Lahir di Cahyana
Ada semacam cerita masyarakat yang masih hidup hingga kini di wilayah
antara Kecamatan Karangmoncol dan Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga
bahwa Islam di tanah Jawa pertama kali disyiarkan oleh seorang yang bernama Syekh
Jambukarang. Syiar Islam yang dilakukan Syekh Jambukarang dan keturunannya di
Wilayah yang nanti akan disebut sebagai Perdikan Cahyana, menurut masyarakat
sekitar sudah dilakukan jauh sebelum syiar yang dilakukan oleh Wali Sanga.
Salah satu cerita yang sering diceritakan ketika menanyakan perihal Syekh
Jambukarang adalah bahwa dia adalah salah satu anak raja di kerajaan Pajajaran yang
enggan menerima gelar sang ayah dan memilih jalan menjadi seorang pertapa. Ia
bertama di wilayah sekitaran Banten. Pada suatu ketika, Syekh Jambukarang yang
memiliki nama asli Raden Mundingwangi ini melihat cahaya putih menjulang ke
langit di wilayah Timur. Disusurilah jalan agar sampai pada sumber cahaya tersebut.
Sampai pada suatu ketika, ketika Syekh Jambukarang sampai pada suatu tempat
yang bernama Gunung Panungkulan dan bertapa di sana, datang seorang lagi yang
menurut pengakuannya juga melihat cahaya itu saat shubuh. Orang ini adalah Syekh
Atas Angin, dari jazirah Arab. Singkat cerita, kedua ahli kebatinan ini beradu ilmu
dengan jaminan, barang siapa yang kalah harus jadi pengikut ajaran si pemenang.
Pada akhir pertarungan, Syekh Jambukarang mengaku kalah dan akhirnya masuk
Islam. Sebagai bentuk tanda hormat pula, Syekh Jambukarang menikahkan Syekh
Atas Angin dengan putrinya yang bernama Rubiyah Bekti.
Anak keturunan dari pernikahan Syekh Atas Angin dan Rubiyah Bekti inilah
yang akan meneruskan perjuangan syiar Islam di Wilayah yang nanti akan dikenal
sebagai wilayah Perdikan Cahyana. Lalu valid kah kisah yang masih hidup di
masyarakat wilayah bekas daerah Perdikan Cahyana dalam kacamata ilmiah?
Syekh Jambukarang dalam berbagai kisah
Apa yang tertulis dalam manuskrip Cariyosipun Redi Munggul ini mirip dengan
apa yang dituturkan oleh masyarakat Perdikan Cahyana ketika menceritakan kisah
mengenai Syekh Jambukarang. Sepertinya teks ini menjadi rujukan utama bagi
masyarakat di desa-desa Perdikan Cahyana.
Namun, dalam karya babad, Brawijaya bukanlah tokoh historis karena sumber-
sumber sejarah, baik prasasti zaman Majapahit maupun Kakawin Nagarakartagama
tidak pernah menyebutkan nama Brawijaya4. Ada kemungkinan bahwa penulis
1
Priyadi, Sugeng. 2001, Perdikan Cahyana dalam Humaniora, Vol. XIII; UGM; Yogyakarta
2
Ibid.
3
Ibid.
4
Slametmuljana, 1983, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press
sejarah Cahyana itu sudah tidak mengenal tradisi penulisan karya babad di Jawa
Tengah pada umumnya, mengingat wilayah perdikan Cahyana yang cukup terpencil
dan kalis dari pengaruh dunia luar yang kuat. Karya sejarah Cahyana itu dibangun
dari produk budaya lisan yang hidup subur di tengah-tengah masyarakat. Di wilayah
tersebut juga sudah berkembang tradisi lisan menuju tradisi tulis5.
5
Priyadi, Sugeng 2001, Perdikan Cahyana ….
6
Ibid
7
Behren, T.E. & Titik Pudjiastuti. 1997. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3-A Fakultas
Sastra Univeristas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Ecole Francaise D’Extreme Orient.
Pangeran Jambukarang yang seorang pertama dari agama Hindu pada mulanya
sudah sampai terlebih dahulu di wilayah Cahyana, tepatnya di gunung Panungkulan
setelah melihat cahaya di Timur saat bertapa di wilayah Banten. Tapa Pangeran
Jambukarang terganggu oleh uluk salam dari Syekh Atas Angin yang dalam literatur
lain memiliki nama Abdul Syarif Al Qadri. Dia datang dari Arab dan sampai di
tempat itu lantaran melihat cahaya putih pula di dari Timur.
Syekh Atas Angin yang merasa tidak digubris karena salamnya tidak dijawab,
lalu menyimpulkan bahwa Pangeran Jambukarang bukan seorang muslim. Singkat
cerita, kedua tokoh yang mengejar cahaya putih itu beradu kesaktian dengan
perjanjian, siapa di antara mereka yang kalah, akan menjadi pengikut si pemenang.
