Anda di halaman 1dari 15

KAJIAN ILMIAH TENTANG PENELUSURAN JEJAK RIWAYAT SYEKH MANSHUR

CIKADUEN DAN SULTHAN ABU NASHR MUHAMMAD 'ARIF ZAINAL 'ASYIQIN

Penulis : Tubagus Muhammad Syamsuddin Zein

Dalam beberapa riwayat cerita rakyat menjelaskan bahwa Syekh Manshur adalah Sulthan Haji
Abu Nashr 'Abdul Qohhar bin Sulthan Abul Fath 'Abdul Fattah Titayasa, akan tetapi riwayat
tersebut masih kontroversi karena banyak distorsi dan perbedaan riwayat dari beberapa keluarga
yang menisbatkan silsilah keluarganya ke Syekh Manshur Cikadueun.
Dengan dasar itulah penulis berusaha melakukan kajian ilmiah dengan mengumpulkan bukti-bukti
otentik mengenai riwayat Syekh Manshur Cikaduen, setelah hampir 8 tahun penelusuran
alhamdulillah akhirnya penulis mendapatkan beberapa bukti otentik berkaitan dengan sejarah
Syekh Manshur Cikaduen yang didalamnya terdapat beberapa persamaan dengan riwayat
perjalanan hidup Sulthan Banten ke - XII yaitu Sulthan Abu Nashr Muhammad 'Arif Zainal
'Asyiqin bin Sulthan Abul Fath Muhammad Syifa Zainal 'Arifin.
Berikut ini adalah bukti otentik pertama yang menjelaskan tentang keulamaan Sulthan Abu Nashr
Muhammad 'Arif Zainal 'Asyiqin, terdapat pada manuskrip kitab Al-Muluk karangan seorang
ulama Banten yang hidup di abad ke -18 M, yaitu Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar Al-Bantani
yang berjudul Fath Al-Muluk Li Yashil ila Malik Al-Muluk ‘Ala Qaidah Ahl Al-Sulûk”.
Didalam kitab Fathul Muluk ini isinya menjelaskan tentang kajian ajaran Agama Islam, seperti
Ilmu Ushuluddin, Ilmu Fiqih, Ilmu Ushul Fikih, Ilmu Tasawuf, dan Etika. Dari kesemua keilmuan
itu, yang sangat dominan adalah kajian tentang Ilmu Tasawuf.
Manuskrip kitab Fath Al-Muluk saat ini tersimpan sebagai koleksi Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia (PNRI) Jakarta, dengan nomor kode A. 111. Dalam koleksi bernomor kode
tersebut, terdapat pula sejumlah kitab karya Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qahhar Al Bantani
lainnya.
Bahasa yang digunakan dalam penulisan kitab ini adalah bahasa Arab, dengan jenis aksara Arab
(khath) kombinasi antara ta’lîq dan naskhî. Warna tinta teks pada naskah adalah hitam dan merah.
Dalam kolofon, didapati informasi jika karya ini selesai ditulis pada tahun 1183 Hijriah (bertepatan
dengan tahun 1769 Masehi) dengan tempat penulisan di area Istana Kesulthanan Banten.
Dalam muqoddimahnya, Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qahhar Al Bantani mengatakan bahwa beliau
menulis kitab tersebut karena diminta oleh penguasa Banten pada saat itu, yaitu Sultan Abu Nashr
Muhammad 'Arif Zainul 'Asyiqin (memerintah 1753-1773 M), putra dari penguasa Banten
sebelumnya, yaitu Sultan Abul Fath Muhammad Syifa Zainal 'Arifin (memerintah 1733-1750 M).
Didalam muqoddimah tertulis :
‫وب عد‬. ‫م لك ال سادة س يد من أل صحابوا اإلخ وان خ ل صان من األح باب وأ صحاب وال عرف ان ال سادات ب عض ف إن‬
‫األ صل ال طاهرات ال ح ب يب ال ن س يب و س يدن ا موالن ا ال غ فار مال ك ب ع ناي ة ال م ن صور ال م فخم ال مظ فر ال م عظم‬
‫ال س لطان ال عا ش ق ين زي ن عارف محمد ال ن صر أب و س لطان ال مط لب وب ني ها شم ب ني )ل ة( سال من وال ن سل‬
‫ال قادري خ ل ي فة أر ضه ف ي ت عال ى هللا خ ل ي فة ال عارف ين زي ن ش فاء ال ف تح أب و ال مرحوم ال س لطان ب ن‬
‫>…< ع اله دام ال جم ي ع أ سرارهم هللا ق دس وغ يرهما وال رف اعي‬
(Wa ba’du. Sesungguhnya seorang tuan yang cerdas, serta sebahagian sahabat yang tulus seperti
saudara, seorang kawan yang berasal dari keluarga para tuan, seorang penguasa yang diagungkan,
yang tangguh, yang berkuasa, yang meraih kemenangan atas pertolongan Allah Sang Malik
Ghaffar, yaitu tuan kita dan penguasa kita, seorang yang memiliki nasab keturunan mulia, habib
terkasih, berasal dari keluarga leluhur suci, dari trah Bani Hasyim dan Bani Al Muthallib, yaitu
Sultan Abu Nashr Muhammad 'Arif Zainal 'Asyikin, seorang sultan putra almarhum Sultan Abul
Fath Syifa Zainul 'Arifin, seorang Wakil Allah Ta’ala dimuka bumi, sekaligus seorang Khalifah
Thoriqoh Qadiriyyah dan Rifa’iyyah dan lain sebagainya, semoga Allah senantiasa mensucikan
rahasia mereka, dan senantiasa melanggengkan keluhurannya)
Selanjutnya, Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar Al Bantani juga menulis:
‫ال ى ال راج ي وال ت ق ص ير ذن بب ال ال م ع ترف ال كري م ال رح يم موال ه ال ى ال قادم ال ح ق ير ال ف ق ير ف ي قول‬
‫األ ش عري طري قة وال قادري ال شاطري مذه با ال شاف عي ال قهار ع بد ب ن هللا ع بد ال غ فار رب ه ع فو‬
‫>…< ال م عاد ال ى ال زاد ق ل يل ال صال ح ين أق دام ت راب أهل خادم ع ق يدة وال مات ردي‬
(Maka berkata seorang yang fakir hina, yang datang kepada Tuhannya Yang Maha Pengasih dan
Maha Mulia, yang mengakui segala dosa dan kesalahannya, yang mengharap ampunan dari
Tuhannya yang Ghaffar, yaitu 'Abdullah bin 'Abdul Qahhar, seorang yang mengikuti Madzhab
Syafi’i dalam fikihnya, yang mengikuti masyrab Syathariyyah dan Qadiriyyah dalam thoriqohnya,
yang mengikuti Manhaj Al Asy’ari dan Al Maturidi dalam akidahnya, yaitu seorang pelayan para
ahli tanah yang menempel pada telapak kaki orang-orang salih, seorang yang sedikit bekalnya
menuju hari akhir)
Kemudian Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qahhar Al Bantani melanjutkan:
‫ال س لوك أهل ق اعدة ع لى ال م لوك مال ك ال ى ل ي صل ال م لوك ب ف تح ال ر سال ة هذه و سم ي ته‬. ‫أهال ل ست ك نت ول و‬
‫ال كري م هللا ل وجه خال صا ذل ك ل ثواب راج يا ل كن ل ذل ك‬. ‫وف صول أب واب وخم سة م قدمة ع لى ورت ب ته‬
‫وخات مة‬. ‫وف روع وم سائ ل وال نواك ت وال نوادر ال فوائ د من ش ي ئا هذا ر سال تي ف ي أي ضا ون زي د‬.
(Aku menamakan risalah ini dengan “Fath Al Muluk lLi Yashil ila Malik Al Muluk ‘ala Qaidah
Ahl Al Suluk”. Aku menulis risalah ini, meskipun aku merasa bukan ahli di dalamnya. Namun,
aku mengharap pahala yang tulus dari sisi Allah Ta’ala Yang Mulia. Aku menyusun risalah ini
kepada muqaddimah, lalu lima buah bab dan pasal, serta penutup. Aku juga menambahkan
didalam risalahku ini beberapa faidah, hal-hal penting dan langka, serta beberapa masalah dan
pembahasan).

