Anda di halaman 1dari 15

SHOLAT HARI RAYA YANG BERTEPATAN DENGAN HARI JUMAT

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Fiqh Muqaran

Dosen Pengampu:

Dr. H.Sapiudin sidiq, M.Ag

Dr. Mukri Adji, M.A

Disusun oleh:

Aa Saprudin : 21200110000001

Ghabri Muhammad Al-Ayubi : 21200110000007

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “SHOLAT HARI RAYA YANG
BERTEPATAN DENGAN HARI JUMAT”.

Makalah ini berisikan tentang Sholat Hari Raya yang Bertepatan dengan Hari Jumat.
Di harapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua. Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir, semoga Allah senantiasa
meridhai segala usaha kita. Aamiin..
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 12 Oktober 2020

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii


DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Shalat Hari Raya ........................................................................................................... 3
B. Permulaan Shalat ‘Id ...................................................................................................... 3
C. Kedudukan Shalat Hari Raya ......................................................................................... 4
D. Shalat Hari Raya bertepatan dengan Hari Jumat ........................................................... 5
E. Pendapat yang Rajih ...................................................................................................... 9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .................................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 13

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama Islam merupakan agama yang mempunyai syariat yang jelas dalam
mengatur segala hal diantaranya dalam bidang ibadah. Setiap ibadah yang
diperintahkan Islam dapat menjaminkan ketenangan kedamaian kepada setiap mukmin
yang melaksanakannya. Shalat merupakan kewajiban yang bersifat individual (fardhlu

a’in) yang disunnahkan diselenggarakan di masjid secara berjamaah.

Shalat dikenal sebagai tiang agama dalam Islam. Artinya shalat adalah
kewajiban setiap mukmin untuk menegakan dasar bangunan agama. Kewajiban ini
harus dilakukan dalam setiap keadaaan baik dalam keadaan sakit, dalam perjalanan
sehingga tidak ada alasan untuk meninggalkan kewaajiban seorang mukmin dalam
melaksanakan ibadah Shalat. Kewajiban melaksanakan Shalat hanya berakhir ketika
ajal tiba. Karena jika tida benar dalam urusan shalatnya maka rugi yang didapatkan dan
sia-sia semua usaha yang dilakukan. Shalat merupakan kewajiban yang dibebankan
kaum mukmin yang telah ditentukan waktu-waktunya termasuk shalat Idul Fitri dan
shalat Idul Adha yang dilaksanakan setahun sekali dan juga Shalat Jumat yang
dilaksanakan setiap hari Jumat. Allah memerintahkan shalat hari raya sebagaimana
Allah memerintahkan shalat Jumat. (Asep Muhyiddin dan Asep Salahuddin, 2006)
Shalat jumat adalah Shalat dua rakaat yg dilakukan pada hari jum’at pada waktu
masuk shalat dzuhur. Shalat jumat dikerjakan setelah dua khutbah dan diwajibkan oleh
setiap kaum laki – laki di seluruh dunia yang sudah baligh atau dewasa dan tidak sakit.
Hukum mengerjakan Shalat Jum’at ini ialah Fardhu ain atau wajib untuk pria yang sehat
dan balig sedangkan untuk kaum wanita hanya diwajibkan untuk mengerjakan Shalat
Wajib Dhuhur biasa. Shalat Ied adalah shalat sunat dua rakaat yang dilakukan pada dua
hari raya yakni Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Shalat Ied hukumnya
sunat muakkad. Hari Raya Fitri jatuh pada setiap tanggal 1 syawal setelah bulan
Ramadhan dan Hari Raya Idul Adha jatuh pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah. Hari Raya
Adha juga disebut sebagai hari raya Haji.