Pada akhir pertarungan, Pangeran Jambukarang bertekuk lutut dan akhirnya menjadi
seorang muslim.
Banyak pula karya yang dibuat sebagai upaya untuk menjelaskan mengenai
siapakah Syekh Jambukarang, seperti Tjarijos Panembahan Lawet, karya A.M
Kartosoedirdjo; Sejarah Ragasela yang merupakan manuskrip Museum Pusat Jakarta;
dan ada pula kisah-kisah yang berkaitan dengan Pangeran Jambukarang yang sudah
diterbitkan oleh Penerbit Soemodidjojo, Yogyakarta, pada tahun 1953, yaitu Babad
Jambuarang. Namun, karya-karya tersebut juga bersumber dari Cariyosipun Redi
Munggul8.
Selain itu, ada dua teks silsilah yang berjudul (1) Sudjarah Nabi puputra Dhewi
Fatimah lan saterasipun dhumugi Pakiringan Tjahjana dan (2) Sudjarahipun
Pangeran Djambu Karang Asal saking Pedjadjaran miwiti saking Sijung Wanara
dhumugi Pangerang Makhdum Thajana. Teks itu terkandung dalam naskah yang
disalin oleh Ngisroen Mangoenwidjaja di Gunung Batu, Bogor pada tanggal 2-8
Februari 1972. Penyaling mengaku berasal dari desa Makam, wilayah Gunung Lawet,
Perdikan Cahyana, Purbalingga9.
Teks pertama mengacu kepada silsilah kanan atau tradisi sejarah panengen
yang lazim dalam penulisan sejarah Jawa. Silsilah tersebut hanya sampai pada tokoh
Pangeran Mahdum Cahyana yang dikisahkan tidak mempunyai keturunan. Pangeran
Mahdum Cahyana digantikan oleh dua orang sahabatnya dari Demak yang bernama
Kiai Pekih di Desa Granting dan Kiai Suwela (bukan kiai Mas Barep) di Desa
Pekiringan, Dalam teks Cariyosipun Redi Munggul, kedua orang pengganti Pangeran
Mahdum Cahyana adalah putra Pangeran Mahdum Tores yang tinggal di Bogares,
Tegal.
Teks kedua mencerminkan silsilah yang unik dengan urutan sebagai berikut:
Siyung Wanara—Prabu Kancana—Lingga Wesi—Llingga Yang—Lingga Wastu—
Prabu Jambudipa (Pangeran Jambu Karang). Silsilah itu tidak lazim sebagaimana
diberitakan oleh teks-teks babad di Jawa Barat, misalnya Prabu Kancana 10, tokoh ini
sebenarnya bukan tokoh babad, tetapi tokoh sejarah karena tercantum dalam prasasti
Batutulis, yakni Rahiyang Niskala Wastu Kencana 11. Babad Galuh dan Sejarah Galuh
menyajikan silsilah sebagai berikut: Siyung Wanara—Lutung Kasarung—Lingga
8
Priyadi, Sugeng 2001, Perdikan Cahyana ….
9
Ibid
10
“Sutaarga, Moh. Amir. 1984. Prabu Siliwangi” dalam “Priyadi, Sugeng. 2001. Perdikan Cahyana…”
11
Atja, 1970. Cerita Ratu Pakuan, dalam “Priyadi, Sugeng, 2001. Perdikan Cahyana
Hiyang—Lingga Wesi—Lingga Wastu—Susuk Tunggal. keterangan kedua babad ini
bisa dibandingkan dengan penuturan teks berikut.
Di luar Perdikan Cahyana, naskah yang berisi kisah Pangeran Jambu Karang
juga ditemukan dalam teks Sadjarah Padjadjaran Baboning Tjarios saking Adipati
Wiradhentaha Boepati Priangan (Jilid 1) dan Sadjarah Padjadjaran Baboning
Tjarios saking Adipati Wiradhentaha Boepati Priangan Manondjaja (Jilid 2). Ada
dua naskah yang berasal dari Jawa Barat mengandung teks yang berjudul Tjarios
Panembahan Djamboekarang Goenoeng Lawet. Hal itu ssuai dengan kisah-kisah
lama yang tersebar di daerah perdikan yang menyatakan bahwa Cahyana dahulu
termasuk wilayah Pajajaran. Nuansa kesundaan sangat tampak pada toponim-
toponim, misalnya Cikarang (sekarang Kali Karang) atau Kali Idheng (Cihideung).
Pangeran Atas Angin dengan istrinya (Putru Jambu Karang) berputra Pangeran
Cahya Luhur. Pangeran Luhur mempunya ianak, yaitu Pangaran Adipati Cahyana.
