Anda di halaman 1dari 6

1. KH.

Hasanuddin Jatira, Babakan Ciwaringin Cirebon

Beliau sosok tokoh pendiri pondok pesantren Babakan pada tahun 1127 H (1715 M). Beliau juga
dikenal berbagai nama antara lain Kiai Hasan, Kiai Hasanuddin, Kiai Jatira, dan Kiai Qobul.
Beliau wafat dan kemudian dikuburkan di komplek Maqbaroh Syaikh KH. Abdul Latif Kajen,
Pamijahan Wetan (dulu wilayah desa Lurah) Plumbon, di sini beliau dikenal dengan nama Kiai
Qobul. Kiai Hasan (Hasanuddin Jatira) adalah nasab yang ke-10 dari waliyullah Syaikh Abdul
Muhyi Pamijahan kulon (Tasikmalaya).
Kiai Hasanuddin mempunyai keturunan yaitu putra Kiai Nawawi, terus menurunkan putra Kiai
Syarqowi dan menurunkan putra lagi Kiai Nawawi bin Kiai Syarqowi. Dari Kiai Nawawi inilah cikal
bakal beberapa pondok pesantren di wilayah Cirebon paling barat, yang berbatasan dengan
kabupaten Majalengka. Diantaranya pondok pensatren Babakan, pondok pesantren Panjalin,
pondok pesantren Kempek, pondok pesantren Arjawinangun, pesantren Winong, pesantren
Loatang Jaya, pesantren Duku Mire, pesantren Gintung, pesantren Kedongdong, dan pondok
pesantren Lebak Ciwaringin.

Kiai Nawawi bin Kiai Syarqowi ini mempunyai dua garis keturunan dari Maulana `Ainul Yaqin
(Sunan Giri) Gresik dan Maulana Raden Rahmatullah (Sunan Ampel) Surabaya. Antara Sunan
Giri dan Sunan Giri masih satu garis keturunan dari Syaikh Maulana Ibrohim As-Samarqondi.
Adapaun garis keturunan Kiai Nawawi bin Kiai Syarqowi dari Sunan Ampel sebagai berikut; Kiai
Warsidi, Kiai Bangusan, Kiai Nursaja, Kiai Syafi`i, Kiai Syarqowi, dan Kiai Nawawi. Sedangkan
garis keturuan Kiai Nawawi dari Sunan Giri sebagai berikut; Ratu Bimarasa Maulana Faqih
Ibrohim 2, Sunan Baok, Dipati Ratna Kikis, Sunan Rajadesa, Sunan Darmawangsa, Nyai Mas
Buyut, KH. Abdul Lathif (Pamijahan Wetan Plumbon), Kiai Mas Abdurrohim, Kiai Rana, Kiai
Hasanuddin (Babakan Awal), Kiai Nawawi (nasab Versi KH. Sanusi). Ada satu lagi silsilah Kiai
Nawawi versi KH. Amrin Hanan dan KH. Amin Halim yaitu; Sayyid Maulana Ibrohim bin Syaikh
Abdul Muhyi, Dalem Sukahurang, Khotib Arya Agung, Sunan Bahuki, Sunan Rajadesa, Sunan
Ratna Geulis (Ratna Gugus), Mas Buyut, Syaikh Abdul Lathif (Kajen), Kiai Abdurrohim. Kiai
Ratna Atmaja, Surya Arya, Kiai Hasan (Babakan), Kiai Nawawi, Kiai Syai`i, Kiai Syarqowi, dan
Kiai Nawawi.

Adanya kehidupan di perkampung kecil jauh dari keramaian dan pusat perkotaan yakni Babakan
tidak bisa lepas dari sosok Kiai Jatira (Hasaanuddin). Babakan merupakan representasi dari
kehidupan masyarakat kecil yang selalu ditekan oleh orang Belanda waktu itu, tetapi dengan
hadirnya sosok Kiai Jatira masyarakat pada waktu itu bisa merasakan aroma kedamaian,
meskipun harus susah payah merebutnya dari penjajah Belanda waktu itu. Babakan suatu
pedukuhan kecil yang terletak dibagian barat daya kabupaten Cirebon dari pusat keramaian
kota, merupakan salah satu dari sekian banyak pondok pesantren yang berdiri di bumi pertiwi ini.
Sebagai pondok pesantren Babakan hingga kini masih mampu bertahan, berdiri kokoh, bak batu
karang di tengah lautan.

