Anda di halaman 1dari 23

Kodikologi, Tekstologi dan Paleografi

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok

Mata Kuliah Filologi

Dosen: Nofrizal, M.A.

Disusun Oleh Kelompok 3:

Ara Nismara 2131030002

Gita Zahratus Sholeha 2131030033

Muhammad Bahrudin 2131030042

Yuli Eka Lestari 2131030070

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

2024/2025
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah Ta’ala
atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul,
“Kodikologi, Tekstologi dan Paleografi” ini dapat kami selesaikan dengan baik.

Tim penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi pembaca tentang apa kaitan antara kodikologi, tekstologi dan
paleografi dalam ilmu Filologi. Begitu pula atas limpahan kesehatan dan
kesempatan yang Allah SWT karuniai kepada kami sehingga makalah ini dapat
kami susun melalui beberapa sumber melalui kajian pustaka.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas
makalah ini. Kepada kedua orang tua kami yang telah memberikan banyak
kontribusi bagi kami, bapak Nofrizal, M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah
Filologi, dan juga kepada teman-teman seperjuangan yang membantu kami dalam
berbagai hal.

Harapan kami, informasi dan materi yang terdapat dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di dunia, melainkan Allah SWT.
Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang
membangun bagi perbaikan makalah kami selanjutnya. Demikian makalah ini
kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, ataupun adanya
ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf.
Tim penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa
membuat karya makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Bandar Lampung, 15 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i

DAFTAR ISI..................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................................... iii


B. Rumusan Masalah................................................................................. iv
C. Tujuan................................................................................................... iv

BAB II: PEMBAHASAN

A. M...........................................................................................................
B. Q...........................................................................................................
C. ut...........................................................................................................
D. Qunut....................................................................................................

BAB III: PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................... 13
B. Saran..................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filologi merupakan cabang ilmu yang menjadikan naskah (manuscript)


sebagai objek utama kajiannya. Namun, telaah filologi sebenarnya hanya bisa
menyentuh salah satu aspek saja yang terkandung dalam naskah, yakni teksnya.
Oleh karenanya, filologi juga disebut dengan teksologi, yaitu ilmu yang
memusatkan perhatian pada teks. Sebenarnya, ada hal lain dalam sebuah naskah
yang perlu diperhatikan selain teks utama. Artinya, persoalan yang berkaitan
dengan fisik naskah, seperti alas naskah yang digunakan, sejarah, dan asal muasal
naskah dan juga cap (watermark), kolofon, dan teks.

Bagian ini akan menjelaskan sebuah cabang ilmu lain yang memfokuskan
kajiannya pada fisik naskah yakni kodikologi (codicology). Karena objek kajian
filologi dan kodikologi adalah naskah lama yang seringkali mengandung tulisan
kuno, maka patut juga dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu bantu
lain yang relevan, yakni paleografi (paleography). Kedua bidang tersebut
merupakan dua aspek kajian naskah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain bersama filologi. Penerapan ketiganya secara serempak akan menghasilkan
sebuah pemahaman yang utuh mengenai sebuah naskah dan teks.1

Jika kajian filologi dianggap belum banyak menarik minat para peneliti, maka
kodikologi mungkin lebih dari itu. Kajian pernaskahan memang masih lebih
menekankan pada aspek tekstologinya, meski dalam hal tertentu, terutama
menyangkut penentuan usia naskah, pengetahuan tentang kodikologi ini sangat
penting dan menentukan.2 Aspek lain yang termasuk dalam cakupan kodikologi
adalah kajian atas ragam hias yang memperindah tampilan halaman naskah, atau

1
Pengantar Ikram dalam Mulyadi 1994: ii.
2
Pengantar Ikram dalam Mu’jizah dan Rukmi 1998: vii.

iii
yang disebut sebagai iluminasi. Oleh karena itu, pemakalah akan berusaha
memaparkan secara lebih spesifik mengenai tekstologi, kodikologi dan paleografi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa perbedaan peristilahan dan keilmuan?
2. Bagaimana saja bentuk fisik naskah?
3. Bagaimana proses munculnya teks dan mekanisme transmisi teks?
4. Apa saja jenis dan bentuk aksara kuno?

