Anda di halaman 1dari 9

STUDI KITAB AL-WASITH FI ULUM WA MUSHTHALAH AL-HADIS KARYA

MUHAMMAD BIN MUHAMMAD ABU SYUHBAH

Oleh: Qaem Aulassyahied

PENDAHULUAN

Salah satu ilmu yang lahir dari Rahim ajaran Islam adalah ilmu hadis. 1 Hal ini
dibuktikan dari bermunculannya karya-karya ulama sepanjang generasi yang membahas
tentang ilmu hadis atau yang biasa kita kenal dengan ulum al-Hadis.. Di awal
perkembangannya, ulum al-Hadis dapat ditemukan pembahasannya di dalam beberapa kitab
seperti, al-Umm dan ar-Risalah karya Imam as-Syafi’i, Jami at-Tirmidzi, dan Shahih Muslim.
penulisan ulum al-Hadis pada masa itu masih bercampur dengan pembahasan ilmu fiqh.

Uniknya, ilmu hadis menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri secara komperhensif,
justru dimulai dari tulisan-tulisan para ulama yang membahas tentang cabang dari ilmu hadis,
seperti ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, ilmu al-Nasikh wa al-Mansukh dan ilmu al-Asma wa al-Kuna.
Adapun ulama yang berperan penting pada fase ini adalah Yahya bin Main yang mulai
menyusun kitab yang berisi biografi para perawi, Muhammad bin Sa’ad yang menyusun
tabaqat perawi dan Ahmad bin Hanbal menyusun kitab al-Ilal wa al-Ma’rifah al-Rija; dan al-
Nasikh wa al-Mansukh.2

Hingga pada abad 4 hijriah, mulailah para ulama menyusun kitab yang membahas
sejumlah cabang ilmu hadis ecara komperhensif. Dalam sejarah, ditentukan al-Qadi Abu
Muhammad ar-Rahmuhurmuzi sebagai pencetus yang menyusun ilmu hadis secara
komperhensif dan sistematis di dalam karangannya al-Muhaddis al-Fasil Baina ar-Rawi wa al-
Wa’i. Kemudian berturut-turut muncullah kitab-kitab ulum al-hadis lain yang mengembangkan
dan menyempurnakan dari masa ke masa. Misalnya al-Hakim al-Naisaburi dengan karyanya
ma’rifah ulum al-Hadis, al-Khatib al-Baghdadi dengan Jami’ li adab al-Rawi wa al-Sami’ dan
juga yang populer hingga sekarang al-Kifayah fi ilm al-Riwayah. Lalu Qadi Iyad dengan al-
Ilma, hingga kitab yang hingga sekarang masih dianggap puncak dari ilmu hadis pada abad
ketujuh tersebut adalah kitab yang dikenal dengan sebuttan Muqaddimah Ibn Shalah yang
dikarang Abu Amr Usman bin Abd al-Rahman al-Syahrazuri.

Dalam tulisan ini, akan dibahas salah satu kitab ulum hadis yang datang belakangan.
Adapun kitab hadis tersebut ialah, al-Wasith fi ulum wa musthalah al-Hadis karya Muhammad
bin Muhammad Abu Syuhbah. Karya ini dianggap representatif karena selama ini kajian kitab
ulum al-hadis pada umumnya membahas karya-karya kitab lalu seperti karya ar-ramahurmuzi
atau karya al-hakim, atau yang dianggap paling lengkap muqaddimah ibn Shalah. Adalah al-
wasith, mencoba menghadirkan sistematika ulum hadis berbeda dari kitab-kitab di atas. Selain

1
Para ulama mengiistilahkan ilmu hadis dengan beberapa istilah, yaitu Ilmu Dirayah Hadis yang populer
setelah masa Khatib al-Baghdadi, lalu sebelumnya dikenal dengan ulum al-Hadis, Ushul al-Hadis dan Musthalah
al-Hadis. Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi As-Syarh Taqrib an-Nawawi,
(Madinah: Maktabah Ilmiyyah, 1997), hlm. 5
2
Nuruddin Itr, Ulum al-hadis, terj. Endang Soetari dan Mujiyo (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 1995),
hlm. 40

1
itu, kitab ulum hadis ini diperuntukkan untuk semua kalangan tidak hanya untuk orang-orang
yang berkecimpung di dunia ilmu hadis. Untuk itu, kiranya buku ini layak untuk dianalisa..