Tersirat dalam sejarah, pesantren Babakan Ciwaringin didirikan sekitar tahun 1715 M/ 1127 H
oleh seorang Kiai berdarah Mataram. Berdirinya pondok pesantren tidak terlepas dari pembawa
agama Islam melalui perpaduan antara budaya lokal dengan norma Islam. Perjalanan panjang
oleh para Kiai merupakan para wali penyebar agama Islam sejak tahun 1350 M. Pada
periodesasi kerajaan mataram di bawah Sultan Amangkurat II, proses Islamisasi telah tumbuh
dan mengakar di kalangan masyarakat Indonesia yaitu Kiai Jatira yang mula-mula pertama kali
menyebarkan agama Islam dari mataram di daerah Babakan Ciwaringin Cirebon pada tahun
1517 M. Dipilihnya desa Babakan bukan tanpa alasan, tetapi karena beliau seorang pejuang
agama yang dekat dengan masyarakat miskin. Desa yang cukup kering dari lahan pertanian
menjadikan dirinya terpacu mengembangkan masyarakat sekitar pondok yang dibangunnya
sebagai tempat yang jauh dari pengaruh kekuasaan dan penjajahan Belanda.
Sebagai pejuang agama dan penegak kebenaran, beliau diharapkan oleh masyarakat untuk
menyebarkan ilmu pengetahuannya dan menahan ancaman dari penjajah pada saat itu,
akhirnya beliau merintis sebuah pesantren sederhana yang beratapkan ilalang dan berdaun
kelapa dan dinding kayu dan bambu. Kesibukan beliau bertambah ketika tantangan riil pada saat
itu bukan saja tantangan dalam mnegajar ilmu agama, tetapi juga ancaman pihak penjajah
Belanda telah menangkap isyarat persatuan dan kesatuan yang sangat kental dalam jiwa para
santri dan masyarakat lingkungannya. Hal ini terbukti ketika Belanda merencanakan pembuatan
jalan Deandeles antara Bandung-Cirebon yang melintasi dikomplek pesantren Babakan maka
pemerintah Belanda memerintahkan agar Kiai Jatira untuk pindah tempat karena pondok/surau
beliau akan dibongkar untuk pembuatan jalan.

Ketika itu perintah pengusiran dari Belanda oleh Kiai Jatira tidak dihiraukan sama sekali, bahkan
disambut dengan beberapa bangunan baru yang ditambah. Setelah pemerintah mengetahui hal
tersebut segera menyiapkan tentaranya untuk menangkap Kiai Jatira dan menghancurkan
komplek pesantren. Sementara pembuatan jalan terus berjalan dengan cara memasang patok
dan tanda-tanda lainnya. Kedatangan kompeni Belanda ke komplek pesantren disambut oleh
Kiai Jatira dan beberapa santrinya dengan perlawanan yang gigih. Siasat yang dilakukan oleh
Kiai Jatira dan santrinya dengan cara perang gerilia, yaitu peperangan yang muncul secara tiba-
tiba dan menyergap lawan tak terduga serta menghilang masuk hutan bila terjadi perlawanan
dari musuh. Lama kelamaan perlawanan yang dipimpin oleh Kiai Jatira kian membesar dan
terbuka berkat keikutsertaan rakyat, terutama bagi mereka yang menolak kerja paksa yang
diperintahkan kolonial Belanda.

Peperangan yang banyak menelan waktu, Kiai Jatira dan para pejuang lainnya tidak habis pikir
untuk memindahkan patok dan tanda-tanda jalan lainnya diatur sedemikian rupa sehingga pihak
Belanda tidak mengetahui bahwa patok itu telah dipindah dari tempatnya. Karena ukuran dan
posisinya masih tetap seperti semula (jembatan lama dan belokan di depan pabrik Tera Cotta).
Patok-patok dan tanda jalan yang terbuat dari kayu jati itulah yang menjadi saksi sejarah,
sehingga Kiai Hasanuddin, selain dijuluki pangeran Qobul juga mendapatkan julukan dan gelar
dari penduduk desa dengan sebuta “Kiai Jatira”.

