redi Munggul, setelah memeluk agama Islam,


Syekh Jambu Karang melaksanakan ibadah haji. Sepulang haji, dia mendapatkan
gelar atau terkenal dengan sebutan Haji Purwa/Purba, yang berarti orang Jawa asal
Pulau Jawa pertama yang menunaikan ibadah haji. Dia dikatakan sebagai wali yang
menyebarkan Islam jauh sebelum datangnya para Wali Sanga. Hal ini dijelaskan
dalam sebuah wasiat dari Syekh Atas Angin kepada Syekh Jambu Karang, yang
berbunyi :

Panget pengendikanipun susuhan Atas Anging dumateng Ratu


Jambukarang. Ingsun karsa wirayat, wirayating Rosululloh SAW.
Pengendikane: Anak putuningsun kabeh, ing besuk lamun ana cahya telu
ing Nusa Jawa, sundul ing langit, putih rupane sira dikebat, ambedag,
karana cahya tueuh ing ardi Panungkulan, ya pusering Nusa Jaa. Iku
metu angejawi cahya merdeka dewe, ya merdikaning Alloh,ya susuhubab
Ratu rupane ing besuk retna kumala inten jumaten.
Artinya: wasiat ucapan susuhan Atas Angin kepada Ratu Jambukarang.
Kami mempunyai wasiat dari Rasulullah SAW. Semua anak cucu kami
apabila di kemudian hari timbul nur/cahaya tiga buah menjulang tinggi
ke angkasa, putih warnanya, di pulau Jawa, segeralah kamu mencar dan
mendatangi nur/cahaya tersebut yang timbul di Gunung Panungkulan.
Itilah pusat pulau Jawa, timbullah nur/cahaya di pulau Jawa itu merdeka
dengan sendirinya, yang merdeka karena Allah dan susuhan Ratu itulah
di kemudian hari yang akan menjadi pembawa cahaya penegak
kebenaran (pembawa agama Islam)14.

Membahas mengenai sebutan Haji Purwa yang disematkan kepada Syekh


Jambu Karang sebagai orang dari Pulau Jawa pertama yang menunaikan Haji,J.
Hageman dalam bukunya “Geshiedenis der Soendalanden” mencoba menelusuri
hikayat agama Islam di Barat Jawa. Dalam buku tersebut ditulis bahwa orang Sunda
(Asal pulau Jawa) pertama yang memeluk agama Islam adalah putra Prabu Kuda
Lalean, yang mendapat julukan Haji Purwa.

Hageman menggunakan sumber-sumber lokal, termasuk penuturan masyarakat


untuk melacak keberadaan muslim pertama dari etnis Sunda tersebut. Menurutnya,
Haji Purwa dahulu bekerja sebagai pedagang yang telah melakukan kegiatan
perdagangan hingga keluar Nusantara.

Dalam penelitian Nina H. Lubis, dkk, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa


Barat, disebutkan bahwa Haji Purwa tertarik mempelajari Islam pada saat melakukan
perjalanan dagang ke India. Saat itu dirinya masih seorang Hindu yang taat. Namun
perkenalannya dengan banyak pedagang dari tanah Arab, membuat dirinya perlahan
mencoba mengenal lebih dalam agama yang baginya asing tersebut. Haji Purwa
diislamkan oleh saudagar Arab yang kebetulan bertemu di India.

Rokhim Dahuri dalam Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi di Cirebon,


menyebutkan bahwa nama asli Haji Purwa adalah Bratalegawa yang merupakan
seorang saudagar sukses dari Sunda. Ia senang melakukan perjalanan niaga ke luar
negeri. Dari aktivitas inilah dia mulai berkomunikasi dengan banyak saudagar
Muslim, hingga akhirnya diislamkan oleh seorang yang berasal dari Timur Tengah.

14
Soetjipto, Ahmad, 1969, Sedjarah Singkat Pangeran Wali Sjeh Djambukarang atau Hadji Purwa dan
Wali Sanga, Cetakan 1. Yogyakarta: Sumbangsih
Bratalegawa kemudian menikahi seorang wanita Muslim dari Gujarat, bernama
Farhana binti Muhammad. Keduanya lalu memutuskan pergi ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji. Setelah kembali, Bratalegawa mengganti namanya menjadi
Haji Baharudin al-Jawi. Oleh karena ia merupakan haji pertama di Galuh, maka ia
disebut Haji Purwa (pertama).

Dari Mekkah, Haji Purwa beserta keluarganya pergi ke Jawa Barat. Mereka tiba di
Galuh pada 1337 Masehi. Dibantu oleh kawan Muslimnya dari Arab, Haji Purwa
berusaha mengislamkan penguasa Galuh. Namun upayanya mengalami kegagalan
karena pengaruh Hindu masih terlalu kuat di Tatar Sunda.

Gagalnya upaya Islamisasi di Galuh membuat Haji Purwa memilih untuk keluar dari
pusat kerajaan. Ia pun memutuskan tinggal di Caruban Girang (Cirebon), yang saat
itu masih berada di bawah kekuasaan Galuh, dan menyebarkan Islam di sana.

“Hageman dan Ekadjati menghubungkan tokoh Haji Purwa dengan Syeh Maulana
Safiuddin, orang Islam pertama yang menetap di Caruban Girang,” tulis Sobana.

Setelah Haji Purwa menyebarkan ajarannya, banyak masyarakat Cirebon yang


memeluk Islam. Walau masih terbatas di wilayah Cirebon pesisir, tetapi dari sanalah
muncul tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa Barat. Salah satu yang paling berjasa
melanjutkan peran Haji Purwa adalah Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati15.

Dari beberapa sumber di atas yang menyebutkan mengenai julukan Haji


Purwa, menjadikan pertanyaan mengenai siapakah orang pertama dari Jawa yang
memeluk Islam, apakah Syekh Jambu Karang atau Bratalegawa, yang kedua-duanya
berasal dari wilayah Sunda (Pajajaran dan Galuh).