1
2

Shalat Ied dikerjakan pada pagi hari ketika matahari mulai terbit sampe setinggi
penggala (setinggi tombak). Shalat Ied dikerjakan secara berjamaah, boleh dikerjakan
di masjid atau ditengah lapang. Antara shalat Idul Fitri dan Shalat Idul Adha mempunya
kesamaan, hanya saja lafadz dan niatnya berbeda. Setelah mengerjakan shalat Ied
disambung dengan khutbah seperti pada Shalat Jum’at. Adapun fenomena yang terjadi
di masyarakat pada saat Shalat Jumat bertepatan dengan hari Raya Ied. Akankah shalat
jumat boleh untuk tidak dikerjakan? Hal ini yang menjadi latar belakang penulisan
makalah ini yang berjudul sholat hari raya bertepatan dengan sholat jumat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian shalat hari raya?
2. Bagaimana hukum shalat Jum’at bertepatan dengan hari Raya Idd?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Shalat Hari Raya

Shalat hari Raya adalah salat yang dijalankan umat islam pada dua hari raya,
baik idul fitri maupun idul adha. Salat hari raya idul fitri dilaksanakan pada setiap
tanggal 1 Syawal, seusai umat muslim menunaikan ibadah puasa Ramadhan sebulan
penuh pada setiap tahun. Sedangkan salat idul adha dilaksanakan pada setiap tanggal
10 Dzulhijjah pada setiap tahun. (Sabari, 2006, hal. 105).

Mengenai dasar hukum Salat Hari Raya, sudah jelas disebut dalam Al-Qur’an
surat al-A’la ayat 14-15:

َ ‫قَدم َٱفملَ َح َمن تَ َز َّك ۝ َو َذ َك َر ٱ م‬


‫ْس َ ِّرب ِّهۦ فَ َص َ ىّل‬
Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan
beriman). Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu ia bersembahyang”. (Q.S. A’la: 14-
15)

B. Permulaan Shalat ‘Id


Dalam sejarah, shalat dua hari raya (Sahlatul ‘idain)disyariatkan sejak tahun
pertama hijriyah: dan ia adalah Sunnah Muakadah yang Rasullah SAW tekun
melakukannya, dan beliau menyuruh para lelaki dan perempuan agar keluar
melaksanakannya. (Al-Faifi, 2017, hal. 117). Hasbi Ash-Shiddiiqey memberikan
ulasan berbeda bahwasanya Permulaan Shalat ‘Id yang dilaksanakan Rasullah SAW.
Adalah pada tahun ke 2 hijriyyah . Rasullah SAW tetap melaksanakannya sampai saat
beliau wafat. Karena itulah, meninggalkan sahalat ‘Id dianggap memudah-mudahkan
Agama. (Ash-Shiddieqy, 2011, hal. 397)
Mengingat hal ini, ketika shalat ‘Id ditinggalkan oleh penduduk suatu daerah
dengan ingkar, mereka harus diperangi, setelah diberi peringatan. Diberitakan oleh
Jabir ra. katanya:

3
4

‫إَّلل صّل هللا‬ ِّ َ ‫ قَا َل قَ ِّد َم َر ُسو ُل‬،‫ َع من َٱن َ ٍس‬،‫ َع من ُ ََح مي ٍد‬،ٌ‫ َح َدثَنَا َ ََحاد‬،َ‫وَس بم ُن إ م َْسا ِّعيل‬ َ ‫َح َدثَنَا ُم‬
ِ
‫ون ِّف ِّهي َما فَقَا َل‬ َ ‫ " َما ه ََذ ِّإن إلم َي مو َم ِّان "عليه وسمل إلم َم ِّدينَ َة َولَه مُم ي َ مو َم ِّان يَلم َع ُب‬. ‫قَالُوإ ُكنَا نَلم َع ُب ِّف ِّهي َما‬
‫ِف إلم َجا ِّه ِّليَ ِّة‬.ِّ ‫إَّلل صّل هللا عليه وسمل‬ ُ ‫إَّلل قَدم َٱبمدَ لَ ُ مُك ِبِّ ِّ َما خ م ًَْيإ ِّمْنم ُ َما ي َ مو َم " فَقَا َل َر ُس‬
ِّ َ ‫ول‬ َ َ ‫إ َن‬
ِ
‫ "إ َأل مْضَى َوي َ مو َم إلم ِّفط ِّرم‬.