Adapun analisa yang akan dilakukan sederhana. Yaitu hanya menampilkan sebagian
kandungan materi dari kitab ini dan beberapa analisa sedernahan dari penulis. Hal ini
mengingat waktu yang relatif singkat untuk mengkaji kitab setebal 799 halaman ini secara
komerperhensif.

BIOGRAFI RINGKAS MUHAMMAD BIN MUHAMMAD ABU SYUHBAH

Beliau adalah Muhammad Muhammad Abu Syuhbah seorang ulama mesir yang sangat
piawai dalam mentahqiq (menelaah) hadits, mensyarah ( memberikan penjelasan maksud
hadits). Dr. Abdul halim mahmud mengatakan bahwa beliau (Abu Syuhbah) termasuk seorang
ulama yang mulia, yang memberikan perhatian terhadap sunah Nabi dengan jujur dan penuh
dengan keikhlasan.

Diantara karya – karya beliau yang terkenal ialah Fi Rihab al-Sunah al-Kutub al-Shihah
al-Sunah, Difa’ ‘an al-sunnah wa Radd syubah al musytasyriqin wa al- kuttab al-mu’assirin,
al-Madkhal li dirasati al-qur’an al-karim, al-shirah al-Nabawiyah fi Dhau’i al-kitab wa al-
sunah,al-isra’iliyat wa al-maudhu’at.3

LATAR BELAKANG PENULISAN KITAB

`Dalam pembukaan bukunya, dia menjelaskan secara kronologis buku ini ditulis oleh
beliau dan kenapa dinamakan dengan al-Wasith fi ulum al-Hadis. Pada tahun 1382 H/1962 M,
ia menulis kitab yang membahas tentang bagian kecil dari ilmu hadis. Buku ini kemudian
dinamakan “fi ushul al-Hadis”. Lalu pada tanggal 1385 H/ 1977 M, Abu Syuhbah menulis
kembali kitab yang di dalamnya terdapat beberapa pembahasan tentang ulum hadis yang
berkisar pada tema adab penulisan hadis, adab periwayatan, adab muhaddis dan adab penuntut
ilmu hadis. Kitab ini ia sebut dengan “ulum al-Hadis”. Hingga ketika Abu Syuhbah
mendapatkan waktu yang cukup senggang, yaitu selama beberapa bulan sebelum masuknya
musim haji dan satu bulan setelahnya, beliau kemudian merevisi kedua kitab tersebut dengan
banyak memasukkan kajian-kajian lain untuk melengkapinya. Dua buku yang berbeda judul
tersebut kemudian digabungkan dan diberikan nama sesuai judul keduanya “’ulum al-hadis wa
Musthalahuhu”. Terdapat faktor spesifik yang mendorong dan menjadi alasan utama Abu
Syuhbah menyusun kitab ulum hadis ini. dalam muqaddimahnya ia menyatakan bahwa:

3
https://pontrensalafiyahsyafiiyah.wordpress.com/2014/10/07/sejarah-hadis-dalam-pemikiran-
muhammad-muhammad-abu-syuhbah-telaah-atas-kitab-fi-rihab-al-sunnah-al-kitab-al-sihhah-al-sittah/

2
Berdasarkan keterangan di atas dapat diketahui bahwa kegelisahan utama dari Abu
Syuhbah adalah kesadarannya akan perlunya mengenalkan ilmu hadis sebagai bagian dari
peradaban Islam. hal yang kemudian menjadi masalah, tidak terletak pada minimnya minat
atau kepedulian umat Islam secara umum akan ilmu hadis, tetapi belum adanya ulama yang
berkecimpung di bidang hadis mampu menghadirkan kitab ulum al-hadis yang mudah dicerna
dan difahami oleh umat Islam secara umum. Sehingga kitab ini diharapkan menjadi kitab ulum
al-hadis yang bisa memenuhi ekspektasi di atas.

