Disusun Oleh:
1 Saifuddin Amin, Etika Peserta Didik Menurut Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-
Utsaimin, Deepublish: Yogyakarta, 2019, hal. 33
tersebut sudah terlihat kecerdasannya, kuat hafalannya, dan
kesabarannya dalam mengulang-ulang pelajaran yang sudah
dipelajarinya, kebiasaan ini disaksikan oleh teman-temannya. 2
2
sampai sebelum waktu zuhur, saat itu beliau belum menginjak usia
bâligh.5
3
Beliau suka mencandai anak-anak kecil, pandai membuat senang
dan tertawa orang-orang dewasa. Syaikh as-Sa’dî adalah orang yang
paling baik akhlaknya dari orang-orang yang pernah saya lihat.7
Syaikh al-‘Utsaimin juga belajar kepada Syaikh Abdul Aziz
Ibn Baz yang merupakan guru utama kedua setelah Syaikh As-Sa’dî.
Kepada Syaikh bin Baz beliau belajar kitab Shahih al-Bukhari dan
beberapa kitab karya Syaikhul Islam Ibnu Taîmiyyah dan kitab-kitab
fiqih. Komentar Syaikh al-‘Utsaimin kepada gurunya ini, beliau
mengatakan, “Syaikh Bin Baz banyak menpengaruhi saya dalam hal
perhatian beliau yang sangat intensif terhadap hadits. Saya juga
banyak terpengaruh dengan akhlak beliau dan kelapangannya
terhadap sesama manusia.”8
Pada tahun 1371 H, beliau mulai mengajar di masjid. Ketika
dibuka Ma’had Ilmi, beliau masuk tahun 1372 H, Syaikh al-‘Utsaimîn
masuk Ma’had Ilmi pada tahun kedua (dari berdirinya Ma’had) atas
saran Syaikh Ali ash-Shalihî, setelah sebelumnya mendapat izin dari
Syaikh as-Sa’dî. Ketika itu Ma’had Ilmi dibagi menjadi dua bagian,
yaitu umum dan khusus. Syaikh al-‘Utsaimin termasuk pelajar kelas
khusus dimana yang bisa mengikuti program akselerasi yang
apabila lulus tes di awal tahun ajaran baru dapat naik ke kelas
selanjutnya, dengan begitu waktu belajar menjadi lebih cepat.
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menyelesaikan studinya selama
dua tahun, kemudian diangkat menjadi pengajar di sana sekaligus
meneruskan kuliah di fakultas syariah sambil belajar kepada syaikh
Abdurrahman As-sa’di. Ketika syaikh Abdurrahman As-sa’di
meninggal, Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin diangkat menjadi
imam Masjid Jami’ Agung di ‘Unaizah. Syaikh Ibn al-‘Utsaimin juga
beraktivitas sebagai salah satu guru di perpustakaan Nasional
‘Unaizah sekaligus menjadi pengajar Ma’had ‘Ilmi ‘Unaizah. Setelah
itu Syaikh Muhammad al-‘utsaimin melakukan Mutasi ke Fakultas
4
Syari’ah dan Ushuluddin di Universitas Islam Imam Muhammad
bin Sa’ud, salah satu cabang di Qashim.9
Beliau juga pernah menjadi anggota Haîatu Kibaril Ulama’
Kerajaan Saudi Arabia. Syaikh Al-‘Utsaimin memiliki andil besar di
medan dakwah di jalan Allah SWT, beliau selalu mengikuti berbagai
perkembangan dan situasi dakwah di berbagai tempat. Syaikh
Muhammad bin Ibrahim telah berkali-kali menawarkan kepada
Syaikh al-‘Utsaimîn untuk menjadi qadhi (hakim), bahkan
pemerintah telah mengeluarkan surat keputusan yang menetapkan
beliau sebagai ketua mahkamah syari’ah di kota Ihsak, tetapi setelah
melalui berbagai pendekatan pribadi, akhirnya mahkamah
memahami ketidaksediaan Syaikh al-‘Utsaimin menerima jabatan
tersebut.10
Guru-guru Syaikh Ibn al-‘Utsaimîn diantaranya: As-Syaikh
Abdrurahman Ibn Nâshir as-Sa’dî, yang merupakan guru
pertamanya, w. 1387 H/1966 M, beliau merupakan mufassir yang
