Anda di halaman 1dari 22

TAQLIQ, ITTIBA’, MAZHAB,

TALFIQ, dan IFTA


Disusun Oleh :
• Umi munawaroh (1701045039)
• M.riski amaliah (1701045038)
• Analin (1701045041)
• Mila Rahmawati (1701045042)
• Qomarudin (1701045044)
• Nur Aisah (1701045046)
Secara etimologi taqlid adalah bahasa arab yang berasal dari kata kerja fi’il, yaitu qalada yang secaa
lughawi berarti “mengalungkan” atau “menjadikan kalung”.hal demikina menjadikan imam al-syafi’i
sebagai kalung.

Kata taqlid mempunyai hubungan rapat dengan kata qaladah, sedangkan qaladah itu sendiri berarti
kalung.menurut asalnya, qaladah (kalung) digunakan untuk sesuatu yang diletakkan membelit leher seekor
hewan,dan hewan yang dikalungi itu mengkuti sepenuhnya ke mana saja kalung itu ditarik orang.kalau
yang dijadikan “kalung” itu adalah “pendapat” atau “perkataan” seseorang,maka berarti orang yang
dikalungi itu akan megikuti “pendapat” orang itu tanpa mempertanyakan lagi kenapa pendapat orang
tersebut demikian.
Defenisi taqlid menurut para ahli ushul fiqih:

Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa


adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi jalan kepada
pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusan ushul maupun dalam urusan furu’.”

Al-Asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul mendefinisikan:


“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”

Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul jawami mendefinisikan:


“Taqlid adalah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil

Ibn al-humman ( dari kalangan ulama hanafiyah) mrmberikan definisi lebih lengkap yang menjelaskan kesamaran
yang terdapat dalam ketiga definisi di atas, yaitu:
“taqlid ialah beramal dengan mendapat seseorang yang pendapatnya itu bukan merupakan hujah,tanpa
mengetahui hujahnya.”
1. Taqlid itu adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain.

2. Pandapat atau ucapan orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujah

3. Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebab-sebab atau dalil- dalil dan hujag dari pendapat yang
diikutinya itu.
Dari pendapat hakikat taqlid yang merupakan kriteria dari taqlid sebagaimana disebutkan di atas dan dihubungkan pula dengan
ijtihad yang telah dijelaskan, maka terlihat ada tiga lapis umat islam sehubungan dengan pelaksanaan hukum islam atau syara’
yaitu;

1. Mujtahid, yaitu orang yang mempunyai pendapat yang dihasilkan melalui ijtihadnya sendiri, beramal dengan hasil
ijtihadnya dan tidak mengikuti hasil ijtihad lainya. Ini disebut mujtahid mutlaq

2. Muqallid, yaitu orang yang tidak mempu menghasilkan pendapatnya sendiri, karena itu dia mengikuti pendapat orang lain
tanpa mengetahui kekuatan dan dalil dari pendapat yang diikutinya itu
3. Muttabi, yaitu orang yang mampu menghasilkan pendapat, namun dengan cara mengikuti pendapat dan cara-cara yang telah
dirintis oleh ulama sebelumnya.nujtahid dalam rinkat mujtahid muntasid,mujtahid mazhad,mujtahid murajjih,dan mujtahid-
mujtahid muwazin
1. Taqlid haram. Ulama ushul sepakat mengatakan bahwa haram melakukan taqlid
apabila; pertama, taqlid semata-mata mengikkuti adat kebiasaan pendapat nenek
moyang dahulu kala yang bertentangan dengan al-qur’an dan hadis. Kedua, taqlid
kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya.
Ketiga, kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid
mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah
2. Taqlid boleh. Diperbolehkan kepada sesorang mujtahid beberapa orangmujtahid dalam hal yang ia
belum mengetahui hukum Allah dan rasulnya yang berhubungan dengan persoalan atau suatu kasus,
dengan syarat bahwa yang demikian bersangkutan harus selalu berusaha menyalidiki kebenaran
masalah yang diikuti itu, artinya, bahwa taqlid itu hanya untuk sementara saja.

3. Taqlid yang diwajibkan. Wajib taqlid kepada orang yang perkataan dan perbuatannya menjadi
hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan rasulullah saw.
Secara etimologi, ittiba’ berasal dari bahasa Arab, kata kerjanya adalah: “Ittaba’a”, “Yattbiu”
”Ittiba’an” , yang berarti “menurut atau mengikuti”, dan orang yang mengikuti disebut muttabi’.

