Penulis: Nazar
Pen-Tashih:
KH. Tubagus Ahmad Furqon Saifullah Zein
(Ketua Umum PATRAH / Persatuan Trah Kesultanan Banten &
Ketua II Kenadziran Kesultanan Banten)
Tulisan dari Penulis yaitu adinda, H. Tubagus Nazar M. ST ini smoga akan semakin
melengkapi khazanah pengetahuan sejarah Kesultanan Banten khususnya pada era
akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-19. Walaupun dalam risalah ini Penulis lebih
fokus menguraikan bagian-bagian sejarah yang berkaitan langsung dengan Sultan
Wakil Pangeran Suramanggala (Sultan ke-19 Banten) dan tidak melebar dari topik
tersebut, namun isinya bersinggungan dengan runtutan peristiwa sejarah
Kesultanan Banten sejak kepulauan nusantara masih berada dibawah tekanan
politik Kompeni (VOC), kemudian berpindah ke kolonialisme kerajaan Belanda,
kekuasaan Perancis, Inggris, hingga kembali ke tangan Belanda; dimana dalam
kurun tersebut Keraton Surosowan yang merupakan simbol eksistensi Kesultanan
Banten sejak pemerintahan Raja Pertama Banten (Kanjeng Sinuhun Maulana
Hasanuddin bin Syaikh Syarif Hidayatullah rahimahumallah), pada akhirnya
dihancurkan oleh Herman Williem Daendels (Gubernur Jendral Hindia Belanda saat
itu).
Apa yang diuraikan oleh Penulis bersifat objektif karena pada setiap kronologi
sejarah yang disampaikannya sebagian besar mengacu pada sumber-sumber
mainstream yang kemudian dirangkai secara berurut dan menghasilkan analisa
ilmiah, bukan berdasarkan subjektifitas ataupun rekaan semata. Hal menarik dari
uraian Penulis, dapat mengungkap jelas “Siapakah Sultan Banten yang terakhir
bertahta di Keraton Surosowan sebelum seluruhnya dihancurkan oleh Daendels?”
yang mungkin pada buku-buku sejarah mainstream tidak disebutkan secara ekplisit
“Fulan bin Fulan” Sultan Banten yang sedang menjabat saat fase penghancuran
terakhir keraton Surosowan oleh Daendels, dan bagaimana/dimana kedudukan
Sultan-Sultan Banten setelahnya.
1
Selain kronologi sejarah beserta sumber-sumber rujukan yang disajikannya, Penulis
pun menyajikan Tanya Jawab pada bagian F untuk menjawab berbagai
kesalahpahaman/kesimpangsiuran informasi seputar identitas Sultan ke-19 yaitu
Sultan Wakil Pangeran Suramanggala bin Sultan Zainul Asyikin.
Pentashih sangat mengenal baik Penulis yang merupakan keturunan ke-6 dari
Pangeran Suramanggala bin Sultan Zainul Asyikin, mengatahui latar belakang
pendidikan maupun asal usulnya, mengenali keluarga besarnya dan pernah
berkesempatan bersama beberapa kerabat dari PATRAH Kesultanan Banten yang
berkompeten dalam ilmu nasab memverifikasi catatan silsilah keluarga besarnya di
Majalengka dengan melakukan kunjungan ke Bani-Bani dari keluarga besarnya.
Pentashih pun pernah berkesempatan menziarahi makam-makam kakek buyutnya
disana. Pentashih meyakini bahwa Penulis sangat jauh dari tendensi untuk
mendapatkan popularitas ataupun keuntungan duniawi yang fana. Penulis hanya
berikhtiar untuk memperjelas hal-hal yang berpotensi samar dan terdistorsi dari
lembaran sejarah Kesultanan Banten khususnya sejarah Pangeran Suramanggala
bin Sultan Zainul Asyikin yang saat ini keturunannya tersebar diberbagai tempat di
Indonesia bahkan ada juga yang menetap di negeri jiran Singapura dan Malaysia.
Dengan washilah ini, diharapkan silaturahmi antar sesama dzurriyah Kesultanan
Banten dapat semakin terjalin dan terus menjaga marwah para leluhur yang shalih
tanpa membeda-bedakan kedudukan muslim lainnya, karena yang membedakan
hanyalah ketaqwaan hamba-Nya pada Allah SWT.