Para peneliti yang menyebutkan bahwa Haji Purwa yang memiliki nama asli
Bratalegawa, anak dari Raja Galuh yang suka berdagang dan mengislamkan Pulau
15
https://historia.id/amp/agama/articles/muslim-pertama-di-tatar-sunda-DLBBQ
Jawa ditentang oleh Azyumardi Azra dalam sebuah acara bertajug ”Borobudur
Writers Cultural Festival ke-7, di Hotel Manohara, Magelang, Jumat, 23 November
2019. Ia membantah jika Islamisasi dilakukan oleh pedagang Gujarat (atau aktivitas
perdagangan). Dalam periwayatan al-Ramhurmuzi disebutkan bahwa raja Sriwijaya
pernah mengirimkan surat kepada dua raja Arab: Khalifah Muawiyah ibn Abi
Sufyan, pendiri Dinasti Umayyah (661-680 M) dan Khalifah Umar Ibn Abd al-Aziz,
Khalifah Bani Umayyah (717-720 M).

Kedua surat itu ditemukan sastrawan al-Jahiz di arsip Dinasti Umayyah. Isinya,
maharaja Sriwijaya meminta raja Arab mengirim guru untuk mengajar Islam di
Sriwijaya. Tak diketahui apakah masing-masing raja Arab itu memenuhi permintaan
maharaja Sriwijaya. Yang jelas, kedua surat ini menunjukkan bahwa para pelaut,
pedagang muslim tidak memperkenalkan Islam kepada maharaja Sriwijaya. Azra
lebih melihat peran pengembara sufi sebagai agen penyebar Islam Nusantara.

Ditambah lagi negeri Gujarat sebelum abad ke-13 M masih merupakan negara
Hindu. Mereka bermusuhan dengan Islam. Menurut Azra, para pedagang muslim
bukanlah yang mengajarkan Islam ke raja.Padahal kala itu peranan kesultanan begitu
penting dalam proses penyebaran paham tertentu ke rakyat. Memang ada pelaut
muslim, tapi tidak ada konversi Islam dari pedagang. Tak ada buktinya, sehingga
teori ini harus ditolak.16

Ditambah lagi bahwa dalam agama Hindu terdapat beberapa Kasta (Brahmana,
Ksatria, dan Sudra) dimana masyarakat Brahmana memiliki kasta tertinggi dan
biasanya menjadi Raja atau ahli kebatinan/agama. Sedangkan kaum saudagar berasal
dari kasta lain. Ditambah lagi hubungan antar kasta yang hierarkis menjadikan sulit
kiranya bila seorang pedagang—yang dianggap memiliki kasta berbeda dari sudut
pandang Raja Hindu di kerajaan-kerajaan Jawa/Sunda—melakukan Islamisasi.

16
https://historia.id/amp/agama/articles/mempertanyakan-kembali-teori-islamisasi-di-nusantara-
PNegR
Syekh Jambu Karang yang dikisahkan sebagai seorang keturunan Raja dan
menjadi ahli waris dari kerajaan, namun memilih pergi mengembara merupakan
simbol pelepasan dirinya akan kasta. Pertemuannya dengan Syekh Atas Angin atau
Syarif Abdurahman Al-Qadri, seorang dari tanah Arab yang melakukan perjalanan
ke Jawa dengan motif bukan untuk berdagang, namun karena mengejar pancaran
cahaya di sebelah Timur bisa menjadi indikasi bahwa dia adalah seorang ahli
kebatinan (Sufi) yang mengembara. Hal ini bisa memperkuat argumen Azyumardi
Azra mengenai Islamisasi yang dilakukan oleh para sufi.

Azra mengajukan teori “Mata Air” untuk menjelaskan terkait masuknya Islam
atau Islamisasi di Nusantara. Artinya, sumber kedatangan ajaran Islam bisa berasal
dari berbagai tempat seperti sumber-sumber mata air. Dia menilai bahwa teori
sejarawan Slamet Muljana cukup masuk akal terkait Islam di Tiongkok dan
pengembaraan pelayar Tiongkok muslim ke Indonesia. Ditambah bahwa Nusantara
sebagai wilayah maritim yang merupakan tempat terjadinya persilangan budaya yang
bisa datang dari mana saja.17.

Syekh Jambu Karang dalam Tarikan Waktu

Banyaknya riwayat yang mengisahkan sosok bernama Syekh Jambu Karang


membuat berkelindannya antara fakta dan mitos, sekaligus menambah kemisterian
dan kelegendaan tokoh ini. Namun, apabila kita menggunakan acuan penerima
Piagam Perdikan Cahyana yang disusun A.M Kartosoedirdjo dalam naskah Tjarijos
Panembahan Lawet yang disusun pada tahun 194118, menyebutkan bahwa Pangeran
Wali Prakosa, yang canggahnya adalah Syekh Jambu Karang, menerima Piagam
Perdikan Cahyana dari Sultan Demak bertahun 1403 AJ/1481 M.

Apabila diasumsikan bahwa pada saat Pangeran Wali Prakosa menerima


Piagam tersebut pada usia 55 tahun (usia ini dipilih karena biasanya manusia
17
Ibid
18
Behren, T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 1 Museum Sana Budaya
Yogyakarta. Jakarta: Djambatan & Ford Foundation.
memulai memiliki pengaruh atau di-gugu omongannya pada usia tersebut), maka dia
lahir sekitar tahun 1426 M. Bapaknya, Pangeran Mahdum Jamil pada saat itu
diasumsikan berusia 30 tahun, maka, Pangeran Mahdum Jamil lahir pada tahun 1394.
Apabila Mahdum Khusen, bapak dari Pangeran Mahdum Jamil berusia 35 tahun
pada saat memiliki anak Mahdum Jamil, maka Pangeran Mahdum Khusen lahir pada
sekitar tahun 1339 M. Apabila pada saat melahirkan putra pertamanya tersebut
Rubiyah Bekti, istri dari Syekh Atas Angin berusia 27 tahun dan sang suami berusia
45 tahun, maka pertemuan antara Syekh Atas Angin dan Syekh Jambu Karang terjadi
antara akhir abad 13 hingga awal abad 14 M.

Satu jurnal lagi menyebutkan bahwa, pada tahun 1194, Raja Pajajaran waktu
itu, Raja Mundingsari memerintahkan Empu Adilangu untuk menulis perihal Prabu
Banjaransari. Raja Mundingsari yang dalam jurnal tersebut tidak diketahui lebih
lanjut mengenai pribadinya, menugaskan penulisan cerita kejayaan nenek
moyangnya dalam rangka meninggikan khrasima raja yang sedang memerintah di
mata rakyat19.

