Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika dan Semiotika Al-
Qur’an
Disusun Oleh:
Alfianto 212104010035
JEMBER
2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat
dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengertian
dan Sejarah Perkembangan Hermeneutika”. Makalah ini kami susun untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Hermeneutika dan Semiotika Al-Qur’an.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................
DAFTAR ISI............................................................................................................................
BAB I.........................................................................................................................................
PENDAHULUAN.....................................................................................................................
1.1 Latar Balakang..........................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................
1.3 Tujuan.........................................................................................................................
BAB II.......................................................................................................................................
PEMBAHASAN.......................................................................................................................
2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Hermeneutika..................................................
2.2 Sejarah Perkembangan Hermeneutika...............................................................
2.3 Aliran-Aliran Hermeneutika..............................................................................
BAB III....................................................................................................................................
PENUTUP...............................................................................................................................
3.1 KESIMPULAN.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
4
memahami manusia dan budaya. Sementara itu, Nietzsche menyoroti sifat
subjektif dari interpretasi dan pentingnya penafsiran kreatif.
Pada abad ke-20, Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer
mengembangkan hermeneutika sebagai sebuah filosofi yang lebih luas,
menekankan pentingnya bahasa dan prekonsepsi dalam proses interpretasi.
Gadamer, khususnya, dalam karyanya "Truth and Method" (1960),
menekankan pentingnya dialog dan horison historis dalam memahami teks
dan konteks. Selain itu, hermeneutika modern juga dipengaruhi oleh
kontribusi Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Paul Ricoeur, yang
masing-masing menyoroti aspek-aspek tertentu dari interpretasi seperti
kekuasaan, dekonstruksi, dan narasi. Secara keseluruhan, hermeneutika
terus berkembang sebagai pendekatan interpretatif yang kompleks dan
penting dalam memahami berbagai aspek kehidupan manusia dan karya-
karya budaya. Hermeneutika itu sendiri memiliki berbagai definisi yang
berbeda dari para ahli dan memiliki berbagai macam aliran-aliran. Dan
disini kami sebagai penulis akan memaparkan tentang definisi
hermeneutika dan beserta aliran-aliran yang terkandung didalamnya.
1.3 Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
1
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran. Pesantren Nawesa
Press, 2017, hal.13
2
Elok Noor Farida dan Kusrini. "Studi Islam pendekatan Hermeneutik." Jurnal Penelitian, vol. 7,
no. 2, Agustus 2013, hal. 383-384.
3
Martono, kajian kritis hermeneutika Friederich scheiermacher vs Paul ricoeur hal. 43-44
https://jurnal.untan.ac.id
6
1. Friedrich Schleiermacher: Hermeneutika adalah keahlian dalam
memahami dengan tepat bahasa orang lain, terutama dalam konteks
tertulis.
2. Franz-Peter Burkand: Hermeneutika merupakan seni menafsirkan, dan
secara lebih luas, merupakan refleksi teoritis tentang metode-metode
dan syarat-syarat dalam pemahaman.
3. Nurcholis Majid: Hermeneutika adalah proses pemahaman dan
penafsiran atas teks-teks suci sedemikian rupa sehingga
mengungkapkan makna yang terdalam, bukan hanya makna yang
tampak.
4. Zygmun Bauman: Hermeneutika adalah usaha untuk menjelaskan dan
menggali makna dasar dari tulisan atau pesan yang kabur, ambigu,
atau kontradiktif, yang dapat menyebabkan kebingungan bagi
pembaca.