C. Tujuan
1. Mengetahui perbedaan peristilahan dan keilmuan.
2. Mengetahui macam-macam bentuk fisik naskah.
3. Mengetahui proses munculnya teks dan mekanisme transmisi teks.
4. Mengetahui jenis-jenis dan bentuk aksara kuno.

iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perbedaan Peristilahan dan Keilmuan

Tulisan tangan yang mencatat ekspresi pikiran dan emosi sebagai warisan
budaya masa lalu menjadi fokus studi dalam bidang filologi. Segala karya tulisan
tangan tersebut dikenal sebagai naskah (handschrift) yang dimaknai (hs untuk
tunggal, hss untuk jamak) atau (manuscript) yang dikenal dengan (ms untuk
tunggal, mss untuk jamak).

Di Indonesia bahan naskah untuk karya Jawa Kuno disebutkan oleh


Zoetmulder3 dengan sebutan karas, semacam papan atau batu tulis, yang disebut
oleh Robson hanya dipakai untuk sementara, naskah Jawa memakai lontar (ron tal
'daun tal' atau 'daun siwalan'), dan dluwang, yaitu kertas Jawa dari kulit kayu;
naskah Bali dan Lombok memakai lontar; naskah Batak memakai kulit kayu,
bambu, rotan. Dan pada abad ke-18 dan ke-19, kertas Eropa yang didatangkan
dari Eropa menggantikan dluwang karena kualitasnya lebih baik untuk naskah di
Indonesia.

1. Tekstologi

Baik filologi maupun tekstologi mengkaji karya-karya klasik, terutama dalam


bentuk naskah tulisan tangan. Istilah “tekstologi” khususnya digunakan oleh
Liechacev, seorang peneliti dari Rusia. Sepuluh prinsip Liechacev yang sangat
3
Kalangwan, 1974.

5
bermanfaat sebagai panduan dalam penelitian tekstologis terhadap karya-karya
sastra klasik Rusia yang monumental adalah sebagai berikut:

1. Tekstologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki sejarah teks suatu


karya
2. Penelitian teks harus didahulukan dari penyuntingannya
3. Edisi teks harus menggambarkan sejarahnya
4. Tidak ada kenyataan tekstologi tanpa penjelasannya
5. Dalam hal mengubah sebuah teks secara metodis (baik itu perubahan
ideologi, artistik, psikologis, dan lain-lain), prioritas harus diberikan pada
perubahan semacam itu daripada perubahan mekanis, seperti kesalahan
yang tidak disengaja oleh penyalin
6. Teks harus diteliti sebagai keseluruhan
7. Bahan-bahan yang mengiringi sebuah teks harus diikutsertakan dalam
penelitian
8. Perlu diteliti pemantulan sejarah teks sebuah karya dalam teks-teks dan
monumen sastra lain
9. Pekerjaan seorang penyalin dan kegiatan skriptoria-skriptoria (sanggar
penulisan/penyalinan: blara, madrasah) tertentu harus diteliti secara
menyeluruh
10. Rekonstruksi teks tidak dapat menggantikan teks yang diturunkan dalam
naskah-naskah

Dalam penurunannya teks dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu:

a. Teks lisan yang dalam tradisi lisan diturunkan secara turun temurun
melalui lisan, dari mulut ke mulut
b. Teks naskah tulisan tangan biasanya ditulis dalam huruf daerah, dengan
bahasa daerah (lokal tertentu)
c. Teks cetakan yang dikenal setelah ditemukannya mesin cetak

6
Menurut De Haan suatu teks terjadi karena beberapa kemungkinan,
antaralain:

 Aslinya teks itu hanya ada dalam ingatan pengarang atau pembawa cerita,
kemudian teks itu secara turtun temurun terjadi penurunan teks, terutama
jika ada orang ingin memiliki teks secara pribadi, maka teks itu didiktekan
kepada orang lain. Setiap terjadi penurunan teks, maka akan terjadi variasi
teks
 Aslinya berupa teks tertulis yang masih memungkinkan berubah, atau
karena memerlukan kebebasan seni
 Aslinya merupakan teks yang tidak mengizinkan kebebasan dalam
pembawaannya (dalam penuturannya) karena pengarang telah menentukan
pilihan kata, urut-urutan kata, dan komposisi untuk memenuhi maksud
tertentu.4