“Rasullah SAW. Datang ke madinah, sedang bagi penduduk madinah terdapat


dua hari raya yang mereka rayakan dengan berbagai permainan. Rasul SAW.
Bertanya: apakah hari yang dua ini? Penduduk madinah menjawab: di masa
Jahiliyah, hari-hari tersebut mereka bersuka ria. Kemudian Rasullah Bersabda
: “ Allah menukar dua hari raya ini dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu
Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR. Abu Daud, Bulughul Maram: 99)

C. Kedudukan Shalat Hari Raya


Shalat ‘Id, adalah fardhu yang ditegaskan oleh amalan Nabi SAW. Dia
difardhukan (diwajibkan) juga bagi kaum wanita. Para ulama berbeda pendapat
dalam menetapkan hukum Shalatul ‘Id. Pendapat yang hak dalam hal ini adalah
shalat ‘Id fardhu bukan Sunnah. Perhatikan alasan-alasan yang menunjukan
kepada fardhunya:
Pertama, Shalat hari raya termasuk syiar agama Islam yang paling
semarak. Sahabat-sahabat Rasullah saw. Tidak pernah meninggalkannya.
Demikian juga Rasullah SAW. Sendiri tidak pernah meninggalkannya.
Kedua, jika shalat ‘idaini (idul fitri dan idul adha ) sunnah, tentu Rasullah
SAW. Akan meninggalkannya walaupun sekali, sebagaimana Rasullah SAW.
Telah pernah meninggalkan shalat malam di bulan Ramadhan dan sebagaimana
beliau telah meninggalkan wudhu di tiap shalat ( tidak untuk tiap shalat). Hal ini
menunjukan bahwa shalat malam di bulan ramadhan, bukan
5

wajib hanya sunnah dan wudhu tidak wajib untuk tiap sholat, kita boleh
mengerjakan shalat sebanyak-banyaknya dengan sekali wudhu saja selama
belum batal.
Ketiga, selain itu, Allah swt. telah memerintahkan shalat ‘Idaini,
sebagaimana Allah swt. Telah memerintahkan shalat Jumat Firman Allah swt:
“Maka Shalatlah engkau untuk Tuhanmu dan Sebelihlah (qurban)” (QS. AL-
Kautsar (108): 2)
Keempat, Rasullah SAW. Memerintahkan para sahabatnya pergi ke
Mushalla ‘Id untuk Shalat ‘Id besertanya, setelah diketahui pasti kelihatan bulan
( sesudah tergelincir matahari).
Kelima, Rasullah SAW. Memerintahkan para gadis dan kaum
perempuan pingitan, bahkan orang-orang berhaid pun, untuk pergi ke
persidangan ‘Id (walaupun yang haid ditempatkan ditempat yang terasing).
Keenam, Rasullah SAW. Tidak pernah memerintahkan yang berhaid
mengahdiri sholat Jumat.
Bukan meniadakan kefardhuan shalat ‘id. Karena shalat lima itu, adalah
wadhifah (tugas) harian, sedang shalat ‘Id, adalah Wadhifah tahunan. Karena
itu, tidak ada halangan bagi sebagian ulama wewajibkan dua rakaat thawaf,
karena thawaf bukan Wadhifah hari-hari yang berulang-ulang. Juga tidak ada
halangan mewajibkan shalat jenazah, mewajibkan sujud tilawah, mewajibkan
shalat kusuf, khusuf dan sebagainya.
Ketujuh, di antara dalil yang mewajibkannya pula, ialah shalat ‘Id
mengugurkan jum’at apabila kebetulan jatuh pada suatu hari yang sama.
Andaikata shalt ‘Id itu sunnah, tentu tidak dapat ia mengugurkan fardhu. (Ash-
Shiddieqy, 2011, hal. 395-396)
6