Ketika terjadi pemindahan patok dan tanda-tanda lainnya itu berhasil dan rencana pembuatan
jalan raya itu digagalkan. Maka Kiai Jatira menyusun rencana baru untuk melanjutkan
perlawanan terhadap Belanda, karena beliau berkeyakinan bahwa selama Belanda masih
berkuasa, selama itu pula pendidikan dan pengajaran agama Islam akan selalu mendapat
tekanan dan gangguan. Laksana derasnya hujan yang menyirami tanaman subur Kiai Jatira
berhasil menyebarkan kobaran api semangat “Jihad Fi Sabilillah” dengan beberapa pengertian
yang disampaikan kepada masyarakat akan pentingnya pendidikan dan pengajaran Islam dalam
situasi dan kondisi yang damai, tenang, aman dan sentosa selain itu juga memerangi kafir harbi
adalah suatu kewajiban bagian setiap muslim.

Ahli sejarah mengatakan bahwa dahsyatnya peperangan tersebut melebihi peperangan yang
terjadi di ponegoro yang dipimpin oleh pangeran Diponegoro. Taktik strategi perang diatur dan
disusun menjadi dua benteng untuk mempersiapkan serangan senjata secara besar-besaran.
Pos pertama dipusatkan di Babakan dan pos kedua dialokasikan disebelah utara pesantren yang
kelak dikenal dengan sebutan kebon Tiang. Akhirnya berkobarlah api peperangan, dalam
peperangan ini Kiai Jatira mendapat bentuan dari Tubagus Serit dan Tubagus Rangin. Keduanya
adalah jawara dari kesultanan Banten yang memimpin pemberontakan melawan Belanda.
Dengan kejelian mata-mata Belanda akhirnya pihak Belanda mengetahui jejak kedua jawara itu,
yang telah membantu pasukan Kiai Jatira. Setelah terlihat pasukan Belanda mundur, Belanda
dengan segera mendtangkan bala bantuan yang tidak sedikit jumlahnya, sehingga peperangan
berkobar dengan sengitnya. Sementara korban saling berjatuhan diantara kedua belah pihak.
Akan tetapi datangnya bala bantuan dari pihak Belanda tidak sedikitpun mengurangi kegigihan
dan keberanian pasukan Kiai Jatira.
Kemudian Belanda mendatangkan bantuan lagi dari Semarang oleh karena kekuatan tidak
seimbang dan peralatan yang dimiliki oleh tentara Belanda serba modern, maka akhirnya pihak
Kiai Jatira mendapat tekanan yang besar sekali. Akhirnya siasat perang itu diubahnya dengan
perang geriliya. Dengan politik Devide et im perannya Belanda berusaha membujuk kedua
jawara itu untuk bisa siasat kecil yang dilancarkannya tidak membuat patah semangat, bahkan
sebaliknya bisa menambah keberanian yang tidak pernah kunjung padam. Setelah Belanda
mengetahui siasat ini tidak berhasil, maka disiapkannya pasukan yang besar jumlahnya dan
peperangan itu terjadi begitu sengitnya dan hampir kedua jawara itu tertangkap namun
keduanya tidak habis pikir dikomandokannya pasukan berjuang sampai tetesan darah terakhir.
Beliau memakai senjata terhunus dan mengenakan pakaian perang hingga perang ini
beralngsung beberapa saat, dengan terus-menerusnya perang prajurit dan kedua pimpinan itu
kehabisan bekal. Setelah mengetahui hal itu keduanya memerintahkan pasukan untuk mundur,
sedangkan Tubagus Serit dan Tubagus Rangin berada dibarisan paling depan. Tapi pukulan
yang diberikan Belanda semakin berat. Akhirnya keduanya membuka pakaian untuk
menyelamatkan diri kemudian baju perang itu dimasukan ke dalam sumur yang disampingnya
tumbuh kedongdong. Di atas pohon itu dikibarkan bendera merah tanda menantang. Setelah itu
keduannya meniggalkan tempat itu dan bergabung dengan Kiai jatira.

