Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HUKUM PERIBADATAN ISLAM


“DINAMIKA HUKUM SHALAT DALAM PERJALANAN JAUH
MENURUT 4 MAZHAB”

DISUSUN OLEH :
JULKIFLI (18112110)

BASHITA KARTIKA PARADILA (1811211004)

FATMAWATI DUSU (1811211018)

MARYANI ABDUL SYUKUR(

TIRA ARIANA

PROGAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSYIYAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUPANG
2018/2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolonganmu mungkin kami tidak menyelesaikannya
dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni
Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini memuat materi tentang ‘’DINAMIKA HUKUM SHALAT DALAM
PERJALANAN JAUH MENURUT 4 MAZHAB’’, kami sangat berharap makalah ini dapat
berguna dan menambah wawasan serta pengetahuan kita.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang lain.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Kupang, 13 Oktober 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB 2
PEMBAHASAN
A. Hukum Shalat Shalat Musafir
B.
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perjalanan, merupakan salah satu kegiatan yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia,
apa lagi pada jaman modern ini. Perjalanan selalu membutuhkan tenaga dan menyita waktu kita,
entah itu banyak atau sedikit. Meski dengan berkembangnya teknologi transportasi, jarak tempuh
perjalanan tidak selalu berbanding lurus dengan waktu yang dibutuhkan, karena ada faktor lain
yang sangat menentukan, yaitu alat transportasi yang dipergunakan.
    Demi sebuah perjalanan, banyak hal dan kadang kewajiban yang dengan terpaksa meski kita
tinggalkan atau pun kita tunda. Namun ada kewajiban-kewajiban yang tidak boleh kita
tinggalkan meski dengan alasan perjalanan. Salah satunya adalah kewajiban terhadap sang
khalik, yaitu Sholat 5 waktu. Dalam Islam sudah ditentukan aturan-aturan yang sangat
mempermudah bagi para musafir. Sholat yang dilaksanakan dalam perjalanan biasa disebut
sholatus safar.
     Islam adalah agama Allah SWT yang banyak memberikan kemudahan kepada para
pemeluknya didalam melakukan berbagai ibadah dan amal sholehnya, sebagaimana firman Allah
SWT :

 ‫ي ُِري ُد ٱهَّلل ُ بِ ُك ُم ْٱليُ ْس َر َواَل ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْٱل ُع ْس َر‬ 3.....


“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.  (QS. Al Baqarah : 185)
 ‫ج‬
 ۚ Sِ ‫َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي ال ِّد‬
ٍ ‫ين ِم ْن َح َر‬
Artinya : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS.
Al Hajj : 78)
Islam juga dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat. Karenanya
shalat merupakan tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat ia disebut penghancur
agama tetapi sebalikya ketika ia melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya maka ia disebut
sebagai penegak agama. Karenanya, seorang muslim tidak boleh meninggalkan shalat walau
bagaimanapun juga tak terkecuali dalam bepergian. Seperti halnya seorang yang tidak memiliki
air untuk berwudhu maka ia diperbolehkan bertayammum, begitupula dengan sholat yang dapat
dilakukan dengan cara dijama’ (dirangkap) maupun diqoshor (dipotong).

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas rumusan masalah yang dapat diambil adalah :
Bagaimana dinamika hokum sholat dalam perjalanan jauh menurut 4 mazhab ?

C. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini, untuk mengetahui berbagai dinamika hukum shalat dalam
perjalanan jauh menurut 4 mazhab.
BAB 2
PEMBAHASAN

HUKUM SHALAT MUSAFIR

Shalat Musafir

Rukhshah (izin): ialah hukum yang merobah dari kesulitan menjadi kemudahan.

Musafir: ialah seorang Muslim yang keluar dari negerinya ke negeri lain dengan maksud
mengerjakan sesuatu yang dibolehkan dalam agama seperti bermusafir karena menuntut ilmu,
melaksanakan tugas agama seperti menunaikan Ibadat Haji, menziarahi keluarga atau mencari
rezeki yang halal untuk memenuhi keperluan keluarganya dan negeri yang dituju harus lebih dari
jarak yang telah ditentukan oleh agama. Maka pada saat itu dibolehkan baginya meng-gashar
(mengurangi) shalatnya.

Allah berfirman

ً‫صالَ ِة إِنْ ِخ ْفتُ ْم أَن يَ ْفتِنَ ُك ُم الَّ ِذينَ َكفَ ُرو ْا إِنَّ ا ْل َكافِ ِرينَ َكانُو ْا لَ ُك ْم َع ُد ّوا‬ ُ ‫اح أَن تَ ْق‬
َّ ‫ص ُرو ْا ِمنَ ال‬ ِ ‫ض َر ْبتُ ْم فِي األَ ْر‬
َ ‫ض فَلَ ْي‬
ٌ َ‫س َعلَ ْي ُك ْم ُجن‬ َ ‫َوإِ َذا‬
﴾١٠١﴿ ‫– النساء‬ ً ‫ُّمبِينا‬

”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar
shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.  Sesungguhnya orang-orang kafir itu
adalah musuh yang nyata bagimu.” an-Nisa’ 101.