Ditegaskan lagi bahwa meghadiri jamaah ‘Id wajib terhadap mereka


yang diwajibkan mengahadiri jamaah Jumat.Asy-Syafii dalam Al-mukhtasar
mengatakan, “barangsiapa wajib baginya menghadiri jumat, wajib pula atasnya
mengahdiri shalat ‘Id. (Hasbi Ash-Shiddiqiey dalam kitab Al-Majmu’ 5: 3)
D. Sholat Hari Raya bertepatan dengan hari Jumat
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum shalat Jum’at
bertepatan dengan dua hari raya baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Dalam kitab
Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah karya Imam Ad Dimasyqi, disebutkan
bahwa :
“Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka menurut pendapat
Imam Asy Syafi’i yang shahih, bahwa shalat Jumat tidak gugur dari
penduduk kampung yang mengerjakan shalat Jumat. Adapun bagi orang
yang datang dari kampung lain, gugur Jumatnya. Demikian menurut
pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih. Maka jika mereka telah shalat hari
raya, boleh bagi mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat.
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, bagi penduduk kampung wajib
shalat Jumat. Menurut Imam Ahmad, tidak wajib shalat Jumat baik bagi
orang yang datang maupun orang yang ditempati shalat Jumat. Kewajiban
shalat Jumat gugur sebab mengerjakan shalat hari raya. Tetapi mereka wajib
shalat zhuhur. Menurut ‘Atha`, zhuhur dan Jumat gugur bersama-sama pada
hari itu. Maka tidak ada shalat sesudah shalat hari raya selain shalat
Ashar.”(ad Dimasyqi dalam Romatul Ummah fi Ikhtilafil a’immah
diterjemahkan oleh Sarmin Syukur & Lulu Rodliyah: hal 554)

Ad Dimasyqi tidak menyebutkan pendapat Imam Malik tetapi dapatlah


kita ketahui melalui keterangan Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid
menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah.
Disebutkannya bahwa,“Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat,”Jika
berkumpul hari raya dan Jumat, maka mukallaf dituntut untuk melaksanakannya
semuanya….”
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam masalah ini terdapat 4
(empat) pendapat berbeda yang akan pemakalah uraikan dengan masing-masing
argumentasinya.
1. Menurut Imam Syafi’i seorang yang sudah ikut shalat id maka ia wajib shalat
Jum’at bagi penduduk Kota sedangkan bagi penduduk kampung (pelosok) dia
mendapat Rukhsoh (keringan) dengan tidak diwajibkannya shalat Jum’at dan
7

mengantinya dengan shalat Zuhur. Alasan as Syafi’i dalam hal ini adalah
dalil-dalil yang sekilas menggugurkan shalat Jum’at bagi yang sudah ikut
shalat hari raya sifatnya masih muhtamal (banyak mengandung kemungkinan
makna), sedangkan dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at sifatnya
qathiyyud dilalah ( menunjukkan secara pasti tanpa ada kemungkinan lain).
Maka dalil yang masih mengandung banyak kemungkinan, tidak bisa untuk
menggugurkan dalil yang bersifat pasti dan gamblang.
2. Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah shalat Jumat wajib tetap
ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat Jumat maupun
oleh penduduk yang datang dari kampung. Ibnu Rusyd menjelaskan
argumentasi kedua Imam tersebut :
“Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, ‘Shalat hari raya adalah sunnah,
sedang shalat Jumat adalah fardhu, dan salah satunya tidak dapat
menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al ashlu)
dalam masalah ini, kecuali jika terdapat ketetapan syara’, maka wajib
merujuk kepadanya…” (Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa
Nihayatul Muqtashid: 1/199)

Berdasarkan keterangan itu tampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah
tidak menerima dalil yang menunjukkan rukhsoh shalat Jumat karena beliau
berdua berpegang teguh pada hukum asal masing-masing yakni sunnahnya
shalat Id dan wajibnya shalat Jum’at sedangkan sunnah tidak dapat
menggantikan wajib. Pada dasarnya pendapat mereka berdua sama dengan
dasar argumentasi Imam Syafi’i namun ada pengecualian yaitu hukum asal
tersebut dapat berubah jika terdapat dalil yang menerangkannya.
3. Tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun bagi orang
yang ditempati shalat Jumat. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Demikian
pendapat Imam Ahmad. Pendapat ini didasarkan pada hadist yang
diriwayatkan oleh Zaid bin Arqom bahwa dia berkata:

َ ‫صلِّ َي فَ ْليم‬
‫ص ِّل‬ َ ‫اْلم مم َع ِة فَ َق‬
َ ‫ال َم ْن َشاءَ أَ ْن يم‬ ْ ‫ص ِِف‬ َ ِ‫صلَّى الْع‬
َ ‫يد مُثَّ َر َّخ‬ َ
8

“Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat) kemudian
beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jumat.
Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jumat),
hendaklah dia shalat.” (HR. Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini
menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).
Dan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah RA bahwa
Nabi SAW bersabda :

‫اْلم مم َع ِة َوإِنَّا مُمَ ِّمعمو َن‬


ْ ‫َجَزأَهم ِم ْن‬ ِ َ ‫قَ ْد اجتَمع ِِف ي وِم مكم ه َذا ِع‬
ْ ‫يدان فَ َم ْن َشاءَ أ‬ َ ْ َْ َ َ ْ

“Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka
barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya
itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan
Jumat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan
hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin
Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini
shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal).

4. Shalat Zuhur dan Jum’at keduanya gugur bagi orang yang sudah shalat Id
baik penduduk kota maupun pelosok desa. Jadi setelah shalat id tidak ada
shalat sesudahnya baik Jumat maupun Zuhur dan langsung shalat Ashar.
Inilah pendapat Atha bin Abi Rabbah. Imam Ash’ani menjelaskan bahwa
pendapat ‘Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu :

Pertama, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana


diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya :

‫ْي بمكَْرًة ََلْ يَِزْد َعلَْي ِه َما‬


ِ ْ َ‫ص ََّّل مُهَا رْك َعت‬ ِ ٍِ ٍ ِ َ ‫ِع‬
َ َ َ‫اجتَ َم َعا ِِف يَ ْوم َواحد فَ َج َم َع مه َما ََج ًيعا ف‬
ْ ‫يدان‬

ْ ‫صلَّى الْ َع‬


‫صَر‬ َ ‫َح ََّّت‬
9

“Dua hari raya (hari raya dan hari Jumat) telah berkumpul pada satu hari yang
sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr) mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat
untuk keduanya sebanyak dua rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas
dua rakaat itu sampai dia mengerjakan shalat Ashar.” (HR Abu Dawud).

Kedua, shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) pada hari Jumat, sedang
shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal) bagi shalat Jumat. Maka dari
itu, jika hukum asal telah gugur, otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.

Ketiga, yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW telah
memberi rukhshah pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak
memerintahkan untuk shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan
shalat Jumat.

E. Pendapat yang Rajih


Pemakalah mengambil kesimpulan bahwa pendapat yang rajih (unggul)
adalah pendapat Imam Syafi’i dengan pertimbangan sebagai berikut:
Menurut Imam Syafi’i bagi penduduk kota yang telah melaksanakan shalat id
tidak dapat Rukhsoh shalat Jum’at. Beliau berkata:

،‫اْلم مم َع ِة‬
ْ ‫وز ََلم ْم بِِه تَ ْرمك‬ ِ ِ ِ ٍ ‫وََل ََيوز ه َذا ِِل‬
‫ص ِر أَ ْن يم ْد َع ْوا أَ ْن ََْي َمعموا َّإَل م ْن مع ْذ ٍر ََيم م‬
ْ ‫َحد م ْن أ َْه ِل الْم‬
َ َ ‫َ مم‬
ٍ ‫وإِ ْن َكا َن ي وم ِع‬
‫يد‬ َ َْ َ
“Hal ini (keringanan meninggalkan shalat Jum’at jika bertepatan dengan hari
raya) tidak boleh bagi seorangpun dari kalangan penduduk kota ketika diseru
untuk berkumpul kecuali karena ada alasan yang dibenarkan untuk
meninggalkan shalat Jum’at.” [ Al-Umm : 1/274 ].
Maka dari keterangan Imam Asy-Syafi’i di atas menunjukkan, bahwa
hadits Zaid bin Arqom yaitu )‫ (من‬lafadznya umum, akan tetapi makna yang

diinginkan khusus ( ‫) العام يراد به اخلصوص‬. Jadi yang diberi rukhsah (keringanan)
boleh tidak ikut shalat Jum’at, adalah mereka yang tinggal di pelosok, jauh sekali
dari tempat dilaksanakannya shalat jum’at.
10

