Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Konsep bahwa Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran
tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat
tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan
hukum dalam al-Qur’an yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-
Islam.Seiring pertumbuhan jaman yang begitu pesat tidak dapat di hindari bahwa tradisi-
tradisi masyarakat Indonesia telah banyak berubah dan terpengaruh oleh kemajuan
zaman.untuk mendefinisikan Al-Urf dari sisi ini lebih dulu mengetahui definisi masing-
masing dari dua kata yang membentuknya.Kemudian apa yang dimaksud dengan Al-Urf
adalah gabungan dari arti bahasa tersebut.
S. Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan
konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan
penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi
Muhammad saw. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang
dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat
atau masyarakat.

Sehingga sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan
salah satu metode Ushl Fiqh untuk meng-Istimbath setiap permasalahan dalam kehidupan
masyarakat yang tumbuh seiring jaman.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian serta macam-macam Al-Urf ?
2. Bagaimana Kedudukan Al-Urf dalam hujjah untuk menentukan hokum?
3. Apa saja syarat-syarat al-Urf dalam Hujjah untuk menentukan hokum?

C. TUJUAN
Mahasiswa mampu untuk mengambil salah satu istinbath hokum dalam pemecahan
masalah yang timbul dalam masyarakat pada umumnya.
D. MANFAAT
Berdasar pada rumusan masalah diatas diharapkan di dalam menyikapi kemajuan
zaman kita sebagai umat muslim Indonesia mampu untuk menjadi solutif dan selektif dalam
menyikapi adat istiadat atau budaya masyarakat di Indonesia yang beraneka ragam
diantaranya ada suku jawa, batak, Madura dan lain sebagainya. dengan dasar hokum yang
jelas dan kuat kita bisa mengambil keputusan dengan bijak dan menjadi mahasiswa yang
solutif di dalam kehidupan bermasyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN Al-Urf (ADAT ISTIADAT)
Kata Urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal
sehat”.Al-urf (adat istiadat) yaitu sesuatu yang sudah diyakini mayoritas orang, baik berupa
ucapan atau perbuatan yang sudah berulang-ulang sehingga tertanam dalam jiwa dan diterima
oleh akal mereka.[1] Secara terminology Abdul-Karim Zaidan, Istilah ‘urf berarti : 1
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan
menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan”[2]Menurut
Ulama’ ‘Usuliyyin Urf adalah 2

“Apa yang bisa dimengerti oleh manusia (sekelompok manusia) dan mereka jalankan, baik
berupa perbuatan, perkataan, atau meninggalkan”.[3]Al-Urf adalah apa yang dikenal oleh
manusia dan menjadi tradisinya; baik ucapan, perbuatan atau pantangan-pantangan, dan
disebut juga adat, menurut istilah ahli syara’,tidak ada perbedaan antara al-urf dan adat
istiadat.[4]
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Adat harus terbentuk dari sebuah perbuatan yang sering dilakukan orang banyak
(masyarakat) dengan berbagai latar belakang dan golongan secara terus menerus, dan dengan
kebiasaan ini, ia menjadi sebuah tradisi dan diterima oleh akal pikiran mereka. dengan kata
lain, kebiasaan tersebut merupakan adat kolektif dan lebih kusus dari hanya sekedar adat
biasa karena adat dapat berupa adat individu dan adat kolektif.
2. Adat berbeda dengan ijma’. Adat kebiasaan lahir dari sebuah kebiasaan yang sering
dilakukan oleh orang yang terdiri dari berbagai status social, sedangkan ijma’ harus lahir dari
kesepakatan para ulama mujtahid secara khusus dan bukan orang awam. dikarenakan adat
istiadat berbeda dengan ijma’ maka legalitas adat terbatas pada orang-orang yang memang
sudah terbiasa dengan hal itu, dan tidak menyebar kepada orang lain yang tidak pernah
melakukan hal tersebut, baik yang hidup satu zaman dengan mereka atau tidak. adapun ijma’
menjadi hujjah kepada semua orang dengan berbagai golongan yang ada pada zaman itu atau
sesudahnya sampai hari ini.
3. Adat terbagi menjadi dua kategori; ucapan dan perbuatan. Adat berupa ucapan misalnya
adalah penggunaan kata walad hanya untuk anak laki-laki, padahal secara bahasa mencakup
anak laki-laki dan perempuan dan inilah bahasa yang digunakan al_Quran, “Allah
mensyari’atkan bagimu tentang anak-anakmu. Yaitu: Bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan”(QS. An-Nisa’(4):11). Sedangkan adat berupa
perbuatan adalah setiap perbuatan yang sudah biasa dilakukan orang, seperti dalam hal jual
beli, mereka cukup dengan cara mu’athah (Take and Give) tanpa ada ucapan, juga kebiasaan
orang mendahulukan sebagian mahar dan menunda sisanya sampai waktu yang disepakati.[5]