Jika Raja Mundingsari yang dimaksud di atas adalah adik dari Pangeran
Mundungwangi yang tak lain adalah Syekh Jambu Karang yang menolak menjadi
raja dan memilih menjadi pertapa, maka bisa dikatakan pula bahwa Syekh Jambu
Karang hidup pada masa akhir abad ke 12 hingga awal abad ke 13.

Hal ini busa saja menjadi benar, mengingat bahwa Prebu Wastu atau Prabu
Niskala Wastu Kancana dalan naskah Carita Parahiyangan disebutkan memimpin
kerajaan Galuh selama 104 tahun20. Bahkan, hitungan mundur dengan dasar usia
Pangeran Wali Prakosa saat menerima Piagam Perdikan dari Kasultanan Demak bisa
lebih tua dari umur 55 tahun yang diasumsikan oleh penulis.

19
Yasmis, …, Struktur Birokrasi Kerajaan Pajajaran Abad X – XI,
20
Nina Herlina Lubis, dkk, 2016. Rekonstruksi Kerajaan Galuh. Paramita Vol. 16, No. 1 – 5ahun 2016.
Unpad. Bandung
Syekh Jambu Karang, dalam berbagai sumber dan cerita, baik lisan atau
tulisan, bisa dikatakan sebagai seorang tokoh legenda yang hidup pada sekitar abad
ke-12, 13, atau ke-14 M. Satu hal yang perlu ditelusuri lebih lanjut adalah mengapa
tanah Cahyana, yang berada di sebelah ujung Timur kerajaan Sunda-Galuh menjadi
tempat pertemuan dua orang ahli kebatinan.

Tanah Perdikan Cahyana dalam Perjalanan Masa ke Masa

Tanah perdikan atau pada masa Hindu-Budha disebut sebagai sima, merupakan
istilah yang khas bagi wilayah Kerajaan dari Mataram Awal (809 M) hingga masa
Mataram Islam (1770-an), masa Hindia Belanda (1800-an), dan dihapus oleh
pemerintahan Negara Republik Indonesia melalui UU No. 13 Tahun 1946 tentang
Penghapusan Wilayah Perdikan21. Wilayah desa Cahyana diberikan status perdikan
untuk pertama kali pada masa Kasultanan Demak yang diberikan kepada Pangeran
Wali Prakosa pada tahun 1403 Saka (1481 M).

Bisa dikatakan, pada masa itu, wilayah Banyumas sudah masuk ke dalam
wilayah Kasultanan Demak. Sebelumnya, wilayah Banyumas masuk ke dalam
Wilayah Kerajaan Sunda/Galuh, sebagai wilayah paling Timur. Dua kerajaan besar
ini—Sunda dan Galuh—pernah dipersatukan dengan perkawinan, dan sejak akhir
abad ke-15 dipusatkan di Pakuan Pajajaran hingga runtuh pada tahun 1579 M 22. Dari
serangkaian cerita ini, bisa dikatakan, pada masa menjelang akhir kerajaan Sunda-
Galuh, wilayah mereka menyempit dengan masuknya wilayah Cahyana ke
Kasultanan Demak.

Bagaimanakah hal ini bisa terjadi? Apakah anugerah Tanah Perdikan dari
Kasultanan Demak selain sebagai hadiah juga salah satu bentuk ekspansi Kasultanan
tersebut? Atau memang wilayah paling Timur dari Kerajaan Sunda-Galuh ini
21
Suhadi, Machdi, 1981. Status Tanah/Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982. Jakarta, Dep. Pendidikan dan
Kebudayaan.
22
Nina Herlina Lubis, dkk, 2016. Rekonstruksi Kerajaan Galuh …
dianggap tidak strategis dan pembangkang (karena berbeda keyakinan dengan
kerajaan)? Pertanyaan tersebut harus dijawab dengan serangkaian penelitian sejarah
yang cukup rumit dengan membedah berbagai Babad dan cerita masyarakat yang
masih hidup, serta pencarian artefak yang sezaman.

a. Zaman Kerajaan Sunda

Wilayah Cahyana pada masa Kerajaan Sunda terletak di wilayah paling Timur
kerajaan tersebut. Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran (Sekitaran
Bogor) pada wilayah Timur berbatasan dengan Kerajaan Kediri pada tahun 1194 M.
Pada tahun tersebut, raja Mundusari menyuruh Empu Adilangu menulis perihal
Prabu Banjaransari23.

Kerajaan Sunda sendiri memiliki struktur birokrasi, dimana di tingkat


pemerintahan pusat, kekuasaan tertinggi berada di tanan raja. Dalam pelaksanaan
tugasnya sehari-hari, raja dibantu oleh Mangkubumi yang membawahi beberapa
orang Nunangganan. Di samping itu, terdapat pula putera mahkota, yang akan
menggantikan kedudukan sang raja jka raja meninggal dunia atu mengundurkan diri.
Untuk mengurus daerah-daerah yang luas, raja dibantu oleh beberapa orang raja
daerah. Raja-raja itu dalam melaksanakan tugas mereka sehari-hari bertindak sebagai
raja yang merdeka, tetapi mereka tetap mengakui raja Sunda yang bertahta di
Pakwan Pajajaran atau Dayo sebagai junjungan mereka.

Raja

Mangkubumi

Nunangganan

23 Mantri
Yasmis, …, Struktur Birokrasi Kerajaan Pajajaran…
Wado
Sumber: Yasmis24

Di samping itu, ada pula pejabat-pejabat lain seperti punggawa, sentana,


prajurit bawahan dan wadya bala. Dalam kelompok hierarki, sebenarnya mereka ini
dapat digolongkan tidak ada penjelasan yang lebih mendalam, namun walau
bagaimanapun juga pejabat-pejabat itu memang ada dan duduk dalam susunan
pemerintahan25.

Sedangkan daerah dapat dikatakan merupakan miniatur pusat (keraton).


Daerah-daerah dipimpin oleh raja-raja daerah. Raja-raja daerah merdeka dalam
melaksanakan pemerintahan sehari-hari. Mereka ini mengakui raja di pusat kerajaan
sebagai junjungannya, setiap tahun ada waktu-waktu tertentu di mana raja-raja daerah
harus datang untuk menghadap raja di keraton sambil menyerahkan hadiah (upeti).
Pesisiran dipimpin oleh syahbandar yang bertindak atas nama raja dan berdaya upaya
untuk kepentingan raja26.

