Anda di halaman 1dari 5

Makalah

Sejarah Syech Hasan Munadi Nyatnyono


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Agama Islam
Dosen Pengampu : Dliyah

Disusun oleh :
1. Alif Nur Fauzi Prasetyo
NIM : 40040119650094
2. Wisnuseto Haryo B
NIM : 40040119650086
3. Fadhilatussyifa Salsabila
NIM : 40040119650082
4. Arum
5. Raul
6. Fivy Fatwa
7. Rafiqo

Kelas C
STr-Teknologi Rekayasa Kimia Industri
Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro
Tahun 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang merupakan tugas yang diberikan
kepada kami sebagai mahasiswa Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen kami tercinta Bapak Dliyah yang
membimbing sekaligus mengajarkan kami dalam mata kuliah Agama Islam. Karena
bimbingan dan dukungan beliau kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik.
Terima kasih pula kepada rekan rekan TRKI yang telah banyak mendorong serta
menasihati kami sehingga dapat menyelesaikan tugas ini.
Kami menyadari bahwa tugas ini jauh dari kata sempurna, maka kami memohon
maaf yang sebesar besarnya atas segala kekurangan yang ada dalam makalah ini dan kami
menerima segala kritik atau saran dari pembaca yang bersifat membangun dan untuk
menyempurnakan tugas kami.

Semarang, 20 Oktober 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................... i


Daftar isi...................................................................................................................ii
Sejarah Syekh Hasan Munadi Nyatnyono
Syekh Hasan Munadi adalah salah satu Waliyullah yang menyebarkan agamanya
islam dari Mojokerto, Mojoagung, Jombang, Madiun, Nganjuk, Ngawi sampai Semarang.
Syekh Hasan Munadi hidup tahun 1400 tahun yang lalu, semasa dengan para wali songo,
namun Syekh Hasan Munadi tidak termasuk jajaran wali songo, karena beliau memang
spesialis untuk syiar agama.. Beliau mempunyai garis keturunan dari Sunan Bonang dan juga
beliau masih bersaudara dengan Raden Patah dari Kerajaan Demak. Syekh Hasan Munadi
dengan Raden Patah adalah saudara satu bapak beda ibu. Hasan Munadi pernah tercatat
sebagai salah seorang punggawa berpangkat Tumenggung yang bertugas menjaga
kewibawaan kesultanan Demak dari rong-rongan kelompok yang hendak membuat onar.
Namun pada akhirnya, Hasan Munadi lebih memilih menjadi penyiar agama Islam di lereng
Gunung Ungaran sampai ia wafat. Dalam menjalani syiar Islam ini ia dibantu anaknya
bernama Syekh Hasan Dipuro.
Syekh Hasan Munadi ketika menyebarkan agama islam sampai di Semarang tepatnya
di Ungaran, desa Nyatnyono itulah sebabnya beliau juga dikenal sebagai Syekh Hasan
Munadi Nyatnyono. Syekh Hasan Munadi Nyatnyono aslinya adalah penduduk Jaw Timur.
Saat beliau menyebarkan agama islam di desa Nyatnyono penduduk desa kebanyakan
beragama budha. Tidak ada penolakan dari warga desa Nyatnyono namun ada syarat yang
harus dipenuhi Syekh Hasan Munadi jika ingin menyebarkan agama islam di desa tersebut.
Syarat yang harus dipenuhi yaitu dengan adu kesaktian dengan penduduk desa apabila para
penduduk desa kalah maka mereka semua akan menjadi santri dari Syekh Hasan Munadi
Nyatnyono dan akan memeluk agama islam. Singkat cerita Syekh Hasan Munadi berhasil
mengalahkan penduduk desa dan para penduduk desa akhirnya menjadi santri dari beliau
serta mereka akhirnya masuk agama islam. Oleh karena itu di desa Nyatnyono sendiri masih
terdapat cagar budaya yaitu candhi, dimana candhi tersebut sempat dibawa pergi oleh
seseorang tetapi akhirnya dikembalikan lagi.
Sekitar 1400 tahun yang lalu, Syekh Hasan Munadi meninggal di Ponorogo. Syekh
Hasan Munadi mempunyai istri yang berada di Ponorogo mempunyai putra yang tinggal di
Nyatnyono yang bernama Syekh Hasan Dipuro dimana makam beliau masih satu area dengan
Syekh Hasan Munadi tetapi beda bangunan. Ketika Syekh Hasan Munadi wafat, keluarga di
Nyatnyono tidak diberitahu oleh pihak Ponorogo akhirnya Syekh Hasan Munadi diambil oleh
keluarga di Nyatnyono dengan ilmu “Ambles Bumi” diambil dari tanah. Oleh karena itu,
Ponorogo berasal dari kata Pongrogo atau Kopong Ragane karena Syekh Hasan Munadi
sudah diambil oleh putranya Hasan Dipuro dari Nyatnyono dengan ilmu Ambles Bumi
tersebut.