B. MACAM-MACAM Al-Urf
Al-Urf (adat) itu ada dua macam : Adat yang benar dan adat yang rusak. adat yang benar
adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak
meghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban.seperti adat meminta pekerjaan,
adat membagi mas kawin menjadi dua; didahulukan dan di akhirkan, adat seorang istri tidak
berbulan madu kecuali telah menerima sebagian mas kawin dari suaminya.sedangkan adat
yang rusak adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan dengan
syara’, menghalalkan yang haram, atau membatalkan kewajiban. seperti banyak kebiasaan
mungkar pada saat menghadapi kelahiran, ditempat kematian, serta kebiasaan memakan
barang riba’ dan akad perjudian.[6]
Menurut Abdul-karim zaidan membedakan Al-Urf menjadi dua macam :
1. al-Urf al-‘Am (Adat kebiasaan umum), yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negri
di satu masa. contoh adat yang berlaku di beberapa negri dalam memakai ungkapan “engkau
telah haram aku gauli” kepada istrinya sebagai ungkapan untuk menjatuhkan talak istrinya
itu, dan kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan sewa tertentu tanpa menentukan
secara pasti berapa lamanya mandi dan berapa kadar air yang digunakan.
2. al-Urf al-Khas (Adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat
negri tertentu. misalnya, kebiasaan masyarakat Irak dalam menggunakan kata al-
dabbah hanya kepada kuda, dan menganggap catatan jual beli yang berada pada pihak
penjual sebagai bukti yang syah dalam masalah utang piutang.[7]
C. KEDUDUKAN al-Urf DALAM SUMBER HUKUM
Jumhur fuqaha’ mengatakan bahwa al-Urf merupakan hujjah dan dianggap sebagai
salah satu sumber hokum syariat. mereka bersandar pada dalil-dalil sebagai berikut:

1. Firman Allah SWT:

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah
daripada orang-orang yang bodoh .”(QS.Al-A’Raf(7):199).

Kata al-urfi dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakanmya, oleh
para ulama’ Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan
masyarakat.

2. Didalam hadist Rosulullah SAW.

4.

“Sesuatu yang dianggap oleh orang muslim itu baik maka Allah menganggap perkara itu baik
pula”

yang dimaksud hadist tersebut adalah semua perbuatan yang terjadi di masyarakat
tertentu apabila yang menilai adalah seorang mukmin sejati dan dinilai baik suatu perbuatan
tersebut maka perbuatan tersebut dianggap baik pula oleh Allah SWT.

3. Syariat Islam sangat memperhatikan aspek kebiaaan orang arab dalam menetapkan hokum.
semua ditetapkan demi mewujudkan kemaslahatan bagi khalayak ramai, seperti akad salam
dan mewajibkan denda kepada pembunuh yang tidak disengaja. selain itu, islam juga telah
membatalkan beberapa tradisi buruk yang membahayakan, seperti mengubur anak perempuan
dan menjauhkan kaum wanita dari harta warisan. semua ini adalah bukti nyata bahwa syariat
islam mengakui keberadaan adat istiadat yang baik.[8]

4. Syariat Islam memiliki prinsip menghilangkan segala kesusahan dan memudahkan urusan
manusia dan mewajibkan orang untuk meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi adat
kebiasaan mereka karena sama artinya dengan menjerumuskan mereka ke dalam jurang
kesulitan. Sebagaimana Firman Allah SWT:

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”(QS. Al-
Hajj(22):78)

5. Pada dasarnya, syariat islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau
tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Quran
dan As-Sunnah .Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah
menyatu dengan masyarakat.tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta
adapula yang dihapuskan.