terkenal karyanya yaitu Taisîr Al-Karîm Al-Rahmân fi Tafsir Kalâm
Al-Manân, sebanyak delapan jilid. Syaikh Abdul Aziz Ibn Baz, belaiu
mufti Kerajaan Saudi Arabia, dan sekaligus ketua dari dewan ulama
senior. Syaikh Muhammad al-Amîn Ibn Muhammad al-Mukhtâr al-
Jankî al-Syanqîthî, w. 1393 H/1964 M, beliau mufassir sekaligus ahli
bahasa, pengarang dari kitab Tafsir Adwâul al-Bayân fi îdah Al-
Qur’an bi Al-Qur’an, Syaikh Ali Ibn Ahmad al-Shalihî, Syaikh
Muhammad Abdul Aziz al-Mutawwâ’, Syaikh Abdurrahman Ibn
Ali Ibn ‘Audân dan Syaikh Abdurrahman Ibn Sulaimân al-Dâmigh
Rahimahumullah, yang merupakan kakeknya dari pihak ibu.11
Murid-murid Syaikh Ibn al-‘Utsaimîn sangat banyak sekali
yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu, karena
pada setiap majelis ilmu yang diisi selalu dibanjiri para murid-
Ibnu Taimiyah, Riyadh: Dâr Ibn Al-Jauzî, 2000, 2Cet. Ke- 6, Jilid. 1, hal. 11
11 Muhammad Shâlih Al-‘Utsaimîn, Syarh Al-Aqîdah Al-Wasathiyah li Syaikh Al-Islam
5
muridnya, terlebih pada masa-masa terakhir hidupnya, lebih dari
lima ratus muridnya di setiap pelajaran hadir sesuai dengan
tingkatannya. murid-murid Syaikh Ibn al-‘Utsaimîn terdapat dalam
Majalah Hikmah no: 2 yang memuat didalamnya sekumpulan
murid-murid beliau yang sukses, dan pada kitab al-Durru al-Tsamîn
fi tarjamati faqîh al-Ummah al-‘alâmah Ibn al-‘Utsaimîn karya ‘Isham Ibn
Abdulmun’im al-Marî, disebutkan murid-murid beliau yang sukses
mengikuti jejaknya. Dakwah adalah jalan hidup Syaikh Shâlih al-
„Utsaimîn, begitulah kira-kira kata yang pantas untuk
menggambarkan kehidupan beliau, mengajak orang kepada Allah
SWT, menyebarkan ilmu dan mengajarkannya, dakwah adalah
tugas para Nabi dan Rasul dan jalan bagi seorang muslim sampai
ajal menjemput.
Syaikh al-‘Utsaimîn telah menempuh jalan dakwah para
Nabi, dengan mengerahkan segala kemampuannya, yang bisa
dilihat ketika di atas mimbar saat menyeru dan mengajak manusia
kepada Allah SWT, terbukti didengarkan di radio, televisi, acara
muktamar, atau langsung dari karya-karanya dan fatwa-fatwanya
yang tersebar di kampus-kampus, kajian-kajian ilmiah di masjid-
masjid, begitu juga bisa dilihat di masjid haram. Ia juga senantiasa
duduk di kursi menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, mengeluarkan
hukum tentang suatu masalah, faidah-faidah, nasihat, dan pelajaran
yang bisa diambil. Beliaupun tidak jarang menasihati pemerintah
dan para pemimpin, menasihati para pelaku maksiat, mendamaikan
suami istri, bapak, anak dan tetangganya. Lembut kepada anak kecil
dan selalu mengajarkan adab, memfatwakan dan menasihati
perempuan dengan kewajiaban memakai hijab dengan adab yang
baik, dengan nasihat yang lembut dan ucapan yang haq.12
Tempat-tempat yang dijadikan wadah kajian-kajian
keilmuan oleh Syaikh al-‘Utsaimîn, diantaranya: Pertama, kajian
keilmuan dalam disiplin ilmu tertentu, misalnya pembacaan kitab
Shahih Al-Bukharî, Shahih Muslim dan lain-lain, pada waktu setelah
6
maghrib hingga waktu qâmat sebelum isya di sepanjang minggu
selain bulan ramadhan. Kajian tersebut selagi beliau tinggal di
‘Unaizah. Kedua, kajian umum dan ceramah-ceramahnya, kajian
selepas ashar mengkaji kitab Riyad Al-Shâlihin, Bulugul Maram,
Miskat Al-Mashâbih dan beliau memberikan komentar. Ketiga,