2
A. PRAKATA
Pangeran Suramanggala / Suramenggala / Sura menggala / Sura manggala putra
dari Sultan Muhammad Arif Zainul Asyikin (Sultan Banten periode 1753 – 1773)
rahimahumallah tidak begitu banyak diceritakan para sejarawan dalam buku-buku
sejarah kesultanan Banten, sehingga tidak sedikit menimbulkan spekulasi, dugaan
dan kesimpangsiuran versi sejarah yang masih terus diperbincangkan untuk
mengungkap identitas yang lebih rinci mengenai riwayat dirinya. Buku-buku
referensi dari para sejarawan yang Penulis temukan sampai saat ini hanya sedikit
menyinggung kehidupannya saat beliau berada di Banten. Sedangkan informasi
mengenai eksistensi beliau setelah diluar Banten, hanya Penulis dapatkan dari
teks/lembaran/buku yang tersimpan dilingkungan keluarga Majalengka dan juga
dari informasi lisan/legenda yang beredar luas disampaikan secara turun temurun
di masyarakat khususnya masyarakat Majalengka, karena adanya keberadaan
makam yang diyakini sebagai makam tempat dimana jasad beliau disemayamkan
yaitu di desa Kawunggirang kecamatan Majalengka. Dari kedua sumber informasi
tersebut (Banten dan Majalengka), Penulis ingin coba merangkainya menjadi satu
untuk membendung spekulasi/dugaan yang jauh melebar tanpa adanya bukti data
yang lebih valid daripada bukti-bukti yang sudah terlebih dahulu ada. Penulis
menyadari adanya kemungkinan sumber-sumber data yang terluput dari
perujukan, sehingga sejarah mengenai Pangeran Suramanggala masih terbuka
untuk dikaji dan diteliti secara ilmiah oleh para sejarawan dimasa ini dan masa yang
akan datang. Penulis berharap kepada Allah agar Penulis berkesempatan untuk
memperbaharui/meluruskan isi kandungan tulisan ini bilamana dari
perkembangan kajian ilmiah tersebut kemudian ditemukan adanya kekeliruan.
Dalam penyebutan nomor urutan Sultan-Sultan Banten yang memerintah, Penulis
mengacu pada buku “Catatan Masa Lalu Banten, Halwany Michrab-Chudari,
Appendix II” yang juga sejalan dengan silsilah Sultan-Sultan Banten pada Buku
“Syamsu Adz-Zohiroh, halaman 567”.
B. KRONOLOGI PERISTIWA
1. Banten, tahun 1773 (Wafatnya ayahanda Pangeran Suramanggala):
a) Banten berduka atas wafatnya Sultan Banten ke-13 periode 1753-1773,
Sultan Muhammad Arif Zainul Asyikin (Pangeran Gusti), ayahanda dari
Pangeran Suramanggala. Beliau tercatat meninggalkan 5 putra:
1) Pangeran Ratu Muhammad Aliyuddin
2) Pangeran Muhyiddin Zainus Solihin
3) Pangeran Manggala
3
4) Pangeran Suralaya
5) Pangeran Suramanggala
Beliau adalah keturunan langsung Syaikh Syarif Hidayatullah yaitu putra
dari Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin bin Sultan Abul Mahasin Zainul
Abidin bin Sultan Haji Abu Nashr Abdul Qohhar bin Sultan Ageng
Tirtayasa bin Sultan Abul Ma’ali Ahmad bin Sultan Abul Mafakhir Abdul
Kadir bin Maulana Muhammad bin Maulana Yusuf bin Maulana
Hasanuddin bin Syaikh Syarif Hidayatullah yang nasabnya bersambung
sampai Rasulullah SAW melalui Sayyidina Husain r.a.
Walaupun semasa hidupnya dipenuhi konflik politik, Sultan Muhammad
Arif Zainul Asyikin adalah sosok negarawan shalih dan alim. Beliau
memiliki murid seorang ulama keturunan Arab dan Banten yang
bernama Syaikh Abdullah bin Abdul Qahhar, seorang mursyid tarekat
sekaligus penulis risalah fiqih maupun tasawwuf, yang mengajarkan
tarekat Naqsyabandiyah dan Syattariyah1)
b) Diangkatnya putra mahkota/Pangeran Ratu sebagai Sultan Banten ke-14
dengan gelar Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyuddin.
c) Kompeni semakin bertindak sewenang-wenang untuk meraup
keuntungan sebanyak-banyaknya melalui tangan sultan Banten yang
ditunjuknya. Mereka semakin giat menjalankan politik adu domba untuk
meraih tujuan tersebut.