‫ إِنْ ِخ ْفتُ ْم أَنْ َي ْفتِنَ ُك ُم‬،‫صاَل ِة‬


َّ ‫ص ُروا ِمنَ ال‬ ُ ‫اح أَنْ تَ ْق‬
ٌ َ‫س َعلَ ْي ُك ْم ُجن‬َ ‫ { لَ ْي‬:‫ب‬ ِ ‫عَنْ َي ْعلَى ْب ِن أُ َميَّةَ َر‬
ِ ‫ قُ ْلتُ لِ ُع َم َر ْب ِن ا ْل َخطَّا‬:‫ قَا َل‬، َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنه‬
ٌ‫ص َدقَة‬ َ :‫ فَقَا َل‬،‫سلَّ َم عَنْ َذلِ َك‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫سو َل هللا‬ ُ ‫سأ َ ْلتُ َر‬
َ َ‫ ف‬،ُ‫ َع ِجبْتُ ِم َّما َع ِجبْتَ ِم ْنه‬:‫ فَقَا َل‬،‫اس‬ ُ َّ‫الَّ ِذينَ َكفَ ُروا } فَقَ ْد أَ ِمنَ الن‬
)‫ص َدقَتَهُ (رواه مسلم‬ َ ‫ فَا ْقبَلُوا‬،‫ق هللاُ ِب َها َعلَ ْي ُك ْم‬ َ ‫ص َّد‬َ َ‫ت‬

Dari Y’ala bin Umayyah ra bahwasanya ia bertanya kepada Umar bin Khathab ra  tentang ayat
ini seraya berkata: “Jika kamu takut diserang orang-orang kafir, padahal manusia telah aman”.
Umar ra menjawab: “Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada
Rasulullah saw tentang hal itu dan beliau menjawab: (Qashar itu) adalah sedekah dari Allah
kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut.’” (HR. Muslim).
Rukhshah (izin) Orang Musafir
 Diizinkan bagi orang musafir untuk mengurangi (qashar) shalat-shalat wajib dari empat
raka’at mejadi dua raka’at yaitu shalat Dhuhur, shalat Ashar dan shalat Isya’
 Diizinkan taqdim (mendahulukan) shalat yaitu taqdim shalat Ashar diwaktu Dhuhur dan
taqdim shalat Isya’ diwaktu Maghrib
 Diizinkan takhir (menunda) shalat yaitu menunda (takhir) sholat Dhuhur diwaktu Ashar
dan menunda (takhir) sholat Maghrib diwaktu Isya’
 Diizinkan baginya tidak melakukan shalat Jum’at atau tidak wajib baginya sholat Jum’at
jika ia keluar dari negerinya sebelum sholat fajar di hari Jum’at dan harus
menggantikannya dengan shalat Dhuhur dua raka’at (diqasarkan).
 Diizinkan baginya untuk berbuka puasa dibulan Ramadhan yaitu bagi musafir diizinkan
baginya untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan wajib baginya meng-qadha
(membayar) puasanya pada bulan-bulan yang lain tanpa membayar fidyah.
 
Kapan Mulai dan Selesai Shalat Musafir
 Permualaan shalat musafir dimulai dari jika ia keluar sebagai musafir dan sudah melewati
perbatasan negerinya.
 Selesainya shalat musafir dimulai dari jika ia kembali dari perjalananya dan sudah
memasuki perbatasan negerinya

Semua ini dilakukan dengan niat beriqamah (menetap) selama 4 hari 4 malam bagi yang
mempunyai keperluan biasa tidak termasuk hari masuk dan hari keluarnya musafir. Bagi yang
menunggu suatu penyelesaian, yaitu jika musafir tinggal di sebuah daerah untuk menunggu
selesainya urusan yang diperkirakan (selesai) sebelum empat hari (namun ternyata perkiraan itu
meleset dan ternyata lebih dari empat hari) maka pendapat yang shahih menurut madzhab Al-
Imam Asy-Syafi’i adalah boleh mengqashar shalatnya sampai delapan belas hari.

َ‫ فَأَقَا َم بِ َم َّكة‬، ‫ش ِهدْتُ َم َعهُ ا ْلفَ ْت َح‬


َ ‫ َو‬، ‫سلَّ َم‬َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ َغز َْوتُ َم َع َر‬: ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهَ قَا َل‬
َ ِ ‫سو ِل هَّللا‬ ِ ‫ص ْين َر‬
َ ‫عَنْ ِع ْم َران ْب ِن ُح‬
‫سف ٌر (رواه أبو داود و البيهقي وحسنه‬ ْ َ َ َ
َ ‫صلُّوا أ ْربَ ًعا فإِنَّا ق ْو ٌم‬ َ َ ُ‫ش َرةَ لَ ْيلَةً اَل ي‬
َ ‫ يَا أ ْه َل ا ْلبَلَ ِد‬: ‫ َويَقُو ُل‬، ‫صلِّي إِاَّل َر ْك َعتَ ْي ِن‬ ْ ‫ثَ َمانِي َع‬
)‫الترمذي‬

Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Imran bin al-Hushain ra ia berkata ”Kami
berperang bersama Rasulallah saw dan menyaksikan fathu Makkah (penaklukan kota Makkah)
dan kami duduk di Makkah 18 hari, kami tidak shalat keculai dua raka’at (diqashar). Rasulallah
saw bersabda ”Wahai penduduk Makkah beshalatlah kalian 4 raka’at sesungguhnya kami orang
orang yang bermusafir”. (HR Abu Dawud dan Al-Baihaqi, dan At-Tirmidzi mejadikan hadits ini
hasan)

Syarat mengurangi (meng-qashar) shalat

1- Negeri yang dituju harus ditentukan. Hal ini agar bisa diketahui apakah boleh mengqashar
shalatnya atau tidak.

2- Maksud perjalanannya harus mubah bukan untuk bermaksiat, karena rukhshah (izin) untuk
mengqashar shalat dibolehkan bagi musafir yang bukan bertujuan untuk maksiat.

Allah berfirman

﴾٣﴿ ‫– المائدة‬ ‫ف ِإل ْث ٍم فَإِنَّ هَّللا َ َغفُو ٌر َّر ِحي ٌم‬ َ ‫اضطُ َّر فِي َم ْخ َم‬
ٍ ِ‫ص ٍة َغ ْي َر ُمت ََجان‬ ْ ‫فَ َم ِن‬
 
”Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” al-Maidah,3

3- Negeri yang dituju harus lebih dari jarak yang telah ditentukan oleh agama. Ada perselisihan
jarak menurut jumhur ulama. Menurut imam Syafie Jarak negeri yang dituju harus 4 barid (80.64
Km), yakni harus lebih dari 80.64 km.