Pada masa itu, Pangeran Adipati Cahyana tidak sampai menjadi raja karena daerah
kekuasaannnya direbut oleh raja Mataram Panembahan Senapati. Putra Pangeran
Adipati Cahyana yang masih kecil, Wangsanata, disingkirkan dari Jambu Karang dan
dititipkan kepada bupati Ukur (Adipati Ukur Agung). Wangsanata diambil sebagai
menantu oleh Adipati Ukur Agung dan dikawinkan dengan Nyai Gedeng Ukur.
Sepeninggal mertuanya, Wangsananta menjadi Adipati Ukur. Tokoh yang terakhir ini
12
Priyadi, Sugeng, 2001. Perdikan Cahyana …
13
Ekadjati, Edi S., 1982. Ceritera Dipati Ukur, Karya Sastra Sejarah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya
sering disebut sebagai pemberontak. Namun, masyarakat Sunda menganggapnya
sebagai pahlawan. Dengan demikian, teks Mangle Arum yang merupakan teks
Caeritera Dipati Ukur versi Bandung mengenal kerajaan Jambu Karang dengan
rajanya Sunan Jambu Karang.
14
Soetjipto, Ahmad, 1969, Sedjarah Singkat Pangeran Wali Sjeh Djambukarang atau Hadji Purwa dan
Wali Sanga, Cetakan 1. Yogyakarta: Sumbangsih
Bratalegawa kemudian menikahi seorang wanita Muslim dari Gujarat, bernama
Farhana binti Muhammad. Keduanya lalu memutuskan pergi ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji. Setelah kembali, Bratalegawa mengganti namanya menjadi
Haji Baharudin al-Jawi. Oleh karena ia merupakan haji pertama di Galuh, maka ia
disebut Haji Purwa (pertama).
Dari Mekkah, Haji Purwa beserta keluarganya pergi ke Jawa Barat. Mereka tiba di
Galuh pada 1337 Masehi. Dibantu oleh kawan Muslimnya dari Arab, Haji Purwa
berusaha mengislamkan penguasa Galuh. Namun upayanya mengalami kegagalan
karena pengaruh Hindu masih terlalu kuat di Tatar Sunda.
Gagalnya upaya Islamisasi di Galuh membuat Haji Purwa memilih untuk keluar dari
pusat kerajaan. Ia pun memutuskan tinggal di Caruban Girang (Cirebon), yang saat
itu masih berada di bawah kekuasaan Galuh, dan menyebarkan Islam di sana.
“Hageman dan Ekadjati menghubungkan tokoh Haji Purwa dengan Syeh Maulana
Safiuddin, orang Islam pertama yang menetap di Caruban Girang,” tulis Sobana.
Para peneliti yang menyebutkan bahwa Haji Purwa yang memiliki nama asli
Bratalegawa, anak dari Raja Galuh yang suka berdagang dan mengislamkan Pulau
15
https://historia.id/amp/agama/articles/muslim-pertama-di-tatar-sunda-DLBBQ
Jawa ditentang oleh Azyumardi Azra dalam sebuah acara bertajug ”Borobudur
Writers Cultural Festival ke-7, di Hotel Manohara, Magelang, Jumat, 23 November
2019. Ia membantah jika Islamisasi dilakukan oleh pedagang Gujarat (atau aktivitas
perdagangan). Dalam periwayatan al-Ramhurmuzi disebutkan bahwa raja Sriwijaya
pernah mengirimkan surat kepada dua raja Arab: Khalifah Muawiyah ibn Abi
Sufyan, pendiri Dinasti Umayyah (661-680 M) dan Khalifah Umar Ibn Abd al-Aziz,
Khalifah Bani Umayyah (717-720 M).
Kedua surat itu ditemukan sastrawan al-Jahiz di arsip Dinasti Umayyah. Isinya,
maharaja Sriwijaya meminta raja Arab mengirim guru untuk mengajar Islam di
Sriwijaya. Tak diketahui apakah masing-masing raja Arab itu memenuhi permintaan
maharaja Sriwijaya. Yang jelas, kedua surat ini menunjukkan bahwa para pelaut,
pedagang muslim tidak memperkenalkan Islam kepada maharaja Sriwijaya. Azra
lebih melihat peran pengembara sufi sebagai agen penyebar Islam Nusantara.
Ditambah lagi negeri Gujarat sebelum abad ke-13 M masih merupakan negara
Hindu. Mereka bermusuhan dengan Islam. Menurut Azra, para pedagang muslim
bukanlah yang mengajarkan Islam ke raja.Padahal kala itu peranan kesultanan begitu
penting dalam proses penyebaran paham tertentu ke rakyat. Memang ada pelaut
muslim, tapi tidak ada konversi Islam dari pedagang. Tak ada buktinya, sehingga
teori ini harus ditolak.16
Ditambah lagi bahwa dalam agama Hindu terdapat beberapa Kasta (Brahmana,
Ksatria, dan Sudra) dimana masyarakat Brahmana memiliki kasta tertinggi dan
biasanya menjadi Raja atau ahli kebatinan/agama. Sedangkan kaum saudagar berasal
dari kasta lain. Ditambah lagi hubungan antar kasta yang hierarkis menjadikan sulit
kiranya bila seorang pedagang—yang dianggap memiliki kasta berbeda dari sudut
pandang Raja Hindu di kerajaan-kerajaan Jawa/Sunda—melakukan Islamisasi.