Di tingkat desa, pada masa itu dikenal istilah Ki Lurah Umbul Sapraya yang
bertugas sebagai penyelenggara pemerintahan sehari-hari di tingkat pedesaan27. Pada
wilayah perbatasan juga terdapat Juru Tamping sebagai prajurit penjaga wilayah
perbatasan kearajaan dan bertugas pula sebagai mata-mata28.

Kurang lebih, pada struktur birokrasi semacam inilah Syekh Jambu Karang
hidup di masa Raja Mundingsari (Adiknya (?) ) berkuasa. Syekh Jambu Karang yang
24
Ibid
25
Ibid
26
Ibid
27
Ibid
28
Ibid
dalam manuskrip Cariyos Redi Munggul bertapa di wilayah yang sekarang masuk ke
dalam Provinsi Banten bisa dikatakan dalam golongan kaum Agamawan.

Kaum agamawan pada abad X – XI di Kerajaan Sunda terdiri dari dua


kelompok. Kelompok pertama, adalah mereka yang hidup di keraton. Mereka dapat
dikatakan hanya sebagai simbol kekuasaan raja di bidang spiritual. Kaum agamawan
ini dituakan dalam istananya, namun tidak mempunyai pengaruh apa-apa dalam roda
pemerintahan. Bilamana raja sedang tidak berada di keraton dan situasi dalam
keadaan genting, brahmana-brahmana ini terkadang dimintai nasihatnya. Kelompok
kedua, adalah penguasa-penguasa kecil di pertapaan-pertapaan di gunung atau hutan.
Mereka ini kerapkali berjasa kepada raja, apakah karena menemukan benda-benda
pusaka kerajaa, karena peramal, atau karena dianggap sebagai pelindung keluarga
raja yang tersesat di hutan, atau bahkan penyembuh penyakit29.

Dari gambaran tersebut, coba dijelaskan, setelah Raden Mundingwangi atau


Syekh Jambu Karang menolak menjadi Putera Mahkota, ia memilih menjadi seorang
Brahamana pertapa di gunung atau hutan. Kedudukannya ini menjadikan dia tidak
memiliki kaitan langsung dengan jalannya pemerintahan pada masa itu. Sampai pada
suatu ketika, saat dia melihat pancaran sinar di Timur, seperti pada cerita di Cariyos
Redi Munggul, sampailah Syekh Jambu Karang di Gunung Panungkulan (masih
dalam wilayah Kerajaan Sunda). Singkat cerita, setelah pertemuannya dengan Syekh
Atas Angin dan menjadi seorang Muslim, dia menikahkan putrinya, Rubiyah Bekti
dengan Syekh dari Jazirah Arab itu.

Pertemuan Syekh Jambu Karang dan Syekh Atas Angin di Gunung


Panungkulan dan pengislamannya di Gunung Kraton, yang notabene jauh dari pusat
pemerintahan—baik desa atau pusat—menjadikan Islam secara perlahan bisa
dipahami dan didalami dalam keadaan diri yang tenang dan damai. Hingga memiliki
5 orang cucu, yaitu Pangeran Mahdum Khusen, Pangeran Machdum Omar, Pangeran

29
Ibid
Machdum Madem, Rubiyah Raja, dan Rubiyah Sekar, penyebaran ajaran Islam yang
dilakukan Syekh Jambu Karang masih bisa diterima oleh Ki Lurah Umbul Sapraya
selaku pemimpin pemerintahan di desa itu.

Di sisi lain, masyarakat Cahyana juga dikenal sebagai masyarakat agraris yang
ramah dan toleran terhadap tamu yang baru datang. Masyarakat yang toleran,
akulturalis, egaiter, dan pluralis akan kebudayaan, pengetetahuan, dan agama.
Adanya tradisi atau kebiasaan menerima tamu asing memunculkan tradisi weweh atau
memberi makanan secara suka rela. Ada pula ungakapan “yen kowe nrima mangan
wedi krikil, ora usah lunga-lunga ing wengkonku” merupakan nasehat agar penduduk
setempat yang mayoritas adalah petani agar tidak memperkaya diri secara berlebihan.
Pada prakteknya, hingga sekarang, di beberapa wilayah bekas perdikan Cahyana
masih terdapat masyarakat yang pantang menjual nasi atau sirih kepada orang lain30.

Setelah sekitar 40 tahun berada di Cahyana, Syekh Atas Angin memutuskan


untuk kembali ke Arab. Dan dengan demikian, misi penyebaran agama Islam
dilanjutkan oleh anak sulungnya, Pangeran Machdum Khusen. Mahdum Khusen
sebagai cucu dari Syekh Jambu Karang memimpin dakwah di wilayah itu pada saat
ajaran sang Ayah dan Kakeknya sudah mulai memiliki banyak pengikut.

Wilayah Cahyana yang berada di ujung Timur Kerajaan Sunda, di mana


ditempatkan pula Juru Tamping sebagai prajurit penjaga wilayah perbatasan
kearajaan dan bertugas pula sebagai mata-mata menjadikan aktivitas dakwah Islam
Pangeran Mahdum Khusen menarik perhatian para Juru Tamping. Laporan para Juru
Tamping ini ke Pakwan Pajajaran membuat pemimpin pusat kerajaan Sunda masa itu
resah. Akhirnya, Pakwan Pajajaran memutuskan untuk melakukan penyerangan ke
wilayah Cahyana dalam rangka meredupkan penyebaran Islam di wilayah tersebut.

Namun, rencana tersebut diketahui oleh Syekh Machdum Khusen yang melihat
rombongan obor di waktu petang di seberang desa. Syekh Machdum Khusen segera
30
Ervitaputri, Yana. 2016. Arkaisme Spiritual dalam Tradisi Lisan Budaya Cahyana….
mengumpulkan kaum perempuan di serambi untuk memainkan alat musik rebana
yang besar-besar. Setelah menlis lembar syair doa untuk dilantunkan, Syekh
Machdum Khusen segera bermunajat kepada Allah SWT. Ketika prajurit Pajajaran
datang, suara gaung Rebana tiba-tiba berubag menjadi suara dengungan tawon gung
yang jumlahnya ribuan yang menyerang pasukan Pajajaran 31. Pasukan Pajajaran
akhirnya gagal melakukan penyerangan dan Islam tetap menjadi keyakinan di
wilayah Cahyana pada masa itu.

