Anda di halaman 1dari 23

ANALISIS QS.

AL-NISĀ’/4:1 TENTANG KOSMOLOGI


MANUSIA: KAJIAN TERHADAP TAFSĪR AL-QUR’ĀN
AL-KARĪM KARYA IBN AL-‘UTSAIMIN

Guna memenuhi tugas


Mata Kuliah : Sejarah Tafsir
Dosen Pengampu : Dr. H. Muhammad Hariyadi, M.A

Disusun Oleh:

Hani Fazlin 212510129


Lailatul Badiah 212510133

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


MAGISTER PASCASARJANA
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN
JAKARTA
2022
A. Pendahuluan
Dinamika tafsir sebagai sebuah produk terus mengalami
perkembangan seiring dengan zaman yang membersamainya.
Terdapat beragam jenis penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an oleh
para cendekia muslim di berbagai belahan dunia. Penafsiran ini
tentunya diperlukan untuk bisa memahami bagaimana maksud yang
diinginkan oleh ayat al-Qur’an sebagai petunjuk bagi kehidupan
manusia. Masing-masing tafsir yang lahir dari konstruk sosial dan
historis yang berbeda, sedikit banyaknya akan mempengaruhi
bagaimana penafsiran yang hadir kala itu.
Adapun salah seorang ulama kontemporer, Ibn al-‘Utsaimin,
merupakan seorang mufassir yang hidup pada abad ke-20 Masehi dari
Kerajaan Arab Saudi. Ia dikenal dengan ulama kontemporer Wahabi
yang sangat produktif dalam menghasilkan karya tulis. Salah satunya
yaitu penafsiran terhadap al-Qur’an yang diberi nama Tafsīr al-Qur’ān
al-Karīm. Dikenal sebagai penganut mazhab Wahabi ini tentunya
menjadi menarik untuk ditelisik bagaimana penafsirannya terhadap
ayat-ayat al-Qur’an. Maka dalam tulisan ini, penulis mengangkat
sebuah tema dari tafsir Ibn al-‘Utsaimin tersebut, yaitu tentang
penafsiran QS. al-Nisā’/4: 01.

B. Biografi Ibn al-‘Utsaimin

Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin memiliki nama lengkap


Abdillah Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin Utsaimin Al-
Wuhaibi At-tamimi, sedangkan oleh umat Islam dikenal dengan nama
Syaikh Ibn al-‘Ustaimin atau syaikh ‘Utsaimin. Ia dilahirkan di kota
‘Unaizah Provinsi Qosim Kerajaan Arab Saudi pada malam 27
Ramadhan 1347 H/ 8 Maret 1929 M. Ia dilahirkan dalam lingkungan
keluarga yang taat beragama dan dalam lingkungan keluarga yang
penuh pancaran ilmu.1 Syaikh al-‘Utsaimîn memulai mencari ilmu
pada usia sembilan tahun, berkat pertolongan Allah SWT pada masa

1 Saifuddin Amin, Etika Peserta Didik Menurut Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-
Utsaimin, Deepublish: Yogyakarta, 2019, hal. 33
tersebut sudah terlihat kecerdasannya, kuat hafalannya, dan
kesabarannya dalam mengulang-ulang pelajaran yang sudah
dipelajarinya, kebiasaan ini disaksikan oleh teman-temannya. 2

Dalam masa ia tumbuh, Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin


mempelajari al-Qur’an kepada kakeknya (ayah dari arah ibunya), yang
bernama ‘Abdu al-Rahman bin Sulaiman Ali ad-Damigh, hingga
kemudian ia menjadi hafidz al-Qur’an. Setelah itu ia melakukan studi
terhadap disiplin ilmu lainnya seperti ilmu seni menulis (khat), ilmu
hitung, dan beberapa disiplin ilmu sastra kepada kakeknya tersebut.3
Namun pada sumber lain menurut murid Syaikh Ibn al-‘Utsaimîn yang
belajar kepadanya lebih dari 45 tahun, dan murid lain yang belajar
kepadanya lebih dari 20 tahun menyebutkan nahwa Syaikh Ibn al-
‘Utsaimîn hafal Al-Qur’an selama 6 bulan kepada seorang
Muallim/guru yang buta yaitu Syaikh Ali Ibn Abdullah al-Syahîtân.
Dari sumber ini bahwa Syaikh al-‘Utsaimîn tidak menghafal pada
kakeknya, tetapi hanya belajar membaca Al-Qur’an dasar dengan
melihat mushaf, sedangkan menghafalnya kepada Syaikh Ali Ibn
Abdullah al-Syahîtân.4

Dari sebagian keistimewaan Syaikh al-‘Utsaimîn diriwayatkan


oleh Syaikh Ahmad al-Qâdhî, bahwasannya Syaikh al-‘Utsaimîn sangat
tamak akan ilmu, sementara riwayat dari Syaikh Abdullah al-Mâni’
seorang qâdhî di ‘unaizah sampai tahun 1360 H, menceritakan
kebiasaan Syaikh al-Utsaimîn di pagi hari selalu datang ke rumahnya,
di atas kepalanya kitab-kitab dan lembaran kertas pelajaran, kemudian
mengetuk pintu dan mengucapkan salam, kemudian meminta izin
untuk naik ke ruang perpustakaan, dan berdiam diri untuk membaca

2 ‘Isham Ibn Abdulmun’im al-Marî, al-Durru al-Tsamîn fi tarjamati faqihul al-Ummah


Al-‘alâmah Ibn al-‘Utsaimîn, Alexandria: Dâr Al-Bashîrah, 2003, h. 23
3 Fauzan Umam, Berbincang Pendidikan Karakter Peduli Sosial dengan Muhammad al-