Untuk itu kitab ini, menurut Abu Syuhbah adalah kitab yang merangkum intisari dari
kitab ulum hadis semenjak ar-Ramahurmuzi hingga dikontekstualisasikan dengan pemahaman
umat Islam zaman sekarang. Sifat kemudahan dicernanya membuat penjelasan di dalamnya
relatif singkat, itulah oleh Abu Syuhbah ditambahkan penamaannya dengan al-Wasith. Pada
akhirnya kitab ini pun diberi judul al-Wasith fi al-Ulum wa al-Mushthalah al-Hadis.

SISTEMATIKA PENULISAN KITAB

Di awal pembahasan, Muhammad Abu Syuhbah memberikan sub tema dengan judul
“manhaji fi at-Ta’lif”. Pada subtema tersebut dia menyatakan:

Pernyataan Abu Syuhbah sebagaimana nukilan di atas menunjukkan bahwa Abu


Syuhbah mencoba mensistemtisasikan pembahasan-pembahasan di dalam kitab ini berbeda
dari apa yang terdapat di dalam kitab-kitab ulum al-hadis populer sebelumnya, seperti
Muqaddimah ibn as-Shalah dan Ibnu Hajar al-Atsqalani yang memulai penjelasan dengan
membahasa shahih, hasan dha’if.

Adapun manhaj atau sistematika pembahasan dalam kitab ini ia jelaskan adalah

Pertama. menjelaskan definisi istilah-istilah yang sering digunakan dalam ilmu hadis.
Lalu penjelasan tentangan laqob ahli-ahli hadis. Penjelasan tentang hadis qudsi dan
perbedaannya dengan qur’an dan hadis nabi.

Kedua, penjelasan tentang ulum hadis yang dibagi menjadi ilm ar-Riwayah dan ilm ad-
Dirayah. Juga di dalamnya penjelasan tentang perkembangan-perkembangan yang dialami
kedua ilmu ini. termasuk juga adanya pembahasan tentang kitab-kitab yang populer, baik masa
lalu dan sekarang. Begitu pula pembahasan tentang periwayatan yang terbagi menjadi beberapa
bagian: konsepnya, pembagiannya, syarat-syaratnya, sisi historisnya, pemeliharan umat arab
dan umat Islam dalam hal tradisi periwayatan. Terdapat pula pembahasan khusus tentang
bagaimana sebenarnya adanya isnad yang muttashil itu adalah bagian istimewa yang hanya ada

3
di dalam Islam. begitu juga dengan sejarah pentadwinan pada masa nabi, sahabat, khulafa ar-
Rasyidun dan pada masa tabi’in. Pada proses tadwin, tentu dijelaskan pula bagaimana
penyusunan hadis, sunan menjadi penyusunan resmi dan umum yang diprakarsai oleh
khaklifah Umar bin Abdul Aziz. Hingga pembahasan masuk diskusi tentang hadis-hadis
ta’arudh mengenai boleh tidaknya menulis di zaman sahabat. Abu Syuhbah mengalanisa
persoalan ini dengan melihat tradisi tulis menulis yang hakikatnya telah digeluti oleh para
Sahabt di masa Islam, dan bagaimana pada hakikatnya orang Arab dahulu menggunakan
hafalan dan penulisan sebagai bagian dari peradaban mereka, meskipun tulis menulis masihlah
jarang. Pada akhirnya setiap membahasan bermuara pada kesimpulan bahwa penulisan dan
penyusnan sunnah terjadi di permulaan abad Islam.

Ketiga, menjelaskan tentang kitab-kitab populer yang dikarang pada kurun abad 2
hijiryah. Seperti kitab al-Muwattha’ yang merupakan kitab yang tersisa dari abad tersbut.
Lalu pada abad ke tiga atau yang dianggap sebagai abad keemasan dalam penyusunan hadis
dan sunan.

Keempat, menyebut pula kitab-kitab yang populer dikarang pada kurun abad ke 4.
Dan pada kurun ini jika tidak bisa dikatakan selesai atau sempurna, maka hampir keseluruhan
dari hadis dan sunan telah tersususn. Petbaikandan pengumpulan dari kitab kitab yang
terpisah. Dan hal ini selesai pada abad ke 5.