D. SYARAT-SYARAT al-‘Urf
Sebagian besar ulama yang menggunakan Urf sebagai hujjah, memberikan syarat-
syarat tertentu dalam menggunakan al-Urf sebagai sumber hokum, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan al-Quran atau As-SUnnah. jika bertentangan, seperti kebiasaan
orang minum khamer, riba,berjudi, dan jual beli gharar (ada penipuan) dan yang lainnya
maka tidak boleh diterapkan.

2. Adat kebiasaan tersebut sudah menjadi tradisi dalam muamalat mereka, atau pada sebagian
besarnya. jika hanya dilakukan dalam tempo tertentu atau hanya beberapa individu maka hal
itu tidak dapat dijadikan sumber hokum

3. Tidak ada kesepakatan sebelumnya tentang penentangan terhadap adat tersebut. jika adat
suatu negri mendahulukan sebagai mahar dan menunda sebagainya, namun kedua calon
suami istri sepakat untuk membayarnya secara tunai lalu keduanya berselisih pendapat, maka
yang menjadi patokan adalah apa yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak, karena tidak
ada arti bagi sebuah adat kebiasaan yang sudah didahului oleh sebuah kesepakatan untuk
menentangnya.
4. Adat istiadat tersebut masih dilakukan oleh orang ketika kejadian itu berlangsung. adat
lama yang sudah ditinggalkan orang sebelum permasalahan muncul tidak dapat digunakan,
sama seperti adat yang baru lahir setelah permasalahannya muncul.[9]

Abdul-Karim Zaidan Menyebutkan beberapa persyaratan bagi Urf yang bisa dijadikan
landasan hokum yaitu:

1. Urf itu harus termasuk ‘urf yang shahih dalam arti tidak bertentangan dengan ajaran Al-
Quran dan As-Sunnah.

2. Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas
penduduk negri itu.

3. ‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan
kepada urf itu.

4. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘Urf tersebut,
sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan
yang berlaku umum, maka yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan’Urf.[10]

E. PANDANGAN ULAMA DALAM al-Urf

Berikut adalah praktek-praktek ’Urf dalam masing-masing mahzab:


1.Fiqh Hanafy
a. Dalam akad jual beli. Seperti standar harga, jual beli rumah yang meliputi bangunanya
meskipun tidak disebutkan.
b. Bolehnya jual beli buah yang masih dipohon karena ’urf.
c. Bolehnya mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut ada
kebiasaan bahwa lehan pertanian digarap oleh orang lain, maka pemiliknya bisa meminta
bagian.
d. Bolehnya mudharib mengelola harta shahibul maal dalam segala hal menjadi kebiasaan
para pedagang.
e. Menyewa rumah meskipun tidak dijelaskan tujuan penggunaaannya
2.Fiqh Maliki
a. Bolehnya jual beli barang dengan menunjukkan sample
b. Pembagian nisbah antara mudharib dan sahibul maal berdasarkan ’urf jika terjadi
perselisihan

3.Fiqh Syafi’i
a. Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib potong tangan
b. Akad sewa atas alat transportasi
c. Akad sewa atas ternak
d. Akad istishna

4.Fiqh Hanbali
a. Jual beli mu’thah
Para ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah. Ulama Malikiyah
terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah,
demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan
dasar hujjah.

Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara ’urf
shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga
menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari kaidah-kaidah pengambilan dan
penetapan hukum. ’Urf fasid dalam keadaan darurat pada lapangan muamalah tidaklah
otomatis membolehkannya. Keadaan darurat tersebut dapat ditoleransi hanya apabila benar-
benar darurat dan dalam keadaan sangat dibutuhkan.

Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau
menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim)
dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga
madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasidtidak mereka jadikan sebagai dasar
hujjah.

Abdul Wahab Khalaf berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ’Urfakan
fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip sebagai berikut:
“Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan
siatuasi (kondisi)”.

Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi beban
hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah sebagai berikut:
“Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)”.

Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai
dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan
hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena
perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.