Utsaimin, Quepedia: Jakarta, 2022, hal. 13


4 Isham Ibn Abdulmun’im al-Marî, al-Durru al-Tsamîn fi tarjamati faqihul al-Ummah

Al-‘alâmah Ibn al-‘Utsaimîn, Alexandria: Dâr Al-Bashîrah, 2003, h. 24

2
sampai sebelum waktu zuhur, saat itu beliau belum menginjak usia
bâligh.5

1. Perjalanan Akademis dan Aktivitas Dakwah


Pada usia 18 tahun, Syaikh Ibn al-‘Utsaimîn memulai
mengerahkan untuk belajar kepada seorang ulama besar yaitu
Syaikh Abdurrahman Ibn Nashir as-Sa’dî, yang merupakan guru
utama beliau yang mempengaruhi pemikiran beliau kedepannya. di
tempat ini pula beliau belajar kepada Ali As-Shalihi dan Muhammad
Ibnu Abdu al-Aziz al-Muthawi’ yang juga murid dari Syaikh
Abdurrahman As-sa’di. Dari mereka berdua Syaikh Ibn al-‘Utsaimin
belajar Mukhtashar ‘Aqidah al-Wasthiyah dan Minhaju al-Salikin fi al-
Fiqh karya Abdurrahman Ibn Nashir As-sa’di. Tidak hanya itu,
Syaikh Ibn al-‘Utsaimin juga belajar ilmu tauhid, tafsir, hadits, fiqh,
ushul fiqh, faroid, mushthalahul hadits, nahwu dan shorrof secara
langsung kepada Syaikh Abdurrahman As-sa’di yang dikategorikan
sebagai syaikhnya yang utama. Syaikh Ibn al-‘Utsaimin memiliki
kedudukan tinggi disisi Syaikh Abdurrahman As-sa’di. Hal ini
dibuktikan pada saat Muhammad al-Utsaimin diajak pindah ke
Riyadh oleh ayahnya, Syaikh Abdurrahman As-sa’di menulis surat
kepada ayah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin yang berisi bahwa
syaikh Abdurrahman As-sa’di tidak ingin Muhammad bin Shalih al-
‘Utsaimin pindah bersama ayahnya ke Riyadh, melainkan tetap
belajar bersama syaikh Abdurrahman As-sa’di.6 Komentar kepada
gurunya ini, Syaikh al-‘Utsaimîn mengatakan, “Syaikh as-Sa’dî
sungguh banyak memberi pengaruh kepada saya dalam hal metode
mengajar, memaparkan ilmu serta pendekatannya kepada para
siswa melalui contoh-contoh dan substansi-substansi makna. Beliau
juga banyak memberi pengaruh kepada saya dalam hal akhlak.
Syaikh As-Sa’dî adalah seorang yang memiliki akhlak agung dan
mulia, sangat mendalam ilmunya serta kuat dan tekun ibadahnya.

5 Isham Ibn Abdulmun’im al-Marî, al-Durru al-Tsamîn fi tarjamati faqihul al-Ummah


Al-‘alâmah Ibn al-‘Utsaimîn,…..h. 24
6 ‘Isham Ibn Abdulmun’im al-Marî, al-Durru al-Tsamîn fi tarjamati faqihul al-Ummah

Al-‘alâmah Ibn al-‘Utsaimîn,……, hal.25

3
Beliau suka mencandai anak-anak kecil, pandai membuat senang
dan tertawa orang-orang dewasa. Syaikh as-Sa’dî adalah orang yang
paling baik akhlaknya dari orang-orang yang pernah saya lihat.7
Syaikh al-‘Utsaimin juga belajar kepada Syaikh Abdul Aziz
Ibn Baz yang merupakan guru utama kedua setelah Syaikh As-Sa’dî.
Kepada Syaikh bin Baz beliau belajar kitab Shahih al-Bukhari dan
beberapa kitab karya Syaikhul Islam Ibnu Taîmiyyah dan kitab-kitab
fiqih. Komentar Syaikh al-‘Utsaimin kepada gurunya ini, beliau
mengatakan, “Syaikh Bin Baz banyak menpengaruhi saya dalam hal
perhatian beliau yang sangat intensif terhadap hadits. Saya juga
banyak terpengaruh dengan akhlak beliau dan kelapangannya
terhadap sesama manusia.”8
Pada tahun 1371 H, beliau mulai mengajar di masjid. Ketika
dibuka Ma’had Ilmi, beliau masuk tahun 1372 H, Syaikh al-‘Utsaimîn
masuk Ma’had Ilmi pada tahun kedua (dari berdirinya Ma’had) atas
saran Syaikh Ali ash-Shalihî, setelah sebelumnya mendapat izin dari
Syaikh as-Sa’dî. Ketika itu Ma’had Ilmi dibagi menjadi dua bagian,
yaitu umum dan khusus. Syaikh al-‘Utsaimin termasuk pelajar kelas
khusus dimana yang bisa mengikuti program akselerasi yang
apabila lulus tes di awal tahun ajaran baru dapat naik ke kelas
selanjutnya, dengan begitu waktu belajar menjadi lebih cepat.
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menyelesaikan studinya selama
dua tahun, kemudian diangkat menjadi pengajar di sana sekaligus
meneruskan kuliah di fakultas syariah sambil belajar kepada syaikh
Abdurrahman As-sa’di. Ketika syaikh Abdurrahman As-sa’di
meninggal, Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin diangkat menjadi
imam Masjid Jami’ Agung di ‘Unaizah. Syaikh Ibn al-‘Utsaimin juga
beraktivitas sebagai salah satu guru di perpustakaan Nasional
‘Unaizah sekaligus menjadi pengajar Ma’had ‘Ilmi ‘Unaizah. Setelah
itu Syaikh Muhammad al-‘utsaimin melakukan Mutasi ke Fakultas

7 Muhammad Shâlih Al-‘Utsaimîn, Syarh Al-Aqîdah Al-Wasathiyah li Syaikh Al-Islam


Ibnu Taimiyah, Riyadh: Dâr Ibn Al-Jauzî, 2000, Cet. Ke- 6, Jilid. 1, hal. 11
8 Muhammad Shâlih Al-‘Utsaimîn, Syarh Al-Aqîdah Al-Wasathiyah li Syaikh Al-Islam

Ibnu Taimiyah, …..., hal. 11

4
Syari’ah dan Ushuluddin di Universitas Islam Imam Muhammad
bin Sa’ud, salah satu cabang di Qashim.9
Beliau juga pernah menjadi anggota Haîatu Kibaril Ulama’
Kerajaan Saudi Arabia. Syaikh Al-‘Utsaimin memiliki andil besar di
medan dakwah di jalan Allah SWT, beliau selalu mengikuti berbagai
perkembangan dan situasi dakwah di berbagai tempat. Syaikh
Muhammad bin Ibrahim telah berkali-kali menawarkan kepada
Syaikh al-‘Utsaimîn untuk menjadi qadhi (hakim), bahkan
pemerintah telah mengeluarkan surat keputusan yang menetapkan
beliau sebagai ketua mahkamah syari’ah di kota Ihsak, tetapi setelah
melalui berbagai pendekatan pribadi, akhirnya mahkamah
memahami ketidaksediaan Syaikh al-‘Utsaimin menerima jabatan
tersebut.10
Guru-guru Syaikh Ibn al-‘Utsaimîn diantaranya: As-Syaikh
Abdrurahman Ibn Nâshir as-Sa’dî, yang merupakan guru
pertamanya, w. 1387 H/1966 M, beliau merupakan mufassir yang
terkenal karyanya yaitu Taisîr Al-Karîm Al-Rahmân fi Tafsir Kalâm
Al-Manân, sebanyak delapan jilid. Syaikh Abdul Aziz Ibn Baz, belaiu
mufti Kerajaan Saudi Arabia, dan sekaligus ketua dari dewan ulama
senior. Syaikh Muhammad al-Amîn Ibn Muhammad al-Mukhtâr al-
Jankî al-Syanqîthî, w. 1393 H/1964 M, beliau mufassir sekaligus ahli
bahasa, pengarang dari kitab Tafsir Adwâul al-Bayân fi îdah Al-
Qur’an bi Al-Qur’an, Syaikh Ali Ibn Ahmad al-Shalihî, Syaikh
Muhammad Abdul Aziz al-Mutawwâ’, Syaikh Abdurrahman Ibn
Ali Ibn ‘Audân dan Syaikh Abdurrahman Ibn Sulaimân al-Dâmigh
Rahimahumullah, yang merupakan kakeknya dari pihak ibu.11
Murid-murid Syaikh Ibn al-‘Utsaimîn sangat banyak sekali
yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu, karena
pada setiap majelis ilmu yang diisi selalu dibanjiri para murid-