)‫ص َرا ِن َويُ ْف ِط َرا ِن فِي أَ ْربَ َع ِة بُ ُر ٍد فَ َما فَ ْوقَ َها (البيهقي بإسناد صحيح‬
ُ ‫س َكانَا َي ْق‬
ٍ ‫عن ابْنَ ُع َم َر َوابْنَ َعبَّا‬

Sesuai dengan riwayat bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra bershalat dua raka’at dan tidak
berpuasa dalam bepergian lebih dari 4 barid” (HR Baihaqi dengan isnad shahih).

َ‫ َولَ ِكنْ إِلَى ُج َّدة‬, ،َ‫ ال‬:‫ إِلَى ِمنًى ؟ قَا َل‬: ُ‫ قُ ْلت‬،َ‫ ال‬:‫صالةَ إِلَى ع ََرفَةَ ؟ قَا َل‬
َّ ‫ص ُر ال‬ُ ‫ أَ ْق‬: ُ‫ فَقُ ْلت‬, ‫س‬ٍ ‫سأ َ ْلتُ ابْنَ َعبَّا‬
َ : ‫ قَا َل‬, ‫عَنْ َعطَا ٍء‬
)‫ف (الشافعي و البيهقي بإسناد صحيح‬ ِ ِ‫سفَان َوإِلَى الطَّائ‬ ْ ‫َوإِلَى َع‬

Begitu pula menurut riwayat Atha’, dia bertanya kepada Ibnu Abbas ”Apakah aku menqashar
shalatku jika aku bepergian ke Arafah?” ia menjawab ”Tidak”. Kemudian Atha’ bertanya ”Kalau
ke Mina?”, ia menjawab ”Tidak. Tapi ke jeddah, ke Asfan dan ke Taif (boleh mengqashar)” (HR
As-Syafie dan al-Baihaqi dengan sanad yang shahih).

Dari hadist ini kita bisa mengambil istimbath bahwa jarak antara Makkah ke Thaif atau ke
jeddah atau ke Asfan adalah 4 barid (lebih dari 80.64 km) .

4- Shalat yang diqashar (dikurangi) harus shalat shalat yang bilangan raka’atnya empat raka’at
yaitu shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’, sesuai dengan ijma ulama

5- Harus melakukan niat mengurangi (mengqashar) shalatnya sewaktu takbiratul ihram, karena
asal shalat yang diqashar adalah empat raka’at, maka jika ingin diqashar menjadi dua raka’at
harus diniati sebelum takbiratul ihram.

6- Tidak boleh bermakmum dibelakang orang yang shalatnya sempurna

‫سنَّةُ (رواه‬ ٍ ِ‫صلِّي َر ْك َعتَ ْي ِن إ َذا ا ْنفَ َر َد َوأَ ْربَ ًعا إ َذا ا ْئتَ َّم ِب ُمق‬
ُّ ‫يم ؟ فَقَا َل تِ ْلكَ ال‬ َ ‫ َما َبا ُل ا ْل ُم‬: ‫سئِ َل‬
َ ُ‫سافِ ِر ي‬ ُ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْن َهما‬
ِ ‫س َر‬
ٍ ‫عَنْ ا ْب ِن َعبَّا‬
)‫مسلم‬

Dari Ibnu Abbas ra, ia ditanya: kenapa musafir bershalat dua raka’at jika sendiri dan empat
raka’at jika berma’mum kepada yang bermukim? Ia menjawab ”itu adalah sunnah” (HR
Muslim). Yang dimaksud dengan sunnah adalah sunah Nabi saw.

Keterangan (Ta’liq):

Niat qashar (mengurangi) shalat ialah

‫ص ًرا هللِ تَ َعالَى هللاُ أَ ْكبَ ْر‬


ْ َ‫ض الظُ ْه ِر َر ْك َعتَ ْي ِن ق‬ َ ُ‫نَ َويْتُ أ‬
َ ‫صلِّي فَ ْر‬
Artinya: ”Aku niat shalat Dhuhur dua raka’t dengan mengqasharnya karena Allah Ta’ala Allahu
Akbar”

Menjam’a (Menggabung) Shalat

Bagi musafir boleh mejama’ (menggabung) antara dua shalat yaitu menggabungkan antara shalat
dhuhur dengan ashar atau maghrib dengan isya’ dan dikerjakan dalam waktu salah satunya yaitu
boleh dikerjakan dalam waktu dhuhur atau dalam waktu ashar begitu pula dalam waktu maghrib
atau dalam waktu isya.

Jadi seorang musafir boleh men-jama’ (menggabung) shalatnya baik jama’ taqdim atau jama’
ta’khir.

َّ ‫ب َوا ْل ِعشَا ِء إِ َذا َج َّد بِ ِه ال‬


‫س ْي ُر (رواه‬ ِ ‫سلَّ َم يَ ْج َم ُع بَيْنَ ا ْل َم ْغ ِر‬ َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْن ُه َما قَا َل َكانَ النَّبِ ُّي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ِ ‫س َر‬
ٍ ‫عَنْ ا ْب ِن َعبَّا‬
)‫الشيخان‬

Sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas ra ia berkata ”sesungguhnya Rasulallah saw menjama’
(menggabung) antara maghrib dan isya’ jika dalam perjalanan (HR Muttafaqun ’alih).