Kelima, menjelaskan tentang metode dan sistematisasi para ulama di dalam mengarang
kitab-kitab mereka yang terkait hadis. Kemudian menjelaskan syarat-syarat perawi di dalam
Islam dan perbedaan antara adl ar-riwayah dan adl as-syahadah, dan bagaimana seseorang
dikatakatan telah memenuhi syarat perawi secara lengkap. Dan juga cara merajihkan antara
perawi yang shadiq dan yang kadzib, antara perawi yang dhabith dan perawi yang ghaflah.
Setelah itu, saya merangkumkan turuqh at-tahammul wa al-ada’. Dan itu sebanyak 8 cara. Hal
ini agar diketahui oleh para penuntut ilmu dan para peneliti bahwa hadis-hadis itu berdiri
berdasarkan asas yang kuat dari jalur-jalur periwayatan yang shahih. Kemudian, akan
dijelaskan isnad ali dan pembagiannya. Begitu pun dengan an-nazil dengan pembagiannya.
Agar para penuntut ilmu tahu bahwa melacak uluwwi sanad merupakan hal yang telah menjadi
tradisi semenjak dahulu, lalu akan disebutkan sejumlah masalah dan kaidah yang berkaitan
dengan karakteristik penuliskan kitab dan kedhabitannya. Dan karakteristik periwayatannya
termasuk di dalamnya periwayatan dengan makna dan juga penjelasan syarat-syaratnya.

Keenam: penjelasan tentang adab-adab ahli hadis dan adab penuntut hadis- terlebih
lagi dalam hal rihlah mereka di dalam mencari ilmu dan hadis. Kemudian dipaparkan pula
periode di mana saat itu banyak para penuntut ilmu mengarang karya tentang hadis dan
bagaimana mereka bersungguh-suguuh hingga betul-betul mahir dalam keilmuan hadis
tersebut.dan harus pula dipaparkan tujuan-tujuan yang menjadi maksud ditulisnya ilmu hadis
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi dan selainnya

Terakhira cq, dijelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembagian hadis, dari sudut
pandangan ulama. Dalam hal ini Abu Syuhbah memuliainya dengan embagian hadis dlihat dari
kwantitas perawi hingga pembagian dilihat dari faktor lainnya.

4
Dalam hal ini, telah diluaskan ruang di dalam membahas mutawatir, masyhur dan
pembagiannya dan kitab-kitab yang dikarang tentang hadis-hadis yang populer, dan termasuk
yang harus diketahui bahwa kapan al-mutawatir itu jadi sahih, hasan atau dhaif. Pada
pembagian kedua, hadis terbagi berdasarkan perawinya. Pertama marfu’, mauquf dan maqthu’.
Pada pembahasan ini saya akan membahas mana marfu’ yang sharahah dan mana marfu secara
hukum. Dan juga penerangan tentang beberapa istilah yang penting terkait hadis mauquf yang
telah ditentukan oleh ulama yang ahli dalam hal ini. termasuk hal yang penting diketahui adalah
bahwa ketiga ini bisa menjadi shahih, hasan atau dhaif, berlainan dari apa yang difahami oleh
kalangan yang menganggap bahwa ketiga tersebut bagian dari hadis dhaif.

KANDUNGAN MATERI KITAB

Jika kita tela’ah secara sederhana di bagian daftar isi kitab ini, maka diketahui bahwa terdapat
setidaknya 709 pembahasan yang dibahas di dalamnya. Tentu mustahil penulis menyajikan tiap
pembahasan sebanyak itu secara terperinci, mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan
penulis. Namun setidaknya dari 709 pembahasan, dapat dipetakan apa-apa saja yang menjadi
titik fokusnya.