Secara terminologi, ulama ushul mendefinisikan ittiba’ dengan:


Ittiba’ ialah menerima pendapat seseorang sedang yang menerima itu mengetahui dari mana asal
pendapat itu.

Menurut ulama ushul lainnya, ittiba’ ialah mengikuti atau menurut semua yang diperintahkan,
yang dilarang dan dibenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya, melaksanakan
semua ajaran agama Islam sesuai dengan yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, ittiba’ itu adalah lawan dari taqlid.
• Ittiba’ kepada Allaah dan Rasul-Nya.
Ulama sepakat mengatakan bahwa seluruh umat Islam wajib mengikuti semua perintah
Allaah subhanahu wa ta’ala dan menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam
Surah Al-A’raf (7) ayat 3:
Artinya: Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya).
Ittiba’ selain kepada Ulama
Ulama berbeda pendapat tentang ittiba’ kepada para ulama atau kepada para mujtahid. Sebagian
mengatakan boleh ittiba’ kepada ulama atau mujtahid, sedangkan yang lainnya tidak
membolehkan ittiba’ kepada ulama atau mujtahid. Imam Ahmad Ibn Hanbal mengatakan bahwa
ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada Allaah dan Rasul dan para sahabat saja, tidak boleh kepada
selainnya. Hal ini dipahami dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu: Berkata Abu
Daud, aku mendengar Ahmad berkata: “Itttiba’ itu ialah seorang mengikuti yang berasal dari Nabi
Saw, dan para sahabatnya”.
Secara etimologi, kata mazhab adalah berasal dari bahasa arab, berbentuk isim makan (kata
yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi (kata dasar) “ “ yang bearti
“pergi”. Dan dapat pula bearti “ “, artinya “pendapat”.

Sedangkan secara terminologi, mazhab meliputi dua pengertian berikut.

a. Jalan pikiran atau metode (mantan) yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu
kejadian.
b. Pendapaat atau fatwa seorang mujtahid atau mufti tentang hukum suatu kejadian.
Pembahasan tentang mazhab ini sangat ini sangat berkaitan dengan peringkat lapisan umat islam dalam hubungannya
dengan hhukum syarak dan pengalaman pengalamanna terbagi kepada dua kelompok,
pertama, orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum syarak, sehingga untuk menngetahui dan
mengamalkannya dia bertanya kepada orang yang mengetahui. Orang ini disebut dengan orang awam
Kedua, orang yang mempunyai pengetahuan tentang hukum syarak dan mempunyai kemampuan untuk
menggali hukum dari sumbernya, orang ini disebut dengan mujtahid dan dia dijadikan sebagai tempat
bertanya bagi orang awam.
Orang awam yang telah mendapatkan fatwa dari seorang mufti harus beramal dengan pendapat atau fatwa dari mufti itu,
karena fatwa yang dirumuskan oleh mufti tersebut disebut dengan mazhab. Menurut sebagian ulama, orang awam yang
beramal dengan mazhab seorang imam mujtahid dalam masalah tertentu, dituntut untuk konsisten mengikuti terus mazhab
imam tersebut dalam masalah-masalah lainnya, sehingga bentuk pengamalan agama orang awam itu sama dengan imamnya
dalam segala urusan agama.

Menurut Ibn Human, pendapat yang peling kuat tidak adanya keharusan tetap berpegang pada satu mazhab. Ia
berkata: “Tidak wajib seseorang untuk brmazhab dengan mazhab manapun, tidak ada yang wajib kecuali yang
diwajibkan oleh Allah dan Rasul-NYA”.

Ibn Hazm dari ulama Zhahiriyah secara tegas menolak mazhab, bahkan ia mengatakan tidak sah seorang awam
bermazhab . Orang bermazhab hanyalah orang yang mengetahui secara baik mazhab itu dan membaca kitab-kitab
fikih mazhab itu.

Pakar ilmu ushul kontemporer seperti Badran mengatakan, tidak wajib bermazhab (secara tetap) karena tidak
ada ketentuan syarak yang mewajibkan seseorang untuk mengikuti imam atau mazhab tertentu. Yang diwajibkan
syarak hanyalah mengikuti ahli ilmu tanpa menentukan pribadi ulama tertentu.
Secara terminologi, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu
peristiwa atau kejadian dari berbagai macam mazhab.