16
https://historia.id/amp/agama/articles/mempertanyakan-kembali-teori-islamisasi-di-nusantara-
PNegR
Syekh Jambu Karang yang dikisahkan sebagai seorang keturunan Raja dan
menjadi ahli waris dari kerajaan, namun memilih pergi mengembara merupakan
simbol pelepasan dirinya akan kasta. Pertemuannya dengan Syekh Atas Angin atau
Syarif Abdurahman Al-Qadri, seorang dari tanah Arab yang melakukan perjalanan
ke Jawa dengan motif bukan untuk berdagang, namun karena mengejar pancaran
cahaya di sebelah Timur bisa menjadi indikasi bahwa dia adalah seorang ahli
kebatinan (Sufi) yang mengembara. Hal ini bisa memperkuat argumen Azyumardi
Azra mengenai Islamisasi yang dilakukan oleh para sufi.
Azra mengajukan teori “Mata Air” untuk menjelaskan terkait masuknya Islam
atau Islamisasi di Nusantara. Artinya, sumber kedatangan ajaran Islam bisa berasal
dari berbagai tempat seperti sumber-sumber mata air. Dia menilai bahwa teori
sejarawan Slamet Muljana cukup masuk akal terkait Islam di Tiongkok dan
pengembaraan pelayar Tiongkok muslim ke Indonesia. Ditambah bahwa Nusantara
sebagai wilayah maritim yang merupakan tempat terjadinya persilangan budaya yang
bisa datang dari mana saja.17.
Satu jurnal lagi menyebutkan bahwa, pada tahun 1194, Raja Pajajaran waktu
itu, Raja Mundingsari memerintahkan Empu Adilangu untuk menulis perihal Prabu
Banjaransari. Raja Mundingsari yang dalam jurnal tersebut tidak diketahui lebih
lanjut mengenai pribadinya, menugaskan penulisan cerita kejayaan nenek
moyangnya dalam rangka meninggikan khrasima raja yang sedang memerintah di
mata rakyat19.
Jika Raja Mundingsari yang dimaksud di atas adalah adik dari Pangeran
Mundungwangi yang tak lain adalah Syekh Jambu Karang yang menolak menjadi
raja dan memilih menjadi pertapa, maka bisa dikatakan pula bahwa Syekh Jambu
Karang hidup pada masa akhir abad ke 12 hingga awal abad ke 13.
Hal ini busa saja menjadi benar, mengingat bahwa Prebu Wastu atau Prabu
Niskala Wastu Kancana dalan naskah Carita Parahiyangan disebutkan memimpin
kerajaan Galuh selama 104 tahun20. Bahkan, hitungan mundur dengan dasar usia
Pangeran Wali Prakosa saat menerima Piagam Perdikan dari Kasultanan Demak bisa
lebih tua dari umur 55 tahun yang diasumsikan oleh penulis.
19
Yasmis, …, Struktur Birokrasi Kerajaan Pajajaran Abad X – XI,
20
Nina Herlina Lubis, dkk, 2016. Rekonstruksi Kerajaan Galuh. Paramita Vol. 16, No. 1 – 5ahun 2016.
Unpad. Bandung
Syekh Jambu Karang, dalam berbagai sumber dan cerita, baik lisan atau
tulisan, bisa dikatakan sebagai seorang tokoh legenda yang hidup pada sekitar abad
ke-12, 13, atau ke-14 M. Satu hal yang perlu ditelusuri lebih lanjut adalah mengapa
tanah Cahyana, yang berada di sebelah ujung Timur kerajaan Sunda-Galuh menjadi
tempat pertemuan dua orang ahli kebatinan.
Tanah perdikan atau pada masa Hindu-Budha disebut sebagai sima, merupakan
istilah yang khas bagi wilayah Kerajaan dari Mataram Awal (809 M) hingga masa
Mataram Islam (1770-an), masa Hindia Belanda (1800-an), dan dihapus oleh
pemerintahan Negara Republik Indonesia melalui UU No. 13 Tahun 1946 tentang
Penghapusan Wilayah Perdikan21. Wilayah desa Cahyana diberikan status perdikan
untuk pertama kali pada masa Kasultanan Demak yang diberikan kepada Pangeran
Wali Prakosa pada tahun 1403 Saka (1481 M).