Setelah damai dengan memperalat sultanCcirebon, mereka beranggapan dapat membujuk dan
menangkap Tubagus Serit dan Tubagu Rangin. Belanda mengira Tubagus Serit dan Tubagus
Rangin telah mati karena melihat baju perangnya berada dalam sumur. Kemudian Belanda
mengumumkan bahwa keduanya telah mati dan peristwa itu belanda menamakan “PERISTIWA
KEDONGDONG” dan sampai sekarang tempat ini dinamakan desa Kedongdong. Pengaruh Kiai
Jatira terus meluas sampai ke daerah Sumedang, Karawang, Indramayu, Cirebon, Tegal dan
Kuningan. Kiai Jatira yakin bahwa perjuangan melawan Belanda ini tidak mungkin diteruskan
oleh beliau sendiri. Karena itu beliau mendidik kader pejaung-pejuang Islam di pon-pes tersebut.
Sampai wafat diusia yang sangat lanjut, yaitu sekitar 120 tahun-an (tahun 1835 M) . Beliau
berhasil mendidik kader-kadernya yang terbesar di seluruh Jawa. Baru setelah beliau wafat
pimpinan pondok dilanjutkan oleh menantunya yang bernama Kiai Nawawi. Kemudian terus-
menerus pimpinan pondok tersebut dilanjutkan oleh keturunan beliau.

Sumber: Ensiklopedi Pemuka Agama Nusantara, Balitbangdiklat Kemenag RI, 2016


2. KIAI AMIN SEPUH

Selama ini, sejarah tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia lebih banyak diwarnai oleh
narasi tentang pejuangan militer. Tokoh-tokoh pejuang yang hadir dalam sejarah nasional
Indonesia, lebih banyak didominasi oleh para jendral militer yang mengangkat senjata.

Padahal, dari sekian catatan sejarah tentang perjuangan kemerdekaan, ada senarai kisah para
kiai dan santri pesantren yang dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan.

Sebagian kisah para pejuang kemerdekaan dari pesantren seolah tersingkirkan dari panggung
sejarah Indonesia. Naskah sejarah yang ditulis pada masa Orde Baru, atau pasca peristiwa
1965, bahkan tidak banyak yang menghadirkan sejarah pesantren dalam arus utama perjuangan
kemerdekaan bangsa ini.

Tim penulisan sejarah dari Pusat Sejarah ABRI yang dikomando oleh Nugroho Notosusanto
(1930-1985) seakan menenggelamkan narasi perjuangan kaum santri dalam membela
kemerdekaan. Buku serial sejarah kebangsaan, Sejarah Nasional Indonesia (Seri I-VI), terbitan
Direktorat Sejarah dan Tata Nilai Tradisional, Departmen Pendidikan dan Kebudayaan, di bawah
komando Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Pusponegoro, menenggelamkan narasi
perjuangan kaum santri. Padahal, ada banyak kiai dan ulama yang dengan gigih menggerakkan
santri, memobilisasi massa, mengangkat senjata dan terjun langsung ke medan laga.

Salah satu Kiai yang berjuang dengan ikhlas, adalah Kiai Amin bin Irsyad, atau yang dikenal
sebagai Kiai Amin Sepuh, pengasuh pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Bersama kiai-kiai
pejuang lainnya, Kiai Amin menjadi tonggak perjuangan 10 Nopember 1945 di Surabaya, yang
kemudian menjadi monumen sejarah Hari Pahlawan.

Santri Kelana
Kiai Amin bin Irsyad, lahir di Mijahan, Plumbon, Cirebon pada Jum’at 24 Dzulhijjah 1330 H/ 1879
M. Dari catatan silsilah, Kiai Amin masih merupakan keturunan dari Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunungjati). Dengan demikian, jalur nasab Kiai Amin jelas tersambung sebagai Ahlul Bayt.

Sejak kecil, Amin bin Irsyad sudah menunjukkan bakat sebagai santri kelana. Ia tekun mengaji
kepada ayahandanya dalam ilmu-ilmu agama dan kanuragan. Pada waktu itu, ilmu kanuragan
menjadi bagian penting dalam bela diri kaum santri, menghadapi jagoan-jagoan lokal dan
berjuang melawan penjajah. Selepas mengaji kepada ayahanda, Amin kecil dipondokkan di
pesantren Sukasari, Plered, Cirebon, bimbingan Kiai Nasuha. Kemudian, Amin kecil mengaji
kepada Kiai Hasan di pesantren Jatisari, Cirebon.