Secara etimologi, talfiq berasal dari bahasa Arab yang berarti “menyamakan”
atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”. Seperti perkataan “ talfiiqits tsaub”,
artinya mempertemukan dua tepi kain, kemudian menjahitnya. Bisa juga diartikan
dengan “menghiasi suatu cerita dengan yang salah atau bohong”.
Mengambil pendapat yang ringan-ringan saja dengan arti
mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan, sekalipun dasar
hukumnya lemah, maka perbuatan seperti ini dicela oleh ulama
karena tujuannya bukan untuk mencari ke rida an Allah, maka yang
demikian tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Ifta’ artinya berfatwa atau memberikan penjelasan atau usaha memberikan
penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum
mengetahuinya.

Hakikat atau ciri-ciri tertentu dari berfatwa:


1. Penjelasan yang diberikan adalah tentang hukum syara’ yang diperoleh melalui hasil
ijtihad.
2. Yang memberi penjelasan itu orang yang ahli dalam bidang yang di jelaskan yaitu.
3. Penjelasan itu diberikan kepada orang yang bertanya dan belum mengetahui hukumnya.
1. Usaha yang memberikan penjelasan hukum syara’.
2. Orang yang menyampaikan jawaban hukum terhadap orang
yang bertanya disebut mufti.
3. Orang yang meminta penjelasan hukum kepada yang telah
mengetahuinya disebabkan oleh ketidaktahuannya tentang hukum
suatu kejadian yang telah terjadi disebut mustafti.
4. Materi jawaban hukum syara’ yang disampaikan oleh mufti
kepada mustafti disebut fatwa.
Syarat-syarat mufti dikelompokkan menjadi empat, yang disampaikan oleh beragam
pakar ushul fiqh:
1. Syarat umum. Harus seorang mukalaf yaitu muslim, dewasa, dan sempurna
akalnya.
2. Syarat keilmuan. Mempunyai kemampuan untuk berijtihad. Untuk itu ia harus
memiliki syarat-syarat sebagaimana yang berlaku bagi seorang mujtahid.
3. Syarat kepribadian, yaitu adil dan dipercaya.
4. Syarat pelengkap, dalam kedudukannya sebagai ulama panutan yang diuraikan
oleh al-Amidi yakni dengan berfatwa ia bermaksud untuk mendidik serta mengetahui
hukum syara’, bersifat tenang (sakinah) dan berkecukupan.
Dalam hal ini mufti sama kedudukannya dengan hakim,
yaitu menyampaikan hukum kepada umat, yang
disampaikan setelah menerima pertanyaan dari umat.
Sedangkan qadhi menyampaikan hukum melalui putusan
hukum atau dalam proses persidangan setelah perkaranya
disampaikan oleh umat. Keduanya merupakan hasil ijtihad.
orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang suatu hukum
syara’ baik secara keseluruhan atau sebagian dan oleh karenanya
harus bertanya kepada yang lain supaya ia dapat mengetahui dan
beramal dalam suatu urusan agama. Pada dasarnya ialah orang
awam yang tidak tahu sama sekali dan tidak mampu melakukan
ijtihad.
Fatwa adalah hukum syara’ yang diperoleh melalui ijtihad.

Berfatwa berfungsi amar ma’ruf nahi munkar, yang menyampaikan


pesan-pesan agama yang harus dikerjakan atau dijauhi oleh umat.
Seseorang yang telah mempunyai keahlian untuk mengetahui
suatu pendapat imam madzhab dan mampu membandingkan
serta men-tarjih-kan antara beberapa pendapat imam-imam
mujahid yang ada, meskipun belum mencapai derajat mujtahid,
maka ia boleh mem-fatwakan pendapat salah satu imam
madzhab yang ada, dengan memperhatikan hal-hal seperti:
a. Dalam memilih pendapat yang akan di-fatwakan ia harus ikhlas dan ber-
i’tiqad baik untuk mewujudkan kemaslahatan dan sebanyak mungkin
menguntungkan semua pihak serta tidak merugikan siapa pun.
b. Ia memilih pendapat yang menghendaki kehati-hatian dalam beramal,
tidak menyulitkan orang dalam beragama, juga tidak mempermudah
agama.
c. Ia memilih pendapat yang menurut keyakinannya benar dan kuat dalilnya.

Anda mungkin juga menyukai