pertemuan dalam muktamar. Mengkaji Aqidah setiap malam sabtu
selepas isya di setiap minggunya. Keempat, fatwa-fatwa, yang
ditanyakan kepadanya di masjid, kampus, dan rumahnya berkaitan
dengan permasalahan-permasalahan baru. Kelima, Minbar Al-
Jum’ah. Selama 40 tahun beliau sebagai khatîb jum’at dan khutbah
di dua hari raya. Syaikh al-‘Utsaimîn sudah terbiasa di atas mimbar
memberikan nasihat-nasihat dalam urusan agama, mengingatkan
manusia akan kewajiabanya di dunia.13
Ummah Al-‘alâmah Ibn ‘Utsaimîn, Riyadh: Maktabah Ar-Rasyîd, 2005, hal. 346-354
7
keilmuannya, baik dalam bentuk karya-karyanya dan rekaman-
rekamannya.14
8
Ibn Hambal, sementara Syaikh Abdrurrahman Al-Sa’dî terkenal
keluar dari penganut madzhab Imam Hanâbilah dan tidak terikat
dengan dengannya dalam banyak hal. Metode yang dibangun
Syaikh Abdrurrahman Al-Sa’dî banyak mengadopsi pendapat Ibnu
Taimiyah dan juga muridnya Ibnu Al-Qoyyim, yang kemudian
mentarjih kedua pendapat itu ke dalam madzhab Imam Ahmad Ibn
Hambal, maka Syaikh Abdrurrahman As-Sa’dî telepas dari
madzhab tertentu dan mengikuti pendapat yang haq menurutnya.
Sifat dan karakter ini berdampak pada cara pemikiran muridnya
Syaikh Muhammad Shâlih Al-‘Utsaimîn.16
Ummah Al-‘alâmah Ibn ‘Utsaimîn, Alexandria: Dâr Al-Bashîrah, 2003, hal. 358-360.
9
Amerika walaupun tidak lama, dan melanjutkan mengajar dan
memberi fatwa di kota ‘Unaizah dan Masjidil Haram hingga ia
wafat.18
18Fauzan Umam, Berbincang Pendidikan Karakter Peduli Sosial dengan Muhammad al-
Utsaimin, Quepedia: Jakarta, 2022, hal. 16
10
terdapat pada jilid pertama, dalam surah al-fātiḥaḥ hingga al-Baqarah,
berisi pembahasan tentang uşūl fī al-tafsīr. Materi ini ditulis oleh Ibn al-
‘Utsaimin karena hal yang terpenting dalam memahami sebuah ilmu
adalah memahami pokok-pokok yang menjadi dasar keilmuan tersebut
terlebih dahulu.19 Secara ringkas, materi yang disampaikan oleh Ibn al-
‘Utsaimin dalam sub mukaddimah ini adalah:
19Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, Arab Saudi: Dar Ibn
al-Jauzi, 2002, hlm. 5.
20Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin, Dasar Ilmu Tafsir, terj. Nor Kandir, Surabaya:
11
hingga selesai. Kemudian diserahkan kepada pihak percetakan untuk
ditindaklanjuti dalam proses penerbitannya. Maka berdasarkan
penjelasan singkat dari pengantar penerbit ini, dapat disimpulkan
sementara bahwa tafsir ini selesai diterbitkan (2002) setelah wafatnya
Ibn al-‘Utsaimin (w. 2001).
Adapun selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas terkait
bagaimana penafsiran dari Ibn al-‘Utsaimin dalam Tafsīr al-Qur’ān al-
Karīm ini.
1. Metode Penafsiran
Dalam menyajikan penafsiran, Ibn al-‘Utsaimin
menggunakan metode tahlili, yaitu memberikan uraian yang cukup
panjang dan luas dalam menjelaskan maksud ayat.
2. Sumber Penafsiran
Adapun penafsiran Ibn al-‘Utsaimin ini menggunakan
sumber penafsiran bi al-ma’śūr dan bi al-ra’yi, meskipun ia
menyebutkan bahwa penafsiran al-Qur’an hanya secara bi al-ma’śūr
dalam uşūl fī al-tafsīr-nya (secara tidak langsung ia hanya mengakui
tafsir bi al-ma’śūr). Namun jika ditelisik dalam penafsirannya lebih
lanjut, maka aspek bi al-ra’yi tidak kalah banyaknya digunakan oleh
Ibn al-‘Utsaimin.