Wilayah Perdikan sendiri atau dalam masa Hindu disebut sebagai wilayah Sima
merupakan wilayah yang dianugerahkan kepada pejabat desa atau perorangan dengan
hak dan kewajiban tertentu dari Raja atau pemberi status itu32. Fungsi utama dari
wilayah Perdikan ini sebagian besar berkaitan dengan pemeliharaan bangunan suci
dan pengembangan pendidikan agama dan syiar agama. Wilayah perdikan juga
memiliki beberapa hak yang salah satunya adalah bahwa wilayah tersebut bebas dari
pajak.

Seperti sudah disebutkan di atas, bahwa prasasti-prasasti yang menyebutkan


mengenai wilayah perdikan atau sima sudah disebutkan sejak masa Mataram Kuno
(809 M). Namun, wilayah Mataram Kuno sendiri tidak meliputi wilayah Cahyana,
yang masa itu sudah masuk ke wilayah Kerajaan Sunda. Penyerangan Pasukan
Pajajaran ke wilayah Cahyana pada masa Pangeran Machdum Khusen menjelaskan
bahwa pada masa itu, Cahyana masih menjadi desa biasa, yang dianggap berbahaya
karena di sana terjadi penyebaran ajaran lain di luar Hindu. Wilayah itu bahkan
dianggap sebagai pusat pembibitan pemberontakan terhadap ajaran utama masa
Kerajaan Sunda, yaitu ajaran Hindu Saiwa.

Hingga Machdum Jamil, putra pertama Machdum Khusen beranjak dewasa,


kerajaan-kerajaan di Jawa mengalami kebangkitan dan kehancuran. Munculnya
Majapahit di abad ke-14 yang memakan sebagian sebagian wilayah sebelah Timur
31
Ibid
32
Suhadi, Machdi, 1981. Status Tanah/Desa Perdikan di Jawa
kerajaan Sunda-Galuh, sehingga wilayah Cahyana masuk ke dalam kekuasaan
Majapahit (Machdi Suhadi dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masih banyak
prasasti masa Majapahit yang belum diteliti yang masih membuka kemungkinan
mengenai status tanah Cahyana pada masa Majapahit).

b. Masa Kasultanan dan Masa Hindia Belanda

Status Perdikan baru diberikan kepada Pangeran Wali Prakosa pada tahun 1403
tahun Saka atau 1481 M oleh kasultanan Demak. Dalam teks sejarah, nama Syekh
Machdum Wali Prakosa tercantum dalam Serat Kekancingan Sultan Demak yang
mengukuhkan Cahyana sebagai tempat Peperdikaning Allah. Sebagaimana disalin
oleh Aspirant Controleur C.J. Hasselman (1887) dalam “De Perdikan Dessa’s in Het
District Tjahijana; Tijdschrift voor het Binnenland Bestuur (deel I)” yang berbunyi :

“Penget lajang kang idi Pangeran Sultan ing Demak. Kagaduga dening
Mahdum Wali Prakosa ing Tjahjana. Mulane anggaduha lajang ingsung
dene angrowangi amelar tanah, sun tulusaken Pamardikane pesti lemah
Pamardikane Allah, tantaha ana angowahana ora sun wehi suka halal
dunja aherat. Anaha anak putu aba aniaja. Mugaha kena gutukking
Allah lan oliha bebenduning para Wali kang ana ing Nusa Djawa. Estu
jen peperdikaning Allah. Titi”33

Syekh Machdum wali Prakosa sendiri diakui sangat berjasa dalam proses
pendirian Masjid Demak yang kemudian menjadi latar penyebab gelarnya sebagai
“Wali Prakosa”. Pada mulanya, atas perintah kakaknya, Syekh Machdum Tores,
Syekh Machdum Wali Prakosa diminta menghadap Sultan Demak. Syekh Machdum
Wali Prakosa diterima oleh Raden Patah yang ternyata mengenal tempat asal beliau
sebagai Cahyana Karabal Minal Mukminin. Kemudian Sultan meminta beliau untuk
membantu menyelesaikan pendirian Masjid Agung Bintara yang masi kekurangan
satu tiang. Syekh Machdum Wali Peakosa menyanggupunya, kemudian membuat
33
Priyadi, dalam Ervitaputri, Yana. 2016. Arkaisme Spiritual dalam Tradisi Lisan Budaya Cahyana….
sebuah tiang dari saka tatal dibantu oleh Sunan Kalijaga. Sebagaimana tertera dapa
teks Cariyosipun Redi Munggul berikut :

“… Kacariyos Pangeran Kalijaga saweg tapa ing Giri Mlaka, sidik


paningalipun lajeng jengkar. Sakdinten sakndalu saged dumugi ing
Demak. Anjujug lenggah ing pancabrakan, pinanggih kaliyan Pangeran
Wali Prakosa. Pangeran Kalijaga ataken ‘Lho Si Anak napa sing dadi
bubuhan andika?’ Pangeran Wali Prakosa mangsuli, ‘Kula kabubuhan
saka satunggal’. Pangeran Kalijaga mangsuli malih, ‘Heh Anak, kula
kang badhe ambantu nggrabahi sarta ngalus’. Nunten Wali kakalih wau
enggal tumandang nyambut damel, sami mendet tatal.Lajeng
dipungulingaken kaping sakawan insya Allah ta’ala iman tokhid
ma’ripat Islam, tatal dados blabag, kaelus nunten dados balok”34

Pembangunan Masjid Demak sendiri dikerjakan malam hari ketika Lintang


Waluku naik. Akan tetapi pada saat matahari sudah tampak, kelihatan kiblat Masjid
tdak tepat atau menceng. Kemudian Pangeran Wali Prakosa diminta oleh para Wali
untuk meluruskannya. Kemudian Pangeran Wali Prakosa berkata:

“Monggo sami nenuwun ing Allah, kawula ingkan dadhos Palu


(dedonga), kanjeng Wali saha Susushanan ingkang dadhos gandhen
(ngijabahi).”35

Kasultanan Demak dalam Serat Kekancingan yang isinya diketahui bahwa


Sultan Demak memberikan Lajang Pamardikan kepada Makhdum Wali Prakosa di
Cahyana. Lajang Pamardikan Sultan Demak sendiri Ditengarai merupakan bentuk
lain politik balas jasa. Di sisi lain, Sultan memberikan pengakuan eksistensi teritorial
tanah perdikan pada “Kaum Pengalasan Kilen” atas jasanya membantu Demaks, di
satu sisi lagi jyga berimplikasi pengakuan de jure kedaulatan Demak atas wilayah

34
Ibid
35
Ervitaputri, Yana. 2016. Arkaisme Spiritual dalam Tradisi Lisan Budaya Cahyana….
Pengalasan Kilen. Terlebih, pada waktu yangsama Sultan juga memberikan Lajang
Pamardikan kepada Pasir Luhur dan melantik Banyak Belanak sebagai Pangeran
Senopati Mangkubumi36.