2. Banten & Lampung, tahun 1793 (Masa Pemerintahan Sultan Aliyuddin, Sultan
Banten ke-14):
Sultan Aliyuddin mengutus adik laki bungsunya yaitu Pangeran Suramanggala
disertai dua kerabat sultan yang lain (Pangeran Rajaningrat dan Pangeran
Kusumadiwirya) ke Lampung dalam rangka dinas kenegaraan. Namun para
pengawas VOC melakukan kejahatan terhadap mereka sehingga dikabarkan
ketiganya terluka dan dua diantaranya yaitu Pangeran Rajaningrat dan
Pangeran Kusumadiwirya mengalami luka parah terkena tembakan Meriam
hingga tidak sadarkan diri. Pangeran Suramanggala bersama dua kerabatnya
yang terluka parah berhasil kembali ke Banten.2)
3. Banten, tahun 1796 (Masa Pemerintahan Sultan Aliyuddin, Sultan Banten ke-
14):
Pada tanggal 1 Maret 1796, VOC dibubarkan sebagai dampak dari situasi
moneter dunia dan masalah dalam internal tubuh VOC sendiri. Semua
kekayaan dan utang piutang VOC ditangani pemerintah Kerajaan Belanda, dan
sejak saat itulah kepulauan Nusantara dijajah Belanda.3)
4
4. Banten, tahun 1802 (Masa diangkatnya Sultan Muhyiddin sebagai Sultan
Banten ke-15). Dalam versi Catatan Masa Lalu Banten-Halwany Bab IV-F,
peristiwa ini terjadi pada tahun 1799:
Pangeran Muhyiddin (adik Sultan ke-14) meminta dirinya diangkat menjadi
Sultan kepada Gubernur Frederick Hendrik Benon (bawahan Jendral Johanes
Siberg) dengan alasan beliau disukai semua lapisan masyarakat dan juga
memiliki istri permaisuri yang melahirkan putra. Sedangkan putra-putra dari
kakak beliau yaitu Sultan Aliyuddin bukan berasal dari istri permaisuri
melainkan dari selir. Permohonan tersebut mendapat dukungan dan
tandatangan dari keluarga kesultanan termasuk dari Pangeran Suramanggala,
adik bungsu dari Sultan Aliyuddin dan Pangeran Muhyiddin. Permohonan ini
kemudian dikabulkan dewan Hindia Belanda, dan beliau resmi dinobatkan
sebagai Sultan ke-15 dengan gelar Sultan Abdul Fattah Muhammad Muhyiddin
Zainusholihin.4)
Adanya perjanjian dari Sultan Muhyiddin yang isinya tahta kesultanan
setelahnya akan diteruskan kepada putra mahkota dari Sultan Aliyuddin yang
bernama Pangeran Agiluddin (Aliyuddin-2) dengan gelar Pangeran Ratu Abul
Mafakhir Muhammad Aliyuddin (Aliyuddin-2) yang saat itu masih balita5)
5. Banten, tahun 18036) (Wafatnya Sultan Muhyiddin, Sultan ke-15). Dalam versi
Catatan Masa Lalu Banten-Halwany Bab IV-F, peristiwa ini terjadi pada tahun
1801:
Sultan Muhyiddin (adik Sultan Aliyuddin) dan Tubagus Ali (anak Sultan
Aliyuddin) dilaporkan telah meninggal dunia. Sultan Muhyiddin dibunuh saat
tertidur di istana Surosowan oleh Tubagus Ali bin Sultan Aliyuddin. Adapun
Tubagus Ali pun setelah itu mati dibunuh oleh pengawal kesultanan. Sultan
Aliyuddin (Sultan ke-14) beserta para menteri Banten meminta Gubernur
Jenderal Johanes Siberg untuk segera mengangkat Sultan baru menggantikan
Sultan Muhyiddin.6)
5
7. Banten, tahun 1802 (Dalam versi Catatan Masa Lalu Banten-Halwany Bab IV-
F):
Kesultanan dipegang oleh Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (Sultan ke-17)9).
Beliau menjadi pemangku jabatan pemerintahan untuk sementara waktu
sampai pewaris tahta cukup dewasa untuk memerintah. Penulis tidak dapat
menemukan referensi terkait nasab Pangeran Natawijaya yang saat itu
menjabat Sultan Wakil.