Bisa dikatakan, pada masa itu, wilayah Banyumas sudah masuk ke dalam
wilayah Kasultanan Demak. Sebelumnya, wilayah Banyumas masuk ke dalam
Wilayah Kerajaan Sunda/Galuh, sebagai wilayah paling Timur. Dua kerajaan besar
ini—Sunda dan Galuh—pernah dipersatukan dengan perkawinan, dan sejak akhir
abad ke-15 dipusatkan di Pakuan Pajajaran hingga runtuh pada tahun 1579 M 22. Dari
serangkaian cerita ini, bisa dikatakan, pada masa menjelang akhir kerajaan Sunda-
Galuh, wilayah mereka menyempit dengan masuknya wilayah Cahyana ke
Kasultanan Demak.
Bagaimanakah hal ini bisa terjadi? Apakah anugerah Tanah Perdikan dari
Kasultanan Demak selain sebagai hadiah juga salah satu bentuk ekspansi Kasultanan
tersebut? Atau memang wilayah paling Timur dari Kerajaan Sunda-Galuh ini
21
Suhadi, Machdi, 1981. Status Tanah/Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982. Jakarta, Dep. Pendidikan dan
Kebudayaan.
22
Nina Herlina Lubis, dkk, 2016. Rekonstruksi Kerajaan Galuh …
dianggap tidak strategis dan pembangkang (karena berbeda keyakinan dengan
kerajaan)? Pertanyaan tersebut harus dijawab dengan serangkaian penelitian sejarah
yang cukup rumit dengan membedah berbagai Babad dan cerita masyarakat yang
masih hidup, serta pencarian artefak yang sezaman.
Wilayah Cahyana pada masa Kerajaan Sunda terletak di wilayah paling Timur
kerajaan tersebut. Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran (Sekitaran
Bogor) pada wilayah Timur berbatasan dengan Kerajaan Kediri pada tahun 1194 M.
Pada tahun tersebut, raja Mundusari menyuruh Empu Adilangu menulis perihal
Prabu Banjaransari23.
Raja
Mangkubumi
Nunangganan
23 Mantri
Yasmis, …, Struktur Birokrasi Kerajaan Pajajaran…
Wado
Sumber: Yasmis24
Di tingkat desa, pada masa itu dikenal istilah Ki Lurah Umbul Sapraya yang
bertugas sebagai penyelenggara pemerintahan sehari-hari di tingkat pedesaan27. Pada
wilayah perbatasan juga terdapat Juru Tamping sebagai prajurit penjaga wilayah
perbatasan kearajaan dan bertugas pula sebagai mata-mata28.
Kurang lebih, pada struktur birokrasi semacam inilah Syekh Jambu Karang
hidup di masa Raja Mundingsari (Adiknya (?) ) berkuasa. Syekh Jambu Karang yang
24
Ibid
25
Ibid
26
Ibid
27
Ibid
28
Ibid
dalam manuskrip Cariyos Redi Munggul bertapa di wilayah yang sekarang masuk ke
dalam Provinsi Banten bisa dikatakan dalam golongan kaum Agamawan.
29
Ibid
Machdum Madem, Rubiyah Raja, dan Rubiyah Sekar, penyebaran ajaran Islam yang
dilakukan Syekh Jambu Karang masih bisa diterima oleh Ki Lurah Umbul Sapraya
selaku pemimpin pemerintahan di desa itu.
Di sisi lain, masyarakat Cahyana juga dikenal sebagai masyarakat agraris yang
ramah dan toleran terhadap tamu yang baru datang. Masyarakat yang toleran,
akulturalis, egaiter, dan pluralis akan kebudayaan, pengetetahuan, dan agama.
Adanya tradisi atau kebiasaan menerima tamu asing memunculkan tradisi weweh atau
memberi makanan secara suka rela. Ada pula ungakapan “yen kowe nrima mangan
wedi krikil, ora usah lunga-lunga ing wengkonku” merupakan nasehat agar penduduk
setempat yang mayoritas adalah petani agar tidak memperkaya diri secara berlebihan.
Pada prakteknya, hingga sekarang, di beberapa wilayah bekas perdikan Cahyana
masih terdapat masyarakat yang pantang menjual nasi atau sirih kepada orang lain30.
Namun, rencana tersebut diketahui oleh Syekh Machdum Khusen yang melihat
rombongan obor di waktu petang di seberang desa. Syekh Machdum Khusen segera
30
Ervitaputri, Yana. 2016. Arkaisme Spiritual dalam Tradisi Lisan Budaya Cahyana….
mengumpulkan kaum perempuan di serambi untuk memainkan alat musik rebana
yang besar-besar. Setelah menlis lembar syair doa untuk dilantunkan, Syekh
Machdum Khusen segera bermunajat kepada Allah SWT. Ketika prajurit Pajajaran
datang, suara gaung Rebana tiba-tiba berubag menjadi suara dengungan tawon gung
yang jumlahnya ribuan yang menyerang pasukan Pajajaran 31. Pasukan Pajajaran
akhirnya gagal melakukan penyerangan dan Islam tetap menjadi keyakinan di
wilayah Cahyana pada masa itu.