5. Komaruddin Hidayat: Awalnya, hermeneutika merujuk pada Hermes,
dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas menyampaikan pesan dari
dewa kepada manusia.4
Ruang lingkup merujuk pada domain studi. Oleh karena itu, muncul
pertanyaan tentang apa yang menjadi fokus kajian hermeneutika. Beberapa
4
Rosyadi, Luthfi. "Hermeneutika Al-Qur'an: Pengertian, Ruang Lingkup, dan Sejarah." Makalah,
IAINU Kebumen, 2019, hal. 6 https://www.296.web.id/2019/04/makalah-hermeneutika-al-
quran.html?m=1
5
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur'an. Pesantren Nawesa
Press, 2017, hal. 18
7
menjawab dengan simpel bahwa hermeneutika berusaha menjawab
pertanyaan, "bagaimana makna diberikan kepada yang memilikinya?" Ini
bisa berupa puisi, teks hukum, interaksi bahasa manusia, budaya asing,
atau individual. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hermeneutika
mencakup segala sesuatu yang memiliki makna yang tersembunyi di
dalamnya.6
6
Rosyadi, Luthfi. "Hermeneutika Al-Qur'an: Pengertian, Ruang Lingkup, dan Sejarah." Makalah,
IAINU Kebumen, 2019, hal. 8 https://www.296.web.id/2019/04/makalah-hermeneutika-al-
quran.html?m=1
8
4. Hermeneutische Philosophie (Filsafat Hermeneutis), merupakan
bagian pemikiran-pemikiran dari filsafat yang berusaha menjawab
tantangan kehidupan manusia melalui interpretasi terhadap warisan
sejarah dan tradisi yang diterima oleh manusia.7
7
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur'an. Pesantren Nawesa
Press, 2017, hal. 15
8
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pesantren
Nawaesa Press, 2017), 20-21.
9
Penafsiran majazi atau Allegoris sudah ada sejak Yunani Kuno dan
dikembangkan oleh para filosof Stoa yaitu Philo von Alexandrien
(Abad ke-1). Karena keseriuan Philo dalam memaknai teks allegoris,
akhirnya mendapat julukan “Vater der Allegorese” atau “Bapak
penafsiran allegoris”. Philo menegaskan bahwasanya makna literal
dan allegoris itu saling berkaitan, seperti halnya hubungan makna
badan dan jiwa. Pemahaman ini bertujuan untuk memperoleh makna
tertentu yang dituju. Kemudian pada awal abad ke-3, Origenes juga
berjasa dalam perkembangan teks hermeneutis Bible. Dia
mengembangkan dualisme makna yang dikemukakan oleh Philo dan
dikembangkan dengan menambahkan satu makna lain. Hal ini yang
menjadikan perbedaan makna teks dalam 3 macam: literal
(buchtablich), moral (moralisch), dan ruhani atau spiritual (geistig).
Makna literal diperuntukkan bagi orang awam, makna moral lebih
kepada keyakinan, dan makna ruhani adalah “Kebijakan Tuhan” atau
kebijakan tuhan yang lebih mendalam.9
Para teolog Kristen Abad Pertengahan, mereka mengembangkan
makna yang ditawarkan oleh Philo dan Origenes. Kemudian pada
Abad ke-13, dikenal lah menjadi empat makna yakni literal (historia;
littera), allegoris (allegoria), moral (tropologia; moralis intellectus),
dan anagogis/ eskatologis (anagogia). Makna literal yaitu maka kata
dari teks; makna allegoris dalam arti luas utnuk ‘ide dasar’ dan arti
sempit pemahaman terhadap kata-kata metaforis; makna moral
berkaitan dengan moral; dan makna anagogis yaitu pernyataan
kehidupan akhirat yang kekal dari sebuah pernyataan atau kata.
Pemikiran hermeneutik yang sampai saat ini mendapat apresiasi
dari ahli hermeneutik kontemporer adalah para pemikir klasik.
Diantaranya yaitu Haideger dan Gadamer adlaah Aurelius Augustinus
(354-430 M). Dia meletakkan dasar pemikirannya dengan teori simbol
(semiotik), filsafat bahasa, sastra dan hermeneutika. Berdeda dengan
9
Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, 22.
10
Petrus Abaelardus (1079-1142) yang memfokuskan kepada teks-teks
Bible. Kajian Bible ini dilakukan pada Abad ke-19 dan Abad ke-20,
yang ditandai dengan obyektivitas saintifik dan positivisme historis.10
11
pada tahap kedua dipelopori oleh Ernst Schleiermarcher and Wilhelm
Dilthey.12
12
Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, 33-37.
12
Hermeneutics” kedalam tiga macam dengan didasari dari hubungan antara
science (ilmu alam) dan humanity (ilmu humaniora), yakni :
1. Aliran Obyektivis
Aliran obyektivis ini merupakan aliran yang berfokus pada
penggalian makna awal dari suatu obyek penafsiran (teks tertulis, teks
secara lisan, prilaku, simbol-simbol dilingkungan, dll). Maka dari itu
penafsiran ini merupakan upaya menyususn apa saja yang dimaksud
oleh pencipta teks. dalam aliran ini, terkait proses pemahaman dan
penafsiran, penafsir hanya berusaha memaparkan kembaliapa yang
dimaksud oleh pengarang teks atau pencipta simbol dan lain
sebagainya. Aliran ini juga disebut dengan istilah ‘author – centered
hermeneutics’ (hermeneutika yang dipusatkan pada [maksud]
pengarang).