9 Fauzan Umam, Berbincang Pendidikan Karakter Peduli Sosial dengan Muhammad


al-Utsaimin, Quepedia: Jakarta, 2022, hal. 15
10 Muhammad Shâlih Al-‘Utsaimîn, Syarh Al-Aqîdah Al-Wasathiyah li Syaikh Al-Islam

Ibnu Taimiyah, Riyadh: Dâr Ibn Al-Jauzî, 2000, 2Cet. Ke- 6, Jilid. 1, hal. 11
11 Muhammad Shâlih Al-‘Utsaimîn, Syarh Al-Aqîdah Al-Wasathiyah li Syaikh Al-Islam

Ibnu Taimiyah,……. hal.12

5
muridnya, terlebih pada masa-masa terakhir hidupnya, lebih dari
lima ratus muridnya di setiap pelajaran hadir sesuai dengan
tingkatannya. murid-murid Syaikh Ibn al-‘Utsaimîn terdapat dalam
Majalah Hikmah no: 2 yang memuat didalamnya sekumpulan
murid-murid beliau yang sukses, dan pada kitab al-Durru al-Tsamîn
fi tarjamati faqîh al-Ummah al-‘alâmah Ibn al-‘Utsaimîn karya ‘Isham Ibn
Abdulmun’im al-Marî, disebutkan murid-murid beliau yang sukses
mengikuti jejaknya. Dakwah adalah jalan hidup Syaikh Shâlih al-
„Utsaimîn, begitulah kira-kira kata yang pantas untuk
menggambarkan kehidupan beliau, mengajak orang kepada Allah
SWT, menyebarkan ilmu dan mengajarkannya, dakwah adalah
tugas para Nabi dan Rasul dan jalan bagi seorang muslim sampai
ajal menjemput.
Syaikh al-‘Utsaimîn telah menempuh jalan dakwah para
Nabi, dengan mengerahkan segala kemampuannya, yang bisa
dilihat ketika di atas mimbar saat menyeru dan mengajak manusia
kepada Allah SWT, terbukti didengarkan di radio, televisi, acara
muktamar, atau langsung dari karya-karanya dan fatwa-fatwanya
yang tersebar di kampus-kampus, kajian-kajian ilmiah di masjid-
masjid, begitu juga bisa dilihat di masjid haram. Ia juga senantiasa
duduk di kursi menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, mengeluarkan
hukum tentang suatu masalah, faidah-faidah, nasihat, dan pelajaran
yang bisa diambil. Beliaupun tidak jarang menasihati pemerintah
dan para pemimpin, menasihati para pelaku maksiat, mendamaikan
suami istri, bapak, anak dan tetangganya. Lembut kepada anak kecil
dan selalu mengajarkan adab, memfatwakan dan menasihati
perempuan dengan kewajiaban memakai hijab dengan adab yang
baik, dengan nasihat yang lembut dan ucapan yang haq.12
Tempat-tempat yang dijadikan wadah kajian-kajian
keilmuan oleh Syaikh al-‘Utsaimîn, diantaranya: Pertama, kajian
keilmuan dalam disiplin ilmu tertentu, misalnya pembacaan kitab
Shahih Al-Bukharî, Shahih Muslim dan lain-lain, pada waktu setelah

12Isham Ibn Abdulmun’im al-Marî, al-Durru al-Tsamîn fi tarjamati faqihul al-Ummah


Al-‘alâmah Ibn al-‘Utsaimîn, Alexandria: Dâr Al-Bashîrah, 2003, hal.345

6
maghrib hingga waktu qâmat sebelum isya di sepanjang minggu
selain bulan ramadhan. Kajian tersebut selagi beliau tinggal di
‘Unaizah. Kedua, kajian umum dan ceramah-ceramahnya, kajian
selepas ashar mengkaji kitab Riyad Al-Shâlihin, Bulugul Maram,
Miskat Al-Mashâbih dan beliau memberikan komentar. Ketiga,
pertemuan dalam muktamar. Mengkaji Aqidah setiap malam sabtu
selepas isya di setiap minggunya. Keempat, fatwa-fatwa, yang
ditanyakan kepadanya di masjid, kampus, dan rumahnya berkaitan
dengan permasalahan-permasalahan baru. Kelima, Minbar Al-
Jum’ah. Selama 40 tahun beliau sebagai khatîb jum’at dan khutbah
di dua hari raya. Syaikh al-‘Utsaimîn sudah terbiasa di atas mimbar
memberikan nasihat-nasihat dalam urusan agama, mengingatkan
manusia akan kewajiabanya di dunia.13

2. Buah Pemikiran dan Karya-karyanya

Kesungguhan dan kerja keras Syaikh al-‘Utsaimîn lebih dari


50 tahun, mengabdikan dirinya dan dedikasinya untuk mengajar,
memberikan nasihat, menyampaikan ceramah-ceramah dan
berdakwah di jalan Allah SWT. Banyak mengeluarkan fatwa-fatwa
dalam bentuk tanya jawab yang tersusun rapih, menerbitkan kitab-
kitab, risâlah, kajian-kajian (muhâdarât), dan fatwa-fatwa, khutbah,
seminar-seminar yang beliau ikuti. Begitupula kumpulan ceramah,
khutbah dan kajian-kajian ilmiyah dalam bentuk suara yang
direkam, dari kajian tafsir sirah Nabawiyah, matan-matan, dan
nadzam dalam ilmu syari’ah dan nahwu. Untuk menyebarluaskan
pemikiran dan karya-karyanya, risalah-risalahnya, kajian-kajian
ilmiyah, kumpulan ceramah dan khutbah dalam bentuk tulisan
maupun lainnya. Syaikh al-‘Utsaimîn membuat sebuah yayasan
yang dinamai Muassasah as-Syaikh Muhammad Ibn Shâlih al-
‘Utsaimîn al-Khaîriyyah dengan tujuan memperluas pemikiran