1. Halaman 8-13, menjelaskan tentang pengantar kitab ini; latar belakang penulisan kitab,
sistematika secara umum dan tujuan kitab ini ditulis
2. Halaman 15-26, buku ini memberikan definisi singkat tentang istilah dan konsep-
konsep dasar yang dipakai di dalam ulum al-hadis. Seperti makna al-hadis, khabar,
atsar, matan, musnad, musnid, isnad. Begitu juga dengan tingkatan ahli hadis atau yang
diisitilahkan oleh Abu Syuhbab musytagilin bi al-Hadis seperti muhaddis, thalib al-
hadis, hafizh. Hujjah dan lain sebagainya. Termasuk juga penjelasan tentang ulum hadis
secara umum dan ulum hadis khusus yang terbagi menjadi riwayah dan dirayah
3. Halaman 27-38, membahas tentang sejarah ulum hadis dilihat dari segi dirayahnya.
Dipaparkan tentang bagaimana perkembangan ulum hadis, sebelum masa pentadwinan,
hingga setelah pentadwinan hadis. Kemudian cabang-cabang ilmu hadis yang
berkembang dilihat dari banyaknya kitab-kitab tersendiri yang membahas satu cabang
ilmu hadis seperti mukhtalif hadis karya ibnu qutaibah, ikhtilaf al-hadis milik as-Syafi’i
dan kitab-kitab lain yang populer. Seperti kitab ar-Ramuhurmuzi, al-Hakim, Abi
Ubaidillah, Abi Nuaim, Khatib al-Baghdadi dan masih banyak lagi.
4. 39-44, memaparkan secara luas tentang kosntruksi periwayatan sebagai bagian dari
ilmu hadis. Dalam pembahasan ini, Abu Syuhbah di dalam kitab al-Wasith, mula-mula
menyoroti tentang bagaimana sebenarnya tradisi periwayatan yang ada dalam
peradaban yang jauh lebih maju dari Arab ketika itu. sehingga ditemukan tradisi
periwayatan ini sudah ada semenjak peradaban yunani berdiri. Lalu di arab pra Islam
sendiri. kemudian dilihat pula bagaimana disiplin ilmu lain memandang periwayatan
itu sendiri. dan pada akhirnya dikomparasikan dengan periwayatan yang telah masuk
dalam kaidah dan kajian ulum al-hadis.
5. 45-76, memaparkan seputar sanad dan matan. Seperti bagaimana melihat rantai sanad
sebagai bagian epistemologi menentukan ilmu atau pengetahuan. Lalu kenyataan
bahwa setiap informasi tidak hanya arab tetapi di peradaban lain menggunakan hafalan
dan tulisan untuk mentransfer dan menjaga ilmu, menjadi legitimasi yang sangat valid

5
akan keberadaan dan otoritas sanad. Lalu bagaimana sebenarnya sanad muttashil itu
adalah bagian khusus dalam peradaban Islam. pada bagian ini juga dijelaskan tentang
proses perkembangan penulisan dan penyusunan kitab hadis mulai dari zaman
Rasulullah, Sahabat, tabi’in hingga akhir abad kedua dan abad ketiga yang telah muncul
shahihain dan sunan al-arbi’ah. Lalu abad keempat dengan munculnya kitab hadis
shahih ibnu khuzaimah, shahih abu uwanah, mushonnaf at-Thawi, dan dan lain-
lain.Lalu setelah itu muncul kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis dalam satu
tema seperti tartib atau tahzib.
6. 77-93 membicarakan tentang teori kritik sanad dan matan. Termasuk di dalamnya
dipaparkan asal usul kritik matan. Lalu beberapa konsep kunci dari segi perawi seperti
adil; bagaimana syarat adil, apa perbedaan adl al-riwayah dan adl as-syahadah dan lain
sebagainya. Begitu juga dengan dhabit. Dalam bab ini juga dijelaskan tentang manhaj
para ulama menyusun kitab-kitab hadis, mulai dari mengikuti bab-bab fikih, hingga
yang memiliki sistematika tersendiri.
7. 94-115 membicarakan tentang turuq at-tahammul wa al-ada’, yang oleh Abu Syuhbah
di dalam kitab ini dibagi menjadi delapan bagian. Termasuk di dalamnya dibicarakan
sanad ali dan nazil; bagaimana saja suatu sanad itu bisa menjadi sanad yang ali.
8. 116-709 membicarakan berbagai macam topik dan permasalahan-permasalahan terkait
dengan beberapa tema khusus seperti: yang berkaitan dengan penulisan dan adabnya,
berkatian dengan adab-adab ahli hadis dan masih banyak lagi

ANALISA

Sistematika Pembahasan

Banyaknya cabang ilmu hadis, menyebabkan pentingnya sistematika pembahasan ilmu


hadis dari segi dirayahnya. Hingga kini pun belum ada kesepakatan berapa jumlah cabang ilmu
hadis. Ibnu Salah dalam Muhammad ibn Shalah membagi menjadi 65 cabang keilmuan. Al-
Hakim dalam Ma’rifah menetukan 52 cabang. Sementara al-Hazimiy dalam karyanya al-
‘Ajalah berpendapat bahwa cabang keilmuan hadis bisa mencapai seratus, lebih As-Suyuti
mengatakan tidak terhitung.4