Di antara faidah yang dituliskan oleh Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qahhar Al Bantani dalam kitab
karangannya itu adalah silsilah dan sanad keilmuan beliau. Di sana, beliau menjelaskan jika beliau
pernah belajar kepada Syekh Ibrahim bin Muhammad Abu Thahir Al Madani ketika berada di
Madinah. Sosok Syekh Ibrahim bin Muhammad Abu Thahir Al Madani ini tak lain adalah cicit
dari Syekh Burhanuddin Ibrahim bin Hasan Al-Kurani (Wafat 1690), Mahaguru Ulama Nusantara
generasi abad ke-17 seperti Syekh Abdul Rauf Singkel Aceh (Wafat 1693), Syekh Yusuf Makassar
(Wafat 1699), Syekh Abdul Syukur (Banten) dan Syekh Abdul Mahmud (Mataram).
Sementara di Makkah, Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qahhar Al Bantani belajar kepada :
1. Syekh Muhammad bin ‘Ali Ath-Thabari Al-Makki
2. Syekh Imam ‘Abdul Wahhab Asy-Syafi'i
3. Syekh Sa’id Asy-Syibli ‘Atha Al-Mishri
4. Syekh ‘Ali Al-Yamani
Selain itu, beliau juga tercatat belajar kepada ulama besar Al-Azhar Mesir, yaitu ‘Abdul Wahhâb
Ath-Thanthawi Al Mishri Al Azhari. Keduanya kemungkinan berjumpa di Kota Makkah.
Keberadaan sosok Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qahhar Al Bantani telah cukup banyak dikaji dan
diulas oleh beberapa peneliti. Di antaranya oleh Elyn Erlina dalam tesisnya di Pascasarjana UI
(2007) dengan judul 'Abdullah bin 'Abdul Qahhar Al-Bantani : Fath Al Mulk li Yasila ila Malik
Al Mulk ‘Ala Qa’idah Ahl Al Suluk (Citra Neo-Sufisme di Kesultanan Banten Abad XVII).
Kemudian dalam tesisnya Ade Faqih Kuriawan nya yang mengkaji sosok Syekh 'Abdullah bin
'Abdul Qahhar Al Bantani dengan judul The Mystical Thought of ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar
Al-Bantani (an Analysis of the Masyahid Al-Nasik fi Maqamat Al-Salik) di Universitas
Paramadina (2010), juga dalam artikelnya yang berjudul Dimensi Mistik Wujudiyyah Syekh
'Abdullah bin 'Abdul Qahhar Al Bantani.
Sementara itu, Mahrus El Mawa dalam disertasinya di Pascasarjana FIB UI (2015), juga
menyinggung pengaruh ketokohan Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qahhar Al Bantani dalam sejarah
penyebaran Thoriqoh Syathariyyah di wilayah Cirebon.
****************
Menurut Ade Faqih Kurniawan, informasi mengenai sosok Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qahhar Al
Bantani terbilang sangat minim sekalipun namanya cukup popular karena tercatat dalam beberapa
karya biografi bermutu semisal Geischichte der Arabischen Literatur (GAL) karya Carl
Brockelmann.
Namun data-data yang disajikan dalam GAL ini hanya memuat perkiraan tahun wafat dan dua
karya monumentalnya yang paling dikenal dunia yakni Risâlah Syuruth Al-Hajj yang ia tulis
selama ia berada di Makkah pada tahun 1748 dan Kitâb Al-Masa’il.
Dalam catatan Brockelmann, karya Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qahhar Al Bantani yang paling
populer didunia luar adalah Risalah fî Syuruth Al-Hajj yang beliau tulis sewaktu masih di Makkah
pada tahun 1748 M dan Kitab al-Masa’il yang ditulisnya pada tahun 1746 M.
Dan didalam silsilah Sajarah Cianjur Sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul, Cianjur,
ditemukan nama 'Abdullah dengan tambahan nama Ar-Rifa’idi belakangnya. Dan 'Abdullah Ar-
Rifa’i ini adalah putra dari Syekh 'Abdul Qahhar. Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qohhar adalah
seorang ulama Banten yang menikah dengan Ratu ‘Aisyah cucu Sultan Ageng Tirtayasa.
Ayahanda Ratu ‘Aisyah itu sendiri adalah Syekh Manshur yang dimakamkan di Cikadueun,
Pandeglang (Banten). Selanjutnya, dinyatakan bahwa Syekh Abdullah Ar-Rifa’i ini menikah
dengan Nyi Raden Modjanagara, putri Raden Adipati Wiratanu Datar IV (Raden Sabirudin),
seorang Adipati Cianjur. Adipati ini dikenal dengan seorang penguasa yang alim, luas pengetahuan
agamanya dan sangat sholeh.
Dari perkawinan Syekh Abdullah Ar-Rifa’i dengan Nyi Raden Modjanagara ini lahirlah beberapa
putra dan putri:
1. Raden Ajeng Mangkupradja yang kemudian menjadi Patih Cianjur dan selanjutnya
menurunkan silsilah Bupati Cianjur.
2. Raden Haji Muhamad Husen yang kemudian menjadi Panghulu Gede Cianjur.
3. Nyai Raden Bodedar yang menjadi orang terkaya di zamannya dan telah mewakafkan
berhektar-hektar tanah untuk keperluan kepenghuluan. Salah satu wakafnya yang hingga
kini masih ada dikelola oleh Badan Wakaf Masjid Agung Cianjur.
Dalam manuskrip Kitab Masyahid An-Nasik” karya Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qahhar Al
Bantani, terdapat sebuah keterangan yang menyatakan bahwa beliau pernah tinggal di Cianjur.
Keterangan tersebut dapat dihubungkan dengan keterangan yang ada dalam Sajarah Cianjur diatas.
Dari gabungan keterangan ini, didapati kesimpulan bahwa Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qahhar Al
Bantani adalah seorang ulama besar Banten yang masih merupakan keluarga kerabat Kesulthanan
Banten , sekaligus keluarga kerabat Bangsawan Sunda danCianjur.
Prof. Oman Fathurrahman dalam artikelnya yang berjudul Aceh, Banten, dan
Mindanao menyatakan bahwa jaringan intelektual Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qahhar Al Bantani
sampai ke kawasan Mindanao, Filipina Selatan. Menurut Fathurrahman, dalam salah satu
manuskrip tasawuf berjudul Sayyid Al-Ma’arif karangan seorang ulama Mindanao, Syekh
Ihsanuddin, disebutkan bahwa dirinya berguru kepada Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qahhar Al
Bantani.
Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qohhar Al Bantani pernah tinggal di Makkah dan menyalin beberapa
kitab kuning, di antaranya Kitab Masa’il, karya Syekh Muhammad bin Syaikh Al-Baqi. Bahkan ia
pernah menyusun kitab berjudul Syuruth Al Hajj.
Dalam naskah itu ia menjelaskan :
“Ketika saya tinggal di Makkah Al-Musharrafah – semoga Allah menambah kemulian atasnya –
beberapa sahabat meminta kepada saya agar menyusun dan meringkas seringkas mungkin syarat-
syarat haji, rukun-rukun, kewajiban, sunnah-sunnah, yang mengharamkan dan yang
memakruhkannya.”
Dalam berbagai kitab salinan ini, namanya berubah menjadi Abdullah bin Abdul Qahhar Al-Jawi.
Gelar “Al-Jawi” biasanya disematkan kepada para santri yang berasal dari Jawa atau Indonesia
waktu itu. Jadi, ada kemungkinan ia belajar di Makkah beberapa lama dan mendapatkan tambahan
nama “Al Jawi” pada namanya, tetapi, setelah jadi ulama sufi di Banten, gelarnya berubah menjadi
“Al Bantani”. Hampir serupa yang dialami Syaikh Nawawi Al Bantani, ulama terkenal dari Banten
lainnya.
Sedang guru-gurunya ketika di Makkah adalah :
1. Al Imam Muhammad bin Ali Ath-Thabari, seorang zahid dan arif
2. Maulana Syekh Abdul Wahhab Ath-Thantawi Al-Mishri Al-Azhari. Kepada yang terakhir
ini, ia belajar ilmu fiqih, tafsir Al Baidhawi, dan hadits, di Masjidil Haram.