7
telah hancur maka pusat pemerintahan untuk Banten Hulu bertempat
di Keraton Kaibon.
c) Proyek pembuatan pelabuhan militer di Ujung Kulon dihentikan, karena
banyaknya pekerja yang mati dan daerahnya berawa-rawa. Pembuatan
pelabuhan militer kemudian dipindahkan ke Anyer. Pada tahun ini
dimulai pembuatan “jalan pos” dari Anyer sampai Panarukan (±1000
Km) yang akan digunakan untuk kepentingan militer; sedangkan
pelaksanaan pembangunannya menjadi tanggung jawab Bupati di
daerah yang dilewati jalan tersebut. Dengan cara kerja paksa (rodi),
pembangunan jalan ini selesai dikerjakan hanya dalam tempo satu
tahun dengan mengorbankan beribu-ribu rakyat pribumi.
12. Banten, tahun 1810 (Masa Pemerintahan Sultan Syafiuddin, Sultan ke-20):
a) Melihat tindakan Daendels yang dianggap sangat keras, maka Kaisar
Napoleon pada tahun ini memanggil Daendels untuk pulang ke
negerinya. Sebagai penggantinya, Napoleon menugaskan Jansens
menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda.
13. Banten, tahun 1811 (Masa Pemerintahan Sultan Syafiuddin, Sultan ke-20):
a) Panembahan Anom dan Pangeran Ahmad meminta kepada Raja Inggris
untuk menembak Merak, Caringin dan Anyer untuk melumpuhkan
Belanda. Mereka berencana mengepung daerah-daerah tersebut
namun karena ketiadaan senjata besar dan daerah tersebut tidak dapat
dimasuki akibat adanya peperangan di Pandeglang, mereka meminta
bantuan Raja Inggris11).
b) Sekitar bulan Agustus 1811, pasukan Inggris dari India, dengan
menggunakan 100 buah kapal, mendarat di Banten. Dengan mudah
tentara Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles dengan
bantuan beberapa keluarga kesultanan yang sangat membenci Belanda,
dapat mengalahkan tentara Belanda. Gubernur Jendral Hindia Belanda,
Jansens dengan beberapa sisa tentaranya melarikan diri ke Semarang,
dan akhirnya menyerah tanpa syarat.3)
8
c) Belanda menandatangani perjanjian menyerah kepada Inggris pada
tanggal 17 September 1811 di Salatiga; dengan demikian seluruh daerah
jajahan Perancis ini beralih tangan di bawah kekuasaan Inggris.3)
d) Pada masa pemerintahan Inggris ini, untuk memudahkan administrasi
dan pengawasannya, Raffles membagi Pulau Jawa menjadi 16 daerah
karesidenan. Di samping itu Raffles pun mengadakan perubahan dalam
bidang peradilan, yang disesuaikan dengan sistem peradilan di Inggris.
Kerja rodi dan perbudakan, karena dianggap tidak sesuai dengan
"prinsip kemanusiaan" kemudian dilarang. Untuk menambah
pemasukan keuangan negara, Raffles menerapkan monopoli garam dan
menjual beberapa daerah kepada partikelir/swasta (seperti juga
dilakukan sebelumnya oleh Daendels).3)
14. Banten, tahun 1813 (turunnya Sultan ke-20 dan diangkatnya Sultan ke-21)3):
a) Sultan Bupati Syafiuddin, Sultan ke-20 yang bertahta di keraton Kaibon
dipaksa turun tahta oleh Raffles dan menyerahkan jabatan
pemerintahan kepada pemerintah Inggris; wilayah kesultanan Banten
dihapuskan sepenuhnya. Seluruh daerah Kesultanan Banten telah
dikuasai Pemerintah Inggris dan dijadikan sebuah karesidenan. Gelar
"Sultan" masih boleh dipakai sebatas adat dan kepada Sultan diberi
10.000 ringgit Spanyol setahun. Sebagai ganti Sultan ke-20, diangkat
Sultan Tituler (semacam Sultan sebatas adat) Muhammad Rafiuddin
sebagai Sultan ke-21.
b) Raffles membagi wilayah Banten dari sebelumnya 3 kabupaten menjadi
4 yang masing-masing diperintah oleh seorang bupati:
i. Kabupaten Banten Lor (Banten Utara) dengan ibukota Serang,
diperintah oleh Pangeran Suramanggala (Sultan ke-19).
ii. Kabupetan Banten Kulon (Banten Barat) dengan ibukota Caringin,
diperintah oleh Tubagus Hayudin.
iii. Kabupaten Banten Tengah dengan ibukota Pandeglang,
diperintah oleh Tubagus Ramlan.
iv. Kabupaten Banten Kidul (Banten Selatan) dengan ibukota Lebak,
diperintah oleh Tumenggung Suradilaga.