Piagam ini menguatkan eksistensi Perdikan Cahyana dengan gutukullah,


gutuking Allah, bebenduning para wali, dan ora olih berkahingsun. Kutukan itu
diumumkan oleh seorang raja yang mengeluarkan piagam untuk selalu diperhatikan
oleh anak-cucu raja tersebut agar mereka tidak berani mengubah status perdikaning
Allah di Cahyana. Legitimasi raja-raja Jawa muslim sangat diperlukan untuk
mendukung pemerintahan sipil di Kademangan Cahyana.

Kutukan Sultan Demak dalam piagamnya dianggap sama saktinya dengan


kutukan para raja Hindu dalam prasastinya yang berisi pengukuhan manusuk sima
sehingga semua orang sangat takut untuk melanggar kutukan tersebut. pada zaman
Hindu, daerah bebas pajak itu dimanfaatkan untuk membiayai pemeliharaan
bangunan suci (candi, vihara, sthana, dharmma, prasada, caitya, parhyangan, dll) dan
biaya-biaya upacara keagamaan. Dengan demikian, pranata manusuk sima
dilestarikan pada masa Islam dengan pranata perdikannya37.

Wilayah Perdikan Cahyana sendiri terletak di Kabupaten Purbalingga, terbagi


dalam 21 desa yang berada di 2 Kecamatan, yaitu Kecamatan Karangmoncol dan
Kecamatan Rembang. Di Kecamatan Karangmoncol ada 13 desa perdikan (sekarang
4 desa) yang berkewajiban memelihara makam Pangeran Wali Praksosa (di
Pekiringan), Pangeran Mahdum Cahyana (di Grantung), Haji Datuk (di Tajug), dan
Pangeran Mahdum Khusen (di Rajawana). Ketigabelas desa perdikan tersebut adalah
Grantung Andhap, Grantung Kidul, Grantung Gerang, Grantung Lemah Abang,
Grantung Kauman, Pekiringan Kauman, Pekiringan Lama, Pekiringan Anyar,
Pekiringan Bedhahan, Tajug Lor, Tajug Kidul,Rajawana Lor, dan Rajawana Kidul.

36
Lombard, dalam Ervitaputri, Yana. 2016. Arkaisme Spiritual dalam Tradisi Lisan Budaya Cahyana.
Ibda’ Jurbal Kebudayaan Islam; Vol. 14, No. 2, Juli-Desember 2016; IAIN Purwokerto; Purwokerto
37
Priyadi, Sugeng, 2001. Perdikan Cahyana …
Sementara itu, 8 desa perdikan lain yang terdapat di Kecamatan Rembang
berkewajiban memelihara makam Panembahan Lawet, atau Pangeran Jambu Karang,
atau Panembahan Darmokusumo38. Kedelapan desa tersebut adalah Makam Wadhas,
Makam Bantal, Makam Tengah, Makam Dhuwur, Makam Kidul, Makam Jurang,
Makam Panjang, dan Makam Kamal.

Berikut ini adalah para penerima piagam Perdikan : (1) Pangeran Wali Prakosa
dari Sultan Demak (1402 AJ), (2) Pangeran ali Mahdoem Thahjana dari Sultan Pajan
(1503 aj), (3) Kiai Mas Pekeh, Kiai Mas Barep, dan Nyai Saratiman dari Sultan
Pajang (1530 AJ); (4) Kiai Waringin dari Mataram (1550 AJ); (5) Pangeran
Sarawetjana I dari raja Mataram (1565 AJ); (6) Kiai Bagoes Kerti dari Susuhunan di
Kartasura (1605 AJ); (7) Kiai Wangsadjiwa II dari Susuhunan Surakarta (1675 AJ);
(8) Kiai Sarawetjana II dan Kiai Saradjiwa dari Susuhunan Surakarta (1715 AJ); (9)
Kiai Sarawetjana III (Pekiringan Lama), Kiai Mertadiwirja I (Pekiringan Bedhahan),
dan Kiai Redja Moehammad I (Pekiringan Kauman) dari Susuhunan Surakarta (1730
AJ).

Sementara itu, pengelola 21 desa perdikan yang mendapat beslit dari Kangjeng
Gupermen adalah: Kiai Soeraredja, Pekiringan Anyar, 26 Oktober 1854 No. 5; Kiai
Kertadjiwa, Makam Kidul, 26 Oktober 1854 No. 5; Kiai Ranoewidjaja, Rajawana
Kidul, 26 Oktober 1854, No. 5; Kiai Mangoendikrama, Pekiringan Bedhahan, 13
Desember 1854, No. 113; Kiai Joedakrama, Makam Wadhas, 10 November 1855,
No. 15; Kiai Soetadiwirja, Grantung Gerang, 15 Februari 1861, No. 42; Kiai
Warsadikrama, Grantung Andhap, 2 Agustus 1862, No. 6; Kiai Bawadi Redja
Moehammad, Pekiringan Kauman, 2 Agustus 1862, No. 14; Kiai Kertadiwirja,
Grantung Kidul, 3 Maret 1863, No. 19; Kiai Ranadiwirja, Grantung Lemah Abang,
18 April 1863, No. 25; Kiai Redjawirja, Pekiringan Lama, 10 Agustus 1869, No. 22,
Kiai Tjakramenggala, Makam Bantal, 18 Agustus 1869, No 37, Kiai Patradiwirja,

38
Knebel; Steenbrink, dalam Priyadi, Sugeng, 2001. Perdikan Cahyana …
Grantung Kauman, 22 Agustus 1869, No. 13; Kiai Wangsadikrama, Makam Dhuwur,
8 Januari 1870, No. 36, Kiai Patrajoeda, Makam Jurang, 8 Januari 1870, No. 36; Kiai
Kramasemita, Makam Panjang, 5 Mei 1872, No. 5; Kiai Mangoendipa, Makam
Tengah, 11 Januari 1873, No. 6; Kiai Kertamedja, Rajawana Lor, 18 Juli 1873, No
4085; Kiai Somadiwirja, Tajug Kidul, 18 Juli 1873 No. 4085, Kiai Saradjiwa, Tajug
Lor, 29 Januari 1877, No. 38, dan Kiai Kramadjiwa, Makam Kamal, 31 Januari
1880, No 2039

Pada masa Hindia Belanda pun, status perdikan masih dilestarikan. Pemerintah
Hindia Belanda sendiri dikenal sangat menghormati perdikan, terutama karena di
dalamnya banyak terdapat makam orang suci. Penghormatan tanah perdikan pada
masa Hindia Belanda sebetulnya dikritisi secara paradoks oleh Lombard sebagai
bentuk lain dari ketakutan terhadap “mistik” Jawa. Belanda sangat meyakini bahwa
orang Jawa yang telah kalah oleh senjata akan dapat membalas dendam dengan daya
magic yang bersumber dari kekuatan gaib para leluhur dan orang-orang suci yang
dikeramatkan40.