‫ص ِر ثُ َّم نَزَ َل‬ ُّ ‫س أَ َّخ َر ال‬


ِ ‫ظ ْه َر إِلَى َو ْق‬
ْ ‫ت ا ْل َع‬ َّ ‫ارت ََح َل قَ ْب َل أَنْ تَ ِزي َغ ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ْ ‫سلَّ َم إِ َذا‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ِ َ‫عَنْ أَن‬
ُ ‫س ْب ِن َمالِ ٍك قَا َل َكانَ َر‬
)‫ظ ْه َر ثُ َّم َر ِك َب (رواه الشيخان‬ ُّ ‫صلَّى ال‬ َ ‫س قَ ْب َل أَنْ يَ ْرتَ ِح َل‬
ُ ‫ش ْم‬ َّ ‫فَ َج َم َع بَ ْينَ ُه َما فَإ ِ َذا َزا َغتْ ال‬

Begitu pula hadits dari Anas bin Malik ra.: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sebelum matahari
condong ke barat, beliau mengakhirkan sholat dhuhur di waktu ashar, lalu beliau berhenti dan
menjama’ (menggabung) keduanya. Apabila beliau berangkat setelah masuk waktu sholat maka
beliau sholat dulu lalu memulai perjalanan. (HR Bukhari Muslim).

Syarat Mendahulukan (Men-taqdim) Shalat


1. Shalat yang pertama harus didahulukan baru setelah itu shalat yang kedua (shalat Dhuhur
lebih dahulu kemudian men-taqdim shalat Ashar, begitu pula shalat Maghrib lebih dahulu
kemudian men-taqdim shalat isya’)
2. Harus niat menggabung (jama’) antara shalat pertama dan kedua dan niat dilakukan
waktu melakukan shalat pertama. (Lihat niat dibawah)
3.  Kedua shalat harus dilakukan secara berturut-turut (tertib) yaitu tidak boleh ditunda
terlalu lama atau jangan diselangi dengan waktu yang panjang. Karena kedua shalat
dianggap satu shalat. Rasulallah saw sewaktu menjama’ kedua shalat beliau lakukan secara
berturut-turut dan tidak melakukan shalat sunnah antara kedua shalat
4. Harus masih dalam keadaan musafir sewaktu melakukan shalat kedua.
Keterangan:

Niat mendahulukan (men-takdim) shalat, yaitu mentakdim shalat Ashar dengan niat dijama’ atau
digabung dengan shalat Dzuhur di waktu Dhuhur atau mentakdim shalat Isya’ dengan niat
dijama’ atau digabung dengan shalat Maghrib di waktu Maghrib.
ْ ‫ض الظُ ْه ِر َر ْك ًعتَ ْي ِن َج ْم ًعا بِال َع‬
ْ َ‫ص ِر تَ ْق ِد ْي ًما َوق‬
‫ص ًرا هللِ تَ َعالَى‬ َ ُ‫نَ َويْتُ أ‬
َ ‫صلِّي فَ ْر‬

Artinya: “Saya berniat sholat dhuhur dua raka’at jama’ taqdim dengan ashar dan diqashar karena
Allah ”

 
Syarat Menunda (Men-takhir) Shalat
1. Niat menunda (men-takhir) shalat pertama ke dalam shalat kedua, misalnya niat menunda
shalat Dhuhur ke waktu shalat Ashar (masuknya waktu sholat dhuhur dalam keadaan tidak
shalat), begitu pula niat menunda shalat Maghrib ke waktu shalat Isya’ (masuknya waktu
shalat Maghrib dalam keadaan tidak shalat)
2. Harus masih dalam keadaan musafir saat selesai sholat kedua
Keterangan:

Niat menunda (men-takhir) shalat, yaitu menunda (mentakhir) shalat Dzuhur dengan niat dijama’
atau digabung dengan shalat Ashar di waktu Ashar atau menunda (mentakhir) shalat Maghrib
dengan niat dijama’ atau digabung dengan shalat Isya’ di waktu Isya’

ْ ‫ َر ْك ًعتَ ْي ِن َج ْم ًعا بِال َع‬  ‫ض الظُ ْه ِر‬


ْ َ‫ص ِر تَأ ِخ ْي ًرا َوق‬
‫ص ًرا هللِ تَ َعالَى‬ َ ُ‫نَ َويْتُ أ‬
َ ‫صلِّي فَ ْر‬

Artinya: “Saya berniat sholat dhuhur dua raka’at jama’ takhir dengan ashar dan diqashar karena
Allah”

A. MAZHAB MALIKI

Mereka berpendapat bahwa sebab-sebab shalat Jama' itu sebagai berikut:


1. Safar (melakukan perjalanan)
2. Sakit
3. Hujan
4. Tanah berlumpur (becek) serta gelap pada akhir bulan.
5. Ada di Arafah atau di Muzdalifah bagi yang menunaikan ibadah haji.

Sebab pertam adalah “safar”. Yang dimaksud adalah semua perjalanan, mencapai jarak qashar
ataupun tidak; dan disyaratkan perjalanan itu tidak haraam dan tidak pula makruh. Maka bagi
orang yang melakukan safar yang hukumnya mubah, boleh menjamak antara shalat dzuhur dan
ashar dengan jamak taqdim dengan dua syarat:

a. Matahari telah tergelincir ket6ika sesorang musafir berhenti I suatu tempat untuk istirahat.
b. Ia berniat untuk pergi sebelum waktu ashar masuk, dan akan berhenti untuk beristirahat lagi
setelah terbenam matahari.