Beliau juga belajar ilmu Qira'atu Sab’ah kepada Maulana Syekh Ali Al Yamani, Syekh Al
’Allamah Al Hafizh Al Dharir, dan Sayyid Muhammad Al Maghazi serta Syekh Al ’Allamah
Yusuf bin Ahmad Al Ghazi Al Qudsi.
Di Madinah, beliau belajar kepada Syaikh Al Alim Al 'Allamah Al Arif Billah Sayyid Ibrahim Al
Madani bin Maulana Syekh Muhammad Thahir Al Madani Al Kurdi.
Sedangkan di Yaman ia belajar kepada Syaikh Al ’Allamah Al Hafizh Al Qari’ Maulana Syekh
Ismail Al Bazi Al Zubaidi.
Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qohhar Al Bantani menulis 17 naskah agama, karya sendiri maupun
salinan, di antaranya sudah disebutkan di atas.
Kitab Fath al-Muluk Liyasila Ila Malik al-Muluk ala Qaidah Ahl al-Suluk — Pertolongan untuk
Raja-raja agar Sampai kepada Raja (Allah) berdasarkan Ahli Suluk, berisi tiga ajaran pokok. Yaitu
apa keutamaan menuntut ilmu, pokok-pokok ajaran tasawuf, dan ihwal ilmu hakikat.
Syekh 'Abdullah mengikuti Madzhab Imam Syafi’i dan dalam berthoriqoh beliau mengikuti
Thoriqoh Syatariyyah dan Qadariyyah. Sedang dalam kalam, ia mengikuti aliran Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah.
Dalam mengajar ilmu tasawuf, Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qohhar Al Bantani mengikuti sufi
besar Syekh Sahl Abdullah Al Tustari, yang mengatakan bahwa pokok ilmu tasawuf ada tiga hal,
yaitu :
1. Makan barang yang halal.
2. Mengikuti jejak Rasulullah SAW.
3. Ikhlas dalam segala tindakan.
Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qohhar Al Bantani juga mengutip Syekh Ibrahim Al-Khawwas, sufi
besar lainnya, yang mengatakan bahwa bagi orang fakir (sufi), baik dalam keadaan musafir
maupun mukim, sehat atau sakit, sempit atau lapang, ada 12 perkara, yaitu :
1. Keteraman, karena janji Allah SWT.
2. Memutuskan hubungan dengan manusia (tidak bergaul kecuali pada hal-hal yang bermanfaat),
tetapi tidak memutuskan hubungan dengan Allah SWT.
3. Bermusuhan dengan syetan.
4. Meraih kesempatan akhir sesuai dengan kemampuan.
5. Berkasih sayang kepada sesama makhluk Allah.
6. Tabah menghadapi cobaan.
7. Melazimkan kesucian dalam setiap waktu.
8. Rendah hati terhadap sesama manusia.
9. Saling memberi nasihat.
10. Menyibukkan diri dengan hal-hal yang utama.
11. Tidak menyia-nyiakan ketaatan, yakni mengerjakan amal yang wajib dan sunnah.
12. Selalu ridho baik dalam keadaan senang maupun susah.
Semua pedoman pokok itu untuk menuju menjadi manusia pilihan. Yaitu para ulama, yang
mengajarkan ilmunya, dan para sufi, yang arif lagi zuhud. Mereka adalah insan kamil yang
mengamalkan cabang-cabang iman secara ikhlas.
Cabang-cabang iman dikutip dari kitab Syu’ab Al Iman berdasarkan hadits yang berbunyi, “Iman
itu mempunyai cabang lebih dari enam puluh atau tujuh puluh.” (HR Al-Bukhari-Muslim).
Cabang iman yang paling utama adalah mengucapkan kalimat tauhid La ilaha illa Allah
Muhammad Rasul Allah, dengan memahami betul maknanya.
Perbedaan tingkat kaum sufi bergantung pada tetap-tidaknya Al-Ahwal (keadaan spiritual) yang
ada pada dirinya. Dengan demikian, tingkatan kaum sufi itu adalah :
1. Al-Kha’ifin (orang yang takut – yakni takut kalau doanya tidak dikabulkan Allah),
2. Ar-Rajin (orang yang optimistis),
3. Al-Muhibbin (orang yang cinta),
4. Az-Zahidin (orang yang meninggalkan keduniaan).
Sedangkan orang yang telah mencapai puncak kesempurnaan disebut Al-Muntahi, Ia adalah orang
yang dapat menggabungkan amal dengan Al-Ahwal dalam dirinya. Tingkatan ini dapat dicapai
dengan dua cara, yaitu :
1. Melakukan puasa, shalat, dan meninggalkan dosa-dosa. Orangnya disebut Al-Muqtashidin.
2. Memutuskan hubungan dengan sesama manusia dan sepenuhnya mendekatkan diri kepada
Allah. Orangnya disebut Al-Muhaqqiqin.
Dalam akhir kitabnya, Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qohhar Al Bantani memberikan menasihat :
"Orang yang ikhlas dalam shalat dan puasa adalah orang yang dilimpahkan taufik, inayah, dan
hidayah oleh Allah, serta diliputi pula oleh berkah para wali, orang khawwash (sufi), serta para
nabi dan rasul-Nya, khususnya Nabi Muhammad SAW. Mereka adalah tabib penyakit hati dan
penawar yang mujarab untuk menolak racun dosa.“Bergaul dan bersahabatlah dengan mereka.
Dengan sebab demikian, Allah singkapkan untukmu rahasia keghaiban. Dan berkat mereka pula,
engkau akan selamat dari kemusyrikan yang menghalangimu menuju Tuhan. Lalu engkau pun
akan keluar dari sifat-sifat kemanusiaan. Artinya, keluar dari nafsu dirimu. Setiap kali jiwa
menjadi murni, terbukalah bagi dirimu bahwa Dia adalah Dia, bukan engkau.”
Naskah yang penulis temukan di wilayah Banten dan ditulis oleh ulama lokal menunjukkan
dinamika intelektual yang terjadi pada kisaran abad ke-17 dan 18 di Nusantara. Naskah itu ditulis
oleh Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani dengan judul "Masyahid Al-Nasik fi
Maqamat Al-Salik" yang menerangkan tentang masalah tasawuf dan ditulis atas permintaan
seorang Sultan Banten yang pada saat itu tengah memerintah, yakni Sultan ‘Abu Nashr
Muhammad ‘Arif Zainal 'Asyiqin (1753-1773 M) putra dari Sultan Abul Fath Muhammad Syifa
Zainal 'Arifin (1733-1750 M).
Lain halnya dengan apa yang terjadi di Aceh, di Kesulthanan Banten paham Wujudiyyah dapat
berkembang tanpa adanya pengkafiran. Hal ini terjadi lantaran banyak Sulthan Banten yang cinta
terhadap ilmu pengetahuan khususnya tentang ilmu keislaman. Di antara para Sulthan Banten yang
banyak menaruh perhatian kepada penulisan dan penyalinan teks-teks Islam adalah Sultan Abu
Nashr Muhammad ‘Arif Zainal Asyiqin yang memerintah Banten tahun 1753 – 1773. Dan dalam
keterangan P. Voorhoeve, Sultan Abu Nashr Muhammad ‘Arif Syifa’ Zainal Asyiqin ini tak
sekadar cinta terhadap ilmu, terutama dalam bidang tasawuf, tetapi beliau juga turut melakukan
dan mengamalkannya. Sang Sulthan mendapatkan ijazah Thoriqoh Rifaiyyah dari Syekh Umar
bin Abdullah Al Qodiri Al Rifa' Al Hamawi (Suriah) dan mendapatkan pula ijazah Thoriqoh
Qadiriyyah dari Syekh Muhammad bin ‘Ali At Thabari Al Husayni As Syafi’i, salah seorang guru
dari Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani.
Selain tidak adanya data yang cukup memadai mengenai Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al
Bantani, kesan pertama yang timbul adalah adanya historiographical gap dalam penulisan sejarah
Kesulthanan Banten khususnya kajian yang berkaitan dengan sejarah perkembangan Islam di
Banten. Para ahli sejarah yang pernah menulis tentang Banten jarang sekali membahasnya, padahal
peran yang dilakukan oleh Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani cukup signifikan di
Kesulthanan, khusus nya pada masa pemerintahan Sultan Abu Nashr Muhammad ‘Arif Zainal
‘Asyiqin.