‘Isham Ibn Abdulmun’im Al-Marî, Al-Durru Al-Tsamîn fi Tarjamati Faqihul Al-


13

Ummah Al-‘alâmah Ibn ‘Utsaimîn, Riyadh: Maktabah Ar-Rasyîd, 2005, hal. 346-354

7
keilmuannya, baik dalam bentuk karya-karyanya dan rekaman-
rekamannya.14

Kontribusi lain yang dicapai Syaikh Shâlih al-„Utsaimîn,


selain beliau sebagai seorang pengajar, khatîb, pengarang, mufti
dalam berdakwah di jalan Allah SWT, beliau mempunyai jabatan
tinggi dan peran penting di pemerintahan Saudi Arabia,
diantaranya:

a. Sebagai anggota Haîah Kibar Ulama / ulama senior di Kejaan


Saudi Arabia
b. Sebagai anggota riset ilmiyah di Universitas Al-Imâm Ibn Sa‟ūd
Al-Islâmiyah, dari tahun 1307 H/1986 sampai beliau wafat.
c. Sebagai anggota pengajar di studi Syari’ah dan Ushūluddin
cabang Universitas Al-Imâm Ibn Su’ud Al-Islâmiyah di kota Al-
Qashîm dan menjabat sebagai ketua jurusan Aqidah.
d. Sebagai ketua organisasi Tahfizh Al-Qur’an Al-Khairiyyah di
‘Unaizah yang didirikan pada tahun 1405 H/1984.
e. Bagian dari ulama senior Kerajaan Arab Saudi yang menjawab
persoalan umat, sekitar hukum-hukum agama, aqidah, syari’ah
f. Ikut serta dalam berbagai seminar keagamaan dan
kepemerintahan yang diadakan oleh Kerajaan Saudi Arabia.15

Secara tegas Syaikh al-‘Utsaimîn mengatakan bahwasanya ia


telah banyak terpengaruhi gurunya yaitu Syaikh Abdurrahman As-
sa’di dalam metode mengajar, menerangkan suatu ilmu yaitu
dengan memberikan contoh dan pengertian makna-makna. Manhaj
yang digunakan Syaikh Abdurrahman As-Sa’dî sebenarnya keluar
dari kebiasaan metode yang digunakan ulama Al-Jazirah yang
secara umum mengikuti madzhab Imam Ahmad Ibn Hambal yakni
dalam hal furu’ dari masalah-masalah hukum fiqih, yang
menginduk kepada kitab Zâd Al-Mustanqi’ pada fiqih Imam Ahmad

14 Muhammad Shâlih Al-‘Utsaimîn, Syarh Al-Aqîdah Al-Wasathiyah li Syaikh Al-Islam


Ibnu Taimiyah, Riyadh: Dâr Ibn Al-Jauzî, 2000, Cet. ke- 6, Jilid 1, hal. 11
15 Muhammad Shâlih Al-‘Utsaimîn, Syarh Al-Aqîdah Al-Wasathiyah li Syaikh Al-Islam

Ibnu Taimiyah,…... hal. 13

8
Ibn Hambal, sementara Syaikh Abdrurrahman Al-Sa’dî terkenal
keluar dari penganut madzhab Imam Hanâbilah dan tidak terikat
dengan dengannya dalam banyak hal. Metode yang dibangun
Syaikh Abdrurrahman Al-Sa’dî banyak mengadopsi pendapat Ibnu
Taimiyah dan juga muridnya Ibnu Al-Qoyyim, yang kemudian
mentarjih kedua pendapat itu ke dalam madzhab Imam Ahmad Ibn
Hambal, maka Syaikh Abdrurrahman As-Sa’dî telepas dari
madzhab tertentu dan mengikuti pendapat yang haq menurutnya.
Sifat dan karakter ini berdampak pada cara pemikiran muridnya
Syaikh Muhammad Shâlih Al-‘Utsaimîn.16

Karya-karya Syaikh Muhammad Ibn Shâlih Al-‘Utsaimîn


diantaranya:

a. Fath Rabb Al-Bariyyah bi Talkhis Al-Humuwiyyah, merupakan


kitab yang pertama ia karang.
b. Al-Ushūl min ‘Ilmi Al-Ushūl
c. Musthalah Al-Hadits
d. Risâlah fi Al-Wudhu wa Al-Gasl wa Al-Shâlat
e. Syarah Al-‘Aqîdah Al-Wâsathiyah, li Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah
f. Risâlah fi Ushūl At-Tafsir.17

Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin wafat pada hari Rabu


tanggal 15 Syawwal tahun 1421 H / 10 Januari 2001, pukul 17.00,
bertempat di rumah sakit spesialis Raja Faisal kota Jeddah. Setelah
lama menderita penyakit Kanker. Penyakit tersebut diketahui pada
tahun yang sama di bulan Shafar setelah melakukan check up di
rumah sakit Raja Fahd di Riyadh. Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin
tetap bersabar mencari pahala dan menolak pengobatan kimiawi.
Namun pemerintah mendesak Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin
untuk berobat yang akhirnya beliau menyanggupi untuk berobat ke

16 Muhammad Shâlih Al-‘Utsaimîn, Syarh Al-Aqîdah Al-Wasathiyah li Syaikh Al-Islam


Ibnu Taimiyah,….. hal. 12-14.
17 Isham Ibn Abdulmun’im Al-Marî, Al-Durru Al-Tsamîn fi Tarjamati Faqihul Al-

Ummah Al-‘alâmah Ibn ‘Utsaimîn, Alexandria: Dâr Al-Bashîrah, 2003, hal. 358-360.

9
Amerika walaupun tidak lama, dan melanjutkan mengajar dan
memberi fatwa di kota ‘Unaizah dan Masjidil Haram hingga ia
wafat.18

C. Pengenalan Kitab Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm Karya Ibn al-‘Utsaimin

Ibn al-Utsaimin merupakan seorang ulama yang sangat


produktif, terbukti dengan beragam karya tulisnya dari berbagai
bidang keilmuan. Karya dalam bidang tafsir salah satunya yaitu
dengan hadirnya kitab yang diberi nama dengan Tafsīr al-Qur’ān al-
Karīm. Namun penulis tidak menemukan kata pengantar atau
mukaddimah dalam penulisan kitab tafsir ini, sehingga ada banyak
informasi penting berkaitan yang tidak bisa penulis akses. Di antaranya
yaitu informasi mengenai motivasi dan semangat kepenulisan tafsir,
penamaan tafsir, kapan tafsir ini ditulis dan diselesaikan, dan jumlah
surah atau juz yang ditafsirkan oleh Ibn al-‘Utsaimin. Sejauh
penelusuran terhadap kitab tafsir ini, penulis hanya menemukan
sejumlah 73 surah saja yang ditafsirkan oleh Ibn al-‘Utsaimin dan
ditulis secara terpisah masing-masing surahnya, kecuali juz 30.