Jika ia berniat berhenti sebelum matahari menguning, maka sebelum pergi hendaklah
melaksanakan shalat Zhuhur terlebih dahulu dan wajib mengakhirkan shalat Ashar sehingga ia
berhenti, karena berhentinya itu tepat pada waktunya yang iklntiyari (luas), maka tidak ada
alasan baginya untuk menjama' taqdim shalat tersebut. Jika ia jama' toqdim dengan shalat
Zhuhur, maka shalat sah, akan tetapi ia berdosa, dan disunnatkan baginya untuk mengulang
shalat Ashar itu pada waktunya yang ikhtiyari tadi setelah ia berhenti. Sedang apabila ia berniat
berhenti setelah matahari menguning (sebelum Maghrib), maka hendaklah ia melaksanakan
shalat Zhuhurnya sebelum pergi, dan mengenai shalat Asharnya, boleh memilih, boleh di-
taqdim, dan boleh juga di-ta'khir hingga ia berhenti, karena shalat Ashar itu - bagaimanapun juga
- masih dilaksanakan pada waktu dharuri. Sebab bila Ashar itu di-taqdim tetap dilaksanakan pada
waktu dharuri yang didahulukan karena alasan safar, dan bila di-ta'khir juga tetap dilaksanakan
pada waktu dharuri yang disyari'atkan.

Bila waktu Zhuhur telah masuk - yang ditandai dengan tergelincirnya matahari - sedangkan ia
dalam perjalanan, maka bila ia berniat untuk berhenti ketika matahari menguning atau sebelum
menguning, ia boleh men-ta'khir Zhtihur sehingga menjama'nya dengan Ashar setelah berhenti.
Dan jika berniat untuk berhenti setelah matahari terbenam, maka ia tidak boleh men-ta'khir
Ashar hingga berhenti, karena yang demikian itu dapat menyebabkan kehiarnya kedua shalat
tersebut dari waktunya. Akan tetapi antara kedua shalat itu hendaklah dijama' secara simbolis,
yaitu dengan melaksanakan shalat Zhuhur pada akhir waktunya yang ikhtiyari dan melaksanakan
Ashar pada awal waktunya yang ikhtiyari. Sedangkan shalat Maghrib dan Isya' hukumnya sama
dengan Zhuhur dan Ashar dalam semua rincian ini.

Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa awal waktu shalat Maghrib, yaitu terbenamnya matahari,
sama dengan kedudukan tergelincirnya matahari dibandingkan dengan shalat Zhuhur; dan
sepertiga malam pertama sama kedudukannya dengan menguningnya matahari setelah Ashar.
Sedangkan terbitnya fajar sama dengan terbenamnya matahari seperti yang telah dikemukakan
tadi.

Apabila ia memasuki waktu Maghrib sedang ia dalam keadaan berhenti, maka apabila ia berniat
berangkat sebelum memasuki waktu Isya' dan berherti sebelum terbit fajar, hendaklah ia men-
jama' taqdim shalat Isya' dengan Maghribnya sebelum berangkat; dan apabila ia berniat berhenti
sebelum sepertiga malam pertama, maka hendaklah ia men-ta'khir lsya'nya sehingga berhenti.
Sedang apabila ia berniat berhenti setelah sepertiga malam pertama maka hendaklah ia
melaksanakan shalat Maghribnya sebelum berangkat, dan mengenai shalat Isya'nya ia boleh
memilih. Berdasarkan hal ini Anda dapat mengqiyaskan (mengambil perbandingan).

Hukum shalat jama' bagi seorang musafir adalah boleh, dalam artian khilaf al-Aula (menyalahi
ketentuan yang lebih utama). Maka yang paling utama adalah meninggalkan jama'. Shalat jama'
itu hanya boleh dilaksanakan bila ia melakukan perjalanan darat. Sedang untuk perjalanan laut,
maka tidak boleh menjama' shalat, karena dispensasi (kebolehan) jama' itu hanya berlaku unttik
perjalanan darat, tidak untuk perjalanan lainnya.

Sebab kedua, adalah sakit. bagi orang sakit yang susah untuk berdiri pada setiap kali shalat atau
ia susah untuk wudhu', seperti orang yang sakit perut, maka ia boleh menjama' antara Zhuhur dan
Ashar, dan antara Maghrib dan Isya' secara simbolis, misalnya dengan cara melaksanakan
Zhuhur pada akhir waktunya yang ikhtiyari dan melaksanakan Ashar pada awal waktunya yang
ikhtiyari, serta melaksanakan shalat Maghrib sesaat sebelum hilangnya mega (merah) dan
melaksanakan shalat Isya' pada awal hilangnya mega (merah). Ini bukanlah jama' hakiki, karena
masing-masing shalat itu tetap dilaksanakan pada waktunya. Yang demikian itu hulnrmnya
boleh, tidak makruh. Dan bagi orang yang melakukannya itu memperoleh keutamaan awal
waktu. Berbeda halnya dengan orang yang tidak ada uzdur, sekalipun ia boleh
melaksanakan shalat jama' secara simbolis, akan tetapi ia telah kehilangan fadilah (keutamaan)
awal waktu.

Sedangkan orang sehat yang khawatir akan mengalami pusing kepala yang dapat
menghalanginya melaksanakan shalat sesuai dengan cara yang semestinya, atau khawatir
pingsan yang dapat menghalanginya melaksanakan shafat ketika memasuki waktu shalat yang
kedua, seperti (waktu) Ashar bagi Zhuhur, dan (waktu) Isya' bagi Maghrib, maka dibolehkan
baginya men-taqdim shalat yang kedua bersama shalat yang pertama. Jika ia men-taqdim shalat
tersebut sementara apa yang dikhawatirkannya itu tidak terjadi, maka sebaiknya ia mengulang
Pada waktu itu juga, sekalipun pada waktu dharuri.

Sebab ketiga dan keempat, yaitu hujan, berlumpur dan gelap. Apabila ada hujan lebat yang
sampai menyebabkan seseorang menutup kepalanya, atau menyebabkan tanah sangat berlumpur
yang sampai menyebabkan seseorang melepas sepatunya disertai gelap, maka dibolehkan
menjama' taq~lim lsya' dengan Maghrib untuk tetap menjaga (pelaksanaan) shalat lsya' dengan
berjama'ah tanpa ada kesulitan. Maka ia berangkat ke masjid pada waktu Maghrib dan
melaksanakan kedua shalat itu (Maghrib dan Isya') sekaligus. Sholat jama' semacam ini boleh
dalam arti khilaf al-Aula (menyalahi ketentuan yang lebih utama). Yang demikian itu khusus
dilaksanakan di dalam masjid; maka tidak boleh dilaksanakan di rumah-rumah.