Dengan demikian, status perdikan menjadi tradisi secara terus-menerus karena


perubahan pusat politik tidak akan mengubahnya, bahkan piagam dari pusat yang
lama akan didukung oleh pusat yang baru dan seterusnya, piagam yang dikeluarkan
sebelumnya menjadi referensi bagi munculnya piagam yang baru. Teks-teks piagam
yang baru itu pada dasarnya lahir karena adanya hubungan intertekstual dengan
piagam yang ada sebelumnya, seperti halnya prasasti, piagam-piagam itu dapat
dipakai sebagai bukti untuk memulihkan status perdikan41.

Sedangkan pada masa Kemerdekaan Indonesia, status perdikan dihapus oleh


Pemerintah Republik Indonesia pada zaman Orde Lama. Berakhirnya kekuasaan 21
orang demang yang diyakini oleh masyarakat bahwa para demang telah melanggar

39
Priyadi, Sugeng, 2001. Perdikan Cahyana …
40
Lombard, dalam Ervitaputri, Yana. 2016. Arkaisme Spiritual dalam Tradisi Lisan Budaya Cahyana….
41
Priyadi, Sugeng, 2001. Perdikan Cahyana …
piagam dan wewaler perdikan, tidak adil, serta memperkaya diri sehingga mereka
harus diturunkan. Tanah-tanah perdikan dikuasai oleh para demang untuk
kepentingannya sendiri, sehingga rakyat hidup terbengkalai, padahal, rakyat yang
mencetak sawah-sawah dan kebun-kebun, sedangkan demang tinggal mengakui itu
semua sebagai hak miliknya. Kejatuhan para demang itu sesuai dengan beberapa
ramalan, seperti besuk ana bangke mili ngalor dan besuk ana beslit padha
dicanthelake gethek42.

Kebudayaan yang Masih Bertahan di Wilayah Cahyana

Pada saat misi dakwah Islam yang dipimpin oleh Pangeran Machdum Khusen,
terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Pasukan Pajajaran seperti yang dikisahkan
di atas. Pada saat itu, Pangeran Machdum Khusen meminta para perempuan untuk
memainkan rebana besar. Setelah menuliskan syair doa untuk dilantunkan, Syekh
Machdum Khusen bermunajat kepada Allah SWT. Ketika pasukan Pajajaran datang,
suara dengung dari permainan rebana besar itu berubah menjadi kawanan tawon gung
yang menyerang pasukan Pajajaran dan membuat mereka kalang kabut. Kemudian,
dari sinilah muncul tradisi memainkan rebana besar yang disebut kesenian Braen.

Karena Braen adalah “Seni Doa dan Permohonan” maka Braen hanya
dimainkan pada saat tertentu saja. Dan yang memimpin (Rubiyah) haruslah seorang
wanita keturunan Syekh Machdum Khusen. Selain berisi syair sejarah, pendidikan
Islam dan ketauhidan, Bran berisi doa yang dilantunkan dalam empat bahasa, yaitu
bahasa Jawa, Arab, Melayu, dan Sunda. Braen dimulai sekitar pukul 22.00 selepas
acara tahlil atau selamatan dan selesai pada pukul 03.00 dini hari.

Braen dinyanyikan secara solo oleh Rubiyahnya kemudian diikuti oleh


anggotanya bersama-sama. Jika menyimak Braen sampai selesai, maka akan merasa
nggrenthes karena syairnya penuh dengan renungan kebijaksanaan. Syair dimulai
dengan lagu “Tulung Matulung” meminta permohonan kepada Allah SWT.
42
Darmoredjo dalam Priyadi, Sugeng, 2001. Perdikan Cahyana …
Dilanjutkan lagu “Rabanai”, lalu “Kawulatu” yang mengingatkan semua orang
tentang agama Islam, dan mulai menceritakan penciptaan alam dengan lagu “Awang-
uwung”. Dilanjutkan lagu “Adam Mawa” tentang penciptaan manusia, sampai
diturunkannya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Lalu mulailah merasa suka
kepada lawan jenis dalam lagu “Meneng-meneng”. Perjalanan manusia dikisahkan
akan menikah dengan lagu “Taya-taya Robi” dan mempunyai anak dengan lagu
“Maena Rijalulo”. Kemudian dalam lagu “Kawula Kinanti” diceritakan bagaimana
hidup di dunia untuk dipertanggungjawabkan di akhirat. Lalu menceritakan malaikat
beserta sifatnya termasuk mencabut nyawa manusia dalam lagu ”Malaekat”/ alalu
sampai pada pertunjukan sakral dengan lagu ”Ya Walikul” dan “Yong Pada Memuji”
dan biasanya terjadi kesurupan (ekstase). Sampai manusia akan meninggal untuk
mengucapkan syahadat sebagai ucapan terakhirnya dengan lagu “Ayun-ayun
Kalimut” dan “Ayun-ayun Ilahi”. Kemudian meninggal dan dimandikan dengan lagu
“Sekar Arum”. setelah lagu Sekar Arum, pertunjukan Braen selesai dan diakhiri
dengan lagu ”Dzikrullah” yang berarti mengingat Allah SWT43.