Mengingat banyaknya cabang keilmuan hadis, maka di dalam penyusunan kitab ulum
al-hadis, sistematika pembahasan dan pemaparan makna menjadi suatu yang urgen. di antara
beberapa bentuk sistematika yang digunakan para penyusun kitab ini, antara lain5:

a. Membagi menjadi beberapa tema pembahasan tanpa mengkalsifikasikan atau


memberi batasan secara jelas tema-tema yang memiliki kesamaan fokus kajian.
Sistematika ini digunakan oleh al-Ramuhurmuzy dalam karnya al-Muhaddits
al-Fasil baina ar-Rawi wa al-Wa’y
b. Membagi menjadi beberapa juz berdasarkan nomor urut dari pertama hingga
terakhir. Tiap juz terdiri dari beberapa tema pembahasan. Namun tema pada

4
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, Terj. Muhamad Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001)
5
Klasifikasi ini dapat dilihat dari hasil analisis Rohmi Fatmawati, Ma’rifah Ulum al-Hadis: Studi atas
Karya Abu Abdullah al-Hakim al-Naysaburi, (Yogyakarta: Skripsi UIN Sunan Kaljaga, 2004), hlm 61-62

6
satu juz terkadang dibahas pula pada juz lain. sistematik ini digunakan oleh
khatib al-baghdadi dalam al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah.
c. Membagi cabang ulum al-Hadis ke dalam sejumlah tema pembahasan berurutan
atau berdasarkan nomor urut dari nomor pertama hingga terakhir, tanpa
mengklasifikasikan berdasarkan bab atau objek tertentu. Sistematika ini
digunakan oleh al-Hakim dalam Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis, Ibnu Shalah dalam
Muqaddimah ibn Shalah, dan beberapa kitab ulum hadis populer lainnya seperti
Tadrib ar-Rawi karangan as-Suyuti.
d. Membagi menjadi beberapa bab pembahasan, masing-masing bab terdiri atas
beberapa sub bab, tiap sub bab meliputi beberapa tema bahasan yang memiliki
kesamaan kesatuan. Sistematika sepert ini digunakan oleh para ulama hadis
yang muncul dewasa ini. seperti Muhammad Ajjaj al-Khatib di dalam Ushul a-
Hadis
e. Menyajikan klasifikasi bab pembahasan berdasarkan objek kajian. Misalnya
cabang-cabang ilmu yang membahas tentang sanad dikumpulkan dalam satu
bab. Demikian pula dengan cabang-cabang ilmu lainnya. Sistematika seperti ini
dterdapat dalam nurudin Itr.

Dilihat dari klasifikasi tipe pembagian di atas, menurut penulis sendiri kitab al-
Wasith fi ulum wa musthalah al-hadis karya Abu Syuhbah ini masuk dalam klasifikasi
yang sama dengan kitab Nuruddin Itr. Meski secara teknis berbeda dari karya-karya
dulu, dengan menampilkan ta’rifat sebagai pengantar buku, kitab ini secara sistematis
menyajikan embahasan berdasarkan objek kajian. Yang menarik mungkin bisa dikaji
lebih lanjut adalah di dalam al-Wasith lebih dari separuh pembahasan terdiri dari
kajian-kajian atau polemik-polemik dalam ilmu hadis yang dimasukkan dalam
pembagian masalah-masalah.

Kandungan Materi

Penulis mengakui belum layak untuk memberikan analisa atas materi yang dikandung
dalam kitab ini, disebabkan pembacaan yang belum tuntas. Namun setidaknya, dari beberapa
bagian yang telah penulis baca ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dan ditanggapi.

Dari sisi kelebihan, bagi penulis sendiri, sistematika teknis yang dilakukan Abu
Syuhbah dengan menempatkan ta’rifat dalam ulum hadis di bagian pengantar hadis dengan
definisi yang simpel dan mudah dimengerti merupakan langkah konstruktif inovatif bagi karya
ulum al-Hadis pada masa sekarang.