Adapun 41 surah lainnya yang tidak ditemukan dalam tafsir ini


yaitu surah-surah pada juz 28, 29, dan beberapa surah lainnya di luar
dua juz tersebut. Kajian terhadap kitab tafsir ini belum banyak
ditemukan sehingga penulis juga mengalami keterbatasan beberapa
informasi. Maka penulis tidak bisa memberikan kesimpulan bahwa
tafsir ini memang tidak ditulis secara utuh oleh Ibn al-‘Utsaimin atau
memang keterbatasan akses terhadap tafsir surah-surah lainnya.
Kemudian pertanyaan selanjutnya yang akan muncul jika tafsir ini
memang tidak ditulis secara utuh oleh Ibn al-‘Utsaimin adalah “apakah
ada alasan khusus mengapa tafsir ini tidak ditulis dalam 30 juz?”.

Kemudian dalam penulisan tafsir ini terdapat mukaddimah,


namun tidak sebagaimana mukaddimah pada umumnya yang berisi
pengantar kepenulisan karya tersebut. mukaddimah paling awal yang

18Fauzan Umam, Berbincang Pendidikan Karakter Peduli Sosial dengan Muhammad al-
Utsaimin, Quepedia: Jakarta, 2022, hal. 16

10
terdapat pada jilid pertama, dalam surah al-fātiḥaḥ hingga al-Baqarah,
berisi pembahasan tentang uşūl fī al-tafsīr. Materi ini ditulis oleh Ibn al-
‘Utsaimin karena hal yang terpenting dalam memahami sebuah ilmu
adalah memahami pokok-pokok yang menjadi dasar keilmuan tersebut
terlebih dahulu.19 Secara ringkas, materi yang disampaikan oleh Ibn al-
‘Utsaimin dalam sub mukaddimah ini adalah:

1. Seputar al-Qur’an; permulaan turun, sebab turunnya al-Qur’an,


ayat makkiyyah dan madaniyyah, penulisan dan pengumpulan al-
Qur’an.
2. Seputar tafsir; pengertian tafsir, kewajiban menafsirkan al-Qur’an
bagi seorang muslim, sumber rujukan penafsiran, ikhtilāf,
penerjemahan al-Qur’an, selayang pandang biografi lima mufassir
klasik, ayat muhkām dan mutasyābihāt, pertentangan dalam ayat-
ayat al-Qur’an, al-qasm (sumpah), kisah-kisah dalam al-Qur’an,
Isra’iliyyat, dan pembahasan terkait ḍamīr (kata ganti) di dalam al-
Qur’an.20

Penjelasan dari masing-masing materi di atas disajikan dengan


padat dan cukup rinci oleh Ibn al-‘Utsaimin. Adapun alasan khusus
kepenulisan mukaddimah uşūl fī al-tafsīr ini disebutkan oleh Ibn al-
‘Utsaimin sebagai buku pegangan bagi mahasiswa di Universitas al-
Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyyah yang terletak di Riyad.
Namun kemudian disebar-luaskan menjadi buku tersendiri karena
adanya permintaan dari orang-orang lainnya.21
Selanjutnya pada mukaddimah penerbit dalam cetakan jilid
pertama ini juga terdapat ungkapan terima kasih kepada salah seorang
murid dari Ibn al-‘Utsaimin, Khalid ibn Hamid ibn Khalil, yang telah
menyalin penafsiran surah al-fātiḥaḥ hingga al-Baqarah dari Ibn al-
‘Utsaimin, yang telah dibacakan dan ditinjau oleh Ibn al-‘Utsaimin

19Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, Arab Saudi: Dar Ibn
al-Jauzi, 2002, hlm. 5.
20Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin, Dasar Ilmu Tafsir, terj. Nor Kandir, Surabaya:

Pustaka Syabab, 2018, hlm. 8-11.


21Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm…, hlm. 5.

11
hingga selesai. Kemudian diserahkan kepada pihak percetakan untuk
ditindaklanjuti dalam proses penerbitannya. Maka berdasarkan
penjelasan singkat dari pengantar penerbit ini, dapat disimpulkan
sementara bahwa tafsir ini selesai diterbitkan (2002) setelah wafatnya
Ibn al-‘Utsaimin (w. 2001).
Adapun selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas terkait
bagaimana penafsiran dari Ibn al-‘Utsaimin dalam Tafsīr al-Qur’ān al-
Karīm ini.

1. Metode Penafsiran
Dalam menyajikan penafsiran, Ibn al-‘Utsaimin
menggunakan metode tahlili, yaitu memberikan uraian yang cukup
panjang dan luas dalam menjelaskan maksud ayat.

2. Sumber Penafsiran
Adapun penafsiran Ibn al-‘Utsaimin ini menggunakan
sumber penafsiran bi al-ma’śūr dan bi al-ra’yi, meskipun ia
menyebutkan bahwa penafsiran al-Qur’an hanya secara bi al-ma’śūr
dalam uşūl fī al-tafsīr-nya (secara tidak langsung ia hanya mengakui
tafsir bi al-ma’śūr). Namun jika ditelisik dalam penafsirannya lebih
lanjut, maka aspek bi al-ra’yi tidak kalah banyaknya digunakan oleh
Ibn al-‘Utsaimin.
Aspek bi al-ma’śūr yang terdapat dalam penafsirannya
meliputi penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an22, sunnah23,

22 Salah satu contohnya terdapat dalam penafsiran QS. al-An’ām/6: 82 yang


dijelaskan dengan QS. Luqmān/31: 13 terkait kata “al-ẓulm”. Cecep Fuad Audah,
“Esoterisme dalam Tafsir al-‘Utsaimin (Analisis atas Dimensi Sufistik dalam Tafsir al-
‘Utsaimin)”, Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta,
2019, hlm. 78-79.
23Contohnya terdapat dalam penafsiran QS. al-Baqarah/2: 120. Lihat Muhammad

ibn Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Baqarah)…, jilid 2, hlm. 32.

12
pendapat para mufassir terdahulu24, dan syair Arab25. Kemudian
aspek bi al-ra’yi yang digunakan oleh Ibn al-‘Utsaimin yaitu dengan
menjelaskan aspek-aspek kebahasan (segi ilmu Nahwu26 dan
persamaan kata27), munasabah ayat, asbāb al-nuzūl28, wujūh al-
mukhātabāt29, makkiyah dan madaniyyah ayat30 dan beberapa faedah
dari sebuah ayat yang ditafsirkan.