Tekstologi terbagi menjadi dua jenis, yaitu tekstologi lisan dan tulisan. Tidak
ada perbedaan yang jelas antara tekstologi lisan dan tekstologi tulisan. Di Jawa
Tengah, ada pertunjukan yang melibatkan pembacaan teks tertulis secara lisan.
Sebagai contoh, pertunjukan cerita kentrung atau pembacaan barzanji dan
manakib dalam sastra pesantren. Selain menggunakan naskah, seseorang dapat
melakukan penelitian terhadap karya tulis mahasiswa tentang teks lisan sebagai
ekspresi dari teks tulisan. Contohnya, studi mengenai cerita rakyat, narasi seperti
yang diceritakan oleh dalang jemblung di daerah Madiun. Dengan demikian, teks
lisan dapat berawal dari teks tulisan otonom yang kemudian diucapkan secara
lisan. Namun, bisa juga sebaliknya, dimana teks awalnya bersifat lisan, kemudian
diabadikan dalam bentuk tulisan.

2. Kodikologi

Kodikologi diartikan dengan kajian kepada buku, terutama era setelah mesin
cetak ditemukan, kata kodeks digunakan untuk mengarah pada buku. Kodeks

4
Dalam Baried, 1994:58.

7
yang dimaksud dalam konteks pernaskahan kali ini adalah naskah manuskrip kuno
yang menjadi objek khusus kajian filologi.5 Kodikologi berasal dari bahasa Latin
‘codex’ yang diterjemahkan menjadi naskah.6 Maka, kodikologi berarti ilmu
tentang pernaskahan yang menyangkut bahan tulisan tangan.

Mulyadi menjelaskan istilah kodikologi pertama kali diperkenalkan oleh


seorang ahli bahasa Yunani, Alphonse Dain, saat ia memberikan kuliah di Ecole
Normale Superieure, Paris pada Februari 1944. Pada tahun 1949, ceramah Dain
tersebut diterbitkan menjadi buku yang berjudul Les Manuscripts, yang semakin
menyebarkan istilah codicologie. Dalam karyanya tersebut, Dain menegaskan
bahwa kodikologi adalah studi tentang naskah, bukan tentang isi naskah itu
sendiri. Karenanya, cakupan kodikologi jauh lebih luas daripada sekadar teks,
melibatkan sejarah naskah, perdagangan naskah, fungsi sosial naskah, dan semua
aspek yang berkaitan dengan fisik naskah sebagai sebuah artefak.

Istilah codex sendiri muncul untuk membedakan dokumen gulungan pada


sebelum abad ke-8 yang disebut dengan (scroll) dengan bentuk baru yang
umumnya terdiri dari beberapa halaman, dijilid, serta dilapisi dengan sebuah
sampul.7 Tradisi Islam juga harus diakui telah berkontribusi terhadap meluasnya
produksi dan pemanfaatan kertas sebagai media tulis menulis, mengingat adanya
kebutuhan masif umat Islam untuk memiliki Kitab Suci Al-Qur’an dan
menuliskan berbagai ajaran atau interpretasi teks-teks keagamaan, dan kertas
adalah media yang jelas jauh lebih efektif dibanding papyrus atau perkamen.8

Karena kemampuan kertas dalam memfasilitasi pertukaran informasi dengan


efisien melalui surat, koran, buku, dan sebagainya dengan biaya yang terjangkau,
munculah bentuk dokumen codex yang menggantikan gulungan naskah. Dalam
perkembangan tradisi tulis, baik di Eropa, Barat, maupun Asia, termasuk
Indonesia, penggunaan codex sebagai bentuk penulisan teks segera menggantikan
5
Barried 1994: 56.
6
Mulyadi 1994: 1.
7
Bloom 2001: 1.
8
Bloom 2001.