9
b) Pada tahun 1816 Fendall menyerahkan kepulauan Nusantara kepada
pemerintah Belanda.
16. Kekisruhan politik dan intervensi Belanda di Banten kembali terjadi. Dalam
periode tahun inilah Pangeran Suramanggala diperkirakan hijrah ke
Majalengka dengan menyembunyikan identitasnya agar tidak diketahui
Belanda. Beliau mengganti namanya menjadi “Kacung”. Identitas beliau yang
sebenarnya hanya diketahui oleh orang-orang yang sangat dekat seperti oleh
kakaknya yang telah lebih dahulu hijrah ke Majalengka yaitu Pangeran
Suralaya (Mbah Nursalim) yang tinggal di Rajagaluh Majalengka ataupun oleh
guru sekaligus mertuanya yaitu Syaikh Ibrahim (Mbah Bahim) seorang
waliyullah cicit dari Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan yang lebih dahulu
menyebarkan Islam di wilayah Kawunggirang Majalengka. Beliau menikah
dengan anak putri dari Mbah Bahim, menetap untuk memperkuat syi’ar Islam
dan berketurunan disana tepatnya di desa Kawunggirang Majalengka hingga
wafatnya. Saat beliau hijrah, usia beliau diperkirakan sekitar 45 tahun, Allahu
a’lam.
12
beberapa orang dari keluarga besar mereka masih menyimpan dan terus
mendata keturunan dari Pangeran Suramanggala ini.
Pada akhir tahun 2021, Penulis ditemani saudara-saudara Penulis
bermusyawarah dengan tokoh-tokoh ulama/Kyai disekitar Kawunggirang dan
Kertabasuki yang notabene masih ada hubungan kerabat famili dengan Penulis.
Dari saran-saran para Kyai diantaranya KH. Bunyamin pimpinan pondok
pesantren Shobarul Yaqin Kawunggirang yang juga pengurus komplek makam
Mbah Bahim, KH. Maman dan H. Olih pimpinan dan pengasuh pesantren
Annawawiyyah Kawunggirang, KH. Yuyu Bazrujamhar pimpinan pesantren
Manbaul Huda Banjaran dan Kyai Asep Saefullah Ridwan pesantren Nurul Huda
Kertabasuki, bersepakat untuk mendirikan saung diatas makam Mbah Tubagus
Kacung/Pangeran Suramanggala disertai papan pengenal, tanpa merubah batu
asli yang ada pada makam. Tujuannya menjaga/memuliakan salah satu situs
sejarah makam seorang waliyullah di desa Kawunggirang agar jelas
keberadaannya dan menghindari kesimpangsiuran informasi maupun klaim-
klaim pihak lain terkait lokasi makamnya. Kami berhusnudzon bahwa Insya
Allah atas kehendak Allah SWT, arwah Mbah Tubagus Kacung akan ridha
dengan maksud tujuan ini.
Pada tanggal 9 Januari 2022 bertepatan dengan hari Ahad, setelah dilakukan
hadhoroh, saung pagar makam yang terbuat dari stainless dan rangka baja pun
dipasang diatas makam Pangeran Suramanggala alias Tubagus Kacung yang
berdasarkan naskah silsilah yang ditulis oleh almarhum KH. Ridwan Halim
(Bapak dari K. Asep Ridwan Pesantren Nurul Huda) sekitar tahun 1970, nama
Kacung ini nama samaran, nama aslinya adalah Tubagus Bunyamin. Sedangkan
Pangeran Suramanggala adalah gelar beliau di Kesultanan Banten. Almarhum
KH. Ridwan Halim adalah murid sekaligus menantu dari almarhum KH. Abdul
Halim Baribis. Naskah silsilah yang ditulisnya menjelaskan nasab silsilah
Tubagus Kacung dan juga nasab bapak mertua beliau yaitu Mbah Bahim.