Nama Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani diabadikan dalam tulisan Martin van
Bruinessen meski tidak tuntas (hanya disebutkan dalam dua paragraph). Martin menyebutnya
sebagai Guru Besar (Thoriqoh) di Kesulthanan Banten selain Syekh Yusuf Al Makassari, artinya,
Martin menganggapnya bahwa Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qohhar Al Bantani sebagai ulama yang
memiliki pengaruh besar di Kesulthanan Banten.
Nama lengkap Sang Guru Besar itu, sebagaimana tercatat dalam berbagai sumber, adalah
‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani. Informasi mengenai ulama ini terbilang sangat minim
sekalipun namanya cukup popular karena tercatat dalam beberapa karya biografi bermutu
semisal Geischichte der Arabischen Literatur (GAL) karya Carl Brockelmann. Namun data-data
yang disajikan dalam GAL ini hanya memuat perkiraan tahun wafat dan dua karya monumentalnya
yang paling dikenal dunia yakni Risalah Shurut Al Hajj yang ia tulis selama ia berada di Makkah
pada tahun 1748 dan Kitab Al Masa’il. Karena itu, pengungkapan lebih jauh mengenai jati diri
tokoh ini masih menjadi pekerjaan lebih lanjut, dan penulis seringkali harus mencari-carinya dalam
beberapa biografi penulis naskah maupun menelusuri naskah-naskah yang ia tulis.
Dalam buku catalog L.W.C. van den Berg ternyata dijumpai tiga nama yang mirip, yakni
‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani, ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Jawi, dan ‘Abdullah
bin ‘Abdul Qahhar. Pertanyaannya sekarang, apakah ketiga nama tersebut merupakan orang yang
satu tetapi beda penyebutan ?
Dalam hal ini penulis sependapat dengan R. Friederich dan L.W.C. van den Berg yang
berkesimpulan bahwa ketiga nama dengan sebutan yang berbeda itu adalah orang yang sama,
yakni ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani. Dalam buku catalog tersebut, nama-nama itu
tercantum di halaman 42, 98, 101, 116, 117, 125, 128, dan 133. Ketiga nama tersebut juga dapat
dijumpai dalam naskah-naskah sebagai berikut:
1. Kumpulan naskah A.31 : hal 236
2. Kumpulan naskah A.11 : hal 2 dan 3
3. Kumpulan naskah A.114 : hal 3
4. Kumpulan naskah A.131 : hal 29, 54, 68, 192, 221, dan 234
5. Kumpulan naskah A.145 : hal 169
6. Kumpulan naskah A.146 : hal 157 dan 230
7. Kumpulan naskah A.155 : hal 1 dan 35
8. Kumpulan naskah A.159 : hal 317
9. Kumpulan naskah A. 656 : hal 6, 27, 143, dan 149
Jika kita membaca keterangan yang ada dalam manuskrip Masyahid, ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar
Al Bantani sendiri menyatakan diri pernah tinggal di Cianjur,
‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani merupakan anak didik Sultan Abu Nashr Muhammad
‘Arif Zainal Asyiqin (berkuasa 1753-1773) dan disebut-sebut sebagai ulama yang produktif
menyalin dan menulis karya-karya berbahasa Arab maupun Jawa yang menjadi koleksi
perpustakaan Kesultanan Banten sebelum dirampas oleh Belanda pada tahun 1830 pasca likuidasi
kesulthanan.
Sepeninggalnya, terdapat tiga nama yang menjadi khalifah dari Toriqoh yang dikembangkannya,
seperti Qodhi Muhammad Thahir dari Bogor, Haji Muhammad ‘Ali dari Cianjur, dan Haji
Muhammad Ibrahim Harun Al Jalis dari Cianjur. Perihal kedekatannya dengan Sang Sulthan
adalah sebuah fakta, karena beberapa karyanya seringkali merupakan permintaan Sang Sultan,
sehingga membawa saya untuk berasumsi bahwa ulama ini meski tidak tinggal di keraton ia tetap
mendapat dukungan dan perlindungan dari Sang Sultan.
Dalam catatan manuskrip yang ia tulis, ia mengaku bermazhab Syafi’i dalam soal fikih, pengikut
Thoriqoh Shattariyah dan Qadiriyyah, mengikuti mazhab Al Maturidi mengenai kehidupannya
secara utuh. Namun yang jelas, ia dikenal dekat dengan Sultan Abu Nashr Muhammad ‘Arif Zainal
Asyiqin yang kemudian banyak memintanya untuk menyalin atau menulis buku-buku keagamaan
untuk dipergunakan di Banten.
Seperti disebutkan Martin van Bruinessen, tokoh ini adalah anak didik Sultan Abu Nashr
Muhammad ‘Arif Syifa’ Zainal Asyiqin. Namun tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai kapan
dirinya menimba ilmu kepada penguasa Banten itu. Kemungkinan besar adalah saat dia masih
kecil dan belum berangkat ke Tanah Suci. Setelah itu dia berangkat ke Tanah Suci dan menimba
ilmu dengan beberapa ulama kenamaan. Nama-nama gurunya selama studi di Madinah, Makkah
dan Yamman ia catat dalam manuskrip karyanya yang berjudul Fath Al Muluk Liyasila ila Malik
Al Mulk ‘Ala Qa’idah Ahlus Suluk.
Dikatakan bahwa pada 1746, Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani berada di Makkah,
bahkan sempat mengarang dan menyalin beberapa kitab. Namun tidak ada keterangan yang jelas
berapa lama beliau berada di Makkah. Keterangan tahun tersebut saya jumpai dalam buku catalog
L.W.C. van den Berg sebagai berikut:
…LII quaestiones (‫ )م سائ ل‬de variis rebus theologicis, ut: de vita futura, de paradiso, de
daemonibus, de statura corporis Adami, ect. Auctor landator Muh}ammad, filius doctissimi Scaich
Abd al-Baqi Malachitae, mortui A.H. 1099.
Librarius fuit Abd Allah ibn Abd al-Qahhar al-Djawi qui scripsit A.H. 1159 in urbe Mekkat.
Doxologia deest.
Artinya:
Lima puluh dua pertanyaan (‫ )م سائ ل‬tentang bermacam-macam persoalan teologi, kehidupan
akhirat, surga, setan, tentang sosok tubuh Adam, dan lain-lain. Pengarangnya Muhammad putera
Syekh Abdul Baqi bermazhab Maliki yang sangat terpelajar dan wafat tahun 1099 H. Penyalinnya
adalah Abdullah bin Abdul Qahhar Al Djawi. Ia menulis tahun 1159 H (1746 M) di kota Makkah.
Tidak ada kata pujian kepada Tuhan.
Berdasar kutipan di atas, Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani pernah tinggal di
Makkah pada tahun 1159 H/1746 M dan sempat menyalin kitab berjudul Masa’il karya
Muhammad bin Syekh Al Baqi Al Maliki. Sementara itu, dalam kumpulan naskah A.131 halaman
68 juga dijumpai keterangan bahwa ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani ini pada tahun 1161
H/1748 sempat mengarang naskah berjudul Risalah Shurut Al Hajj di Makkah. Dalam naskah
tersebut beliau mengatakan dalam bahasa Arab sebagai berikut:
‫أن األح باب من مح ب تي ب عض من م ني ط لب ق د شرف ا هللا )زاده( زده ال م شرف ة م كة ف ي جاورت ك نت ل ما‬
‫وم س نون ات ه وواج ب ته وارك ان ه ال حج شروط ب يان ف ي جدا ب اخ ت صار )أل حص و أجمع أن( وي لحص ي جمع‬
‫)م كروهات ه( وم كرهات ه هومحرمات‬
Artinya:
Ketika saya tinggal di Makkah al-Musharrafah—semoga Allah menambah kemuliaan atasnya—
beberapa sahabat meminta saya untuk menyusun dan meringkas seringkas mungkin tentang syarat-
syarat haji, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, sunah-sunah, yang mengharamkan dan yang
memakruhkannya.