Kesenian Braen bisa dikatakan merupakan bentuk syiar agama Islam dengan
menggunakan lagu, yang kemudian dilakukan pula oleh Wali Songo beberapa abad
kemudian. Braen dalam setiap bagian lagunya menceritakan kehidupan manusia,
mirip seperti Tembang Macapat44. Selain Braen, di wilayah Cahyana juga ada budaya
Slametan yang merupakan upacara penutup dalam ritual Slametan Ziarah Makam
Syekh Jambu Karang. Ritual Slametan ini jamak sekali ditemukan dalam budaya
Jawa, seperti yang disebutkan Greetz, bahwa di pusat seluruh sistem keagamaan
orang Jawa terdapat sebuah upacara kecil, sederhana, formal, tidak dramatis dan
hampir mengandung rahasia: slametan (terkadang disebut juga kenduren). Seperti di
hampir semua tempat, ia melambangkan kesatuan mistik dan sosial dari mereka yang

43
Ervitaputri, Yana. 2016. Arkaisme Spiritual dalam Tradisi Lisan Budaya Cahyana….
44
Tembang Jawa yang menceritakan perjalanan hidup manusia. Terdiri dari 11 pola metrum:
Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur,
Megatruh, dan Pucung.
ikut serta di dalamnya. Handai taluan, tetangga, rekan sekerja, sanak keluarga, arwah
setempat, nenek moyang yang sudah mati serta dewa-dewa yang hampir terlupakan,
semuanya duduk bersama dan karena itu, terikat ke dalam sebuah kelompok sosial
tertentu yang berikrar untuk tolong menolong dan bekerja sama45.

Sebuah Hipotesis

Hidupnya budaya lisan di masyarakat wilayah bekas perdikan Cahyana yang


menceritakan mengenai asal-muasal peradaban yang hidup di sana menjadi satu
bukti, bahwa nilai mengenai arkaisme masih hidup di wilayah tersebut. Syekh Jambu
Karang yang dikisahkan sebagai putra mahkota dari Pakuan Pajajaran dan menolak
meneruskan tampuk kekuasaannya dan memilih jalan sunyi sebagai sufi (pertapa)
menjadi cerita legenda dan pertemuannya dengan Syekh Atas Angin di Gunung
Panungkulan bisa menjelaskan bahwa Islam masuk ke Jawa bukan serta merta karena
arus deras perdagangan, tapi karena visi suci seorang Sufi.

Penyematan julukan Haji Purwa (Haji pertama dari Tanah Jawa) masih
kontroversial. Karena ada beberapa versi cerita mengenai julukan ini, yang
menyebutkan seorang putera mahkota raja (juga) pada masa Galuh yang akhirnya
lebih memilih berdagang lalu mempelajari Islam dan akhirnya menunaikan ibadah
Haji. Sepulangnya dari Timur Tengah, dia menyebarkan ajaran Islam di Caruban
(Cirebon) setelah upayanya menyebarkan Islam di kerajaan ayahnya gagal.

Wilayah Cahyana yang sebelumnya masuk ke dalam wilayah Kerajaan Sunda


dan mulai sejak datangnya Syekh Atas Angin dan terjadi Islamisasi di wilayah
tersebut membuat Raja Sunda waktu itu geram. Serangan yang dilakukan pusat
kerajaan kepada wilayah di bawahnya didasari karena wilayah Cahyana dianggap
menyebarkan paham lain selain Budha dan dicemaskan merusak tatanan spiritual
yang sudah mapan di wilayah tersebut. Dari cerita ini, bisa dikatakan bahwa pada saat

45
Greetz, dalam Ervitaputri, Yana. 2016. Arkaisme Spiritual dalam Tradisi Lisan Budaya Cahyana….
itu, wilayah Cahyana bukanlah wilayah Perdikan (bebas pajak) dan malah dianggap
wilayah yang membangkang.

Perdikan baru tercatat sebagai bukti sejarah melalui Kakancingan dari


Kasultanan Demak berangka tahun 1403 tahun Saka, atau 1481 M yang diserahkan
kepada Machdum Wali Prakosa. Sebenarnya pada masa ini, Demak saat itu sedang
mencoba meluaskan pengaruhnya. Pemberian wilayah Perdikan untuk desa Cahyana
bisa dikatakan upaya “politis” juga dari Demak agar kekuasaannya memiliki
legitimasi di “Pengalasan Kilen”. Pada masa Majapahit sendiri, belum ditemukan
prasasti atau bukti sejarah yang menjelaskan bahwa wilayah Cahyana adalah wilayah
Perdikan. Padahal, sudah ditemukan ratusan lebih prasasti di wilayah Jawa Tengah,
dan baru ada 50 prasasti yang diteliti.

Namun, diluar semua itu, budaya yang masih hidup di wilayah Cahyana hingga
saat ini, seperti Braen dan Slametan merupakan bukti, bahwa cerita mengenai asal
mula leluhur mereka masih hidup dan dipercaya. Braen sebagai suatu budaya yang
juga mengandung nilai kebermaknaan yang dalam juga merupakan gambaran, atau
upaya penyebaran agama Islam dengan menggunakan kesenian. Braen yang
mengisahkan mengenai perjalanan spiritual setiap manusia mirip dengan tembang
Macapat. Fakta bahwa wilayah Cahyana berada di wilayah tengah atau mungkin
pedalaman (jauh dari bibir pantai) menjadikan kesenian Braen unik, karena
menggunakan tiga bahasa, yaitu Melayu, Jawa, dan Arab. Di sisi lain, Wilayah
Cahyana yang pernah berada dalam wilayah Kerajaan Sunda, jika disimak dari
ekspresi bahasa dalam kesenian Braen menggunakan bahasa Jawa.

Wilayah Cahyana yang berada di perbatasan dua atau lebih kerajaan bisa saja
menjelaskan mengapa ekspresi tiga bahasa ini tercermin dalam kesenian Braen.
Beberapa temuan dalam tulisan ini menimbulkan suatu dugaan sementara, apakah
wilayah Cahyana, pada suatu masa pernah menjadi suatu pusat (budaya, agama,
kebatinan, spiritual, dsb) di tanah Jawa? Hipotesis ini harus dibuktikan dengan cara
lebih mendalam dan kritis. Fakta-fakta berupa bentuk ajaran dan nilai apa yang
disebarkan dari pertemuan dua budaya (Jawa-Hindu dan Arab-Islam) lalu
menghasilkan akulturasi budaya semacam apa sehingga wilayah tersebut bisa eksis
paling tidak lebih dari 6 abad, bahkan hingga saat ini, walau aturan Perdikan sudah
dihapuskan sejak 1946.

Anda mungkin juga menyukai