Setelah saung makam berdiri, keesokan harinya yaitu Senin 10 Januari 2022
pada pagi hari jam 10.00, diadakan acara tasyakur, ceramah dan tahlil dilokasi
makam Pangeran Suramanggala yang dihadiri beberapa dzurriyah Mbah
Tubagus Kacung dari Rajagaluh Kidul, Kertabasuki, Kawunggirang, Banjaran,
para sesepuh desa, kyai, habib (habib Abdullah bin Yahya), aparat setempat
(Bapak Kuwu Kawunggirang dan Bapak Camat Majalengka), Ketua II kenadziran
kesultanan Banten (KH. Tubagus Ahmad Furqon SZ) yang juga merupakan
Ketua Umum Patrah Kesultanan Banten, ketua naqobah Patrah Kesultanan
Banten (Tubagus Zein Al-Bakri, cucu dari Mama Sempur Purwakarta yang
merupakan cucu dari qodhiul qudhat di era kesultanan Banten) dan beberapa
kerabat dari Pesantren Munjul Cirebon (K. Tubagus Ubaidillah dan Tubagus Aris
Tobaristan).
13
Dalam catatan silsilah, Mbah Tubagus Kacung hanya meninggalkan satu putera
yaitu Tubagus Muhammad Sholeh yang merupakan pendiri pesantren sekaligus
desa Kertabasuki. Para putra dan putri dari Tubagus Muhammad Sholeh yang
tercatat antara lain: 1. Nyai Madani, 2. Nyai Juhari, 3. Nyai Angrum, 4. Kyai
Soleh (Anom), 5. Nyai Suki, 6. Kyai Munara/Muhyidin, 7. Kyai Munari/Arjaen, 8.
Nyai Mudrikah/Muniroh, 9. Nyai Jamilah dan 10. Nyai Idris. Sepeninggalnya
Mbah Soleh (Tubagus Muhammad Sholeh), anak laki-laki tertuanya yang
dipanggil dengan nama yang sama yaitu Kyai Soleh meneruskan pengajaran di
pesantren Kertabasuki hingga wafatnya dan dimakamkan dekat sang ayah di
Kertabasuki. Sementara Kyai Munara dan Kyai Munari (saudara kembar) pindah
dari Kertabasuki, menjadi tokoh pemuka agama maupun penghulu di wilayah
lain di Majalengka dan Cirebon. Kyai Munara dimakamkan di desa Andir
Jatiwangi, sementara Kyai Munari dimakamkan di Kamalaten Cirebon. Hingga
saat ini beberapa keturunan dari Pangeran Suramanggala tersebar diberbagai
tempat di Indonesia bahkan ada juga yang sudah menetap di negeri jiran
Singapura dan Malaysia.
14
D. LAMPIRAN GAMBAR
Gambar 1. Kondisi makam Mbah Tubagus Kacung/Pangeran Suramanggala sebelum 9 Januari 2022
Foto dari arah Selatan (Tampak bangunan Makam Mbah Bahim disebelah utara)
Gambar 2. Kondisi makam Mbah Tubagus Kacung/Pangeran Suramanggala sebelum 9 Januari 2022
Foto dari arah Utara
15
Gambar 3. Kondisi makam Mbah Tubagus Kacung/Pangeran Suramanggala pada tangal 9 Januari 2022
Foto dari arah Utara
Gambar 4. Makam Mbah Tubagus Nursalim/Pangeran Suralaya (kakak terdekat Pangeran Suramanggala)
16
Gambar 5. Makam Tubagus Muhammad Sholeh, putera dari Pangeran Suramanggala dari pernikahannya
dengan putri Mbah Bahim.
Gambar 6. Potongan Salinan silsilah Tubagus Kacung/Tubagus Bunyamin, dari almarhum KH. Ridwan Halim
17
Gambar 7. Salah satu text yang sudah lama terpampang di dinding makam Tubagus Nursalim/Pangeran
Suralaya
Gambar 8. Dokumentasi sesaat setelah usai acara tasyakur, Senin 10 Januari 2022 di lokasi makam Pangeran
Suramanggala (Mbah Tubagus Kacung) bin Sultan Zainul Asyikin
18
E. SILSILAH PANGERAN SURAMANGGALA / MBAH TUBAGUS KACUNG
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
EMBOK EMBOK EMBOK KYAI EMBOK KYAI KYAI EMBOK EMBOK EMBOK
MADANI JUHARI ANGRUM SOLEH SUKI MUNARA/ MUNARI/ MUDRIKAH JAMILAH IDRIS
MUHYIDIN KYAI ARJAEN /MUNIROH
19
F. BEBERAPA TANYA DAN JAWAB
1. Tanya-1:
Sultan Wakil Pangeran Suramanggala yang memerintah pada periode 1808-
1809 ataupun yang menjabat Bupati Banten Lor pada tahun 1813 adalah putra
dari Sultan Aliyuddin-2, beda orang dengan Pangeran Suramanggala putra
Sultan Zainul Asyikin.