Ada pernyataan yang sama dari beberapa tokoh yang membahas
aliran ini, Osborne mengemukakan, “Menurut Schleiermacher, tujuan
interpretasi merupakan merekonstruksi pesan orisinil pengarang”.
Adapun Hirsch berpendapat juga bahwa pengarang teks itu mempunyai
‘otoritas’ pada makna teks yang disusunnya.
13
Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, 43-45.
13
Untuk mencapai tujuan penafsir (pembaca) bisa menguak
maksud pengarang, menurut para ahli dan sarjana lainnya mengenai
aliran ini, ia (penafsir) harus melakukan analisa bahasa teks serta
analisa di luar kebahasaan.14
2. Aliran Subyektivis
Aliran subyektivis ini merupakan aliran yang lebih terfokoskan
pada peran pembaca / penafsir dalam pemaknaan terhadap teks. Aliran
ini juga disebut dengan ‘reader – centered hermeneutics’ (hermeneutika
yang dipusatkan pada [pemaknaan oleh] pembaca). Beragam pemikiran
yang ada dalam aliran ini. Terdapat yang sangat subyektivis yakni
‘dekontruksi’ dan ‘reader – response criticism’. Ada juga yang agak
subyektivis, yakni postrukturalisme. Serta ada juga yang kurang
subyektivis, yakni strukturalisme.
Dari pernyataan diatas, terdapat tujuan yang ditemukan untuk
menjustivikasi pandangan tersebut. Diantaranya :
Pertama, seorang penafsir sering sekali tidak bisa lagi
mempunyai akses langsung ke pengarang teks (author), sehingga upaya
menangkap makna orisinil itu merupakan hal yang utopis.
Kedua, makna teks itu selalu berubah dari waktu ke waktu yang
lainnya serta dari pembicara satu ke pembicara lainnya.
Ketiga, makna teks itu dapat ditangkap dengan cara
menganalisis aspek – aspek bahasa dan simbol – simbol yang terdapat
dalam teks yang ditafsirkan itu, hal ini mengarah pada ide subyektivitas
penafsiran.
Pandangan dari Stanley Fish yang merupakan pemikir yang
tergabung dalam aliran reader – response criticism. Ia berpendapat
bahwa teks tersebut hanya memuat ‘potensi – potensi makna’ (potential
meaning) dan dari sekian potensi makna tersebut seorang
pembaca/penafsir memilih salah satunya. Maka, penafsiran itu selalu
14
Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, 44-47.
14
menunjukkan kepentingan dan cara pandang penafsir yang merupakan
bagian dari komunitas tertentu. Hal ini, penafsir membuat dan memilih
strategi penafsiran tertentu. Maka hal ini dapat disimpulkan dari kutipan
Fish diatas bahwa pembacaan/penafsiran mendominasi teks,
menentukan makna teks, sehingga pemaknaan itu selalu bersifat
subyektif. Akan tetapi bagi Fish, subyektivitas ini bukan sekedar
subyektifitas individual penafsir, melainkan ‘subyektivitas’ komunitas
tertentu dimana seorang penafsir itu menjadi bagiannya. Fish juga
menyatakan dalam tulisannya “…. There is no single way of reading
that is correct or natural, only ‘ways of reading’ that are extensions of
community perspectives” (tidak hanya ada satu cara baca/penafsiran
yang merupakan kepanjangan dari perspektif komunitas tertentu).
Adapun pendapat Gracia juga sama dengan Fish, ia menyatakan bahwa
pemikir atau penafsir yang tergolong pada aliran itu dianggapnya
sebagai ‘self – contained entities’ (entitas – entitas yang mengandung
dirinya sendiri), sehingga ia tidak bergantung dan berrti lepas dari
maksud audiens historisnya. Serta mengatakan bahwa teks itu entitas –
entitas yang mempunyai makna yang terbuka untuk dipahami oleh
audiens secara bebas dan bervariasi.15
15
Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, 47-50.
16
Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, 50-51.
15
16
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
Elok Noor Farida dan Kusrini. "Studi Islam pendekatan Hermeneutik." Jurnal
Penelitian, vol. 7, no. 2, Agustus 2013, hal. 383-384.
18