Rupanya, jiwa kelana Amin kecil menjadi penuntun pencarian ilmunya. Ia mengaji ke beberapa
pesantren, yakni di Pesantren Kaliwungu Kendal, Pesantren Mangkang Semarang, hingga
mengaji di pesantren kawasan Tegal, asuhan Kiai Ubaidillah. Selepas suntuk mengaji di Jawa
Barat dan Jawa Tengah, Amin bin Irsyad melanjutkan petualangan keilmuan (rihlah ilmiyyah)
menuju kawasan Jawa Timur. Ia mengaji kepada ulama tersohor pada zamannya, yakni
Syaikhona Cholil di Bangkalan, Madura. Amin muda juga mengaji kepada Hadratus Syaikh
Hasyim Asy’ari di Jombang, selepas merampungkan ngaji di Pesantren Bangkalan. Di Tebu
Ireng, Amin muda mengabdi kepada Kiai Hasyim, yang sama-sama belajar di bawah bimbingan
Syaichona Cholil.

Petualangan mencari ilmu di Tanah Jawa, tidak membuat Amin muda merasa puas. Ia
mengelana hingga ke tanah Hijaz. Di Makkah, Amin muda mengaji kepada Syaikh Mahfudh at-
Tirmasi, ulama Nusantara yang terkenal di Tanah Hijaz yang berasal dari Termas, Pacitas, Jawa
Timur. Di Makkah, Amin muda mendapatkan kesempatan untuk membantu Syaikh Mahfudh
mengajar para santri, yakni mukimin yang berasal dari Nusantara.

Mengabdi di Tanah Cirebon


Ketika ayahanda Kiai Amin masih hidup, pernah berwasiat agar putranya mengaji dan mengabdi
kepada Kiai Ismail bin Nawawi di Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Sekembali dari
Makkah, Kiai Amin kemudian menepati wasiat ayahandanya, dengan mengabdi kepada Kiai
Ismail. Di pesantren Babakan, Amin muda dijuluki Santri Pinter, karena keluasan ilmu dan
khazanah pesantren yang dikuasainya. Pengalaman bertahun-tahun mengaji di beberapa
pesantren di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta tanah Hijaz menjadi pengalaman
berharga yang membentuk pribadi serta kedalaman pengetahuan Kiai Amin.

Kiai Ismail bin Nawawi meninggal pada 1916. Kiai Amin didapuk menjadi penerus Kiai Ismail
untuk mengasuh santri-santri di Pesantren Babakan. Kiai Amin bin Irsyad kemudian dijuluki
sebagai Kiai Amin Sepuh, karena jalur silsilah keluarganya yang tersambung hingga Kiai Jatira
dari Mijahan, yang mendirikan pesantren Babakan pada masa awal.

Kiai Pejuang
Kiai Amin sepuh mengobarkan semangat juang kepada santri-santrinya. Beliau menjadi barisan
Kiai, yang mendukung perlawanan kaum santri dan pemuda pada 10 Nopember 1945 di
Surabaya. Kiai Amin berangkat ke Surabaya bersama Kiai Abbas Buntet (1879-1946), Kiai Bisri
Musthofa (1914-1977), Kiai Wahab Chasbullah (1888-1971), Kiai Bisri Syansuri (1886-1980) dan
beberapa kiai lain, untuk membantu para santri melawan penjajah. Semangat berkobar para
Kiai, setelah Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menggemakan Resolusi Jihad pada 22 Oktober
1945, sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Kiai Amin bersama beberapa santri, melakukan perjalanan darat dengan kereta api menuju
Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Bersama rombongan, Kiai Amin bertemu dengan Kiai Bisri
Musthofa untuk menyusun strategi menuju Surabaya. Kiai Amin merupakan salah satu Kiai yang
ditunggu oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’arie, sebelum menetapkan tanggal pasti penyerbuan
santri untuk mengobarkan perang terhadap pasukan NICA di Surabaya. Ilmu kanuragan yang
dimiliki para Kiai digabung dengan keahlian bela diri, strategi perang, dan semangat juang santri
menjadi modal utama para pemuda melawan penjajah Belanda pada masa awal kemerdekaan.

Dalam sebuah kisah yang diwartakan Kiai Abdul Mujib Ridlwan, putra KH Ridlwan Abdullah
(pencipta lambang jagad NU). Kiai Abdul Mujib mengajukan sebuah pertanyaan dalam sebuah
majelis. “Kenapa perlawanan rakyat Surabaya itu terjadi pada 10 Nopember 1945?. Kenapa
tidak sehari atau dua hari sebelumnya, padahal pada waktu itu rakyat dan pemuda sudah siap?”
tanya Kiai Abdul Mujib.