8
gulungan, meskipun beberapa daerah seperti Minangkabau di Sumatra Barat dan
Ambon di Maluku masih menggunakan gulungan, terutama untuk naskah khotbah
atau silsilah. Penemuan dokumen dalam bentuk codex memberikan keuntungan
besar bagi perkembangan tradisi ilmiah karena akses yang lebih mudah. Codex
juga lebih kokoh dan tahan lama dibanding gulungan, serta lebih praktis dibawa
karena biasanya dilindungi oleh sampul.

Walaupun materi yang diteliti dalam bidang kodikologi mencakup teks,


namun perhatian utama dalam kodikologi adalah pada aspek fisik dari naskah itu
sendiri, dan bukan pada teks yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu,
kodikologi seringkali disebut sebagai “arkeologi naskah”. Namun, dalam
beberapa kasus, penelitian kodikologi tidak dapat sepenuhnya terlepas dari teks.
Hal ini disebabkan karena dalam mengidentifikasi usia suatu naskah, beberapa
elemen di luar teks utama, seperti kolofon dan marginalia, sering kali memberikan
informasi yang berharga.

Ruang lingkup penelitian kodikologi pada dasarnya meliputi berbagai aspek


yang luas. Di antara bidang-bidang penelitian tersebut adalah terkait dengan
teknik penjilidan naskah, bahan yang digunakan untuk membuat naskah (seperti
papyrus, kertas Eropa, daluang, lontar, bambu, perkamen, tanah, karas, dan
pudak), teknologi pembuatan tinta, marginalia, iluminasi, sejarah dan asal-usul
naskah, skriptorium naskah, perdagangan naskah, fungsi sosial naskah, upaya
dokumentasi atau katalogisasi naskah, tentang penyalin naskah yang 'bekerja'
memproduksi naskah dalam jumlah besar, dan berbagai aspek lainnya. 9
Kodikologi bisa dianggap sebagai bagian dari penelitian sejarah budaya, karena
dengan melakukan analisis kodikologis, seseorang memiliki kemungkinan yang
besar untuk merekonstruksi sejarah dan asal-usul budaya penulisan dalam suatu
periode waktu tertentu.

a. Ruang Lingkup Kodikologi

9
Mulyadi: 1994.

9
Pedoman yang digunakan dalam penelitian kodikologi adalah model yang
terdapat dalam buku "De Descriptione Codicum". Namun, dalam praktiknya,
penggunaan metode Huisman ini sebaiknya disesuaikan dengan kondisi fisik
naskah yang sedang diteliti. Ini berarti bahwa tidak semua detail yang disarankan
digunakan untuk menganalisis naskah. Berikut adalah cakupan penelitian
kodikologi secara rinci:

1. Identifikasi
Deskripsi naskah bagian identifikasi ini meliputi masalah-masalah:

 Tempat penyimpanan naskah  Penulis/penyalin


 Judul naskah  Pemilik naskah
 Nomor naskah  Tanggal penulisan
 Jumlah teks  Tempat penulisan
 Jenis naskah  Katalog lain
 Bahasa naskah
2. Bagian Buku
Bagian buku ini biasanya mendeskripsikan masalah-masalah:

10
 Aksara
Bahan/alas 3.  Jarak antar baris
 Jenis
Cap huruf/khot
kertas (watermark,  Jumlah halaman yang
 countermark),
Jumlah penulis termasuk ditulis

 laid koreksi
Tanda lines (garis-garis  Jumlah lembar pelindung

 halus
Pungtuasi dan chain lines  Jumlah kuras/susunan kuras
(garis-garis yang  Ukuran halaman
mengikat)  Ukuran pias
 Warna tinta  Cara penggarisan
 Kondidi naskah  Kolom/bukan
 Jumlah halaman  Penomoran halaman
 Jumlah baris per halaman  Sampul depan/belakang

Tulisan

 Rubrikasi (kata-kata yang


tertulis tinta merah/ungu)
 Hiasan huruf
 Iluminasi
 Ilustrasi

4. Penjilidan
Dalam hal penjilidan naskah dapat diseskripsikan hal-hal sebagai berikut:

 Bahan sampul  Pengikat


 Ukuran sampul  Perbaikan
 Rusuk  Motof sampul
5. Sejarah
Dalam upaya untuk mengungkap sejarah suatu naskah, berbagai masalah
informasi dapat diidentifikasi, seperti informasi yang terdapat dalam kolofon,
karakteristik kepemilikan naskah, proses perolehan naskah, catatan-catatan
tambahan dalam naskah, penggunaan naskah, dan hal-hal lain yang relevan.