Ketika di Makkah, ia berguru kepada Al Imam Muhammad bin ‘Ali At Thabari, putera ‘Ali At
Thabari yang juga guru para ulama Nusantara pada abad sebelumnya semisal ‘Abdul Ra’uf
Singkel. Guru penting keduanya ini pernah berguru kepada ‘Abdullah bin Salim Al Basri Al Makki
yang juga guru beberapa ulama kenamaan asal Nusantara di abad ke-17. Darinya Syekh ‘Abdullah
bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani menerima ajaran Thoriqoh Syathariyyah yang kemudian ia
sebarkan di daerah Banten dan sekitarnya. Dia juga memperoleh ijazah secara langsung pengajaran
kitab hadis karangan Muhammad ‘Ali At Thabari berjudul Fayd Al Ahad fi ‘Ilm bi ‘Uluwwi Al
Isnad.
Beberapa nama gurunya yang lain semasa di Makkah adalah Imam ‘Abdul Wahhab As Syafi’i,
Sa’id As Shibli, ‘Ali Al Yamani, Ahmad Al Astabawi, ‘Atha’ Al Misri, Ahmad Al Mahalli, Sa’id
Al Magribi, Salim Al Garnuqi Al Hadrami, Sayyid ‘Umar Ad Darir, Sayyid Muhammad Al
Mafazi,dan ‘Abdul Wahhab Al Thantawi Al Azhari, kepada nama yang disebut terakhir ‘Abdullah
belajar ilmu fikih, tafsir Al Baydawi dan hadits di Masjidil Haram. Sementara satu nama gurunya
yang paling memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar
Al Bantani adalah Sayyid Ibrahim Al Madani dan Al Imam Muhammad bin ‘Ali At Thabari. Hal
ini terlihat dari tingginya pujian yang ia berikan kepada kedua ulama besar itu yang ia sebut
sebagai Al ‘Alim Al 'Allamah (penghulu para ulama).
Sedangkan selama di Madinah Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani antara lain berguru
kepada Sayyid Ibrahim Al Madani bin Muhammad Thahir Al Madani yang memberinya ijazah
pengajaran kitab As Simt Al Majid karya Ahmad Al Qushashi. Hal ini terbilang wajar karena
Sayyid Ibrahim Al Madani merupakan putera dari Muhammad Thahir Al Madani yang disebut-
sebut sebagai anak sekaligus pengganti dari Ibrahim Al Kurani. Dengan demikian, guru ‘Abdullah
bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani adalah cucu ulama kenamaan abad ke-17 yang sangat berpengaruh
dan menjadi guru bagi para ulama Nusantara pada abad sebelumnya. ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar
Al Bantani juga menerima Thoriqoh Naqshabandiyyah dari Ibrahim Al Madani.
Ketika Syekh Yusuf Al Makassari memperkenalkan Thoriqoh Khalwatiyah Khalidiyyah di
Banten, bukanlah merupakan thoriqoh dalam arti organisasi yang dibawanya melainkan hanya
teknik-tekniknya, terutama zikirnya dan metodenya dalam mengatur nafas. Pasalnya, jika benar ia
telah mengajarkannya pastilah akan ditemui beberapa orang khalifahnya di daerah Banten. Kasus
‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar mungkin berbeda. Syekh ‘Abdullah ini telah mengangkat beberapa
khalifah di daerah-daerah sekitar Banten, yang tampaknya semacam permulaan bagi organisasi
yang sebenarnya, suatu jaringan yang pelan-pelan mengembang. Namun, tidak ada petunjuk sama
sekali bahwa sesuatu yang menyerupai gerakan massa telah timbul (bandingkan dengan
pemberontakan petani Banten pada abad ke-19).
Syekh Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani adalah ulama Banten yang produktif dalam
menelurkan karya tulis, baik karya yang ia tulis maupun salin. Martin van Bruinessen
menyebutnya sebagai ulama Banten yang produktif dan memiliki minat yang besar terhadap
tasawuf dan metafisik. Beberapa karya ulama besar disalin oleh Syekh ‘Abdullah seperti karya
langka ‘Abdul Ra’uf Singkel dan menyalin kitab Sharabul ‘Ashiqin karya Hamzah Fansuri dalam
Bahasa Jawa Banten. Selain itu, ia juga menulis beberapa risalah berbahasa Arab. Karya-karyanya
banyak disimpan di perpustakaan kesultanan Banten. Setelah kesultanan Banten dilikuidasi pada
tahun 1820, karya-karya tersebut diambil alih oleh Belanda.
Salah satu guru Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani yang sempat mencatat tentang
dirinya dalam salah satu karyanya adalah Syekh Yusuf bin Ahmad Al Gazi. Dalam sebuah catatan
yang terdapat pada bagian akhir naskah A. 656, halaman 149-159 yang berjudul Kitab fi Risalah
Al Asanid Wal Ijarah, Syekh ini mengatakan dalam bahasa Arab sebagai berikut:
‫ال ش يخ أن مذه با ال شاف عي ب لدا ال غزي أحمد اب ن ي و سف وع فوه موال ه رحمة إل ي ال ف ق ير ف ي قول ب عد أما‬
‫من ك ام لة خ تمة ال حرام هللا دب ل ف ي ع لي ق رأ ال قهار ع بد ال ش يخ اب ن هللا ع بد ال ش يخ ال كامل ال فا ضل‬
‫ال قرائ ات ال س ب ع ع لي وق راء ق راءة آخره إل ي ال قران اول‬
Artinya:
Sesudah itu, orang yang mengharap rahmat dan ampunan Tuhannya, Yusuf bin Ahmad Al Gazi
(negerinya) As Syafi’i (mazhabnya) mengatakan bahwa Syekh ‘Abdullah bin Syekh ‘Abdul
Qahhar belajar (membaca) al-Qur’an kepada saya dari awal hingga akhir dan tamat dengan
sempurna, serta belajar membaca Al Qur’an dengan Qira’at Sab’ah (tujuh dialek al-Qur’an)
semuanya dilakukan di negeri Allah Al Haram.
Dalam catatan Brockelmann, karya Syekah ‘Abdullah bin 'Abdul Qohhar Al Bantani yang paling
popular di dunia luar adalah Risalah fi Shurutul Hajj yang ia tulis sewaktu di Makkah pada tahun
1748 dan Kitab Al Masa’il yang ditulisnya pada tahun 1746. Secara keseluruhan, karya yang
pernah beliau tulis, baik yang ia karang sendiri ataupun yang ia salin, sebanyak 17 naskah. Tiga
karya dari jumlah itu adalah karangan beliau sendiri:
1. Shurutul Hajj. Ditulis tahun 1161 H (1748 M) terdapat dalam kumpulan naskah A. 131.
Penulisannya dilakukan di Makkah.
2. Masyahid An Nasik fi Maqamat As Salik. Naskah inilah yang penulis jadikan rujukan
utama dalam tesis ini, karya ini penulis temukan di tangan masyarakat di daerah Pontang,
Kabupaten Serang, Banten dan sekarang oleh pemiliknya dihibahkan kepada Laboratorium
Bantenologi IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Terdapat juga di Perpustakaan
Nasional dalam kumpulan naskah A. 131. Kemungkinan penulisannya di Banten pada
tahun 1763-an atau sesudahnya.
3. Fath al-Muluk Liyasila ila Malik al-Mulk ‘ala Qa’idah Ahl Suluk. Selesai ditulis pada
tahun 1183 H (1769 M) ditulis di Banten. Terdapat dalam kumpulan naskah A. 111.
Selain tiga buah karya di atas Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani juga banyak
menyalin kitab dari beberapa orang tokoh yang cukup terkenal. Keempat belas naskah dari yang
tujuh belas tersebut adalah:
1. Futuhul Asrar Wa Fada’il At Tahlil wa Tadzkir. Pengarang kitab ini adalah ‘Abdul Wahhab
ibn ‘Abdul Gani ibn ‘Abdullah. Disalin pada tahun 1154 H (1741 M), tanpa tempat,
terdapat dalam kumpulan naskah A. 131.
2. Al-Fathiyyah. Tak diketahui siapa pengarangnya, disalin pada tahun 1158 H (1745 M).
sebuah kitab tentang pemakaian bilangan seperempat dalam menghitung siang dan malam.
Naskah ini terdapat dalam kumpulan naskah A. 155.
3. Al Masa’il. Kitab ini dikarang oleh Muhammad ibn Syekh ‘Abdul Baqi (w. 1099 H).
disalin pada tahun 1159 H (1746 M) di Makkah dan terdapat dalam kumpulan naskah A.
131.