Aspek bi al-ma’śūr yang terdapat dalam penafsirannya
meliputi penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an22, sunnah23,
ibn Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Baqarah)…, jilid 2, hlm. 32.
12
pendapat para mufassir terdahulu24, dan syair Arab25. Kemudian
aspek bi al-ra’yi yang digunakan oleh Ibn al-‘Utsaimin yaitu dengan
menjelaskan aspek-aspek kebahasan (segi ilmu Nahwu26 dan
persamaan kata27), munasabah ayat, asbāb al-nuzūl28, wujūh al-
mukhātabāt29, makkiyah dan madaniyyah ayat30 dan beberapa faedah
dari sebuah ayat yang ditafsirkan.
3. Corak Penafsiran
Berdasarkan yang telah sedikit disinggung di atas, maka
penulis mengambil kesimpulan bahwa corak penafsiran yang lebih
menonjol adalah corak kebahasaann (lugawi). Hal ini dapat dilihat
dari Ibn al-‘Utsaimin yang memberikan perhatian cukup besar
dalam beberapa aspek kebahasaan, seperti sintaksis, morfologi,
semantik dan sinonom kata pada masing-masing ayat.
4. Sistematika Penafsiran
Penafsiran yang dilakukan oleh Ibn al-‘Utsaimin dimulai
dengan menuliskan ayat yang akan ditafsirkan. Kemudian
dilanjutkan dengan penjelasan seputar turunnya ayat tersebut,
seperti makkiyyah atau madaniyyah, penamaan surah al-Qur’an, dan
urutan surah dalam al-Qur’an. Selanjutnya adalah uraian singkat
Lihat Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Baqarah)…, jilid
2, hlm. 16.
26Contohnya terdapat pada penafsiran QS. al-Baqarah/2: 120. Lihat Muhammad ibn
Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Baqarah)…, jilid 2, hlm. 31.
27Contohnya terdapat pada QS. al-Nisā’/4: 2. Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin,
Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Nisā’), Arab Saudi: Dar Ibn al-Jauzi, 2008, hlm. 19.
28 Contohnya terdapat pada penafsiran QS. al-Fīl/ 105 dalam Muhammad ibn Salih
al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Juz ‘Amm)”…, hlm. 319.
29Contohnya terdapat pada penafsiran QS. al-Baqarah/2: 120. Lihat Muhammad ibn
Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Baqarah)…, jilid 2, hlm. 30.
30Lihat contoh pada penafsiran QS. al-Kausar/108 dalam Muhammad ibn Salih al-
13
dari aspek Ilmu Nahwu yang terdapat dalam ayat yang sedang
dikaji. Biasanya ditulis dengan menguraikan kata demi kata. Masuk
kepada pembahasan penjelasan makna atau maksud ayat, Ibn al-
‘Utsaimin menjelaskannya dengan beragam sumber sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya dalam tulisan ini. Adapun poin
terakhir dari penafsirannya yaitu menjelaskan faidah-faidah dari
masing-masing ayat atau surah yang bisa diambil pelajaran bagi
setiap pembacanya.
14
rabbakum. Pada uraian terhadap redaksi ini, al-’Utsaimin memulainya
dengan menguliti aspek kebahasaan dari masing-masing partikel
redaksi tersebut. Mulai dari ya sebagai harf al-nida’, lalu ayyu menjadi
munada dan ha yang berfungsi sebagai tanbih (peringatan) serta al-nas
yang terkena hukum i’rab (penanda posisi struktur dalam kajian Nahwu)
na’at ataupun ‘athf bayan—manapun yang dipilih, kata al-nas tetap atau
mabniyah dengan tanda dhammah meskipun berada pada mahal (posisi
i’rab) nashab.32 Uraian penafsirannya terhadap redaksi pertama ini
memperlihatkan bahwa ia memiliki ciri khas penafsiran yang
memperhatikan aspek linguistik bahasa Arab (gramatika) secara
mendalam dan detail.
32 Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Nisā’…, hlm
12.
15
diarahkan pada makna teologis padahal redaksi selanjutnya berbicara
soal “kosmologi manusia”.33
33 Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Nisā’…, hlm.