Riwayat tentang karamah waliyullah Hasan Munadi tidak hanya sebatas ketika ia masih
hidup. Bahkan ratusan tahun setelah wafatnya, karamah itu masih dirasakan oleh masyarakat.
Di antaranya pada waktu Masjid Keramat tersebut direnovasi pada tahun 1985. Sebagaimana
kelaziman para pemangku makam yang hendak merehab Masjid Keramat, Kiai Asmui
pemangku makam keramat pada waktu itu melakukan mujahadah selama satu tahun terlebih
dahulu. Setelah mujahadah selesai dilaksanakan, ia pun berinisiatif untuk meminta bantuan
masyarakat sekitar yang bersedia menjadi dermawan untuk menyumbangkan hartanya.
Masyarakat Nyatnyono memang bisa dibilang kelas menengah ke bawah, hanya beberapa
pejabat dan keluarga tertentu yang memiliki kekayaan yang dianggap berlebih di masa itu.
Proposal yang ditawarkan, termasuk kepada instansi-instansi tertentu dan beberapa orang kaya
yang ada di lingkungan sekitar, kembali dengan tidak membawa hasil apa pun. Dalam kondisi
semacam itu, Kiai Asmui gamang untuk melanjutkan renovasi. Akhirnya ia bersilaturahmi
kepada Kiai Hamid (K.H. Abdul Hamid Magelang), yang termasyhur dengan kewaliannya,
untuk meminta pendapat tentang situasi yang sedang dihadapinya. Namun, Kiai Hamid malah
menjawab ringan, “Sudah, pulang sana, mulai renovasi masjidnya. Waliyullah Hasan itu kaya.
Kuburannya ada gambar uang.” Sepulang dari kediaman Kiai Hamid, Kiai Asmui makin
bingung memikirkan kata-kata Kiai Hamid. Tapi, karena taat kepada sang guru, ia tidak
berpikir panjang lagi. Meski tidak memiliki modal, ia pun mulai merenovasi. Bagian-bagian
bangunan masjid yang dinilai sudah tidak layak mulai dirobohkan untuk direnovasi.

Tiba-tiba keanehan kembali terjadi. Tidak diduga-duga, seorang peziarah yang datang
ke makam dan tengah menderita sakit kronis dalam waktu yang singkat sembuh dari penyakit
yang dideritanya setelah meminum dan mengusap- kannya ke bagian tubuh air yang keluar dari
sumber yang berada tak jauh dari makam. Sejak kejadian itu, para peziarah semakin banyak
berdatangan ke Makam Keramat dan mengambil air dari mata air itu. Dan makin aneh pula,
mata air yang semula kecil menjadi semakin besar dengan semakin banyaknya peziarah yang
berebut memanfaatkannya. Melihat kejadian aneh itu, Kiai Asmui kembali datang kepada Kiai
Hamid untuk meneceritakan dan menyatakan fenomena apa yang sebenarnya terjadi. Pada saat
itu Kiai Hamid mengisyaratkan bahwa semua itu adalah bagian dari karamah waliyullah Hasan
Munadi.

Hari demi hari kata-kata Kiai Hamid semakin menjadi kenyataan. Peziarah yang datang
semakin membludak dan air yang keluar dari sumber di dekat makam pun di luar kebiasaan,
semakin membesar dengan sendirinya seiring dengan semakin banyaknya peziarah yang
datang, hingga menjadi sendang. Sendang itu kemudian dikenal dengan nama “Sendang
Kalimah Thayyibah”, karena untuk bisa mendapatkan khasiat dari air itu untuk hajat tertentu
seseorang terlebih dahulu harus membaca dua kalimah syahadat. Pundi-pundi amal yang
berasal dari peziarah pun semakin melimpah ruah. Dua puluh ribu, seratus ribu, satu juta,
bahkan sampai-sampai per hari kotak-kotak amal itu terisi tidak kurang dari dua belasjuta
hingga delapan belas juta, sampai kurang lebih sepuluh bulan lamanya. Hasil dari kotak amal
yang telah dikumpulkan dan melimpah ruah itu pada akhirnya bukan hanya dipergunakan
untuk merenovasi masjid. Makam, madrasah, jalanan umum, bahkan masyarakat pun
mendapatkan bagian yang tidak sedikit dari jariyah para peziarah yang melimpah ruah itu.
Mayarakat Nyatnyono yang tadinya hidup serba kekurangan mulai membangun dan
merenovasi rumah-rumah mereka. Aktivitas perekonomian masyarakat sekitar makam
terangkat karena keberkahan dari membludaknya para peziarah yang datang. Bahkan beberapa
ribu orang masuk Islam berkat dari sendang itu.

Tak jauh dari Makam Hasan Munadi, terdapat pula pemandian / sendang yang konon
dahulunya untuk tempat mandi dan mengambilan air wudhu dari Hasan Munadi, yang dikenal
dengan nama Air Keramat Sendang Kalimat Thoyibah. Air tersebut bersumber dari mata air
yang dahulunya tongkat dari Hasan Munadi ditancapkan ketanah. Bila kita rasakan air tersebut
maka air tersebut seperti air zam zam. Konon air keramat sendang kalimat thoyibah berkhasiat
istimewa wasilah mengobati segala penyakit. Namun pengunjung sebelum mandi diwajibkan
untuk mengganti pakaian dengan sarung dan juga tidak diperbolehkan memakai perhiasan,
cincin, gelang dan lain sebagainya. Bila kita lupa membawa sarung maka disediakan jasa untuk
penyewaan sarung dipintu masuk sendang air keramat kalimat thoyibah.

Anda mungkin juga menyukai