Jumhur ulama tidak membolehkan ’Urf Khosh. Sedangkan sebagian ulama


Hanafiyyah dan Syafi’iyyah membolehkannya, dan inilah pendapat yang shohihkarena kalau
dalam sebuah negeri terdapat ‘urf tertentu maka akad dan mu’amalah yang terjadi padanya
akan mengikuti ‘urf tersebut.[11]

CONTOH PRAKTEK ‘URF

Berikut adalah akad-akad saat ini yang dapat diterima dengan ’Urf, yaitu
1. Konsep Aqilah dalam asuransi
2. Jual beli barang elektronik dengan akad garansi
3. Dalam sewa menyewa rumah. Biaya kerusakan yang kecil-kecil yang seharusnya menjadi
tanggung jawab pemilik rumah, menjadi tanggung jawab penyewa.

BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN

Karakteristik hukum Islam adalah Kulli (universal) dan waqiyah (kontekstual) karena
dalam sejarah perkembangan (penetapan)nya sangat memperhatikan tradisi, kondisi
(sosiokultural), dan tempat masyarakat sebagai objek (khitab), dan sekaligus subjek (pelaku,
pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan atau
menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan perhatiannya
terhadap tradisi, kondisi, dan kultural setempat.

Tradisi, kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang tidak dapat
dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan respon terhadap tiga
unsur tersebut merupakan keniscayaan.

Tujuan utama syari’at Islam (termasuk didalamnya aspek hukum) untuk kemaslahatan
manusia – sebagaimana di kemukakan as-Syatibi– akan teralisir dengan konsep tersebut.
Pada gilirannya syari’at (hukum) Islam dapat akrab, membumi, dan diterima di tengah-tengah
kehidupan masyarakat yang plural, tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.

Sehingga dengan metode al-’urf ini, sangat diharapkan berbagai macam problematika
kehidupan dapat dipecahkan dengan metode ushl fiqh salah satunya al-’urf, yang
mana ’urf dapat memberikan penjelasan lebih rinci tanpa melanggar al-Quran dan as-Sunnah.

B. KRITIK DAN SARAN


Didalam kehidupan nyata setiap manusia tak luput dari dosa dan yang pasti tidak ada
manusia yang sempurna dimuka bumi ini keculai Nabi Muhammad SAW. Seyogyanya kita
sebagai manusia biasa harus selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik dan ibtida’kepada
sunah Rosul.
Kami berharap kritik dan saran untuk kelompok kami yang bersifat konstruktif demi
kemajuan dimasa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Khalaf, Abdul Wahab. Ilm Ushul Fiqh. Damaskus: Dar el-Qalam, 1398 H/1978 M, cet. XII
Bisri, M. Adib. 1977. Risalah Qawa’id Fiqh. Kudus: Menara Kudus
Effendi, Satria. Prof. Dr.,M.Zein.MA.,2005 Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana, Ed.I. Cet.I
Khalil, Rasyad Hasan.Dr.,2009, Tarikh Tasyri’,Jakarta: Amzah, cet pertama.
Anhari, Masykur, Dr.2008,Ushul Fiqh,Surabaya: Penerbit Diantama, cet I.

[1] Rasyad Hasan Khalil, TARIKH TASRYI’,(Jakarta, 2009), h. 167


[2] Satria Efendi, M.Zein, Ushul Fiqh,(Jakarta, 2005), h.153
[3] Masykur Anhari, Ushul Fiqh,(Surabaya, 2008), h.110
[4] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh dalam Kaidah Hukum Islam,(Jakarta, 2003),
h.117
[5] Ibid, Tarikh Tasry’, H. 168
[6] Ibid, Ilmu Ushul Fiqih dalam kaidah hokum islam. h. 117-118
[7] Ibid, Ushul Fiqh, h. 154
[8] Ibid¸Tarikh Tasyri’. h 169
[9] Ibid, Tarikh Tasyri’.h.170
[10] Ibid,Satria effendi, M.Zein, Ushul Fiqh.h 156-157
[11] M.Adib Bisri, Risalah Qawaid Fiqh,(Kudus, 1997)h.
Diposting oleh kacang arab di 22.16

Anda mungkin juga menyukai