3. Corak Penafsiran
Berdasarkan yang telah sedikit disinggung di atas, maka
penulis mengambil kesimpulan bahwa corak penafsiran yang lebih
menonjol adalah corak kebahasaann (lugawi). Hal ini dapat dilihat
dari Ibn al-‘Utsaimin yang memberikan perhatian cukup besar
dalam beberapa aspek kebahasaan, seperti sintaksis, morfologi,
semantik dan sinonom kata pada masing-masing ayat.

4. Sistematika Penafsiran
Penafsiran yang dilakukan oleh Ibn al-‘Utsaimin dimulai
dengan menuliskan ayat yang akan ditafsirkan. Kemudian
dilanjutkan dengan penjelasan seputar turunnya ayat tersebut,
seperti makkiyyah atau madaniyyah, penamaan surah al-Qur’an, dan
urutan surah dalam al-Qur’an. Selanjutnya adalah uraian singkat

24 Contohnya terdapat pada penafsiran QS. al-Kafirūn/109 dalam Muhammad ibn


Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Juz ‘Amm)”, Riyad: Dar al-Surayya, 2002, hlm.
337.
25Contohnya pada penafsiran Q.S. al-Bqarah/2: 117 dalam menjelaskan kata “badī’”.

Lihat Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Baqarah)…, jilid
2, hlm. 16.
26Contohnya terdapat pada penafsiran QS. al-Baqarah/2: 120. Lihat Muhammad ibn

Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Baqarah)…, jilid 2, hlm. 31.
27Contohnya terdapat pada QS. al-Nisā’/4: 2. Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin,

Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Nisā’), Arab Saudi: Dar Ibn al-Jauzi, 2008, hlm. 19.

28 Contohnya terdapat pada penafsiran QS. al-Fīl/ 105 dalam Muhammad ibn Salih
al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Juz ‘Amm)”…, hlm. 319.
29Contohnya terdapat pada penafsiran QS. al-Baqarah/2: 120. Lihat Muhammad ibn

Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Baqarah)…, jilid 2, hlm. 30.
30Lihat contoh pada penafsiran QS. al-Kausar/108 dalam Muhammad ibn Salih al-

‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Juz ‘Amm)”…, hlm. 331.

13
dari aspek Ilmu Nahwu yang terdapat dalam ayat yang sedang
dikaji. Biasanya ditulis dengan menguraikan kata demi kata. Masuk
kepada pembahasan penjelasan makna atau maksud ayat, Ibn al-
‘Utsaimin menjelaskannya dengan beragam sumber sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya dalam tulisan ini. Adapun poin
terakhir dari penafsirannya yaitu menjelaskan faidah-faidah dari
masing-masing ayat atau surah yang bisa diambil pelajaran bagi
setiap pembacanya.

D. Penafsiran al-‘Utsaimin terhadap QS. al-Nisā’/4: 1

Pemilihan tema dan ayat ini didasarkan keinginan penulis untuk


mengkritisi unsur gender Ibnu Ustaimin dalam penafsiran Q.S. al-Nisa/4:
1 tentang penciptaan manusia. Adapun redaksi Q.S. al-Nisa/4: 1 sebagai
berikut:

‫ث ِم ْن ُه َما‬َّ َ‫اح َدةٍ َّو َخلَقَ ِم ْن َها زَ ْو َج َها َوب‬


ِ ‫ِي َخلَقَ ُك ْم ِم ْن نَّ ْف ٍس َّو‬ ُ َّ‫يٰٓاَيُّ َها الن‬
ْ ‫اس اتَّقُ ْوا َربَّ ُك ُم الَّذ‬
١ ‫علَ ْي ُك ْم َرقِ ْيباا‬ َ ‫ام ۗ ا َِّن ه‬
َ َ‫ّٰللا َكان‬ َ ‫س ۤا َءلُ ْونَ ِب ٖه َو ْاًلَ ْر َح‬
َ َ‫ِي ت‬ َ ‫س ۤا اء ۚ َواتَّقُوا ه‬
ْ ‫ّٰللا الَّذ‬ ‫ِر َج ا‬
َ ِ‫اًل َكثِي اْرا َّون‬
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya
pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-
Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”31

Penafsiran al-’Utsaimin terhadap Q.S. al-Nisa/ 4: 1 terbilang


panjang untuk sebuah penafsiran satu ayat. Ia menghabiskan hampir
sekitar sembilan (9) halaman untuk menafsirkannya. Ia juga melakukan
pemenggalan ayat ke dalam beberapa redaksi yang menurutnya dapat
dianalisis secara terpisah dari redaksi yang lain. Pada penafsiran Q.S. al-
Nisa/ 4: 1, ia memenggalnya menjadi beberapa redaksi yang didiskusikan
secara partikular. Pada uraian penafsiran ini, hanya empat penggalan
redaksi yang akan diuraikan, redaksi pertama sebagai pengantar gaya
penafsiran dan redaksi kedua menggambarkan keterkaitan dengan tema
yang dibahas. Redaksi pertama yang dibahas ialah ya ayyuha al-nas ittaqu

31 Qur’an Kemenag, https://quran.kemenag.go.id/surah/4. Diakses pada 08 Januari


2023.

14
rabbakum. Pada uraian terhadap redaksi ini, al-’Utsaimin memulainya
dengan menguliti aspek kebahasaan dari masing-masing partikel
redaksi tersebut. Mulai dari ya sebagai harf al-nida’, lalu ayyu menjadi
munada dan ha yang berfungsi sebagai tanbih (peringatan) serta al-nas
yang terkena hukum i’rab (penanda posisi struktur dalam kajian Nahwu)
na’at ataupun ‘athf bayan—manapun yang dipilih, kata al-nas tetap atau
mabniyah dengan tanda dhammah meskipun berada pada mahal (posisi
i’rab) nashab.32 Uraian penafsirannya terhadap redaksi pertama ini
memperlihatkan bahwa ia memiliki ciri khas penafsiran yang
memperhatikan aspek linguistik bahasa Arab (gramatika) secara
mendalam dan detail.

Pasca memberikan uraian yang kompleks mengenai aspek


kebahasaan tersebut, al-’Utsaimin mengelaborasi muatan isi dari redaksi
pertama tadi dengan beberapa penjelasan. (i) al-’Utsaimin mengungkap
bahwa penggunaan kata al-nas sebagai khitab (penerima pesan) sejalan
dengan bukti penanggalan bahwa al-Nisa merupakan bagian dari
kelompok surah Madaniyah. Sebab risalah Madaniyah berlaku umum
untuk semua manusia. (ii) al-’Utsaimin tidak hanya memperhatikan
aspek kebahasaan secara Nahwunya, namun juga morfologi dan
semantik dari kata-kata yang dipakai al-Qur’an. Ia menjelaskan aspek
morfologi kata secara menarik seperti pada kata al-nas dan ittaqu.
Menurutnya, kata al-nas memiliki bentuk asli unas, namun sebab
seringnya dipakai dan supaya memudahkan penggunanya, sehingga
huruf hamzah dieliminasi. Adapun pada ittaqu ia menjelaskan asal-
usulnya dari kata wiqayah yang memiliki makna “hendaknya manusia
menjaga (dirinya) dari azab Allah”. Uraian redaksi pertama ini terkesan
sangat kaya analisa kebahasaan, meskipun sebenarnya secara umum
terlihat tidak cukup menarik karena tidak ada pengembangan makna
yang ia lakukan, semisal pada kata ittaqu atau takwa yang cenderung

32 Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Nisā’…, hlm
12.