Wilayah Perdikan sendiri atau dalam masa Hindu disebut sebagai wilayah Sima
merupakan wilayah yang dianugerahkan kepada pejabat desa atau perorangan dengan
hak dan kewajiban tertentu dari Raja atau pemberi status itu32. Fungsi utama dari
wilayah Perdikan ini sebagian besar berkaitan dengan pemeliharaan bangunan suci
dan pengembangan pendidikan agama dan syiar agama. Wilayah perdikan juga
memiliki beberapa hak yang salah satunya adalah bahwa wilayah tersebut bebas dari
pajak.
Status Perdikan baru diberikan kepada Pangeran Wali Prakosa pada tahun 1403
tahun Saka atau 1481 M oleh kasultanan Demak. Dalam teks sejarah, nama Syekh
Machdum Wali Prakosa tercantum dalam Serat Kekancingan Sultan Demak yang
mengukuhkan Cahyana sebagai tempat Peperdikaning Allah. Sebagaimana disalin
oleh Aspirant Controleur C.J. Hasselman (1887) dalam “De Perdikan Dessa’s in Het
District Tjahijana; Tijdschrift voor het Binnenland Bestuur (deel I)” yang berbunyi :
“Penget lajang kang idi Pangeran Sultan ing Demak. Kagaduga dening
Mahdum Wali Prakosa ing Tjahjana. Mulane anggaduha lajang ingsung
dene angrowangi amelar tanah, sun tulusaken Pamardikane pesti lemah
Pamardikane Allah, tantaha ana angowahana ora sun wehi suka halal
dunja aherat. Anaha anak putu aba aniaja. Mugaha kena gutukking
Allah lan oliha bebenduning para Wali kang ana ing Nusa Djawa. Estu
jen peperdikaning Allah. Titi”33
Syekh Machdum wali Prakosa sendiri diakui sangat berjasa dalam proses
pendirian Masjid Demak yang kemudian menjadi latar penyebab gelarnya sebagai
“Wali Prakosa”. Pada mulanya, atas perintah kakaknya, Syekh Machdum Tores,
Syekh Machdum Wali Prakosa diminta menghadap Sultan Demak. Syekh Machdum
Wali Prakosa diterima oleh Raden Patah yang ternyata mengenal tempat asal beliau
sebagai Cahyana Karabal Minal Mukminin. Kemudian Sultan meminta beliau untuk
membantu menyelesaikan pendirian Masjid Agung Bintara yang masi kekurangan
satu tiang. Syekh Machdum Wali Peakosa menyanggupunya, kemudian membuat
33
Priyadi, dalam Ervitaputri, Yana. 2016. Arkaisme Spiritual dalam Tradisi Lisan Budaya Cahyana….
sebuah tiang dari saka tatal dibantu oleh Sunan Kalijaga. Sebagaimana tertera dapa
teks Cariyosipun Redi Munggul berikut :
34
Ibid
35
Ervitaputri, Yana. 2016. Arkaisme Spiritual dalam Tradisi Lisan Budaya Cahyana….
Pengalasan Kilen. Terlebih, pada waktu yangsama Sultan juga memberikan Lajang
Pamardikan kepada Pasir Luhur dan melantik Banyak Belanak sebagai Pangeran
Senopati Mangkubumi36.
36
Lombard, dalam Ervitaputri, Yana. 2016. Arkaisme Spiritual dalam Tradisi Lisan Budaya Cahyana.
Ibda’ Jurbal Kebudayaan Islam; Vol. 14, No. 2, Juli-Desember 2016; IAIN Purwokerto; Purwokerto
37
Priyadi, Sugeng, 2001. Perdikan Cahyana …
Sementara itu, 8 desa perdikan lain yang terdapat di Kecamatan Rembang
berkewajiban memelihara makam Panembahan Lawet, atau Pangeran Jambu Karang,
atau Panembahan Darmokusumo38. Kedelapan desa tersebut adalah Makam Wadhas,
Makam Bantal, Makam Tengah, Makam Dhuwur, Makam Kidul, Makam Jurang,
Makam Panjang, dan Makam Kamal.
Berikut ini adalah para penerima piagam Perdikan : (1) Pangeran Wali Prakosa
dari Sultan Demak (1402 AJ), (2) Pangeran ali Mahdoem Thahjana dari Sultan Pajan
(1503 aj), (3) Kiai Mas Pekeh, Kiai Mas Barep, dan Nyai Saratiman dari Sultan
Pajang (1530 AJ); (4) Kiai Waringin dari Mataram (1550 AJ); (5) Pangeran
Sarawetjana I dari raja Mataram (1565 AJ); (6) Kiai Bagoes Kerti dari Susuhunan di
Kartasura (1605 AJ); (7) Kiai Wangsadjiwa II dari Susuhunan Surakarta (1675 AJ);
(8) Kiai Sarawetjana II dan Kiai Saradjiwa dari Susuhunan Surakarta (1715 AJ); (9)
Kiai Sarawetjana III (Pekiringan Lama), Kiai Mertadiwirja I (Pekiringan Bedhahan),
dan Kiai Redja Moehammad I (Pekiringan Kauman) dari Susuhunan Surakarta (1730
AJ).