Penyajian contoh yang mudah difahami bagi penulis juga menjadi kelebihan tersendiri
dari Abu Syuhbah. Sepembacaan penulis, Abu Syuhbah tidaklah banyak memberikan contoh
atas definisi-definisi istilah hadis. Melainkan ia mencoba memberikan satu contoh yang
mencakup semua istilah yang telah terdefinisikan sebelumnya.

Menurut penulis, Abu Syuhbah, di dalam buku ini juga memiliki satu kelebihan, yaitu
dalam beberapa tempat, Abu Syuhbah memberikan faidah atau memberikan tanggapan penting
sebelum melanjutkan pembahasan setelahnya. Hal ini tentu memberikan wawasan dan

7
petunjuk agar memahami ulum hadis yang sedang dibicarakan dengan baik. Seperti setelah
menjelaskan definisi-definisi dari Laqob ahli hadis, ia menuliskan dua faidah:

Pertama, definisi muhaddis dan lain-lain hakikatnya dilihat pada konteks di mana istilah
itu mulai muncul dan berkembang. Namun di zaman sekarang tentu perlu ada toleransi terkait
istilah tersebut. jika tidak demikian, maka hakikatnya sulit bagi seseorang untuk menyandang
gelar di dalam ulum al-hadis lagi. Untuk itu jika dikontekstualisasikan, maka sudah bisa
dikatakan sebagai muhaddis di masa sekarang, ketika orang tersebut telah menguasai seluk
beluk ilmu hadis secara riwayat. Dan mampu untuk melakukan penyelidikan atas para perawi
baik dari segi ta’dil dan marjuhnya langsung berdasarkan pada kitab-kitab induk terkait ilmu
ini. juga mampu membaca dan memahami kitab sembilan, muwattah, musnad dan mustadrak,
sunan ad-darquthni dan baihaqi dan lainnya. Dan memiliki daya kontiunitas yang tinggi di
dalam mengkaji kitab kita tersebut hingga memungkinkan ia untuk mencari dan menjelaskan
hadis-hadis yang dikehendaki.

Kedua, Terdapat juga anggapan bahwa ribuan hadis yang menjadi prasarat atau ciri
muhaddis di zaman dahulu sulit diterima karenakan tidak didapati hadis-hadis yang ma’rufah
mencapai apa yang mereka hafal di dalam kitab-kitab mereka. Anggapan ini hakikatnya salah
memahami, arena yang dimaksud dari telah menghafal hadis tidaklah semua hadis itu berbeda-
beda sebagaimana jika difahami secara zahir. Tetapi termasuk juga di dalamnya satu hadis
namun mmiliki jalur sanad yang banyak. Kenyataannya ada satu hadis tetapi diriwayatkan
dengan 10 sanad. Sehingga yang terjadi adalah para ulama itu menghafal keseluruhan riwayat
itu lalu memilih yang shahih untuk dituliskan di dalam ktiab mereka. Dan terkadang juga ada
hadis shahih yang tidak dituliskan dari hafalan mereka. Ada juga termasuk di dalamnya atsar
as-shahabah dan tabiin. Dan atsar seperti ini dianggap bagian dari hadis menurut banyak para
ahli hadis.

Jika diteliti lebih jauh lagi, adanya simplifikasi di dalam menjelaskan beberapa istilah
memiliki dua akibat. Pertama akibat baik, bahwa dengan menyederhanakan penta’rifan tanpa
memasukkan perdebatan-perdebatan akan menguntungkan bagi para pembaca awam untuk
memahami maksud dari setiap istilah ulum al-hadis. Namun demikian, bagi yang
berkecimpung di dalam kajian ulum al-hadis sendiri, hal ini tentu dirasa kurang mengingat
diskusi-diskusi tersebut bisa memperkaya wawasan dan pengetahuan dalam khazanah
keilmuan hadis sendiri.

Di satu sisi, tujuan al-Wasith sebagaimana yang dipaparkan pada muqaddimah buku ini
yaitu agar baik muslim secara umum memahami ilmu ini bagi penulis sendiri sangat lah susah
dicapai. Sebab dalam ruang lingkup tertentu, ilmu hadis juga memiliki kompleksitasnya sendiri
yang hanya bisa difahami oleh orang-orang yang memang mau menyediakan banyak waktunya
untuk melakukan penyelidikan. Sebut saja konsep illah di dalam Ulum al-Hadis. Bagi para
ulama, Mempelajari ‘illah harus menempuh secara cermat pembahasan-pembahasan dan
kesamaran sebab-sebab ‘illah bahkan samar bagi umumnya para ahli hadis, kecuali para ahli
yang memang diberikan pemahaman yang sangat mendalam, luas, dan merinci.