Jawab:
Pada tahun 1801/1804, Pangeran Agiluddin (Aliyuddin-2) masih berusia kanak-
kanak (lihat B.6). Tidak mungkin dalam selang beberapa tahun kemudian beliau
tiba-tiba sudah memiliki anak yang secara usia pantas untuk menjabat Sultan
Wakil ataupun Bupati.
2. Tanya-2:
Sambungan Tanya-1; lantas mengapa beliau diangkat sebagai Putera Mahkota
pada tahun 1808? Sedangkan Pangeran Suramanggala adalah urutan ke-5 dari
susunan putera Sultan Zainul Asyikin. Kemudian mengapa beliau hanya
menjabat Sultan Wakil?
Jawab:
Anak pertama Sultan Zainul Asyikin yaitu Sultan Aliyuddin telah wafat saat itu
(lihat B.6), demikian juga anak kedua yaitu Sultan Muhyiddin Zainusholihin
telah wafat (lihat B.5). Dua kakak Pangeran Suramanggala lain yaitu Pangeran
Manggala dan Pangeran Suralaya saat itu tidak diketahui keberadaannya,
karena keduanya kemungkinan sudah hijrah keluar Banten yaitu ke Cirebon dan
Rajagaluh Majalengka (lihat gambar 7). Keduanya tidak ada dalam daftar
penandatangan pada surat permintaan Pangeran Muhyiddin untuk diangkat
menjadi Sultan (lihat B.4). Adapun pewaris tahta Sultan Aliyuddin yaitu Sultan
Aliyuddin-2 ditangkap dan diasingkan ke Ambon (lihat B.10). Pewaris tahta yang
sudah dewasa dari susunan putera Sultan Zainul Asyikin yang tersisa di Banten
saat itu hanyalah Pangeran Suramanggala. Jabatan Sultan Wakil yang
diembannya berbeda dengan Sultan Wakil sebelumnya (Pangeran Natawijaya)
yang kemungkinan bukan dari trah kesultanan dan tanpa penobatan sebagai
putera mahkota. Sedangkan Sultan Wakil Pangeran Suramanggala adalah trah
dari kesultanan Banten yang dinobatkan sebagai Putra Mahkota baru saat itu.
Terkait jabatan Sultan Wakil (semacam jabatan Sultan untuk sementara waktu),
adalah mungkin karena beliau saat itu belum memiliki keturunan, sehingga
masih terbuka kemungkinan bagi keturunan Sultan Banten lain untuk diangkat
menjadi Putera Mahkota ataupun Sultan berikutnya; atau mungkin juga karena
masih mempertimbangkan pewaris tahta lain hingga cukup umur/dewasa
20
untuk memerintah. Kalau saja Pangeran Suramanggala sudah memiliki anak
saat masih berada Banten, pastilah nama anaknya sudah tercatat sebagaimana
lazimnya tradisi pencatatan silsilah para putra Sultan Banten yang terus terjaga,
setidaknya sebelum hancurnya keraton Surosowan oleh Daendels di akhir
tahun 1808 atau setidaknya dicatat oleh keturunan beliau ditempat hijrahnya
kemudian (Majalengka). Satu-satunya putra Pangeran Suramanggala yang
tercatat adalah Tubagus Muhammad Sholeh yang terlahir ditempat beliau
hijrah dan wafat yaitu di Kawunggirang Majalengka (lihat bagian C).
3. Tanya-3:
Sultan Wakil Pangeran Suramanggala yang memerintah pada periode 1808-
1809 bernama Tubagus Syafei, dan beliau bersembunyi di Lampung hingga
wafatnya.
Jawab:
Lihat buku Surat-Surat Sultan Banten-Titik Pudjiastuti, Surat nomor 19, Text 2
recto: Tubagus Syafei adalah orang yang berbeda dengan Pangeran
Suramanggala, keduanya membubuhkan tandatangan. Selain itu lokasi makam
Pangeran Suramanggala di Kawunggirang Majalengka sudah diziarahi dan haul
tahunan sejak lebih dari 80 tahun, dan lokasinya berdasarkan petunjuk dari KH.