15
diarahkan pada makna teologis padahal redaksi selanjutnya berbicara
soal “kosmologi manusia”.33

Redaksi kedua dari pemenggalan al-’Utsaimin terhadap ayat ini


ialah alladzi khlaqakum min nafs wahidah. Ada beberapa pembahasan yang
ia lampirkan: (i) uraian kata alladzi yang ditekankan sebagai sifat kasyifah
(sifat yang datang dari hakikat internal entitas yang disifati/ independent),
yang menurutnya penting sebab jika dianggap sebagai sifat muqayyadah
(dependent) maka akan berkonsekuensi pada adanya dua entitas Tuhan;
“yang menciptakan dari jiwa yang satu” dan “yang menciptakan tidak
dari jiwa yang satu”. (ii) Saat menjelaskan kata khalaqa, ia tidak fokus
pada sisi kebahasannya—seperti mengurai perbedaan dengan ja’ala,
misalnya—namun memberikan padanan kata atau sinonim yaitu awjada.
(iii) al-’Utsaimin menjelaskan mengenai maksud dari lafadz nafs wahidah.
Sebelumnya ia memberikan sebuah pertanyaan pengantar: “apakah
yang dimaksud ialah jiwa itu sendiri (nafs bi ‘ainiha) ataukah jiwa yang
memiliki jenis tertentu (al-nafs al-jins). Al-’Utsaimin menjawabnya
dengan pilihan pertama yaitu nafs bi ‘ainiha, yang kemudian ia sebut
sebagai Adam as. dan kemudian dilengkapi dengan proses
penciptaannya dari tanah melalui yadd Allah al-karimah dan
mengajarkannya al-asma’ yang ia maknai sebagai hal-hal yang
dibutuhkan Adam as. termasuk bahasa—yang ia jadikan contoh eksplisit
dalam uraiannya.34

Kemudian redaksi ketiga dalam penafsiran ayat ini pada


penafsiran al-’Utsaimin ialah wa khalaqa minha zaujaha. Al-’Utsaimin
memberikan beberapa penjelasan: (i) bahwa redaksi ini merujuk pada
hadis yang mengatakan bahwa zauj tercipta dari tulang rusuk bagian
kanan dari nafs wahidah. Lalu ia perjelas bahwa zauj itu ialah al-mar’ah
(perempuan). (ii) Ia mengurai mengapa yang digunakan zauj bukan
zaujah, sebab kata zauj sendiri merupakan kata yang bisa dipakai baik
untuk laki-laki maupun perempuan dan yang dimaksud pada ayat

33 Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Nisā’…, hlm.
12.
34 Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Nisā’…, hlm.
13

16
tersebut ialah hawa’. Adapun pada redaksi terakhir dari ayat tersebut
yang akan dibahas pada tulisan ini yaitu wa batstsa minhuma rijalan katsir
wa nisa’a. Al-’Utsaimin menjelaskan bahwa: (i) dhamir “huma” pada
lafadz minhuma kembali pada al-nafs dan zauj. (ii) Ia juga menegaskan
bahwa dua pembagian yang disebutkan yaitu rijal dan nisa’ mencakup
keseluruhan anak Adam as. tanpa terkecuali. Maka menurutnya, adanya
kasus seperti khunsa (berkelamin ganda) tidak menjadikan adanya
pembagian ketiga sehingga keluar dari dua pembagian sebelumnya. (iii)
Menurutnya ketidaan kalimat nisa’a katsirah disebabkan perbedaan
dalam beberapa hal. Ia menyebut bahwa banyaknya laki-laki merupakan
‘izz atau kemuliaan dan hal ini berlaku sebaliknya bagi perempuan.
Menurutnya, jika realitanya perempuan lebih banyak dari laki-laki,
maka berlaku istinbath Ibn Taimiyah yang menukil dua hadis yang
mengatakan bahwa “kebanyakan penduduk neraka adalah
perempuan”, serta “penduduk neraka dari anak Adam as. berjumlah
999–hanya satu yang masuk surga dari 1000 orang (redaksi ini
merupakan tambahan dari potongan redaksi pada teks penafsiran)”,
berdasarkan kedua hadis itu memang tepat jika perempuan lebih banyak
menjadi penghuni neraka. Ibn Taimiyah melanjutkan berdasarkan
analisanya tersebut bahwa kuantitas laki-laki yang lebih banyak
memberikan simbol kemuliaan dan kehormatan bagi manusia,
sebaliknya kuantitas perempuan yang lebih banyak menandakan beban
(a’lah), kepayahan (ta’b), dan kesusahan (‘ina’).35

Uraian penafsiran al-’Utsaimin memiliki gaya tersendiri dari


lainnya, yaitu memberikan ulasan fawa’id (faidah) dari ayat yang dikaji
sebagai penutup penafsirannya terhadap ayat tertentu. Menarik untuk
menelisiknya untuk memperlengkap narasi penafsirannya di atas. Ada
beberapa informasi yang bisa didapat: (i) kata awjada digunakan oleh al-
’Utsaimin untuk mengatakan suatu proses dari ketidaan menjadi ada; (ii)
proses penciptaan manusia yang digambarkan dalam ayat merupakan
kritik atas pemahaman bahwa manusia merupakan hasil evolusi dari

35 Muhammad ibn Salih al-‘Utsaimin, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Nisā’…, hlm.
14

17
kera; (iii) kuantitas laki-laki lebih penting dari pada kuantitas
perempuan. Sebab sifat yang manshush pada teks al-Qur’an (rijala katsira)
menunjukkan urgensi kuantitas tersebut.

Beberapa redaksi serta catatan faidah yang telah diulas


memperlihatkan argumentasi al-’Utsaimin dalam penafsirannya, mulai
dari struktur, gaya, ciri khas dan pemikirannya pada tema tersebut.
Maka ada beberapa hal yang dianggap sebagai catatan penting dari
penafsirannya.