4. Minhaj As Salik. Kitab ini merupakan kitab ringkasan Risalah Al Qushayriyyah yang
dikarang oleh Syekh ‘Ali ibn Khalil Al Mursafi. Disalin di Banten pada tahun 1178 H
(1764 M), terdapat dalam kumpulan naskah A. 169
5. Kitab Al Bustan. Kitab ini dikarang oleh Abu Layth As Samarqandi. Tanpa tahun dan
tempat penulisan terdapat dalam kumpulan naskah A. 131.
6. Usul al-Hadith. Pengarangnya adalah Abul Farraj ibn Farraj Al Isbahi. Tanpa tahun dan
tempat penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 131.
7. Matan At Tahiyyah fi Usulil Hadith. Kitab ini dikarang oleh Syekh Ibnu Hajar Al
‘Asqalani. Tanpa tahun dan tempat penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 131.
8. Kitab An Niqayah fi Arba’a Ashar ‘Ilm. Pengarang kitab ini adalah Jalaluddin
‘Abdurrahman ibn Abu Bakar Suyuti As Syafi’i (wafat 911 H). tanpa tahun dan tempat
penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 131.
9. ‘Ilm al-Fara’id. Dikarang oleh Syeikh Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Imad Al
Misri Al Qudsi (w. 887 H), tanpa tahun dan tempat penulisan. Terdapat dalam kumpulan
naskah A. 146.
10. Al Kafi fi ‘Ilm Al Arud. Pengarang kitab ini adalah Abu Zakariyya Yahya ibn ‘Ali Al
Khatib At Tibrizi (wafat 502 H). Kitab ini mengenai kesenian, ilmu ukur, irama dan lagu.
Tanpa tahun dan tempat penulisan. Terdapat dalam kumpulan naskah A. 146.
11. Kitab Al Marsuma. Pengarang kitab ini adalah Abul Qasim al-Qushayri. Tanpa tahun dan
tempat penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 114.
12. Wasilat At Tullab. Dikarang oleh Syekh Abu ‘Abdullah Yahya ibn Muhammad Al
Khattab. Tanpa tahun dan tempat penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 159.
13. Kitab Al Hajibah. Pengarang kitab ini adalah Syekh Jamaluddin ibn Al Hajib. Tanpa tahun
dan tempat penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 159.
14. Kitab fi Risalah al-Asanid wal Ijarah. Pengarang kitab ini adalah Syekh ‘Abdul Wahhab
Al Ahmadi At Tantawi Al Misri. Tanpa tahun dan tempat penulisan, terdapat dalam
kumpulan naskah A. 656.
Setelah mengamati beberapa naskah, baik yang dikarang sendiri oleh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar
Al Bantani maupun yang beliau salin, ada beberapa ciri khas kepenulisan yang dilmiliki sang
pengarang. Tiga buah karangan beliau mempunyai cirri khas tersendiri dalam gaya bahasa
penulisannya, yakni menggunakan kalimat tawadhu’. Kalimat yang saya maksud adalah:

1. Dalam naskah Fathul Muluk


v ‫ع فو إل ي ال راجي ال ت ق ص ير و ب ال ذن ب ال م ع ترف ال كري م ال رح يم موال ه إل ي ال نادم ال ح ق ير ال ف ق ير‬
‫ال قهار ع بد ب ن هللا ع بد ال غ فار رب‬
v ‫ال م عاد إل ي ال زاد ق ل يل‬
v ‫ل ذل ك أهال ل ست ك نت ول و‬
v ‫ومغ فرت ه وع فوه رحم ته إل ي ال راجي هللا ع باد أ ض عف‬
2. Dalam naskah Mashahid An Nasik
v ‫ع فو إل ي ال راجي ال ت ق ص ير و ب ال ذن ب ال م ع ترف ال كري م ال رح يم موال ه إل ي ال نادم ال ح ق ير ال ف ق ير‬
‫ال واحد رب ه‬
v ‫ال م عاد إل ي ال زاد ق ل يل ل ذل ك أهال ل يس هو ك ان وان‬
3. Dalam naskah Shurutul Hajj
v ‫ارال قه ع بد ب ن هللا ع بد موال ه رحم ته إل ي ال راجي ال ف ق ير‬
v ‫ال م عاد إل ي ال زاد ق ل يل ل ذل ك أهال ل ست ك نت ول و‬
Selain kalimat-kalimat tawadhu’, saya jumpai juga kalimat-kalimat lain yang menyatakan sebab
mengapa naskah-naskah itu ditulis. Karenanya, berdasarkan penelitian sementara saya berasumsi
bahwa Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani dalam penulisan naskahnya selalu
mempergunakan kalimat tawadhu’ sebagai salah satu ciri penulisannya. Selain itu, selalu pula
diiringi oleh kalimat anjuran baik dari Sultan maupun dari beberapa sahabatnya. Hal demikian
sekaligus menjadi kalimat pembeda antara naskah yang ia karang sendiri dengan naskah yang ia
salin dari beberapa tokoh yang cukup terkenal.
Dalam beberapa manuskrip yang ditemukan, setidaknya nama Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdul
Qahhar dikaitkan dengan empat thoriqoh secara bersamaan, yakni:
1. Thoriqoh Qadiriyyah. Keterkaitan Syekh ‘Abdullah pada tarekat ini didasarkan pada
manuskrip Fath al-Muluk li Yasila ila Malik al-Muluk ‘ala Qa’idah Ahl al-Suluk, sebuah
naskah karangannya sendiri. Dalam manuskrip itu, ia menuliskan namanya sebagai berikut:
...‫ع ق يدة وال مات ردي ال أل ش عري طري قة وال قادري ال شطاري مذه با ال شاف عي الق قهار ع بد ب ن هللا ع بد‬...[33]
Hal ini juga didukung oleh keterangan P. Voorhoeve yang menyatakan bahwa ia telah menerima
ijazah yang sama dengan Sang Sultan, Abu Nasr Muhammad Arif Zainal Asyiqin dalam
tarekat Qadiriyyah dari Muhammad bin ‘Ali At Thabari Al Husayni As Syafi’i. Sedangkan nama
yang disebut belakangan ini adalah putera ‘Ali At Thabari yang merupakan guru dari banyak ulama
Nusantara termasuk ‘Abdul Ra’uf As Sinkili. Karena ‘Abdul Ra’uf juga pernah mendapat ijazah
thoriqoh Qadiriyyah maka silsilah ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar dapat direkonstruksi sebagaimana
dalam lampiran.
2. Thoriqoh Syathariyyah. Keterkaitan Syekh ‘Abdullah pada tarekat ini didasarkan pada
pernyataannya sendiri dalam manuskrip Fath al-Muluk li Yasila ila Malik al-Muluk ‘ala
Qa’idah Ahl al-Suluk sebagaimana di atas, serta pada manuskrip Mashahid al-Nasik fi
Maqamat al-Salik yang juga naskah karangannya dengan pernyataan yang sama. Dalam
naskah Fath al-Muluk disebutkan bahwa Syekh ‘Abdullah menerima ijazah
dan khalifah tarekat ini dari Muhammad bin ‘Ali al-Thabari al-Husayni al-Syafi’i. Untuk
merekonstruksi silsilah sanadnya pada thoriqoh ini penulis merasa terbantu dengan
pernyataan Martin van Bruinessen bahwa Syekh ‘Abdullah menerima ijazah dalam
thoriqoh ini melalui salah satu dari tiga garis penerus al-Qushashi, hal ini berarti dari
muridnya al-Qushashi selain Ibrahim al-Kurani, yakni ‘Ali At Thabari ayahnya
Muhammad bin ‘Ali At Thabari. Rekonstruksi silsilah sanadnya dapat dilihat pada
lampiran.