Hukum kedua, bagi penduduk pelosok desa yang telah melaksanakan


shalat id mendapat rukhsoh jika di desanya tidak ada masjid terdekat yang mudah
diakses dan menggantinya dengan shalat Zuhur. Namun, Jika kita perhatikan di
zaman ini, rata-rata orang sudah jarang yang jauh dari masjid yang
diselenggarakan shalat Jum’at. Oleh karena itu, illat (sebab) adanya rukhsah
(keringanan) untuk tidak wajib shalat Jum’at jika sudah ikut shalat hari raya juga
hilang. Berarti wajib shalat Jum’at meskipun sudah ikut shalat hari raya. Dalam
suatu kaidah disebutkan bahwa:

‫احلكم يدور مع علته وجودا و عدما‬

“Hukum itu akan berputar bersama dengan ada tidaknya suatu illat (sebab).”
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Shalat hari Raya adalah salat yang dijalankan umat islam pada dua hari raya,
baik idul fitri maupun idul adha. Salat hari raya idul fitri dilaksanakan pada setiap
tanggal 1 Syawal, seusai umat muslim menunaikan ibadah puasa Ramadhan sebulan
penuh pada setiap tahun. Sedangkan salat idul adha dilaksanakan pada setiap tanggal
10 Dzulhijjah pada setiap tahun

Imam Syafii dan pengikutnya mengatakan: apabila bertepatan hari jumat’ dan
hari raya sedangkan penduduk qaryah (dusun) yang wajib jumat’ kepada mereka
karena sampai suara azan balad (desa) kepada qaryah mereka,hadir melaksanakan
salat hari raya maka pada ketika itu, atas penduduk balad tidak gugur kewajiban salat
Jumat dengan tanpa khilaf. Sedangkan atas penduduk qaryah, terdapat dua pendapat;
yang shahih dan yang dinash oleh Syafii dalam al-Um dan pendapat pendapat qadim,
atas penduduk qaryah gugur kewajiban shalat jumat.

Menurut Atha’, cukup salat hari raya saja, tanpa salat Jumat dan Zhuhur. Ini
diriwayatkan dari Ibnu Zubair dan Ali. Menurut Syafi’I, tidak wajib salat Jumat pada
hari raya di hari Jumat apabila sudah melakukan salat hari raya, ini adalah keringanan
khusus untuk orang-orang yang tinggal terpencil di pedalaman, sedangkan salat hari
raya dan salat jumat hanya dilaksanakan di perkotaan.

Sedangkan Imam Hambali berpendapat bahwa bahwa jika hari raya pada hari
Jumat, orang yang telah salat hari raya selain imam tidak wajib salat jumat, kecuali
jika jamaah jumat tidak mencukupi. Ulama yang berpendapat tidak wajib
melaksanakan salat Jumat berdalil dengan hadis Zaid bin Arqam.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Faifi, S. S. (2017). Ringkasan Fikkih Sunnah Sayid Sabiq. Jakarta Timur:


Pustaka Al-Kautsar.
al-Jarjawi, S. A. (2006). Indahnya Syariat Islam. Jakarta: Gema Insani.
Asep Muhyiddin dan Asep Salahuddin. (2006). Salat Bukan Sekadar ritual.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ash-Shiddieqy, M. H. (2011). Pedoman Sholat. Semarang: Pustaka Rizki
Putra.
Bukhari, M. b. (2011). Shahih Bukhari. Darul Hadis Qhahirah.
Jaih Mubarok. (2000). Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Khallaf, A. W. (2005). Ilmu Ushul Fiqh, Terj Hallmudin. Jakarta: Rineka
Cipta.
Sabari, A. M. (2006). Rahasia Shalat Sunnat. Bandung: Pustaka Hidayah.
Sijistani., A. D.-a. (2003). Sunan Abu Dawud. Jakarta: Darl al-Fikr.
Ibnu Rusyd. (2007). Bidayatul Mujtahid: Jilid 1. Jakarta:Pustaka Amani.

12

Anda mungkin juga menyukai