Pendapatnya bahwa kuantitas laki-laki lebih penting dari


kuantitas perempuan yang disertai dengan ungkapan merendahkan
perempuan, menunjukkan bahwa horison personal yang ia miliki masih
bias dalam mendudukkan posisi laki-laki dan perempuan.36 Hal ini tidak
bisa dilepaskan dari ruang lingkup konteks yang mengitarinya pada saat
hidup. Sebab Arab Saudi ketika itu—meskipun sampai saat ini juga—
masih memegang konstruksi patriarki yang kental dan hal itu secara
otomatis akan memberikan warna bagi pemikirannya terhadap posisi
perempuan dan laki-laki serta peranan keduanya dalam kehidupan
sosial.37 Selain itu menarik juga melihat posisinya sebagai ketua dari
hai’ah kibar al-‘Ulama (jika di Indonesia dapat disepadankan dengan MUI
namun berbeda dalam konsekuensi fatwanya yang mengikat), di mana
hal ini bisa menjadi salah satu alasan yang menarik untuk ditelusuri
lebih lanjut mengenai pemikiran dan fatwanya sebab secara historis
sejarah berdirinya kerajaan Arab Saudi mendukung adanya asumsi
bahwa ulama bersumbangsih dengan tintanya untuk menguatkan
paham yang dianut oleh otoritas negara.38 Asumsi ini juga semakin kuat

36 Istilah horizon merupakan istilah yang generik dimiliki oleh Husserl dalam teori
Fenomenologinya. Ia menggambarkan bahwa manusia selalu memiliki pra-pemahaman
yang pembentukannya tidak bisa dilepaskan dari dimensi kesejarahannya yang selalu
berada dalam dimensi dan ruang waktu tertentu. F. Budi Hardiman, Melawan Positivisme
dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas,
Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 45.
37 Nevy Rusmarina Dewi, dkk, “Dinamika Kesetaraan Gender di Arab Saudi: Sebuah

Harapan Baru di Era Raja Salman”, Sospol: Jurnal Sosial Politik, Vol. 6, No. 1, 2020, 32-44.
38 Mas’odi, “Wahabisme vis a vis Reformasi Arab Saudi”, Al-Irfan, Vol. 3, No. 1, 2020,

53-54.

18
dengan adanya bukti kutipan dari Ibn Taimiyah yang pemikirannya
banyak dipakai dalam konstruksi keagamaan Arab Saudi yang
dikomposeri oleh Muhammad ibn Abdul Wahab.39

39 Zaenal Abidin, “Wahabisme, Transnasionalisme, Gerakan-Gerakan Radikal Islam


di Indonesia”, Tasamuh, Vol. 12, No. 2, 2015, h. 135-140.

19
Kesimpulan

Setelah dipaparkan dan dilakukan analisis terhadap pemikiran Ibn


al-‘Utsaimin dan karyanya Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, maka ditemukan
beberapa poin yang menjadi kesimpulan dalam tulisan ini: (i) indentitas
lengkap terkait kitab tafsir karya Ibn al-‘Utsaimin ini masih belum
ditemukan sepenuhnya, seperti latar belakang kepenulisan dan bagian-
bagian surah yang tidak ditemukan penafsirannya oleh Ibn al-‘Utsaimin.
Hal ini tentunya perlu digali lebih lanjut lagi agar informasi terkait kitab ini
bisa didapatkan secara komprehensif. (ii) Pemikiran Ibn al-‘Utsaimin
banyak dipengaruhi oleh Ibn al-Taimiyah, sebagaimana yang terlihat
dalam kutipan-kutipan yang dicantumkannya dalam penafsiran. (iii)
Penafsiran Ibn al-‘Utsaimin terhadap QS. al-Nisā’/4:1 menghasilkan hasil
akhir bahwa wanita masih dijadikan sebagai makhluk nomor dua setelah
laki-laki, meski ia menyebutkan bahwa penciptaan laki-laki dan
perempuan itu sama. Namun pada penafsiran ayat setelahnya ia
merendahkan perempuan karena menganggap penyebutan rijala katsira
sebagai bentuk penghormatan dan kemuliaan, dab tidak disebutkan nisa’a
katsirah karena kuantitas wanita yang banyak adalah sebuah beban,
kepayahan, dan kesusahan. Penafsiran ini tentunya tidak lepas dari sosio-
historis dari Ibn al-‘Utsaimin sendiri yang lahir dan besar di dataran Arab
Saudi yang kental akan system patriarkinya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Abdulmun’im al-Marî, ‘Isham Ibn. al-Durru al-Tsamîn fi tarjamati faqihul al-


Ummah Al-‘alâmah Ibn al-‘Utsaimîn. Alexandria: Dâr Al-Bashîrah,
2003.

Abidin, Zaenal. “Wahabisme, Transnasionalisme, Gerakan-Gerakan


Radikal Islam di Indonesia”, Tasamuh, Vol. 12, No. 2, 2015.

al-‘Utsaimin, Muhammad ibn Salih. Dasar Ilmu Tafsir, terj. Nor Kandir,
Surabaya: Pustaka Syabab, 2018.

_________. Syarh Al-Aqîdah Al-Wasathiyah li Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah,


Riyadh: Dâr Ibn Al-Jauzî, Cet. Ke- 6, Jilid. 1, 2000.

_________. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Juz ‘Amm)”. Riyad: Dar al-Surayya,


2002.

_________. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Sūrah al-Nisā’). Arab Saudi: Dar Ibn al-
Jauzi, 2008.

_________. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, Arab Saudi: Dar Ibn al-Jauzi, 2002.

Amin, Saifuddin. Etika Peserta Didik Menurut Syaikh Muhammad Bin Shalih
Al-Utsaimin. Deepublish: Yogyakarta, 2019.

Audah, Cecep Fuad. “Esoterisme dalam Tafsir al-‘Utsaimin (Analisis atas


Dimensi Sufistik dalam Tafsir al-‘Utsaimin)”. Tesis. Program Pasca
Sarjana Magister Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta, 2019.

Hardiman, F. Budi. Melawan Positivisme dan Modernitas: Diskursus


Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas,
Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Hassan, Riffat. “Muslim Women and Post-Patriarchal Islam”, dalam After


Patriarchy: Feminist Transformation of the Worlds Religions, Paula

21
M. Cooey, William R. Eakin dan Jay B. McDaniel, Markynoll: Orbis
Books, 1991.

Kusmana, “Maksud Tuhan dalam Penafsiran Manusia: Dinamika


Pembacaan Al-Qur’an Feminis”, Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru
Besar, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2022.

Mas’odi. “Wahabisme vis a vis Reformasi Arab Saudi”, Al-Irfan, Vol. 3, No.
1, 2020, 53-54.

Umam, Fauzan. Berbincang Pendidikan Karakter Peduli Sosial dengan


Muhammad al-Utsaimin, Quepedia: Jakarta, 2022.

22

Anda mungkin juga menyukai