Sementara itu, pengelola 21 desa perdikan yang mendapat beslit dari Kangjeng
Gupermen adalah: Kiai Soeraredja, Pekiringan Anyar, 26 Oktober 1854 No. 5; Kiai
Kertadjiwa, Makam Kidul, 26 Oktober 1854 No. 5; Kiai Ranoewidjaja, Rajawana
Kidul, 26 Oktober 1854, No. 5; Kiai Mangoendikrama, Pekiringan Bedhahan, 13
Desember 1854, No. 113; Kiai Joedakrama, Makam Wadhas, 10 November 1855,
No. 15; Kiai Soetadiwirja, Grantung Gerang, 15 Februari 1861, No. 42; Kiai
Warsadikrama, Grantung Andhap, 2 Agustus 1862, No. 6; Kiai Bawadi Redja
Moehammad, Pekiringan Kauman, 2 Agustus 1862, No. 14; Kiai Kertadiwirja,
Grantung Kidul, 3 Maret 1863, No. 19; Kiai Ranadiwirja, Grantung Lemah Abang,
18 April 1863, No. 25; Kiai Redjawirja, Pekiringan Lama, 10 Agustus 1869, No. 22,
Kiai Tjakramenggala, Makam Bantal, 18 Agustus 1869, No 37, Kiai Patradiwirja,
38
Knebel; Steenbrink, dalam Priyadi, Sugeng, 2001. Perdikan Cahyana …
Grantung Kauman, 22 Agustus 1869, No. 13; Kiai Wangsadikrama, Makam Dhuwur,
8 Januari 1870, No. 36, Kiai Patrajoeda, Makam Jurang, 8 Januari 1870, No. 36; Kiai
Kramasemita, Makam Panjang, 5 Mei 1872, No. 5; Kiai Mangoendipa, Makam
Tengah, 11 Januari 1873, No. 6; Kiai Kertamedja, Rajawana Lor, 18 Juli 1873, No
4085; Kiai Somadiwirja, Tajug Kidul, 18 Juli 1873 No. 4085, Kiai Saradjiwa, Tajug
Lor, 29 Januari 1877, No. 38, dan Kiai Kramadjiwa, Makam Kamal, 31 Januari
1880, No 2039
Pada masa Hindia Belanda pun, status perdikan masih dilestarikan. Pemerintah
Hindia Belanda sendiri dikenal sangat menghormati perdikan, terutama karena di
dalamnya banyak terdapat makam orang suci. Penghormatan tanah perdikan pada
masa Hindia Belanda sebetulnya dikritisi secara paradoks oleh Lombard sebagai
bentuk lain dari ketakutan terhadap “mistik” Jawa. Belanda sangat meyakini bahwa
orang Jawa yang telah kalah oleh senjata akan dapat membalas dendam dengan daya
magic yang bersumber dari kekuatan gaib para leluhur dan orang-orang suci yang
dikeramatkan40.
39
Priyadi, Sugeng, 2001. Perdikan Cahyana …
40
Lombard, dalam Ervitaputri, Yana. 2016. Arkaisme Spiritual dalam Tradisi Lisan Budaya Cahyana….
41
Priyadi, Sugeng, 2001. Perdikan Cahyana …
piagam dan wewaler perdikan, tidak adil, serta memperkaya diri sehingga mereka
harus diturunkan. Tanah-tanah perdikan dikuasai oleh para demang untuk
kepentingannya sendiri, sehingga rakyat hidup terbengkalai, padahal, rakyat yang
mencetak sawah-sawah dan kebun-kebun, sedangkan demang tinggal mengakui itu
semua sebagai hak miliknya. Kejatuhan para demang itu sesuai dengan beberapa
ramalan, seperti besuk ana bangke mili ngalor dan besuk ana beslit padha
dicanthelake gethek42.
Pada saat misi dakwah Islam yang dipimpin oleh Pangeran Machdum Khusen,
terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Pasukan Pajajaran seperti yang dikisahkan
di atas. Pada saat itu, Pangeran Machdum Khusen meminta para perempuan untuk
memainkan rebana besar. Setelah menuliskan syair doa untuk dilantunkan, Syekh
Machdum Khusen bermunajat kepada Allah SWT. Ketika pasukan Pajajaran datang,
suara dengung dari permainan rebana besar itu berubah menjadi kawanan tawon gung
yang menyerang pasukan Pajajaran dan membuat mereka kalang kabut. Kemudian,
dari sinilah muncul tradisi memainkan rebana besar yang disebut kesenian Braen.