3. Thoriqoh Naqsabandiyyah. Pada thoriqoh ini Syekh ‘Abdullah menerima ijazah dari
Sayyid Ibrahim Al Madani bin Muhammad Thahir Al Madani. Di sini ada hal yang
menarik—setidaknya buat saya—mengenai diangkatnya Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdul
Qahhar Al Bantani sebagai khalifah Thoriqoh Naqshabandiyyah. Di Nusantara, terutama
dengan mashurnya ‘Abdul Ra’uf Sinkel sebagai khalifah thoriqoh Shattariyyah, Qushashi
dan Kurani dikenal sebagai tokoh thoriqoh Shattariyyah. Tetapi menurut Martin van
Bruinessen—ia mengutip kamus biografi ulama Kurdi dan kamus biografi Silk al-
Durar karya Muhammad Khalil—di Timur Tengah, Qushashi dan Kurani dikenal sebagai
tokoh Thoriqoh Naqshabandiyyah. Kepada murid dari nusantara mereka mengajarkan
thoriqoh Shattariyyah, tetapi cucu Kurani, Sayyid Ibrahim Al Madani bin Muhammad
Thahir Al Madani mengangkat ‘Syekh Abdullah bin ‘Abdul Qahhar Al Bantani sebagai
khalifah Naqshabandiyyah, dan dengan begitu mendorong penyebaran tarekat ini, dalam
paduan dengan tarekat Syattariyyah sebagaimana Syekh ‘Abdullah Al Bantani
deklarasikan sendiri dalam karyanya. Adapun rekonstruksi silsilahnya dapat dilihat pada
lampiran.
4. Thoriqoh Rifa’iyyah. Keterkaitan Syekh ‘Abdullah pada thoriqoh ini terutama berdasarkan
manuskrip Sadjarah Tjikoendoel dan buku Sajarah Cianjur Sareng Raden Aria Wiratanu
Dalem Cikundul, Cianjur yang menyebutkan nama “Ar Rifa’i” di belakang nama
‘Abdullah. Hal ini diperkuat dengan adanya beberapa risalah mengenai ajaran thoriqoh
Rifa’iyyah dalam Manuskrip Pontang. Bahkan dalam mengawali pembahasan dalam
naskah Masyahid, Syekh ‘Abdullah menyebutkan bahwa apa yang akan dibahas dalam
naskah Masyahid salah satunya berdasarkan ajaran Sayyid Yusuf bin Sayyid ‘Abdurrahim
Al Husayni Ar Rifa’i (dan ini berarti Sayyid Yusuf adalah cucu dari pendiri thoriqoh
Rifa’iyyah, Sayyid Ahmad Kabir Rifa’i). Dari sini penulis mengambil kesimpulan bahwa
Syekh 'Abdullah bin 'Abdul Qohhar Al Bantani menerima ijazah Toriqoh Rifaiyyah dari
Sulthan Abu Nashr Muhammad Arif Zainal Asyiqin (Pangeran Gusti/Syekh Manshur
Cikaduen) berdasarkan bukti riwayat dan silsilah sanad kemursyidan yang penulis miliki.
Didalam sanad silsilah dijelaskan bahwa saya (penulis) menerima ijazah dari Syekh Ahmad
Daud Fathoni bin H.Nawawi, kemudian dari Syekh Muhammad Soleh Erpe'i bin Idup,
kemudian dari Syekh Asnawi Jayakusuma bin H.Hasan Jayakusuma dan kemudian dari
Syekh Manshur Cikaduen/Pangeran Gusti, kemudian dari Syekh Umar bin Abdulloh Al
Hamawi dan seterusnya..
Berikut ini adalah sanad kemursyidan Toriqoh Rifaiyyah yg saya (penulis) terima melalui guru :
1. Nabi Muhammad SAW
2. Ali bin Abi Thalib QS
3. Imam Husain
4. Imam Zainal Abidin
5. Imam Muhammad Baqir
6. Imam Ja‘far Shadiq
7. Imam Musa Al Kadzim
8. Imam Ali Musa Al Ridhawiyah
9. Syekh Ma‘ruf Al Karkhi
10. Syekh Sarri As Siqthi
11. Syekh Abul Qasim Junaidi Al Baghdadi
12. Syekh Abu Bakar Asy Syibli
13. Syekh Abdul Aziz
14. Syekh Abdul Wahid At Tamin At Tamimi
15. Syekh Abul Faraj At Thurthusi
16. Syekh Abu Hasan Ali Al Quraysi Al Hakkari
17. Syekh Abu Sa‘id Al Mubarak Al Makhzumi
18. Sulthan Auliya Sayyidi Syekh Muhyiddin Abdul Qadir Al Jilani
19. Sayyid Abdurrazaq
20. Sayyid Syamsuddin Abi Shalih
21. Sayyid Zainuddin
22. Sayyid Baqaluddin
23. Sayyid Nurruddin
24. Sayyid Tajuddin
25. Sayyid Yasin
26. Sayyid Husain Al Qadiri
27. Sayyid Muhammad Al Husaini Al Ahmadi Ar Rifa‘i
28. Sayyid Abdurrahim Ar Rifa‘i
29. Sayyid Yusuf Ar Rifa‘i
30. Sayyid Abd Ar-Rifa‘i Ahmad
31. Sayyid Abdullah bin Sayyid Muhammad Al ‘Abd Al Husaini
32. Sayyid Musa bin Sayyid Abdullah Al Qodiri Ar Rifa'i Al Hamawi
33. Syekh Mansyuruddin Cikaduen (Pangeran Gusti / Sulthan Abu Nashr Muhammad Arif
Zainal Asyiqin)
34. Syekh Asnawi Jayakusuma bin H.Hasan Jayakusuma, mempunyai murid :
a. Syekh Muhammad Soleh Erpe'i – Lukut
b. Syekh Jaim – Karawang
c. Ir.Soekarno
d. Syekh Ahmad Natawijaya – Cipari, mempunyai murid :
- Syekh Syafi'i
- Syekh 'Abdul Jalil
e. Tb.Mudiar - Citereup
35. Syekh Muhammad Soleh Erpe'i bin Idup
36. Syekh Ahmad Daud Fathoni bin H.Nawawi
37. Syekh Misbahuddin Soleh Hamdi Saebatul Hamdi bin H.Abdul Gaots
38. Syekh juwen bin Syekh Muhammad Soleh Erpe'i bin Idup
39. Tubagus Muhammad Syamsuddin Zein bin Tubagus Ahmad Rifa'i Manshur

Bukti Tentang Manuskrip Thoriqoh dari Abad ke-XVIII Milik Sultan Banten Abu Nashr
Muhammad Arif Zainal Asyiqin
Berikut ini adalah halaman yang berisi catatan kepemilikan manuskrip kitab yang berisi sejarah
hidup (biografi atau manaqib) Syekh Ahmad al-Rifa’i, salah satu wali sufi besar dunia Islam yang
hidup di abad ke-XII M (w. 578p H/ 1182 M).
Catatan kepemilikan menunjukkan jika pemilik manuskrip kitab tersebut adalah Sultan Abu Nashr
Muhammad ‘Arif Zain al-‘Asyiqin dari Kesultanan Banten (Sultan Arif Zainul Asyikin).
Manuskrip kitab “Biografi Syekh Ahmad al-Rifa’i” ini merupakan koleksi Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia (PNRI). Teks kitab pada aslinya tidak memiliki judul. Kitab tersebut sendiri
merupakan salah satu dari sekelompok teks kitab yang terkumpul dalam bundel naskah bernomor
tersebut.
Dalam sejarah Banten, disebutkan jika Sultan Arif Zainul Asyiqin adalah sultan Banten ke-XII
yang memerintah dalam rentang tahun 1753–1773 M dan bergelar “Pangeran Gusti”. Sultan Arif
Zainul Asyiqin merupakan putra dari sultan Banten ke-X, yaitu Sultan Muhammad Syifa Zainal
Arifin (memerintah dalam rentang tahun 1733–1750 M).
Tertulis di sana dalam bahasa Arab:
‫زي ن عارف محمد ال ن صر أب و ال س لطان ب ن ال س لطان ال خ ل ي فة ب عد من ال خ ل ي فة ت عال ى هللا من م ل كه‬
‫ال قادري هللا ع بد ال شري ف س يدي ب ن مو سى ال شري ف س يدي ت لم يذ ال رف اعي ال قادري ال عا ش ق ين‬
‫ آم ين واآلخ رة ال دن يا ف ي ب جم ع نا و هللا وعاف ي ته م ل كه ف ي هللا دام ال حماوي اعيال رف‬3 ‫ال عال م ين رب ي ا‬
(Dimilikinya manuskrip ini dari Allah Ta’ala, seorang khalifah tarekat setelah khalifah tarekat
sebelumnya, seorang sultan anak dari seorang Sultan Abu al-Nashr Muhammad Arif Zain al-
Asyiqin al-Qadiri al-Rifa’i (Seorang yang menganut tarekat Qadiriyyah Rifa’iyyah), murid dari
tuanku Syekh Syarif Musa putra tuanku Syarif Abdullah al-Qadiri al-Rifa’i al-Hamawi (yang
berasal dari Hama, Suriah). Semoga Allah mengekalkannya dalam kekuasaannya dan
kesehatannya. Semoga Allah juga menyatukan kita bersama di dunia dan di akhirat. Amin 3X ya
rabbal ‘alamin).