11
3. Paleografi

Paleografi berasal dari bahasa Yunani: palaios, yang berarti ‘tua’ atau
‘kuno’(old), dan graphein, yang berarti ‘tulisan’ (writing). Jadi, paleografi dapat
diartikan sebagai kajian atas tulisan tangan kuno. Dalam konteks filologi,
disarankan untuk melakukan kajian paleografis terhadap sebuah teks sebelum
menginterpretasikan dan memberikan makna terhadap teks tersebut.

Kajian paleografis memerlukan pemahaman yang mendalam dan


komprehensif terhadap aksara yang digunakan dalam teks yang sedang dianalisis,
karena gaya dan model penulisan aksara sering kali mengalami perubahan dan
perkembangan dari masa ke masa. Selain itu, seringkali penyalin naskah
menggunakan singkatan dalam penulisannya, sehingga penting bagi peneliti untuk
memahami tradisi penulisan yang sedang ditelitinya agar dapat mentranskripsikan
teks tersebut dengan benar dan menjelaskannya kepada pembaca dengan cara
yang modern dan mudah dipahami

B. Fisik Naskah
1. Kertas dan Alas Naskah Lain

Kertas adalah salah satu media utama yang banyak digunakan untuk menulis
manuskrip. Asal-usul kata “paper” mungkin terkait dengan papyrus, sebuah bahan
tulis yang digunakan di Mesir kuno. Di dunia pernaskahan Nusantara, kertas yang
paling umum digunakan berasal dari Eropa, namun ada juga berbagai jenis media
lokal seperti daluang, lontar, dan bambu yang digunakan sebagai alas naskah.

Ciri umum dari kertas Eropa adalah adanya cap kertas (watermark) yang dapat
terlihat ketika kertas diterawang di bawah cahaya. Identifikasi watermark pada
kertas dapat membantu dalam menentukan perkiraan usia naskah, yang pada
dasarnya dapat mendukung dalam mengidentifikasi periode penulisan teksnya,
meskipun tanggal pastinya tidak selalu dapat dipastikan

12
Sebelum abad ke-13, kertas yang digunakan untuk menulis naskah Yunani
Eropa tidak memiliki watermark karena sebagian besar diimpor dari percetakan di
dunia Arab. Italia, salah satu produsen kertas terkemuka di Eropa pada masa itu,
hampir selalu menyertakan watermark dalam kertas buatannya.10 Pada awalnya,
watermark bertujuan untuk membedakan kertas yang diproduksi oleh tangan yang
berbeda, bahkan jika diproduksi di pabrik yang sama. Salah satu watermark yang
diproduksi di Italia adalah gambar tiga bulan sabit, yang diyakini dibuat untuk
pasar di dunia Muslim secara umum, dan khususnya ke negara Turki. 11 Dalam hal
naskah Nusantara, kertas-kertas Eropa yang dijumpai mengindikasikan bahwa asal
usulnya kebanyakan berasal dari Inggris dan Belanda mengingat masa
kolonialisme pada masa itu.