8
Hal inilah yang membuat beberapa ahli hadis menyatakan bahwa mengetahui cacat
yang samar dalam hadis itu adalah sebuah ilham, intuisi dan bahkan dugaan atau ramalan
(kahānah). Hal ini berdasarkan banyak keterangan dari muhaddiṡūn sendiri. Salah satunya,
riwayat dari al-Ḥākim dalam kitabnya al-Ma’rifah, dan al-Khutaibi dalam al-Jāmi’
mengatakan bahwa Abu Zar’ah ditanya oleh seseorang: “apa hujjah-mu dalam mencacatkan
(ta’līlukum) sebuah hadis?”. Abu Zar’ah menjawab: “hujjah ku yaitu saat kau bertanya tentang
tentang ‘illah sebuah hadis, lalu kusebutkan ‘‘illah-nya, kemudian hadis itu kau tanyakan pula
pada Muḥammad bin Muslim bin Rawwāh mengenai ‘illah-nya tanpa kau beritahukan
mengenai pendapatku terhadap ‘illah hadis tersebut, lalu ia menyebutkan ‘illah-nya, lalu kau
tanya pula pada Abu Ḥātim dengan hadis yang sama dan dengan cara yang sama, lalu ia juga
memberitahukan cacatnya. Jika terdapat perbedaan ‘illah yang kami berikan terhadap hadis
tersebut, maka ketahuilah tiap dari kami menyebutkan ‘illah itu atas pengertian kami masing-
masing (fa’lam anna kulla minna takallamna ‘ala murādihi), dan jika kamu mendapati
kesesuaian kami atas ‘illah tersebut, maka ketahuilah bahwa itulah bukti kebenaran atas
pengetahuan dari ‘illah hadis ini. Pemuda itu kemudian mengerjakan apa yang diperintahkan
oleh Abu Zar’ah, dan dia mendapati adanya kesesuaian atas jawaban-jawaban itu. Dia berkata:
“Sungguh aku mengakui bahwa pengetahuan atas ‘illah hadis merupakan sebuah ilham”.6

Untuk itu, hemat penulis konsumsi orang awam atas ulum al-Hadis lebih dititik
beratkan kepada mengetahui hadis secara riwayat dan bagaimana memahami dan
mengamalkan hadis secar tepat. adapun status hadis dari segi dirayahnya bisa dijelaskan pada
hadis-hadis populer atau hadis-hadis dhaif yang sudah terlanjur diketahui khalayak masyarakat.
adapun ulum al-hadis secara rinci dan universal bisa diajarkan kepada mereka yang
berkecimpung dikeilmuan ini, atau memang dalam satu kasus terdapat pertanyaan yang
mengharuskan kita untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan menjelaskan beberapa istilah
hadis. Terlepas dari itu, apa yang dikaryakan oleh Abu Syuhbah dengan al-Wasith ini
merupakan khazanah keilmuan ulum al-hadis dan sumber penyelidikan ilmiah selanjutnya
yang berharga.

PENUTUP

Anggapan bahwa kajian ulum al-hadis tidaklah bisa berkembang secara signifikan bagi
penulis adalah kesalahan yang besar. sebab ilmu hadis pun memiliki banyak cabang ilmu yang
perlu dikaji di samping statusnya sebagai ilmu yang mencoba menjelaskan hadis sebagai salah
satu di antara sumber pokok ajaran Islam. kajian kitab Ulum al-hadis adalah contoh nyata
bagaimana ulum al-Hadis itu bisa berkembang. Khususnya di Indonesia sendiri, masih banyak
kitab ulum al-hadis karangan ulama nusantara yang belum banyak disentuh dan dikaji.

6 6
Abu Yūsuf Muṣṭafa Bahu, al-‘‘Illah wa Ajnāsuha ‘inda al-Muḥaddiṡīn, (Thanta: Dār aḍ-Ḍiyā, 2005
M), hlm. 60

Anda mungkin juga menyukai