Abdul Halim Asromo Majalengka; salah seorang tokoh ulama, Pahlawan
Nasional sekaligus cicit langsung dari kakak terdekatnya Pangeran
Suramanggala yang menyimpan manuskrip silsilah raja-raja keturunan Syaikh
Syarif Hidayatullah12), sehingga dengan kapasitasnya itu, informasi yang
diberikannya sangatlah terpercaya (Lihat Bagian C).
4. Tanya-4:
Ada dua nama atau lebih yang memiliki sebutan Pangeran Suramanggala,
misalnya Tubagus Abdurrahman putra Sultan Aliyuddin.
Jawab:
Tidak lazim bila ada dua atau lebih orang yang memiliki sebutan nama/gelar
yang persis identik didalam lingkungan keluarga Sultan Banten pada kurun
waktu yang sama. Kecuali bila pemilik nama/gelar yang satu sudah wafat atau
berbeda zaman dengan pemilik nama/gelar identik yang lain.
Adapun Tubagus Abdurrahman dan Pangeran Suramanggala adalah orang yang
berbeda, masing-masing membubuhkan tandatangan dalam satu baris yang
sama (Lihat buku Surat-Surat Sultan Banten-Titik Pudjiastuti, Surat nomor 19,
Text 2 recto baris ke 11).
5. Tanya-5:
21
Makam Pangeran Suramanggala ada di daerah lain.
Jawab:
Setiap orang bisa saja mengklaim seperti itu, namun perlu dijelaskan dimana
lokasi makamnya, apa nama “Fulan bin Fulan” nya, sejak kapan mulai diketahui
secara luas, apa bukti pendukungnya, tahu dari siapa dan kapasitasnya sebagai
apa. Klaim terhadap lokasi makam terlebih makam seorang Sultan Banten yang
nasabnya tersambung kepada ahlul bayt, harus dapat dijelaskan validitasnya
berdasarkan fakta-fakta yang teruji dan diakui. Allahu a’lam.
6. Tanya-6:
Sultan yang ditangkap dan dipenjarakan Daendels di Batavia pada tahun 1808
adalah Sultan Ishaq Zainul Muttaqin, bukan Pangeran Suramanggala.
Jawab:
Sultan Ishaq menjabat sebagai Sultan sampai 1802, menurut sumber lain 1804.
Silahkan merujuk ke Catatan Masa Lalu Banten, Halwany Michrab-Chudari,
Appendix II. Sultan Wakil Pangeran Suramanggala adalah Sultan yang diangkat
setelah Sultan Aliyuddin-2 diasingkan ke Ambon, sebelum keraton Surosowan
habis dihancurkan oleh Daendels dan sebelum Sultan Syafiuddin diangkat
menjadi Sultan di keraton Kaibon karena Surosowan sudah dihancurkan
Daendels (lihat Halwany, IV-G). Jadi Sultan yang ditangkap dan dipenjarakan di
Batavia, karena dituduh menggerakan ulama-ulama untuk berbuat kekacauan
saat itu adalah Sultan yang sedang menjabat yaitu Pangeran Suramanggala
(Sultan ke-19 periode 1808-1809). Dengan demikian Daendels dapat dengan
leluasa menghancurkan keraton Surosowan. Allahu a’lam.
G. CATATAN KAKI
22
Penulis menemukan adanya ketidaksesuaian angka tahun dimana tertulis
tahun 1794, sedangkan di Surat no. 19-20 pada tahun 1802 Sultan
Muhyiddin masih ada. Agar berurut dan tidak membingungkan, Penulis
mengkoreksinya menjadi 1803 mengikuti urutan peristiwa yang diuraikan
Surat-Surat Banten dalam Buku ini.
7) Perang, Dagang, Persahabatan (Surat-Surat Sultan Banten), Titik
Pudjiastuti, Surat no. 46, hal 186-190
8) Perang, Dagang, Persahabatan (Surat-Surat Sultan Banten), Titik
Pudjiastuti, Surat no. 23-24, hal 112-120
9) Catatan Masa Lalu Banten, Halwany Michrab-Chudari, Bab IV-F.
10) Perang, Dagang, Persahabatan (Surat-Surat Sultan Banten), Titik
Pudjiastuti, Surat no. 28, hal 140-143
11) Perang, Dagang, Persahabatan (Surat-Surat Sultan Banten), Titik
Pudjiastuti, Surat no. 29-30, hal 144-150
12) Historical Fact and Fiction, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, hal 86
23