Kertas Eropa memiliki karakteristik unik, termasuk pembuatan dalam cetakan


persegi panjang yang mirip dengan talam berbentuk bujur sangkar. Cetakan ini
terdiri dari rangka yang menentukan ukuran kertas dan jala cetakan dengan pola
tertentu di bagian bawahnya. Proses pembuatan kertas melibatkan pencelupan
cetakan ke dalam larutan kertas cair, diikuti dengan pengangkatan dan
penggoyangan ke samping untuk meratakan larutan. Setelah itu, kertas yang
terbentuk dalam cetakan dikeringkan dengan pola gambar tertentu yang akan
membentuk watermark, yang kemudian dapat terlihat melalui pencahayaan.
Teknik yang mirip, meskipun dengan perbedaan detail, juga digunakan dalam
pembuatan kertas Jepang (Washi)

Mulai dari abad ke-16, sejumlah percetakan kertas di Eropa mulai


memasukkan countermark pada kertas yang diproduksi, yang biasanya berupa
huruf, angka, atau simbol lain yang lebih kecil. Countermark sering ditempatkan
di pojok kertas plano pada sisi yang berlawanan dari watermark, dan berfungsi
untuk membedakan atau mengidentifikasi penanggalan satu watermark dengan
watermark lainnya. Selain cap kertas, pada kertas Eropa, sebagai akibat dari pola

10
Jones 1998: 109.
11
Nurhakim 1986: 333.

13
cetakan, dapat juga dilihat sejumlah garis mendatar (horizontal) tipis yang disebut
sebagai laid lines atau wire lines, dan beberapa garis menaik (vertical) lebih tebal
yang disebut sebagai chain lines.12

Selain kertas, alas naskah yang digunakan di Indonesia cukup beragam.


Naskah Jawa misalnya, baik Jawa Kuno maupun Modern, banyak ditulis
menggunakan alas daun lontar,13 dan beberapa di antaranya juga menggunakan
kertas daluang.14 Demikian pula naskah Bugis dari Makassar, awalnya tertulis di
atas daun lontar, dan kemudian di atas kertas. Meski demikian, naskah lontar di
Sulawesi Selatan tidak sama dengan lontar yang digunakan di Jawa dan Bali,
karena daun-daunnya dijahit sambung-menyambung melalui ujungnya sehingga
membentuk alas naskah yang siap ditulis. Di wilayah Timur Indonesia ini, naskah
umumnya disebut dengan nama ‘lontara’. Sedangkan di Batak, naskah di wilayah
ini banyak ditulis di atas kulit kayu, atau disebut sebagai pustaha dalam Bahasa
Batak Toba, bamboo, atau tulang.

C. Munculnya Teks dan Mekanisme Transmisi Teks

D. Jenis dan Bentuk Aksara Kuno

12
Mulyadi 1994: 63.
13
Rubinstein 1996, atau Hinzler 1993 7 1998.
14
Lihat Soetikna 1939, atau Noordyun 1965, atau Guillot 1983, atau Ekadjati & McGlynn 1996,
atau Permadi 2012.

14
Aksara Nusantara merujuk pada beragam aksara atau sistem tulisan tradisional
yang digunakan di Kepulauan Nusantara. Istilah ini secara umum mengacu pada
aksara-aksara abugida yang berasal dari Brahmi yang digunakan oleh masyarakat
Indonesia sebelum masa kemerdekaan. Meskipun sebagian besar aksara Nusantara
masih diajarkan sebagai bagian dari kurikulum lokal di daerah masing-masing,
penggunaannya terbatas dalam kehidupan sehari-hari. Aksara Nusantara sendiri
terbagi menjadi tiga bagian besar dengan tiga masa yang berbeda, seperti akan
disebutkan di bawah ini:

a. Zaman Klasik

Adapun beberapa aksara pada masa ini adalah:

1. Aksara Jawi

Aksara Jawi telah memainkan peranan penting dalam menumbuhkembangkan


tradisi keberaksaraan (literacy tradition) di kalangan masyarakat Melayu-
Nusantara.15 Pengaruh besar tulisan jawi yang sedemikian ini terbentuk karena
seiring dengan proses Islamisasi.16 Tidak heran kemudian jika, sebagai salah satu
bentuk information storage, tulisan Jawi menyimpan banyak informasi masa lalu
tentang adat-istiadat, sastra, budaya, dan agama.