Mengenai sifat shalat jama' ini, hendaknya dikumandangkan adzan Maghrib terlebih dahulu
dengan suara keras sebagaimana biasanya, kemudian disunnatkan menunda shalat Maghrib itu
setelah adzan sebatas lama kurang lebih melaksanakan tiga rakaat, baru kemudian melaksanakan
shalat Maghrib. Lalu disunnatkan beradzan untuk shalat Isya' di masjid, bukan di atas menara,
agar tidak orang-orang tidak menduga telah masuk waktu Isya' yang biasa. Adzan itu hendaklah
dikumandangkan dengan suara rendah, kemudian shalat Isya' itu dilaksanakan. Antara adzan dan
Isya' jangan sampai dipisah dengan shalat nafilah; demikian juga dimakruhkan melalcsanakan
shalat nafilah antara setiap dua shalat yang dijama'. Bila dilaksanakan (shalat nafilah), itu tidak
berarti menghalangi dilaksanakannya nafilah setelah Isya' yang dijama' karena hujan; dan
hendaklah ia menunda shalat Witirnya sehingga mega merah hilang, karena shalat Witir itu tidak
sah dilaksanakan kecuali setelah hilangnya mega merah. Bagi orang yang shalat sendirian tidak
boleh melaksanakan shalat jama' di masjid kecuali ia imam tetap yang mempunyai rumah
tempat pulang, maka ia boleh menjama' sendirian dengan niat jama' sekaligus imamah, karena
shalat jama' itu (baginya) berfungsi sebagai shalat jama'ah. Bagi orang yang ber-i'tikaf di masjid
boleh menjama' mengikuti orang yang menjama' di masjid tersebut, bila ada.

Apabila hujan reda setelah memulai shalat pertama, maka ia (tetap) boleh menjama', lain halnya
bila hujan itu reda sebelum memulai shalat.

Sebab kelima, ada di Arafat. Bagi yang menunaikan ibadah haji disunnatkan menjama' antara
shalat Zhuhur dan Ashar dengan jama' taqdim di Arafat, baik ia penduduk Arafat atau salah
seorang penduduk dari daerah tempat ibadah haji lainnya, seperti Mina dan Muzdalifah, atau
salah seorang Penduduk daerah jauh. Dan disunnatkan bagi yang bukan penduduk Arafat untuk
mengqashar, sekalipun jaraknya tidak mencapai jarak qashar.

Sebab keenam, orang yang menunaikan ibadah haji itu ada di Muzdalifah. Bagi orang yang
menunaikan ibadah haji, setelah bertolak dari Arafat disunnatkan men-ta'khir shalat Maghribnya
hingga ia sampai di Muzdalifah, maka shalat Maghrib itu di-jama' ta'khir dengan shalat Isya'nya.
Shalat jama’ ini hanya disunnatkan bagi seseorang yang wuquf di Arafat bersama imam. Jika
tidak, maka hendaklah ia melaksanakan masing-masing shalat itu pada waktunya. Dan
disunnakan mengqashar shalat Isya' bagi selain penddatang Muzdalifah , karena qaidah (yang
mereka pakai) bahwa menjama' itu hukumnya sunnat bagi setiap jama'ah haji, sedangkan qashar
adalah khusus bagi selain penduduk yang tinggal di tempat itu, yakni Arafat dan Muzdalifah.

B. MAZHAB SYAFI’I

Mereka berpendapat bahwa seorang musafir yang melakukan perjalanan qashar yang telah
dikemukakan terdahulu dengan memenuhi syarat-syarat safar dibolehkan men-jama' taqdim atau
ta'khir antara dua shalat yang tetah disebutkan tadi; dan dibolehkan men-jama' taqdim saja
disebabkan hujan. Dalam jama' taqdim terdapat enam syarat, yaitu:

1. Tertib, yaitu dengan memulai shalat yang mempunyai wakrii tersebut. Bila musafir itu berada
pada waktu Zhuhur dan hendak melaksanakan shalat Ashar bersama Zhuhur pada waktu Zhuhur,
maka ia harus memulai dengan shalat Zhuhur. Jika dibalik, maka shalat Zhuhur itu sah, sehagai
yang mempunyai waktu; sedangkan shalat yang sebelum Zhuhur (yaitu Asharf tidak sah sebagai
shalat fardhu dan tidak pula sebagai nafilal, (yaitui) bila ia tidak mempunyai tanggungan shalat
fardhu (Ashar) yang sama. Bila mempunyai tanggungan itu, maka shalat tersebut berfungsi
sebagat. penggantinya. Jika ia lakukan hal tersebut karena lupa atau tidak tahu, maka shalat
tersebut sah sebagai nafilah.

2. Niat shalat jama' itu dilakukan dalam shalat pertama, yaitu dengan berniat dalam hatinya
bahwa ia akan melaksanakan shalat Ashar setelah shalat Zhuhur. Niat tersebut disyaratkan agar
dilakukan dalam shalat pertama sekalipun bersamaan dengan salamnya. Maka niat itu tidak
cukup dilakukan sebelum takbiratul ihram (shalat kedua) dan tidak pula setelah salam (shalat
pertama).