Karena tidak ada yang bisa menjawab, Kiai Abdul Mujib mengisahkan: “Pada saat itu, Kiai
Hasyim Asy’arie belum mengizinkan kepada para santri melakukan pertempuran. Mengapa tidak
diizinkan? Karena pada waktu itu, Kiai Hasyim Asy’ari menunggu kekasih Allah yang datang dari
Cirebon untuk menjaga langit Surabaya. Yakni, Kiai Amin Sepuh Babakan Ciwaringin dan Kiai
Abbas Abdul Jamil Pesantren Buntet,” kisah Kiai Abdul Mujib, sebagaimana ditulis
Majalahlangitan.com (11/3/2015).

Pada saat mendengar pasukan Inggris akan mendarat di Surabaya, Kiai Amin menggelar rapat
dengan kiai-kiai lain di kawasan Cirebon. Pertemuan ini diselenggarakan di kawasan Mijahan,
Plumbon, Cirebon. Di antaranya kiai-kiai yang hadir, yakni Kiai Abbas Abdul Jamil Buntet, KH.
Anshory Plered, Kiai Fathoni dan beberapa ulama lain. Pada pertemuan ini, dibahas beberapa
point penting tentang posisi pesantren menghadapi penjajah dan strategi barisan santri pada
masa awal kemerdekaan.

Pertemuan ini, berhasil membuat kesepakatan di antaranya majelis kiai, bahwa pesantren harus
terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Selepas pertemuan ini, ditindaklanjuti dengan
pengiriman laskar santri ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan Brigade 49, Divisi 23.
Pasukan NICA ini dipimpin oleh Brigadir Jendral AWS Mallaby.

Kiai Amin menjadi pejuang yang menggerakkan santri membela bangsa Indonesia melawan
penjajah. Kiai Amin tidak tinggal diam di pesantren, namun terjun langsung untuk
mengonsolidasi jaringan santri melawan penjajah di barisan depan.

Akibatnya, ketika Agresi Militer Belanda II, pada 1952, pesantren Babakan diserang Belanda.
Bangunan pesantren Babakan dibumihanguskan oleh pasukan Belanda, hingga naskah-naskah
penting dan kitab-kitab dibakar. Pada masa itu, perjuangan fisik untuk melawan penjajah
Belanda masih dalam situasi mencekam. Baru pada 2 tahun kemudian, pada 1954, Kiai
Sanusi—murid Kiai Amin Sepuh—kembali dari pengungsian. Kiai Sanusi mulai menata kembali
bangunan pondok yang terbakar dan hancur berantakan. Pada 1955, setelah situasi kondusif,
Kiai Amin Sepuh kembali ke pesantren Babakan.

Di bawah bimbingan Kiai Amin Sepuh, Pesantren Babakan menjadi rujukan para santri untuk
belajar khazanah pengetahuan Islam. Santri-santri yang mengaji dan tabarrukan dengan Kiai
Amin memenuhi pesantren, hingga dikenal sebagai salah satu pesantren besar di Jawa Barat.
Beberapa santri Kiai Amin Sepuh, juga menjadi pengasuh pesantren di daerah masing-masing.
Di antaranya: Kang Ayip Muh (Cirebon), KH. Syakur Yasin, KH. Abdullah Abbas (Buntet), KH.
Syukron Makmun, KH. Amin Halim, KH. Mukhlas, KH. Syarif Hud Yahya dan beberapa santri
senior lainnya.

Kiai Amin wafat pada 20 Mei 1972/16 Rabi’ul Akhir 1392H, yang disusul oleh Kiai Sanusi pada
1974. Kepemimpinan di pesantren Babakan Ciwaringin dilanjutkan oleh Kiai Fathoni Amin.

Kiai Amin sepuh menjadi bagian penting dari sejarah perjuangan ulama pesantren dalam
mengawal NKRI. Kiai Amin juga menjadi khazanah Islam Nusantara, yang menautkan jejaring
keilmuan antar pesantren, dari kawasan Nusantara hingga Hijaz di Timur Tengah. Sudah
selayaknya, perjuangan Kiai Amin dan para kiai lainnya dalam membela bangsa dari penjajahan,
mendapatkan pengakuan dalam narasi sejarah negeri ini[]. (Munawir Aziz)

Penulis adalah Wakil Sekretaris LTN PBNU, dan Dewan Redaksi Penerbit Mizan]

Anda mungkin juga menyukai