Bagi sebagian kalangan awam, kata “Jawi” 17 terkadang langsung


mengingatkan dan menghubungkan ingatan dengan suatu wilayah tertentu di
Nusantara, yakni Pulau Jawa. Tentu saja asumsi ini tidak tepat, karena “Jawi”
dalam hal ini merujuk pada wilayah Nusantara secara keseluruhan. Dalam konteks
tradisi Islam misalnya, sebutan ulama Jawi sama sekali tidak merujuk hanya pada
mereka yang berasal dari tanah Jawa, melainkan semua ulama asal Nusantara.18
15
Lihat misalnya Jones 1986: 139, atau Abdullah 2000: 405.
16
Madmarn 1999: 40.
17
Istilah “Jawi” bukan hanya disebut dalam konteks bentuk tulisan saja, melainkan juga disebut
dalam pembahasan atas beberapa ulama asal tanah Melayu yang belajar ilmu agama di
Haramayn (Makkah dan Madinah). Komunitas para ulama Melayu tersebut dikenal dengan
sebutan Ashab al-Jawiyyin.
18
Pembahasan sejumlah ulama Jawi tersebut, menyangkut karir keilmuan dan signifikansi
perannya dalam tradisi dan wacan intelektual Islam Melayu-Nusantara, lihat Azra 1994 dan 2004.

15
Seperti diketahui, tulisan Jawi merangkum seluruh abjad Arab (29 huruf)
seraya menambahkan 6 abjad tambahan, sehingga jumlahnya menjadi 35 huruf. 19
29 huruf yang berasal dari abjad Arab adalah:

١ (a), ‫( ب‬b), ‫( ت‬t), ‫( ث‬tha), ‫( ج‬j), ‫( ح‬h), ‫( خ‬kh), ‫( د‬d), ‫( ذ‬dh), ‫( ر‬r), ‫( ز‬z), ‫( س‬s),

‫( ش‬sh) ‫( ص‬s), ‫( ض‬d), ‫( ط‬t), ‫( ظ‬z), ‫ غ‬,)‘( ‫( ع‬g), ‫( ف‬f), ‫( ق‬q), ‫( ك‬k), ‫( ل‬l), ‫( م‬m),

‫( ن‬n), ‫( و‬w) ‫( ھ‬h), ‫)<( ء‬, dan ‫( ي‬y). Sedangkan 6 abjad lainnya yang merupakan
bentuk modifikasi adalah: ‫( ؤ‬v), ‫( غ‬c), ‫( ڨ‬p), ‫( گ‬g), dan ‫( پ‬ny).

Tulisan Jawi jelas juga merupakan salah satu bentuk penting artikulasi
masyarakat di dunia Melayu-Indonesia khususnya, dan Nusantara pada umumnya,
dalam menerima dan menerjemahkan Islam ke dalam muatan lokal.20

2. Aksara Pallawa

Aksara Pallawa, kadang-kadang dieja sebagai Pallava, adalah sistem tulisan


yang berasal dari India bagian selatan dan digunakan dalam bahasa Sanskerta. 21
Aksara ini muncul dari aksara Brahmi. Nama aksara ini berasal dari Dinasti
Pallava yang pernah berkuasa di selatan India (sekitar Madras) antara abad ke-4
sampai abad ke-9 M.22

19
Kang Kyoung Seock 1990: bab 2; Musa 1999: 11-12.
20
Lihat Hooker 1983.
21
Kushartanti; Yuwono, Untung; Lauder, Multamia R. M. T. (2005). Pesona bahasa: langkah awal
memahami linguistik. Gramedia Pustaka Utama. hlm. 72.
22
Harimurti Kridalaksana (1982). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 6:
"Aksara Pallawa-aksara yang dipakai untuk menuliskan bahasa-bahasa di India Selatan dan
diturunkan dari aksara Brahmi. Aksara ini dipakai sekitar abadke-4–5M pada zaman keemasan
dinasti Palliwa di India (sekitar Madras) dan menyebar ke Asia Tenggara dan kemudian dipakai
antara lain untuk menulislian Bahasa Melayu Kuna pada prasasti-prasasti Sriwijaya, dll. Istilah
aksara Pallawa ini mula-mula dipakai oleh ahli arkeologi Belanda, NJ. Krom. Sarjana lain
menyebutnfa aksara grantha.".