3. Menyegerakan antara kedua shalat tersebut, dalam arti jarak antara keduanya tidak boleh lama
sebatas cukup melaksanakan dua raka'at yang sesederhana mungkin. Maka ia tidak boleh
melaksanakan shalat sunnat rawatib di antara kedua shalat tersebut. Antara kedua shalat itu boleh
dipisah dengan adzan, iqamah dan bersuci. Jika ia melaksanakan shalat Zhuhur dengan
tayamum, kemudian hendak menjama' shalat Ashar hersamanya, maka tidak batal memisah
(kedua shalat itu) dengan tayamum yang kedua kalinya untuk shalat Ashar, karena menjama'
antara dua shalat tidak boleh dengan satu tayamum, sebagaimana terdahulu.

4. Perjalanan tersebut tetap berlangsung hingga ia memulai shalat kedua yang ditandai dengan
takbiratul ihram, sekalipun setelah itu perjalanan tersebut terputus ketika sedang melaksanakan
shalat. Sedang apabila perjalanannya itu terputus sebelum memulai shalat, maka jama'nya itu
tidak sah karena hilangnya sebab.

5. Waktu shalat yang pertama diyakini masih ada hingga ia melaksanakan shalat yang kedua.

6. Shalat yang pertama diduga kuat sah. Jika shalat yang pertama adalah shalat Jum'at yang
didirikan di suatu tempat yang terdapat banyak masjid tanpa ada suatu kebutuhan sementara ia
ragu-ragu apakah shalat Jum'at yang ia laksanakan itu lebih dulu selesai atau bersamaan? maka
shalat Ashar itu tidak sah dijama' taqdim dengan shalat Jum'at yang lebih utama adalah
meninggalkan Jama', karena tentang kebolehannya masih diperselisihkan dalam pendapat
berbagai madzhab. Akan tetapi shalat jama' itu hukumnya sunnat apabila seorang yang
melakukan ibadah haji itu melakukan perjalanan, sedang ia tinggal di Arafat atau di Muzdalifah.
Yang afdhal bagi yang pertama (yang tinggal di Arafat) adalah men-jama' taqdim Ashar dengan
Zhuhur. Sedangkan bagi yang kedua (yang tinggal di Muzdalifah) adalah men-jama' ta'kmir
Maghrib dengan Isya', karena para madzhab sepakat dengan bolehnya menjama' keduanya.

Dan ketahuilah bahwa jama' itu terkadang juga hukumnya wajib dan terkadang mandub. Apabila
waktu shalat yang pertama itu tidak cukup untuk melakukan thaharah (bersuci) dan shalat, maka
ia wajib men-jama' ta'khir. Dan disunnatkan menjama' bagi yang menunaikan haji yang
bepergian seperti yang telah dijelaskan terdahulu, sebagaimana juga disunnatkan apabila dengan
jama' tersebut dapat menyebabkan sempurnanya shalat, misalnya ia berjama'ah ketika menjama'
sebagai pengganti shalatnya yang sendirian ketika ia tidak menjama'.

Untuk menjama' ta'khir shalat ketika bepergian disyaratkan dua hal:

1. Berniat ta'khir pada waktu shalat yang pertama selama sisa waktunya itu masih cukup untuk
melaksanakan shalat dengan sempurna atau qashar, Bila ia tidak berniat ta'khir, atau berniat
ta'khir akan tetapi sisa waktunya tidak cukup untuk melaksanakan shalat, berarti ia telah berdosa.
Dan shalat itu menjadi shalat qadha' bila ia tidak sempat melaksanakan satu raka'at dari shalat
tersebut pada waktunya. Bila sempat, berarti shalat itu dihukumi sebagai shalat ada' (shalat tunai)
namun hukumnya tetap haram.

2. Perjalanan itu tetap berlangsung hingga kedua shalat tersebut sempur. Jika sebelum itu ia
mukim, maka shalat yang diniatkan ta'khir itu memjadi shalat qadha'. Sedangkan menertibkan
dan menyegerakan antara shalat itu - dalam jama' ta'khir - hukumnya sunnat, bukan syarat.

Bila salah satu dari syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, maka tidak boleh bagi yang mukim
menjama' shalat. Gelap gulita, angin, takut, tanah berlumpur (becek) dan sakit bukanlah
termasuk sebab-sebab yang membolehkan jama bagi seorang yang mukim, berdasarkan pendapat
yang masyhur; sedang pendapat yang rajih membolehkan jama' taqdim dan ta'khir dengan alasan
sakit.
C. MAZHAB HANAFI

Mereka berpendapat bahwa menjama' antara dua shalat dalam satu waktu tidak boleh, baik dalam
safar ataupun pada saat hadhar (ada di kampung halaman) dengan alasan apapun, kecuali dalam
dua hal, yaitu:
Pertama: Boleh men-jama' taqdim Zhuhur dan Ashar pada waktu Zhuhur dengan empat syarat:
1. Shalat jama' itu dilakukan pada hari Arafah (bagi jama'ah haji).
2. Orang tersebut sedang dalam ihram haji.
3. Berjama'ah di belakang imam kaum muslimin atau wakilnya.
4. Shalat Zhuhur yang ia laksanakan itu sah. Bila ternyata shalat Zhuhur itu ketahuan batal, maka
ia wajib mengulangnya, dan dalam hal ini ia tidak boleh menjama' shalat Zhuhur itu dengan
Ashar, melainkan ia wajib melaksanakan Ashar itu bila waktunya telah masuk.