12.
34 Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Nisā’…, hlm.
13
16
tersebut ialah hawa’. Adapun pada redaksi terakhir dari ayat tersebut
yang akan dibahas pada tulisan ini yaitu wa batstsa minhuma rijalan katsir
wa nisa’a. Al-’Utsaimin menjelaskan bahwa: (i) dhamir “huma” pada
lafadz minhuma kembali pada al-nafs dan zauj. (ii) Ia juga menegaskan
bahwa dua pembagian yang disebutkan yaitu rijal dan nisa’ mencakup
keseluruhan anak Adam as. tanpa terkecuali. Maka menurutnya, adanya
kasus seperti khunsa (berkelamin ganda) tidak menjadikan adanya
pembagian ketiga sehingga keluar dari dua pembagian sebelumnya. (iii)
Menurutnya ketidaan kalimat nisa’a katsirah disebabkan perbedaan
dalam beberapa hal. Ia menyebut bahwa banyaknya laki-laki merupakan
‘izz atau kemuliaan dan hal ini berlaku sebaliknya bagi perempuan.
Menurutnya, jika realitanya perempuan lebih banyak dari laki-laki,
maka berlaku istinbath Ibn Taimiyah yang menukil dua hadis yang
mengatakan bahwa “kebanyakan penduduk neraka adalah
perempuan”, serta “penduduk neraka dari anak Adam as. berjumlah
999–hanya satu yang masuk surga dari 1000 orang (redaksi ini
merupakan tambahan dari potongan redaksi pada teks penafsiran)”,
berdasarkan kedua hadis itu memang tepat jika perempuan lebih banyak
menjadi penghuni neraka. Ibn Taimiyah melanjutkan berdasarkan
analisanya tersebut bahwa kuantitas laki-laki yang lebih banyak
memberikan simbol kemuliaan dan kehormatan bagi manusia,
sebaliknya kuantitas perempuan yang lebih banyak menandakan beban
(a’lah), kepayahan (ta’b), dan kesusahan (‘ina’).35
35 Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Nisā’…, hlm.
14
17
kera; (iii) kuantitas laki-laki lebih penting dari pada kuantitas
perempuan. Sebab sifat yang manshush pada teks al-Qur’an (rijala katsira)
menunjukkan urgensi kuantitas tersebut.
36 Istilah horizon merupakan istilah yang generik dimiliki oleh Husserl dalam teori
Fenomenologinya. Ia menggambarkan bahwa manusia selalu memiliki pra-pemahaman
yang pembentukannya tidak bisa dilepaskan dari dimensi kesejarahannya yang selalu
berada dalam dimensi dan ruang waktu tertentu. F. Budi Hardiman, Melawan Positivisme
dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas,
Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 45.
37 Nevy Rusmarina Dewi, dkk, “Dinamika Kesetaraan Gender di Arab Saudi: Sebuah
Harapan Baru di Era Raja Salman”, Sospol: Jurnal Sosial Politik, Vol. 6, No. 1, 2020, 32-44.
38 Mas’odi, “Wahabisme vis a vis Reformasi Arab Saudi”, Al-Irfan, Vol. 3, No. 1, 2020,
53-54.
18
dengan adanya bukti kutipan dari Ibn Taimiyah yang pemikirannya
banyak dipakai dalam konstruksi keagamaan Arab Saudi yang
dikomposeri oleh Muhammad ibn Abdul Wahab.39
19
Kesimpulan
20
DAFTAR PUSTAKA
al-‘Utsaimin, Muhammad ibn Salih. Dasar Ilmu Tafsir, terj. Nor Kandir,
Surabaya: Pustaka Syabab, 2018.
_________. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Nisā’). Arab Saudi: Dar Ibn al-
Jauzi, 2008.
_________. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, Arab Saudi: Dar Ibn al-Jauzi, 2002.
Amin, Saifuddin. Etika Peserta Didik Menurut Syaikh Muhammad Bin Shalih
Al-Utsaimin. Deepublish: Yogyakarta, 2019.
21
M. Cooey, William R. Eakin dan Jay B. McDaniel, Markynoll: Orbis
Books, 1991.
Mas’odi. “Wahabisme vis a vis Reformasi Arab Saudi”, Al-Irfan, Vol. 3, No.
1, 2020, 53-54.
22