16
3. Aksara Kawi (Jawa Kuno)

Aksara Jawa Kuno atau Aksara Kawi (pujangga, penyair; mahir dalam
mengubah puisi)23 adalah aksara historis yang terutama ditemukan di Pulau Jawa
dan digunakan di sebagian besar wilayah Asia Tenggara antara abad ke-8 hingga
ke-16.

4. Aksara Sunda Kuna (Ngalagena)

Aksara sunda kuna merupakan aksara yang berkembang di wilayah barat


pulau Jawa pada abad ke-14 sampai abad ke-18 yang pada awalnya digunakan
untuk menuliskan bahasa Sunda Kuno.

23
Zoetmulder, P.J, dan Robson, $.0. (2006). Kamus Jawa Kuna-Indonesia. (Darusuprapta dan
Sumarti Suprayitna, Penerjemah). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

17
Adapun, beberapa aksara kuno pada zaman klasik ialah:

 Aksara Siddhamatrka
 Aksara Buda
 Aksara Proto-Sumatera
 Aksara Nagari.

b. Zaman Kolonial

Adapun beberapa aksara yang berkembang pada zaman ini, ialah:

1. Aksara Batak (surat Batak)

Surat Batak, disebut juga sebagai Surat na Sampulu Sia (kesembilan belas
huruf), Si Sia-sia, atau Aksara Batak, adalah salah satu aksara tradisional
Indonesia yang berkembang di wilayah masyarakat Batak, Sumatera Utara, yang
digunakan untuk menulis enam rumpun bahasa Batak: Batak Angkola, Batak
Karo, Batak Mandailing, Batak Pakpak, Batak Simalungun, dan Batak Toba. 24
Aksara ini merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara
Kawi.

24
Everson, Michael; Kozok, Uli (07-10-2008). "Proposal for encoding the Batak script in the UCS".

18
2. Aksara Lampung (Had Lampung)

Surat Lampung,25 dikenal juga sebagai Surat Ulu atau Aksara Lampung,
adalah sekumpulan aksara tradisional Indonesia yang berkembang di pulau
Sumatra bagian selatan. Aksara ini digunakan untuk menulis rumpun bahasa
Lampung dan bahasa Melayu.26 Surat Lampung merupakan turunan dari aksara
Brahmi melalui perantara aksara Kawi.

3. Aksara Jawa Baru (Hanacaraka)

Aksara Jawa, juga dikenal sebagai Hanacaraka, Carakan, 27 atau


Dentawyanjana,28 adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang
di pulau Jawa.

 Aksara Incung (Kerinci)


 Aksara Bali

25
Pudjiastuti 1996.
26
"Malay manuscripts from south Sumatra - Asian and African studies blog"
27
Poerwadarminta 1939, hlm. 627.
28
Poerwadarminta 1939, hlm. 68.

19
 Aksara Lontara
 Aksara Baybayin
 Aksara Buhid
 Aksara Hanuno’o
 Aksara Tagbanwa
 Aksara Minangkabau
 Aksara Rencong
 Aksara Malesung
Adapun, aksara kuno lain yang berkembang pada zaman kolonial ini adalah:

 Aksara Ulu
 Aksara Rejang
 Aksara Iban (Dunging)
 Aksara Mbojo
 Aksara Samawa
 Aksara Sasah
 Aksara Bonda
 Aksara Makassar (Ukiri)
 Aksara Alifuru

c. Zaman Modern
1. Aksara Sunda Baku

Aksara Sunda Baku ialah sistem penulisan yang digunakan untuk menuliskan
Bahasa Sunda kontemporer, ia juga merupakan hasil penyesuaian Aksara Sunda
Kuno. Saat ini Aksara Sunda Baku juga lazim disebut dengan sebutan Aksara
Sunda.

20
21
DAFTAR PUSTAKA

Fathurahman, Oman. 2015. Filologi Indonesia: Teori dan Metode. Jakarta:


Kencana.

22

Anda mungkin juga menyukai