Kedua, Boleh men-jama' ta'khur Maghrib dan Isya' pada waktu Isya' dengan dua syarat:
1. Orang tersebut ada di Muzdalifah.
2. Ia sedang dalam ihram haji.
Kedua shalat itu dijama' tanpa diadzankan kecuali sekali, sekalipun masing-masing dari kedua
shalat tersebut menggunakan iqamah tersendiri. Abdullah bin Mas'ud berkata:

“Demi Dzat Yang tiada Tuhan selain Dia, Rasulullah SAW belum pernah melaksanakan shalat
kecuali pada waktunya, selain dua shalat, yaitu jama' antara Zhuhur dan Ashar di Arafat dan
jama' antara Maghrib dan Isya' di Muzdilifah.” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim).
Pendapat Hanabilah

Mereka berpendapat bahwa menjama' taqdim atau ta'khir antara 2huhur dan Ashar, atau antara
Maghrib dan Isya' itu hukumnya mubah (boleh), sedangkan meninggalkan jama' hukumnya
afdhal. Men-jama' taqdim antara 2huhur dan Ashar hanya sunnat dilaksanakan di Arafat. Dan
men-jama' ta'khir antara Maghrib dan Isya' hanya sunnat dilaksanakan di Muzdalifah.

Menjama' shalat itu boleh dengan syarat ia musafir yang perjalanannya mencapai jarak qashar,
atau ia sakit di mana akan menyusahkannya dengan tidak menjama, atau ia seorang wanita yang
sedang menyusui atau sedang mengalami darah istihadhah, maka ia boleh menjama', untuk
menghndari kesulitan dalam bersuci pada setiap kali akan melaksanakan shalat. Yang semisal
dengan wanita udzur yang sedang mengalami istihadhah adalah orang yang terkena penyakit
beser (sering kencing). Begitu pula jama' itu boleh bagi yang tidak mampu bersuci dengan air
dan tayamum pada setiap kali shalat. Dan boleh juga dilakukan oleh seseorang yang tidak
mampu mengetahui waktu shalat, seperti orang buta dan orang yang tinggal di bawah tanah.
Demikian juga dibolehkan menjama' bagi orang yang mengkhawatirkan (keselamatan dirinya,
hartanya atau kehormatannya; serta bagi orang yang mengkhawatirkan suatu bahaya yang dapat
mengancam dirinya dalam hidupnya dengan meninggalkan jama' tersebut. Juga bagi para pekerja
yang tidak mungkin untuk meninggalkan pekerjaannya diberi keluasan (keringanan)
untuk melakukan shalat jama'.

Semua hal tadi membolehkan jama' antara Zhuhur dan 'Ashar atau antara Maghrib dan Isya'
dengan jama' taqdim dan ta'khir. Dan boleh menjama' antara Maghrib dan Isya' secara khusus
karena salju, dingin, air membeku, tanah berlumpur, angin kencang yang dingin dan hujen yang
dapat membasahi pakaian dan dapat menimbulkan kesusahan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan
antara shalat di rumah atau di masjid, sekalipun jalannya beratap. Yang afdhal adalah hendaknya
ia memilih yang lebih mudah dalam menjama' antara taqdim'' atau ta'khir. Jika antara keduanya
itu seimbang, maka yang afdhal adalah men-jama' ta'khir. Dan untuk sahnya jama' taqdim dan
ta'khir itu disyaratkan hendaklah ia tetap menjaga tertibnya shalat antara shalat-shalat tersebut.
Dalam hal ini shalat jama' tidaklah gugur karena lupa, sebagaimana ia gugur ketika mengqadha
shalat yang tertinggal, yang akan dijelaskan nanti.

Untuk sahnya jama' taqdim itu sendiri disyaratkan empat hal:

1. Berniat jama' ketika takbiratul ihram dalam shalat yang pertama.


2. Antara kedua shalat itu tidak boleh terpisah kecuali sebatas iqamah dan benuudhu sekedarnya.
Jika melaksanakan shalat sunnat rawatib di antara kedua shalat tersebut, maka jama' itu tidak sah
3. Ada udzur yang membolehkan jama' ketika memulai kedua shalat tersebut ketika
mengucapkan salam dalam shalat yang pertama.
4. Udzur tersebut tetap berlangsung hingga selesai melaksanakan shalat yang kedua.

Untuk jama' ta'khir itu sendiri disyaratkan dua hal:


1. Berniat menjama' pada waktu shalat yang pertama, kecuali apabila kedua shalat waktunya
sempit untuk melakukan niat tersebut, maka pada saat itu ia tidak boleh menjama' dengan shalat
yang kedua.
2. Udzur yang membolehkan jama' itu tetap berlangsung sejak menentukan niat jama' pada
waktu shalat pertama hingga memasuki waktu shalat yang kedua.
BAB 3

KESIMPULAN

Dari paparan di atas dapat difahami bahwa qashar shalat dibolehkan dalam bepergian
atau safar adalah rukhsah dan hukumnya mubah. Seorang musafir mendapat keringanan untuk
melakukan shalat ini baik dengan qashar maupun itmam.
Adapun hal lainnya yakni menjama’, para ulama berbeda pandangan kapan bolehnya
seseorang melakukan jama’. Sampai pada kesimpulan terutama mazhab Hambali yang
membolehkan alasan di luar hal yang disepakati yakni: jama’ karena bepergian, jama’ di Arafah
dan Muzdalifah dan karena hujan.
Karenanya bagi yang mendapati kesulitan atau kesukaran dalam tiap kali shalat pada waktunya
maka memungkinkan baginya untuk menjama’ shalat. 
Pemaparan hal itu sudah dikemukakan di atas tetapi dengan syarat tidak menjadi
kebiasaan dan rutin dan hal tersebut tidak bermaksud selain untuk memudahkan dan tidak
menyulitkan umat. Demikian, meski sering jalan-jalan, dan menempuh perjalanan panjang
jangan lupa melaksakan sholat 5 waktu.
Hanya sampai disinilah kemampuan penyusun dalam menyusun Karya Tulis ini, sebagai
akhir kata mengucapkan Alhamdulillah, walaupun dalam penyusunan karya Tulis ini tentu
banyak kekurangan dan kekhilafan baik dari segi bahan maupun sistematikanya.
Demikian sebagian penutup dari penyusun, semoga bermanfaat, Amiin.

Anda mungkin juga menyukai