Karena Braen adalah “Seni Doa dan Permohonan” maka Braen hanya
dimainkan pada saat tertentu saja. Dan yang memimpin (Rubiyah) haruslah seorang
wanita keturunan Syekh Machdum Khusen. Selain berisi syair sejarah, pendidikan
Islam dan ketauhidan, Bran berisi doa yang dilantunkan dalam empat bahasa, yaitu
bahasa Jawa, Arab, Melayu, dan Sunda. Braen dimulai sekitar pukul 22.00 selepas
acara tahlil atau selamatan dan selesai pada pukul 03.00 dini hari.
Kesenian Braen bisa dikatakan merupakan bentuk syiar agama Islam dengan
menggunakan lagu, yang kemudian dilakukan pula oleh Wali Songo beberapa abad
kemudian. Braen dalam setiap bagian lagunya menceritakan kehidupan manusia,
mirip seperti Tembang Macapat44. Selain Braen, di wilayah Cahyana juga ada budaya
Slametan yang merupakan upacara penutup dalam ritual Slametan Ziarah Makam
Syekh Jambu Karang. Ritual Slametan ini jamak sekali ditemukan dalam budaya
Jawa, seperti yang disebutkan Greetz, bahwa di pusat seluruh sistem keagamaan
orang Jawa terdapat sebuah upacara kecil, sederhana, formal, tidak dramatis dan
hampir mengandung rahasia: slametan (terkadang disebut juga kenduren). Seperti di
hampir semua tempat, ia melambangkan kesatuan mistik dan sosial dari mereka yang
43
Ervitaputri, Yana. 2016. Arkaisme Spiritual dalam Tradisi Lisan Budaya Cahyana….
44
Tembang Jawa yang menceritakan perjalanan hidup manusia. Terdiri dari 11 pola metrum:
Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur,
Megatruh, dan Pucung.
ikut serta di dalamnya. Handai taluan, tetangga, rekan sekerja, sanak keluarga, arwah
setempat, nenek moyang yang sudah mati serta dewa-dewa yang hampir terlupakan,
semuanya duduk bersama dan karena itu, terikat ke dalam sebuah kelompok sosial
tertentu yang berikrar untuk tolong menolong dan bekerja sama45.
Sebuah Hipotesis
Penyematan julukan Haji Purwa (Haji pertama dari Tanah Jawa) masih
kontroversial. Karena ada beberapa versi cerita mengenai julukan ini, yang
menyebutkan seorang putera mahkota raja (juga) pada masa Galuh yang akhirnya
lebih memilih berdagang lalu mempelajari Islam dan akhirnya menunaikan ibadah
Haji. Sepulangnya dari Timur Tengah, dia menyebarkan ajaran Islam di Caruban
(Cirebon) setelah upayanya menyebarkan Islam di kerajaan ayahnya gagal.
45
Greetz, dalam Ervitaputri, Yana. 2016. Arkaisme Spiritual dalam Tradisi Lisan Budaya Cahyana….
itu, wilayah Cahyana bukanlah wilayah Perdikan (bebas pajak) dan malah dianggap
wilayah yang membangkang.
Namun, diluar semua itu, budaya yang masih hidup di wilayah Cahyana hingga
saat ini, seperti Braen dan Slametan merupakan bukti, bahwa cerita mengenai asal
mula leluhur mereka masih hidup dan dipercaya. Braen sebagai suatu budaya yang
juga mengandung nilai kebermaknaan yang dalam juga merupakan gambaran, atau
upaya penyebaran agama Islam dengan menggunakan kesenian. Braen yang
mengisahkan mengenai perjalanan spiritual setiap manusia mirip dengan tembang
Macapat. Fakta bahwa wilayah Cahyana berada di wilayah tengah atau mungkin
pedalaman (jauh dari bibir pantai) menjadikan kesenian Braen unik, karena
menggunakan tiga bahasa, yaitu Melayu, Jawa, dan Arab. Di sisi lain, Wilayah
Cahyana yang pernah berada dalam wilayah Kerajaan Sunda, jika disimak dari
ekspresi bahasa dalam kesenian Braen menggunakan bahasa Jawa.
Wilayah Cahyana yang berada di perbatasan dua atau lebih kerajaan bisa saja
menjelaskan mengapa ekspresi tiga bahasa ini tercermin dalam kesenian Braen.
Beberapa temuan dalam tulisan ini menimbulkan suatu dugaan sementara, apakah
wilayah Cahyana, pada suatu masa pernah menjadi suatu pusat (budaya, agama,
kebatinan, spiritual, dsb) di tanah Jawa? Hipotesis ini harus dibuktikan dengan cara
lebih mendalam dan kritis. Fakta-fakta berupa bentuk ajaran dan nilai apa yang
disebarkan dari pertemuan dua budaya (Jawa-Hindu dan Arab-Islam) lalu
menghasilkan akulturasi budaya semacam apa sehingga wilayah tersebut bisa eksis
paling tidak lebih dari 6 abad, bahkan hingga saat ini, walau aturan Perdikan sudah
dihapuskan sejak 1946.