Keberadaan catatan kepemilikan di atas tentu sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut sekaligus
memberikan kita selintas kunci data dan informasi yang penting. Di antara kunci tersebut adalah
1. Sultan Banten Muhammad Arif Zainul Asyiqin adalah seorang ulama sufi pengamal
tarekat, bahkan menjadi khalifah thoriqoh.
2. Thoriqoh yang menjadi pilihan sang sulthan adalah Thoriqoh Qadiriyyah Rifa’iyyah.
Thoriqoh Qadiriyyah dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jilani (w. 561 H/ 1166
M), sementara Rifa’iah dinisbatkan kepada Syekh Ahmad Al-Rifa’i (w. 578 H/ 1182 M)
yang masih terbilang sebagai murid dari Syekh Abdul Qadir Al-Jilani. Dua-duanya berasal
dari Irak.
3. Sang sultan merupakan murid dari seorang ulama Timur Tengah asal Hama, Suriah, yang
ditengarai menjadi mursyid thoriqoh Qadiriyyah Rifa’iyyah, yaitu Syarif Musa bin
Abdullah al-Hamawi. Gelar As-Syarif yang melekat di depan nama sang guru menegaskan
jika beliau adalah keturunan dari Rasulullah SAW.
4. Terkait dinamika perkembangan tarekat sufi dan pemikiran agama Islam di dalam
lingkungan Kesultanan Banten. Hal ini menunjukkan jika di lingkungan Kesultanan
Banten, ilmu-ilmu keislaman berkembang dengan luar biasa pesat, di antaranya adalah
tradisi ilmu tasawuf dan juga praktik tarekat.
Setidaknya, terdapat empat aliran utama thoriqoh yang berkembang di dalam lingkungan
Kesulthanan Banten tersebut, yaitu:
1. Thoriqoh Khalwatiyyah Khalidiyyah yang dibawa oleh Syekh Yusuf Makassar (w. 1699)
dan dianut oleh murid sekaligus mertuanya, yaitu Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah (Sultan
Ageng Tirtayasa, m. 1651–1683 M).
2. Thoriqoh Qadiriyyah Rifa’iyyah yang dianut oleh Sultan Muhammad Arif Zainul
Asyiqin/Pangeran Gusti/Syekh Manshur Cikaduen (m. 1753-1773).
3. Thoriqoh Syathariyyah yang dikembangkan oleh Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar Al-
Bantani, yang juga hidup di masa pemerintahan Sultan Muhammad Arif Zainul Asyiqin.
4. Thoriqoh Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah yang dikembangkan oleh Syekh Abdul Karim
Banten Al-Makki, ulama Banten yang berkarir di Makkah pada abad ke-XIX dan menjadi
khalifah Syekh Ahmad Khatib Sambas (wafat 1875), inisiator thoriqoh Qadiriyah Wa
Naqsyabandiyah.
Posisi Sultan Muhammad Arif Zainul Asyiqin sebagai khalifah Thoriqoh Qadiriyyah Rifa’iyyah
juga disebutkan oleh Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar Al-Bantani yang hidup sezaman dalam
kitab karangannya, “Fath al-Mulûk li Yashil ilâ Malik al-Mulûk ‘alâ Qâ’idah Ahl al-Sulûk”
(manuskrip kitab ini juga tersimpan di PNRI Jakarta). Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar Al
Bantani menulis:
‫زي ن ش فاء ال ف تح أب و ال مرحوم ال س لطان ب ن ال س لطان ال عا ش ق ين زي ن عارف محمد ال ن صر أب و س لطان‬
‫أ سرارهم هللا ق دس وغ يرهما وال رف اعي ال قادري خ ل ي فة أر ضه ف ي ت عال ى هللا خ ل ي فة ال عارف ين‬
(Sultan Abu al-Nashr Muhammad Arif Zainul Asyikin, seorang sultan anak seorang sultan, al-
Marhum Abu al-Fath Syifa Zainul Arifin, seorang wakil Allah di muka bumi, seorang khalifah
tarekat Qadiriyah Rifa’iyah dan selain keduanya. Semoga Allah mensucikan rahasia mereka
semua)
Kembali ke perihal manuskrip “Biografi Syekh Ahmad al-Rifâ’î” milik Sultan Abu al-Nashr
Muhammad Arif Zainul Asyikin dari Banten yang kita perbincangkan ini.
Setelah dilakukan penelitian dan perbandingan antar teks (al-tanâsh), ternyata teks kitab manuskrip
ini berasal dari kitab “al-Thabaqât al-Kubrâ” karangan Syekh ‘Abd al-Wahhâb al-Sya’rânî, sufi
besar asal Mesir yang hidup di abad ke-XVI (w. 973 H/ 1565 M).
Teks dalam manuskrip milik sang sultan Banten sama persis dengan teks pada kitab “al-Thabaqât
al-Kubrâ” karya al-Sya’rânî. Dalam kitab “al-Thabaqât al-Kubrâ” karya al-Sya’rânî versi
suntingan Dr. Ahmad ‘Abd al-Rahîm al-Sâ’ih dan Dr. Taufîq ‘Alî Wahbah yang kemudian dicetak
oleh Maktabah al-Tsaqâfah al-Dîniyyah (Kairo, tahun 2005), biografi tersebut termuat dalam
volume I, biografi (thabaqât) ke-262, halaman 250–257. Tertulis di halaman pertama manuskrip
(dan di halaman 250 kitab “al-Thabaqât al-Kubrâ” karya al-Sya’rânî):
‫ع نه ت عال ى هللا ر ضي ال رف اعي ال ح سن أب ي ب ن أحمد ال ش يخ وم نهم‬. ‫من ق ب ي لة رف اعة ب ني ال ى م ن سوب‬
‫ت عال ى هللا رحمه ب ها مات أن ال ى ال بطائ ح ب أرض ع ب يدة أم و س كن ال عرب‬. ‫ال ري ا سة ال يه ان تهت وك ان ت‬
‫ال مري دي ن ب ترب ية ألم را عرف وب ه م نازالت هم م ش ك الت وك شف ال قوم أحوال و شرح ال طري ق ع لوم ف ي‬
‫ب ال بطائ ح‬
==================================

Manuskrip:
- Al-Qahhār, Abd Allāh bin ‘Abd. Fatḥ al-Muluk li-yasila ilā Malik al-Muluk ‘alā Qā’idati Ahli
al-Suluk. A111. Koleksi PNRI.
- Mashāhid al-Nasik fī Maqām al-Sālik. A 31d. Koleksi PNRI.
- Risālah fi Shurūṭ al-Ḥajj. teks ke-4 dalam naskah A 131. Koleksi PNRI.
- Anonim. Kitāb al-Dhikr atau “Dhikr fī khulāṣat al-Mafākhir”. A 73. Koleksi PNRI.
- Hikayat al-Bara’ah. A 118. Koleksi PNRI.
- Majmu’at al-Ad’iyah wa-Ghayruhā. A 66. Koleksi PNRI.
- Bahā’uddīn. Risālah Shaṭṭāriyah. Naskah koleksi HMA. Tihami, desa Pontang, Serang, Banten.
- Khaṭir al-Dīn al-‘AṭṭĀr, Muḥammad ibn. Al-Jawāhir al-Khamsah. A 37. Koleksi PNRI.
- Al-Jawāhir al-Khamsah. A 42. Koleksi PNRI.
- Al-Jawāhir al-Khamsah. Cod. Or. 7201. Universitas Leiden, Belanda.
- Al-Jawāhir al-Khamsah. A–MSS-07150. al-Maktabah al-Waṭaniyyah, Republik Tunisia.
- Al-Jawāhir al-Khamsah. ‫ج‬.‫ ح‬189. Perpustakaan Universitas King Sa’ud 1957, Saudi Arabia

Anda mungkin juga menyukai